• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Kemitraan antara PG Pagottan dengan Petani Tebu di Kabupaten Madiun

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Evaluasi Kemitraan antara PG Pagottan dengan Petani Tebu di Kabupaten Madiun"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

EVALUASI KEMITRAAN ANTARA PG PAGOTTAN

DENGAN PETANI TEBU DI KABUPATEN MADIUN

TIKA PRATIWI

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Evaluasi Kemitraan antara Pabrik Gula (PG) Pagottan dengan Petani Tebu di Kabupaten Madiun adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2014

Tika Pratiwi

(4)

ABSTRAK

TIKA PRATIWI. Evaluasi Kemitraan antara PG Pagottan dengan Petani Tebu di Kabupaten Madiun. Dibimbing oleh WAHYU BUDI PRIATNA.

Gula merupakan kebutuhan pokok yang semakin meningkat setiap tahunnya baik untuk rumah tangga maupun industri. Namun peningkatan kebutuhan gula tidak diimbangi dengan produksi gula nasional. Sehingga alternatif untuk mencukupi kebutuhan gula nasional adalah melalui kemitraan. Salah satunya adalah kemitraan yang terjalin antara PG Pagottan dengan petani tebu di Kabupaten Madiun, Jawa Timur. Metode analisis data pada penelitian ini menggunakan analisis pendapatan usahatani, analisis R/C rasio dan analisis uji beda t-test. Analisis pendapatan usahatani tebu menunjukkan, pendapatan atas biaya total petani mitra lebih besar daripada petani non mitra. Berdasarkan nilai R/C rasio diketahui bahwa dengan mengikuti kemitraan petani tebu akan mendapatkan keuntungan dari pada tidak mengikuti kemitraan. Sedangkan berdasarkan hasil t-test menunjukkan bahwa t-hitung terhadap pendapatan total berbeda secara signifikan antara petani mitra dan non mitra.

Kata kunci: analisis pendapatan usahatani, kemitraan, R/C rasio, tebu, uji t

ABSTRACT

TIKA PRATIWI. Evaluation of the Business Partner between Pagottan Sugar Factory and Sugar Cane Farmers in Madiun Regency. Supervised by WAHYU BUDI PRIATNA.

Sugar necessary will be increased every year for industry or household necessary. But, the increasing of sugar necessary is not balanced with national production of sugar. One of the alternative to full fill the national sugar needs is business partner. One of the business partner that tied in between Pagottan sugar factory with sugar cane farmer in Madiun regency, East Java. A method of analysis data on this research using farm income analysis, R/C analysis and t-test analysis. Sugar cane farm income analysis showed that revenue over total cost partner farmers more than non-partner farmers. According to R/C ratio showed that with business partner, sugar cane farmer can get profits than farmer non business partner. Whereas, based on the result of t-test show that revenue over total costs per hectare have a significant difference between farmer in business partner and non business partner.

(5)

EVALUASI KEMITRAAN ANTARA PG PAGOTTAN

DENGAN PETANI TEBU DI KABUPATEN MADIUN

TIKA PRATIWI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Evaluasi Kemitraan antara PG Pagottan dengan Petani Tebu di Kabupaten Madiun

Nama : Tika Pratiwi NIM : H34100003

Disetujui oleh

Dr Ir Wahyu Budi Priatna, MSi Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Dwi Rachmina, MSi Ketua Departemen

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada ALLAH SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2014 ini ialah Evaluasi Kemitraan antara PG Pagottan dengan Petani Tebu di Kabupaten Madiun.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Anita Primaswari W, SP. M.Si selaku dosen penguji utama, terima kasih kepada Ibu Ir. Narni Farmayanti, M.Sc selaku dosen penguji komisi pendidikan dan terima kasih Bapak Dr. Ir. Wahyu Budi Priatna, MSi selaku dosen pembimbing skripsi. Terima kasih saya ucapkan juga kepada pihak PG Pagottan dan petani tebu (responden) di Kabupaten Madiun yang telah memberikan waktu, kesempatan dan informasi kepada penulis. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga atas doa dan kasih sayangnya. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman sebimbingan Icha, Elly, Dina, Ayumi dan Riska serta sahabat-sahabat saya di keluarga besar Agribisnis 47 atas atas segala doa, semangat dan kasih sayangnya, serta sahabat-sahabat di Wisma Blobo, Ceceng, Tyas, dan Mbak Eka yang selalu memberi doa dan semangat.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2014

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI vii

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR LAMPIRAN viii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 4

Tujuan Penelitian 5

Manfaat Penelitian 6

Ruang Lingkup Penelitian 6

TINJAUAN PUSTAKA 6

KERANGKA PEMIKIRAN 8

Kerangka Pemikiran Teoritis 8

Kerangka Pemikiran Operasional 25

METODE PENELITIAN 27

Lokasi dan Waktu Penelitian 27

Jenis dan Sumber Data 27

Pengumpulan Data 27

Pengolahan dan Analisis Data 28

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 31

Profil PG Pagottan 31

Gambaran Umum Lokasi Penelitian 32

Karakteristik Sosial Ekonomi Petani 32

Penyelenggaraan Usahatani Tebu 38

Kemitraan 44

ANALISIS USAHATANI TEBU DI KABUPATEN MADIUN 49

Penerimaan Usahatani Tebu 49

Biaya Usahatani Tebu 52

Pendapatan Usahatani Tebu 56

Analisis Uji Beda 58

SIMPULAN DAN SARAN 60

Simpulan 60

Saran 60

DAFTAR PUSTAKA 61

LAMPIRAN 63

(10)

DAFTAR TABEL

1 Realisasi dan proyeksi kebutuhan gula domestik 2009-2014 (juta ton) 1 2 Luas areal tebu, produksi, produktivitas, dan rendemen gula nasional

2007-2012 2

3 Volume dan nilai impor gula tebu Indonesia 2007 – 2011 2 4 Perbandingan rata-rata produktivitas tebu dan gula 3 5 Produksi dan produktivas tebu petani tebu rakyat mitra PG Pagottan, 5 6 Dosis pupuk tanaman tebu berdasarkan jenis tanah dan kategori tanaman 22

7 Sebaran responden berdasarkan usia 33

8 Sebaran responden berdasarkan jenis kelamin 33 9 Sebaran responden berdasarkan pendidikan formal 34 10 Sebaran responden berdasarkan luas lahan yang dikuasai 35 11 Sebaran responden berdasarkan jenis penguasaan lahan 35 12 Sebaran responden berdasarkan pengalaman bertani tebu 36 13 Sebaran responden berdasarkan jumlah anggota keluarga 37

14 Sebaran status usahatani petani responden 37

15 Sebaran responden berdasarkan keanggotaan APTR 38 16 Sebaran responden berdasarkan keanggotaan kelompok tani 38

17 Pemanfaatan layanan oleh responden mitra 45

18 Sebaran responden berdasarkan persepsi mendapat pembinaan dari PG 45 19 Komponen penerimaan usahatani tebu petani mitra 51 20 Hasil produksi tebu per ha petani non mitra sistem borongan 52 21 Struktur biaya usahatani tebu petani mitra dan non mitra di Kabupaten

Madiun, 2013 56

22 Analisis pendapatan usahatani dan R/C usahatani tebu pada petani mitra

dan non mitra di Kabupaten Madiun 2013 57

DAFTAR GAMBAR

1 Pola kemitraan inti plasma 11

2 Pola kemitraan subkontrak 12

3 Pola kemitraan dagang umum 12

4 Pola kemitraan keagenan 13

5 Pola kemitraan kerjasama operasional agribisnis 14

6 Kerangka pemikiran operasional 26

DAFTAR LAMPIRAN

1 Dokumentasi penelitian 63

2 Analisis pendapatan usahatani tebu petani mitra dan non mitra di Kabupaten

Madiun, 2013 64

3 Output SPSS dari uji normal penerimaan, biaya dan pendapatan populasi

petani mitra dan non mitra 65

4 Output SPSS dari uji t terhadap penerimaan, biaya dan pendapatan petani

(11)
(12)
(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sektor pertanian di Indonesia memiliki potensi yang cukup besar untuk dikembangkan mulai dari subsektor perkebunan, peternakan, kehutanan, perikanan dan kelautan serta hortikultura. Setiap subsektor yang ada memiliki peranan penting dalam meningkatkan perekonomian di Indonesia. Salah satu dari kelima subsektor yang memiliki peranan penting adalah subsektor perkebunan. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang perkebunan menjelaskan bahwa peran dan kontribusi subsektor perkebunan selama ini menunjukkan hasil yang signifikan dalam mendukung, khususnya pembangunan sektor pertanian dan secara umum pembangunan nasional, baik berperan langsung terhadap produk domestik bruto (PDB), penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan masyarakat, pengentasan kemiskinan, perolehan devisa negara melalui kegiatan ekspor hasil perkebunan dan menjaga kelangsungan program ketahanan pangan nasional, maupun berperan tidak langsung dalam mewujudkan kondisi yang kondusif terhadap pelaksanaan pembangunan dan membangun hubungan sinergis dengan subsektor yang lain. Rancangan Rencana Strategis Kementerian Pertanian tahun 2010-2014 telah menetapkan empat target sukses yang ingin dicapai Kementerian Pertanian salah satunya pencapaian swasembada gula. Dalam upaya mencapai swasembada gula, salah satu komoditas dari subsektor perkebunan yang harus dikembangkan adalah tanaman tebu.

Tebu (Saccharum officinarum) merupakan tanaman perkebunan yang digunakan sebagai bahan pokok pembuatan gula kristal. Gula merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat Indonesia, dimana kebutuhannya semakin meningkat setiap tahunnya baik untuk rumah tangga maupun industri1.

