• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara Kebiasaan Makan dengan Status Gizi pada Remaja di Perkotaan dan Perdesaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan antara Kebiasaan Makan dengan Status Gizi pada Remaja di Perkotaan dan Perdesaan"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA KEBIASAAN MAKAN DAN

AKTIVITAS FISIK DENGAN STATUS GIZI PADA REMAJA

DI PERKOTAAN DAN DI PERDESAAN

WENY ANGGRENNY NAINGGOLAN

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Hubungan antara Kebiasaan Makan dan Aktivitas Fisik dengan Status Gizi pada Remaja di Perkotaan dan di Perdesaan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2014

Weny Anggrenny Nainggolan

(4)
(5)

ABSTRAK

WENY ANGGRENNY NAINGGOLAN. Hubungan antara Kebiasaan Makan dan Aktivitas Fisik dengan Status Gizi Remaja di Perkotaan dan di Perdesaan. Dibimbing oleh CESILIA METI DWIRIANI.

Masalah gizi ganda tidak hanya terdapat pada masyarakat perkotaan saja akan tetapi terdapat pada masyarakat perdesaan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan kebiasaan makan dan aktivitas fisik dengan status gizi pada remaja di perkotaan dan di perdesaan. Penelitian ini menggunakan desain

cross sectional study dengan melibatkan 102 orang remaja. Terdapat perbedaan nyata (p<0.05) antara subyek di kota dan desa dalam hal usia, uang jajan, pendidikan orangtua, pendapatan keluarga, besar keluarga, frekuensi konsumsi mie, daging ayam, tahu, tempe, wortel, pisang dan jeruk, serta lama aktivitas fisik pada hari sekolah. Tidak terdapat perbedaan frekuensi makan lengkap dan kebiasaan jajan. Terdapat hubungan yang signifikan antara usia, jenis kelamin, pendidikan orangtua, besar keluarga dan pendapatan keluarga dengan status gizi (TB/U), dan hubungan jenis kelamin dengan status gizi (IMT/U), namun tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kebiasaan makan, aktivitas fisik, tingkat kecukupan energi dan zat gizi lain dengan status gizi (p>0.05).

Kata kunci: aktivitas fisik, kebiasaan makan, konsumsi pangan, remaja, status gizi.

ABSTRACT

WENY ANGGRENNY NAINGGOLAN. Association of food habit and physical activity with nutritional status of adolescent in urban and rural areas. Supervised by CESILIA METI DWIRIANI.

Double burden of nutritional problems are not only faced by urban societies but also rural societies. This study aimed to analyze association of eating habits, physical activities and nutritional status of adolescence in urban and rural areas. The study used cross sectional design involved 102 adolescences. There were significant differences (p<0.05) between subject in urban and rural in term of age, daily pocket money, parents’ educational background, family income, family size, frequency consumption of noodles, chicken, tofu, soybean, carrot, banana, orange, physical activity of school day. There was no significant difference in frequency of a having meal and habit on buying snacks. There was significant correlation between ages, genders, parents’ educational level, family size, family income and nutritional status (TB/U), as well as gender and nutritional status (IMT/U). However, there was no significant correlation between eating habits, physical activities, energy and nutrients adequacy levels and nutritional status (p>0.05).

(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi

dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat

HUBUNGAN ANTARA KEBIASAAN MAKAN DAN

AKTIVITAS FISIK DENGAN STATUS GIZI PADA REMAJA

DI PERKOTAAN DAN DI PERDESAAN

WENY ANGGRENNY NAINGGOLAN

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

(8)
(9)

Judul Skripsi : Hubungan antara Kebiasaan Makan dengan Status Gizi pada Remaja di Perkotaan dan Perdesaan

Nama : Weny Anggrenny Nainggolan NIM : I14090029

Disetujui oleh

Dr Ir Cesilia Meti Dwiriani, MSc Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Rimbawan Ketua Departemen

(10)
(11)

PRAKATA

Puji Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya sehingga skripsi yang berjudul “Hubungan antara Kebiasaan Makan dan Aktivitas Fisik dengan Status Gizi pada Remaja di SMA Perkotaan dan di SMA Perdesaan” dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan program Strata-1 Program Studi Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyadari dalam penyusunan skripsi ini tidak akan selesai tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Dr. Rimbawan selaku kepala Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

2. Ibu Dr. Ir. Cesilia Meti Dwiriani. M.Sc selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan bimbingan, dukungan, dan motivasinya.

3. Ibu Reisi Nurdiani, SP.,M.Si selaku dosen pemandu seminar dan penguji yang telah memberikan koreksi demi perbaikan skripsi.

4. Bapak Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS; Bapak Dr Hadi Riyadi, MS; Ibu Dr. Ir. Cesilia Meti Dwiriani. M.Sc; Bapak Prof. Dr. Faisal Anwar. MS dan dr Mira Dewi, M.Si sebagai tim peneliti payung yang telah membimbing dalam pengambilan data lapang.

5. Orangtua, saudara-saudara serta keluarga penulis yang telah memberikan kasih sayang, motivasi, perhatian, dan dukungan baik moril maupun materil.

6. Teman–teman sepenelitian payung : Heti Sondari, Fithriani Batubara dan Mega Seasty Handayani yang banyak membantu dalam memberikan semangat dalam menyelesaikan karya ilmiah ini.

7. Teman-teman dekat : Chairunnisa, Sarah Yuneke, Elizabeth Mayorga, Lativa dan Evi Widya Astuti yang telah memberikan dukungan dan semangat kepada penulis.

8. Teman-teman Ilmu Gizi Institut Pertanian Bogor (IPB) 2009 yang telah memberikan dukungan dan motivasi kepada penulis.

9. Teman-teman Kost BILO (Annet, Irosepa, Rielisa, Saima, Salvionita, Trieliza).

10.Seluruh civitas akademika Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan dukungan moril kepada penulis.

Bogor, Maret 2014

(12)
(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 3

KERANGKA PEMIKIRAN 3

METODE PENELITIAN 5

Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian 5

Jumlah dan Cara Penarikan Data 5

Jenis dan Cara Pengambilan Data Penelitian 6

Pengolahan dan Analisis Data 7

DEFENISI OPERASIONAL 9

HASIL DAN PEMBAHASAN 9

Gambaran Umum Lokasi Penelitian 9

Karakteristik Subyek dan Sosial Ekonomi Keluarga 10

Kebiasaan Makan 14

Asupan dan Tingkat Kecukupan Zat Gizi 19

Aktivitas Fisik 22

Status Gizi 23

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi 25 Hubungan antara Karakteristik Subyek dengan Status Gizi 25 Hubungan antara Kebiasaan Makan dengan Status Gizi 26 Hubungan antara Tingkat Kecukupan Energi dengan Status Gizi 27 Hubungan antara Tingkat Kecukupan Protein dengan Status Gizi 27 Hubungan antara Tingkat Kecukupan Lemak dengan Status Gizi 27 Hubungan antara Tingkat Kecukupan Karbohidrat dengan Status Gizi 28 Hubungan antara Aktivitas Fisik dengan Status Gizi 28

SIMPULAN DAN SARAN 28

Simpulan 28

Saran 29

DAFTAR PUSTAKA 30

(14)

DAFTAR TABEL

1 Jenis data dan cara pengumpulan data penelitian 6 2 Sebaran subyek berdasarkan karakteristik individu 11 3 Sebaran subyek berdasarkan karakteristik sosial ekonomi keluarga 13 4 Rata-rata frekuensi konsumsi pangan per minggu 14 5 Sebaran subyek berdasarkan frekuensi makan sehari 18

6 Sebaran subyek berdasarkan kebiasaan jajan 19

7 Rata-rata konsumsi dan tingkat kecukupan energi dan zat gizi 19 8 Sebaran subyek berdasarkan kategori tingkat kecukupan energi 20 9 Sebaran subyek berdasarkan kategori tingkat kecukupan protein 21 10 Sebaran subyek berdasarkan kategori tingkat kecukupan lemak 21 11 Sebaran subyek berdasarkan kategori tingkat kecukupan karbohidrat 22

12 Rata-rata alokasi waktu aktivitas fisik 22

13 Sebaran subyek berdasarkan tingkat aktivitas fisik 24

14 Sebaran subyek berdasarkan status gizi 24

15 Hubungan antara karakteristik subyek dengan status gizi 25 16 Hubungan antara karakteristik keluarga dengan status gizi 26

17 Hubungan kebiasaan makan dengan status gizi 26

18 Hubungan antara tingkat kecukupan gizi dengan status gizi 27

19 Hubungan antara aktivitas dengan status gizi 28

DAFTAR GAMBAR

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia saat ini menghadapi masalah gizi ganda, disatu sisi terjadi masalah gizi kurang dan di sisi lain juga terjadi masalah gizi lebih yang semakin meningkat. Masalah gizi ganda tidak hanya terdapat pada masyarakat perkotaan saja akan tetapi juga pada masyarakat perdesaan. Gizi pada kelompok remaja perlu mendapatkan perhatian khusus karena kekurangan dan kelebihan gizi berpengaruh besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan tubuh serta berdampak pada masalah gizi saat dewasa. Percepatan pertumbuhan yang terjadi pada remaja diiringi oleh bertambahnya aktivitas fisik menyebabkan kebutuhan zat gizi pada remaja meningkat. Seiring berkembangnya zaman, urbanisasi dan modernisasi yang terus terjadi menyebabkan perubahan gaya hidup masyarakat khususnya pada kalangan remaja. Gaya hidup remaja saat ini, akibat perkembangan teknologi cenderung lebih santai dan memiliki aktivitas yang pasif.

