AKTIVITAS ANALGESIK PERSISTEN SENYAWA
2,5-
BIS-
(4’-METOKSI-BENZILIDIN)-SIKLOPENTANON
PADA MENCIT JANTAN GALUR SWISS DENGAN
METODE
FORMALIN TEST
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh:
Fransiska Indah Pratiwi
NIM: 048114073
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
AKTIVITAS ANALGESIK PERSISTEN SENYAWA
2,5-
BIS-
(4’-METOKSI-BENZILIDIN)-SIKLOPENTANON
PADA MENCIT JANTAN GALUR SWISS DENGAN
METODE
FORMALIN TEST
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh:
Fransiska Indah Pratiwi
NIM: 048114073
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2008
v
“In fa c t, the joy of suc c e ss lie s on the strug g ling proc e ss we a re e xpe rie nc ing a nd on our a bility to ove rc ome
e ve ry obsta c le we fa c e ” (Andrie Wong so
)
Kupersembahkan karya ini untuk :
Bapa di Surga atas penyertaan-Mu
Ayah dan alm. Ibuku tercinta
Kakakku Thomas Bangkit Kristiawan tersayang
Kekasihku Ignatius Madya Surya P.P
PRAKATA
Puji syukur kepada Allah Bapa di Surga atas kasih-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul Aktivitas
Analgesik Senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon pada Mencit
Jantan Galur Swiss dengan Metode Formalin Test. Skripsi ini disusun untuk
memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm) pada
Program Studi Ilmu Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini, penulis memperoleh bantuan
dan bimbingan yang tidak ternilai harganya. Oleh karena itu pada kesempatan ini
dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Rita Suhadi, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata
Dharma.
2. Nunung Yuniarti, M.Si., Apt. selaku dosen pembimbing dan dosen penguji
yang telah memberikan bantuan berupa saran, kritik, serta dorongan sehingga
penyusunan skripsi ini dapat berjalan dengan lancar.
3. Drs. Mulyono, Apt. selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik dan
saran yang bermanfaat untuk skripsi ini.
4. Yosef Wijoyo, M.Si. selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik dan
saran yang bermanfaat untuk skripsi ini
5. Prof. Dr. Supardjan Amir Margono, MS., Apt. yang telah memberikan
senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon untuk penelitian.
6. Ayah dan alm. Ibuku atas cinta kasih yang tulus sehingga penyusunan skripsi
ini dapat berjalan dengan lancar.
7. Kakakku “Thomas” yang tak henti-hentinya memberikan semangat untukku
sehingga penyusunan skripsi dapat terlaksana dengan baik.
8. Kekasihku “Ignas” yang selalu mendukungku untuk menyelesaikan skripsi ini
sehingga dapat berjalan dengan baik.
9. Mas Heru, Mas Parjiman, dan Mas Kayat selaku laboran yang telah membantu
dalam penelitian di laboratorium.
10.Widiya sebagai teman seperjuanganku di laboratorium yang selalu
mendukungku dalam menyelesaikan penelitian ini.
11.Mas Prasojo yang sudah banyak membantu penyelesaian skripsi ini.
12.Retri sebagai teman dekat yang selalu mendukungku dalam menyelesaikan
penelitian.
13.Teman-teman seperjuangan angkatan 2004 khususnya kelas B kelompok
praktikum D.
14.Agung, Retno, Ochi, Tiwi, Dhee, Cia, Yuma, Bayu, dan Beni terimakasih atas
kebersamaannya selama masa KKN.
15.Tina, Nolen, Kristy, Tyas, Yesse, Ika, Sekar, Retha, Suci, Mbak Rini, dan Jule
sebagai teman sekaligus saudara yang sudah memberi semangat untukku.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan oleh
karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk
kesempurnaan skripsi ini. Walaupun demikian, penulis berharap skripsi ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.
Yogyakarta, Juli 2008
Penulis
ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN
CMC-Na : Carboxy Methyl Cellulose-Natrium
COX : Cyclooxygenase
Dorsal horn : cornu posterior medulla spinalis
ED50 : Effective Dose 50% (dosis senyawa uji yang memberikan
efek 50% pada hewan uji)
IC50 : Inhibitory Consentration 50% (konsentrasi senyawa uji
(inhibitor) yang diperlukan untuk menghambat 50% aktivitas enzim)
Impuls : proses elektrokimia yang menjalar sepanjang saraf
i.p : intraperitoneal
i.v. : intravena
Medula spinalis : bagian sistem saraf pusat yang terkumpul dalam kanalis vertebralis
NSAID : Non Steroidal Anti Inflammatory Drugs
PGV-0 : Pentagamavunon-0
p.o. : per oral
TBA : Thiobarbituric Acid
δ : delta
µ : mu
µM : mikromolar
ҝ : kappa
INTISARI
Senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon merupakan senyawa analog PGV-0. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui aktivitas analgesik persisten senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon pada mencit jantan galur Swiss dengan metode Formalin Test.
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola searah. Subjek uji menggunakan mencit jantan galur Swiss, umur 2,5-3 bulan, berat badan 20-30 g. Empat puluh ekor mencit dibagi menjadi 8 kelompok perlakuan. Kelompok I sebagai kontrol negatif (diberi perlakuan CMC-Na 0,5% secara p.o.), kelompok II dan III sebagai kontrol positif (diberi perlakuan indometasin dosis 4 mg/kgBB secara i.p. dan morfin dosis 5 mg/kgBB secara i.p.), dan kelompok IV-VIII diberi perlakuan senyawa uji 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanondengan dosis berturut-turut yaitu 17,78; 26,67; 40; 60; dan 90 mg/kgBB secara p.o. Mencit diinduksi formalin 1% secara intraplantar pada kaki kirinya, selanjutnya diamati total waktu menjilat selama fase I (0-5 menit) dan fase II (10-30 menit). Dari data total waktu menjilat pada fase I dan II kemudian dianalisis secara statistik dengan taraf kepercayaan 95%.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa senyawa 2,5-bis- (4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon memiliki aktivitas analgesik. Terdapat hubungan linear antara log dosis dengan daya analgesik persisten senyawa 2,5-bis- (4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon baik pada fase I maupun pada fase II.
Kata kunci: 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon, analgesik, Formalin Test, pra klinik
ABSTRACT
The compound of 2.5-bis-(4’-methoxy-benzyl)-cyclopentanone is a PGV-0 analog compound. This research was conducted to investigate the persistent analgesic activity of 2.5-bis-(4’-methoxy-benzyl)-cyclopentanone compound in Switzerland strain male mice by using Formalin Test.
This research was a pure one way randomized experimental research. The subjects of this research were Switzerland strain male mice whose age were 2.5–3 months and its weights were 20–30 g. Forty mice were devided into 8 treatment groups. Group I acted as negative control group (treated with CMC-Na 0.5% by p.o.), group II and group III acted as positive control (treated with indometasin 4mg/kgBB by i.p. dan morfin 5 mg/kgBB by i.p.), and group IV–VIII were treated with 2.5-bis-(4’-methoxy-benzyl)-cyclopentanone compound with dosage of 17.78; 26.67; 40; 60 mg/kgBB; and 90 mg/kgBB successively by p.o. The mice were induced by intraplantar formalin 1% into the mice’s left hindpaw. This process was followed by monitoring of total licking time on phase I (0-5 minutes) and II (10-30 minutes). The data from total licking time was analyzes by using statistic with degree of validity 95%.
The result of the research analysis shows that 2.5-bis- (4’-methoxy-benzyl)-cyclopentanone compound has persistent analgesic activity. There is a linear conection between the dose log and the persistent analgesic capacity (%) of 2.5-bis-(4’-methoxy-benzyl)-cyclopentanone compound both in the phase I and phase II.