Pada tahun 2009 hingga 2012 kebutuhan GKP (Gula Kristal Putih) untuk rumah tangga dan GKR (Gula Kristal Rafinasi) untuk industri mengalami peningkatan dari 4.85 juta ton hingga 5.34 juta ton. Berdasarkan kebutuhan GKP dan GKR pada tahun 2012, diproyeksikan kebutuhan GKP dan GKR mengalami peningkatan menjadi 5.51 juta ton pada tahun 2013 dan 5.70 juta ton pada tahun 2014.

Tabel 1 Realisasi dan proyeksi kebutuhan gula domestik 2009-2014 (juta ton)

No. Jenis Gula 2009 2010 2011 2012 2013 2014

1 GKP *) 2.70 2.75 2.80 2.85 2.90 2.96

2 GKR **) 2.15 2.26 2.37 2.49 2.61 2.74

Jumlah 4.85 5.01 5.17 5.34 5.51 5.70

Keterangan :

*) Pertumbuhan kebutuhan GKP untuk konsumsi langsung diasumsikan setara pertumbuhan penduduk (1,23 persen) dan peningkatan daya beli 0,60 persen/th

**) Pertumbuhan kebutuhan GKR untuk industri diasumsikan 5 persen/th sumber: Ditjenbun, 2012

1

Balai Penelitian Tanah. 2004. Gagasan Swasembada Gula di Indonesia.

(14)

Tabel 1 menunjukkan kebutuhan gula domestik untuk konsumsi langsung (rumah tangga) maupun industri mengalami peningkatan setiap tahun.

Tabel 2 Luas areal tebu, produksi, produktivitas, dan rendemen gula nasional 2007-2012

No. Tahun

Luas Areal (Ha)

Produksi Tebu Rendemen (persen)

Produksi Hablur

(Ton) (Ton/Ha) (Ton) (Ton/Ha)

1 2007 428 401 33 289 452.2 77.7 7.35 2 448 142.90 5.71 2 2008 436 504 32 960 165.5 75.5 8.20 2 703 975.60 6.19

3 2009 422 935 32 165 572.3 76.1 7.83 2 624 068.26 6.20

4 2010 418 259 34 216 549.0 81.8 6.47 2 214 488.00 5.29 5 2011 450 297 30 323 228.0 67.3 7.35 2 228 259.10 4.95

6 2012 451 191 31 720 204.7 72.5 8.14 2 591 687.90 5.74 sumber : BBPP, 2013

Produksi gula dari tahun 2007 hingga 2011 cenderung berfluktuasi, pada tahun 2008 mengalami peningkatan menjadi 2 703 975.60 ton, dan pada 2009 hingga 2011 cenderung menurun. Produksi gula nasional masih mampu untuk memenuhi kebutuhan gula bagi rumah tangga tetapi belum mampu memenuhi kebutuhan gula untuk industri. Langkah yang ditempuh pemerintah untuk kebutuhan gula industri adalah dengan melakukan impor gula. Volume dan nilai impor gula dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Volume dan nilai impor gula tebu Indonesia 2007 – 2011

Tahun Impor

Volume (ton) Nilai (000 US$)

2007 3 088 238 1 101 949

2008 1 152 343 437 682

2009 1 660 200 689 257

2010 2 021 578 1 227 049

2011 2 717 019 1 869 327

Pertumbuhan 2010 ke 2011 (%) 34.4 52.34

sumber : Pusdatin, 2012

Tabel 3 menunjukkan bahwa volume dan nilai impor gula pada tahun 2008 mengalami penurunan menjadi 1 152 343 kg dan 437 682 US$. Kemudian pada tahun 2008 hingga tahun 2011 mengalami peningkatan yang signifikan. Semakin meningkatnya volume dan nilai impor gula yang dilakukan pemerintah, menunjukkan semakin terpuruknya industri gula di Indonesia.

(15)

bertujuan untuk mengatasi masalah klasik pada tingkat usahatani tebu yaitu rendahnya produktivitas dan rendemen2.

Tabel 4 Perbandingan rata-rata produktivitas tebu dan gula Negara

Keterangan : rata-rata dihitung dari tahun 1996/1997 sampai 2002/2003 sumber : Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan, 20033

Berdasarkan Tabel 4, apabila dibandingkan dengan negara Asia lainnya seperti Thailand, Cina, India, Jepang dan Filipina, rata-rata produktivitas tebu Indonesia relatif tinggi dan mendekati produktivitas USA. Namun dalam hal rata-rata rendemen dan rata-rata-rata-rata produktivitas gula, Indonesia menempati posisi terendah.

Rendahnya produktivitas di Indonesia disebabkan oleh penurunan luas lahan, teknik budidaya yang belum optimal, kesulitan kredit atau modal, dan bias kebijakan pemerintah4. Keterbatasan dana dan kesulitan dalam memperoleh kredit, khususnya pada tebu rakyat, menyebabkan usahatani tebu tidak optimal. Usahatani tebu yang memerlukan masa tanam sekitar 12 bulan menjadi penyebab para petani sangat bergantung pada kredit. Kesulitan memperoleh kredit akan menimbulkan keragu-raguan petani untuk menanam tebu atau petani tebu akan menggunakan teknik budidaya tidak sesuai dengan standar, seperti melakukan keprasan berulang kali untuk bibit tebu. Sedangkan rendemen yang terus menurun berkaitan dengan rendahnya efisiensi di tingkat pabrik. Adanya inefisiensi di pabrik gula disebabkan oleh dua faktor. Pertama, kondisi pabrik gula, terutama yang ada di Jawa, umumnya sudah tua sehingga tidak dapat mencapai efisiensi maksimal. Faktor kedua adalah keterbatasan kesediaan jumlah bahan baku sehingga pabrik beroperasi dibawah kapasitas normal (Susila, 2005). Selain inefisiensi pabrik gula, rendahnya rendemen bersumber dari usahatani antara lain tingkat kebersihan tebu dan masa tebang. Tebu yang masih banyak mengandung kotoran dan daun akan menurunkan rendemen, demikian juga umur tebang yang belum optimal. Karena keterbatasan kapasitas pabrik, maka pada masa puncak

2

Lembaga Riset Perkebunan Indonesia. 2004. Dengan Kemitraan, Pabrik Gula dan Petani Maju Bersama. http://www.pustaka.litbang.deptan.go.id/publikasi/wr245026.pdf. Hlm 1

3

Kaman Nainggolan. 2005. Kebijakan Gula Nasional dan Persaingan Global. Jurnal Agrimedia Vol. 10, No. 2. http://agrimedia.mb.ipb.ac.id/uploads/pdf/2010-07-08_desember2005-kebijakan_gula_nasional_dan_persaingan_global.pdf. Hlm 55

4

(16)

produksi, masa tebang optimum sering menjadi rebutan antara pihak pabrik gula dan petani maupun antar petani.

Sentra produksi tebu di Indonesia berdasarkan Outlook Komoditas Pertanian Perkebunan, Pusat Data dan Informasi Pertanian, Kementrian Pertanian 2010 menunjukkan bahwa Jawa Timur merupakan penyumbang produksi tebu PR (perkebunan rakyat) terbesar yaitu sebesar 72.57 persen dari total produksi keseluruhan, sedangkan Jawa Tengah diurutan kedua berkontribusi sebesar 16.90 persen dan dilanjut oleh Lampung menyumbang sebesar 4.60 persen.

Salah satu wilayah di Jawa Timur yang merupakan penghasil tebu adalah di Kabupaten Madiun, dimana terdapat sebuah pabrik gula yang merupakan unit usaha dari PTPN XI yaitu PG Pagottan. Keterbatasan petani tebu dalam menggilingkan hasil tebunya membutuhkan kerjasama dengan Pabrik Gula, demikian juga Pabrik Gula yang membutuhkan pasokan tebu berkelanjutan untuk mencukupi kapasitas gilingnya dan meningkatkan produksi gula. Adanya prinsip saling membutuhkan antar petani dan pabrik gula maka alternatif yang dilakukan adalah melalui kemitraan. Adanya kemitraan adalah upaya untuk mendorong pengembangan dan peningkatan produksi tebu. Petani tebu juga akan mendapatkan jaminan pasar serta peningkatkan pendapatan sementara dan pabrik gula akan mendapat pasokan bahan baku berkelanjutan.

Perumusan Masalah

Target pemerintah dalam swasembada gula tahun 2014, menuntut peningkatan produksi tebu sesuai kriteria untuk menghasilkan gula dengan rendemen tinggi. Sehingga gula yang dihasilkan dapat mencukupi kebutuhan rumah tangga maupun industri dalam negeri. Tetapi produksi gula nasional belum dapat memenuhi kebutuhan industri dalam negeri. Kekurangan ketersediaan produksi gula yang terjadi dapat diatasi dengan meningkatkan produksi dan produktivitas tebu. Salah satu cara untuk meningkatkan produksi dan produktivitas tebu tersebut adalah dengan kemitraan.

Adanya kemitraan diharapkan mampu meningkatkan produktivitas tebu dan pendapatan para petani. Kemitraan akan dapat menggabungkan kelemahan dan kekuatan yang dimiliki oleh petani tebu dan PG, sehingga akan tercipta kerjasama yang saling menguntungkan dan menguatkan. Kelemahan petani antara lain modal terbatas, keterampilan terbatas, teknologi rendah, skala usaha kecil, akses pasar terbatas dan manajemen yang tidak teratur, sehingga produksi tebu yang dihasilkan kurang maksimal dan sesuai dengan kriteria. Petani mempunyai kekuatan antara lain tenaga kerja penguasaan lahan meskipun kecil bukan milik pribadi apabila hasil tebu disatukan akan besar. Sedangkan kelemahan PG adalah sedikit lahan yang dikuasai sehingga hasil tebunya juga sedikit, padahal pabrik gula membutuhkan pasokan tebu dalam jumlah besar dan berkelanjutan untuk meningkatkan produksi gula. Kemitraan yang berjalan lancar akan menciptakan transfer pengetahuan, modal dan teknologi dari PG, sehingga bargaining position

dan pendapatan petani tebu meningkat. Serta PG akan mendapatkan pasokan bahan baku berkelanjutan sesuai dengan kualitas dan kuantitas sehingga dapat membantu menyukseskan target swasembada gula tahun 2014.

