• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dosis efektif NA-Tiosulfat sebagai antidotum untuk keracunan sianida pada mencit jantan galur swis.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dosis efektif NA-Tiosulfat sebagai antidotum untuk keracunan sianida pada mencit jantan galur swis."

Copied!
127
0
0

Teks penuh

(1)

INTISARI

Keracunan sianida dapat berakibat fatal jika tidak segera dilakukan terapi antidotumnya, Keberhasilan Natrium tiosulfat sebagai terapi antidotum salah satunya ditentukan oleh ketepatan dosisnya.

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui gejala, mekanisme, wujud, sifat, dan efek dari keracunan sianida, mengetahui seberapa besar kisaran dosis natrium tiosulfat ya ng efektif untuk keracunan sianida, mengetahui hubungan antara dosis natrium tiosulfat dengan efek penawaran racun pada keracunan sianida pada mencit.

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola searah. Terdir i dari 7 kelompok : kelompok I diberi KCN dosis 26 mg/kgBB p.o, kelompok II diberi aquadest 25 mg/KgBB p.o, kelompok III diberi larutan natrium tiosulfat (Na2S2O3) dosis 160.720 mg/kgBB

diberikan secara i.p, kelompok IV-VII diberi larutan KCN secara p.o, kemudian diberi antidotum natrium tiosulfat dengan peringkat dosis berturut-turut : 0.468 mg/kgBB, 3.279 mg/kgBB, 22.960 mg/kgBB dan 160.720 mg/kgBB secara i.p.

Hasil penelitian didapatkan bahwa gejala dari keracunan sianida pada mencit meliputi : hilang kesadaran, gagal nafas, kejang, sampai menimbulkan kematian. Mekanisme keracunan sianida pada mencit adalah sianida berikatan dengan besi dalam feri sitokrom oksidase. Wujud efek toksik sianida berupa perubahan biokimia dan mungkin juga perubahan fungsional. Sifat dari keracunan sianida pada mencit adalah terbalikkan dan tidak terbalikkan. Dosis efektif natrium tiosulfat sebagai antidotum untuk keracunan sianida pada mencit sebesar 160.720 mg/KgBB intraperitoneal. Meningkatnya dosis natrium tiosulfat dapat meningkatkan efek pengawaracunan sianida pada mencit

(2)

ABSTRACT

Cyanide poisoning can cause fatal result if its antidote therapy is not done shortly., one of the successes Thiosulphate sodium as antidote therapy s is determined by its dose accuracy.

The research aims to know the indication, mechanism, configuration, characteristics, and effects of cyanide poisoning, to know how much effectiveness the dose estimation of thiosulphate sodium for cyanide poisoning, to know the relationship between thiosulphate sodium dose and the effect of poison antidote for cyanide poisoning toward mice.

The research is a pure experimental research with random unidirectional pattern program. Forty two male mice are divided into seven groups equally that consist of: group I is given resolvent that is aquadest 25mg/KgBB per oral, group II is given KCN solution with dosage 26mg/kgBB per oral as a poison positive control, group III is given thiosulphate Sodium solution (Na2S2O3) with dosage

160.720mg/kgBB given intraperitoneally (i.p), group IV-VII are given KCN solution per oral (p.o) and then given thiosulphate sodium antidote with dosage level in a row: 0.468 mg/kgBB, 3.279 mg/kgBB, 22.960 mg/kgBB and 160.720 mg/kgBB intraperitoneally.

From the research result, it can be seen that the indication of cyanide poisoning toward mice includes lost consciousness, fail breathing, spastic, and causing death. Mechanism of cyanide poisoning toward mice shows its toxicity especially because of its ability to react against iron in ferric sitokrom oxide. Because aerobe metabolism is depended on this enzyme system, so the tissue can no longer use oxygen and hypoxia. The configuration of cyanide toxic effect is biochemical alteration and functional alteration, too. The characteristic of cyanide poisoning toward mice is not capsized.

Effective dose thiosulphate sodium as antidote for cyanide poisoning toward mice is 160.720mg/KgBB intraperitoneal. The increase of thiosulphate sodium dosage can increase the effect of antidote of cyanide poisoning toward mice.

(3)

UNTUK KERACUNAN SIANIDA PADA MENCIT JANTAN GALUR SWISS

HALAMAN SAMPUL

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh :

Andrew Arief Sudarmono NIM : 04 8114 132

FAKULTAS FARMASI

(4)

DOSIS EFEKTIF NA-TIOSULFAT SEBAGAI ANTIDOTUM

UNTUK KERACUNAN SIANIDA PADA MENCIT JANTAN GALUR SWISS

HALAMAN JUDUL

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh :

Andrew Arief Sudarmono NIM : 04 8114 132

FAKULTAS FARMASI

(5)

DOSIS EFEKTIF NA-TIOSULFAT SEBAGAI ANTIDOTUM

UNTUK KERACUNAN SIANIDA PADA MENCIT JANTAN GALUR SWISS

(6)
(7)

HALAMAN PERSEMBAHAN

What is there that is not poison?

A ll things are poison and nothing (is)

without poison. S olely the dose

determines that a thing is not a poison

(P aracelcus, 1493- 1541)

With all my love, for

P api, M ami, K o George, K o Charles

A lmamaterku,

(8)

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :

Nama : Andrew Arief Sudarmono

Nomor Mahasiswa : 04 8114 132

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

DOSIS EFEKTIF NA-TIOSULFAT SEBAGAI ANTIDOTUM UNTUK KERACUNAN SIANIDA PADA MENCIT JANTAN GALUR SWISS

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : 28 Juli 2008

Yang menyatakan

(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Bapa di Surga dan Tuhan Yesus Kristus karena atas berkat, hikmat, kasih, kekuatan, dan cinta-nya yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Dosis Efektif Natrium Tiosulfat sebagai antidotum untuk keracunan sianida pada mencit jantan galur swiss”.

Skripsi ini disusun sebagai tugas akhir untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata satu Farmasi (S. Farm.), program Studi Ilmu Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Sekaligus untuk menambah pengetahuan dalam dunia kefarmasian pada umumnya.

Pada Kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih atas segala bantuan yang penulis terima baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Ucapan terima kasih yang tulus khususnya penulis tujukan kepada : 1. Bapa di surga atas kasih dan karunia-nya yang telah memberi kekuatan yang

tak terduga.

2. Rita Suhadi, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

(10)

bersama penulis selama proses penelitian, penyusunan, hingga selesainya skripsi ini.

4. Drs. A. Tri Priantoro, M.For.Sc. selaku dosen penguji, yang telah memberikan banyak dukungan, saran, dan kritikan yang membangun.

5. dr. Fenty, M.Kes., Sp.PK selaku dosen penguji, yang telah memberikan banyak dukungan, saran, dan kritikan yang membangun.

6. dr.Luciana Kuswibawati, M.Kes selaku dosen pembimbing dalam pembacaan histopatologi organ atas saran dan masukannya.

7. Rm. Drs. P. Sunu Hardiyanto, S.Si , S.J selaku dosen pembimbing dalam analisis data statistik atas saran dan masukannya.

8. Yosef Wijoyo, M.Si., Apt selaku dosen pembimbing dalam penambahan literatur.

9. Papi terima kasih atas doa, bimbingan dan dukungannya untuk dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

10.Mami yang selalu memberikan semangat dari surga, terima kasih atas doa dan bimbingannya selama ini.

11.George dan Charles, kakak-kakakku, terima kasih atas dukungan, saran, kritik dan doanya, Thank you for being my”super” brother

(11)

13.Pak Agus (laboran Laboratorium Farmakologi) Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada, Pak Surono (UPHP) Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada, atas bantuannya dalam menyediakan hewan uji.

14.Pak Dian di Laboratorium Patologi, Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Wilayah IV Daerah Istimewa Yogyakarta atas bantuannya dalam pembuatan preparat histopatologi organ.

15.Untuk om-eg terima kasih atas dukungan,bimbingan dan wejangan-wejangannya selama ini.

16.Untuk Shintia Legasari terima kasih atas kesabaran, dukungan, kasih, sayang dan cinta-nya selama ini dan khususnya pendampingan pada saat penyusunan skripsi ini.

17.Teman-teman senasib seperjuangan dalam rangkaian penelitian ini Tintuz, Blian buat semua dukungan, kebersamaan, selama melakukan penelitian di laboratorium.

18.Lidia-epez, Arie-Gozonk, Blian, Cin, Novi-kebo, Cika-tembong, Nike-Oneng, Apri-Gajah, Fandy, Tice, Tintus, buat semua bantuan, tawa, air mata, kegilaan, kebersamaan, semangat, dukungan, serta kesediaan untuk jadi tempat berbagi dan teman dikala senang dan duka.

(12)

20.Ndut Reta, Nolen, Welly, Tami, Sinta-Lele, Cocow, Mas Punto, Erlin terima kasih sudah menjadi teamwork yang baik selama kepengurusan BPMF periode 2006-2007.

21.Lia, Bang Jok, Dewi, Indri, Dima, Ndaru, Tato, Amel, Mitha, atas kebersamaannya dalam Kuliah Kerja Nyata Universitas Sanata Drama angkatan XXXIV kelompok XI di dusun Wonodoro, Bantul.

Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.

Tak ada gading yang tak retak, demikian pula dalam penyusunan skripsi ini. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan ketidaksempurnaan yang ada dalam penyusunan skripsi ini. Untuk itulah penulis mengaharapkan kritik dan saran yang dapat membuat karya ini menjadi lebih baik. Akhir kata, semoga penelitian skripsi yang telah dilakukan penulis dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu kefarmasian.

(13)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan bahwa sesungguhnya skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 16 Juni 2008 Penulis,

(14)

INTISARI

Keracunan sianida dapat berakibat fatal jika tidak segera dilakukan terapi antidotumnya, Keberhasilan Natrium tiosulfat sebagai terapi antidotum salah satunya ditentukan oleh ketepatan dosisnya.

