• Tidak ada hasil yang ditemukan

DOSIS EFEKTIF NA-TIOSULFAT SEBAGAI ANTIDOTUM UNTUK KERACUNAN SIANIDA PADA MENCIT JANTAN GALUR SWISS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "DOSIS EFEKTIF NA-TIOSULFAT SEBAGAI ANTIDOTUM UNTUK KERACUNAN SIANIDA PADA MENCIT JANTAN GALUR SWISS"

Copied!
125
0
0

Teks penuh

(1)

DOSIS EFEKTIF NA-TIOSULFAT SEBAGAI ANTIDOTUM

UNTUK KERACUNAN SIANIDA PADA MENCIT JANTAN GALUR SWISS

HALAMAN SAMPUL

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh :

Andrew Arief Sudarmono NIM : 04 8114 132

FAKULTAS FARMASI

(2)

DOSIS EFEKTIF NA-TIOSULFAT SEBAGAI ANTIDOTUM

UNTUK KERACUNAN SIANIDA PADA MENCIT JANTAN GALUR SWISS

HALAMAN JUDUL

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh :

Andrew Arief Sudarmono NIM : 04 8114 132

FAKULTAS FARMASI

(3)

DOSIS EFEKTIF NA-TIOSULFAT SEBAGAI ANTIDOTUM

(4)
(5)

HALAMAN PERSEMBAHAN

What is there that is not poison?

A ll things are poison and nothing (is)

without poison. S olely the dose

determines that a thing is not a poison

(P aracelcus, 1493- 1541)

With all my love, for

P api, M ami, K o George, K o Charles

A lmamaterku,

(6)

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma : Nama : Andrew Arief Sudarmono

Nomor Mahasiswa : 04 8114 132

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

DOSIS EFEKTIF NA-TIOSULFAT SEBAGAI ANTIDOTUM UNTUK KERACUNAN SIANIDA PADA MENCIT JANTAN GALUR SWISS

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : 28 Juli 2008

Yang menyatakan

(7)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Bapa di Surga dan Tuhan Yesus

Kristus karena atas berkat, hikmat, kasih, kekuatan, dan cinta-nya yang diberikan

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Dosis Efektif Natrium Tiosulfat sebagai antidotum untuk keracunan sianida pada mencit jantan

galur swiss”.

Skripsi ini disusun sebagai tugas akhir untuk memenuhi salah satu syarat

guna memperoleh gelar Sarjana Strata satu Farmasi (S. Farm.), program Studi

Ilmu Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Sekaligus untuk menambah pengetahuan dalam dunia kefarmasian pada

umumnya.

Pada Kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih atas segala

bantuan yang penulis terima baik secara langsung maupun tidak langsung

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Ucapan terima kasih yang tulus khususnya penulis tujukan kepada :

1. Bapa di surga atas kasih dan karunia-nya yang telah memberi kekuatan yang

tak terduga.

2. Rita Suhadi, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata

Dharma Yogyakarta.

3. Ipang Djunarko, S.Si., Apt. selaku dosen pembimbing yang telah

(8)

bersama penulis selama proses penelitian, penyusunan, hingga selesainya skripsi ini.

4. Drs. A. Tri Priantoro, M.For.Sc. selaku dosen penguji, yang telah memberikan

banyak dukungan, saran, dan kritikan yang membangun.

5. dr. Fenty, M.Kes., Sp.PK selaku dosen penguji, yang telah memberikan

banyak dukungan, saran, dan kritikan yang membangun.

6. dr.Luciana Kuswibawati, M.Kes selaku dosen pembimbing dalam pembacaan

histopatologi organ atas saran dan masukannya.

7. Rm. Drs. P. Sunu Hardiyanto, S.Si , S.J selaku dosen pembimbing dalam

analisis data statistik atas saran dan masukannya.

8. Yosef Wijoyo, M.Si., Apt selaku dosen pembimbing dalam penambahan literatur.

9. Papi terima kasih atas doa, bimbingan dan dukungannya untuk dapat

menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

10.Mami yang selalu memberikan semangat dari surga, terima kasih atas doa dan

bimbingannya selama ini.

11.George dan Charles, kakak-kakakku, terima kasih atas dukungan, saran, kritik

dan doanya, Thank you for being my”super” brother

12.Mas Pardjiman, Mas Heru, Mas Kayat (laboran Laboratorium Farmakologi

dan Toksikologi), Mas Sigit dan Mas Wagiran (laboran Laboratorium Biologi

(9)

13.Pak Agus (laboran Laboratorium Farmakologi) Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada, Pak Surono (UPHP) Fakultas Kedokteran Hewan Universitas

Gadjah Mada, atas bantuannya dalam menyediakan hewan uji.

14.Pak Dian di Laboratorium Patologi, Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner

Wilayah IV Daerah Istimewa Yogyakarta atas bantuannya dalam pembuatan

preparat histopatologi organ.

15.Untuk om-eg terima kasih atas dukungan,bimbingan dan

wejangan-wejangannya selama ini.

16.Untuk Shintia Legasari terima kasih atas kesabaran, dukungan, kasih, sayang

dan cinta-nya selama ini dan khususnya pendampingan pada saat penyusunan

skripsi ini.

17.Teman-teman senasib seperjuangan dalam rangkaian penelitian ini Tintuz,

Blian buat semua dukungan, kebersamaan, selama melakukan penelitian di

laboratorium.

18.Lidia-epez, Arie-Gozonk, Blian, Cin, Novi-kebo, Cika-tembong, Nike-Oneng,

Apri-Gajah, Fandy, Tice, Tintus, buat semua bantuan, tawa, air mata, kegilaan, kebersamaan, semangat, dukungan, serta kesediaan untuk jadi

tempat berbagi dan teman dikala senang dan duka.

19.Meri-Mace, Limdra-ndut, Arif-kentung, Adit, Budiaji, Yoyo, Maria, Ita,

Resty, Yasinta, Lala, Cawaz, Candhy, Lian ,Feri DS, Liza, Puipuin,

(10)

20.Ndut Reta, Nolen, Welly, Tami, Sinta-Lele, Cocow, Mas Punto, Erlin terima kasih sudah menjadi teamwork yang baik selama kepengurusan BPMF

periode 2006-2007.

21.Lia, Bang Jok, Dewi, Indri, Dima, Ndaru, Tato, Amel, Mitha, atas

kebersamaannya dalam Kuliah Kerja Nyata Universitas Sanata Drama

angkatan XXXIV kelompok XI di dusun Wonodoro, Bantul.

Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi

ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.

Tak ada gading yang tak retak, demikian pula dalam penyusunan skripsi

ini. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan ketidaksempurnaan yang

ada dalam penyusunan skripsi ini. Untuk itulah penulis mengaharapkan kritik dan saran yang dapat membuat karya ini menjadi lebih baik. Akhir kata, semoga

penelitian skripsi yang telah dilakukan penulis dapat bermanfaat bagi

perkembangan ilmu kefarmasian.

(11)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan bahwa sesungguhnya skripsi yang saya tulis ini tidak

memuat karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar

pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 16 Juni 2008

Penulis,

(12)

INTISARI

Keracunan sianida dapat berakibat fatal jika tidak segera dilakukan terapi antidotumnya, Keberhasilan Natrium tiosulfat sebagai terapi antidotum salah satunya ditentukan oleh ketepatan dosisnya.

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui gejala, mekanisme, wujud, sifat, dan efek dari keracunan sianida, mengetahui seberapa besar kisaran dosis natrium tiosulfat ya ng efektif untuk keracunan sianida, mengetahui hubungan antara dosis natrium tiosulfat dengan efek penawaran racun pada keracunan sianida pada mencit.

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola searah. Terdir i dari 7 kelompok : kelompok I diberi KCN dosis 26 mg/kgBB p.o, kelompok II diberi aquadest 25 mg/KgBB p.o, kelompok III diberi larutan natrium tiosulfat (Na2S2O3) dosis 160.720 mg/kgBB

diberikan secara i.p, kelompok IV-VII diberi larutan KCN secara p.o, kemudian diberi antidotum natrium tiosulfat dengan peringkat dosis berturut-turut : 0.468 mg/kgBB, 3.279 mg/kgBB, 22.960 mg/kgBB dan 160.720 mg/kgBB secara i.p.

Hasil penelitian didapatkan bahwa gejala dari keracunan sianida pada mencit meliputi : hilang kesadaran, gagal nafas, kejang, sampai menimbulkan kematian. Mekanisme keracunan sianida pada mencit adalah sianida berikatan dengan besi dalam feri sitokrom oksidase. Wujud efek toksik sianida berupa perubahan biokimia dan mungkin juga perubahan fungsional. Sifat dari keracunan sianida pada mencit adalah terbalikkan dan tidak terbalikkan. Dosis efektif natrium tiosulfat sebagai antidotum untuk keracunan sianida pada mencit sebesar 160.720 mg/KgBB intraperitoneal. Meningkatnya dosis natrium tiosulfat dapat meningkatkan efek pengawaracunan sianida pada mencit

(13)

ABSTRACT

Cyanide poisoning can cause fatal result if its antidote therapy is not done shortly., one of the successes Thiosulphate sodium as antidote therapy s is determined by its dose accuracy.

The research aims to know the indication, mechanism, configuration, characteristics, and effects of cyanide poisoning, to know how much effectiveness the dose estimation of thiosulphate sodium for cyanide poisoning, to know the relationship between thiosulphate sodium dose and the effect of poison antidote for cyanide poisoning toward mice.

The research is a pure experimental research with random unidirectional pattern program. Forty two male mice are divided into seven groups equally that consist of: group I is given resolvent that is aquadest 25mg/KgBB per oral, group II is given KCN solution with dosage 26mg/kgBB per oral as a poison positive control, group III is given thiosulphate Sodium solution (Na2S2O3) with dosage

160.720mg/kgBB given intraperitoneally (i.p), group IV-VII are given KCN solution per oral (p.o) and then given thiosulphate sodium antidote with dosage level in a row: 0.468 mg/kgBB, 3.279 mg/kgBB, 22.960 mg/kgBB and 160.720 mg/kgBB intraperitoneally.