(17)

ini merupakan pabrik gula yang sudah tua tetapi masih beroperasi dengan proporsi lahan tebu sendiri yang sangat kecil, bahan baku tebu sebagian besar diperoleh dari pasokan tebu rakyat (70 persen). Pabrik gula ini terletak di Kabupaten Madiun Selatan, tepatnya di Kecamatan Geger. Kondisi geografis di Kabupaten Madiun yang cocok untuk ditanami tanaman tebu, menjadikan sebagian masyarakatnya bermatapencaharian sebagai petani tebu.

Kemitraan yang dijalankan antara PG Pagottan dengan petani tebu merupakan alternatif yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan yang ada. PG Pagottan dengan petani tebu mempunyai kesepakatan untuk menyediakan faktor-faktor produksi yang diperlukan untuk pembudidayaan tebu, baik berupa bibit, pupuk, dan biaya garap. Sedangkan petani tebu mempunyai kesepakatan untuk menyetorkan hasil tebunya sesuai dengan jumlah dan kriteria tebu baik yang telah ditetapkan PG Pagottan. Kedua pihak berharap mendapatkan manfaat dari kemitraan yang dijalankan, petani tebu bermitra untuk dapat meningkatkan pendapatan dan PG Pagottan untuk dapat meningkatkan produksi gula melalui kontinuitas pasokan bahan baku. Wilayah kerja PG Pagottan atau daerah kemitraannya mencakup 3 Kabupaten, yaitu Kabupaten Madiun, Magetan dan Ponorogo.

Pelaksanaan kemitraan yang terjalin antara PG Pagottan dan petani tebu mitra memberikan keuntungan dalam hal meningkatkan pendapatan usahatani tebu petani melalui peningkatan produktivitas usahatani tebu. Terlihat pada Tabel 5 selama kurun waktu 2011 – 2013, produksi dan produktivitas tebu petani rakyat mitra PG Pagottan relatif meningkat.

Tabel 5 Produksi dan produktivas tebu petani tebu rakyat mitra PG Pagottan, 2011 – 2013

Tahun Luas areal (Ha) Produksi (Ton) Produktivitas (Ton/Ha)

2011 1 256.33 65 394.1 52.1

2012 2 692.21 146 662.9 54.5

2013 2 633.43 148 669.8 56.5

sumber : Bagian Litbang PG Pagottan, 2013

Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah evaluasi kemitraan yang terjalin antara petani tebu rakyat di Kabupaten Madiun dengan PG Pagottan, baik secara finansial maupun non finansial.

Tujuan Penelitian

(18)

Manfaat Penelitian

1. Bagi perusahaan atau PG, hasil penulisan penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan masukan dan pemikiran dalam pengambilan keputusan untuk merumuskan strategi untuk memperbaiki kekurangan dalam kemitraan dan meningkatkan pendapatan serta kesejahteraan petani

2. Bagi pemerintah bidang perkebunan atau pertanian, penelitian ini dapat dijadikan sumber informasi dan bahan masukan dalam strategi pengembangan pabrik gula dan revitalisasi pabrik gula di wilayah lain. Terutama terkait dengan kebijakan untuk meningkatkan produksi gula di pabrik gula.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini berfokus membahas mengenai analisis usahatani tebu dan penggambaran kemitraan yang terjalin antara petani tebu dan pabrik gula. Data informasi primer dan sekunder mengenai kemitraan dan pendapatan usahatani, penelitian ini juga dibatasi dari segi waktu penelitian. Objek penelitian ini terbatas pada petani tebu yang bermitra dan yang tidak bermitra dengan PG Pagottan, di wilayah Kabupaten Madiun.

TINJAUAN PUSTAKA

Penelitian tentang kemitraan telah banyak dilakukan, akan tetapi kajian mengenai kemitraan yang terjalin antara petani dengan pabrik atau perusahaan masih menarik untuk dibahas, karena pada saat ini seringkali kemitraan yang terjalin tidak berjalan sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati kedua pihak. Persaingan usaha yang semakin kompetitif menyebabkan usaha yang dijalankan menjadi tidak terduga dan berbeda dari tahun sebelumnya. Penelitian yang dilakukan memberikan gambaran mengenai mekanisme kemitraan yang dilakukan petani tebu dengan pabrik gula dan melihat pendapatan usahatani tebu pada petani mitra dan non mitra. Metode analisis data yang digunakan adalah analisis pendapatan usahatani, analisis R/C rasio dan uji beda menggunakan t-test.

Penelitian Najmudinrohman (2010) dan Astria (2011) membahas mengenai kemitraan antara pabrik gula dengan petani tebu. Tujuan kedua penelitian tersebut adalah menganalisis pengaruh kemitraan terhadap pendapatan usahatani tebu. Metode analisis data yang digunakan Najmudinrohman (2010) dan Astria (2011) sama seperti yang digunakan dalam penelitian ini yaitu analisis pendapatan usahatani dan analisis R/C rasio. Tetapi pada penelitian Najmudinrohman (2010) menggunakan metode analisis data lain yaitu analisis regresi linear berganda untuk mengetahui faktor – faktor yang berpengaruh nyata terhadap pendapatan.

(19)

signifikan terhadap peningkatan pendapatan. Hal tersebut berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Astria (2011). Hasil perhitungan nilai R/C rasio pada penelitian Astria (2011) menunjukkan bahwa dengan mengikuti kemitraan, petani mitra mengalami kerugian. Hal ini dikarenakan adanya biaya transaksi yang mahal. Penelitian Astria (2011) menunjukkan bahwa kemitraan tidak berpengaruh positif terhadap pendapatan usahatani tebu.

Penelitian mengenai kemitraan juga dilakukan oleh Utomo (2012), Aryani (2009), Rahmat (2011) dan Nugraha (2012). Metode analisis data yang digunakan pada penelitian tersebut sama dengan yang digunakan pada penelitian ini yaitu analisis pendapatan usahatani dan R/C rasio. Hasil penelitian Utomo (2012), Aryani (2009) dan Nugraha (2012) menunjukkan bahwa pendapatan rata-rata petani mitra lebih besar dibandingkan dengan petani non mitra. Hasil analisis R/C rasio juga menunjukkan bahwa dengan mengikuti kemitraan, petani mitra akan mendapatkan keuntungan lebih besar daripada petani non mitra.

Rahmat (2011) memiliki perbedaan hasil penelitian dengan Utomo (2012), Aryani (2009) dan Nugraha (2012). Rahmat (2011) lebih mengkaji evaluasi dari kemitraan yang dijalankan kedua belah pihak, yaitu dari aspek manajemen kemitraan dan aspek manfaat kemitraan. Hasil penelitian Rahmat (2011) menunjukkan bahwa kemitraan yang terjalin masih memiliki banyak kelemahan dilihat dari aspek manajemen. Sedangkan dari aspek manfaat, kemitraan yang terjalin memberikan manfaat produktivitas gula kelapa dan pendapatan petani pembuat gula kelapa mitra lebih tinggi dari pada non mitra. Evaluasi kemitraan yang dilakukan oleh Rahmat (2011) dilakukan pula pada penelitian ini. Tetapi aspek yang dikaji dalam penelitian ini yaitu dari aspek finansial dan non finansial.

Metode analisis data yang digunakan oleh Najmudinrohman (2010), Astria (2011), Utomo (2012), Aryani (2009), Rahmat (2011) dan Nugraha (2012) memiliki persamaan dengan metode analisis data pada penelitian ini yaitu analisis usahatani dan analisis R/C rasio. Tetapi pada penelitian – penelitian tersebut tidak menggunakan analisis uji beda yaitu t-test untuk melihat apakah terdapat perbedaan secara signifikan antara pendapatan petani mitra dan non mitra. Sehingga perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian terdahulu adalah penggunaan uji beda t-test yang dilakukan pula pada penelitian Aldila (2013). Aldila (2013) menggunakan t-test untuk mengetahui apakah rata-rata pendapatan usahatani jagung manis pada musim hujan berbeda signifikan dengan pendapatan pada musim kemarau. Hasil penelitian Aldila (2013) menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata antara pendapatan usahatani jagung manis pada musim hujan maupun pada musim kemarau.

Penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa kemitraan yang terjalin antara petani dengan perusahaan terjadi karena masalah seperti ketidakpastian harga, ketidakpastian pasar, permodalan, keterbatasan teknologi budidaya dan manajemen dari pihak petani. Sedangkan masalah yang dihadapi perusahaan adalah tuntutan kontinuitas, kualitas dan kuantitas produk yang akan dipasarkan kepada konsumen. Sehingga melalui kemitraan masalah yang terjadi dapat terselesaikan, dan kesejahteraan petani akan semakin meningkat.

(20)

berpengaruh positif terhadap pendapatan, artinya dengan kemitraan pendapatan usahatani akan meningkat.

KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Pemikiran Teoritis

Konsep kerangka pemikiran teoritis pada penelitian ini akan dipaparkan mengenai teori-teori yang berhubungan dengan penelitian, yang meliputi : Konsep Kemitraan Agribisnis, Konsep Usahatani dan Usahatani Tebu.

Konsep Kemitraan Agribisnis

Konsep dasar kemitraan tercantum dalam Undang-undang Nomor 9 tahun 1995 yang menyebutkan, kerjasama antara usaha kecil dengan usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan yang berkelanjutan oleh usaha menengah atau usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Konsep tersebut diperjelas pada Peraturan Pemerintah Nomor 44 tahun 1997 yang menjelaskan bahwa bentuk kemitraan yang ideal adalah saling memperkuat, saling menguntungkan, dan saling menghidupi. Tujuan kemitraan ialah meningkatkan kualitas sumberdaya dan usaha kelompok mitra, meningkatkan pendapatan/keuntungan masing-masing pihak yang bermitra.