Keywords: 2.5-bis-(4’-methoxy-benzyl)-cyclopentanone, analgesic, Formalin Test, pre clinic
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ….………...
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ………
HALAMAN PENGESAHAN ..………...
HALAMAN PERSEMBAHAN ……….
PRAKATA ………...
HALAMAN PERNYATAAN ...…………...…………...…………...
ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN ………...
INTISARI ………...
B. Perumusan Masalah ………...
C. Keaslian Penelitian ……….
D. Manfaat Penelitian ……….
E. Tujuan Penelitian ………...
BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA ………
A. Penelaahan Pustaka ………
1. Senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon ……….
2. Nyeri ……….
3. Analgetika ………...
4. Indometasin ………..
5. Morfin ………..
6. Metode Pengujian Analgetik ………
B. Landasan Teori ………...
C. Hipotesis ……….
BAB III. METODE PENELITIAN .………...
A. Jenis dan Rancangan Penelitian ……….
B. Variabel dan Definisi Operasional .………
C. Bahan Penelitian ....……….…...
D. Alat Penelitian ……….…...
E. Subjek Uji ..………
F. Penelitian Pendahuluan ………..
G. Tata Cara Penelitian ………...
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ………..
A. Uji Pendahuluan ..………...
B. Uji Analgesik pada Nyeri dengan Metode Formalin Test …...
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ………....
LAMPIRAN ………...
BIOGRAFI PENULIS ………... 52
67
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel I.
Tabel II.
Tabel III.
Tabel IV.
Tabel V.
Rata-rata total waktu mencit menjilat kaki yang diinduksi formalin 1% dalam uji pendahuluan penetapan selang waktu pemberian CMC-Na setelah diinduksi formalin 1% ...
Rata-rata total waktu mencit menjilat kaki yang diinduksi formalin 1% dalam uji pendahuluan penetapan selang waktu pemberian senyawa 2,5-bis -(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon setelah diinduksi formalin 1% ………...
Hubungan antara perlakuan dengan total waktu menjilat dan daya analgesik (dalam %) pada uji daya analgesik senyawa 2,5 - bis -(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon dengan metode Formalin Test ………...…………...
Rangkuman hasil Uji Tukey data daya analgesik (dalam %) senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon metode Formalin Test fase I ………..………..
Rangkuman hasil Uji Tukey data daya analgesik (dalam %) senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon metode Formalin Test fase II ..………...……...
30
32
35
38
41
DAFTAR GAMBAR
Struktur 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon...
Mekanisme timbulnya nyeri ...
Tempat berakhirnya serabut aferen pada 6 lapisan dari sumsum tulang belakang ...
Diagram perombakan asam arakidonat ………...
Kerja antagonis dan agonis di reseptor opioid ………...
Sistem kontrol penghambatan yang menunjukkan tempat aksi opioid pada transmisi nyeri ...
Struktur Indometasin ...
Struktur Morfin ...
Hasil uji pendahuluan penetapan selang waktu pemberian CMC-Na dengan penyuntikan formalin 1% pada metode Formalin Test ...
Hasil uji pendahuluan penetapan selang waktu pemberian senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon dengan penyuntikan formalin 1% pada metode Formalin Tes ...
Hubungan antara perlakuan dengan % daya analgesik pada uji daya analgesik senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon dengan metode Formalin Test fase I ...…………...………..
Hubungan antara perlakuan dengan % daya analgesik pada uji daya analgesik senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon dengan metode Formalin Test fase II ... …………...………..
Kurva hubungan log dosis senyawa 2,5-bis -(4’-metoksi-benzil-idin)-siklopentanon dengan daya analgesik (dalam %) pada uji daya analgesik senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon dengan metode Formalin Test fase I ...…………...………....
Gambar 16. Kurva hubungan log dosis senyawa 2,5-bis -(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon dengan daya analgesik (dalam %) pada uji daya analgesik senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon dengan metode Formalin Test fase II ...………….. ....………… 43
DAFTAR LAMPIRAN
Hasil uji pendahuluan penetapan selang waktu pemberian CMC-Na dengan penginjeksian formalin 1% pada metode Formalin Test. Pengamatan fase I dilakukan pada menit 0-5 dan fase II pada menit 10-30………...
Hasil uji pendahuluan penetapan selang waktu pemberian senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon dengan penginjeksian formalin 1% pada metode Formalin Test. Pengamatan fase I dilakukan pada menit 0-5 dan fase II pada menit 10-30……….
Tabel hasil uji analgesik senyawa 2,5-bis -(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon ………...
Hasil uji stastistik analisis variansi (Anava) satu arah dilanjutkan dengan Uji Tukey dari total waktu menjilat (detik) fase I tiap-tiap perlakuan pada uji analgesik senyawa 2,5-bis -(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon ………...
Hasil uji stastistik analisis variansi (Anava) satu arah dilanjutkan dengan Uji Tukey dari daya analgesik (dalam %) fase I tiap-tiap perlakuan pada uji analgesik senyawa 2,5-bis -(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon ………...
Hasil uji stastistik analisis variansi (Anava) satu arah dilanjutkan dengan Uji Tukey dari total waktu menjilat (detik) fase II tiap-tiap perlakuan pada uji analgesik senyawa 2,5-bis -(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon………...
Hasil uji stastistik analisis variansi (Anava) satu arah dilanjutkan dengan Uji Tukey dari daya analgesik (dalam %) fase II tiap-tiap perlakuan pada uji analgesik senyawa 2,5-bis -(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon ………...
Gambar senyawa 2,5-bis -(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon ……….
Gambar kotak pengamatan untuk mengamati respon total waktu menjilat kaki yang diinduksi formalin 1% pada uji analgesik dengan metode Formalin Test …………...………….
menjilat kaki yang diinduksi formalin 1% pada uji analgesik dengan metode Formalin Test ……… 66
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang
Nyeri didefinisikan sebagai perasaan tidak menyenangkan, ekspresi
emosional, dan bersifat subjektif atau berupa kerusakan jaringan (Dipiro dkk,
1998). Hampir setiap orang pernah merasakan nyeri. Nyeri sering berfungsi untuk
mengingatkan dan melindungi serta memudahkan diagnosis, namun pasien
merasakannya sebagai hal yang tidak mengenakkan sehingga akan berusaha untuk
bebas darinya (Mutschler, 1991). Sekitar 50 juta jiwa orang Amerika mengeluh
karena nyeri dan diperkirakan membutuhkan milyaran dollar AS untuk
mengobatinya (Dipiro dkk, 2005). Obat yang digunakan untuk meringankan atau
menekan rasa nyeri ini dikenal sebagai analgetika.
Salah satu modifikasi struktur kurkumin (Gambar 1) adalah senyawa
PGV-0 (Gambar 2). Selama ini senyawa PGV-0 telah dikenal mempunyai efek
antiinflamasi (Nurrochmad, 1997) dengan menghambat enzim siklooksigenase
dan antioksidan (Sardjiman, 2000). Kemampuan PGV-0 dalam menghambat
enzim siklooksigenase ditetapkan dengan metode Flower dkk (1973)
termodifikasi (cit., Sardjiman, 2000) secara in vitro diperoleh IC50 sebesar 0,6µM
(Nurrochmad, 1997) atau 0,91µM (Sardjiman, 2000). Kemampuan PGV-0
sebagai antioksidan dengan menghambat peroksidasi lipid ditetapkan dengan
metode tes TBA secara in vitro dan diperoleh IC50 sebesar 6,4±0,4µM (Sardjiman,
2000). Senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon (Gambar 3)
merupakan analog PGV-0. Senyawa 2,5-bis
siklopentanon secara in vitro memiliki aktivitas menghambat peroksidasi lipid
pada konsentrasi 4 µg/ml sebesar 8,3±0,3 µM (Sardjiman, 2000). Senyawa ini
mempunyai gugus metoksi yang berperan sebagai pendorong elektron sehingga
menambah kerapatan pada sistem ikatan π dan memudahkan senyawa menangkap
radikal hidroksi (Nelly, 2000). Kemampuan senyawa untuk menangkap radikal
hidroksi (radikal bebas) dikenal dengan mekanisme antioksidan. Antioksidan
dapat menghambat oksigenasi asam lemak (siklooksigenase dan lipooksigenase)
sehingga dapat dijadikan dasar yang baik untuk terapi nyeri.
Senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon merupakan hasil
sintesis Susanti (2004) belum pernah diteliti aktivitasnya sebagai analgetika
persisten sehingga perlu dilakukan uji aktivitas analgesik persisten dengan metode
Formalin Test. Oleh karena itu diharapkan dengan adanya pembuktian efek
farmakologis, senyawa ini dapat berkembang menjadi obat analgetika baru.
OCH3
OH OCH3
OH
O O
Gambar 1. Struktur Kurkumin (Sardjiman, 2000)
O
HO
OCH3
OH OCH3
Gambar 2. Struktur PGV-0 (Sardjiman, 2000)
O
OCH3 OCH3
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan tersebut, maka dapat
dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
a. apakah senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon memiliki
aktivitas atau menimbulkan efek analgesik persisten pada mencit jantan galur
Swiss?
b. apakah terdapat hubungan linear antara dosis dengan daya analgesik persisten
senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon?
C. Keaslian Penelitian
Penelitian yang pernah dilakukan terhadap senyawa 2,5-bis
-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon diantaranya adalah penelitian Sardjiman (2000) tentang
aktivitas senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon secara in vitro
menghambat peroksidasi lipid. Akan tetapi sejauh penelusuran pustaka penulis,
penelitian mengenai aktivitas analgesik persisten senyawa 2,5-bis
-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon pada mencit jantan galur Swiss belum pernah
dilakukan.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian mengenai aktivitas analgesik senyawa 2,5-bis
-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon pada mencit jantan galur Swiss ini diharapkan memiliki
manfaat yaitu:
a. manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi pengembangan ilmu
senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon sebagai analgetika
persisten.
b. manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran aktivitas farmakologi
secara pra klinik untuk mendukung penelitian selanjutnya (toksisitas) sehingga
menjadi obat analgetika baru dan dapat memberikan informasi kepada
masyarakat tentang manfaat senyawa 2,5-bis
-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon sebagai analgetika.
E. Tujuan Penelitian
a. Tujuan umum
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan landasan ilmiah bahwa senyawa
2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon memiliki aktivitas analgesik
persisten.
b. Tujuan khusus
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas senyawa 2,5-bis
BAB II
A. PENELAAHAN PUSTAKA
1. Senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon
Senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon merupakan analog
PGV-0. Senyawa PGV-0 mempunyai efek antiinflamasi (Nurrochmad, 1997)
dengan menghambat enzim siklooksigenase dan sebagai antioksidan (Sardjiman,
2000). Kemampuan PGV-0 dalam menghambat enzim siklooksigenase ditetapkan
dengan metode Flower dkk (1973) termodifikasi (cit., Sardjiman, 2000) secara in
vitro diperoleh IC50 sebesar 0,6µM (Nurrochmad, 1997) atau 0,91µM (Sardjiman,
2000). Kemampuan PGV-0 sebagai antioksidan dengan menghambat peroksidasi
lipid ditetapkan dengan metode tes TBA secara in vitro dan diperoleh IC50 sebesar
6,4±0,4µM (Sardjiman, 2000). Senyawa 2,5-bis
-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon secara in vitro memiliki aktivitas menghambat peroksidasi lipid
pada konsentrasi 4 µg/ml sebesar 8,3±0,3 µM (Sardjiman, 2000).
Sintesis senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon oleh
Susanti (2004) dilakukan dengan cara mereaksikan 4-metoksi benzaldehida
dengan siklopentanon dengan penambahan katalis larutan NaOH 21%. Sintesis ini
berlangsung dalam perbandingan mol 4-metoksi benzaldehida : siklopentanon = 2
: 3. Reaksi yang terjadi merupakan reaksi kondensasi antara turunan benzaldehid
dengan siklopentanon mengikuti mekanisme kondensasi Claisen Schmidt
(Sardjiman, 2000). Sebelumnya, senyawa 2,5-bis
-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanonpernahdisintesis oleh Austerwil dkk (1956), Hathaway (1987), dan
Sardjiman (2000). Struktur kimia senyawa PGV-0 dan 2,5-bis
-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon ditunjukkan pada Gambar 2 dan 3.
2. Nyeri
Nyeri didefinisikan sebagai perasaan tidak menyenangkan, ekspresi
emosional, dan bersifat subjektif atau berupa kerusakan jaringan (Dipiro dkk,
1998). Rangsang yang cukup untuk menimbulkan rasa nyeri adalah kerusakan
jaringan atau gangguan metabolisme jaringan (Tjay dan Rahardja, 2002).
Nyeri timbul jika rangsang mekanik, termal, kimia, atau listrik melampaui
ambang tertentu (nilai ambang nyeri) dan karena itu menyebabkan kerusakan
jaringan dengan pembebasan yang disebut senyawa nyeri (Mutschler, 1991).
Menurut Dipiro dkk (2005) proses penghantaran nyeri terdiri atas empat tahap
yaitu stimulasi, transmisi, persepsi nyeri, dan modulasi.
a. Stimulasi
Sensasi nyeri diawali dengan pembebasan reseptor nyeri akibat adanya
rangsangan mekanis, panas, dan kimia. Adanya rangsangan tersebut (noxius
stimuli) akan menyebabkan lepasnya bradikinin, K+, prostaglandin, histamin,
leukotrien, serotonin, dan substansi P. Aktivasi reseptor menimbulkan aksi
potensial yang ditransmisikan sepanjang serabut saraf aferen menuju sumsum
tulang belakang (Dipiro dkk, 2005).
b. Transmisi
Transmisi rangsang nyeri terjadi di serabut saraf aferen Aδ dan C. Serabut
saraf aferen tersebut merangsang serabut nyeri di berbagai lamina spinal cord’s
dorsal horn melepaskan berbagai neurotransmiter termasuk glutamat, substansi
P, dan kalsitonin (Dipiro dkk, 2005).
c. Persepsi Nyeri
Merupakan titik utama transmisi impuls nyeri. Otak akan mengartikan
sinyal nyeri dengan batas tertentu, sedangkan fungsi kognitif dan tingkah laku
akan memodifikasi nyeri sehingga tidak lebih parah. Relaksasi, pengalihan,
meditasi, dan berkhayal dapat mengurangi rasa nyeri (Dipiro dkk, 2005).
d. Modulasi
Modulasi nyeri melalui sejumlah proses yang kompleks. Telah diketahui
bahwa sistem opiat endogen terdiri atas neurotransmiter-neurotransmiter (seperti
enkhepalin, dinorfin, dan β-endorfin) dan reseptor-reseptor (seperti µ, δ, dan ҝ)
yang ditemukan dalam sistem saraf pusat. Opioid endogen berikatan dengan
reseptor opioid dan mengantarkan transmisi rangsang nyeri (Dipiro dkk, 2005).
Faktor pertumbuhan neuron atau neuron growth factor (NGF) merupakan
mediator mirip sitokinin yang dihasilkan oleh jaringan di perifer terutama pada
jaringan yang mengalami peradangan dan beraksi secara spesifik pada serabut
saraf aferen serta meningkatkan kemosensitifitas dan kandungan senyawa peptida.
Senyawa peptida dilepaskan di pusat dan di perifer sebagai mediator yang
berperan penting dalam terjadinya nyeri (Rang dkk, 2003). Proses timbulnya nyeri
dapat dilihat pada Gambar 4.