From the research result, it can be seen that the indication of cyanide poisoning toward mice includes lost consciousness, fail breathing, spastic, and causing death. Mechanism of cyanide poisoning toward mice shows its toxicity especially because of its ability to react against iron in ferric sitokrom oxide. Because aerobe metabolism is depended on this enzyme system, so the tissue can no longer use oxygen and hypoxia. The configuration of cyanide toxic effect is biochemical alteration and functional alteration, too. The characteristic of cyanide poisoning toward mice is not capsized.

Effective dose thiosulphate sodium as antidote for cyanide poisoning toward mice is 160.720mg/KgBB intraperitoneal. The increase of thiosulphate sodium dosage can increase the effect of antidote of cyanide poisoning toward mice.

(14)

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL...i

HALAMAN JUDUL ...ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ...iii

HALAMAN PENGESAHAN ...iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ...v

PRAKATA...vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...x

INTISARI...xi

ABSTRACT...xii

DAFTAR ISI...xiii

DAFTAR TABEL...xvii

DAFTAR GAMBAR ...xviii

DAFTAR LAMPIRAN ...xxiii

BAB I. PENGANTAR ...1

A. Latar Belakang ...1

1. Permasalahan ...3

2. Keaslian penelitian...3

3. Manfaat penelitian...3

(15)

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA ...5

A. Sianida...5

1. Tinjauan sejarah...5

2. Sumber- sumber potensial sianida ...5

3. Jenis keracunan pada sianida ...8

4. Mekanisme keracunan sianida ...10

5. Pemeriksaan laboratorium...12

6. Detoksifikasi sianida secara biologis ...14

B. Terapi pada Keracunan Sianida ...14

1. Terapi suportif...14

2. Terapi antidot ...16

C. Natrium Tiosulfat ...17

1. Dasar pemikiran untuk memilih antidot ...17

2. Kelompok risiko...18

3. Nama dan rumus kimia ...18

4. Sifat fisiko-kimia...19

5. Mekanisme penawaracunan...21

6. Profil biokimia/farmakologi lain...22

7. Rute pemberian...27

8. Dosis ...27

9. Kontraindikasi...28

10. Efek samping...29

(16)

D. Anatomi Fisiologi ...29

1. Jantung ...29

2. Lambung ...30

3. Usus halus ...30

4. Hati...31

5. Ginjal...32

6. Paru ...32

E. Kerusakan Organ...33

F. Landasan Teori...34

F. Hipotesis ...34

BAB III. METODE PENELITIAN ...35

A. Jenis dan Rancangan Penelitian...35

B. Variabel dan Definisi Operasional...35

1. Variabel utama ...35

2. Variabel pengacau...35

C. Definisi Operasional ...36

D. Bahan Penelitian ...37

E. Alat dan Instrumen Penelitian...38

F. Tata Cara Penelitian...38

1. Pembuatan larutan dan penetapan dosis KCN ...38

2. Pembuatan larutan dan penetapan dosis natrium tiosulfat...39

3. Pengelompokkan hewan uji ...39

(17)

5. Pemeriksaan histopatologi ...40

G. Analisis Hasil ...41

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN...42

A. Potensi Sianida sebagai Racun...42

B. Potensi Natrium Tiosulfat sebagai Kontrol Positif Antidotum....44

C. Kisaran Dosis Natrium Tiosulfat sebagai Antidotum Sianida ...45

D. Pemeriksaan Histopatologi ...65

1. Hati...66

2. Ginjal...67

3. Paru ...67

4. Jantung ...73

5. Usus halus ...73

6. Lambung ...77

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN...82

A. Kesimpulan ...82

B. Saran...81

DAFTAR PUSTAKA ...83

BIOGRAFI PENULIS ...176

(18)

DAFTAR TABEL

Tabel I. Hidrogen sianida yang dihasilkan oleh pembakaran (Montgomery dkk.

(1975))...7 Tabel II. Hasil pengamatan waktu gejala efek toksik sianida terhadap 7 kelompok

perlakuan...46

Tabel III. Hasil perbandingan antar kelompok pada gejala efek toksik jantung

berdebar...48

Tabel IV. Hasil perbandingan antar kelompok pada gejala efek toksik hilang kesadaran...51

Tabel V. Hasil perbandingan antar kelompok pada gejala efek toksik gagal nafas

...544

Tabel VI. Hasil perbandingan antar kelompok pada gejala efek toksik kejang...56

Tabel VII. Hasil perbandingan antar kelompok pada gejala efek toksik mati...58 Tabel VII. Hasil Pemeriksaan histopatologi beberapa organ mencit akibat

pemberian larutan KCN (sebagai senyawa racun) dan pada kelompok perlakuan

diberikan larutan KCN kemudian diteruskan dengan pemberian senyawa

antidotumnya, yaitu natrium tiosulfat. ...68

(19)

Gambar 1. Grafik mean ± 2 SE untuk gejala efek toksik berupa jantung berdebar

...47

Gambar 2. Grafik mean ± 2 SE untuk gejala efek toksik berupa hilang kesadaran ...50

Gambar 3. Grafik mean ± 2 SE untuk gejala efek toksik berupa gagal nafas ...53

Gambar 4. Grafik mean ± 2 SE untuk gejala efek toksik berupa kejang...55

Gambar 5. Grafik mean ± 2 SE untuk gejala efek toksik berupa mati ...59

Gambar 6. Pengubahan cyanmethemoglobin menjadi tiosianat oleh rodhanase dan tiosulfat (Cyanide Toxicity Review, 2003)...63

Gambar 7. Kurva hipotesis yang melukiskan hubungan antara kadar racun di dalam darah atau di tempat aksi lawan waktu dengan strategi terapi keracunan mempercepat eliminasi. ...64

Gambar 8. Gambaran histopatologi untuk organ hati mencit pembesaran 100X pengecatan hematoksislin-eosin pembedahan 24 jam, perlakuan : ...70

a.KCN 26 mg/kgBB. A. hiperemi lokal derajat 2 (++)...70

b... Aquadest, normal, tidak tampak adanya hiperemi, tidak ada manifestasi peradangan. ...70

c.Na2S2O3 dosis 160.720 mg/kg BB. A. hiperemi lokal derajat 2 (++) ...70

d.KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2S2O3 dosis 0,468 mg/kg BB. A. hiperemi lokal derajat 1 (+) ...70

(20)

f. .... KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2S2O3 dosis 22.960 mg/kg BB, normal,

tidak tampak adanya hiperemi, tidak ada manifestasi peradangan. ...70

g... KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2S2O3 dosis 160.720 mg/kg BB, normal, tidak tampak adanya hiperemi, tidak ada manifestasi peradangan. ...70

Gambar 9. Gambaran histopatologi untuk organ ginjal mencit pembesaran 100X pengecatan hematoksislin-eosin pembedahan 24 jam, perlakuan : ...72

a.KCN 26 mg/kgBB. A. haemorrhagie ...72

b.Aquadest...72

c.Na2S2O3 dosis 160.720 mg/kg BB ...72

d...KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2S2O3 dosis 0,468 mg/kg BB. A. haemorrhagie...72

e...KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2S2O3 dosis 3.279 mg/kg BB. A. haemorrhagie...72

f. KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2S2O3 dosis 22.960 mg/kg BB...72

g...KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2S2O3 dosis 160.720 mg/kg BB. A. hiperemi ...72

Gambar 10. Gambaran histopatologi untuk organ paru mencit akibat pemberian KCN dosis 26 mg/kg BB pembesaran 100X pengecatan hematoksislin-eosin pembedahan 24 jam, perlakuan:...74

a... KCN 26 mg/kgBB, alveoli dan bronkeoli dalam batas normal. A. penebalan septa alveoli, B. sel radang. ...74

(21)

c...Na2S2O3 dosis 160.720 mg/kg BB. A. penebalan septa alveoli, B. sel radang.

...74

d...KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2S2O3 dosis 0,468 mg/kg BB. A. penebalan septa alveoli, B. sel radang. ...74

e.KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2S2O3 dosis 3.279 mg/kg BB. A. penebalan septa alveoli, B. sel radang. ...74

f.KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2S2O3 dosis 22.960 mg/kg BB...74

g.KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2S2O3 dosis 160.720 mg/kgBB ...74

Gambar 11. Gambaran histopatologi untuk organ jantung mencit akibat pemberian KCN dosis 26 mg/kg BB pembesaran 100X pengecatan hematoksislin-eosin pembedahan 24 jam, perlakuan :...75

a.KCN 26 mg/kgBB, miokardium dalam batas normal...75

b. Aquadest, miokardium dalam batas normal...75

c. Na2S2O3 dosis 160.720 mg/kg BB, miokardium dalam batas normal ...75

d.KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2S2O3 dosis 0,468 mg/kg BB, miokardium dalam batas normal ...75

e. KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2S2O3 dosis 3.279 mg/kg BB, miokardium dalam batas normal. ...75

f. ... KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2S2O3 dosis 22.960 mg/kg BB, miokardium dalam batas normal...75

(22)

Gambar 12. Gambaran histopatologi untuk organ usus halus mencit akibat

pemberian KCN dosis 26 mg/kg BB pembesaran 100X pengecatan

hematoksislin-eosin pembedahan 24 jam,Perlakuan :...76

a... KCN 26 mg/kgBB. A. fili intestinal erosi dan mukosanya tidak normal ...76

b. ..Aquadest, fili intestinal dan mukosa dalam batas normal, mukosa muskularis,

serosa dan kelenjar nya juga normal. ...76

c. Na2S2O3 dosis 160.720 mg/kg BB. A. fili intestinal erosi dan mukosanya tidak

normal. ...76 d. ...KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2S2O3 dosis 0,468 mg/kg BB. A. fili

intestinal erosi sedikit, dan juga terdapat adanya manifestasi peradangan derajat 2

(++). ...76

e. ...KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2S2O3 dosis 3.279 mg/kg BB. A. fili

intestinal erosi sedikit, dan juga terdapat adanya manifestasi peradangan derajat 2 (++). ...76

f. ...KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2S2O3 dosis 22.960 mg/kg BB. A. fili

intestinal erosi, dan juga terdapat adanya manifestasi peradangan derajat 1 (+). 76

g. ...KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2S2O3 dosis 160.720 mg/kg BB. A. fili

intestinal erosi, dan juga terdapat adanya manifestasi peradangan derajat 1 (+). 76 Gambar 13. Gambaran histopatologi untuk organ lambung mencit akibat

pemberian KCN dosis 26 mg/kg BB pembesaran 100X pengecatan

(23)

a. ... KCN 26 mg/kgBB, aktivitas kelenjarnya meningkat, erosi mukosanya

...79

b. ...Aquadest, tunika mukosa muskularis normal, aktivitas kelenjarnya normal.