Merujuk pada data World Health Organization (WHO) (2003), saat ini populasi remaja di dunia telah mencapai 1.2 milyar jiwa atau sekitar 19% dari total populasi di dunia. Di Indonesia persentase populasi remaja bahkan lebih tinggi yaitu mencapai 21% dari total populasi penduduk atau sekitar 44 juta jiwa. Kebutuhan energi dan zat gizi remaja yang meningkat harus dipenuhi. Apabila konsumsi makanan tidak seimbang dengan kebutuhan energi dan zat gizi lain untuk pertumbuhan dan kegiatan-kegiatannya, maka akan terjadi defisiensi maupun kelebihan yang akhirnya dapat menghambat pertumbuhan maupun menyebabkan obesitas (Notoatmodjo 2007). Dalam masa pertumbuhan, remaja memerlukan banyak makanan yang bergizi. Perkembangan tehnologi dalam mengolah makanan dewasa ini berdampak terhadap meningkatnya ketersediaan makanan cepat saji sehingga terdapat hubungan erat antara kualitas pangan dan kesehatan manusia yang akan berdampak terhadap kualitas sumber daya manusia.

(16)

2

2.7%. Dewasa ini permasalahan obesitas mengalami pergeseran, awalnya obesitas cenderung dikaitkan dengan masyarakat perkotaan namun sekarang obesitas juga dialami oleh masyarakat perdesaan. Berdasarkan data Riskesdas 2010 (Depkes 2010) prevalensi wanita remaja yang mengalami obesitas di desa hampir sama dengan di kota. Prevalensi status gizi dalam kategori kurus pada remaja usia 16-18 tahun di Jawa Barat sebesar 8%. Secara nasional prevalensi kekurusan pada remaja umur 16-18 tahun adalah 8.9 % terdiri atas 1.8% sangat kurus dan 7.1% kurus.

Masalah gizi kurang merupakan keadaan yang terjadi akibat tidak terpenuhinya asupan makanan sehingga mengalami kekurangan salah satu zat gizi atau lebih di dalam tubuh. Akibatnya adalah menurunya kekebalan tubuh serta terjadinya gangguan dalam proses pertumbuhan dan perkembangan. Obesitas membawa dampak buruk bagi kesehatan yang sangat berhubungan dengan berbagai macam penyakit degeneratif seperti penyakit kardiovaskular, diabetes melitus, artritis, penyakit kantong empedu, gangguan fungsi pernapasan, dan berbagai gangguan kulit (Arisman 2004).

Dampak jangka panjang stunted pada masa kanak-kanak dapat mempengaruhi ukuran tubuh seseorang pada masa remaja bahkan pada masa dewasa. Salah satu konsekuensi utama ukuran tubuh pendek pada remaja yang sekolah adalah pada kecerdasan. Pada saat dewasa hal ini akan meyebabkan berkurangnya kapasitas kerja yang selanjutnya akan berdampak pada produktivitas kerja (Gibson 2005). Kebiasaan konsumsi yang tidak baik akan mempengaruhi asupan zat gizi, hal ini dilihat dari kondisi fisik remaja yang mempunyai tubuh yang berbadan gemuk, kurus, tinggi dan pendek. Penelitian hubungan kebiasaan makan dan aktivitas fisik dengan status gizi yang telah dilakukan sebelumnya (Dwiningsih 2013) hanya dilakukan dalam lingkup wilayah kabupaten sehingga peneliti tertarik melihat perbedaan di kota dan desa yang sebenarnya dengan lingkup wilayah yang lebih besar. Berdasarkan permasalahan yang telah diungkapkan, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan

judul “Hubungan antara Kebiasaan Makan dan Aktivitas Fisik dengan

Status Gizi Remaja di SMA Perkotaan dan di SMA Perdesaan”. Tujuan

Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan antara kebiasaan makan dan aktivitas fisik dengan status gizi pada remaja di perkotaan dan perdesaan.

Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mempelajari karakteristik subyek dan keluarga di perkotaan dan perdesaan.

2. Menganalisis kebisaan makan, asupan dan tingkat kecukupan gizi subyek di perkotaan dan perdesaan.

(17)

3 4. Menganalisis status gizi subyek di perkotaan dan di perdesaan.

5. Menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi subyek di perkotaan dan perdesaan.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dan informasi mengenai hubungan antara kebiasaan makan dan aktivitas fisik dengan status gizi pada remaja. Informasi tersebut diharapkan dapat digunakan sebagai masukan untuk mengambil kebijakan terkait gizi pada remaja untuk memperbaiki kebiasaan makan dan status gizi remaja.

KERANGKA PEMIKIRAN

Remaja merupakan masa transisi anak dan dewasa. Selama remaja, terjadi perubahan hormonal yang mempercepat pertumbuhan. Status gizi adalah keadaan tubuh seseorang yang dipengaruhi oleh asupan makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Penilaian status gizi dalam penelitian ini diukur menggunakan antropometri tinggi badan menurut umur (TB/U) dan indeks massa tubuh menurut umur (IMT/U). Banyak faktor yang mempengaruhi status gizi baik secara langsung maupun tidak langsung antara lain adalah kebiasaan makan, aktivitas fisik, karakteristik remaja, karakteristik keluarga, dan genetik. Karakteristik remaja meliputi umur, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan dan uang jajan. Status gizi remaja di kota dan di desa memiliki perbedaan nyata yaitu prevalensi kegemukan lebih tinggi di perkotaan sedangkan kependekan lebih tinggi di perdesaan. Hal ini diduga dipengaruhi pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan keluarga, besar keluarga di kota lebih baik dari pada di desa akan mempengaruhi karakteristik subyek seperti uang jajan di SMA kota lebih tinggi daripada di desa dan kebiasaan makan yang terlihat dari frekuensi makan per hari, frekuensi konsumsi bahan pangan per minggu, kebiasaan jajan, dan konsumsi pangan. Salah satu faktor yang mempengaruhi status gizi remaja adalah aktivitas fisik. Aktivitas fisik remaja dikota yang lebiha aktif dari pada di desa yang terlihat dari adanya kegiatan esktrakurikuler yang disediakan disekolah. Asupan energi yang berlebih dan tidak diimbangi dengan pengeluaran energi yang seimbang (dengan kurang melakukan aktivitas fisik) akan menyebabkan terjadinya penambahan berat badan.

(18)

4

penyakit infeksi dapat dijelaskan melalui pertahanan tubuh dimana seseorang yang mengalami kekurangan gizi dengan asupan energi dan protein yang rendah, maka kemampuan tubuh untuk membentuk protein yang baru berkurang yang akan berpengaruh pada pertumbuhan.

Berikut bagan beberapa faktor yang memicu keadaaan status gizi remaja.

Keterangan

: Variabel yang diteliti : Hubungan yang diteliti : Variabel yang tidak diteliti : Hubungan yang tidak diteliti

Gambar 1 Skema kerangka hubungan antara kebiasaaan makan dan aktivitas fisik dengan status gizi pada remaja di perkotaan dan perdesaan.

Kota-Desa

Karakteristik Keluarga Pendidikan orangtua Pekerjaan orangtua Pendapatan keluarga Jumlah anggota keluarga

Karakteristik Anak Jenis Kelamin

Berat badan Tinggi badan Uang jajan Umur

Kebiasaan Makan Frekuensi makan per hari

Frekuensi konsumsi bahan pangan per minggu Kebiasaan jajan

Konsumsi pangan

Status Gizi TB/U

IMT/U

Aktivitas fisik Genetik

(19)

5 METODE PENELITIAN

Desain, Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini menggunakan data sekunder dari penelitian yang berjudul Lifestyle and Nutrition Aspect of Rural and Urban Adolescent

(Gaya Hidup dan Status Gizi pada Remaja di Perkotaan dan Perdesaan) yang disponsori oleh Neys van Hoogstraten Foundation The Netherland

(Dwiriani et al. 2013). Desain penelitian yang digunakan adalah Cross-Sectional Study. Data penelitian Dwiriani et al. (2013) yang digunakan dalam penelitian ini adalah dari dua SMA yaitu SMAN 109 Jakarta, yang mewakili daerah perkotaan dan SMAN 01 Jasinga, yang mewakili daerah perdesaan. Pemilihan sekolah didasarkan pertimbangan dari Dinas Pendidikan Kota Jakarta Selatan dan Kecamatan Jasinga. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli-Desember 2013.

Jumlah dan Cara Pemilihan Subyek

Subyek pada penelitian ini adalah remaja laki-laki dan perempuan berusia 15-18 tahun yang duduk di bangku kelas X di SMA 109 Jakarta dan SMA N 1 Jasinga. Metode yang digunakan dalam penarikan subyek adalah

Simple Random Sampling. Perhitungan minimal subyek dilakukan menggunakan rumus Lemeshow et al. (1997) dan menggunakan prevalensi

stunting sebagai ukuran masalah gizi yang ada pada remaja. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:

n ≥ [(Z1-α)2 x p (1-p)] d2

n ≥ [(1.96)2 x 0.201 (1-0.201)] (0.08)2

n ≥ 96 orang Keterangan:

Z = 1.96

n = jumlah subyek minimal yang diperlukan

p = prevalensi stunting pada remaja di DKI Jakarta berdasarkan Riskesdas (2010), yaitu 20.1 %

α = derajat kepercayaan (0.05) d = presisi (limit error = 8% atau 0.8)

Jumlah subyek pada masing-masing sekolah yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 51 siswa.