OPIOID
OPIOID
Gambar 4. Mekanisme timbulnya nyeri (Rang dkk, 2003)
Keterangan : = menginduksi
= menghambat
BK = Bradikinin
__ +
5-HT = 5-Hidroksi triptamin (serotonin)
SP = Substansi P
PG = Prostaglandin
NGF = Neuron Growth Factor (faktor pertumbuhan neuron)
CGRP = Calcitonin gene-related peptide
NA = Nor Adrenalin
GABA = asam γ-aminobutirat
Badan sel dari serabut aferen nosiseptik berada di belakang serabut
ganglia. Serabut ini memasuki sumsum tulang belakang melalui serabut ganglia
dan berakhir di daerah abu-abu pada dorsal horn. Kebanyakan dari serabut aferen
nosiseptik berakhir pada permukaan dari tulang belakang. Serabut C dan beberapa
serabut A masuk ke dalam badan sel pada lamina I dan II. Sementara serabut A
lainnya masuk lebih dalam ke dalam tulang (lamina V). Serabut saraf aferen tak
bermielin mengandung beberapa neuropeptida terutama substansi P dan
Calcitonin gene-related peptide (CGRP). Zat-zat ini dilepaskan sebagai mediator
di pusat dan perifer dan berperan penting dalam mekanisme nyeri (Rang dkk,
2003).
Mechanorecept
Mechanorecept
Nociceptor
Nociceptor Thermorecepto
r
Gambar 5. Tempat berakhirnya serabut aferen pada 6 lapisan dari sumsum tulang belakang (Rang dkk, 2003)
Menurut Greene dan Harris (2000), ada tiga tipe serabut saraf yang terlibat
dalam transmisi nyeri yaitu:
1. serabut A-β : berukuran besar, bermielin, cepat dalam menyalurkan impuls
(30-100 m/detik), memiliki ambang nyeri yang rendah dan merespon terhadap
sentuhan ringan;
2. serabut A-δ : berukuran kecil, bermielin tipis, dan memiliki kecapatan
konduksi yang lebih rendah (6-30 m/detik). Serabut ini merespon terhadap
tekanan, panas, zat kimia, dan memberi reaksi terhadap nyeri yang tajam, serta
menimbulkan refleks penarikan diri atau gerakan cepat lainnya; dan
3. serabut C : berukuran kecil, tidak bermielin, dan memiliki kecepatan konduksi
yang lambat (1-1,25 m/detik). Serabut ini merespon terhadap seluruh jenis
rangsang bahaya dan mentransmisikan nyeri yang lambat dan tumpul.
Nyeri menurut tempat terjadinya dibagi atas nyeri somatik dan nyeri
dalaman (viseral). Nyeri somatik dibagi lagi atas 2 kualitas yaitu nyeri permukaan
dan nyeri dalam. Apabila rangsang bertempat dalam kulit maka rasa yang terjadi
disebut nyeri permukaan. Sebaliknya nyeri yang berasal dari otot, persendian,
tulang, dan jaringan ikat disebut nyeri dalam. Nyeri permukaan yang terbentuk
kira-kira setelah tertusuk dengan jarum pada kulit, mempunyai karakter yang
ringan, dapat dilokalisasi dengan baik, dan hilang cepat setelah berakhirnya
rangsang. Nyeri dalam juga dirasakan sebagai tekanan, sukar dilokalisasi, dan
kebanyakan menyebar di sekitarnya. Contoh yang paling dikenal dari nyeri dalam
adalah sakit kepala yang dalam berbagai bentuknya merupakan bentuk nyeri yang
paling sering. Nyeri dalam seringkali diikuti oleh reaksi afektif dan vegetatif
seperti tidak bergairah, mual, berkeringat, dan penurunan tekanan darah. Nyeri
dalaman (viseral) terjadi antara lain pada tegangan organ perut, kejang otot polos,
aliran darah kurang, dan penyakit yang disertai radang (Mutschler, 1991).
Berdasarkan waktu terjadinya, nyeri dibedakan menjadi nyeri akut dan
nyeri kronik. Nyeri akut diperantarai oleh serabut saraf Aδ dengan adanya
rangsang nyeri mayor (trauma fisik, infark miokard, peptic ulcer) dan bereaksi
cepat. Nyeri kronik diperantarai oleh serabut saraf C (Laurence dkk, 1997). Nyeri
persisten dapat berupa nyeri akut maupun kronis. Nyeri persisten dipengaruhi oleh
sensitisasi sentral dan kerusakan jaringan perifer (Coderre dan Katz, 1997).
Menurut Mutschler (1991) untuk mempengaruhi nyeri dengan obat,
terdapat kemungkin-kemungkinan berikut:
1. mencegah sensibilasi reseptor nyeri dengan cara penghambatan sintesis
prostaglandin dengan analgetika yang bekerja perifer,
2. mencegah pembentukan rangsang dalam reseptor nyeri dengan memakai
anestetika permukaan atau anestetika infiltrasi,
3. menghambat penerusan rangsang dalam serabut saraf sensorik dengan
anestetika induksi,
4. meringankan nyeri atau meniadakan nyeri melalui kerja dalam sistem saraf
pusat dengan analgetika yang bekerja pada pusat atau obat narkosis, dan
5. mempengaruhi pengalaman nyeri dengan psikofarmaka (transkuilansia,
neuroleptika, dan antidepresan).
3. Analgetika
Analgetika atau obat penghalang nyeri adalah zat-zat yang mengurangi
rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran (perbedaan dengan anestetika umum)
(Tjay dan Rahardja, 2002). Atas dasar kerja farmakologisnya, analgetika dibagi
dalam dua kelompok besar, yakni:
a. analgetika perifer (non narkotik), yang terdiri dari obat-obat yang tidak
bersifat narkotik dan tidak bekerja sentral.
b. analgetika narkotik khusus digunakan untuk menghalau rasa nyeri hebat,
seperti pada kanker dan fractura.
3a. Analgetika perifer
Obat ini mampu meringankan atau menghilangkan rasa nyeri, tanpa
mempengaruhi susunan saraf pusat atau menurunkan kesadaran, juga tidak
menimbulkan ketagihan. Kebanyakan zat ini juga berdaya antipiretik dan
antiradang. Oleh karena itu, obat ini tidak hanya digunakan sebagai obat antinyeri,
melainkan juga gangguan demam (infeksi virus atau kuman dan pilek) dan
peradangan seperti rematik dan encok. Obat ini banyak digunakan pada nyeri
ringan sampai sedang, yang penyebabnya beranekaragam, misalnya nyeri kepala,
gigi, otot atau sendi (rematik dan encok), perut, nyeri haid (dysmenorroe), nyeri
akibat benturan atau kecelakaan (trauma) (Tjay dan Rahardja, 2002).
Cara kerja NSAID sebagian besar berdasarkan hambatan sintesa
prostaglandin, dimana kedua siklooksigenase (COX) diblokir. Prostaglandin
merupakan mediator yang dihasilkan dari perombakan asam arakidonat melalui
jalur siklooksigenase. Prostaglandin tidak menyebabkan nyeri secara langsung
tetapi meningkatkan efek penyebab nyeri dari agen lain secara kuat seperti
bradikinin atau 5-HT (5-hydroxytryptamine). Bradikinin merupakan senyawa
penyebab nyeri yang poten, beraksi sebagian dikarenakan lepasnya prostaglandin
yang sangat kuat meningkatkan aksi langsung bradikinin pada terminal-terminal
saraf (Rang dkk, 2003). NSAID ideal hendaknya hanya menghambat COX-2
(peradangan) dan tidak COX-1 (perlindungan mukosa lambung), selain itu juga
dapat menghambat lipooksigenase (pembentukan leukotrien) (Tjay dan Rahardja,
2002). Diagram perombakan asam arakidonat dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Diagram perombakan asam arakidonat (Kumar dkk, 2005)
Keterangan : = menghasilkan
= menghambat
= enzim yang berperan
3b. Analgetika narkotik
Analgetika narkotik kini disebut juga opioida, adalah zat yang bekerja
terhadap reseptor opioid khas di sistem saraf pusat, hingga persepsi nyeri dan
respon emosional terhadap nyeri berubah (dikurangi) (Tjay dan Rahardja, 2002).