...79 c. ... Na2S2O3 dosis 160.720 mg/kg BB, mukosa lambung erosi, aktivitas

kelenjarnya meningkat. ...79

d. KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2S2O3 dosis 0,468 mg/kg BB. A. mukosa

erosi. ...79

e. KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2S2O3 dosis 3.279 mg/kg BB. A. mukosa lambung erosi (++) dan terdapat adanya manifestasi peradangan. ...79

f. KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2S2O3 dosis 22.960 mg/kg BB. A. mukosa

lambung erosi (+) aktivitas kelenjarnya meningkat. ...79

g. ...KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2S2O3 dosis 160.720 mg/kg BB. A.

mukosa lambung erosi (+). ...79

(24)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Hasil pengamatan gejala efek toksik pada kelompok kontrol sianida

(dalam detik) ...97 Lampiran 2. Hasil pengamatan gejala efek toksik pada kelompok kontrol

aquadest (dalam detik) ...97

Lampiran 3. Hasil pengamatan gejala efek toksik pada kelompok kontrol natrium

tiosulfat (dalam detik) ...97

Lampiran 4. Hasil pengamatan gejala efek toksik pada kelompok kontrol sianida (dalam detik) ...98

Lampiran 5. Hasil pengamatan gejala efek toksik pada kelompok kontrol sianida

(dalam detik) ...98

Lampiran 6. Hasil pengamatan gejala efek toksik pada kelompok kontrol sianida

(dalam detik) ...99 Lampiran 7. Hasil pengamatan gejala efek toksik pada kelompok kontrol sianida

(dalam detik) ...99

Lampiran 8. Hasil perbandingan pengamatan gejala efek toksik sianida terhadap

kelompok kontrol (aquadest, sianida (26 mg/Kg), dan Na-tiosulfat (160,720

mg/Kg)) ...116 Lampiran 9. Hasil uji menggunakan analisis statistik Kruskal-Wallis dan

(25)

BAB I. PENGANTAR PENGANTAR

A. Latar Belakang

Sianida adalah zat beracun yang sangat mematikan. Efek dari sianida ini

sangat cepat dan dapat mengakibatkan kematian dalam jangka waktu beberapa menit. Sianida dalam dosis rendah dapat ditemukan di alam dan ada pada setiap

produk yang biasa kita makan atau gunakan. Sianida dapat diproduksi oleh

bakteri, jamur dan ganggang serta ditemukan pada rokok, asap kendaraan

bermotor, dan makanan seperti bayam, bambu, kacang, tepung tapioka dan

singkong. Selain itu juga dapat ditemukan pada beberapa produk sintetik. Sianida banyak digunakan pada industri terutama dalam pembuatan garam seperti

natrium, kalium atau kalsium sianida (Utama, 2006). Sianida dan hidrogen sianida

digunakan dalam elektroplating, metalurgi, produksi zat kimia, pengembangan

fotografi, pembuatan plastik dan beberapa proses pertambangan (Anonim, 2000).

Sianida dapat mengganggu kesehatan serta mengurangi bioavailabilitas nutrien di dalam tubuh. Sianida merupakan racun yang bekerja cepat, berbentuk

gas tak berbau dan tak berwarna, yaitu hidrogen sianida (HCN) atau sianogen

khlorida (CNCl) atau berbentuk kristal seperti sodium sianida (NaCN) atau

potasium khlorida (KCN). Racun ini menghambat sel tubuh mendapatkan oksigen

sehingga yang paling terpengaruh adalah jantung dan otak. Paparan dalam jumlah kecil mengakibatkan napas cepat, gelisah, pusing, lemah, sakit kepala, mual dan

muntah serta detak jantung meningkat. Paparan dalam jumlah besar menyebabkan

(26)

gangguan paru serta gagal napas hingga korban meninggal (Utama, 2006).

Jika sianida yang masuk ke dalam tubuh masih dalam jumlah yang kecil

maka sianida akan diubah menjadi tiosianat yang lebih aman dan diekskresikan

melalui urin. Selain itu, sianida akan berikatan dengan vitamin B12. Tetapi bila jumlah sianida yang masuk ke dalam tubuh dalam dosis yang besar, tubuh tidak

akan mampu untuk mengubah sianida menjadi tiosianat maupun mengikatnya

dengan vitamin B12 (Utama, 2006).

Masuknya sianida ke dalam tubuh tidak hanya melewati saluran

pencernaan tetapi dapat juga melalui saluran pernafasan, kulit dan mata. Yang dapat menyebabkan keracunan tidak hanya sianida secara langsung tetapi dapat

pula bentuk asam dan garamnya, seperti asam hidrosianik sekitar 2.500–5.000

mg.min/m3 dan sianogen klorida sekitar 11.000 mg.min/m3 (Utama, 2006).

Jalur terpenting dari pengeluaran sianida ini adalah dari pembentukan

tiosianat (SCN-) yang diekresikan melalui urin. Tiosianat ini dibentuk secara langsung sebagai hasil katalisis dari enzim rhodanese dan secara indirek sebagai

reaksi spontan antara sianida dan sulfur persulfida (Utama, 2006). Reaksi ini

membutuhkan sumber utama yaitu sulfur sulfan namun jumlahnya dalam tubuh

terbatas maka natrium tiosulfat dapat digunakan sebagai antidot dalam keracunan

sianida karena natrium tiosulfat dapat berfungsi sebagai pemasok sulfur. Natriun tiosulfat merupakan antidot pilihan jika diagnosisnya belum tentu jelas karena

keracunan sianida atau bukan, seperti dalam kasus yang disebabkan oleh asap

(27)

Sering kali secara tidak kita sadari, kita juga dapat terpapar sianida,

untuk itu kita perlu mengetahui kisaran dosis optimum dari natrium tiosulfat yang

digunakan sebagai antidot dalam keracunan sianida. Kisaran dosis sangatlah

penting karena menurut Meredith (1993), meskipun secara intrinsik natrium tiosulfat bersifat nontoksik tetapi produk hasil reaksi detoksifikasi antara natrium

tiosulfat dengan sianida dapat bersifat toksik

1. Permasalahan

Yang timbul dalam penelitian ini adalah :

1. Berapa besar dosis efektif natrium tiosulfat dengan cara pemberian i.p. untuk keracunan sianida pada mencit?

2. Bagaimana wujud dan sifat penawaracunan sianida oleh natrium tiosulfat

secara pengamatan fisik dan struktural?

2. Keaslian penelitian

Penelitian mengenai natrium tiosulfat sebagai antidot pada keracunan sianida sudah pernah dilakukan, yaitu : Ann (2005), meneliti natrium tiosulfat

untuk keracunan sianida akut pada tikus. Hasil penelitian yaitu efek terapi natrium

tiosulfat ditunjukkan pada dosis 225 mg/kgBB secara i.p.

Penelitian mengenai Dosis Efektif natrium tiosulfat sebagai antidotum

untuk keracunan sianida pada mencit jantan galur Swiss sepanjang pengetahuan penulis belum pernah ada yang melakukan. Perbedaan dengan pene litian tentang

na-tiosulfat sebelumnya terletak pada hewan uji yang digunakan.

(28)

Penelitian ini bermanfaat dalam pengembangan pengetahuan tentang

natrium tiosulfat sebagai antidotum keracunan sianida.

2. Manfaat metodologis

Penelitian ini dapat memberi informasi tentang dosis efektif natrium tiosulfat dengan cara pemberian i.p. sebagai antidotum dalam keracunan sianida

pada hewan uji mencit.

3. Manfaat praktis

Penelitian ini dapat digunakan untuk mengetahui berapa besar dosis

efektif dari natrium tiosulfat yang dapat digunakan pada manusia.

B. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian menge nai Dosis Efektif natrium tiosulfat sebagai

antidotum untuk keracunan sianida pada mencit jantan galur Swiss untuk

mengetahui

1. Seberapa besar dosis efektif natrium tiosulfat dengan cara pemberian i.p.

untuk keracunan sianida pada mencit.

2. Wujud dan sifat penawaracunan sianida oleh natrium tiosulfat secara

(29)

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA PENELAAHAN PUSTAKA

A. Sianida 1. Tinjauan sejarah

Sianida sudah dikenal sebagai racun dalam kenari yang pahit, ceri, daun

salam, dan singkong sejak jaman dahulu. Sebuah catatan pada sebuah lontar Mesir

dalam museum Louvre, Paris menuliskan bahwa Dioscorides pada abad pertama, SM, telah mengetahui adanya sesuatu yang beracun di dalam kenari yang pahit

(Sykes, 1981).