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui gejala, mekanisme, wujud, sifat, dan efek dari keracunan sianida, mengetahui seberapa besar kisaran dosis natrium tiosulfat ya ng efektif untuk keracunan sianida, mengetahui hubungan antara dosis natrium tiosulfat dengan efek penawaran racun pada keracunan sianida pada mencit.

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola searah. Terdir i dari 7 kelompok : kelompok I diberi KCN dosis 26 mg/kgBB p.o, kelompok II diberi aquadest 25 mg/KgBB p.o, kelompok III diberi larutan natrium tiosulfat (Na2S2O3) dosis 160.720 mg/kgBB

diberikan secara i.p, kelompok IV-VII diberi larutan KCN secara p.o, kemudian diberi antidotum natrium tiosulfat dengan peringkat dosis berturut-turut : 0.468 mg/kgBB, 3.279 mg/kgBB, 22.960 mg/kgBB dan 160.720 mg/kgBB secara i.p.

Hasil penelitian didapatkan bahwa gejala dari keracunan sianida pada mencit meliputi : hilang kesadaran, gagal nafas, kejang, sampai menimbulkan kematian. Mekanisme keracunan sianida pada mencit adalah sianida berikatan dengan besi dalam feri sitokrom oksidase. Wujud efek toksik sianida berupa perubahan biokimia dan mungkin juga perubahan fungsional. Sifat dari keracunan sianida pada mencit adalah terbalikkan dan tidak terbalikkan. Dosis efektif natrium tiosulfat sebagai antidotum untuk keracunan sianida pada mencit sebesar 160.720 mg/KgBB intraperitoneal. Meningkatnya dosis natrium tiosulfat dapat meningkatkan efek pengawaracunan sianida pada mencit

(15)

ABSTRACT

Cyanide poisoning can cause fatal result if its antidote therapy is not done shortly., one of the successes Thiosulphate sodium as antidote therapy s is determined by its dose accuracy.

The research aims to know the indication, mechanism, configuration, characteristics, and effects of cyanide poisoning, to know how much effectiveness the dose estimation of thiosulphate sodium for cyanide poisoning, to know the relationship between thiosulphate sodium dose and the effect of poison antidote for cyanide poisoning toward mice.

The research is a pure experimental research with random unidirectional pattern program. Forty two male mice are divided into seven groups equally that consist of: group I is given resolvent that is aquadest 25mg/KgBB per oral, group II is given KCN solution with dosage 26mg/kgBB per oral as a poison positive control, group III is given thiosulphate Sodium solution (Na2S2O3) with dosage

160.720mg/kgBB given intraperitoneally (i.p), group IV-VII are given KCN solution per oral (p.o) and then given thiosulphate sodium antidote with dosage level in a row: 0.468 mg/kgBB, 3.279 mg/kgBB, 22.960 mg/kgBB and 160.720 mg/kgBB intraperitoneally.

From the research result, it can be seen that the indication of cyanide poisoning toward mice includes lost consciousness, fail breathing, spastic, and causing death. Mechanism of cyanide poisoning toward mice shows its toxicity especially because of its ability to react against iron in ferric sitokrom oxide. Because aerobe metabolism is depended on this enzyme system, so the tissue can no longer use oxygen and hypoxia. The configuration of cyanide toxic effect is biochemical alteration and functional alteration, too. The characteristic of cyanide poisoning toward mice is not capsized.

Effective dose thiosulphate sodium as antidote for cyanide poisoning toward mice is 160.720mg/KgBB intraperitoneal. The increase of thiosulphate sodium dosage can increase the effect of antidote of cyanide poisoning toward mice.

(16)

HALAMAN SAMPUL...i

HALAMAN JUDUL ...ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ...iii

HALAMAN PENGESAHAN ...iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ...v

PRAKATA...vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...x

INTISARI...xi

ABSTRACT...xii

DAFTAR ISI...xiii

DAFTAR TABEL...xvii

DAFTAR GAMBAR ...xviii

DAFTAR LAMPIRAN ...xxiii

BAB I. PENGANTAR ...1

A. Latar Belakang ...1

1. Permasalahan ...3

2. Keaslian penelitian...3

3. Manfaat penelitian...3

(17)

A. Sianida...5

1. Tinjauan sejarah...5

2. Sumber- sumber potensial sianida ...5

3. Jenis keracunan pada sianida ...8

4. Mekanisme keracunan sianida ...10

5. Pemeriksaan laboratorium...12

6. Detoksifikasi sianida secara biologis ...14

B. Terapi pada Keracunan Sianida ...14

1. Terapi suportif...14

2. Terapi antidot ...16

C. Natrium Tiosulfat ...17

1. Dasar pemikiran untuk memilih antidot ...17

2. Kelompok risiko...18

3. Nama dan rumus kimia ...18

4. Sifat fisiko-kimia...19

5. Mekanisme penawaracunan...21

6. Profil biokimia/farmakologi lain...22

7. Rute pemberian...27

8. Dosis ...27

9. Kontraindikasi...28

10. Efek samping...29

(18)

1. Jantung ...29

2. Lambung ...30

3. Usus halus ...30

4. Hati...31

5. Ginjal...32

6. Paru ...32

E. Kerusakan Organ...33

F. Landasan Teori...34

F. Hipotesis ...34

BAB III. METODE PENELITIAN ...35

A. Jenis dan Rancangan Penelitian...35

B. Variabel dan Definisi Operasional...35

1. Variabel utama ...35

2. Variabel pengacau...35

C. Definisi Operasional ...36

D. Bahan Penelitian ...37

E. Alat dan Instrumen Penelitian...38

F. Tata Cara Penelitian...38

1. Pembuatan larutan dan penetapan dosis KCN ...38

2. Pembuatan larutan dan penetapan dosis natrium tiosulfat...39

3. Pengelompokkan hewan uji ...39

(19)

G. Analisis Hasil ...41

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN...42

A. Potensi Sianida sebagai Racun...42

B. Potensi Natrium Tiosulfat sebagai Kontrol Positif Antidotum....44

C. Kisaran Dosis Natrium Tiosulfat sebagai Antidotum Sianida ...45

D. Pemeriksaan Histopatologi ...65

1. Hati...66

2. Ginjal...67

3. Paru ...67

4. Jantung ...73

5. Usus halus ...73

6. Lambung ...77

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN...82

A. Kesimpulan ...82

B. Saran...81

DAFTAR PUSTAKA ...83

BIOGRAFI PENULIS ...176

(20)

Tabel I. Hidrogen sianida yang dihasilkan oleh pembakaran (Montgomery dkk. (1975))...7 Tabel II. Hasil pengamatan waktu gejala efek toksik sianida terhadap 7 kelompok perlakuan...46 Tabel III. Hasil perbandingan antar kelompok pada gejala efek toksik jantung berdebar...48 Tabel IV. Hasil perbandingan antar kelompok pada gejala efek toksik hilang kesadaran...51 Tabel V. Hasil perbandingan antar kelompok pada gejala efek toksik gagal nafas ...544 Tabel VI. Hasil perbandingan antar kelompok pada gejala efek toksik kejang...56 Tabel VII. Hasil perbandingan antar kelompok pada gejala efek toksik mati...58 Tabel VII. Hasil Pemeriksaan histopatologi beberapa organ mencit akibat

pemberian larutan KCN (sebagai senyawa racun) dan pada kelompok perlakuan diberikan larutan KCN kemudian diteruskan dengan pemberian senyawa

antidotumnya, yaitu natrium tiosulfat. ...68

(21)

Gambar 1. Grafik mean ± 2 SE untuk gejala efek toksik berupa jantung berdebar

...47

Gambar 2. Grafik mean ± 2 SE untuk gejala efek toksik berupa hilang kesadaran ...50

Gambar 3. Grafik mean ± 2 SE untuk gejala efek toksik berupa gagal nafas ...53

Gambar 4. Grafik mean ± 2 SE untuk gejala efek toksik berupa kejang...55

Gambar 5. Grafik mean ± 2 SE untuk gejala efek toksik berupa mati ...59

Gambar 6. Pengubahan cyanmethemoglobin menjadi tiosianat oleh rodhanase dan tiosulfat (Cyanide Toxicity Review, 2003)...63

Gambar 7. Kurva hipotesis yang melukiskan hubungan antara kadar racun di dalam darah atau di tempat aksi lawan waktu dengan strategi terapi keracunan mempercepat eliminasi. ...64

Gambar 8. Gambaran histopatologi untuk organ hati mencit pembesaran 100X pengecatan hematoksislin-eosin pembedahan 24 jam, perlakuan : ...70

a.KCN 26 mg/kgBB. A. hiperemi lokal derajat 2 (++)...70

b... Aquadest, normal, tidak tampak adanya hiperemi, tidak ada manifestasi peradangan. ...70

c.Na2S2O3 dosis 160.720 mg/kg BB. A. hiperemi lokal derajat 2 (++) ...70

d.KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2S2O3 dosis 0,468 mg/kg BB. A. hiperemi lokal derajat 1 (+) ...70

(22)
(23)
(24)

pemberian KCN dosis 26 mg/kg BB pembesaran 100X pengecatan hematoksislin-eosin pembedahan 24 jam,Perlakuan :...76 a... KCN 26 mg/kgBB. A. fili intestinal erosi dan mukosanya tidak normal ...76 b. ..Aquadest, fili intestinal dan mukosa dalam batas normal, mukosa muskularis, serosa dan kelenjar nya juga normal. ...76 c. Na2S2O3 dosis 160.720 mg/kg BB. A. fili intestinal erosi dan mukosanya tidak normal. ...76 d. ...KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2S2O3 dosis 0,468 mg/kg BB. A. fili intestinal erosi sedikit, dan juga terdapat adanya manifestasi peradangan derajat 2 (++). ...76 e. ...KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2S2O3 dosis 3.279 mg/kg BB. A. fili intestinal erosi sedikit, dan juga terdapat adanya manifestasi peradangan derajat 2 (++). ...76 f. ...KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2S2O3 dosis 22.960 mg/kg BB. A. fili intestinal erosi, dan juga terdapat adanya manifestasi peradangan derajat 1 (+). 76 g. ...KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2S2O3 dosis 160.720 mg/kg BB. A. fili intestinal erosi, dan juga terdapat adanya manifestasi peradangan derajat 1 (+). 76 Gambar 13. Gambaran histopatologi untuk organ lambung mencit akibat