Hafsah (2000) mendefinisikan kemitraan sebagai suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan. Hafsah (2000) juga menyatakan bahwa manfaat dari kemitraan adalah (1) Produktivitas, (2) Efisiensi, (3) Jaminan kualitas, kuantitas dan kontinuitas, (4) Risiko, (5) Sosial dan (6) Ketahanan ekonomi Nasional.

Pada dasarnya maksud dan tujuan dari kemitraan adalah “Win-Win Solution

Partnership”. Kesadaran dan saling menguntungkan di sini tidak berarti para

patisipan dalam kemitraan tersebut harus memiliki kemampuan dan kekuatan yang sama, tetapi yang lebih dipentingkan adalah adanya posisi tawar yang setara berdasarkan peran masing-masing. Berdasarkan pendekatan cultural, kemitraan bertujuan agar mitra usaha dapat mengadopsi nilai-nilai baru dalam berusaha seperti perluasan wawasan, prakarsa, kreatifitas, berani mengambil risiko, etos kerja, kemampuan aspek-aspek manajerial, bekerja atas dasar perencanaan dan berawawasan ke depan.

Menurut Hafsah (2000), dalam kondisi yang ideal, tujuan yang ingin dicapai dalam pelaksanaan kemitraan secara lebih konkret adalah :

1. Meningkatkan pendapatan usaha kecil dan masyarakat, 2. Meningkatkan perolehan nilai tambah bagi pelaku kemitraan,

3. Meningkatkan pemerataan dan pemberdayaan masyarakat dan usaha kecil, 4. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi pedesaan, wilayah dan nasional, 5. Memperluas lapangan kerja, dan

(21)

Saling membutuhkan merupakan salah satu azas tumbuhnya kerjasama antara dua belah pihak yang bermitra. Kerjasama antara perusahaan besar dengan petani kecil dapat berlangsung baik jika ada imbalan yang saling menguntungkan bagi kedua belah pihak.

Sumardjo (2004) menyatakan bahwa dampak positif yang timbul adanya kelembagaan kemitraan dalam sistem agribisnis adalah sebagai berikut:

1. Adanya keterpaduan dalam sistem pembinaan yang saling mengisi antara materi pembinaan dengan kebutuhan riil petani. Sistem pembinaan terpadu ini meliputi permodalan, sarana, teknologi, bentuk usaha bersama atau koperasi dan pemasaran. Kondisi pembinaan yang sinergis juga dapat menimbulkan dampak positif, seperti :

a. Kepastian pemasaran,

b. Komoditas yang bernilai tinggi,

c. Budidaya yang berpedoman dasar pada ketepatan waktu, kontinuitas, volume dan mutu serta ketepatan ukuran, warna dan rasa,

d. Kerjasama yang serasi antara pelaku agribisnis hulu-hulu (pengaturan pola tanam atas komoditas primadona) dan hulu-hilir (kuantitas dan kualitas), dan

e. Pengembangan teknologi tepat guna yang sesuai dengan kebutuhan riil. 2. Adanya kejelasan aturan atau kesepakatan sehingga menumbuhkan

kepercayaan dalam hubungan kemitraan bisnis yang ada. Kesepakatan tentang aturan, perubahan harga, dan pembagian hasil harus dibuat adil oleh pihak-pihak yang bermitra. Jika salah satu pihak-pihak lemah maka harus asa pihak-pihak ketiga yang netral untuk melakukan pengawasan. Dengan demikian, tujuan, kepentingan dan kesinambungan bisnis dari kedua pihak dapat terlaksana dan saling menguntungkan.

3. Ada keterkaitan antar pelaku dalam sistem agribisnis (hulu-hilir) yang mempunyai komitmen terhadap kesinambungan bisnis. Komitmen ini menyangkut kualitas dan kuantitas serta keinginan saling melestarikan hubungan dengan menjalin kerjasama saling menguntungkan secara adil. Dalam keadaan bisnis yang berkesinambungan, kedua pihak mengalami beberapa hal-hal positif sebagai berikut :

a. Kesinambungan informasi, baik di tingkat hulu maupun hilir.

b. Informasi di tingkat hilir misalnya informasi tentang kebutuhan konsumen dan kualitas produk yang dibutuhkan di pasaran. Sementara informasi di tingkat hulu yang dapat diperoleh, misalnya teknologi dan sarana yang sesuai untuk menghasilkan produk yang berkualitas tersebut.

c. Tersedianya sarana secara tepat waktu, baik itu input maupun output yang telah disepakati bersama sesuai dengan periode pergiliran komoditas.

d. Terhindarnya manipulasi dari pihak-pihak tertentu yang dapat menimbulkan penggunaan sarana produksi palsu.

e. Tersedianya modal sesuai dengan kebutuhan dan penggunaannya secara efektif.

f. Dapat menghasilkan produk usahatani yang sesuai dengan kebutuhan pasar. 4. Terjadinya penyerapan tenaga kerja yang cukup banyak dan berkesinambungan

di sektor pertanian.

(22)

membangun suatu kemitraan. Keenam dasar etika bisnis tersebut ialah : (1) Karakter, integritas dan kejujuran; (2) Kepercayaan; (3) Komunikasi yang terbuka; (4) Adil; (5) Semangat kebersamaan antara pihak yang bermitra, dan (6) Keseimbangan antara insentif dan risiko.

Apabila pemahaman etika bisnis telah diterapkan sebagai landasan awal dalam pelaksanaan kemitraan, selanjutnya kemitraan usaha agribisnis dapat dilaksanakan sebagi suatu proses. Proses yang dimulai dengan perencanaan, kemudian rencana tersebut diimplementasikan dan selanjutnya dimonitor serta dievaluasi secara terus menerus oleh pihak-pihak yang bermitra. Oleh karena kemitraan merupakan suatu proses, maka keberhasilannya secara optimal tentu tidak selalu dapat dicapai dalam waktu uang singkat. Keberhasilan suatu kemitraan diukur dengan pencapaian nilai tambah yang diperoleh oleh pihak yang bermitra dari berbagai aspek seperti manajemen, teknologi, permodalan, pemasaran dan pendapatan. Hubungan kemitraan akan berkesinambungan apabila hasil kerjasama terjadi secara berulang-ulang dan saling menguntungkan secara adil proses tersebut dilakukan sampai melahirkan suatu aturan atau norma hubungan bisnis dalam pola perilaku pelaku kemitraan, sehingga tercipta hubungan kemitraan yang melembaga dan berkelanjutan.

Dalam kemitraan usaha semua pihak yang bermitra harus merasakan keuntungan dan manfaat yang diperoleh dari kemitraan, sehingga jangan sampai ada pihak yang diuntungkan di atas kerugian pihak lain yang merupakan mitra usahanya. Penyebab timbulnya kemitraan di Indonesia ada dua macam :

1. Kemitraan yang didorong oleh pemerintah, dalam hal ini kemitraan menjadi isu penting karena telah disadari bahwa pembangunan ekonomi selama ini selain meningkatkan pendapatan nasional perkapita juga telah memperbesar kesenjangan ekonomi dan sosial di tengah masyarakat.

2. Kemitraan yang muncul dan berkembang secara ilmiah. Hal ini disebabkan oleh adanya keinginan untuk meningkatkan efisiensi dan tingkat fleksibilitas dalam meningkatkan keuntungan.

Sumardjo (2004) juga menyatakan dalam sistem agribisnis di Indonesia, terdapat lima bentuk kemitraan antara petani dengan pengusaha besar. Adapun bentuk-bentk kemitraan yang dimaksud adalah sebagai berikut :

1. Pola kemitraan inti-plasma

Pola ini merupakan hubungan antara petani, kelompok tani, atau kelompok mitra sebagai plasma dengan perusahaan inti yang bermitra usaha. Perusahaan inti menyediakan lahan, sarana produksi, bimbingan teknis, manajemen, menampung dan mengolah, serta memasarkan hasil produksi. Sementara itu, kelompok mitra bertugas memenuhi kebutuhan perusahaan inti sesuai dengan persyaratan yang telah disepakati (Sumardjo, 2004):

a. Kelebihan dari pola inti plasma adalah:

1. Tercipta saling ketergantungan dan saling memperoleh keuntungan, 2. Tercipta peningkatan usaha,

3. Dapat mendorong perkembangan ekonomi. b. Kelemahan dari pola inti plasma adalah:

1. Pihak plasma masih kurang memahami hak dan kewajibannya sehingga kesepakatan yang telah ditetapkan berjalan kurang lancar.

(23)

3. Belum ada kontrak kemitraan yang menjamin hak dan kewajiban komoditas plasma sehingga terkadang pengusaha inti mempermainkan harga komoditas plasma.

c. Solusi yang dapat diterapkan untuk mengatasi kelemahan dan hambatan pada pola inti plasma sebagai berikut:

1. Pemahaman tingkat ekonomi dan skala usaha

Tingkat ekonomi plasma dan skala usaha yang akan dijalankan perlu diketahui terlebih dahulu karena akan berkaitan dengan jumlah kredit yang akan diberikan pada plasma.

2. Kesepakatan atau perjanjian

Perusahaan inti dan plasma yang melaksanakan pola kemitraan ini harus memiliki sebuah kesepakatan yang tertuang dalam surat perjanjian bermaterai.