Mekanisme biokimia untuk menawaracunkan sianida telah dijelaskan

oleh Chen dkk. (1933, 1934). Mereka manganjurkan penggunaan sebuah

kombinasi amil nitrit, natrium nitrit, dan natrium tiosulfat, senyawa terakhir berfungsi sebagai donor sulfur untuk rhodanese (sulfur transferase). Rhodanese

mempercepat detoksifikasi sianida dengan membentuk metabolit tiosianat. Ini

menunjukkan perkembangan salah satu penawar racun pertama berdasarkan

alasan ilmu pengetahuan tentang racun yang ilmiah. Kombinasi penawar racun ini

telah teruji lama, dan masih menunjukkan kombinasi penawar racun yang paling mujarab untuk terapi keracunan akibat sianida.

2. Sumber- sumber potensial sianida a. Sumber-sumber dari industri

Sianida digunakan di industri dan untuk mengontrol serangga atau

(30)

bangunan, kapal dan pesawat yang terserang serangga atau binatang yang

merugikan. Garam sianida, seperti natrium sianida dan kalium sianida digunakan

dalam proses pembersihan, penguat, ekstraksi bijih pada pertambangan, serta

elektroplating (Henry, 1997).

Nitril adalah turunan siano dari senyawa organik. Asetonitril digunakan

sebagai pelarut dan sedikit mengandung racun (LD50 = 120 mg/kg) dibanding

hidrogen sianida (LD50 = 0,5 mg/kg), tetapi sering mengandung campuran racun

yang berkaitan dengan metabolisme sianida anorganik. Ketika nitril alifatik

mengalami metabolisme menjadi sianida anorganik, ikatan aroma nitril stabil in vivo. Akrilonitril adalah bahan kasar yang digunakan untuk pabrik plastik dan

serat sintetis. Bersinggungan dengan kulit dapat menyebabkan kulit melepuh.

Pembakaran menghasilkan hidrogen sianida. Akrilonitril dan propionitril sedikit

mengandung racun (LD50 = 35 mg/kg) dibanding butironitril (LD50 = 10 mg/kg).

Trikloroasetonitril (LD50 = 200 mg/kg) digunakan sebagai obat pembasmi serangga. Aroma nitril, bromoksinil (LD50 = 190 mg/kg) dan ioksinil (LD50 =

110 mg/kg), digunakan sebagai obat pembasmi tanaman liar. Sianamida, asam

sianoasetk, ferrisianida dan ferrosianida tidak mengeluarkan sianida. Sehingga

mereka mangandung sedikit racun (LD50 = 1000-2000 mg/kg) dibanding

senyawa sianogenik diatas, walaupun mereka mungkin menyebabkan keracunan dengan cara lain misalnya sianida yang dicampur dengan alkohol (Olson, 2007).

b. Sumber- sumber non- industri

Api dan pengatur polusi kendaraan dilengkapi dengan kegagalan

(31)

zat alami seperti wol, sutera, rambut kuda, dan tembakau serta bahan sintetis

modern seperti poliuretan dan poliakrilonitril, mengeluarkan sianida selama

pembakaran (Levine dkk., 1978; Birky dkk., 1979; Anderson & Harland, 1982;

Clark dkk., 1983 ; Alarie, 1985 ; Lowry dkk., 1985) (Tabel I)

Tabel I. Hidrogen sianida yang dihasilkan oleh pembakaran (Montgomery dkk. (1975))

Bahan µg HCN yang dihasilkan per gram bahan

Kertas 1100

Katun 130

Wol 6300

Nilon 780

Busa poliuretan 1200

c. Sumber- sumber alam

Sianida ditemukan dalam bahan makanan seperti kol, bayam, dan kenari,

dan sebagai amigdalin dalam biji apel, persik, kismis, ceri dan biji kenari. Dalam biji- biji itu sendiri, amigdalin tampak tidak berbahaya selama itu kering. Akan

tetapi, biji- biji mengandung sebuah enzim yang mampu mengatalisis reaksi

hidrolitis berikut ini ketika biji-biji itu dihancurkan dan dibasahi (Olson, 2007) :

C20H27NO11 + 2H2O -- > 2C6H12O6 + C6H5CHO + HCN

Amigdalin glukosa benzaldehid hidrogen sianida Reaksi itu lambat dalam asam tetapi cepat dalam larutan alkali.

Minyak alami dari kenari yang pahit mengandung 4% HCN. Kacang

lima putih Amerika mengandung 10 mg sianida/100 g kacang. Akar kering ketela

(tapioka) mungkin mengandung 245 mg sianida/100 g akar. Kandungan sianida

(32)

d. Sumber- sumber iatrogenik

Sianida juga dibentuk pada terapi menggunakan nitroprusida, terutama

ketika diperpanjang, karena takifilaksis kadang membutuhkan penggunaan dosis

yang lebih tinggi daripada dosis maksimum yang dianjurkan 10 µg/kg per min (Smith & Kruszyna, 1974; MacRae & Owen, 1974; Piper, 1975; Atkins, 1977;

Anon, 1978). Sianida mengakibatkan metabolisme menjadi tiosianat. Tiosianat

telah digunakan beberapa tahun yang lalu sebagai agen antihipertensi dan mereka

tampak sering digunakan karena sangat efektif. Sedangkan pada jenis efek akut

sedang, termasuk anoreksia, kelelahan, dan sistem gastrointestinal dan gangguan CNS, mendorong pada keburukan mereka.

Laetril, amigdalin berasal dari biji aprikot, telah digunakan sebagai

sebuah agen anti kanker, tetapi sekarang tidak terpakai karena efek pengobatan

tidak dapat dipraktekkan dalam pembelajaran retrospektif dan prospektif. Laetril

telah menyebabkan keracunan sianida yang fatal (Sadoff dkk., 1978). 3. Jenis keracunan pada sianida

a. Keracunan akut sianida

Secara umum, menghirup kira-kira 50 ml (konsentrasi 1,85 mmol/l) gas

hidrogen sianida fatal dalam beberapa menit. Keracunan hidrogen sianida lebih

sering secara tidak sengaja daripada sengaja. Sehingga keracunan sianida secara tidak sengaja mungkin terjadi pada pengasap dan ahli kimia yang menggunakan

hidrogen sianida selama jalannya pekerjaan mereka (Chen dkk., 1944).

Pada kebakaran, kombinasi keracunan HCN dan karbon monoksida (CO)

(33)

kefatalan. Menelan garam sianida yang secara sengaja biasanya terjadi pada orang

yang bekerja dengan sianida. Menelan sedikitnya 250mg garam sianida anorganik

mungkin bisa fatal (Peters dkk., 1982). Akan tetapi, kematian bisa ditunda

beberapa jam mengikuti proses pencernaan sianida pada perut yang penuh; first-pass effect yang terjadi di hati juga dapat menunda onset dari sianida (Naughton,

1974).

b. Keracunan kronis sianida

Neurotoksisitas kronis karena dosis rendah telah diteliti dengan

pendekatan epidemiologi pada populasi yang mengkonsumsi secara alami tanaman yang mengandung glikosida (Blanc dkk., 1985). Glikosida ini terdapat

dalam banyak jenis spesies tanaman, terutama tanaman singkong, bahan makanan

utama daerah tropis (Conn, 1973; Cook & Coursey, 1981; Ministry of Health,

Mozambique, 1984). Ketela telah dihubungkan dengan ataxic neuropati tropis

(Cook & Coursey, 1981). Paraparesis wabah kejang telah dihubungkan dengan sebuah kombinasi kadar sianida yang tinggi dan belerang rendah yang masuk dari

makanan yang didominasi oleh ketela yang kurang diproses dan suplemen yang

kurang protein (Rosling, 1989).

Neurotoksologi juga telah ditemukan pada tembakau yang berhubungan

dengan ambliopia (Grant, 1980) dan pada amigdalin yang berhubungan dengan neuropati perifer (Kalyanaraman dkk., 1983). Keracunan sianida jangka panjang

telah ditunjukkan berhub ungan dengan pembesaran dan gangguan pada kelenjar

(34)

dalam pekerjaannya (Blanc dkk., 1985), melalui makanan yang dikonsumsi (Cook

& Coursey, 1981), dan secara eksperimental (El Ghawabi dkk., 1975).

4. Mekanisme keracunan sianida

Sianida mempunyai afinitas khusus pada ion-ion besi yang ada dalam sitokrom oksidasi, enzim akhir pada respirasi oksidatif dalam mitokondria. Enzim

ini merupakan katalisator yang penting untuk penggunaan oksigen pada jaringan.

Ketika sitokrom oksidasi dihambat oleh sianida, histotoksik anoksia terjadi karena

metabolisme aerobik yang terhambat. Pada keracunan sianida besar-besaran,

mekanisme keracunan lebih rumit. Ini memungkinkan bahwa getaran bebas dari amina biogenic mungkin berperan dengan menyebabkan gagal jantung (Burrows

& Way, 1976).

Sianida dapat menyebabkan vasokonstriksi pembuluh paru-paru dan atau

pembuluh jantung, yang akan mengakibatkan, secara langsung dan tidak

langsung, pada gagal pemompaan dan penurunan volume darah pada sirkulasi didalam tubuh yang dipengaruhi oleh penurunan fungsi organ jantung. Teori ini

didukung oleh peningkatan yang tajam pada tekanan pembuluh darah pusat yang

telah diobservasi oleh Vick & Froelich (1985) pada waktu ketika tekanan

pembuluh darah arteri turun setelah pengambilan natrium sianida ke dalam

pembuluh darah pada anjing. Observasi bahwa phenoxybenzamine, sebuah alfa adrenergic menghalangi obat, secara terpisah mencegah perubahan awal (Vick &

Froelich, 1985) mendukung konsep getaran awal menyatakan tidak berhubungan

(35)

Bau kenari yang pahit dalam udara yang kadaluarsa adalah tanda penting

keracunan sianida. Namun banyak orang tidak mampu merasakan bau asam

hydrocyanic (Kalmus & Hubbard, 1960). Timbulnya “non-smeller” dilaporkan

menjadi 18% diantara laki- laki dan 5% diantara wanita (Kirk & Stenhouse, 1953; Fukumoto dkk., 1957).