(25)

...79 b. ...Aquadest, tunika mukosa muskularis normal, aktivitas kelenjarnya normal. ...79 c. ... Na2S2O3 dosis 160.720 mg/kg BB, mukosa lambung erosi, aktivitas kelenjarnya meningkat. ...79 d. KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2S2O3 dosis 0,468 mg/kg BB. A. mukosa erosi. ...79 e. KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2S2O3 dosis 3.279 mg/kg BB. A. mukosa lambung erosi (++) dan terdapat adanya manifestasi peradangan. ...79 f. KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2S2O3 dosis 22.960 mg/kg BB. A. mukosa lambung erosi (+) aktivitas kelenjarnya meningkat. ...79 g. ...KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2S2O3 dosis 160.720 mg/kg BB. A. mukosa lambung erosi (+). ...79

(26)

Lampiran 1. Hasil pengamatan gejala efek toksik pada kelompok kontrol sianida (dalam detik) ...97 Lampiran 2. Hasil pengamatan gejala efek toksik pada kelompok kontrol

(27)

BAB I. PENGANTAR

PENGANTAR

A. Latar Belakang

Sianida adalah zat beracun yang sangat mematikan. Efek dari sianida ini sangat cepat dan dapat mengakibatkan kematian dalam jangka waktu beberapa menit. Sianida dalam dosis rendah dapat ditemukan di alam dan ada pada setiap produk yang biasa kita makan atau gunakan. Sianida dapat diproduksi oleh bakteri, jamur dan ganggang serta ditemukan pada rokok, asap kendaraan bermotor, dan makanan seperti bayam, bambu, kacang, tepung tapioka dan singkong. Selain itu juga dapat ditemukan pada beberapa produk sintetik. Sianida banyak digunakan pada industri terutama dalam pembuatan garam seperti natrium, kalium atau kalsium sianida (Utama, 2006). Sianida dan hidrogen sianida digunakan dalam elektroplating, metalurgi, produksi zat kimia, pengembangan fotografi, pembuatan plastik dan beberapa proses pertambangan (Anonim, 2000).

(28)

gangguan paru serta gagal napas hingga korban meninggal (Utama, 2006).

Jika sianida yang masuk ke dalam tubuh masih dalam jumlah yang kecil maka sianida akan diubah menjadi tiosianat yang lebih aman dan diekskresikan melalui urin. Selain itu, sianida akan berikatan dengan vitamin B12. Tetapi bila jumlah sianida yang masuk ke dalam tubuh dalam dosis yang besar, tubuh tidak akan mampu untuk mengubah sianida menjadi tiosianat maupun mengikatnya dengan vitamin B12 (Utama, 2006).

Masuknya sianida ke dalam tubuh tidak hanya melewati saluran pencernaan tetapi dapat juga melalui saluran pernafasan, kulit dan mata. Yang dapat menyebabkan keracunan tidak hanya sianida secara langsung tetapi dapat pula bentuk asam dan garamnya, seperti asam hidrosianik sekitar 2.500–5.000 mg.min/m3 dan sianogen klorida sekitar 11.000 mg.min/m3 (Utama, 2006).

(29)

Sering kali secara tidak kita sadari, kita juga dapat terpapar sianida, untuk itu kita perlu mengetahui kisaran dosis optimum dari natrium tiosulfat yang digunakan sebagai antidot dalam keracunan sianida. Kisaran dosis sangatlah penting karena menurut Meredith (1993), meskipun secara intrinsik natrium tiosulfat bersifat nontoksik tetapi produk hasil reaksi detoksifikasi antara natrium tiosulfat dengan sianida dapat bersifat toksik

1. Permasalahan

Yang timbul dalam penelitian ini adalah :

1. Berapa besar dosis efektif natrium tiosulfat dengan cara pemberian i.p. untuk keracunan sianida pada mencit?

2. Bagaimana wujud dan sifat penawaracunan sianida oleh natrium tiosulfat secara pengamatan fisik dan struktural?

2. Keaslian penelitian

Penelitian mengenai natrium tiosulfat sebagai antidot pada keracunan sianida sudah pernah dilakukan, yaitu : Ann (2005), meneliti natrium tiosulfat untuk keracunan sianida akut pada tikus. Hasil penelitian yaitu efek terapi natrium tiosulfat ditunjukkan pada dosis 225 mg/kgBB secara i.p.

Penelitian mengenai Dosis Efektif natrium tiosulfat sebagai antidotum untuk keracunan sianida pada mencit jantan galur Swiss sepanjang pengetahuan penulis belum pernah ada yang melakukan. Perbedaan dengan pene litian tentang na-tiosulfat sebelumnya terletak pada hewan uji yang digunakan.

3. Manfaat penelitian

(30)

Penelitian ini bermanfaat dalam pengembangan pengetahuan tentang natrium tiosulfat sebagai antidotum keracunan sianida.

2. Manfaat metodologis

Penelitian ini dapat memberi informasi tentang dosis efektif natrium tiosulfat dengan cara pemberian i.p. sebagai antidotum dalam keracunan sianida pada hewan uji mencit.

3. Manfaat praktis

Penelitian ini dapat digunakan untuk mengetahui berapa besar dosis efektif dari natrium tiosulfat yang dapat digunakan pada manusia.

B. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian menge nai Dosis Efektif natrium tiosulfat sebagai antidotum untuk keracunan sianida pada mencit jantan galur Swiss untuk mengetahui

1. Seberapa besar dosis efektif natrium tiosulfat dengan cara pemberian i.p. untuk keracunan sianida pada mencit.

(31)

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Sianida

1. Tinjauan sejarah

Sianida sudah dikenal sebagai racun dalam kenari yang pahit, ceri, daun salam, dan singkong sejak jaman dahulu. Sebuah catatan pada sebuah lontar Mesir dalam museum Louvre, Paris menuliskan bahwa Dioscorides pada abad pertama, SM, telah mengetahui adanya sesuatu yang beracun di dalam kenari yang pahit (Sykes, 1981).

Mekanisme biokimia untuk menawaracunkan sianida telah dijelaskan oleh Chen dkk. (1933, 1934). Mereka manganjurkan penggunaan sebuah kombinasi amil nitrit, natrium nitrit, dan natrium tiosulfat, senyawa terakhir berfungsi sebagai donor sulfur untuk rhodanese (sulfur transferase). Rhodanese mempercepat detoksifikasi sianida dengan membentuk metabolit tiosianat. Ini menunjukkan perkembangan salah satu penawar racun pertama berdasarkan alasan ilmu pengetahuan tentang racun yang ilmiah. Kombinasi penawar racun ini telah teruji lama, dan masih menunjukkan kombinasi penawar racun yang paling mujarab untuk terapi keracunan akibat sianida.

2. Sumber- sumber potensial sianida

a. Sumber-sumber dari industri

(32)

bangunan, kapal dan pesawat yang terserang serangga atau binatang yang merugikan. Garam sianida, seperti natrium sianida dan kalium sianida digunakan dalam proses pembersihan, penguat, ekstraksi bijih pada pertambangan, serta elektroplating (Henry, 1997).

Nitril adalah turunan siano dari senyawa organik. Asetonitril digunakan sebagai pelarut dan sedikit mengandung racun (LD50 = 120 mg/kg) dibanding hidrogen sianida (LD50 = 0,5 mg/kg), tetapi sering mengandung campuran racun yang berkaitan dengan metabolisme sianida anorganik. Ketika nitril alifatik mengalami metabolisme menjadi sianida anorganik, ikatan aroma nitril stabil in vivo. Akrilonitril adalah bahan kasar yang digunakan untuk pabrik plastik dan serat sintetis. Bersinggungan dengan kulit dapat menyebabkan kulit melepuh. Pembakaran menghasilkan hidrogen sianida. Akrilonitril dan propionitril sedikit mengandung racun (LD50 = 35 mg/kg) dibanding butironitril (LD50 = 10 mg/kg). Trikloroasetonitril (LD50 = 200 mg/kg) digunakan sebagai obat pembasmi serangga. Aroma nitril, bromoksinil (LD50 = 190 mg/kg) dan ioksinil (LD50 = 110 mg/kg), digunakan sebagai obat pembasmi tanaman liar. Sianamida, asam sianoasetk, ferrisianida dan ferrosianida tidak mengeluarkan sianida. Sehingga mereka mangandung sedikit racun (LD50 = 1000-2000 mg/kg) dibanding senyawa sianogenik diatas, walaupun mereka mungkin menyebabkan keracunan dengan cara lain misalnya sianida yang dicampur dengan alkohol (Olson, 2007). b. Sumber- sumber non- industri

(33)

zat alami seperti wol, sutera, rambut kuda, dan tembakau serta bahan sintetis modern seperti poliuretan dan poliakrilonitril, mengeluarkan sianida selama pembakaran (Levine dkk., 1978; Birky dkk., 1979; Anderson & Harland, 1982; Clark dkk., 1983 ; Alarie, 1985 ; Lowry dkk., 1985) (Tabel I)

Tabel I. Hidrogen sianida yang dihasilkan oleh pembakaran (Montgomery dkk. (1975))

Bahan µg HCN yang dihasilkan per gram bahan

Kertas 1100

Katun 130

Wol 6300

Nilon 780

Busa poliuretan 1200

c. Sumber- sumber alam

Sianida ditemukan dalam bahan makanan seperti kol, bayam, dan kenari, dan sebagai amigdalin dalam biji apel, persik, kismis, ceri dan biji kenari. Dalam biji- biji itu sendiri, amigdalin tampak tidak berbahaya selama itu kering. Akan tetapi, biji- biji mengandung sebuah enzim yang mampu mengatalisis reaksi hidrolitis berikut ini ketika biji-biji itu dihancurkan dan dibasahi (Olson, 2007) :

C20H27NO11 + 2H2O -- > 2C6H12O6 + C6H5CHO + HCN

Amigdalin glukosa benzaldehid hidrogen sianida Reaksi itu lambat dalam asam tetapi cepat dalam larutan alkali.