Jenis dan Cara Pengambilan Data

(20)

6

pangan per minggu dan konsumsi pangan), aktivitas fisik, berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) dengan pengukuran. Penelitian Dwiriani et al. (2013) mengumpulkan data karakteristik subyek dan keluarga menggunakan kuesioner yang diisi sendiri oleh subyek setelah mendapat penjelasan dari peneliti dan metode wawancara untuk data kebiasaan makan dan aktivitas fisik serta dengan metode pengukuran untuk data BB dan TB.

Tabel 1 menunjukkan jenis serta cara pengumpulan data. Data konsumsi pangan diperoleh dengan menggunakan metode repeated24 hour recall yaitu pada satu hari sekolah dan satu hari libur, sedangkan frekuensi pangan menggunakan food frequency quesionnaire. Data BB diperoleh dengan penimbangan menggunakan timbangan injak digital kapasitas 200 kg dengan ketelitian 0.1 kg, dan data TB diukur menggunakan microtoise

kapasitas 200 cm dengan ketelitian 0.1 cm .

Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data penelitian

No Variabel Data yang Dikumpulkan Cara Pengumpulan Data

1. Karakteristik subyek

a. Jenis Kelamin Pengisian kuesioner oleh subyek setelah mendapat

3. Status Gizi a. Berat Badan (kg)

Pengukuran menggunakan

a. Frekuensi makan per hari Pengisian kuesioner oleh subyek setelah mendapat

Proses pengolahan meliputi editing, coding, entry dan analisis. Proses editing adalah pemeriksaan seluruh kuesioner setelah data terkumpul.

Coding adalah pemberian angka atau kode tertentu yang telah disepakati terhadap jawaban-jawaban pertanyaan dalam kuesioner, sehingga memudahkan pada saat memasukkan data ke komputer. Entry adalah memasukkan data jawaban kuesioner sesuai kode yang telah ditentukan untuk masing-masing variabel sehingga menjadi suatu data dasar. Cleaning

(21)

7

Microsoft Excel 2007 dan IBM SPSS 20.0 for windows. Perbedaan data kota dan desa dianalisis menggunakan Independent Sampel t-test (data

continuous normal) atau, Mann Whitney (data tidak normal) sedangkan hubungan antar variabel dianalisis menggunakan uji korelasi Pearson (data normal) dan Spearman (data tidak normal).

Karakteristik subyek dan keluarga subyek dianalisis secara deskriptif. Karakteristik subyek adalah jenis kelamin, umur dan uang saku. Jenis kelamin terdiri atas laki-laki dan perempuan. Umur subyek dilihat berdasarkan tanggal lahir. Uang jajan subyek di kategori menjadi tiga yaitu < Rp7 000, Rp 7 000-Rp 14 000, dan > Rp14 000. Kategori tersebut diperoleh dengan cara mengelompokkan uang jajan subyek berdasarkan sebaran. Data aktivitas fisik pada hari sekolah dan hari libur (jam) kemudian dinyatakan dengan nilai PAR (Physical Activity Ratio) dimana untuk selanjutnya nilai PAR digunakan dalam menentukan tingkat aktivitas fisik (PAL). Tingkat aktivitas fisik diperoleh dengan mengalikan PAR dengan lama melakukan sebuah aktivitas dibagi dengan 24 jam. Nilai PAL tersebut dibagi menjadi empat kategori yaitu sedentary (1.10-1.39), low active (1.40-1.59), active (1.60-1.89) dan very active (1.90-2.50) (Frary & Jhonson

2008). Kebiasaan makan subyek dilihat berdasarkan frekuensi makan per hari yang diklasifikasikan menjadi 1x sehari, 2x sehari, 3x sehari dan 4x sehari. Kesukan jajan dibagi menjadi dua kategori (Ya atau Tidak).

Data karakteristik keluarga berupa pendidikan orangtua, pekerjaan orangtua, besar keluarga dan pendapatan keluarga. Data pendidikan orangtua dikategorikan menurut jenjang pendidikan yang pernah diperoleh yaitu tamat SD, SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi yang kemudian dianalisis secara deskriptif. Data pekerjaan orangtua dikategorikan menjadi tidak bekerja (ibu rumah tangga untuk ibu), PNS/Polisi/ABRI, karyawan swasta, buruh, wiraswasta/pedagang, jasa (penjahit, supir, ojeg, reparasi) dan lainnya. Pendapatan orangtua dihitung berdasarkan pendapatan per bulan. Menurut BKKBN (2009) data besar keluarga dikategorikan menjadi tiga yaitu keluarga kecil dengan jumlah anggota keluarga ≤4 orang, keluarga sedang 5-6 orang, dan keluarga besar dengan jumlah anggota keluarga ≥7 orang.

(22)

8

Adapun rumus umum yang digunakan untuk mengetahui kandungan zat gizi makanan yang dikonsumsi adalah :

KGij = (Bj/100) x Gij x (BDDj/100) Keterangan :

KGij = Penjumlahan zat gizi i dari setiap bahan makanan/pangan yang dikonsumsi

Bj = Berat bahan makanan j (gram)

Gij = Kandungan zat gizi i dari bahan makanan j BDDj = % bahan makanan j yang dapat dimakan (Sumber : Hardinsyah & Briawan 1994)

Pengukuran tingkat kecukupan energi, protein dan lemak merupakan tahap lanjutan dari penghitungan konsumsi pangan. Tingkat kecukupan konsumsi merupakan persentase konsumsi aktual subyek dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan berdasarkan WNPG tahun 2004. Secara umum tingkat kecukupan zat gizi dapat dirumuskan sebagai berikut:

TKGi = (Ki/AKGi) x 100% Keterangan:

TKGi = Tingkat kecukupan zat gizi i Ki = Konsumsi zat gizi i

AKGi = Kecukupan zat gizi i yang dianjurkan (Sumber : Hardinsyah & Briawan 1994)

Pengkategorian tingkat kecukupan zat gizi makro untuk energi dan protein menurut Departemen Kesehatan (1996) adalah defisit tingkat berat (<70%), defisit tingkat sedang (70–79%), defisit tingkat ringan (80–89%), normal (90–119%) dan lebih (≥120%). Pengkategorian tingkat kecukupan lemak dan karbohidrat menurut WNPG VIII (2004) adalah lemak 20-30% dan karbohidrat 55-60%.

Status gizi subyek diukur berdasarkan Indeks Massa Tubuh menurut umur (IMT/U) yang dihitung berdasarkan data antropometri berat badan dan tinggi badan siswa. Menurut WHO (2007) klasifikasi status gizi dengan menggunakan IMT/U terdiri dari sangat kurus (Z <-3 SD), kurus (-3 SD ≤ Z < -2 SD), normal (-2 SD < Z ≤+1 SD), gemuk (+1 SD < Z < +2 SD), obesitas (Z >+2 SD). Menurut Departemen Kesehatan (2004), status gizi subyek berdasarkat TB/U di klasifikasi menjadi tiga yaitu normal (-2 SD s/d + 2 SD), pendek (< -2 SD) dan pendek sekali (< -3 SD).

Analisis data menggunakan uji statistik, yaitu uji beda t (independent samples t-test) dan Mann Whitney serta uji korelasi Rank Spearman dan

Pearson. Uji beda-t (independent samples t-test) untuk menganalisis perbedaan asupan, energi, protein, lemak, karbohidrat, tingkat kecukupan energi, tingkat kecukupan lemak, dan tingkat kecukupan karbohidrat. Uji beda (Mann Whitney) untuk menganalisis perbedaan uang jajan, pendidikan, pendapatan, besar keluarga subyek, kebiasaan makan, aktivitas fisik dan tingkat kecukupan protein. Analisis statistik uji korelasi Rank Spearman

(23)

9 sedangkan uji korelasi Pearson digunakan untuk menganalisis hubungan antara tingkat kecukupan energi dan zat gizi lain dengan status gizi.

DEFENISI OPERASIONAL

Kebiasaan makan adalah frekuensi pangan dan cara subyek memilih dan mengonsumsi makanan yang dilihat dari aspek frekuensi makan sehari, kebiasaan suka jajan, frekuensi konsumsi bahan pangan dalam satu minggu terakhir.

Aktivitas Fisik adalah gerakan yang dilakukan oleh otot-otot tubuh dan sistem penunjangnya. Aktivitas fisik terbagi atas empat kategori yaitu tidak aktif, kurang aktif, aktif dan sangat aktif.

Status Gizi adalah keadaan tubuh seseorang yang diukur secara antropometri dan ditentukan berdasarkan TB/U dengan klasifikasi sangat pendek, pendek dan normal serta berdasarkan IMT/U yang diklasifikasikan menjadi sangat kurus, kurus, normal, overweight

dan obesitas.

Remaja adalah remaja laki-laki dan perempuan berusia 15-17 tahun yang berada di bangku kelas X dan XI.

Karakteristik siswa adalah meliputi jenis kelamin, usia, berat badan, tinggi badan, dan uang jajan.

Karakteristik keluarga adalah meliputi pendapatan orangtua, pendidikan orangtua, pekerjaan orangtua, besar keluarga.

Perkotaan adalah ruang lingkup populasi sebagai lokasi penelitian dari subyek SMA kota.

Perdesaan adalah ruang lingkup populasi sebagai lokasi penelitian dari subyek SMA desa.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Sekolah SMAN 109 Jakarta

(24)

10

kelas XII, jadi kurang lebih jumlah siswa keseluruhan dari SMA hijau ini 840 murid.