Secepatnya setelah menelan sianida, gejala yang sangat awal, seperti

iritasi lidah dan selaput lender, mungkin dialami. Aspirasi darah kotor mungkin

diobservasi jika pencucian lambung dilakukan. Gejala awal dan tanda- tanda yang

terjadi setelah penghisapan HCN atau proses pencernaan garam sianida termasuk kegelisahan, sakit kepala, pusing, kebingungan, dan hiperpnea, diikuti oleh

dispnea, membiru, hipotensi, bradikardi, dan sinus atau aritmia simpul AV.

Pada tahap kedua keracunan, kesadaran yang lemah, koma dan gangguan

hebat terjadi dan kulit menjadi dingin, lembab, dan basah. Detak jantung menjadi

lebih lemah dan lebih cepat. Opisthotonos dan trismus mungkin diobservasi. Tanda terakhir dari keracunan sianida termasuk hypotension, arrythmias komplek,

gagal pembuluh darah jantung, oedema paru- paru dan kematian.

Bahwa pewarnaan kulit merah terang atau ketidakadaan pembiruan yang

disebutkan dalam buku pelajaran (Gosselin dkk., 1984; Goldfrank dkk., 1984)

jarang dijelaskan dalam laporan kasus keracunan sianida oleh sebab itu harus lebih ditekankan. Secara teori tanda ini bisa dijelaskan oleh oxyhaemoglobin yang

berkonsentrasi tinggi dalam pembuluh darah balik, tetapi, terutama pada

(36)

Kadang-kadang, pada awalnya pembiruan bisa diobservasi, ketika kemudian

pasien bisa menjadi merah muda terang (Hilmann dkk., 1974).

Patogenesis udem paru-paru bisa dimaksudkan untuk beberapa

mekanisme yang berbeda: (1) proses metabolisme intraselular yang bisa melukai alveolus dan pembuluh rambut epithelium secara langsung, menghasilkan

sindrom kebocoran pembuluh rambut; (2) udem paru-paru neurogenik atau, (3)

hampir sama, efek langsung pada miokardium mengarahkan ke kegagalan jantung

bagian kiri dan peningkatan tekanan pembuluh darah paru-paru. Otak secara jelas

adalah organ utama yang dilibatkan dalam keracunan sianida dan ini telah ditunjukkan bahwa sianida meningkatkan laktat otak dan menurunkan konsentrasi

ATP otak (Olsen & Klein, 1974).

5. Pemeriksaan laboratorium a. Asidosis laktat

Karena phosphorylation oksidasi ditutup, tingkat glikolisis ditingkatkan dengan jelas, dimana berubah mengarah pada asam susu. Tingkat asam susu bisa

dihubungkan dengan kehebatan keracunan sianida (Trapp, 1970; Naughton,

1974).

b. Konsentrasi sianida dalam darah dan plasma

Sebelum perawatan intravenous dengan penawar racun dimulai, penting mengumpulkan heparinise (bukan fluoride) contoh darah untuk menentukan

konsentrasi sianida. Hasil dari contoh yang dikumpulkan setelah perawatan

benar-benar tidak bisa dipercaya. Sebuah tes kuantitatif yang menggunakan sebuah

(37)

digunakan untuk tes kuantitatif, sehingga kehebatan racun bisa dievaluasi.

Pengukuran obat setelah perawatan penawar racun seharusnya didasarkan pada

kondisi klinis dari pasien daripada konsentrasi darah sianida (Berlin, 1971; Vogel

dkk., 1981; Peter dkk., 1982). Karena konsentrasi darah sampai 0,005-0,04 mg/l telah direkam pada kesehatan orang yang tidak merokok, dan 0,01-0,09 mg/l pada

perokok, hanya konsentrasi diatas jumlah ini sebelumnya dianggap racun (Vogel

dkk., 1981; Peters dkk., 1982). Lundquist dkk., (1985) melaporkan bahkan

konsentrasi lebih rendah: bukan perokok 3,4 µg/l (seluruh darah), 0,5 µg/l

(plasma), 6,0 µg/l (eritrosit); perokok 8,6 µg/l (seluruh darah), 0,8 µg/l (plasma), 17,7 µg/l (eritrosit).

Keracunan sianida yang fatal telah dilaporkan dengan seluruh konsentrasi

darah 3 mg/l dan keracunan parah dengan 2mg/l (Graham dkk., 1977). Akan

tetapi, ketika sianida masuk aliran darah, sampai 98% secara cepat memasuki sel

darah merah dimana itu menjadi ikatan yang kuat. Rasio Plasma ke perbandingan darah sebesar 1:10 sehingga seluruh konsentrasi darah sianida mungkin tidak

secara akurat mencerminkan konsentrasi sianida pada jaringan. Konsentasi sianida

dalam plasma mungkin menjadi lebih penting karena pada keracunan yang parah

itu terjadi jika konsentrasi dalam plasma berada dalam level sedang (Vesey dkk.,

1976). Akan tetapi, kelemahan dari penggunaan plasma dalam mendeteksi sianida dalam dugaan keracunan karena ketidakstabilan sianida dalam plasma (Lundquist

(38)

6. Detoksifikasi sianida secara biologis

Jalan kecil utama penghilangan endogen adalah pengubahan, dengan

menggunakan tiosulfat, menjadi tiosianat. Jalan kecil pengeluaran adalah

pengeluaran hidrogen sianida melalui paru-paru dan mengikat sistein atau hidroksokobalamin.

Penghilangan sianida terjadi secara perlahan pada tingkat 0,017 mg/kg

per min (McNamara, 1976). Enzim sulfurtransferase dibutuhkan untuk mengatalis

pengiriman atom sulfur dari pemberi tiosulfat sampai sianida. Teori klasik yang

menandakan bahwa mitokondrial tiosulfat sulfurtransferase adalah enzim terpenting dalam reaksi ini yang sekarang diragukan karena tiosulfat menembus

selaput lipid secara perlahan dan sehingga tidak siap sedia sebagai sumber sulfur

pada keracunan sianida. Konsep modern menganggap peranan yang lebih besar

pada komplek serum albumin- sulfane, yang penahan utama penghilangan sianida

yang berjalan pada metabolisme normal (Sylvester dkk., 1983). Enzim berikutnya, beta-merkaptopiruvat sulfurtransferase, juga mengubah sianida menjadi tiosianat

(Vesey dkk., 1974). Enzim ini ditemukan dalam eritrosit, tetapi dalam sel-sel

manusia aktifitasnya rendah.

B. Terapi pada Keracunan Sianida 1. Terapi suportif

Walaupun penawar racun yang efektif tersedia, pengukuran pendukung

umum seharusnya tidak diabaikan dan mungkin menjadi penyelamat hidup.

(39)

keracunan industri, penggunaan penawar racun tertentu ditunjukkan hanya dalam

kasus keracunan yang hebat dengan koma yang lama, biji mata yang tidak reaktif,

dan pernapasan yang kurang dalam kombinasi dengan kurangnya peredaran darah.

Pada pasien dengan keracunan yang lumayan hebat, yang hanya mengalami ketidaksadaran singkat, gangguan hebat, muntah, dan membiru, terapi terdiri dari

perawatan intensif dan memberikan natrium tiosulfat ke dalam pembuluh darah.

Pada kasus keracunan ringan dengan kepeningan, rasa mual, dan rasa mengantuk,

hanya oksigen dan istirahat yang digunakan.

Peden dkk. (1986) menjelaskan sembilan pasien yang keracunan hidrogen sianida dikeluarkan oleh kebocoran katup. Tiga diantaranya tidak sadar

sebentar tapi sembuh dengan cepat setelah dipindah dari daerah dimana mereka

bekerja. Pembuluh urat nadi seluruh darah konsentrasi sianida pada pintu masuk

adalah 3.5, 3.1 dan 2.8 mg/l, secara berturut- turut. Konsentrasi sianida pada kasus

lain berkisar antara 2.6 dan 0.93 mg/l. semua disembuhkan hanya dengan terapi pendukung.

Antara tahun 1970 dan tahun 1984, tiga relawan laki- laki diberikan

perlakuan yang sama; dua diantaranya menunjukkan hasil kehilangan kesadaran

yang singkat, dan dalam kasus ini konsentrasi sianida 30 min setelah pemejanan

adalah 7,7 dan 4,7 mg/L. Konsentrasi pada pasien yang lain adalah 1,6 mg/L. Ketiga pasien sembuh tanpa penggunaan penawar racun sianida. Sebagian kecil

pasien yang tidak sadar dengan potensi konsentrasi racun dalam darah yang

(40)

dilaporkan oleh Graham dkk. (1977), Edward & Thomas (1978), dan Vogel dkk.

(1981).

Jika pasien tidak sadar, sebuah penawar racun tidak penting untuk

ditangani secara cepat kecuali tanda yang penting/ mematikan memburuk. Pasien yang terkena hidrogen sianida yang sampai rumah sakit dengan kesadaran penuh

hanya membutuhkan observasi dan penenangan hati.

2. Terapi antidot a. Oksigen

Ini sangat sulit dimengerti bagaimana oksigen mempunyai efek bagus dalam keracunan sianida, karena pencegahan oksidasi sitokrom tidak kompetitif.

Akan tetapi, oksigen selalu dianggap sebagai sebuah ukuran pertolongan pertama

pada keracunan sianida, dan sekarang ada bukti yang bersifat percobaan bahwa

oksigen mempunyai aktifitas penawar racun yang penting. Oksigen mempercepat

reaksi oksidasi sitokrom dan melindungi terhadap pencegahan oksidasi sitokrom oleh sianida (Takano dkk., 1980). Meskipun demikian, ada kemungkinan tindakan

lain dan yang secara klinis penting untuk ditentukan.