Gambar 1 Pola kemitraan inti plasma

sumber : Sumardjo (2004)

2. Pola kemitraan subkontrak

Pola subkontrak merupakan pola kemitraan antara perusahaan mitra usaha dengan kelompok mitra usaha yang memproduksi komponen yang diperlukan perusahaan mitra sebagai bagian dari produksinya. Kelebihan dari pola subkontrak adalah pola subkontrak ditandai dengan adanya kesepakatan tentang kontrak bersama yang mencakup volume, harga, mutu dan waktu kondusif bagi terciptanya alih teknologi, modal, keterampilan, dan produktivitas, serta terjaminnya pemasaran produk pada kelompok mitra. Menurut Sumardjo (2004), kelemahan dari pola subkontrak adalah :

1. Hubungan subkontrak yang terjalin semakin lama cenderung mengisolasi produsen kecil dan mengarah ke monopoli atau monopsoni, terutama dalam penyediaan bahan baku serta dalam hal pemasaran.

2. Berkurangnya nilai-nilai kemitraan antara kedua belah pihak. Perasaan saling menguntungkan, saling memperkuat dan saling menghidupi berubah menjadi penekanan terhadap harga input yang tinggi atau pembelian produk dengan harga rendah.

3. Kontrol kualitas produk ketat, tetapi tidak diimbangi dengan sistem pembayaran yang tetap. Dalam kondisi ini, pembayaran produk perusahaan inti sering terlambat bahkan cenderung dilakukan secara konsinyasi. Disamping itu, timbul gejala eksploitasi tenaga kerja untuk mengejar target produksi.

Plasma

Plasma

(24)

Gambar 2 Pola kemitraan subkontrak

sumber : Sumardjo (2004)

3. Pola kemitraan dagang umum

Menurut Sumardjo (2004), pola kemitraan dagang umum merupakan hubungan usaha dalam pemasaran hasil produksi. Pihak yang terlibat dalam pola ini adalah pihak pemasaran dengan kelompok usaha pemasok komoditas yang diperlukan oleh pihak pemasaran tersebut. Beberapa petani atau kelompok tani hortikultura bergabung dalam bentuk koperasi atau badan usaha lainnya kemudian bermitra dengan toko swalayan atau mitra usaha lainnya. Koperasi tani tersebut bertugas memenuhi kebutuhan toko swalayan dengan persyaratan yang telah ditentukan.

Kelebihan dari pola dagang umum pada dasarnya pola kemitraan ini adalah hubungan jual beli sehingga diperlukan struktur pendanaan yang kuat dari pihak yang bermitra, baik perusahaan mitra maupun kelompok mitra. Keuntungan dalam pola kemitraan ini berasal dari marjin harga dan jaminan harga produk yang diperjualbelikan, serta kualitas produk sesuai dengan kesepakatan pihak yang bermitra. Adapun kelemahan dari pola dagang umum adalah :

3. Dalam prakteknya, harga dan volume produknya sering ditentukan secara sepihak oleh pengusaha mitra sehingga merugikan pihak kelompok mitra. 4. Sistem perdagangan seringkali ditemukan berubah menjadi bentuk konsinyasi.

Dalam sistem ini, pembayaran barang-barang pada kelompok mitra tertunda sehingga beban modal pemasaran produk harus ditanggung oleh kelompok mitra. Kondisi seperti ini sangat merugikan perputaran uang pada kelompok mitra yang memiliki keterbatasan permodalan.

Gambar 3 Pola kemitraan dagang umum

sumber: Sumardjo (2004)

4. Pola kemitraan keagenan

Pola kemitraan keagenan merupakan bentuk kemitraan yang terdiri dari pihak perusahaan mitra dan kelompok mitra atau pengusaha kecil mitra

Kelompok Mitra Kelompok Mitra

Kelompok Mitra Kelompok Mitra

Pengusaha Mitra

Kelompok Mitra

Konsumen/Industri

Perusahaan Mitra

(25)

(Sumardjo, 2004). Pihak perusahaan mitra (pengusaha besar) memberikan hak khusus kepada kelompok mitra untuk memasarkan barang atau jasa perusahaan yang dipasok oleh pengusaha besar mitra. Perusahaan besar atau menengah bertanggung jawab atas mutu dan volume produk (barang atau jasa), sedangkan usaha kecil mitranya berkewajiban memasarkan produk atau jasa. Diantara pihak-pihak yang bermitra terdapat kesepakatan tentang target-target yang harus tercapai dan besarnya fee atau komisi yang diterima oleh pihak yang memasarkan produk.

Kelebihan dari pola keagenan adalah pola ini memungkinkan dilaksanakan oleh para pengusaha kecil yang kurang kuat modalnya karena biasanya menggunakan sistem mirip konsinyasi. Berbeda dengan pola dagang umum yang justru perusahaan besarlah yang kadang-kadang lebih banyak mengeruk keuntungan dan kelompok mitra harus bermodal kuat. Kelemahan dari pola keagenan adalah :

a. Usaha kecil mitra menetapkan harga produk secara sepihak sehingga harganya menjadi tinggi di tingkat konsumen.

b. Usaha kecil sering memasarkan produk dari beberapa mitra usaha saja sehingga kurang mampu membaca segmen pasar dan tidak memenuhi target.

Gambar 4 Pola kemitraan keagenan

sumber: Sumardjo (2004)

5. Pola kemitraan kerjasama operasional agribisnis (KOA)

Pola kemitraan KOA merupakan pola hubungan bisnis yang dijalankan oleh kelompok mitra dan perusahaan mitra. Kelompok mitra menyediakan lahan, sarana, dan tenaga kerja, sedangkan pihak perusahaan mitra menyediakan biaya, modal, manajemen, dan pengadaan sarana produksi untuk mengusahakan atau membudidayakan suatu komoditas pertanian. Di samping itu, perusahaan mitra juga sering berperan sebagai penjamin pasar produk dengan meningkatkan nilai tambah produk melalui pengolahan dan pengemasan. Kelebihan dari pola KOA adalah sama dengan keunggulan sistem inti plasma. Pola KOA ini paling banyak ditemukan pada masyarakat pedesaan, antara usaha kecil di desa dengan usaha rumah tangga dalam bentuk sistem bagi hasil. Sedangkan kelemahan dari pola KOA adalah :

a. Pengambilan untung oleh perusahaan mitra yang menangani aspek pemasaran dan pengolahan produk terlalu besar sehingga dirasakan kurang adil oleh kelompok usaha kecilnya.

b. Perusahaan mitra cenderung monopsoni sehingga memperkecil keuntungan yang diperoleh pengusaha kecil mitranya.

c. Belum ada pihak ketiga yang berperan efektif dalam memecahkan masalah.

Kelompok Mitra

Konsumen/Masyarakat

Perusahaan Mitra Memasok

(26)

Gambar 5 Pola kemitraan kerjasama operasional agribisnis

sumber: Sumardjo (2004)

Direktorat Pengembangan Usaha dan Investasi Kementrian Pertanian (2011) juga menyatakan bahwa persyaratan pelaksanaan kemitraan yang harus dipenuhi baik oleh kelompok mitra/petani mitra maupun perusahaan mitra sebagai berikut : 1. Kelompok mitra/petani mitra yang akan menjadi mitra usaha diutamakan yang

telah siap melakukan kemitraan usaha, dengan indikator antara lain mempunyai kelembagaan usaha dan sistem manajemen yang memadai, cukup berpengalaman dalam bidang usaha yang dijalani, telah mendapat pembinaan dari Pemerintah dan atau lembaga yang kompeten.

2. Perusahaan mitra harus memenuhi syarat sebagai berikut :

a. Mempunyai itikad baik dalam mambantu usaha petani dan pengusaha kecil sektor pertanian seperti kelompok tani/Gapoktan dan Koperasi Tani.

b. Memiliki teknologi dan manajemen yang baik. c. Menyusun rencana kemitraan usaha.

d. Berbadan hukum dan memiliki kualifikasi usaha yang baik.

3. Kemitraan usaha pertanian dilakukan dengan penandatanganan perjanjian kerjasama.

4. Isi pokok perjanjian kerjasama mencakup : a) Kewajiban dan hak masing-masing pihak (termasuk hak dan tanggung jawab pihak Fasilitator/Dinas); b) Persyaratan; c) Ketentuan mengenai harga; d) Jangka waktu; e) Pembagian risiko penyelesaian bila terjadi perselisihan, dan f) Klausula lainnya yang memberikan kepastian hukum bagi masing-masing pihak.

5. Dalam melaksanakan kemitraan, Kelompok Mitra/Petani Mitra dapat memanfaatkan fasilitas kredit program dari pemerintah, sedangkan Perusahaan Mitra dapat bertindak sebagai avalis (penjamin kredit) bagi Kelompok Mitra/Petani Mitra dengan ketentuan yang disepakati bersama antara para pihak.

6. Dalam melaksanakan kemitraan, Perusahaan Mitra dapat memanfaatkan kredit perbankan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

7. Pembinaan oleh instansi Pembina teknis baik pusat maupun di daerah antara lain bertujuan untuk menyiapkan Kelompok Mitra agar siap dan mampu melakukan kemitraan dan mengawal berlangsungnya kemitraan yang adil dan efektif bagi para pihak yang bermitra.

8. Pembinaan dilakukan dalam bentuk advokasi dan pemberian konsultasi, bimbingan teknis, temu usaha, promosi dan pemberian penghargaan.

Kelompok Mitra Perusahaan Mitra

- lahan - sarana - teknologi

(27)

Direktorat Pengembangan Usaha dan Investasi Kementrian Pertanian (2011) menyatakan kemitraan merupakan perpaduan antara risiko yang diberikan dengan hasil atau insentif yang diterima oleh masing-masing pihak yang bermitra. Keseimbangan ini akan terus mewarnai perjalanan kemitraan. Dengan demikian, bagi pihak-pihak yang bermitra harus ada kesanggupan untuk memikul beban risiko yang dihadapi bersama selain menikmati keuntungan secara bersama. Keseimbangan ini harus terus ditumbuhkembangkan sebagai penjabaran dari aturan praktik-praktik bisnis secara umum. Kesanggupan untuk mengambil risiko dari suatu usaha merupakan awal dari keberhasilan kemitraan.