SMAN 01 Jasinga

SMA Negeri 1 Jasinga merupakan sekolah dengan akreditasi A yang terletak di Jalan Sukamanah No. 3 desa Setu Kecamatan Jasinga dan berjarak sekitar 75 km ke pusat kabupaten Bogor. Daerah ini merupakan daerah perkebunan/pegunungan dengan batas sebelah utara adalah Kabupaten Lebak Propinsi Banten. Sebelah selatan berbatasan dengan kecamatan Cigudeg, sebelah timur berbatasan dengan kecamatan Tenjo dan sebelah barat berbatasan dengan kecamatan Parungpanjang.

Tenaga pengajar di SMAN 1 Jasinga terdiri atas guru tetap dan guru honorer. Jumlah tenaga pengajar sebanyak 46 orang yaitu sebanyak 25 orang guru berstatus PNS, 20 orang guru honorer dan 1 orang guru bantu daerah. Selain itu ada juga terdapat 14 orang tenaga pendukung sebagai staf tata usaha dan kepegawaian lainnya. SMAN 1 Jasinga memiliki 25 ruang kelas, ruang BK, laboratorium Biologi, Lab TIK, ruang multi media, ruang kantor guru dan Tata Usaha, ruang perpustakaan. Pada tahun pelajaran 2012/2013 SMA Negeri 1 Jasinga Bogor memiliki jumlah siswa sebanyak 991 siswa yang terdiri atas 478 orang laki-laki dan 513 orang perempuan. Kegiatan pendidikan di sekolah tidak hanya terpaku pada kegiatan belajar mengajar, namun disediakan pula beberapa program ekstrakurikuler bagi para siswa sehingga mereka dapat mengembangkan diri dengan lebih baik.

Karakteristik Subyek dan Sosial Ekonomi Keluarga Karakteristik subyek meliputi jenis kelamin, usia, uang jajan, sedangkan sosial ekonomi keluarga meliputi pendidikan orangtua, pekerjaan orangtua, pendapatan orangtua dan besar keluarga. Remaja yang menjadi subyek penelitian ini berjumlah 102 orang dengan masing-masing sekolah 51 orang.

Karakteristik subyek

Jenis kelamin subyek terdiri dari laki-laki dan perempuan yang ditampilkan pada Tabel 2. Subyek dari SMA kota dan SMA desa masing-masing memiliki jumlah yang sama yaitu terdiri dari 25 orang remaja laki-laki dan 26 orang remaja perempuan. Sebagian besar subyek (51%) adalah perempuan sedangkan sisanya (49%) adalah laki-laki. Usia remaja merupakan masa transisi dari usia anak-anak menjadi dewasa. Menurut WHO (2011), usia subyek remaja berkisar antara 12-18 tahun. Kisaran usia subyek pada penelitian ini adalah 15-17 tahun dengan rata-rata usia 15 tahun.

(25)

11 karena adanya kecenderungan untuk menyekolahkan anak di perkotaan lebih cepat.

Uang jajan merupakan bagian dari alokasi pendapatan keluarga yang diberikan pada anak untuk keperluan makan jajanan. Pemberian uang jajan menjadi suatu kebiasaaan sehingga anak dapat belajar bertanggung jawab untuk mengelola uang jajan yang dimiliki. Kisaran uang jajan subyek di SMA kota yaitu Rp 4 000-Rp 46 000. Rata-rata uang jajan subyek di SMA kota yaitu Rp 1 4000. Kisaran uang jajan subyek di SMA desa yaitu Rp 2 000-Rp 15 000. Rata-rata uang jajan subyek di SMA desa yaitu Rp 7 000. Sebagian besar remaja putri (67%) di kota dan di desa mempunyai uang jajan berkisar antara Rp 5 000 - Rp 12 000. Sebagian besar (45%) uang jajan subyek di SMA kota kategori > Rp14 000 sedangkan uang jajan subyek di SMA desa sebagian besar (49%) kategori <Rp7 000. Hasil uji beda menggunakan mann whitney menunjukkan terdapat perbedaan nyata (p=0.00) antara uang jajan subyek di SMA kota dan SMA desa yaitu uang jajan subyek di kota lebih besar dibandingkan di desa.

Tabel 2 Sebaran subyek berdasarkan karakteristik individu

Karakteristik Subyek SMA Kota SMA Desa Total Uji beda (p)

n % n % n %

Jenis Kelamin

Laki-laki 25 49 25 49 50 49.0

Perempuan 26 51 26 51 52 51.0

Total 51 100 51 100 102 100

Umur

15 tahun 37 73 21 41 58 56.9

16 tahun 13 25 28 55 41 40.2

17 tahun 1 2 2 4 3 2.9

Total 51 100 51 100 102 100.0

Kategori Uang Jajan (Rp/hari)

<7 000 6 12 25 49 31 30 0.00

7 000-14 000 22 43 23 45 45 44

>14 000 23 45 3 6 26 26

Total 51 100 51 100 102 100

Karakteristik sosial ekonomi keluarga

(26)

12

lebih baik daripada di desa. Secara keseluruhan pendidikan ibu subyek penelitian ini adalah tingkat SMA (30%). Pendidikan ibu di SMA kota sebagian besar (47%) adalah perguruan tinggi dan di SMA desa adalah tingkat SD (49%). Berdasarkan uji statistik terdapat perbedaan nyata (p=0.00) antara di SMA kota dan SMA desa yaitu pendidikan ibu subyek di kota lebih baik daripada di desa yang dapat dilihat pada Tabel 3.

Pekerjaan ayah subyek sebagian besar (29%) yaitu wiraswasta. Pekerjaan ayah subyek di SMA kota sebagian besar terdiri atas wiraswasta (37%) dan karyawan swasta (35%) sedangkan pekerjaan ayah subyek di SMA desa sebagian besar terdiri dari buruh (35%) dan wiraswasta (22%). Pekerjaan ibu subyek baik di SMA kota dan SMA desa sebagian besar tidak bekerja (63%). Persentase ibu yang tidak bekerja di desa (69%) lebih tinggi daripada di kota (57%). Ibu dari subyek di SMA kota tidak seorang pun yang memiliki pekerjaan sebagai buruh. Sementara ibu dari subyek di SMA desa tidak seorang pun yang memiliki pekerjaan sebagai karyawan swasta.

Pendapatan keluarga merupakan jumlah penghasilan yang diperoleh keluarga setiap bulannya. Pendapatan juga akan menentukan kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi. Semakin tinggi pendapatan maka semakin besar peluang untuk memilih pangan yang baik. Kisaran pendapatan keluarga subyek di SMA kota antara Rp 500 000-Rp 20 000 000 dengan rata-rata Rp 4 000 000. Kisaran pendapatan keluarga subyek di SMA desa antara Rp 300 000-Rp 9 000 000 dengan rata-rata Rp 1 000 000. Sebagian besar (51%) pendapatan keluarga remaja di SMA kota berkisar antara Rp1 000 000-Rp4 000 000. Hanya 1% yang memiliki pendapatan keluarga <Rp1 000 000 sedangkan pendapatan keluarga remaja di SMA desa sebagian besar (57%) berkisar antara Rp1 000 000-Rp4 000 000 dan 35% yang memiliki pendapatan keluarga <Rp1 000 000. Hasil uji statistik menunjukkan terdapat perbedaan nyata (p=0.00) antara pendapatan keluarga di SMA kota dan di SMA desa yaitu pendapatan keluarga subyek di kota lebih besar daripada di desa. Hal ini diduga besar kecilnya pendapatan keluarga dipengaruhi oleh jenis pekerjaan (Dwiningsih 2013).

Menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) (1998), besar keluarga adalah keseluruhan jumlah anggota keluarga yang terdiri dari suami, isteri, anak dan anggota keluarga lainnya yang tinggal bersama. Sebuah keluarga dapat dikatakan tergolong keluarga kecil jika

anggota keluarganya ≤ 4 orang, keluarga sedang jika anggota keluaraganya

(27)

13 banyak daripada di kota. Jumlah anggota keluarga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi asupan makan seseorang. Keluarga dengan banyak anak dan jarak kelahiran yang cukup dekat akan lebih banyak menimbulkan masalah gizi.

Tabel 3 Sebaran subyek berdasarkan karakteristik sosek keluarga Karakteristik dan Sosial Ekonomi

Total 51 100 51 100 102 100

Pendidikan Ibu

Total 51 100 51 100 102 100

Pekerjaan Ayah

Tidak bekerja 0 0 1 2 1 1

PNS/Polisi/ABRI 7 14 5 10 12 12

Karyawan swasta 18 35 8 16 26 25

Buruh 3 6 18 35 21 21

Wiraswasta/pedagang 19 37 11 22 30 29

Jasa 0 0 3 6 3 3

Lainnya 4 8 5 10 9 9

Total 51 100 51 100 102 100

Pekerjaan Ibu

Tidak bekerja 29 57 35 69 64 63

PNS/Polisi/ABRI 13 25 3 6 16 16

Karyawan swasta 3 6 0 0 3 3

Buruh 0 0 3 6 3 3

Wiraswasta/pedagang 3 6 9 18 12 12

Jasa 1 2 1 2 2 2

Lainnya 2 4 0 0 2 2

Total 51 100 51 100 102 100

Pendapatan keluarga (dalam 000)

≤Rp1 000 1 2 18 35 19 19

0.00

Rp1 000 – Rp4 000 26 51 29 57 55 54

> Rp 4 000 24 47 4 8 28 27

Total 51 100 51 100 102 100

Besar Keluarga

0.00

Kecil (≤4 orang) 23 45 11 22 34 33

Sedang (5-7 orang) 25 49 22 43 47 46

Besar (>7 orang) 3 6 18 35 21 21

(28)