Oksigen hiperbarik dianjurkan untuk korban penghirupan asap yang

menderita dari gabungan karbon monoksida dan keracunan sianida, karena dua

agen ini secara gabungan racun. Penggunaan oksigen hiperbarik pada keracunan sianida yang murni masih diperdebatkan.

b. Natrium tiosulfat

Jalan utama penghilangan sianida dalam tubuh adalah pengubahan

(41)

beta-mercaptopiruvat sulfurtransferase, mungkin juga dilibatkan. Reaksi ini

membutuhkan sumber sulfane sulfur, tapi penyedia endogen dari zat ini terbatas.

Keracunan sianida adalah proses intramitokondrial dan sebuah penyediaan sulfur

ke dalam pembuluh darah hanya akan menembus mitokondria secara perlahan. Sedangkan natrium tiosulfat mungkin cukup pada kasus ringan sampai berat, ini

seharusnya ditangani dengan penawar racun yang lain pada kasus keracunan yang

berat. Selain itu pemilihan penawar racun juga dibutuhkan ketika diagnosa racun

sianida tidak pasti, sebagai contoh pada kasus penghirupan asap. Natrium tiosulfat

dianggap pada dasarnya tidak beracun tetapi produk penghilang racun dibentuk dari sianida, tiosianat, mungkin menyebabkan keracunan pada pasien dengan

kelainan ginjal.

C. Natrium Tiosulfat

Penggunaan natrium tiosulfat sebagai penawar racun telah dicatat dalam kepustakaan tentang keracunan yang berkaitan dengan sianida, gas mustard,

mustard nitrogen, bromat, klorat, brom, yodium, sisplatin, dan obat-obatan

tertentu (Dactinomycin, Mechlorethamine, Mitomycin) ketika dipaksa keluar dari

pembuluh. Juga ada beberapa referensi tentang efeknya pada iodat dan racun

hipoklorit. Peranan utama natrium tiosulfat terletak pada perawatan keracunan sianida.

1. Dasar pemikiran untuk memilih antidot

Efek natrium tiosulfat sebagai penawar racun pada keracunan sianida

(42)

Beberapa pengarang percaya ini akan menjadi pemawar racun yang bekerja cukup

lambat, walaupun yang lain telah memperagakan bahwa ini bekerja lebih cepat

dibanding pemikiran yang sebelumnya, memungkinkan pengubahan sianida

menjadi tiosianat (Krapez dkk., 1981). Tiosulfat membantu menghilangkan sianida pada enzim rhodanese. Akan tetapi, rhodanese adalah sebuah enzim

intramitokondrial dan tiosulfat membatasi kemampuan untuk menembus sel dan

selaput mitokondrial. Sehingga penyaluran tiosulfat hampir secara ekslusif

ekstraseluler (Cardozo & Edelman, 1952), sedangkan kerja penawar racunnya

telah dianggap terjadi secara intraseluler. Gambaran ini sekarang sedang dipelajari kembali dalam keterangan bukti penelitian mutakhir.

2. Kelompok risiko

Tidak ada kelompok resiko khusus yang dapat diidentifikasi mengenai

penggunaan natrium tiosulfat. Akan tetapi, harus dicatat bahwa kemungkinan

terdapat pengurangan kemampuan untuk mengubah sianida menjadi tiosianat dalam beberapa penyakit, contohnya, racun ambliopia (pada tembakau ambliopia

tertentu) dan berhentinya pertumbuhan penglihatan turun-temurun Leber (Wilson,

1965; Darby & Wilson, 1967). Secara tidak normal aktifitas rhodanese yang

rendah dalam hati telah dijelaskan pada dua pasien dengan berhentinya

pertumbuhan penglihatan turun- temurun Leber (Grant, 1986). 3. Nama dan rumus kimia

Nama internasional tanpa kepemilikan: Natrii thiosulfas; natrium

thiosulfate (Thiosulfate); Thiosulfate de natrium; Natrium thiosulfuricum;

(43)

thiosulfate, pentahydrate (NIOSH, 1986); 7772-98-7 untuk natrium thiosulfate,

anhydrous, (NIOSH, 1986).

Nama IUPAC : Natrium Thiosulfate, pentahydrate

Perusahaan : siap tersedia di banyak Negara.

Nama Komersil : secara komersil tersedia sebagai natrium thiosulfate atau sama

di banyak Negara.

Formula : Na2S2O3.5H2O (Martindale, 1989)

Rata-rata berat molekul : 248.2 (Martindale, 1989)

Spesifikasi garam kimia yang digunakan: natrium tiosulfat mangandung tidak kurang 99.0% dan tidak lebih atau sama dengan 101.0% Na2S2O3.5H2O

(Farmakope Eropa, 1980); transparan, kristal yang tidak berwarna (Farmakope

Eropa, 1980); tidak berwarna, tidak berbau, (atau hampir tidak berbau) kristal

prisma monoklinik, atau serbuk kristal yang kasar denga n rasa garam (Martindale,

1989).

4. Sifat fisiko-kimia a. Titik lebur dan titik didih.

Natrium tiosulfat larut dalam air pengkristalannya sendiri kira-kira pada

49ºC (Farmakope Eropa, 1980; Martindale, 1989). Ini kehilangan seluruh airnya

pada 100ºC dan terurai pada suhu yang lebih tinggi (Windholz, 1983). Di atas 200-300ºC, ini terurai menjadi sulfat dan pentasulfida (Kirk-Othmer, 1969; Hager,

1977). Ketika dipanaskan sampai titik penguraian, uap dari sulfur oksida terpancar

(Sax, 1984; PoisIndex, 1987).

(44)

Kemampuan larut yang tinggi dalam air (2 bagian natrium tiosulfat

dalam 1 bagian air) (Martindale, 1989; Windholz, 1983).

c. Kestabilan

Memuai dalam panas (&gt30ºC) udara yang kering. Sedikit higroskopik di udara yang lembab (Windholz, 1983). Disimpan dalam wadah kedap udara

(Martindale, 1989). Pelarut yang encer membatasi kestabilan yang berkaitan

dengan kecenderungan untuk mengurai secara perlahan seperti reaksi berikut ini:

Na2S2O3 -- > Na2S2O3 + S (larutan netral atau asam)

Na2S2O3 + H2O -- > Na2SO4 + H2S (larutan alkali)

Reaksi pertama dipercepat oleh asam dan yang kedua oleh udara atau

oksigen. Larutan natrium tiosulfat yang encer mengurai lebih cepat dalam panas.

Penyimpanan dengan akse yang terbatas pada udara dan cahaya dalam lingkunga n

yang dingin meningkatkan kestabilan (Kirk-Othmer, 1969; Martindale, 1989;

Windholz, 1983).

Tiosulfat yang dapat disuntikkan disimpan dalam tempat kaca kecil yang

tersegel selama tiga tahun menunjukkan tidak adanya perubahan penting pada

komposisi.

d. Pembawa

Untuk tiosulfat yang dapat disuntikkan (0.15g/ml) : natrium fosfat dodekahidrat (Na2HPO4.12H2O) 1.2% (informasi dari Perusahaan Nasional

(45)

5. Mekanisme penawaracunan

Jalan utama penghilangan sianida dalam tubuh adalah pengubahan

menjadi tiosianat. Reaksi ini membutuhkan sumber sulfur sulfan (sulfur

dwivalensi terikat pada sulfur lain) dan dikatalis oleh sulfur transferase. Telah dianjurkan bahwa ada kelompok psikologi sulfur sulfane reaksi sianida menempel

pada albumin yang mungkin bekerja sebagai penyangga melawan produksi

endogen sianida (Westley dkk., 1983; Way dkk., 1984). Tiosulfat ada dalam tubuh

hanya dalam jumlah kecil, sebagian besar diperoleh dari sistin dan senyawa

mercapto yang lain. Cadangan psikologi yang tersedia untuk penghilangan sianida menjadi terbatas (Schulz dkk.1979b)

Rhodanase

Na2S2O3 + CN- SCN + Na2S2O3

Ini disalurkan ke seluruh tubuh, konsentrasi paling tinggi ditemukan

dalam hati, dan sebagian besar terletak dalam rahim mitokondria (Westley dkk., 1983). Keberadaan oksidasi tiosianat yang dapat mengoksidasi tiosianat kembali

menjadi sianida (Goldstein & Rieders, 1953) telah dipertanyakan. Akan tetapi, ini

sekarang terhubung dengan formasi artifaktual HCN selama pengujian kadar

logam (Vesey, 1979).

Natrium tiosulfat mengandung dwivalensi pemberi sulfur yang penting terikat pada sulfur yang lain dan ini adalah pemberi sulfur utama untuk rhodanese

dalam pengubahan sianida menjadi tiosianat. Sedangkan rhodanese tersedia

berlebih dalam tubuh, kekurangan pemberi sulfur yang cocok adalah faktor

(46)

adalah dasar pemikiran untuk pengambilan natrium tiosulfat pada keracunan

sianida sehingga kapasitas endogen penghilang racun tubuh ditingkatkan.

6. Profil biokimia/farmakologi lain a. Farmakokinetik

Ketika tiosulfat dosis tinggi disuntikkan pada mamalia, bagian yang lebih

besar dikeluarkan tidak diubah oleh pengeluaran ginjal tapi jumlah tertentu

dioksidasi menjadi sulfat. Bagian kecil terakhir meningkat karena dosis tiosulfat

menurun. Oksidasi tiosulfat menjadi sulfat terjadi dalam hati dengan dua langkah

jalan kecil enzim. Pembelajaran oleh Gilman dkk. (1946) membuktikan bahwa penyuntikan tiosulfat ke dalam pembuluh darah secepatnya disalurkan dalam

tempat cairan extracellular dan bahwa pembuangan ginjalnya terjadi penyaringan

syaraf ginjal. Percobaan hewan lebih lanjut telah menunjukkan bahwa sistem

pengangkutan tabung mungkin juga terjadi (Sörbo, 1972).