Opioid berinteraksi secara stereospesifik dengan reseptor protein pada membran
sel tertentu pada susunan saraf pusat, pada ujung saraf perifer, dan pada sel-sel
saluran cerna. Efek utama opioid diperantarai oleh 4 famili reseptor yaitu µ, ҝ, ϭ
dan δ, setiap reseptor menunjukkan spesifitas yang berbeda untuk obat-obat yang
diikatnya (Gambar 7). Pada umumnya, kuatnya ikatan berkorelasi dengan
analgesia. Sifat-sifat analgetika opioid terutama diperantarai oleh reseptor µ,
tetapi reseptor ҝ pada kornu dorsalis juga menyokong. Enkefalin berinteraksi lebih
selektif dengan reseptor δ di perifer. Reseptor opioid yang lain, seperti reseptor ϭ,
menunjukkan kurang spesifik, misalnya reseptor ϭ juga mengikat obat-obat
nonopioid seperti halusinogen fensiklidin. Reseptor ϭbertanggungjawab terhadap
halusinasi dan disforia yang kadang-kadang berhubungan dengan opioid. Semua
reseptor opioid berpasangan dengan penghambat protein G dan menghambat
adenilil siklase, juga berkaitan dengan saluran ion untuk meningkatkan efluks K+
(hiperpolarisasi) atau mengurangi influks Ca++, jadi merintangi peletupan neural
dan pelepasan transmiter (Mycek dkk, 1997).
Disforia Halusinasi Efek psikomimetik
Dilatasi pupil
Gambar 7. Kerja antagonis dan agonis di reseptor opioid (Mycek dkk, 1997)
Berdasarkan interaksinya dengan reseptor opioid, dikenal klasifikasi
opioid, yakni (Rang dkk, 2003):
1. agonis murni misalnya obat-obat seperti morfin yang memiliki afinitas tinggi
terhadap reseptor µ dan umumnya memiliki afinitas yang rendah terhadap
reseptor δ dan ҝ. Contohnya kodein, metadon, dan dekstroproposifen,
2. agonis parsial dan campuran agonis-antagonis seperti nalorfin (secara
kompetitif menghambat morfin) dan pentazosin (antagonis pada reseptor µ
tetapi agonis parsial pada reseptor δ dan ҝ), dan
3. antagonis yaitu zat yang dapat memberikan efek opioid yang sangat kecil
misalnya nalokson dan naltrekson.
Mekanisme kerja opioid dapat dijelaskan sebagai berikut: opioid memicu
saraf-saraf di periaqueductal grey (PAG) dan dalam nucleus reticularis
paragigantoceilularis (NRPG) menuju medula rostroventral termasuk nucleus
raphe magnus (NRM). Dari NRM, 5-HT (5-Hydroxytryptamine) dan enkephalin
menuju substansia gelatinosa pada dorsal horn dan meghambat transmisi nyeri.
Opioid juga berperan langsung dalam dorsal horn seperti pada terminal perifer
saraf aferen rangsang nyeri. Locus curuleus (LC) mengirimkan saraf
noradrenergik ke dorsal horn yang juga menghambat transmisi nyeri. Hal ini
ditunjukkan dengan Gambar 8.
Gambar 8. Sistem kontrol penghambatan yang menunjukkan tempat aksi opioid pada transmisi nyeri (Rang dkk, 2003)
Keterangan: + = memicu
-- = menghambat
4. Indometasin
Indometasin merupakan agen antiinflamasi, analgetika, dan antipiretika
yang efektif. Indometasin digunakan untuk mengobati nyeri sedang sampai parah
dan inflamasi penyakit rematik, gangguan muskuloskeletal akut dan gout
(Laurence dkk, 1997).
Indometasin merupakan derivat indol. Indometasin lebih toksik dari
aspirin, tetapi efektivitasnya juga lebih tinggi. Ia juga penghambat sistesis
prostaglandin. Metabolisme terjadi di hati dan waktu paronya 2 jam (Wibowo dan
Gofir, 2001). Indometasin diabsorpsi cepat dan praktis sempurna (Mutschler,
1991).
Efek sampingnya berupa gejala umum, terutama pada permulaan dan dosis
tinggi sering terjadi gangguan lambung, usus, dan efek-efek sentral, seperti nyeri
kepala, perasaan kacau, rasa lelah, dan depresi (Tjay dan Rahardja, 2002).
Struktur indometasin ditunjukkan pada Gambar 9.
C N
HOOCH3C O CH3
O
Cl
CH3
Gambar 9. Struktur Indometasin (Anonim, 1979)
5. Morfin
Morfin merupakan obat analgetika utama yang mengandung opium kasar
dan juga merupakan prototip agonis. Obat ini menunjukkan afinitas yang tinggi
untuk reseptor µ, afinitas yang bervariasi untuk reseptor δ dan reseptor κ, dan
afinitas yang rendah untuk reseptor σ (Mycek dkk, 1997).
Mekanisme kerja: opioid memperlihatkan efek utamanya dengan
berinteraksi dengan reseptor opioid pada susunan saraf pusat dan saluran cerna.
Opioid menyebabkan hiperpolarisasi sel saraf, menghambat peletupan saraf, dan
penghambatan presinaptik pelepasan transmiter. Morfin bekerja pada reseptor µ
dalam lamina I dan lamina II dari substantia gelatinosa medula spinalis, dan
melepaskan substansi P, yang memodulasi persepsi nyeri dalam medula spinalis.
Morfin juga menghambat pelepasan banyak transmiter eksitatori dari ujung saraf
terminal yang membawa rangsangan nosiseptif (nyeri) (Mycek dkk, 1997).
Sediaan morfin dapat diberikan subkutan, intramuskuler atau intravena.
Resorpsinya di usus baik, tapi bioavailabilitasnya hanya 25%. Mulai kerjanya
setelah 1-2 jam dan bertahan sampai 7 jam. Resorpsi dari suppositoria sedikit
lebih baik, secara subkutan atau intramuskuler baik sekali. Di dalam hati, zat ini
diubah menjadi 70% glukuronida, dan hanya sebagian kecil (3%) dari jumlah ini
terdiri dari morfin-6-glukuronida dengan kerja analgetika lebih kuat (Tjay dan
Rahardja, 2002). Struktur morfin ditunjukkan pada Gambar 10.
O
H
HO HO
NCH3
Gambar 10. Struktur Morfin (Anonim, 1979)
6. Metode Pengujian Daya Analgesik
Secara umum, pengujian aktivitas analgesik dilakukan secara in vitro dan
in vivo. Berdasarkan jenis analgetika, metode pengujian efek analgesik dibagi
menjadi 2 yaitu: golongan analgetika narkotika antara lain dengan metode jepitan
ekor, metode rangsang panas, metode pengukuran tekanan, metode potensi
petidin, metode antagonis nalorfin, metode kejang oksitosin, dan metode
pencelupan air panas dan golongan analgetika non narkotika antara lain
menggunakan metode induksi kimia, metode pedodolometer, dan metode
rektodolometer (Turner, 1965).