14

Kebiasaan Makan

Kebiasaan makan subyek adalah informasi perilaku makan terhadap makanan yang dikonsumsi secara berulang dalam waktu satu minggu terakhir. Kebiasaan makan dalam penelitian ini dilihat dari aspek konsumsi berbagai pangan (FFQ) dalam waktu satu minggu, frekuensi makan sehari dan kesukaan jajan. Metode frekuensi makanan adalah untuk memperoleh data tentang frekuensi konsumsi sejumlah bahan makanan atau makanan jadi selama periode tertentu seperti hari, minggu, bulan atau tahun (Supariasa 2001). Konsumsi pangan merupakan hal penting dalam memenuhi kebutuhan zat gizi pada subyek. Konsumsi pangan yang bergizi akan membantu subyek dalam proses pertumbuhan dan perkembangan mental. Tujuan mengisi FFQ adalah melengkapi data konsumsi makanan yang tidak dapat diperoleh melalui ingatan 24 jam. Bahan pangan tersebut terdiri dari pangan pokok, pangan hewani (daging, ikan dan telur), pangan sumber protein nabati, sayuran, buah, jajanan dan lain-lain. Bahan pangan yang dicantumkan adalah jika >75% subyek (38 orang) mengonsumsi bahan pangan tersebut. Rata-rata frekuensi konsumsi bahan pangan per minggu dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Rata-rata frekuensi konsumsi pangan per minggu

No

2. Daging,ikan & telur Daging,ikan & telur

1. D.Ayam 98 2.8 (0;7) 1. D.Ayam 96 1.8 (0;4.6) 0.01

3. Pangan sumber protein nabati Pangan sumber protein nabati

(29)

15

Tabel 4 menunjukkan bahwa pangan sumber karbohidrat yang biasa dikonsumsi subyek di SMA kota adalah nasi, kentang, jagung, mie dan roti sedangkan bahan pangan sumber karbohidrat yang biasa dikonsumsi subyek di SMA desa antara lain nasi, kentang, singkong, ubi jalar, jagung, mie dan roti. Subyek di SMA kota dan di SMA desa lebih banyak mengonsumsi nasi dengan frekuensi 21 kali dalam seminggu, rata-rata berkisar antara 14 kali hingga 21 kali per minggu. Hasil uji beda menggunakan mann whitney

menunjukkan tidak terdapat perbedaan nyata (p>0.05) antara konsumsi pangan beras, kentang, jagung, dan roti di SMA kota dan di SMA desa. Namun terdapat perbedaan nyata (p<0.05) pada konsumsi mie pada subyek di SMA kota dan SMA desa. Hal ini ditunjukkan bahwa subyek di SMA desa lebih sering mengonsumsi mie dengan rata-rata 4 kali seminggu, dibanding dengan konsumsi mie oleh subyek di SMA kota dengan rata-rata 2 kali per minggu. Konsumsi bahan pangan karbohidrat subyek di desa periode seminggu terakhir lebih bervariasi daripada di kota.

Konsumsi pangan sumber protein

Protein adalah zat gizi yang berperan sebagai pembentuk jaringan baru, penghasil energi dan mempertahankan jaringan yang telah ada (Winarno 2002). Sumber protein bisa berasal dari pangan hewani dan

(30)

16

nabati. Protein hewani yang biasa dikonsumsi subyek di SMA kota adalah daging ayam, daging sapi, ikan laut, susu sapi, telur dan sosis/nugget sedangkan pangan hewani yang biasa dikonsumsi subyek di SMA desa adalah daging ayam, daging sapi, daging kambing, ikan laut, ikan pindang, ikan tawar, ikan asin, susu sapi, telur dan sosis. Berdasarkan Tabel 4 menunjukkan bahwa sebagian besar subyek (98%) di SMA kota lebih sering mengonsumsi daging ayam dan telur ayam yaitu rata-rata 2.8 kali seminggu (11 kali per bulan).

Sebagian besar subyek (98%) di SMA desa lebih sering mengonsumsi telur ayam sebagai sumber protein hewani yaitu dengan rata-rata 3.7 kali seminggu (15 kali per bulan), demikian juga dengan ikan asin rata-rata 0.9 kali seminggu (4 kali per bulan). Pangan hewani yang paling jarang dikonsumsi subyek di SMA desa adalah daging kambing sedangkan subyek di SMA kota adalah daging sapi. Hasil uji statistik menunjukkan terdapat perbedaan signifikan (p<0.05) antara konsumsi daging ayam, daging sapi, dan telur pada subyek di SMA kota dan SMA desa. Hal ini dapat dilihat bahwa frekuensi konsumsi daging ayam dan daging sapi lebih sering dikonsumsi oleh subyek di kota sedangkan frekuensi konsumsi telur ayam lebih sering dikonsumsi subyek di desa daripada di kota. Namun tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0.05) antara ikan laut dan sosis. Konsumsi protein hewani di desa lebih bervariasi daripada di kota. Diduga bahwa harga bahan pangan sumber protein hewani lebih murah di desa dibandingkan dengan di kota.

Konsumsi pangan sumber protein nabati

Sumber protein tidak hanya bersumber dari protein hewani namun juga berasal dari protein nabati. Konsumsi bahan pangan protein nabati oleh subyek di desa pada periode seminggu terakhir lebih bervariasi daripada di kota. Protein nabati yang biasa dikonsumsi oleh subyek di SMA kota adalah tahu dan tempe sedangkan subyek di desa adalah tahu, tempe, oncom, dan kacang-kacangan. Rata-rata konsumsi tahu di SMA kota adalah 2.8 kali per minggu (11 kali per bulan) dan konsumsi tempe sebanyak 1.8 kali dalam seminggu (7 kali per bulan). Tahu merupakan bahan pangan yang paling sering dikonsumsi oleh subyek (100%) di SMA desa dengan rata-rata 2.8 kali seminggu (11kali per bulan). Sumber protein yang paling sedikit dikonsumsi subyek di SMA desa adalah oncom (Tabel 4). Hasil uji statistik menunjukkan terdapat perbedaan nyata (p<0.05) antara konsumsi tahu dan tempe di SMA kota dan SMA desa yaitu subyek di SMA desa cenderung lebih sering mengonsumsi tahu dan tempe dengan nilai maksimum 14 kali dalam seminggu.

Konsumsi buah dan sayur

(31)

17 sayuran yang paling banyak dikonsumsi oleh subyek di perdesaan adalah wortel dan kol, yaitu 2 kali dalam seminggu. Rata-rata frekuensi konsumsi wortel adalah 14 kali dalam seminggu dan kol sebanyak 7 kali dalam seminggu. Sayuran yang paling jarang dikonsumsi adalah kangkung dan bayam. Rata-rata buah yang paling banyak dikonsumsi subyek di SMA desa adalah pisang dan jeruk sedangkan buah rambutan merupakan buah yang jarang dikonsumsi yang ditunjukkan bahwa frekuensi 1 kali dalam seminggu. Hal ini diduga karena buah tersebut adalah buah musiman. Buah yang dikonsumsi subyek di perdesaan lebih beragam jika dibandingkan dengan buah yang dikonsumsi oleh subyek di perkotaan. Hal ini diduga bahwa subyek yang di perdesaan memiliki lahan kosong sehingga banyak ditanami sayur mayur dan buah. Hasil uji statistik menunjukkan terdapat perbedaan nyata (p<0.05) antara konsumsi pisang, jeruk, kangkung, wortel yaitu frekuensi konsumsinya lebih sering di desa daripada di kota. Tidak terdapat perbedaan nyata (p>0.05) pada konsumsi mangga dan bayam di SMA kota dan di SMA desa. Buah dan sayur yang dikonsumsi subyek di desa lebih

(32)

18

bulan). Tidak terdapat perbedaan nyata (p>0.05) pada konsumsi es krim pada subyek dengan rata-rata sekali seminggu. Demikian juga dengan konsumsi teh, minuman manis, minuman serbuk bahwa terdapat perbedaan nyata (p<0.05) di SMA kota dan di SMA desa yaitu lebih sering dikonsumsi oleh subyek di desa.

Frekuensi makan sehari

Salah satu aspek penting dari kebiasaan makan adalah frekuensi makan per hari, karena secara langsung akan mempengaruhi asupan zat gizi melalui konsumsi pangan. Frekuensi makan yang baik adalah 3 kali dalam sehari. Jarak antara dua waktu makan yang panjang menyebabkan adanya kecenderungan untuk makan lebih banyak dan melebihi batas (Khomsan 2003). Frekuensi makan subyek dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Sebaran subyek berdasarkan frekuensi makan sehari

Frekuensi Makan SMA Kota SMA Desa Total Uji beda (p)

Berdasarkan Tabel 5 secara keseluruhan subyek dalam penelitian ini sebagian besar memiliki frekuensi makan 3 kali sehari (60%) yang biasanya dilakukan pada pagi, siang dan sore dengan rata-rata 3 sehari, minimal 3 kali dan maksimal 4 kali. Sebagian besar (61%) subyek di SMA kota memiliki frekuensi makan 3 kali sehari begitu pula subyek di SMA desa yang sebagian besar (59%) memiliki frekuensi makan 3 kali sehari. Subyek yang memiliki frekuensi makan 1 kali sehari biasanya dilakukan pada siang hari, frekuensi 2 kali sehari biasanya dilakukan pada siang dan sore hari, sedangkan subyek yang memiliki kebiasaan frekuensi makan lebih dari 3 kali sehari biasanya dilakukan pada pagi, siang, sore dan malam hari. Hasil uji beda mann whitney menunjukkan tidak terdapat perbedaan nyata (p=0.93) antara frekuensi makan subyek di SMA kota dan di SMA desa. Kebiasaan jajan