(34)

d. Sumber- sumber iatrogenik

Sianida juga dibentuk pada terapi menggunakan nitroprusida, terutama ketika diperpanjang, karena takifilaksis kadang membutuhkan penggunaan dosis yang lebih tinggi daripada dosis maksimum yang dianjurkan 10 µg/kg per min (Smith & Kruszyna, 1974; MacRae & Owen, 1974; Piper, 1975; Atkins, 1977; Anon, 1978). Sianida mengakibatkan metabolisme menjadi tiosianat. Tiosianat telah digunakan beberapa tahun yang lalu sebagai agen antihipertensi dan mereka tampak sering digunakan karena sangat efektif. Sedangkan pada jenis efek akut sedang, termasuk anoreksia, kelelahan, dan sistem gastrointestinal dan gangguan CNS, mendorong pada keburukan mereka.

Laetril, amigdalin berasal dari biji aprikot, telah digunakan sebagai sebuah agen anti kanker, tetapi sekarang tidak terpakai karena efek pengobatan tidak dapat dipraktekkan dalam pembelajaran retrospektif dan prospektif. Laetril telah menyebabkan keracunan sianida yang fatal (Sadoff dkk., 1978).

3. Jenis keracunan pada sianida

a. Keracunan akut sianida

Secara umum, menghirup kira-kira 50 ml (konsentrasi 1,85 mmol/l) gas hidrogen sianida fatal dalam beberapa menit. Keracunan hidrogen sianida lebih sering secara tidak sengaja daripada sengaja. Sehingga keracunan sianida secara tidak sengaja mungkin terjadi pada pengasap dan ahli kimia yang menggunakan hidrogen sianida selama jalannya pekerjaan mereka (Chen dkk., 1944).

(35)

kefatalan. Menelan garam sianida yang secara sengaja biasanya terjadi pada orang yang bekerja dengan sianida. Menelan sedikitnya 250mg garam sianida anorganik mungkin bisa fatal (Peters dkk., 1982). Akan tetapi, kematian bisa ditunda beberapa jam mengikuti proses pencernaan sianida pada perut yang penuh; first-pass effect yang terjadi di hati juga dapat menunda onset dari sianida (Naughton, 1974).

b. Keracunan kronis sianida

Neurotoksisitas kronis karena dosis rendah telah diteliti dengan pendekatan epidemiologi pada populasi yang mengkonsumsi secara alami tanaman yang mengandung glikosida (Blanc dkk., 1985). Glikosida ini terdapat dalam banyak jenis spesies tanaman, terutama tanaman singkong, bahan makanan utama daerah tropis (Conn, 1973; Cook & Coursey, 1981; Ministry of Health, Mozambique, 1984). Ketela telah dihubungkan dengan ataxic neuropati tropis (Cook & Coursey, 1981). Paraparesis wabah kejang telah dihubungkan dengan sebuah kombinasi kadar sianida yang tinggi dan belerang rendah yang masuk dari makanan yang didominasi oleh ketela yang kurang diproses dan suplemen yang kurang protein (Rosling, 1989).

(36)

dalam pekerjaannya (Blanc dkk., 1985), melalui makanan yang dikonsumsi (Cook & Coursey, 1981), dan secara eksperimental (El Ghawabi dkk., 1975).

4. Mekanisme keracunan sianida

Sianida mempunyai afinitas khusus pada ion-ion besi yang ada dalam sitokrom oksidasi, enzim akhir pada respirasi oksidatif dalam mitokondria. Enzim ini merupakan katalisator yang penting untuk penggunaan oksigen pada jaringan. Ketika sitokrom oksidasi dihambat oleh sianida, histotoksik anoksia terjadi karena metabolisme aerobik yang terhambat. Pada keracunan sianida besar-besaran, mekanisme keracunan lebih rumit. Ini memungkinkan bahwa getaran bebas dari amina biogenic mungkin berperan dengan menyebabkan gagal jantung (Burrows & Way, 1976).

(37)

Bau kenari yang pahit dalam udara yang kadaluarsa adalah tanda penting keracunan sianida. Namun banyak orang tidak mampu merasakan bau asam hydrocyanic (Kalmus & Hubbard, 1960). Timbulnya “non-smeller” dilaporkan menjadi 18% diantara laki- laki dan 5% diantara wanita (Kirk & Stenhouse, 1953; Fukumoto dkk., 1957).

Secepatnya setelah menelan sianida, gejala yang sangat awal, seperti iritasi lidah dan selaput lender, mungkin dialami. Aspirasi darah kotor mungkin diobservasi jika pencucian lambung dilakukan. Gejala awal dan tanda- tanda yang terjadi setelah penghisapan HCN atau proses pencernaan garam sianida termasuk kegelisahan, sakit kepala, pusing, kebingungan, dan hiperpnea, diikuti oleh dispnea, membiru, hipotensi, bradikardi, dan sinus atau aritmia simpul AV.

Pada tahap kedua keracunan, kesadaran yang lemah, koma dan gangguan hebat terjadi dan kulit menjadi dingin, lembab, dan basah. Detak jantung menjadi lebih lemah dan lebih cepat. Opisthotonos dan trismus mungkin diobservasi. Tanda terakhir dari keracunan sianida termasuk hypotension, arrythmias komplek, gagal pembuluh darah jantung, oedema paru- paru dan kematian.

(38)

Kadang-kadang, pada awalnya pembiruan bisa diobservasi, ketika kemudian pasien bisa menjadi merah muda terang (Hilmann dkk., 1974).

Patogenesis udem paru-paru bisa dimaksudkan untuk beberapa mekanisme yang berbeda: (1) proses metabolisme intraselular yang bisa melukai alveolus dan pembuluh rambut epithelium secara langsung, menghasilkan sindrom kebocoran pembuluh rambut; (2) udem paru-paru neurogenik atau, (3) hampir sama, efek langsung pada miokardium mengarahkan ke kegagalan jantung bagian kiri dan peningkatan tekanan pembuluh darah paru-paru. Otak secara jelas adalah organ utama yang dilibatkan dalam keracunan sianida dan ini telah ditunjukkan bahwa sianida meningkatkan laktat otak dan menurunkan konsentrasi ATP otak (Olsen & Klein, 1974).

5. Pemeriksaan laboratorium

a. Asidosis laktat

Karena phosphorylation oksidasi ditutup, tingkat glikolisis ditingkatkan dengan jelas, dimana berubah mengarah pada asam susu. Tingkat asam susu bisa dihubungkan dengan kehebatan keracunan sianida (Trapp, 1970; Naughton, 1974).

b. Konsentrasi sianida dalam darah dan plasma

(39)

digunakan untuk tes kuantitatif, sehingga kehebatan racun bisa dievaluasi. Pengukuran obat setelah perawatan penawar racun seharusnya didasarkan pada kondisi klinis dari pasien daripada konsentrasi darah sianida (Berlin, 1971; Vogel dkk., 1981; Peter dkk., 1982). Karena konsentrasi darah sampai 0,005-0,04 mg/l telah direkam pada kesehatan orang yang tidak merokok, dan 0,01-0,09 mg/l pada perokok, hanya konsentrasi diatas jumlah ini sebelumnya dianggap racun (Vogel dkk., 1981; Peters dkk., 1982). Lundquist dkk., (1985) melaporkan bahkan konsentrasi lebih rendah: bukan perokok 3,4 µg/l (seluruh darah), 0,5 µg/l (plasma), 6,0 µg/l (eritrosit); perokok 8,6 µg/l (seluruh darah), 0,8 µg/l (plasma), 17,7 µg/l (eritrosit).

(40)

6. Detoksifikasi sianida secara biologis

Jalan kecil utama penghilangan endogen adalah pengubahan, dengan menggunakan tiosulfat, menjadi tiosianat. Jalan kecil pengeluaran adalah pengeluaran hidrogen sianida melalui paru-paru dan mengikat sistein atau hidroksokobalamin.

Penghilangan sianida terjadi secara perlahan pada tingkat 0,017 mg/kg per min (McNamara, 1976). Enzim sulfurtransferase dibutuhkan untuk mengatalis pengiriman atom sulfur dari pemberi tiosulfat sampai sianida. Teori klasik yang menandakan bahwa mitokondrial tiosulfat sulfurtransferase adalah enzim terpenting dalam reaksi ini yang sekarang diragukan karena tiosulfat menembus selaput lipid secara perlahan dan sehingga tidak siap sedia sebagai sumber sulfur pada keracunan sianida. Konsep modern menganggap peranan yang lebih besar pada komplek serum albumin- sulfane, yang penahan utama penghilangan sianida yang berjalan pada metabolisme normal (Sylvester dkk., 1983). Enzim berikutnya, beta-merkaptopiruvat sulfurtransferase, juga mengubah sianida menjadi tiosianat (Vesey dkk., 1974). Enzim ini ditemukan dalam eritrosit, tetapi dalam sel-sel manusia aktifitasnya rendah.

B. Terapi pada Keracunan Sianida

1. Terapi suportif

(41)

keracunan industri, penggunaan penawar racun tertentu ditunjukkan hanya dalam kasus keracunan yang hebat dengan koma yang lama, biji mata yang tidak reaktif, dan pernapasan yang kurang dalam kombinasi dengan kurangnya peredaran darah. Pada pasien dengan keracunan yang lumayan hebat, yang hanya mengalami ketidaksadaran singkat, gangguan hebat, muntah, dan membiru, terapi terdiri dari perawatan intensif dan memberikan natrium tiosulfat ke dalam pembuluh darah. Pada kasus keracunan ringan dengan kepeningan, rasa mual, dan rasa mengantuk, hanya oksigen dan istirahat yang digunakan.