Tiosulfat disimpan dan diserap kembali dalam manusia dan anjing, menurut Bucht (1949) dan Foulks dkk. (1952). Pembersihan tiosulfat rendah, tapi

pada tingkat yang tinggi pembersihan sama dengan mutu penyaringan syaraf

ginjal. Ini berarti bahwa pada tingakatan plasma tiosulfat yang tinggi,

penyimpanan Tm (pengiriman maksimal) sama dengan penyerapan kembali Tm,

sedangkan pada tingkat plasma yang rendah seluruh penyaringan dan penyimpanan tiosulfat diserap kembali sehingga ada sebuah pengurangan nilai

pembersihan tiosulfat.

Volume penyaluran, seperti yang ditentukan pada berat anjing 8.5-14.4

(47)

Rhodanase

Na2S2O3 + CN- SCN + Na2S2O3

Reaksi katalis sulfurtransferase dimana sulfur sulfan diikutkan,

rhodanase adalah sulfurtransferase yang telah banyak dipelajari secara ekstensif. Rhodanase mengakatalis pengiriman sulfan.

Pembelajaran secara kinetik telah menunjukkan bahwa ada tempat

kationik pada rhodanase untuk pemberi anionik sulfur (Westley dkk,1983)

sebagian besar dosis tiosulfat yang disuntikkan dikeluarkan dan tidak mengalami

perubahan. Tiosulfat dianggap menyebar secara perlahan melalui selaput sel (Himwich dan Saunders, 1948; Sorbo,1962).

Menurut Crompton dkk, (1974), tiosulfat bisa menggunakan pembawa

dikarboksilat untuk memasuki mitokondria, seperti yang ditunjukkan pada

percobaan dengan menggunakan mitokondria pada hati tikus. Sistem ini khusus

pada senyawa anion valensi dua.

Telah ditunjukkan oleh Szczepkowski dkk,(1961) bahwa ketika

menggunakan tiosulfat yang dilabeli 2 atom sulfur mempunyai keuntungan yang

berbeda selama serangkaian proses metabolisme pada hewan. Pada tikus, atom

sulfur dalam dihilangkan sangat cepat dihilangkan dalam bentuk sulfat ketika

atom luar diubah menjadi sulfat lebih lambat, mungkin mulai melalui jumlah tingkat tahap tengah.

Ketika hewan percobaan disuntik dengan tiosulfat yang mengandung 35S

pada posisi sulfannya secara ekslusif. Ini seluruhnya dapat ditemukan berlabel

(48)

Percobaan pada anjing (Michefelder dan Tinker,1977; Schulz dkk,1979b)

telah menunjukkan bahwa kapasitas persediaan endogen tiosulfat untuk

menghilangkan sianida dilebihkan jika natrium nitroprusside diatur sebagai infus

yang terus menerus pada rata-rata lebih dari 0,5 mg/kg/jam ketika hewan percobaan menerima dosis yang lebih tinggi dari 0,5/mg/kg/jam, konsentrasi

darah sianida mereka meningkat secara bertahap. Hewan percobaan yang

menerima dosis yang sama mengalami kondisi yang sama tetapi dengan

pemberian infus tiosulfat tambahan 6 x (b/b) dosis natrium nitroprusside tidak

menunjukkan tanda yang tidak normal. Volume urin dalam anjing yang diberi tiosulfat diatas 48 jam periode kira-kira 2x hewan yang tidak diberi, barangkali

berhubungan dengan peningkatan rata-rata formasi tiosianat dan penghasil

osmotik diuresis. Hasil yang sama diperoleh dalam percobaan pada kelinci (Hobel

dkk, 1978).

b. Farmakodinamik

Setelah induksi natrium nitroprusida (SNP) akut. Pemejanan pada kelinci

secara injeksi bolus tiosulfat dan hidroksokbalamin (Vit B12a) pada SNP/

perbandingan konsentrasi molar penawar racun 1:5 sama efektifnya pada

pengurangan tanda awal keburukan asidosis metabolik (Pill dkk,1980). Selama

masa pengamatan berikutnya kelebihan dasar B12a sebagai penawar racun didapati lebih rendah daripada dengan tiosulfat, ketika 2 penawar racun diberikan

secara paralel dengan dosis SNP tinggi natrium tiosulfat terbukti lebih bagus dari

B12a. Pengarang menganjurkan bahwa untuk tujuan klinis SNP harus selalu

(49)

Sebuah molekul SNP mengandung 5 ion sianida, sehingga tiosulfat harus

diberikan dalam pervandingan molar paling tidak 5 : 1, yang cocok untuk dosis 4

bagian oleh berat natrium tiosulfat terhadap salah satu SNP. Schulz dkk. (1979b)

menganjurkan bahwa karena tiosulfat dimetabolis dan dihilangkan dengan cepat dari tubuh lebih baik untuk mengaturnya secara berlebih dengan infus yang

berkala.

Chen dkk, (1934) menunjukkan bahwa natrium tiosulfat menghilangkan

racun sianida sampai 3x dosis minimal yang mematikan (MLD), dosis tiosulfat

yang berbeda secara i.p untuk tikus pada waktu yang berbeda setelah penyuntikkan sub lethal atau lethal dosis sianida (Schubert dan Brill, 1968).

Ketika tiosulfat diberikan kepada tikus 5 menit setelah sianida, waktu setelah

penyembuhan dari keracunan sianida sangat diperpendek, tikus diberi tioslufat 10

menit setelah sianida (ketika pencegahan oksidasi sitokrom hati maksimal)

sembuh 5-10 menit kemudian sebagai pengganti 30-40 menit secara normal yang dibutuhkan tanpa perawatan.

c. Toksikologi

Penghilangan hasil sianida, tiosianat, dikeluarkan dalam air seni.

Konsentrasi tiosianat normalnya 1-4 mg/l dalam plasma bukan perokok dan 3-12

mg/l pada perokok. Tiosianat plasma setengah hidup pada pasien dengan fungsi ginjal normal adalah 4 h (Blaschle & Melmon, 1980), tapi pada ginjal yang tidak

normal ini secara jelas diperpanjang dan sehingga resiko keracunan pada para

pasien meningkat (Schulz dkk., 1978). Tingkat tiosianat yang lebih dari 100 mg/l

(50)

lemahnya kekejangan otot, rasa muak, penyimpangan orientasi, sakit jiwa, gerak

yang berlebihan, dan pingsan (Smith, 1973; Michenfelder & Tinker, 1977).

Keracunan mematikan pada konsentrasi yang lebih besar dari 180 mg/l telah

dilaporkan (Healy, 1931; Garvin, 1939; Russel & Stahl, 1942; Kessler & Hines, 1948; Domalski dkk., 1953). Haemodialysis dianjurkan sebagai sebuah cara yang

efektif menghilangkan thicyanate (Marbury dkk., 1982). Dialysance yang

berjumlah 82,8 ml/min (in vivo) dan 102,3 ml/min (in vitro) telah dicatat (Pahl &

Vaziri, 1982). Sedikit diketahui tentang sifat pengikat protein tiosianat, dan

haemoperfusion mungkin lebih efektif daripada haemodialisis.

Menurut NIOSH (1986) pemberian secara i.v dosis LD 50 pada tikus 250

mg/kg sedangkan pemberian secara i.v paling rendah mengeluarkan dosis yang

mematikan (LDLO) pada anjing 3000 mg/kg (Dennis dan Feltchef, 1966). Ketika

anjing diberikan 3000 mg/kg Natrium tiosulfat pentahidrat secara i.v (Dennis dan

Feltchef, 1966), efek berikut ini berkembang secara cepat. Metabolik asidosis hipoksemi, hipernatremia dan perubahan pada ECG dan dalam tekanan arteri dan

vena. Dalam percobaan ini kenaikan cepat dan langsung pada konsentrasi serum

natrium akan diharapkan karena isi natrium dalam natrium tiosulfat pentahidrat

kira-kira 24 MEQ/3000 mg dan anjing yang bertahan terhadap suntikan

menunjukkan tanda diuresis yang akan diperkirakan dari dosis osmotik besar yang dilakukan. Dianjurkan bahwa natrium tiosulfat pentahidrat (1500 mg/kg)

diberikan secara i.v pada rata-rata konstan diatas 30 menit/periode ditahan dengan

(51)

Selama pelaksanaan SNP kronis infus simultan tiosulfat mungkin

menunjukkan masalah karena akumulasi pembesaran plasma tiosianat dan bahaya

hipofolaemia (Michen Felder dan Tinker, 1977). Fesey dkk. (1985) menganjurkan

bahwa ini cukup untuk memberikan dosis bolus natrium tiosulfat jika hanya dosis SNP atau dosis rata-rata berlebihan. Disitu tampak tidak ada informasi yang

cenderung pada teratogen dan mutagenesis natrium tiosulfat

7. Rute pemberian

Pada keracunan sianida, natrium tiosulfat seharusnya diberikan secara i.v

(penyerapan sangat buruk setelah pelasanaan oral) sebagai penyuntikan bolus atau dengan infus melebihi paling tidak 10 min. Ketika digunakan untuk mencegah

keracunan sianida selama terapi SNP bisa diberikan secara simultan dengan infus

berkala atau , secara alternatif, sebagai penyuntikkan bolus yang lambat

8. Dosis

Dosis awal yang dianjurkan untuk orang dewasa dalam pembuktian keracunan sianida adalah 8-12,5 gram (Chen dkk; 1944; Chen dan Rose, 1952),

atau 0.2 g/kgBB (Sorbo, 1972). Dosis ini berdasarkan kasus individu dimana dosis

ukuran ini telah terbukti efektif data percobaan dan pertimbangan teoritikal

mendukung anjuran ini walaupun kebenaran ini kurang benar. Untuk anak-anak

relatifnya dosis yang lebih tinggi secara umum dianjurkan. Untuk anak-anak dengan konsentrasi hemoglobin normal, dosis kira-kira 410 mg/kgBB telah

dianjurkn (Berlin;1970) dan banyak buku panduan menganjurkan dosis rata-rata

(52)

membuat anjuran ini, natrium tiosulfat digunakan dalam kombinasi dengan

penawar racun yang lainnya, terutama natrium nitrit.