Kebiasaan jajan merupakan istilah untuk menggambarkan kebiasaan dan perilaku yang berhubungan dengan kebiasaan makan (Suhardjo 1989). Sebaran subyek berdasarkan kebiasaan suka jajan dapat dilihat pada Tabel 6. Berdasarkan hasil penelitian secara keseluruhan subyek baik di SMA kota dan di SMA desa memiliki kebiasaan suka jajan yaitu 93% dengan median 1(1;2). Namun secara umum subyek di SMA desa yang lebih banyak memiliki kebiasaan jajan tersebut yaitu 94%. Hasil uji beda menggunakan

(33)

19 Tabel 6 Sebaran subyek berdasarkan kebiasaan jajan

Suka Jajan SMA Kota SMA Desa Total Uji beda (p)

n % n % n %

1 (Ya) 47 92 48 94 95 93

0.69

2 (Tidak) 4 8 3 6 7 7

Total 51 100 51 100 102 100

Asupan dan tingkat kecukupan zat gizi

Konsumsi pangan subyek diperoleh melalui wawancara dengan metode Food Recall 2x24 jam, yaitu pada saat hari sekolah dan hari libur. Tingkat kecukupan zat gizi individu dapat diketahui dengan cara membandingkan kandungan zat gizi makanan yang dikonsumsi oleh individu dengan angka kecukupannya. Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan adalah taraf zat-zat gizi esensial yang berdasarkan pengetahuan ilmiah dinilai untuk memenuhi kebutuhan hampir semua orang sehat. Angka kecukupan gizi adalah banyaknya zat-zat gizi minimal yang dibutuhkan seseorang untuk mempertahankan status gizi adekuat (Almatsier 2009). Energi

Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) tahun 2004, diketahui angka kecukupan energi remaja wanita usia 13-15 tahun adalah 2100 Kal, rata-rata konsumsi adalah sekitar 14 Kalori untuk energi.

Tabel 7 Rata-rata konsumsi dan tingkat kecukupan energi dan zat gizi

Zat gizi SMA Kota SMA Desa

Energi

Konsumsi (Kal) (1720±697) (1706±647.3)

AKG 2356 2144

TK (%) 74.9 80

Protein

Konsumsi (g) (48.8±23.6) (41.8±19.2)

AKG 65.3 57.6

Konsumsi (g) (248.2±96.5) (242±108.5)

TK (%) 58.5 56.5

(34)

20

menggunakan Independent Sample t-test menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antara tingkat kecukupan energi subyek di SMA kota dan SMA desa. Hal ini diduga karena asupan energi subyek tergolong defisit berat karena subyek dalam penelitian ini lebih sering mengonsumsi jajanan yang lebih banyak menyumbang asupan lemak.

Tabel 8 Sebaran subyek berdasarkan kategori tingkat kecukupan energi Tingkat kecukupan energi SMA Kota SMA Desa Total Uji beda

(p)

n % n % n %

Defisit tingkat berat 26 51.0 20 39.2 46 45.1

0.68 Defisit tingkat sedang 3 5.9 10 19.6 13 12.7

Defisit tingkat ringan 8 15.7 7 13.7 15 14.7

Normal 7 13.7 9 17.6 16 15.7

Lebih 7 13.7 5 9.8 12 11.8

Total 51 100.0 51 100 102 100

Protein

Protein mempunyai fungsi khas yang tidak dapat digantikan oleh zat gizi lain yaitu membangun serta memelihara sel-sel dan jaringan tubuh (Almatsier 2002). Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) tahun 2004, diketahui angka kecukupan protein wanita usia 13-15 tahun adalah 62 gram, dan usia 16-19 tahun adalah 51 gram sedangkan kecukupan protein untuk laki-laki usia 13-15 tahun adalah 64 gram, dan untuk usia 16-19 tahun adalah 51 gram. Rata-rata Angka Kecukupan Gizi untuk protein yang telah dikonversi sesuai berat badan masing-masing subyek adalah sebesar 61 gram. Rata-rata konsumsi protein subyek di SMA kota lebih tinggi daripada di SMA desa. Perbedaan rata-rata konsumsi protein adalah sekitar 7 gram. Hal ini diduga bahwa harga bahan pangan sumber protein seperti tempe, tahu lebih murah daripada dikota. Rata-rata tingkat kecukupan protein subyek di SMA kota dan di SMA desa tergolong defisit sedang karena hanya memenuhi 70-79% AKP (Tabel 7).

(35)

21 Tabel 9 Sebaran subyek berdasarkan kategori tingkat kecukupan protein Tingkat kecukupan protein SMA Kota SMA Desa Total Uji beda(p)

n % n % n %

Defisit tingkat berat 28 54.9 28 54.9 56 54.9

0.13 Defisit tingkat sedang 2 3.9 9 17.6 11 10.8

Defisit tingkat ringan 8 15.7 4 7.8 12 11.8

Normal 7 13.7 4 7.8 11 10.8

Lebih 6 11.8 6 11.8 12 11.8

Total 51 100 51 100 102 100

Lemak

Lemak memiliki beberapa fungsi penting bagi tubuh, diantaranya adalah sebagai sumber energi dan alat angkut vitamin larut lemak. Namun, konsumsi lemak harus dalam jumlah yang cukup, karena jika berlebihan akan menyebabkan status gizi lebih (Almatsier 2002). Rata-rata konsumsi lemak subyek di SMA kota dan di SMA desa adalah 54.4 gram. Rata-rata konsumsi lemak pada subyek di SMA desa lebih tinggi daripada di SMA kota. Perbedaan rata-rata konsumsi lemak sekitar 5 gram. Sebaran subyek berdasarkan tingkat kecukupan lemak dapat dilihat pada Tabel 10. Pada umumnya subyek di SMA kota dan desa berdasarkan tingkat kecukupan lemak dalam kategori cukup (42.2%), namun persentase di SMA desa lebih tinggi dibandingkan dengan di SMA kota. Hal ini diduga karena subyek di desa lebih sering mengonsumsi gorengan dan harga gorengan di desa cenderung lebih murah daripada dikota. Persentase kedua yaitu subyek yang tingkat kecukupan lemaknya lebih yaitu 40.2%. Subyek yang tingkat kecukupan lemaknya dalam kategori kurang hanya 17.6%. Hasil uji statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antara tingkat kecukupan lemak pada subyek di SMA kota dan SMA desa. Hal ini diduga karena subyek di SMA kota dan di SMA desa sering mengonsumsi makanan yang digoreng yang berkontribusi terhadap asupan lemak yang tinggi sebagai cadangan energi paling besar.

Tabel 10 Sebaran subyek berdasarkan kategori tingkat kecukupan lemak Tingkat kecukupan lemak SMA Kota SMA Desa Total Uji beda (p)

n % n % n %

Kurang (<20%) 13 25.5 5 9.8 18 17.6

0.21 Cukup (20-30%) 19 37.3 24 47.1 43 42.2

Lebih (>30%) 19 37.3 22 43.1 41 40.2

Total 51 100 51 100 102 100

Karbohidrat

(36)

22

pada subyek yang mengalami kurang dan lebih masing-masing memiliki persentase 23.5%. Hasil uji beda Independent Sample t-test menunjukkan tidak terdapat perbedaan nyata antara tingkat kecukupan karbohidrat pada subyek di SMA kota dan SMA desa.

Tabel 11 Sebaran subyek berdasarkan kategori tingkat kecukupan karbohidrat

Tingkat kecukupan karbohidrat

SMA Kota SMA Desa Total Uji beda (p)

n % n % n %

Kurang (< 50%) 10 19.6 14 27.5 24 23.5

0.59

Cukup (50-65%) 30 58.8 24 47.1 54 52.9

Lebih (> 65%) 11 21.6 13 25.5 24 23.5

Total 51 100 51 100 102 100

Aktivitas Fisik

Aktivitas fisik merupakan bentuk dari perilaku yang menghasilkan

energy expenditure karena pergerakan otot tubuh termasuk lengan dan kaki (Sjostrom et al. 2008). Rata-rata alokasi waktu aktivitas fisik disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12 Rata-rata alokasi waktu aktivitas fisik (jam/hari)

No Jenis

(37)

23 kota lebih lama berada di sekolah dibanding dengan SMA di desa. Hasil uji statistik menunjukkan terdapat perbedaan nyata (p<0.05) pada kegiatan aktivitas diri antara subyek di SMA kota dan di SMA desa baik hari sekolah maupun hari libur. Adapun kegiatan aktivitas diri antara lain sholat, mandi, berpakaian, makan, dan pekerjaan rumah tangga. Aktivitas yang melibatkan fisik pada hari sekolah menunjukkan perbedaan nyata (p<0.0) antara subyek di SMA kota dan di SMA desa sedangkan pada hari libur tidak menunjukkan perberdaan nyata (p>0.05). Demikian halnya dengan kegiatan

sedentary yang menunjukkan perbedaan nyata (p<0.05) pada hari sekolah yaitu rata-rata alokasi waktu (jam/hari) pada aktivitas sendentary lebih banyak di desa dan tidak terdapat perbedaan nyata pada hari libur. Secara keseluruhan kegiatan di SMA kota dan di SMA desa baik itu pada hari sekolah maupun hari libur terdapat perbedaan nyata.

Sebaran subyek berdasarkan aktivitas fisik selama dua hari yang terdiri dari hari sekolah dan hari libur dapat dilihat pada Tabel 13. Secara keseluruhan (38%) tingkat aktivitas fisik subyek di SMA kota dan di SMA desa termasuk kategori kurang aktif (low active) dengan rata-rata 1.4(1.2;2.8). Sebagian besar (39%) tingkat aktivitas subyek di SMA kota termasuk kategori kurang aktif, sedangkan tingkat aktivitas subyek di SMA desa (39%) termasuk dalam kategori tidak aktif.