Peden dkk. (1986) menjelaskan sembilan pasien yang keracunan hidrogen sianida dikeluarkan oleh kebocoran katup. Tiga diantaranya tidak sadar sebentar tapi sembuh dengan cepat setelah dipindah dari daerah dimana mereka bekerja. Pembuluh urat nadi seluruh darah konsentrasi sianida pada pintu masuk adalah 3.5, 3.1 dan 2.8 mg/l, secara berturut- turut. Konsentrasi sianida pada kasus lain berkisar antara 2.6 dan 0.93 mg/l. semua disembuhkan hanya dengan terapi pendukung.

(42)

dilaporkan oleh Graham dkk. (1977), Edward & Thomas (1978), dan Vogel dkk. (1981).

Jika pasien tidak sadar, sebuah penawar racun tidak penting untuk ditangani secara cepat kecuali tanda yang penting/ mematikan memburuk. Pasien yang terkena hidrogen sianida yang sampai rumah sakit dengan kesadaran penuh hanya membutuhkan observasi dan penenangan hati.

2. Terapi antidot

a. Oksigen

Ini sangat sulit dimengerti bagaimana oksigen mempunyai efek bagus dalam keracunan sianida, karena pencegahan oksidasi sitokrom tidak kompetitif. Akan tetapi, oksigen selalu dianggap sebagai sebuah ukuran pertolongan pertama pada keracunan sianida, dan sekarang ada bukti yang bersifat percobaan bahwa oksigen mempunyai aktifitas penawar racun yang penting. Oksigen mempercepat reaksi oksidasi sitokrom dan melindungi terhadap pencegahan oksidasi sitokrom oleh sianida (Takano dkk., 1980). Meskipun demikian, ada kemungkinan tindakan lain dan yang secara klinis penting untuk ditentukan.

Oksigen hiperbarik dianjurkan untuk korban penghirupan asap yang menderita dari gabungan karbon monoksida dan keracunan sianida, karena dua agen ini secara gabungan racun. Penggunaan oksigen hiperbarik pada keracunan sianida yang murni masih diperdebatkan.

b. Natrium tiosulfat

(43)

beta-mercaptopiruvat sulfurtransferase, mungkin juga dilibatkan. Reaksi ini membutuhkan sumber sulfane sulfur, tapi penyedia endogen dari zat ini terbatas. Keracunan sianida adalah proses intramitokondrial dan sebuah penyediaan sulfur ke dalam pembuluh darah hanya akan menembus mitokondria secara perlahan. Sedangkan natrium tiosulfat mungkin cukup pada kasus ringan sampai berat, ini seharusnya ditangani dengan penawar racun yang lain pada kasus keracunan yang berat. Selain itu pemilihan penawar racun juga dibutuhkan ketika diagnosa racun sianida tidak pasti, sebagai contoh pada kasus penghirupan asap. Natrium tiosulfat dianggap pada dasarnya tidak beracun tetapi produk penghilang racun dibentuk dari sianida, tiosianat, mungkin menyebabkan keracunan pada pasien dengan kelainan ginjal.

C. Natrium Tiosulfat

Penggunaan natrium tiosulfat sebagai penawar racun telah dicatat dalam kepustakaan tentang keracunan yang berkaitan dengan sianida, gas mustard, mustard nitrogen, bromat, klorat, brom, yodium, sisplatin, dan obat-obatan tertentu (Dactinomycin, Mechlorethamine, Mitomycin) ketika dipaksa keluar dari pembuluh. Juga ada beberapa referensi tentang efeknya pada iodat dan racun hipoklorit. Peranan utama natrium tiosulfat terletak pada perawatan keracunan sianida.

1. Dasar pemikiran untuk memilih antidot

(44)

Beberapa pengarang percaya ini akan menjadi pemawar racun yang bekerja cukup lambat, walaupun yang lain telah memperagakan bahwa ini bekerja lebih cepat dibanding pemikiran yang sebelumnya, memungkinkan pengubahan sianida menjadi tiosianat (Krapez dkk., 1981). Tiosulfat membantu menghilangkan sianida pada enzim rhodanese. Akan tetapi, rhodanese adalah sebuah enzim intramitokondrial dan tiosulfat membatasi kemampuan untuk menembus sel dan selaput mitokondrial. Sehingga penyaluran tiosulfat hampir secara ekslusif ekstraseluler (Cardozo & Edelman, 1952), sedangkan kerja penawar racunnya telah dianggap terjadi secara intraseluler. Gambaran ini sekarang sedang dipelajari kembali dalam keterangan bukti penelitian mutakhir.

2. Kelompok risiko

Tidak ada kelompok resiko khusus yang dapat diidentifikasi mengenai penggunaan natrium tiosulfat. Akan tetapi, harus dicatat bahwa kemungkinan terdapat pengurangan kemampuan untuk mengubah sianida menjadi tiosianat dalam beberapa penyakit, contohnya, racun ambliopia (pada tembakau ambliopia tertentu) dan berhentinya pertumbuhan penglihatan turun-temurun Leber (Wilson, 1965; Darby & Wilson, 1967). Secara tidak normal aktifitas rhodanese yang rendah dalam hati telah dijelaskan pada dua pasien dengan berhentinya pertumbuhan penglihatan turun- temurun Leber (Grant, 1986).

3. Nama dan rumus kimia

(45)

thiosulfate, pentahydrate (NIOSH, 1986); 7772-98-7 untuk natrium thiosulfate, anhydrous, (NIOSH, 1986).

Nama IUPAC : Natrium Thiosulfate, pentahydrate Perusahaan : siap tersedia di banyak Negara.

Nama Komersil : secara komersil tersedia sebagai natrium thiosulfate atau sama di banyak Negara.

Formula : Na2S2O3.5H2O (Martindale, 1989)

Rata-rata berat molekul : 248.2 (Martindale, 1989)

Spesifikasi garam kimia yang digunakan: natrium tiosulfat mangandung tidak kurang 99.0% dan tidak lebih atau sama dengan 101.0% Na2S2O3.5H2O

(Farmakope Eropa, 1980); transparan, kristal yang tidak berwarna (Farmakope Eropa, 1980); tidak berwarna, tidak berbau, (atau hampir tidak berbau) kristal prisma monoklinik, atau serbuk kristal yang kasar denga n rasa garam (Martindale, 1989).

4. Sifat fisiko-kimia

a. Titik lebur dan titik didih.

Natrium tiosulfat larut dalam air pengkristalannya sendiri kira-kira pada 49ºC (Farmakope Eropa, 1980; Martindale, 1989). Ini kehilangan seluruh airnya pada 100ºC dan terurai pada suhu yang lebih tinggi (Windholz, 1983). Di atas 200-300ºC, ini terurai menjadi sulfat dan pentasulfida (Kirk-Othmer, 1969; Hager, 1977). Ketika dipanaskan sampai titik penguraian, uap dari sulfur oksida terpancar (Sax, 1984; PoisIndex, 1987).

(46)

Kemampuan larut yang tinggi dalam air (2 bagian natrium tiosulfat dalam 1 bagian air) (Martindale, 1989; Windholz, 1983).

c. Kestabilan

Memuai dalam panas (&gt30ºC) udara yang kering. Sedikit higroskopik di udara yang lembab (Windholz, 1983). Disimpan dalam wadah kedap udara (Martindale, 1989). Pelarut yang encer membatasi kestabilan yang berkaitan dengan kecenderungan untuk mengurai secara perlahan seperti reaksi berikut ini:

Na2S2O3 -- > Na2S2O3 + S (larutan netral atau asam)

Na2S2O3 + H2O -- > Na2SO4 + H2S (larutan alkali)

Reaksi pertama dipercepat oleh asam dan yang kedua oleh udara atau oksigen. Larutan natrium tiosulfat yang encer mengurai lebih cepat dalam panas. Penyimpanan dengan akse yang terbatas pada udara dan cahaya dalam lingkunga n yang dingin meningkatkan kestabilan (Kirk-Othmer, 1969; Martindale, 1989; Windholz, 1983).

Tiosulfat yang dapat disuntikkan disimpan dalam tempat kaca kecil yang tersegel selama tiga tahun menunjukkan tidak adanya perubahan penting pada komposisi.

d. Pembawa

Untuk tiosulfat yang dapat disuntikkan (0.15g/ml) : natrium fosfat dodekahidrat (Na2HPO4.12H2O) 1.2% (informasi dari Perusahaan Nasional

(47)

5. Mekanisme penawaracunan

Jalan utama penghilangan sianida dalam tubuh adalah pengubahan menjadi tiosianat. Reaksi ini membutuhkan sumber sulfur sulfan (sulfur dwivalensi terikat pada sulfur lain) dan dikatalis oleh sulfur transferase. Telah dianjurkan bahwa ada kelompok psikologi sulfur sulfane reaksi sianida menempel pada albumin yang mungkin bekerja sebagai penyangga melawan produksi endogen sianida (Westley dkk., 1983; Way dkk., 1984). Tiosulfat ada dalam tubuh hanya dalam jumlah kecil, sebagian besar diperoleh dari sistin dan senyawa mercapto yang lain. Cadangan psikologi yang tersedia untuk penghilangan sianida menjadi terbatas (Schulz dkk.1979b)

Rhodanase

Na2S2O3 + CN- SCN + Na2S2O3

Ini disalurkan ke seluruh tubuh, konsentrasi paling tinggi ditemukan dalam hati, dan sebagian besar terletak dalam rahim mitokondria (Westley dkk., 1983). Keberadaan oksidasi tiosianat yang dapat mengoksidasi tiosianat kembali menjadi sianida (Goldstein & Rieders, 1953) telah dipertanyakan. Akan tetapi, ini sekarang terhubung dengan formasi artifaktual HCN selama pengujian kadar logam (Vesey, 1979).

(48)

adalah dasar pemikiran untuk pengambilan natrium tiosulfat pada keracunan sianida sehingga kapasitas endogen penghilang racun tubuh ditingkatkan.