Metode pengujian analgesik lain yang sering digunakan untuk menetapkan
efek analgesik suatu senyawa baru antara lain:
a. metode Modified Hot Plate (MHP)
Pertama kali dikenalkan oleh Lavich dkk (2005). MHP merupakan metode
evaluasi daya analgesik yang sederhana dan sensitif untuk mendeteksi
hiperalgesia dan analgesik periferal pada tikus dan mencit (Lavich dkk, 2005).
Metode ini murah dan sangat cocok untuk mengevaluasi nyeri inflamasi pada
hewan yang hiperaktif, seperti mencit dan tikus (Kurniawan, 2007).
b. metode Formalin Test
Pertama kali dikenalkan oleh Dubuisson dan Dennis (1977) (cit., Xie dkk,
2005) yang menjelaskan model nyeri untuk hewan pengerat (Xie dkk, 2005).
Formalin test merupakan metode yang paling banyak digunakan untuk
menjelaskan model nyeri dan mekanisme analgesik dengan hasil yang lebih
memuaskan daripada menggunakan rangsang mekanis ataupun panas (Tjolsen
dkk, 1992). Metode ini dapat digunakan untuk mengevaluasi efek analgesik
persisten (Coderre dan Katz, 1997).
Metode ini terdiri atas dua fase, yaitu fase I yang ditimbulkan oleh
terjadinya iritasi formalin pada serabut saraf C (Hunskaar dan Hole, 1987), juga
melibatkan substansi P dan bradikinin (Shibata dkk, 1989), dan fase II yang
merupakan akibat terjadinya inflamasi dan dikeluarkannya mediator-mediator
nyeri seperti prostaglandin, bradikinin, serotonin, juga histamin (Shibata dkk,
1989). Fase I terjadi setelah 0-5 menit dari penyuntikan formalin dan fase II
terjadi 10-30 menit setelah penginjeksian formalin (Chi dkk, 2005). Obat-obat
analgetika yang bekerja pada susunan saraf pusat seperti morfin, dapat
menghambat kedua fase tersebut, sedangkan obat-obat yang beraksi periferal
seperti NSAID dan kortikosteroid dapat menghambat fase II (Shibata dkk, 1989).
Metode Formalin Test pada mencit merupakan model pengujian aktivitas
analgesik yang valid dan reliabel serta sensitif untuk beberapa kelas obat
analgetika. Metode ini dapat menggambarkan obat analgetika beraksi di perifer
maupun di sentral (Hunskaar dan Hole, 1987). Hal itulah yang menjadi kelebihan
metode Formalin Test dibanding metode lain seperti metode rangsang asam
asetat. Metode rangsang asetat biasanya digunakan untuk pengujian obat
analgetika non narkotik. Akan tetapi, pemberian morfin pada metode ini dapat
menurunkan jumlah geliat mencit sebagai responnya. Selain obat-obat analgetika,
obat-obat seperti antihistamin, parasimpatomimetik, simpatomimetik, stimultan
saraf pusat, dan agen pemblok adrenergik juga dapat menghambat jumlah geliat
pada metode rangsang asetat. Oleh karena itu, obat yang diuji dengan rangsang
asetat sebaiknya dilanjutkan dengan uji lain karena metode tersebut kurang
spesifik (Turner, 1965).
B. LANDASAN TEORI
Nyeri adalah suatu perasaan emosional yang tidak menyenangkan yang
disebabkan oleh adanya kerusakan jaringan. Nyeri bersifat subjektif, setiap
individu memiliki persepsi nyeri yang berbeda. Setiap orang yang mengalami
nyeri akan berusaha menguranginya (Dipiro dkk, 2005).
Adanya rangsang nyeri akan diubah menjadi aktivitas listrik yang akan
diterima ujung-ujung saraf. Selanjutnya impuls nyeri tersebut akan disalurkan
oleh serabut saraf A delta dan serabut C. Kemudian impuls akan mengalami
modulasi lalu diteruskan ke thalamus dan menghasilkan suatu perasaan yang
subjektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri. Dalam metode Formalin Test,
formalin digunakan sebagai penginduksi nyeri. Hal ini karena formalin dapat
menyebabkan iritasi serabut saraf C dan keluarnya substansi P dan bradikinin
(fase I) dan dapat menimbulkan inflamasi dan dikeluarkannya prostaglandin,
bradikinin, serotonin, dan histamin (fase II) (Hunskaar dan Hole, 1987).
Senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon merupakan
senyawa analog PGV-0. Senyawa PGV-0 telah diketahui memiliki aktivitas
menghambat enzim siklooksigenase (Nurrochmad, 1997 dan Sardjiman, 2000)
dan antioksidan (Sardjiman, 2000). Senyawa 2,5-bis
-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon dapat menghambat peroksidasi lipid (Sardjiman, 2000). Peroksidasi
lipid dapat terjadi ketika konversi asam arakidonat menjadi mediator kimia baik
melalui jalur siklooksigenase maupun lipoksigenase. Penghambatan enzim
siklooksigenase akan mengganggu konversi asam arakidonat menjadi
prostaglandin sehingga proses timbulnya nyeri dapat dihambat (Kumar dkk,
2005).
C. HIPOTESIS
Senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon memiliki aktivitas
analgesik persisten pada mencit jantan galur Swiss dengan metode Formalin Test.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian eksperimental murni
dengan rancangan acak lengkap pola searah. Penelitian ini dilakukan di
Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi, Fakultas Farmasi Universitas Sanata
Dharma, Yogyakarta.
B. Variabel dan Definisi Operasional
1. Variabel
a. Variabel Penelitian Utama:
1. variabel bebas: variasi dosis senyawa 2,5-bis
-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon
2. variabel tergantung: daya analgesik (dalam %)
b. Variabel pengacau terkendali:
1. subjek uji berupa mencit jantan galur Swiss yang berumur 2,5-3 bulan,
berat badan mencit antara 20-30 g, keadaan mencit berstatus sehat
2. bahan uji berupa senyawa 2,5-bis
-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon (hasil sintesis Susanti, 2004)
c. Variabel pengacau tak terkendali: variasi biologis mencit yang meliputi
administrasi, distribusi, metabolisme, dan eliminasi obat.
2. Definisi operasional
a. Aktivitas analgesik adalah kemampuan senyawa untuk mengurangi rasa
nyeri tanpa menghilangkan kesadaran.
b. Metode Formalin Test terdiri atas dua fase, yaitu fase I yang ditimbulkan
oleh terjadinya iritasi formalin pada serabut saraf C juga melibatkan
substansi P dan bradikinin dan fase II yang merupakan akibat terjadinya
inflamasi dan dikeluarkannya mediator-mediator nyeri seperti
prostaglandin, bradikinin, serotonin, juga histamin. Fase I terjadi setelah
0-5 menit dari penyuntikan formalin dan fase II terjadi 10-30 menit setelah
penyuntikan formalin.
C. Bahan Penelitian
Penelitian ini menggunakan bahan-bahan sebagai berikut:
1. senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon (hasil sintesis Susanti,
2004),
2. indometasin (Sigma Chemical Co., MO., USA) dan morfin (Kimia Farma
Tbk.) sebagai kontrol positif,
3. CMC-Na 0,5% dalam akuades sebagai kontrol negatif dari Laboratorium
Farmakologi dan Toksikologi, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta,
4. akuades sebagai pensuspensi dari Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi,
Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, dan
5. formalin 1% (Asia Lab) dalam salin sebagai penginduksi nyeri.
D. Alat Penelitian
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: alat gelas pyrex
(gelas ukur, batang pengaduk, beker gelas, flakon, pipet ukur, erlenmeyer),
timbangan (Ohaus), neraca analitik (Sartorius), mortir dan stamper, spuit injeksi
dengan jarum suntik dan kanul per oral (ujung tumpul) 1 ml (Terumo), stopwatch,
dan kotak pengamatan.