Hasil uji statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara tingkat aktivitas fisik subyek di SMA kota dan di SMA desa. Hal ini diduga karena subyek sebagian besar memiliki tingkat aktivitas yang kurang aktif.

Tabel 13 Sebaran subyek berdasarkan tingkat aktivitas fisik Kategori PAL SMA Kota SMA Desa Total Uji

beda (p)

Total 51 100 51 100 102 100

Status Gizi

Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi (Almatsier 2009). Status gizi didefinisikan sebagai keadaan kesehatan tubuh seseorang atau kelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorbsi), dan penggunaan (utilisasi) zat-zat gizi makanan (Hsu et al. 2006). Status gizi subyek dalam penelitian ini diukur secara antropometri. Pengukuran antropometri yang digunakan untuk mengukur ukuran tubuh, meliputi IMT/U dan TB/U.

(38)

24

lebih ini baik di SMA kota maupun desa, lebih banyak dijumpai pada perempuan. Status gizi kurus dan sangat kurus, di SMA kota prevalensinya juga lebih tinggi (12% dibandingkan 4%), namun lebih banyak dijumpai pada laki-laki. Hasil uji beda Independent Sample t-test menunjukkan terdapat perbedaan nyata (p=0.00) antara status gizi subyek (IMT/U) di SMA kota dan di SMA desa. Hal ini diduga karena subyek di desa lebih sering mengonsumsi buah dan sayur daripada dikota (Tabel 4) dan rata-rata asupan energi subyek di SMA kota lebih tinggi daripada di desa (Tabel 7). Usia remaja merupakan usia dimana mereka sangat tertarik pada makanan siap saji dan sebagian besar terpengaruh dengan lingkungan sekitar dan teman sebaya. Prevalensi kelebihan berat badan pada remaja erat hubungannya dengan keadaan keluarga dan kebiasaan makan (Hass et al.

2003).

Tabel 14 menunjukkan hampir seluruh subyek SMA kota (96%) memiliki TB/U yang normal namun hanya kurang dari dua pertiga (61%) subyek di SMA desa. Rata-rata dan standar deviasi TB/U di SMA kota dan desa berada pada selang formal (-1.21±0.94). Prevalensi pendek dan sangat pendek (stunting) di SMA desa ditemukan pada hampir dua per lima (39%) subyek dan jumlah ini hampir sepuluh kali prevalensi di SMA kota (4%). Bila dilihat berdasarkan jenis kelamin tampak bahwa stunting dialami oleh hampir dua pertiga (73%) subyek perempuan di SMA desa. Hasil uji beda

Independent Sample t-test menunjukkan terdapat perbedaan nyata antara status gizi (TB/U) subyek di SMA kota dan di SMA desa.

Tabel 14 Sebaran remaja (%) berdasarkan status gizi

Status Gizi SMA kota SMA desa Uji beda

L P Total L P Total L P

Total 100 100 100 100 100 100

p=0.00

Total 100 100 100 100 100 100

p=0.00

Keterangan: L : Laki-laki P : Perempuan

(39)

25 desa daripada di kota. Terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi status gizi, secara langsung adalah asupan makanan dan infeksi sedangkan secara tidak langsung ada tiga faktor yaitu ketahanan pangan keluarga, pola pengasuhan anak, dan lingkungan kesehatan termasuk akses terhadap pelayanan kesehatan (Supariasa 2002). Banyaknya remaja perempuan yang stunting di desa dipengaruhi oleh berbagai variabel tersebut.

Faktor – Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Hubungan Karakteristik Subyek dengan Status Gizi

Berdasarkan uji korelasi Spearman (Tabel 15) tampak bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara usia, jenis kelamin dengan status gizi berdasarkan TB/U (p=0.00), peubah jenis kelamin berpengaruh negatif terhadap status gizi (TB/U) artinya bahwa status gizi pendek pada perempuan lebih banyak daripada laki-laki dan terdapat hubungan negatif antara usia dengan status gizi (TB/U) yang artinya semakin tinggi usia maka semakin banyak yang berstatus stunting. Terdapat pula hubungan positif antara jenis kelamin dengan status gizi berdasarkan IMT/U (p=0.00) yang artinya perempuan memiliki persentase lebih tinggi berstatus gizi lebih dibandingkan dengan laki-laki dan tidak terdapat hubungan signifikan antara usia dengan status gizi berdasarkan IMT/U.

Uji korelasi Spearman antara karakteristik keluarga dengan status gizi (Tabel 16) menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan signifikan antara pendidikan ayah, pendidikan ibu, besar keluarga, pendapatan keluarga dengan status gizi berdasarkan IMT/U (p>0.05). Hasil yang menunjukkan tidak terdapatnya hubungan pendidikan orangtua dengan status gizi subyek sejalan dengan penelitian Ampera & Azhari (2009) yang menyatakan bahwa pada remaja, status gizi tidak berhubungan erat dengan tingkat pendidikan orangtua. Ibu yang bekerja tidak lagi memiliki waktu untuk mempersiapkan makanan bagi keluarganya. Hal ini yang membuat remaja sering memilih untuk makan di luar (Sinaga et al. 2012), sehingga pengaruh lingkungan, kebiasaan teman dan media massa lebih dominan. Tidak terdapat hubungan pendapatan orangtua dengan status gizi pada penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Dwi Oktaviani (2012) yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan bermakna antara pendapatan orangtua dengan indeks massa tubuh.

Tabel 15 Hubungan antara karakteristik subyek dengan status gizi

Status Gizi K. Subyek

IMT/U Uji Hubungan

Sangat Kurus, Kurus Normal Overweight, obes

(40)

26

Status Gizi K. Subyek

IMT/U Uji Hubungan

Sangat Kurus, Kurus Normal Overweight, obes

Status Gizi TB/U

Tabel 16 menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan ayah, pendidikan ibu, besar keluarga, pendapatan keluarga dengan status gizi berdasarkan TB/U (p<0.05). Pendidikan ayah dan ibu, pendapatan keluarga memiliki hubungan positif dengan status gizi yang artinya bahwa semakin tinggi pendidikan orangtua dan pendapatan keluarga maka semakin tinggi subyek yang berstatus gizi normal sedangkan besar keluarga memiliki hubungan negatif dengan status gizi (TB/U) yang berarti semakin banyak anggota keluarga maka cenderung semakin banyak subyek yang berstatus stunting. Beberapa faktor yang terkait dengan kejadian

stunting antara lain kekurangan energi dan protein, sering mengalami penyakit kronis, praktek pemberian makan yang tidak sesuai dan faktor kemiskinan. Prevalensi stunting meningkat dengan bertambahnya usia, peningkatan terjadi dalam dua tahun pertama kehidupan, proses pertumbuhan anak masa lalu mencerminkan standar gizi dan kesehatan. Kebiasaan makan keluarga dipengaruhi pula oleh aturan atau tatanan yang didasarkan kepada adat istiadat dan agama (Suhardjo 1989).

Tabel 16 Hubungan karakteristik keluarga dengan status gizi Karakteristik keluarga

Hubungan kebiasaan makan dengan status gizi

Berdasarkan hasil uji korelasi spearman diketahui bahwa tidak ada hubungan yang nyata antara kebiasaan makan dengan status gizi (IMT/U). Hal ini dibuktikan dengan nilai p>0.05 (Tabel 17).

Tabel 17 Hubungan kebiasaan makan dengan status gizi Variabel

Status gizi

IMT/U TB/U

r p n r p

Frekuensi makan sehari 0.07 0.47 102 -0.11 0.24

Suka jajan 0.08 0.40 102 0.09 0.33

(41)

27 Tabel 17 menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan nyata antara frekuensi makan dengan status gizi (TB/U). Penelitian ini sejalan dengan penelitian Agustian (2010). Hal ini dikarenakan subyek memiliki kebiasaan makan yang kurang baik yaitu suka jajan. Salah satu faktor yang memiliki pengaruh besar terhadap perubahan kebiasaan makan remaja ialah semakin banyaknya jenis jajanan baru sehingga cenderung untuk mencoba.

Hubungan antara tingkat kecukupan energi dengan status gizi

Berdasarkan hasil uji Pearson diketahui bahwa tidak terdapat hubungan nyata antara tingkat kecukupan energi dengan status gizi. Hal ini dibuktikan bahwa nilai p>0.05 (Tabel 18). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian (Yuliansyah 2007) yang menunjukkan tidak ada hubungan kecukupan energi dengan status gizi. Hal ini dilihat dari subyek pada kelompok yang mempunyai asupan energi kurang, sebagian besar mempunyai status gizi normal. Menurut Moehji (2003) mengatakan bahwa asupan energi yang kurang dari kebutuhan berpotensi terjadinya penurunan status gizi. Studi epidemiologi menyatakan bahwa asupan energi kurang dari kebutuhan dalam jangka waktu tertentu akan menyebabkan terjadinya penurunan status gizi, bila asupan energi seimbang akan membantu memelihara status gizi normal, jika asupan energi berlebihan atau berkurangnya pengeluaran energi berpotensi terjadinya kegemukan.