6. Profil biokimia/farmakologi lain

a. Farmakokinetik

Ketika tiosulfat dosis tinggi disuntikkan pada mamalia, bagian yang lebih besar dikeluarkan tidak diubah oleh pengeluaran ginjal tapi jumlah tertentu dioksidasi menjadi sulfat. Bagian kecil terakhir meningkat karena dosis tiosulfat menurun. Oksidasi tiosulfat menjadi sulfat terjadi dalam hati dengan dua langkah jalan kecil enzim. Pembelajaran oleh Gilman dkk. (1946) membuktikan bahwa penyuntikan tiosulfat ke dalam pembuluh darah secepatnya disalurkan dalam tempat cairan extracellular dan bahwa pembuangan ginjalnya terjadi penyaringan syaraf ginjal. Percobaan hewan lebih lanjut telah menunjukkan bahwa sistem pengangkutan tabung mungkin juga terjadi (Sörbo, 1972).

Tiosulfat disimpan dan diserap kembali dalam manusia dan anjing, menurut Bucht (1949) dan Foulks dkk. (1952). Pembersihan tiosulfat rendah, tapi pada tingkat yang tinggi pembersihan sama dengan mutu penyaringan syaraf ginjal. Ini berarti bahwa pada tingakatan plasma tiosulfat yang tinggi, penyimpanan Tm (pengiriman maksimal) sama dengan penyerapan kembali Tm, sedangkan pada tingkat plasma yang rendah seluruh penyaringan dan penyimpanan tiosulfat diserap kembali sehingga ada sebuah pengurangan nilai pembersihan tiosulfat.

(49)

Rhodanase

Na2S2O3 + CN- SCN + Na2S2O3

Reaksi katalis sulfurtransferase dimana sulfur sulfan diikutkan, rhodanase adalah sulfurtransferase yang telah banyak dipelajari secara ekstensif. Rhodanase mengakatalis pengiriman sulfan.

Pembelajaran secara kinetik telah menunjukkan bahwa ada tempat kationik pada rhodanase untuk pemberi anionik sulfur (Westley dkk,1983) sebagian besar dosis tiosulfat yang disuntikkan dikeluarkan dan tidak mengalami perubahan. Tiosulfat dianggap menyebar secara perlahan melalui selaput sel (Himwich dan Saunders, 1948; Sorbo,1962).

Menurut Crompton dkk, (1974), tiosulfat bisa menggunakan pembawa dikarboksilat untuk memasuki mitokondria, seperti yang ditunjukkan pada percobaan dengan menggunakan mitokondria pada hati tikus. Sistem ini khusus pada senyawa anion valensi dua.

Telah ditunjukkan oleh Szczepkowski dkk,(1961) bahwa ketika menggunakan tiosulfat yang dilabeli 2 atom sulfur mempunyai keuntungan yang berbeda selama serangkaian proses metabolisme pada hewan. Pada tikus, atom sulfur dalam dihilangkan sangat cepat dihilangkan dalam bentuk sulfat ketika atom luar diubah menjadi sulfat lebih lambat, mungkin mulai melalui jumlah tingkat tahap tengah.

(50)

Percobaan pada anjing (Michefelder dan Tinker,1977; Schulz dkk,1979b) telah menunjukkan bahwa kapasitas persediaan endogen tiosulfat untuk menghilangkan sianida dilebihkan jika natrium nitroprusside diatur sebagai infus yang terus menerus pada rata-rata lebih dari 0,5 mg/kg/jam ketika hewan percobaan menerima dosis yang lebih tinggi dari 0,5/mg/kg/jam, konsentrasi darah sianida mereka meningkat secara bertahap. Hewan percobaan yang menerima dosis yang sama mengalami kondisi yang sama tetapi dengan pemberian infus tiosulfat tambahan 6 x (b/b) dosis natrium nitroprusside tidak menunjukkan tanda yang tidak normal. Volume urin dalam anjing yang diberi tiosulfat diatas 48 jam periode kira-kira 2x hewan yang tidak diberi, barangkali berhubungan dengan peningkatan rata-rata formasi tiosianat dan penghasil osmotik diuresis. Hasil yang sama diperoleh dalam percobaan pada kelinci (Hobel dkk, 1978).

b. Farmakodinamik

(51)

Sebuah molekul SNP mengandung 5 ion sianida, sehingga tiosulfat harus diberikan dalam pervandingan molar paling tidak 5 : 1, yang cocok untuk dosis 4 bagian oleh berat natrium tiosulfat terhadap salah satu SNP. Schulz dkk. (1979b) menganjurkan bahwa karena tiosulfat dimetabolis dan dihilangkan dengan cepat dari tubuh lebih baik untuk mengaturnya secara berlebih dengan infus yang berkala.

Chen dkk, (1934) menunjukkan bahwa natrium tiosulfat menghilangkan racun sianida sampai 3x dosis minimal yang mematikan (MLD), dosis tiosulfat yang berbeda secara i.p untuk tikus pada waktu yang berbeda setelah penyuntikkan sub lethal atau lethal dosis sianida (Schubert dan Brill, 1968). Ketika tiosulfat diberikan kepada tikus 5 menit setelah sianida, waktu setelah penyembuhan dari keracunan sianida sangat diperpendek, tikus diberi tioslufat 10 menit setelah sianida (ketika pencegahan oksidasi sitokrom hati maksimal) sembuh 5-10 menit kemudian sebagai pengganti 30-40 menit secara normal yang dibutuhkan tanpa perawatan.

c. Toksikologi

(52)

lemahnya kekejangan otot, rasa muak, penyimpangan orientasi, sakit jiwa, gerak yang berlebihan, dan pingsan (Smith, 1973; Michenfelder & Tinker, 1977). Keracunan mematikan pada konsentrasi yang lebih besar dari 180 mg/l telah dilaporkan (Healy, 1931; Garvin, 1939; Russel & Stahl, 1942; Kessler & Hines, 1948; Domalski dkk., 1953). Haemodialysis dianjurkan sebagai sebuah cara yang efektif menghilangkan thicyanate (Marbury dkk., 1982). Dialysance yang berjumlah 82,8 ml/min (in vivo) dan 102,3 ml/min (in vitro) telah dicatat (Pahl & Vaziri, 1982). Sedikit diketahui tentang sifat pengikat protein tiosianat, dan haemoperfusion mungkin lebih efektif daripada haemodialisis.

Menurut NIOSH (1986) pemberian secara i.v dosis LD 50 pada tikus 250 mg/kg sedangkan pemberian secara i.v paling rendah mengeluarkan dosis yang mematikan (LDLO) pada anjing 3000 mg/kg (Dennis dan Feltchef, 1966). Ketika

(53)

Selama pelaksanaan SNP kronis infus simultan tiosulfat mungkin menunjukkan masalah karena akumulasi pembesaran plasma tiosianat dan bahaya hipofolaemia (Michen Felder dan Tinker, 1977). Fesey dkk. (1985) menganjurkan bahwa ini cukup untuk memberikan dosis bolus natrium tiosulfat jika hanya dosis SNP atau dosis rata-rata berlebihan. Disitu tampak tidak ada informasi yang cenderung pada teratogen dan mutagenesis natrium tiosulfat

7. Rute pemberian

Pada keracunan sianida, natrium tiosulfat seharusnya diberikan secara i.v (penyerapan sangat buruk setelah pelasanaan oral) sebagai penyuntikan bolus atau dengan infus melebihi paling tidak 10 min. Ketika digunakan untuk mencegah keracunan sianida selama terapi SNP bisa diberikan secara simultan dengan infus berkala atau , secara alternatif, sebagai penyuntikkan bolus yang lambat

8. Dosis

(54)

membuat anjuran ini, natrium tiosulfat digunakan dalam kombinasi dengan penawar racun yang lainnya, terutama natrium nitrit.

Resiko keracunan sianida pada pasien yang melakukan perwatan dengan SNP didokumentasikan dengan baik, Natrium tiosulfat telah didapati ideal pada situasi ini dan telah dianjurka bahwa rasio B/B untuk SNP dan Natrium tosulfat seharusnya paling tidak 1:4 (Schulz dkk;1979b) dan terutama untuk mendapat kelebihan tiosulfat, 1/5-6. Penawar racun bisa diberikan juga dengan infus berkala secara simultan dengan SNP (Schulz dkk; 1982) atau dengan suntikan bolus.

Dosis awal pada orang dewasa adalah (8-12,5 g natrium tiosulfat diberikan secara injeksi bolus i.v/infus diatas 10-15 min, secara alternatif total dosis awal bisa dihitung sebagai 150-200 mg/kgBB. Dosis tambahan zat ditandai menurut rangkaian klinis. Dosis awal pada nak-anak adalah 400 (300-500) mg/kg BB diberikan secara i.v seperti yang diindikasikan diatas.

Untuk mencehak keracunan sianida selama terapi SNP natrium tiosulfat seharusnya diberikan oleh infus simultan dengan dosis 5-6X melebihi (b/b) dosis SNP atau secara alternatif, suntikan bolus bisa digunakan.

9. Kontraindikasi

(55)

10. Efek samping

Efek samping adalah kecil dan tidak terlalu penting dibandingkan untuk resiko jika dihubungkan dengan keracunan sianida. Injeksi cepat dari larutan hiperosmolar natrium tiosulfat dapat menyebabkan nausea dan vomiting (Ivankovich dkk;1983). Adanya hipotensi keduanya dimungkinkan pada pembentukan dari tiosianat, dimana diketahui untuk dapat terjadi nya hipotensif (Done,1961) efek samping lainnya yang berhubungan dengan produksi tiosianat adalah nausea, headache dan disorientasi. Jika tiosulfat telah diinjeksikan ke anjing (Vesey dkk;1985) tidak ada efek samping dimana terlihat yang memperantarai hipotensi. Efek diuretik dan ga ngguan tekanan osmotik adalah efek samping yang mungkin dapat terjadi (Martindale,1989).