E. Subjek Uji
Penelitian ini menggunakan mencit jantan galur Swiss 20-30 g, berumur
2,5-3 bulan, keadaan mencit berstatus sehat. Semua hewan uji dikelompokkan dan
ditempatkan dalam kandang hewan penelitian.
F. Penelitian Pendahuluan
1. Orientasi waktu pemberian formalin 1% setelah pemberian CMC-Na 0,5%
Sebanyak 6 ekor mencit dibagi ke dalam 2 kelompok. Masing-masing
kelompok diberi perlakuan CMC-Na 0,5%. Kemudian kaki kiri mencit disuntik 20
µL formalin 1% secara intaplantar pada menit ke-60 dan 90 pada masing- yang
terbuat dari kaca dan diamati respon total waktu menjilat (total licking time) pada
menit 0-5 (fase I) dan menit 10-30 (fase II).
2. Orientasi dosis 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon
Sebanyak 9 ekor mencit dibagi ke dalam 3 kelompok. Masing-masing
kelompok diberi perlakuan 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon dengan
dosis 20 mg/kgBB, 40 mg/kgBB, dan 60 mg/kgBB secara per oral. Kemudian
pada menit ke-60 kaki kiri mencit disuntik 20 µL formalin 1% secara intaplantar.
Selanjutnya mencit dimasukkan ke dalam kotak pengamatan yang terbuat dari
kaca dan diamati respon total waktu menjilat (total licking time) pada menit 0-5
(fase I) dan menit 10-30 (fase II).
3. Orientasi waktu pemberian formalin 1% setelah diberi perlakuan 2,5-bis -(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon
Sebanyak 6 ekor mencit dibagi ke dalam 3 kelompok. Masing-masing
kelompok diberi perlakuan 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon dengan
dosis optimal (dari orientasi dosis). Kemudian kaki kiri mencit disuntik 20 µL
formalin 1% secara intaplantar pada menit ke-60 dan 90 pada masing-masing
kelompok Selanjutnya mencit dimasukkan ke dalam kotak pengamatan yang
terbuat dari kaca dan diamati respon total waktu menjilat (total licking time) pada
menit 0-5 (fase I) dan menit 10-30 (fase II).
G. Tata Cara Penelitian
a. Pembuatan CMC-Na 0,5%
Larutan ini dibuat dengan cara melarutkan 0,5 g serbuk CMC-Na dengan
akuades panas sedikit demi sedikit sambil diaduk hingga mengembang lalu
ditambah akuades hingga volumenya mencapai 100,0 ml.
b. Pembuatan Formalin 1%
Formalin 40% sebanyak 0,25 ml ditambah dengan larutan NaCl hingga
volume 10 ml, kemudian dicampur sempurna.
c. Pembuatan Suspensi Senyawa 2,5-bis -(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon
Suspensi senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon dibuat
dengan konsentrasi yang berbeda dengan tujuan mendapatkan volume pemberian
maksimum yang sama yaitu 0,5 ml. Dosis 17,78 mg/kgBB dengan konsentrasi
0,11% b/v dibuat dengan cara mensuspensikan 4,4 mg senyawa 2,5-bis
metoksi-benzilidin)-siklopentanon ke dalam CMC-Na 0,5% hingga 4,0 ml. Dosis
26,67 mg/kgBB dengan konsentrasi 0,16% b/v dibuat dengan cara
mensuspensikan 6,4 mg senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon
ke dalam CMC-Na 0,5% hingga 4,0 ml. Dosis 40 mg/kgBB dengan konsentrasi
0,24% b/v dibuat dengan cara mensuspensikan 9,6 mg senyawa 2,5-bis
-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon ke dalam CMC-Na 0,5% hingga 4,0 ml. Dosis
60 mg/kgBB dengan konsentrasi 0,36% b/v dibuat dengan cara mensuspensikan
14,4 mg senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon ke dalam
CMC-Na 0,5% hingga 4,0 ml. Dosis 90 mg/kgBB dengan konsentrasi 0,54% b/v dibuat
dengan cara mensuspensikan 21,6 mg senyawa 2,5-bis
-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon ke dalam CMC-Na 0,5% hingga 4,0 ml.
Dasar perhitungan konsentrasi dengan dosis yaitu:
D x B = V x C
Keterangan:
D: Dosis (mg/kgBB) V: Volume pemebrian (ml)
B: Berat badan (g) C: Konsentrasi (% b/v)
d. Pembuatan Suspensi Indometasin
Sebanyak 2,4 mg indometasin disuspensikan dalam 10,0 ml larutan
CMC-Na 0,5%.
e. Pembuatan Suspensi Morfin
Sebanyak 0,3 ml morfin 10 mg/1 ml disuspensikan dalam larutan
CMC-Na 0,5% sampai 10,0 ml.
f. Penetapan Kontrol Negatif
Kontrol negatif yaitu zat yang tidak memberikan efek analgesik sehingga
dapat digunakan sebagai faktor koreksi terhadap zat yang diuji. Kontrol negatif
yang digunakan yaitu CMC-Na 0,5%.
g. Penentuan Waktu Pemberian Rangsang
Diharapkan pada selang waktu pemberian bahan uji dengan formalin 1%,
telah terjadi absorpsi sehingga segera menimbulkan efek.
h. Perlakuan hewan uji
Sebelum perlakuan, mencit dipuasakan selama kurang lebih 12 jam namun
tetap diberi minum. Mencit jantan galur Swiss sebanyak 40 ekor dibagi ke dalam
8 kelompok. Setiap kelompok ada 5 ekor mencit.
Kelompok I merupakan kontrol negatif (diberi suspensi CMC-Na 0,5%
dalam akuades secara p.o.), kelompok II dan III sebagai kontrol positif (diberi
perlakuan morfin dosis 5 mg/kgBB, i.p. (Xie dkk, 2005) dan indometasin 4
mg/kgBB, i.p. (Almeida dkk, 2000), sedangkan kelompok IV-VIII diberi 2,5-bis
-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon dengan peringkat dosis 17,78; 26,67; 40;
60; dan 90 mg/kgBB secara p.o.
Penyuntikan formalin 1% kelompok morfin dan indometasin pada kaki
kiri mencit secara intraplantar dilakukan pada menit ke-60 setelah pemberian
morfin (Xie dkk, 2005) dan indometasin (Yammamoto dan Natsuko, 2002).
Kemudian mencit dimasukkan ke dalam kotak, dan kaca diletakkan di depannya
membentuk sudut 450 untuk memudahkan pengamatan. Kemudian diamati respon
total waktu menjilat (total licking time) pada menit 0-5 (fase I) dan menit 10-30
(fase II) (Rabelo dkk, 2003). Penyuntikan formalin 1% kelompok kontrol negatif
dan senyawa uji juga dilakukan pada menit ke-60 sesuai dengan hasil orientasi.
Selanjutnya diamati respon total waktu menjilat (total licking time) pada menit
0-5 (fase I) dan menit 10-30 (fase II).
i. Analisis Data
Dari data total waktu menjilat kemudian dihitung nilai daya analgesik
(dalam %) dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Daya analgesik persisten (dalam %) 100% .
t.n: total waktu menjilat pada kontrol negatif t.p: total waktu menjilat pada perlakuan
Dari data daya analgesik persisten (dalam %) yang didapat selanjutnya
digunakan untuk menghitung nilai linearitas hubungan dosis dengan daya
analgesik persisten senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanondengan
menggunakan analisis regresi linear dari kurva dosis vs respon (daya analgesik
(dalam %)).
j. Analisis Statistika
Data daya analgesik persisten (dalam %) yang diperoleh tiap kelompok
dianalisis normalitasnya dengan Kolmogorov-Smirnov. Jika data terdistribusi
normal maka dilanjutkan dengan uji parametrik Anava satu arah dengan taraf
kepercayaan 95% dilanjutkan dengan uji Tukey untuk melihat perbedaan yang
bermakna dari setiap kelompok. Jika data terdistribusi tidak normal maka
dilanjutkan dengan uji non-parametrik Kruskal-Wallis kemudian dilanjutkan uji
Mann Whitney untuk melihat perbedaan yang bermakna dari setiap kelompok
Perhitungan linearitas hubungan dosis dengan daya analgesik persisten
menggunakan regresi linear. Jika rhitung > rtabel menunjukkan ada hubungan
proposional antara dosis senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon
dengan daya analgesik persisten (dalam %). Sebaliknya, jika rhitung < rtabel
menunjukkan tidak ada hubungan proporsional antara dosis senyawa 2,5-bis
-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon dengan daya analgesik persisten (dalam %).