Tabel 18 Hubungan antara tingkat kecukupan gizi dengan status gizi Variabel

Status gizi

IMT/U TB/U

r p n r p

Tingkat kecukupan energi -0.13 0.17 102 -0.08 0.42 Tingkat kecukupan protein -0.14 0.14 102 -0.04 0.66 Tingkat kecukupan lemak -0.02 0.08 102 -0.21 0.02 Tingkat kecukupan karbohidrat 0.02 0.08 102 0.13 0.16

Hubungan antara tingkat kecukupan protein dengan status gizi

Berdasarkan hasil uji Pearson diketahui bahwa tidak terdapat hubungan nyata antara tingkat kecukupan protein dengan status gizi. Hal ini dibuktikan bahwa nilai p>0.05 (Tabel 18). Penelitian ini sejalan dengan penelitian Yuliansyah (2007) yang menunjukkan bhwa tidak ada hubungan antara kecukupan protein dengan status gizi. Hal ini dilihat dari kelompok subyek dengan tingkat asupan protein kurang memiliki status gizi normal. Protein tubuh berguna sebagai bagian dari struktur tubuh dan juga merupakan bagian yang mempunyai peranan fungsional. Tubuh tidak mempunyai tempat menyimpan cadangan protein. Protein di dalam tubuh tetap dijaga dalam kondisi seimbang sehingga asupan protein kurang atau lebih tidahk berpengaruh pada perubahan berat badan karena kelebihan asupan protein tidak disimpan oleh tubuh seperti yang terjadi pada kelebihan energi.

Hubungan antara tingkat kecukupan lemak dengan status gizi

(42)

28

tinggi tingkat kecukupan lemak, maka status gizinya semakin rendah

(stunting). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian (Reski 2013) yang menyatakan tidak ada hubungan yang nyata antara tingkat kecukupan lemak dengan status gizi. Hal ini diduga bahwa konsumsi pangan subyek yang mengandung lemak yang tinggi seperti gorengan karena lemak tinggi dalam makanan maka zat gizi lain dalam makanan tersebut cenderung rendah. Hubungan antara tingkat kecukupan karbohidrat dengan status gizi

Berdasarkan hasil uji Pearson diketahui bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata antara tingkat kecukupan karbohidrat dengan status gizi. Hal ini dibuktikan bahwa nilai p>0.05 (Tabel 18). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Muchlisa (2013) yang menunjukkan tidak terdapat hubungan signifikan antara tingkat kecukupan karbohidrat dengan status gizi. Hal ini diduga karena subyek pada kelompok yang mempunyai asupan karbohidrat kurang, sebagian besar mempunyai status gizi normal.

Hubungan aktivitas fisik dengan status gizi

Aktivitas fisik merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi status gizi karena status gizi seseorang bergantung juga penggunaan zat gizi yang dikonsumsi dengan cara beraktivitas. Berdasarkan hasil uji korelasi

spearman diketahui bahwa tidak ada hubungan yang nyata antara aktivitas fisik dengan status gizi baik berdasarkan IMT/U maupun TB/U. Hal ini dapat dilihat dari p>0.05 (Tabel 19). Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Chrissia (2012) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara intensitas aktivitas fisik dengan status gizi (IMT/U). Pada koefisien korelasi didapatkan -0.64 dan nilai p 0.00. Arah koefisien korelasi yang didapatkan bernilai negatif yang berarti semakin ringan aktivitas fisik yang dilakukan maka berpengaruh terhadap status gizi (IMT/U) lebih bahkan obesitas. Aktivitas yang rendah dan dibarengi pola makan yang berlebih dapat menimbulkan kejadian gizi lebih (Haryati et al.

2013).

Tabel 19 Hubungan antara aktivitas dengan status gizi

Variabel Status gizi

IMT/U TB/U

Aktivitas fisik r p r p

0.05 0.61 0.02 0.79

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

(43)

29 daging sapi, telur ayam, tahu, tempe, kangkung, pisang, jeruk, teh, dan jenis jajanan subyek di SMA kota dan SMA desa. Frekuensi konsumsi mie, telur ayam, tahu, tempe, pisang, jeruk, teh dan jajanan lebih sering di desa, sedangkan daging ayam, daging sapi dan kangkung lebih sering di kota.

Asupan energi dan zat gizi subyek masih rendah. Asupan energi, protein dan karbohidrat lebih baik di kota daripada di desa sedangkan asupan lemak lebih baik di desa. Pada umumnya subyek di kota dan desa memiliki tingkat kecukupan energi dan protein kategori defisit berat yaitu sebesar 45.1% dan 54.9%, tingkat kecukupan lemak dan karbohidrat tergolong cukup yaitu (42.2%) dan (52.9%). Tingkat aktivitas subyek di SMA kota dan di SMA desa termasuk kategori kurang aktif. Status gizi (TB/U dan IMT/U) contoh di SMA kota maupun di SMA desa sebagian besar normal. Prevalensi stunting di SMA desa sepuluh kali lebih tinggi dibandingkan di SMA kota. Prevalensi kegemukan di SMA kota dua kali lebih tinggi dibandingkan di SMA desa. Terdapat hubungan yang signifikan antara usia, jenis kelamin, pendidikan orangtua, besar keluarga dan pendapatan keluarga dengan status gizi (TB/U), jenis kelamin dengan status gizi (IMT/U). Tetapi tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan orangtua, besar keluarga dan pendapatan keluarga terhadap status gizi (IMT/U) serta tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kebiasaan makan, aktivitas fisik, tingkat kecukupan energi, protein, dan karbohidrat dengan status gizi (p>0.05).

Saran

(44)

30

DAFTAR PUSTAKA

Abramson E.2005. Body Intelligence. Yogyakarta: ANDI.

Agustian L. 2010. Status Gizi Remaja, Pola Makan dan Aktivitas Olahraga di SLTP 2 Majauleng Kabupaten Wajo. Jurnal Gizi dan Pangan, 9(1), 1-6.

Almatsier S. 2009. Prinsip dasar ilmu gizi. Jakarta (ID): Gramedia

Ampera M, Azhari, & Suwardi (2009). Hubungan imej tubuh, pengetahuan gizi dan kebiasaan olahraga dengan status gizi siswa SMA di kota Banda Aceh. Jurnal Gizi Poltekkes Depkes NAD.

Arisman. 2004. Gizi dalam Daur Kehidupan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran ECG.

Ayu R. 2011. Faktor risiko obesitas pada anak 5–15 tahun di Indonesia. Jurnal Kesehatan, 15(1), 37–43.

[BKKBN] Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 1998. Gerakan Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera. Jakarta : BKKBN Chrissia I .2012. Hubungan antara aktivitas fisik dengan status gizi pelajar

SMP Frater Don Bosco Manado. Jurnal Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi.

[Depkes] Departemen Kesehatan. 2011.Riset Kesehatan Dasar 2010. Jakarta: Badan penelitian dan pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI.

Dwiningsih. 2013. Perbedaan Asupan Energi, Protein, Lemak, Karbohidrat dan Status Gizi pada Remaja yang Tinggal di Wilayah Perkotaan dan Perdesaan. Journal of Nutrition College, 12(2), 232-241.

Dwiriani CM, Riyadi H, Khomsan A, Anwar F, & Dewi M. 2013. Lifesyle and nutrition aspect of rural and urban adolescent. Neys-van Hoogstraten Foundation (NHF): The Netherland

Frary C & Jhonson R. 2008. Krause’s Food and Nutrition Therapy. Ed 12. Canada.

Gibson RS. 2005. Principles of Nutritional Assessment. Ed ke-2. New York: Oxford University Press.

Haryati M, Syamsianah, & Handarsari. 2013. Hubungan konsumsi makanan sumber lemak, karbohidrat dan aktivitas fisik dengan rasio lingkar panggul pada pengemudi truk PO. Agm Kudus. Jurnal Gizi Universitas Muhammadiyah Semarang, 2(2), 39–47.

Hass J, Lee, Kaplan, Sonneborn, Phillips, & Liang Su-Ying. 2003. The association of race, socieconomic status, and health insurance status with the prevalence of overweight among children and adolescents.

American Jurnal of Public Health, 93(12), 1–6.

Hsu, Yi-Hsiang et al. 2006. Relation of body compotition, fat mass, serum lipids to osteoporosis fractures and bone mineral density in Chinese men and women. Am J Clin Nutr 83:146–154.

Gambar

Gambar 1 Skema kerangka hubungan antara kebiasaaan makan dan
Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data penelitian
Tabel 2 Sebaran subyek berdasarkan karakteristik individu
Tabel 3 Sebaran subyek berdasarkan karakteristik sosek keluarga
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Jika dibandingkan dengan nilai standar deviasi dari beberapa formula empiris seperti pada tabel 3, maka nilai standar deviasi untuk formula empiris magnitudo

Pada Bab ini penulis akan membandingkan penerapan teori yang ada dengan data yang diperoleh dilapangan, yaitu dengan Tata Cara Pengisian dan Pelaporan Surat

Dengan demikian, kadar lemak kakao ini menjadi rendemen maksimal yang mungkin diperoleh dari proses pengepresan yang dilakukan pada penelitian ini.. 3.1 Rendemen

Hasil pengukuran tinggi tanaman, jumlah daun dan berat biji kacang tanah ( Arachis hypogaea L.) dengan perlakuan pemberian rhizobium dan Cu ditampilkan pada Tabel 2.. Analisis

Pemerintah merupakan kelas yang mendominasi dalam pengelolaan pasar sehingga segala aturan dan kebijakan yang dibuat pemerintah harus diikuti oleh pedagang.Pedagang memiliki

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui gejala, mekanisme, wujud, sifat, dan efek dari keracunan sianida, mengetahui seberapa besar kisaran dosis natrium tiosulfat ya ng efektif

payudara T47D dengan perlakuan ekstrak etanol daun lavender. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI.. Viabilitas sel kanker payudara T47D dengan perlakuan ekstak etanol daun