Dalam pelaksanaannya begitu banyak faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan dan kegagalan pengembangan kemitraan usaha agribisnis. Faktor-faktor tersebut tidak terlepas dari : sumberdaya manusia, manajemen dan teknis pelaksanaan kemitraan, mental dan sikap pelaksana kemitraan, keterlibatan pelaksana kemitraan, masalah lingkungan dan keamanan, fasilitas/sarana dan prasaranan, serta peraturan/kebijakan Pemerintah Pusat dan Daerah.

1. Faktor Keberhasilan

a. Perusahaan mitra dapat berlaku sebagai mitra yang baik sesuai dengan prinsip kemitraan yaitu saling menguntungkan, saling memerlukan dan saling memperkuat, apabila melakukan antara lain :

1) Bimbingan teknis dan manajemen bagi Kelompok Mitra.

2) Membantu memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh Kelompok Mitra seperti masalah pembiayaan, teknologi dan pemasaran.

b. Masing-masing pihak mematuhi atau melaksanakan secara konsisten ketentuan-ketentuan yang tealh disepakati bersama.

2. Faktor Kegagalan

a. Adanya kesenjangan komunikasi dan kurangnya keterbukaan antara Kelompok Mitra dengan Perusahaan Mitra, seperti masalah harga, informasi pasar dan lain-lain.

b. Salah satu pihak tidak dapat memenuhi pasal-pasal perjanjian dan atau persyaratan yang telah disepakati.

c. Salah satu pihak terpengaruh oleh tawaran peluang dari pihak lain untuk mengingkari perjanjian dan persyaratan yang telah disepakati.

d. Salah satu pihak tidak mematuhi peraturan/kebijakan pemerintah.

e. Lingkungan usaha yang kurang kondusif, seperti ketentuan yang kontra produktif/menyebabkan inefisiensi (misalnya pungutan yang tidak rasional), gangguan keamanan dan lain-lain.

Kegagalan yang terjadi pada kemitraan usaha agribisnis sering kali disebabkan karena pondasi dari kemitraan yang kurang kuat, bukan atas kebutuhan untuk kemajuan dan perkembangan bersama dari pihak-pihak yang bermitra. Selain itu, meskipun kemitraan dilaksanakan berdasarkan kemauan kedua belah pihak, namun jika kurang didasari oleh etika bisnis, maka kemitraan tersebut tidak dapat berjalan dengan baik. Lemahnya manajemen dan penguasaan teknologi yang disebabkan oleh lemahnya sumberdaya manusia yang dimiliki Kelompok Mitra juga sering menjadi faktor kegagalan.

(28)

diperlukan sebagai fasilitator sekaligus Pembina/pendamping baik secara teknis maupun manajemen.

Perhatian Perusahaan Mitra kepada Kelompok Mitra diharapkan tidak hanya sebagai mitra dalam hubungan bisnis, melainkan juga dalam hubungan sosial, sehingga Kelompok Mitra mempunyai keterikatan sosial dan emosional dengan Perusahaan Mitra. Komunikasi yang efektif dan keterbukaan sangat diperlukan agar kemitraan tersebut dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan serta berkelanjutan. Pertukaran informasi secara bebas oleh pelaku usaha yang bermitra akan melahirkan suatu idea tau gagasan yang cemerlang yang selanjutnya dapat menjembatani kesenjangan antara kedua belah pihak serta memacu kreativitas, sehingga berdampak pada kegiatan atau usaha yang dilakukan.

Konsep Usahatani

Soekartawi (2002) menyebutkan bahwa ilmu usahatani ialah ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang mengalokasikan sumberdaya yang ada secara efektif dan efisien untuk tujuan memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu tertentu. Suratiyah (2009) menyatakan bahwa sebagai ilmu pengetahuan, ilmu usahatani merupakan ilmu yang mempelajari cara-cara petani menentukan, mengorganisasikan, dan mengkoordinasikan penggunaan faktor-faktor produksi seefektif dan seefisien mungkin sehingga usaha tersebut memberikan pendapatan semaksimal mungkin. Menurut Hernanto (1989), usahatani merupakan organisasi alam, tenaga kerja, modal dan pengelolaan yang ditujukan kepada produksi di lapangan pertanian, organisasi itu ketatalaksanaannya berdiri sendiri dan sengaja diusahakan oleh seorang atau sekumpulan orang, segolongan sosial, baik yang terikat secara geologis, politik, maupun teritorial sebagai pengelolaannya.

Hernanto (1989) juga menyatakan empat unsur pokok atau faktor-faktor produksi dalam usahatani yaitu pertama lahan. Lahan usahatani dapat berupa tanah pekarangan, tegalan, sawah dan sebagainya. Lahan yang digunakan dalam usahatani dapat diperoleh dari berbagai sumber, antara lain dengan membeli, menyewa, menyakap, warisan, wakaf atau membuka lahan sendiri.

Faktor kedua adalah tenaga kerja. Tenaga kerja menjadi pelaku dalam usahatani menyelesaikan berbagai macam kegiatan produksi. Tiga jenis tenaga kerja antara lain tenaga kerja manusia, tenaga kerja ternak dan tenaga kerja mekanik. Tenaga kerja manusia dibedakan atas tenaga kerja pria, wanita dan anak-anak. Kerja manusia dipengaruhi oleh umur, pendidikan, keterampilan, pengalaman, tingkat kecukupan, tingkat kesehatan, dan faktor alam seperti iklim, dan kondisi lahan usahatani. Jika terjadi kekurangan tenaga kerja, petani memperkerjakan buruh yang berasal dari luar keluarga dengan memberi balas jasa atau upah. Sehingga sumber tenaga kerja dalam usahatani dapat berasal dari dalam dan luar keluarga.

(29)

berlangsung. Sumber modal dapat diperoleh dari milik sendiri, pinjaman atau kredit (kredit bank, kerabat, dan lain-lain), warisan, usaha lain atau kontrak sewa.

Faktor keempat adalah pengelolaan atau manajemen. Manajemen adalah kemampuan untuk mencukupi keinginan manusia di dunia yang rentan akan risiko dan ketidakpastian. Pengelolaan usahatani adalah kemampuan petani menentukan, mengorganisir dan mengkoordinasikan faktor-faktor produksi yang dikuasai sebaik-baiknya dan mampu memberikan produksi pertanian sebagaimana yang diharapkan.

Hernanto (1989) menyatakan bahwa pendapatan adalah balas jasa dari kerja sama faktor-faktor produksi lahan, tenaga kerja, modal dan pengleloaan. Pendapatan dapat didefinisikan sebagai sisa dari pengurangan nilai penerimaan yang diperoleh dari biaya yang dikeluarkan. Untuk mengukur keberhasilan usahatani dapat dilakukan dengan melakukan analisis pendapatan usahatani. Dengan melakukan analisis ini maka dapat diketahui gambaran usahatani saat ini sehingga dapat melakukan evaluasi untuk perencanaan kegiatan usahatani pada masa yang akan datang. Untuk menganalisis pendapatan usahatani diperlukan informasi mengenai keadaan penerimaan dan pengeluaran selama jangka waktu yang telah ditetapkan.

Penerimaan usahatani adalah nilai produksi yang diperoleh dalam jangka waktu tertentu dan merupakan hasil perkalian antara jumlah produksi total dengan harga satuan dari hasil produksi tersebut (Hernanto 1989). Penerimaan usahatani dibagi menjadi :

1. Penerimaan Tunai Usahatani

Penerimaan tunai usahatani adalah nilai yang diterima dari penjualan produk usahatani.

2. Penereimaan Total Usahatani

Penerimaan total usahatani adalah penerimaan dalam jangka waktu (biasanya satu tahun atau satu musim), baik yang dijual (tunai) maupun yang tidak dijual (tidak tunai seperti konsumsi keluarga, bibit, pakan ternak).

Pengeluaran usahatani adalah nilai penggunaan faktor-faktor produksi dalam melakukan proses produksi usahatani. Pengeluaran usahatani dibagi menjadi :

1. Biaya Tunai Usahatani

Biaya tunai merupakan sejumlah uang yang dibayarkan untuk pembelian barang dan jasa yang menjadi masukan produksi. Biaya tunai dalam usahatani dibagi dua macam yaitu biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap adalah biaya untuk sarana produksi yang diperlukan dalam berproduksi dan tidak langsung mempengaruhi jumlah produksi. Sedangkan biaya variabel adalah biaya untuk sarana produksi yang dipakai dalam proses produksi yang secara langsung mempengaruhi jumlah produksi dan penggunaan habis terpakai dalam satu kali proses produksi.

2. Biaya yang Diperhitungkan

Biaya yang diperhitungkan merupakan nilai pemakaian barang dan jasa yang dihasilkan dan berasal dari usahatani itu sendiri. Biasanya peralatan maupun sarana penunjang tersebut tidak dibeli setiap musim tanam atau siklus produksi karena masih bisa digunakan beberapa kali.

(30)

ini menunjukkan besar penerimaan usahatani yang akan diperoleh petani untuk setiap rupiah biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan usahatani. Semakin besar nilai R/C rasio maka akan semakin besar pula penerimaan usahatani yang diperoleh untuk setiap rupiah yang dikeluarkan.

Kegiatan usahatani dikategorikan efisien jika nilai R/C ratio > 1, artinya setiap tambahan biaya yang akan dikeluarkan akan menghasilkan tambahan penerimaan yang lebih besar daripada tambahan biaya sehingga kegiatan usahatani menguntungkan. Sebaliknya kegiatan usahatani dikategorikan tidak efisien jika memiliki nilai R/C ratio < 1, yang berarti untuk setiap tambahan biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan tambahan penerimaan yang lebih kecil daripada tambahan biaya atau kegiatan usahatani merugikan. Sedangkan untuk kegiatan usahatani yang memiliki R/C ratio = 1, berarti kegiatan usahatani berada pada keuntungan normal.