11. Penggunaan pada kehamilan/menyusui

Termasuk dalam kategori C berdasarkan FDA (Olson, 2007), studi terhadap binatang percobaan telah memeperlihatkan adanya efek samping pada janin (teratogenik atau embriosidal atau efek samping lainnya) dan tidak ada studi terkontrol pada wanita hamil. Obat hanya diberikan jika manfaat yang diperoleh lebih besar daripada risiko yang mungkin terjadi pada janin (Anonim, 2006).

D. Anatomi Fisiologi

1. Jantung

(56)

lainnya dari satu bagian tubuh ke bagian tubuh lainnya. Jantung sebagai pompa merupakan salah satu bagian dari sistem kardiovaskular disamping sistem pembuluh darah dan darah. Ketiga komponen tersebut dapat dipengaruhi oleh zat toksik (Stine and Brown, 1996)

Jantung Merupakan organ berotot yang memompa darah ke arteri. Dindingnya terdiri dari 3 lapisan :

a. Endokardium (lapisan yang paling dalam, yang kontak dengan darah) (Bergman, Adel, and Paul, 1996).

b. Miokardium terdiri dari otot jantung dan berhubungan dengan tunika media dari dinding pembuluh darah. (Bergman, 1996).

c. Epikardium (lapisan terluar) (Bergman, 1996). 2. Lambung

Lambung memiliki sejumlah fungsi disamping penyimpanan makanan dan pengendalian pelepasannya kedalam duodenum. Asam hidroklorida membunuh banyak bakteri yang ditelan. Sel parietalis dalam mukosa lambung juga mensekresi faktor intrinsik, suatu senyawa yang diperlukan bagi absorpsi sianokobalamin (vitamin B 12) dari usus halus.

3. Usus halus

(57)

lapisan sama seperti yang ada di lambung, yaitu mukosa, submukosa, muskularis eksterna, dan serosa (kecuali pada bagian duodenum, yang mana adalah retroperitoneal dan karena itulah tidak terdapat lapisan terluar mesotelial, turunan dari peritoneum) (Bergman, 1996).

Usus halus atau usus dua belas jari dan usus besar adalah bagian dari usus. Panjang usus halus sekitar 4-7 meter, panjangnya bervariasi sejalan dengan kontraksi dan relaksasi dinding otonya (Anonim, 1987). Usus halus dibagi menjadi dupdenum, jejenum, dan ileum. Usus halus mempunyai dua fungsi utama yaitu pencernaan dan absorpsi bahan-bahan nutrisi dan air. Mukosa pada usus halus terselubung dengan vili yang bentuknya seperti jari- jari, yang membuat usus halus mempunyai permukaan yang luas (sekitar 10 m2 ). Terdapat sekitar 25-40 vili/mm2 , setiap vili panjangnya sekitar 1 mm. Pada duodenum dan jejenum, mukosa terbenam di dalam lipatan- lipatan dan vili panjang-panjang dan sangat rapat. Mengarah ke ileum, lapisan mukosanya lebih sedikit lipatannya, dindingnya lebih tipis, dan vilinya lebih pendek dan lebih jarang. Semua pencernaan dan penyerapan yang penting terjadi didalam usus halus. Baik lambung maupun usus besar dapat diangkat seluruhnya tanpa menyebabkan dampak yang serius. Kira-kira sampai sepertiga usus halus dapat diangkat tanpa memberikan efek pada pencernaan, dan daya tahan hidup masih dapat dimungkinkan dengan kira-kira 1 meter usus halus dalam keadaan utuh (Anonim, 1987b).

4. Hati

(58)

protein plasma, pentak-aktifan sejumlah hormon polipeptida, pengurangan dan konjugasi hormon korteks adrenalis dan steroid gonad. Sintesis 25-hidroksikolekalsiferol, detoksikasi banyak obat dan toksin, dan banyak fungsi yang berhubungan dengan metabolisme lemak (Ganong, 1995). Ketika produk dari pencernaan mencapai hati, maka produk-produk ini dipecah menjadi bentuk-bentuk senyawa anorganik baru:

Hati merupakan kelenjar terbesar pada tubuh manusia yang terdiri dari 4 bagian, lobus yang tidak lengkap yang terpisah, tertutup oleh selaput jaringan penghubung (selaput Glisson) dan terselubungi secara tidak lengkap oleh peritoneum. Bagian selaput yang lebih tebal adalah pada bagian hilum (porta hepatik), dimana pembuluh darah dan pembuluh limfa serta saluran empedu yang keluar dan masuk hati (Bergman, 1996).

5. Ginjal

Ginjal berfungsi memfilter sampah nitrogen terutama sebagai urea dan toksin-toksin lain dari darah dan mengontrol kehilangan air dan elektrolit dalam urine, dengan demikian mempertahankan keseimbangan yang tepat dari substansi ini dalam tubuh. Dengan mengendalikan komposisi dan volume cairan ekstraseluler, yang memelihara lingkungan yang diatur secara ketat yang diperlukan oleh sel-sel yang strukturnya sangat rumit dan halus jika ingin sel-sel ini berfungsi dengan tepat (Anonim, 1987b).

6. Paru

(59)

memungkinkan karbondioksida terlepas dari darah ke udara bebas (Anonim, 1987a).

Bagian akhir dari bronkeolus adalah duktus alveolaris, yang tampak dari adanya sejumlah alveoli atau tidak adanya dinding bronkeolar, dan bagian otot polos menggemb ung menjadi lumen dari duktus alveolaris. duktus alveolaris berakhir di atria yang kemudian terbagi menjadi dua atau lebih sakus alveolaris. Alveoli adalah bagian terkecil dan terbanyak jumlahnya pada sistem pernafasan. Pertukaran gas terjadi di alveoli me lewati blood-air barrier (Bergman, 1996).

E. Kerusakan Organ

Hiperemi adalah keadaan dimana terdapat darah secara berlebihan didalam pembuluh darah pada daerah tertentu. Jika dilihat dengan mata telanjang, maka daerah jaringan atau organ yang mengalami hiperemi berwarna lebih merah (ungu) karena bertambahnya darah didalam jaringan. Secara mikroskopis kapiler-kapiler dalam jaringan hiperemia melebar dan penuh berisi darah. Pada dasarnya terdapat dua mekanisme di mana kongesti dapat timbul yaitu kenaikan jumlah darah yang mengalir ke daerah dan penurunan jumlah darah yang mengalir dari daerah. Manifestasi kerusakan organ ini sering ditemukan pada organ hati dan ginjal.

(60)

F. Landasan Teori

Sianida merupakan racun yang kuat dan bekerja sangat cepat, dapat menyebabkan sesak pada bagian dada, berikatan dengan sitokrom oksidase, dan kemudian memblok penggunaan oksigen secara aerob. Akibat yang ditimbulkan dari racun sianida tergantung pada jumlah paparan dan cara masuknya ke dalam tubuh, lewat pernapasan atau pencernaan. Racun ini menghambat sel tubuh mendapatkan oksigen sehingga yang paling terpengaruh adalah jantung dan otak. Pada keracunan sianida, dapat diberikan 50 ml (12,5 gram) natrium tiosulfat 25 %, secara i.v selama 10 menit dan berikan oksigen 100 % selama 12-24 jam, tapi tidak boleh lebih lama.

Natrium tiosulfat merupakan donor sulfur yang mengkonversi sianida menjadi bentuk yang lebih nontoksik, tiosianat, dengan enzim sulfurtransferase, yaitu rhodanase. Tidak seperti nitrit, tiosianat merupakan senyawa nontoksik, dan dapat diberikan secara empiris pada keracunan sianida.

G. Hipotesis

(61)

BAB III. METODE PENELITIAN

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis uji antidotum Natrium tiosulfat pada kasus keracunan akut-oral sianida pada mencit jantan galur swiss termasuk dalam penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola searah.

B. Variabel dan Definisi Operasional

Dalam Penelitian uji antidotum Natrium tiosulfat pada kasus keracunan akut-oral sianida pada mencit jantan galur swiss mempunyai variabel utama dan pengacau.

1. Variabel utama

a. Variabel bebas : dosis natrium tiosulfat, sejumlah mg natrium tiosulfat tiap kg berat badan mencit.

b. Variabel tergantung : keadaan kembalinya kondisi mencit ke keadaan semula dari gejala efek toksik yang timbul dan yang diukur adalah waktu (dalam detik) timbulnya lima gejala efek toksik dari keracunan sianida, meliputi: Jantung berdebar, Hilang kesadaran, Gagal nafas, Kejang, Mati akibat pemejanan tiosulfat.

2. Variabel pengacau

a. Variabel pengacau terkendali

(62)

3) Jenis kelamin : Jantan

4) Galur : Swiss

5) Jalur pemberian : Oral (sianida), i.p (natrium tiosulfat) 6) Frekuensi pemberian : Satu kali

b. Variabel pengacau tidak terkendali : jumlah asupan gizi hewan uji

C. Definisi Operasional

1. Waktu terjadinya efek toksik adalah waktu (dalam detik) di mana mulai muncul efek toksik dari keracunan sianida, meliputi : jantung berdebar, hilang kesadaran, gagal nafas, kejang, dan mati setelah pemejanan sianida pada mencit yang diamati secara vis ual.

2. Waktu hilangnya efek toksik adalah durasi antara sesaat pemberian natrium tiosulfat sampai hilangnya gejala efek toksik.

3. Gejala efek toksik dari keracunan sianida yang meliputi : jantung berdebar, hilang kesadaran, gagal nafas, dan kejang, apabila tidak teramati atau tidak muncul diinterpretasikan dengan angka 0.00 detik.

4. Gejala efek toksik dari keracunan sianida yang berupa kematian, apabila dalam waktu 1X24 jam tidak mati maka diinterpretasikan dengan angka 86400 detik.