Resiko keracunan sianida pada pasien yang melakukan perwatan dengan

SNP didokumentasikan dengan baik, Natrium tiosulfat telah didapati ideal pada situasi ini dan telah dianjurka bahwa rasio B/B untuk SNP dan Natrium tosulfat

seharusnya paling tidak 1:4 (Schulz dkk;1979b) dan terutama untuk mendapat

kelebihan tiosulfat, 1/5-6. Penawar racun bisa diberikan juga dengan infus berkala

secara simultan dengan SNP (Schulz dkk; 1982) atau dengan suntikan bolus.

Dosis awal pada orang dewasa adalah (8-12,5 g natrium tiosulfat diberikan secara injeksi bolus i.v/infus diatas 10-15 min, secara alternatif total

dosis awal bisa dihitung sebagai 150-200 mg/kgBB. Dosis tambahan zat ditandai

menurut rangkaian klinis. Dosis awal pada nak-anak adalah 400 (300-500) mg/kg

BB diberikan secara i.v seperti yang diindikasikan diatas.

Untuk mencehak keracunan sianida selama terapi SNP natrium tiosulfat seharusnya diberikan oleh infus simultan dengan dosis 5-6X melebihi (b/b) dosis

SNP atau secara alternatif, suntikan bolus bisa digunakan.

9. Kontraindikasi

Tidak ada kontra indikasi khusus. Keracunan natrium tiosulfat adalah

rendah dan efek racun seharusnya tidak diharapkan kecuali dosisnya jauh melebihi yang dianjurkan. Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal, dialisis

bisa dianggap untuk penghilangan tiosianat yang lebih cepat (selama perawatan

jangka panjang). Dosis yang dianjurkan diatas seharusnya tidak diubah pada kaus

(53)

10. Efek samping

Efek samping adalah kecil dan tidak terlalu penting dibandingkan untuk

resiko jika dihubungkan dengan keracunan sianida. Injeksi cepat dari larutan

hiperosmolar natrium tiosulfat dapat menyebabkan nausea dan vomiting (Ivankovich dkk;1983). Adanya hipotensi keduanya dimungkinkan pada

pembentukan dari tiosianat, dimana diketahui untuk dapat terjadi nya hipotensif

(Done,1961) efek samping lainnya yang berhubungan dengan produksi tiosianat

adalah nausea, headache dan disorientasi. Jika tiosulfat telah diinjeksikan ke

anjing (Vesey dkk;1985) tidak ada efek samping dimana terlihat yang memperantarai hipotensi. Efek diuretik dan ga ngguan tekanan osmotik adalah

efek samping yang mungkin dapat terjadi (Martindale,1989).

11. Penggunaan pada kehamilan/menyusui

Termasuk dalam kategori C berdasarkan FDA (Olson, 2007), studi

terhadap binatang percobaan telah memeperlihatkan adanya efek samping pada janin (teratogenik atau embriosidal atau efek samping lainnya) dan tidak ada studi

terkontrol pada wanita hamil. Obat hanya diberikan jika manfaat yang diperoleh

lebih besar daripada risiko yang mungkin terjadi pada janin (Anonim, 2006).

D. Anatomi Fisiologi 1. Jantung

Fungsi utama jantung adalah sebagai pompa dalam sistem transport yang

(54)

lainnya dari satu bagian tubuh ke bagian tubuh lainnya. Jantung sebagai pompa

merupakan salah satu bagian dari sistem kardiovaskular disamping sistem

pembuluh darah dan darah. Ketiga komponen tersebut dapat dipengaruhi oleh zat

toksik (Stine and Brown, 1996)

Jantung Merupakan organ berotot yang memompa darah ke arteri.

Dindingnya terdiri dari 3 lapisan :

a. Endokardium (lapisan yang paling dalam, yang kontak dengan darah)

(Bergman, Adel, and Paul, 1996).

b. Miokardium terdiri dari otot jantung dan berhubungan dengan tunika media dari dinding pembuluh darah. (Bergman, 1996).

c. Epikardium (lapisan terluar) (Bergman, 1996).

2. Lambung

Lambung memiliki sejumlah fungsi disamping penyimpanan makanan

dan pengendalian pelepasannya kedalam duodenum. Asam hidroklorida membunuh banyak bakteri yang ditelan. Sel parietalis dalam mukosa lambung

juga mensekresi faktor intrinsik, suatu senyawa yang diperlukan bagi absorpsi

sianokobalamin (vitamin B 12) dari usus halus.

3. Usus halus

Terbagi menjadi 3 bagian, yaitu duodenum, bagian awal; bagian tengah, jejunum; dan bagian akhir adalah ileum. Lipatan mukosal dan submukosal nya

berbentuk plicae circulares, valves of keckring, atau valvulae conniventes.

Lipatan- lipatan tersebut tidak terdapat pada bagian awal duodenum, paling banyak

(55)

lapisan sama seperti yang ada di lambung, yaitu mukosa, submukosa, muskularis

eksterna, dan serosa (kecuali pada bagian duodenum, yang mana adalah

retroperitoneal dan karena itulah tidak terdapat lapisan terluar mesotelial, turunan

dari peritoneum) (Bergman, 1996).

Usus halus atau usus dua belas jari dan usus besar adalah bagian dari

usus. Panjang usus halus sekitar 4-7 meter, panjangnya bervariasi sejalan dengan

kontraksi dan relaksasi dinding otonya (Anonim, 1987). Usus halus dibagi

menjadi dupdenum, jejenum, dan ileum. Usus halus mempunyai dua fungsi utama

yaitu pencernaan dan absorpsi bahan-bahan nutrisi dan air. Mukosa pada usus halus terselubung dengan vili yang bentuknya seperti jari- jari, yang membuat

usus halus mempunyai permukaan yang luas (sekitar 10 m2 ). Terdapat sekitar

25-40 vili/mm2 , setiap vili panjangnya sekitar 1 mm. Pada duodenum dan jejenum,

mukosa terbenam di dalam lipatan- lipatan dan vili panjang-panjang dan sangat

rapat. Mengarah ke ileum, lapisan mukosanya lebih sedikit lipatannya, dindingnya lebih tipis, dan vilinya lebih pendek dan lebih jarang. Semua pencernaan dan

penyerapan yang penting terjadi didalam usus halus. Baik lambung maupun usus

besar dapat diangkat seluruhnya tanpa menyebabkan dampak yang serius.

Kira-kira sampai sepertiga usus halus dapat diangkat tanpa memberikan efek pada

pencernaan, dan daya tahan hidup masih dapat dimungkinkan dengan kira-kira 1 meter usus halus dalam keadaan utuh (Anonim, 1987b).

4. Hati

Hati mempunyai banyak fungsi kompleks, di antaranya pembentukan

(56)

protein plasma, pentak-aktifan sejumlah hormon polipeptida, pengurangan dan

konjugasi hormon korteks adrenalis dan steroid gonad. Sintesis

25-hidroksikolekalsiferol, detoksikasi banyak obat dan toksin, dan banyak fungsi

yang berhubungan dengan metabolisme lemak (Ganong, 1995). Ketika produk dari pencernaan mencapai hati, maka produk-produk ini dipecah menjadi

bentuk-bentuk senyawa anorganik baru:

Hati merupakan kelenjar terbesar pada tubuh manusia yang terdiri dari 4

bagian, lobus yang tidak lengkap yang terpisah, tertutup oleh selaput jaringan

penghubung (selaput Glisson) dan terselubungi secara tidak lengkap oleh peritoneum. Bagian selaput yang lebih tebal adalah pada bagian hilum (porta

hepatik), dimana pembuluh darah dan pembuluh limfa serta saluran empedu yang

keluar dan masuk hati (Bergman, 1996).

5. Ginjal

Ginjal berfungsi memfilter sampah nitrogen terutama sebagai urea dan toksin-toksin lain dari darah dan mengontrol kehilangan air dan elektrolit dalam

urine, dengan demikian mempertahankan keseimbangan yang tepat dari substansi

ini dalam tubuh. Dengan mengendalikan komposisi dan volume cairan

ekstraseluler, yang memelihara lingkungan yang diatur secara ketat yang

diperlukan oleh sel-sel yang strukturnya sangat rumit dan halus jika ingin sel-sel ini berfungsi dengan tepat (Anonim, 1987b).

6. Paru

Paru berfungsi sebagai alat pernafasan, Fungsi sistem pernafasan adalah

Gambar

Tabel III. Hasil perbandingan antar kelompok pada gejala efek toksik jantung
Gambar 3. Grafik mean ± 2 SE untuk gejala efek toksik berupa gagal nafas .....53
Gambar 10. Gambaran histopatologi untuk organ paru mencit akibat pemberian
Gambar 11. Gambaran histopatologi untuk organ jantung mencit akibat pemberian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Lama praperlakuan infusa kelopak bunga rosela ( Hibiscus sabdariffa L.) dosis 1,25 g/kg BB selama 3 hari dapat digunakan sebagai analgetika. Perlu dilakukan penelitian lanjutan

Kurva hubungan log dosis senyawa 2,5 -bis -(4’-metoksi-benzilidin)- siklopentanon dengan daya analgesik persisten (dalam %) pada uji daya analgesik persisten senyawa 2,5

Sesuai dengan perumusan masalah dan batasan masalah yang telah dikemukakan, tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui pengaruh minyak dedak dalam