Usahatani Tebu

Tanaman tebu tergolong tanaman perdu dengan nama latin Saccharum officinarum. Tanaman tebu tumbuh didaerah tropika dan sub tropika sampai batas garis isoterm 200C yaitu antara 190 LU – 350 LS. Kondisi tanah yang baik bagi tanaman tebu adalah yang tidak terlalu kering dan tidak terlalu basah, selain itu akar tanaman tebu sangat sensitif terhadap kekurangan udara dalam tanah sehingga pengairan dan drainase harus sangat diperhatikan. Drainase yang baik dengan kedalaman sekitar 1 meter memberikan peluang akar tanaman menyerap air dan unsure hara pada lapisan yang lebih dalam sehingga pertumbuhan tanaman pada musim kemarau tidak terganggu. Drainase yang baik dan dalam juga dapat menyalurkan kelebihan air dimusim penghujan sehingga tidak terjadi genangan air yang dapat menghambat pertumbuhan tanaman karena berkurangnya oksigen dalam tanah.

Dilihat dari jenis tanah, tanaman tebu dapat tumbuh baik pada berbagai jenis tanah seperti tanah alluvial, grumosol, latosol dan regusol dengan ketinggian antara 0-1400 m diatas permukaan laut. Akan tetapi lahan yang paling sesuai adalah kurang dari 500 m diatas permukaan laut. Sedangkan pada ketinggian ≥ 1200 m diatas permukaan laut pertumbuhan tanaman relatif lambat. Kemiringan lahan sebaiknya kurang dari 8 persen meskipun pada kemiringan sampai 10 persen dapat juga digunakan untuk areal yang dilokalisir. Kondisi lahan terbaik untuk tebu adalah berlereng panjang, rata dan melandai sampai 2 persen apabila tanahnya ringan dan sampai 5 persen apabila tanahnya lebih berat.

Varietas tebu yang digunakan harus memperhatikan pemilihan sifat-sifat varietas unggul, yaitu memiliki potensi produksi gula yang tinggi melalui bobot tebu dan rendemen yang tinggi, memiliki produktivitas yang stabil dan mantap, memiliki ketahanan yang tinggi untuk keprasan dan kekeringan, serta tahan terhadap hama dan penyakit. Varietas tebu berdasarkan masa kemasakannya dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu :

1. Varietas Genjah (masak awal), mencapai masak optimal ± 8-10 bulan. Contoh : PS 865 dan PSBM 901

(31)

3. Varietas Dalam (masak lambat), mencapai masak optimal pada umur lebih dari 12 bulan. Contoh : Kdg Kencana, PS 864, PS 891 dan PS 951

Menurut M. Syakir (2010), tebu bibit dibudidayakan melalui beberapa tingkat kebun bibit yaitu berturut-turut dari kebun bibit pokok (KBP), kebun bibit nenek (KBN), kebun bibit induk (KBI), dan kebun bibit datar (KBD). KBP yang merupakan kebun bibit tingkat I menyediakan bibit bagi KBN. Bahan tanam untuk KBP merupakan varietas introduksi yang sudah lolos seleksi, misalnya varietas unggul yang dilepas oleh P3GI. Penanaman KBP disentralisir disuatu tempat agar dapat dijaga kemurniannya.

Kebun bibit nenek (KBN) merupakan kebun bibit tingkat II yang menyediakan bahan tanam bagi KBI. Kebun bibit ini diusahakan oleh institusi penelitian secara tersentralisir untuk menjaga kemurnian dan kesehatannya. Kebun bibit induk (KBI) merupakan kebun bibit tingkat III yang menyediakan bahan tanam bagi KBD. Luasan KBI yang lebih besar daripada KBP dan KBN mengharuskan KBI diselenggarakan dilokasi yang tersebar. Varietas yang ditanam pada KBI harus sudah mencerminkan komposisi jenis pada tanaman tebu giling yang akan datang.

Kebun bibit datar (KBD) merupakan kebun bibit tingkat IV yang menyediakan bahan tanaman bagi kebun tebu giling (KTG). Lokasi KBD hendaknya sedekat mungkin dengan lokasi yang akan dijadikan KTG. Varietas yang ditanam di KBD hendaknya antara 1-3 jenis saja untuk mempermudah menjaga kesehatan kemurnian jenisnya.

Melalui proses seleksi bertingkat yang dilakukan dari satu tingkat kebun bibit ketingkat berikutnya, diharapkan bibit yang akan ditanam di kebun tebu giling (KTG) memiliki kualitas yang baik. Bibit tebu yang baik adalah bibit yang berumur 6-7 bulan, tidak tercampur dengan varietas lain, bebas dari hama penyakit dan tidak mengalami kerusakan fisik. Untuk memenuhi kebutuhan bibit untuk KTG, perlu diatur komposisi antara KBD dengan KTG sebanyak 1:5, artinya dari setiap 1 ha KBD dapat dihasilkan bibit tebu untuk 5 ha KTG.

Bibit tebu diambil dari batang tebu dengan 2-3 mata tunas yang belum tumbuh. Bibit ini disebut juga dengan bibit stek batang/bagal. Cara lain yang kadang digunakan adalah dengan memakai pucuk batang tebu dengan dua atau lebih mata, bibit ini disebut bibit stek pucuk/top stek. Standar kebun bibit yang harus dipenuhi untuk Kebun Bibit Pokok (KBP), Kebun Bibit Nenek (KBN), Kebun Bibit Induk (KBI) dan Kebun Bibit Datar (KBD) adalah:

1. Tingkat kemurnian varietas untuk KBP dan KBN harus 100 persen, sedangkan untuk KBI > 98 persen dan KBD > 95 persen.

2. Bebas dari luka api, penyakit blendok, pokkah bung, mosaik dan lain-lain. Toleransi gejala serangan < 5 persen.

3. Gejala serangan penggerek batang < 2 persen dan gejala serangan hama lainnya < 5 persen.

4. Lokasi kebun bibit dipinggir jalan, lahan subur, pengairan terjamin dan bebas dari genangan.

Sedangkan standar kualitas bibit dari varietas unggul yang harus dipenuhi adalah:

(32)

4. Mata tunas masih dorman, segar dan tidak rusak 5. Primordia akar belum tumbuh

6. Bebas dari penyakit pembuluh

Uraian mengenai budidaya tebu menurut M. Syakir (2010) adalah sebagai berikut :

1. Pembersihan Lahan

Pembersihan dan persiapan lahan bertujuan untuk membuat kondisi fisik dan kimia tanah sesuai untuk perkembangan perakaran tanaman tebu. Tahap pertama yang harus dilakukan pada lahan semak belukar dan hutan adalah penebasan atau pembabatan untuk membersihkan semak belukar dan kayu-kayu kecil. Setelah tahap pembabatan selesai dilanjutkan dengan tahap penebangan pohon yang ada dan menumpuk hasil tebangan. Pada tanah bekas hutan, kegiatan pembersihan lahan dilanjutkan dengan pencabutan sisa akar pohon.

Pembersihan lahan semak belukar dan hutan untuk tanaman tebu baru (plant cane/PC) secara prinsip sama dengan pembersihan lahan bekas tanaman tebu yang dibongkar untuk tanaman tebu baru (ratoon plant cane/RPC). Akan tetapi pada PC sedikit lebih berat karena tata letak kebun, topografi maupun struktur tanahnya masih belum sempurna, selain itu terdapat pula sisa-sisa batang/perakaran yang mengganggu pelaksanaan kegiatan.

2. Penyiapan Lahan

Areal pertanaman tebu dibagi per rayon dengan luas antara 2 500-3 000 ha per rayon. Setiap rayon dibagi per blok yang terdiri dari 10 petak, dengan tiap petak berukuran sekitar 200 m x 400 m (8 ha). Antar blok dibuat jalan kebun dengan lebar 12 m dan antar petak dibuat jalan produksi dengan lebar 8 m. Kegiatan penyiapan lahan terdiri dari pembajakan pertama, pembajakan kedua, penggaruan dan pembuatan kairan. Pembajakan pertama bertujuan untuk membalik tanah serta memotong sisa-sisa kayu dan vegetasi lain yang masih tertinggal. Peralatan yang digunakan adalah Rome Harrow 20 disc

berdiameter 31 inci dan Bulldozer 155 HP untuk menarik. Pembajakan dimulai dari sisi petak paling kiri. Kedalaman olah sekitar 25-30 cm dengan arah bajakan menyilang barisan tanaman tebu sekitar 45o. Kegiatan ini rata-rata membutuhkan waktu sekitar 6-7 jam untuk satu petak (8 ha).

Pembajakan kedua dilaksanakan tiga minggu setelah pembajakan pertama. Arah bajakan memotong tegak lurus hasil pembajakan pertama dengan kedalaman olah 25 cm. Peralatan yang digunakan adalah disc plow 3-4 disc berdiameter 28 inci dengan traktor 80-90 HP untuk menarik. Penggaruan bertujuan untuk menghancurkan bongkahan-bongkahan tanah dan meratakan permukaan tanah. Penggaruan dilakukan menyilang dengan arah bajakan. Peralatan yang digunakan adalah Baldan Harrow dan traktor 140 HP untuk menarik. Kegiatan ini rata-rata membutuhkan waktu sekitar 9-10 jam untuk satu petak (8 ha).

(33)

3. Penanaman

Kebutuhan bibit tebu per ha antara 60-80 kuintal atau sekitar 10 mata tumbuh per meter kairan. Sebelum ditanam bibit perlu diberi perlakuan sebagai berikut:

a. Seleksi bibit untuk memisahkan bibit dari jenis-jenis yang tidak dikehendaki.

b. Sortasi bibit untuk memilih bibit yang sehat dan benar-benar akan tumbuh serta memisahkan bibit bagal yang berasal dari bagian atas, tengah dan bawah.

c. Pemotongan bibit harus menggunakan pisau yang tajam dan setiap 3-4 kali pemotongan pisau dicelupkan kedalam lisol dengan kepekatan 20 persen. d. Memberi perlakuan air panas (hot water treatment) pada bibit dengan

merendam bibit dalam air panas (50oC) selama 7 jam kemudian merendam dalam air dingin selama 15 menit. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga bibit bebas dari hama dan penyakit.