5. Jantung berdebar adalah keadaan di mana dengan pengamatan secara visual mencit terlihat lebih berdebar.

(63)

7. Gagal nafas adalah keadaan di mana mencit susah bernafas dan tampak mulut yang ikut membuka-buka.

8. Kejang adalah keadaan di mana kaki depan dan atau kaki belakang mencit bergetar- getar; atau kaki depan dan kaki belakang saling menarik ke depan dan kebelakang.

9. Mati adalah keadaan di mana mencit sudah tidak ada tanda-tanda bernafas dan tidak terdapat adanya detak jantung yang teramati dalam pengamatan maksimal 24 jam.

D. Bahan Penelitian

Bahan atau materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Racun yang dipejankan adalah larutan potassium sianida (KCN), (E.Merck, Darmstadt, Germany). Bahan tersebut diperoleh dari Laboratorium Farmakologi Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Racun yang dipejankan adalah larutan potassium sianida (KCN), (E.Merck, Darmstadt, Germany). Bahan tersebut diperoleh dari Laboratorium Farmakologi Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

3. Bahan antidot yang digunakan adalah natrium tiosulfat (E.Merck, Darmstadt, Germany). bahan tersebut diperoleh dari Laboratorium Farmakologi Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

(64)

5. Bahan kimia berupa formalin 10 % tekhnis untuk mengawetkan organ hewan uji yang dperoleh dari Laboratorium Farmakologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

6. Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit jantan yang diperoleh dari Unit Pengembangan Hewan Penelitian (UPHP), Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

E. Alat dan Instrumen Penelitian

Peralatan dan instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Neraca atau timbangan elektrik (Mettler Toledo Tipe AB 204, Switzerland) 2. Alat-alat gelas

3. Jarum tuberkulin (preparat oral) yang digunakan untuk pemberian larutan sianida secara per-oral

4. Seperangkat alat bedah yang digunakan untuk membedah mencit

5. Digitalmicrophotography untuk pengamatan dan pemeriksaan histopatologi organ hewan uji

F. Tata Cara Penelitian

1. Pembuatan larutan dan penetapan dosis KCN

(65)

2. Pembuatan larutan dan penetapan dosis natrium tiosulfat

Larutan natrium tiosulfat 0.643% b/v (dosis 160.720 mg/kg BB) dibuat dengan cara melarutkan 642.880 mg natrium tiosulfat ditambah aquadest hingga 100 ml. Dosis natrium tiosulfat dipilih berdasarkan hasil orientasi yang sudah pernah dilakukan yaitu sebesar 1125 mg/kg BB. Dosis 1125 mg/kg BB diturunkan dengan faktor perkalian 7 kalinya, maka diperoleh dosis 160.720 mg/kg BB, 22.960 mg/kgBB.,3.279 mg/kgBB dan 0,468 mg/kgBB.

3. Pengelompokkan hewan uji

Hewan uji sebanyak 42 ekor dikelompokkan secara acak menjadi 7 kelompok, yaitu :

a.. Kelompok I diberi bahan pelarut yang digunakan yaitu aquadest, sebagai kontrol negatif.

b. Kelompok II diberi larutan KCN dosis 26 mg/kgBB mencit secara p.o.

c. Kelompok III diberi larutan Na2S2O3 dosis 160.720 secara i.p. sebagai kontrol

antidotum nya.

d. Kelompok IV diberi perlakuan KCN dosis 26 mg/kgBB secara p.o. dan secara cepat diberikan antidotumnya Na2S2O3 dosis 0.468 mg/kgBB secara i.p.

e. Kelompok V diberi perlakuan KCN dosis 26 mg/kgBB secara p.o. dan secara cepat diberikan antidotumnya Na2S2O3 dosis 3.279 mg/kgBB secara i.p.

f. Kelo mpok VI diberi perlakuan KCN dosis 26 mg/kgBB secara p.o. dan secara cepat diberikan antidotumnya Na2S2O3 dosis 22.960 mg/kgBB secara i.p.

(66)

i.p. Peringkat kelompok VII ini merupakan kelompok yang diberi dosis tertinggi antidotum Na2S2O3 yang diharapkan hewan uji dalam kelompok ini

seluruhnya akan hidup. 4. Pengamatan

Pengamatan dilakukan dari waktu pemberian antidotum Na2S2O3 waktu

dimulai hingga 3 jam pengamatan. Jika hewan uji sampai 3 jam pengamatan tidak mengalami kematian maka pengamatan dilanjutkan hingga 1x 24 jam dari waktu pemberian antidotum. Kriteria klinik pengamatan meliputi :

a. Pengamatan fisik terhadap gejala- gejala toksik. Pengamatan harus dilakukan sesering mungkin pada 24 jam pertama setelah pemberian sianida dan antidotumnya Na2S2O3 dan sekali sehari selama masa uji.

b. Kematian hewan uji pada masing- masing kelompok.

c. Pemeriksaan histopatologi organ-organ penting seperti jantung, hati, paru-paru, usus, ginjal, lambung pada akhir masa uji.

5. Pemeriksaan histopatologi

a. Pengambilan organ :

Untuk histopatologi dilakukan dengan mengorbankan hewan uji dengan cara dekapitasi (menarik kepala dan ekornya) kemudian dibedah pada bagian perut. Selanjutnya organ paru-paru, jantung, hati, usus, ginjal dan lambung diambil kemudian dimasukkan kedalam wadah berisi formalin 10%.

b. Pembuatan preparat histopatologi

(67)

c. Pemeriksaan preparat histopatologi

Dilakukan di Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi, Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Pemeriksaan preparat histopatologi dilakukan dengan menggunakan digitalmicrophotography dibimbing oleh dr. Luciana Kuswibawati, M.Kes.

G. Analisis Hasil

1. Untuk mengetahui normal/ tidaknya sebaran data maka pertama kali dilakukan uji normalitas dengan metode analisis shapiro-Wilk karena sampel yang digunakan < 50.

2. Untuk mengetahui perbedaan waktu mati antar kelompok perlakuan, hasil waktu mati antar kelompok perlakuan dianalisis menggunakan metode analisis statistika Kruskal Wallis Test, dilanjutkan dengan analisis Mann Whitney jika data yang diperoleh tidak terdistribusi normal p<0,05. untuk kepentingan ini hipotesis dirumuskan sebagai berikut Ho : Peningkatan dosis na-tiosulfat tidak dapat meningkatkan fek penawaracunan sianida. 3. Dilakukan pula uji histopatologi pada organ jantung, paru-paru, lambung

dan usus halus, hati, serta ginjal dari tiap kelompok perlakuan. Data pemeriksaan histopatologi digunakan untuk mengevaluasi perubahan pada organ sebagai perwujudan efek toksik yang timbul.

(68)

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Potensi Sianida sebagai Racun

Dalam penelitian ini, sianida yang digunakan sebagai senyawa racun berupa senyawa KCN (kalium sianida) dengan dosis lethal pada manusia dewasa 70 Kg yang diberikan secara peroral sebesar 200 mg. Kemudian senyawa KCN tersebut dikonversikan dosisnya ke hewan uji mencit jantan yang akan digunakan sebagai subyek uji dalam penelitian ini sekaligus sebagai kontrol positif dari keracunan sianida. Dengan menggunakan nilai konversi dosis dari manusia 70 Kg ke mencit dengan berat badan 20 gram sebesar 0,0026, maka didapatkan nilai dosis KCN secara peroral pada mencit 20 gram sebesar :

= 200 x 0,0026

= 0,52 mg/20 gram BB mencit = 26 mg/KgBB mencit

Keracunan sianida berarti meningkatkan keberadaan zat beracun sianida di sel sasaran, dimana terjadi translokasi sianida dari jalan masuk ke tempat reseptornya. Hal ini menyebabkan perubahan sianida menjadi produk aktif yang stabil, sehingga dapat menimbulkan gejala efek toksik mulai jantung berdebar, hilang kesadaran, gagal nafas, kejang bahkan sampai mematikan.

Gambar

Tabel III. Hasil perbandingan antar kelompok pada gejala efek toksik jantung
Gambar 3. Grafik mean ± 2 SE untuk gejala efek toksik berupa gagal nafas .....53
Gambar 10. Gambaran histopatologi untuk organ paru mencit akibat pemberian
Gambar 11. Gambaran histopatologi untuk organ jantung mencit akibat pemberian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Ekstrak n- heksana daun salam (Eugenia polyantha Wight ) dosis 210 mg/KgBB, 420 mg/KgBB dan 840 mg/KgBB tidak berefek menurunkan kadar asam urat serum mencit putih

Hewan uji diberikan ekstrak etanol kulit kacang tanah dosis 200 mg/kgBB dengan volume pemberian 2,5 mL/200 gBB diberikan peroral pada 1 jam; 0,5 jam dan sesaat

Hewan uji diberikan ekstrak etanol kulit kacang tanah dosis 200 mg/kgBB dengan volume pemberian 2,5 mL/200 gBB diberikan peroral pada 1 jam; 0,5 jam dan sesaat

Hasil Uji Statistik Kadar SGPT Tikus Pada Kontrol Normal, Kontrol Negatif, Kontrol Positif, dan Perlakuan Dengan Ekstrak Etanol Buah Karika Dosis 120 mg/kgBB, 240 mg/kgBB, dan

Dosis sari antosianin terbaik yaitu dosis 27,95 mg/kgbb yang diberikan selama 21 hari dan memberikan optimal dalam memperbaiki struktur keliling jantung mencit

Untuk pengujian aktivitas analgetik digunakan varian dosis 200 mg/KgBB, 400 mg/KgBB dan 600mg/KgBB dengan cara mengamati waktu respon hewan uji terhadap rasa panas

Jus buah belimbing dosis 6,3 mg/kgBB, 12,6 mg/kgBB, dan 25,2 mg/kgBB lebih efektif dibandingkan dengan metformin dalam kemampuan menurunkan kadar glukosa darah tikus putih

Pemberian methanil yellow per oral dengan dosis 4200 mg/kgBB/hari, 2100 mg/kgBB/hari, dan 1050 mg/kgBB/hari selama 30 hari memberikan perbedaan yang bermakna dalam