Bibit yang telah siap tanam ditanam merata pada kairan. Penanaman bibit dilakukan dengan menyusun bibit secara over lapping atau double row atau

end to end (nguntu walang) dengan posisi mata disamping. Hal ini dimaksudkan agar bila salah satu tunas mati maka tunas disebelahnya dapat menggantikan. Bibit yang telah ditanam kemudian ditutup dengan tanah setebal bibit itu sendiri. Akan tetapi bila pada saat tanam curah hujan terlalu tinggi, maka bibit ditanam sebaiknya ditanam dengan cara baya ngambang atau bibit sedikit terlihat.

Pada tanaman ratoon, penggarapan tebu keprasan berbeda dengan terbu pertama. Pengeprasan tebu dimaksudkan untuk menumbuhkan kembali bekas tebuyang telah ditebang. Kebun yang akan dikepras harus dibersihkan dahulu dari kotoran-kotoran bekas tebangan yang lalu. Setelah kebun selesai dibersihkan barulah pengeprasan dapat dimulai. Pelaksanaan pengeprasan haruslah dilakukan secara berkelompok dan per petak.

Pengeprasan jangan dilakukan secara terpencar-pencar karena akan mengakibatkan pertumbuhan tebu tidak merata sehingga penuaannya menjadi tidak merata dan menyulitkan pemilihan dan penebangan tanaman yang akan dipanen. Seminggu setelah dikepras, tanaman diairi dan dilakukan penggarapan (jugaran) sebagai bumbun pertama dan pembersihan rumput-rumputan. Tujuan penggarapan ini adalah memperbaharui akar tua dan akar putus diganti akar muda, sehingga mempercepat pertumbuhan tunas dan anakan. Selain itu tanah menjadi longgar sehingga pupuk akan dengan mudah masuk ke dalam tanah. 4. Penyulaman

Penyulaman dilakukan untuk mengganti bibit tebu yang tidak tumbuh, baik pada tanaman baru maupun tanaman keprasan, sehingga nantinya diperoleh populasi tanaman tebu yang optimal. Untuk bibit bagal penyulaman dilakukan 2 minggu dan 4 minggu setelah tanam. Penyulaman dilaksanakan pada baris bagal 2-3 mata sebanyak dua potong dan diletakkan pada baris tanaman yang telah dilubangi sebelumnya. Apabila penyulaman tersebut gagal, penyulaman ulang harus segera dilaksanakan.

5. Pemupukan

(34)

besar dosis pupuk untuk tanaman baru maupun keprasan pada beberapa tipe tanah dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Dosis pupuk tanaman tebu berdasarkan jenis tanah dan kategori tanaman

Jenis Pemupukan Kuintal per ha

Urea SP-36 KCl

sumber : Budidaya dan Pasca Panen Tebu, Syakir (2010)

Pemupukan dilakukan dengan dua kali aplikasi. Pada tanaman baru, pemupukan pertama dilakukan saat tanam dengan 1/3 dosis urea, satu dosis SP-36 dan 1/3 dosis KCl. Pemupukan kedua diberikan 1-1.5 bulan setelah pemupukan pertama dengan sisa dosis yang ada. Pada tanaman keprasan, pemupukan pertama dilakukan 2 minggu setelah kepras dengan 1/3 dosis urea, satu dosis SP-36 dan 1/3 dosis KCl. Pemupukan kedua diberikan 6 minggu setelah keprasan dengan sisa dosis yang ada.

6. Pengendalian Hama dan Penyakit

Pengendalian hama dan penyakit dapat mencegah meluasnya serangan hama dan penyakit pada areal pertanaman tebu. Pencegahan meluasnya hama dan penyakit dapat meningkatkan produktivitas. Beberapa hama dan penyakit utama tanaman tebu adalah:

a) Hama

i. Penggerek Pucuk (Triporyza vinella F)

Penggerek pucuk menyerang tanaman tebu umur 2 minggu sampai umur tebang. Gejala serangan ini berupa lubang-lubang melintang pada helai daun yang sudah mengembang. Serangan penggerek pucuk pada tanaman yang belum beruas dapat menyebabkan kematian, sedangkan serangan pada tanaman yang beruas akan menyebabkan tumbuhnya siwilan sehinggga rendemen menurun. Pengendalian hama ini dapat dilakukan dengan memakai insektisida Carbofuran atau Petrofur yang terserap jaringan tanaman tebu dan bersifat sistemik dengan dosis 25 kg/ha ditebarkan ditanah.

ii. Uret (Lepidieta stigma F)

(35)

nicobarica. Pengendalian dilakukan secara mekanis atau khemis dengan menangkap kumbang pada sore/malam hari dengan perangkap lampu biasanya dilakukan pada bulan Oktober-Desember. Disamping itu dapat pula dengan melakukan pengolahan tanah untuk membunuh larva uret atau menggunakan insektisida carbofuran 3G.

iii. Penggerek Batang

Ada beberapa jenis penggerek batang yang menyerang tanaman tebu antara lain penggerek batang bergaris (Proceras sacchariphagus Boyer), penggerek batang berkilat (Chilotraea auricilia Dudg), penggerek batang abu-abu (Eucosma schista-ceana Sn), penggerek batang kuning (Chilotraea infuscatella Sn), dan penggerek batang jambon (Sesamia inferens Walk). Diantara hama penggerek batang tersebut penggerek batang bergaris merupakan penggerek batang yang paling penting yang hampir selalu ditemukan di semua kebun tebu.

Serangan penggerek batang pada tanaman tebu muda berumur 3-5 bulan atau kurang dapat menyebabkan kematian tanaman karena titik tumbuhnya mati. Sedang serangan pada tanaman tua menyebabkan kerusakan ruas-ruas batang dan pertumbuhan ruas diatasnya terganggu, sehingga batang menjadi pendek, berat batang turun dan rendemen gula menjadi turun pula. Tingkat serangan hama ini dapat mencapai 25 persen.

Pengendalian umumnya dilakukan dengan penyemprotan insektisida antara lain dengan penyemprotan Pestona/Natural BVR. Beberapa cara pengendalian lain yang dilakukan yaitu secara biologis dengan menggunakan parasitoid telur Trichogramma sp. dan lalat jatiroto (Diatraeophaga striatalis). Secara mekanis dengan rogesan. Kultur teknis dengan menggunakan varietas tahan yaitu PS 46, 56,57 dan M442-51. Atau secara terpadu dengan memadukan 2 atau lebih cara-cara pengendalian tersebut.

b) Penyakit

i. Penyakit mosaik

Disebabkan oleh virus dengan gejala serangan pada daun terdapat noda-noda atau garis-garis berwarna hijau muda, hijau tua, kuning atau klorosis yang sejajar dengan berkas-berkas pembuluh kayu. Gejala ini nampak jelas pada helaian daun muda. Penyebaran penyakit dibantu oleh serangga vektor yaitu kutu daun tanaman jagung, Rhopalosiphun maidis

(Anonymous 1996). Pengendalian dilakukan dengan menanam jenis tebu yang tahan, menghindari infeksi dengan menggunakan bibit sehat, dan pembersihan lingkungan kebun tebu.

ii. Penyakit busuk akar

Disebabkan oleh cendawan Pythium sp. Penyakit ini banyak terjadi pada lahan yang drainasenya kurang sempurna. Akibat serangan maka akar tebu menjadi busuk sehingga tanaman menjadi mati dan tampak layu. Pengendalian penyakit dilakukan dengan menanam varietas tahan dan dengan memperbaiki drainase lahan.

iii. Penyakit blendok

Gambar

Tabel 1  Realisasi dan proyeksi kebutuhan gula domestik 2009-2014 (juta ton)
Tabel 1 menunjukkan kebutuhan gula domestik untuk konsumsi langsung (rumah tangga) maupun industri mengalami peningkatan setiap tahun
Tabel 4 Perbandingan rata-rata produktivitas tebu dan gula
Gambar 2 Pola kemitraan subkontrak
+7

Referensi

Dokumen terkait

Efektivitas kemitraan PG Tasikmadu secara keseluruhan telah efektif;(2) Efektivitas kemitraan berdasarkan pelaksanaan program KUR, pendampingan teknis budidaya, dan

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor internal dan faktor eksternal dalam kemitraan antara Pabrik Gula Rejo Agung Baru dengan Petani Tebu

Permasalahan yang sering terjadi pada petani dalam melaksanakan kemitraan usaha pertanian adalah ketidakseimbangan pelaksanaan pola kemitraan yang dilakukan dengan

Persepsi petani terhadap kinerja kemitraan akan mempengaruhi kesuksesan dan keberlanjutan program kemitraan karena persepsi sebagai pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan

KKP-TR Kemitraan adalah Kredit Ketahanan Pangan dalam rangka pengembangan budidaya tanaman tebu rakyat yang diberikan oleh bank kepada kelompok tani yang disepakati

Permasalahan yang sering terjadi pada petani dalam melaksanakan kemitraan usaha pertanian adalah ketidakseimbangan pelaksanaan pola kemitraan yang dilakukan dengan tingkat keuntungan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: 1 Pola kemitraan yang terbangun antara petani dengan pabrik gula Takalar adalah berawal dari adanya keperluan “saling membutuhkan”, berjalan

Kerjasama dalam kemitraan melibatkan dua pihak yang saling menguntungkan, pihak pertama yaitu pengepul sebagai penyedia sarana produksi pertanian dan jaminan pasar, sedangkan pihak