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Uji Pendahuluan
Tujuan uji pendahuluan yaitu untuk validasi metode yang akan digunakan.
Dalam uji pendahuluan ini dilakukan penetapan selang waktu pemberian
CMC-Na 0,5% dan senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon setelah
diinduksi formalin 1% serta dosis senyawa 2,5-bis
-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon yang akan dipejankan ke mencit.
1. Penetapan Selang Waktu Pemberian CMC-Na 0,5% setelah Diinduksi Formalin 1%
Penetapan selang waktu pemberian CMC-Na 0,5% sebagai kontrol negatif
setelah diinduksi formalin 1% dilakukan untuk mendapatkan total waktu menjilat
yang optimal sehingga dapat dijadikan dasar untuk mengoreksi senyawa uji. Data
dari hasil orientasi dapat dilihat pada Tabel I.
Tabel I. Rata-rata total waktu mencit menjilat kaki yang diinduksi formalin dalam uji pendahuluan penetapan selang waktu pemberian CMC-Na 0,5% setelah diinduksi formalin 1%
Rata–rata total waktu menjilat (X ± SE)
Kelompok Perlakuan Subyek Uji
Fase I Fase II
Dari hasil uji penetapan waktu pemberian CMC-Na 0,5% setelah diinduksi
formalin pada menit ke-60 dan 90 tidak memberikan perbedaan yang bermakna.
Hal ini menunjukkan bahwa dengan selang waktu pemberian pada menit ke-60
dan 90 total waktu mencit menjilat sama banyak dan tidak memberikan perbedaan
yang berarti. Oleh karena itu dipilih waktu pemberian CMC-Na 0,5% pada menit
ke-60 setelah kaki mencit diinduksi formalin. Hasil uji penetapan waktu
pemberian CMC-Na 0,5% setelah diinduksi formalin 1% dapat dilihat pada
Gambar 11.
Gambar 11. Hasil uji pendahuluan penetapan selang waktu pemberian CMC-Na 0,5% dengan penyuntikan formalin 1% pada metode Formalin Test. Pengamatan fase I dilakukan pada menit ke 0-5 dan fase II pada menit ke 10-30 (data dalam bentuk purata ± standard error)
2. Penetapan Dosis dan Selang Waktu Pemberian Senyawa 2,5-bis -(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon setelah Diinduksi Formalin 1%
Penetapan dosis senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon
dilakukan untuk mendapatkan dosis yang optimal, yaitu memberikan penurunan
total waktu mencit menjilat kaki yang telah diinduksi formalin 1%. Dosis senyawa
2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon dalam orientasi yaitu 20, 40, dan 60
mg/kgBB. Orientasi dosis dimulai dari dosis orientasi tertinggi yaitu 60 mg/kgBB.
Dari uji tersebut diperoleh hasil bahwa dosis 60 mg/kgBB memberikan total
waktu mencit menjilat pada fase I sebesar 71,32±2,84 dan fase II sebesar
34,68±0,93 sehingga diperoleh daya analgesik persisten pada fase I sebesar
37,21±2,50% dan fase II sebesar 59,26±1,09%. Dosis 60 mg/kgBB yang telah
memberikan efek lebih dari 50% (daya analgesik persisten) pada fase II uji
aktivitas analgesik persisten ditetapkan sebagai dosis IV. Selanjutnya peringkat
dosis ditetapkan dengan kelipatan 1,5 untuk setiap kenaikan dosis. Hasil tersebut
(dengan selang waktu pemberian 60 menit) dibandingkan dengan selang waktu
pemberian 90 menit. Hasilnya yaitu bahwa selang waktu pemberian senyawa 2,5
-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon pada menit ke-60 dan ke-90
menunjukkan perbedaan tidak bermakna. Artinya bahwa efek penghambatan nyeri
setelah pemberian senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon pada
menit ke-60 sama dengan yang diberikan pada menit ke-90. Oleh karena itu
dipilih waktu pemberian senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon
pada menit ke-60. Data rata-rata total waktu mencit menjilat kaki yang diinduksi
formalin 1% dalam uji penetapan selang waktu pemberian senyawa 2,5-bis
-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon setelah diinduksi formalin 1% dapat dilihat
pada Tabel II dan Gambar 12.
Tabel II. Rata-rata total waktu mencit menjilat kaki yang diinduksi formalin dalam uji pendahuluan penetapan selang waktu pemberian senyawa 2,5-bis -(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon setelah diinduksi formalin 1%
Rata–rata total waktu menjilat (X ± SE)
Kelompok
Perlakuan Subyek Uji
Fase I Fase II
Menit ke-60 3 71,32±2,84 34,68±0,93
Menit ke-90 3 8,87±1,65 33,43±2,08
Keterangan :
X = Mean (Rata–rata)
SE = standard error (SD/√n)
71,32
Gambar 12. Hasil uji pendahuluan penetapan selang waktu pemberian senyawa 2,5-bis -(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon dengan penyuntikan formalin 1% pada metode Formalin Test. Pengamatan fase I dilakukan pada menit ke 0-5 dan fase II pada menit ke 10-30 (data dalam bentuk purata ± standard error)
B. Uji Daya Analgesik pada Nyeri Persisten dengan Metode Formalin Test
Metode Formalin Test digunakan untuk mengetahui adanya daya
analgesik persisten. Kelebihan metode Formalin Test pada mencit sebagai model
pengujian aktivitas analgesik yang valid dan reliabel serta sensitif untuk beberapa
kelas obat analgetika. Metode ini dapat menggambarkan obat analgetika beraksi
baik di perifer maupun di sentral. Dalam penelitian ini digunakan formalin 1%
sebagai penginduksi nyeri. Formalin dapat menimbulkan sensitisasi serabut saraf
C dan inflamasi pada jaringan sehingga terjadi reaksi nyeri. Nyeri spontan yang
diakibatkan karena iritasi formalin langsung dapat diamati responnya pada hewan.
Metode ini dibagi menjadi dua fase yaitu fase I (0-5 menit) dan fase II
(10-30 menit). Di antara kedua fase tersebut terdapat waktu selang yang disebut
interfase. Fase I dalam Formalin Test menunjukkan bahwa terjadinya iritasi
formalin pada serabut saraf C (Hunskaar dan Hole, 1987) sedangkan fase II
diperantarai oleh kombinasi aktivitas saraf aferen primer dan peningkatan
sensitivitas spinal cord yang secara terus-menerus (nyeri karena adanya inflamasi)
(Xie dkk, 2005). Lebih lanjut lagi Shibata dkk (1989) mengatakan bahwa fase I
diperantarai oleh substansi P dan bradikinin sedangkan fase II diperantarai oleh
histamin, serotonin, prostaglandin, dan bradikinin.
Metode Formalin Test dapat digunakan untuk mengevalusi daya analgesik
persisten. Dalam patologi nyeri persisten tidak hanya melibatkan input perifer
tetapi juga sensitisasi sentral sehingga dalam terapi nyeri melibatkan
penghambatan sentral dan perifer. Dengan metode ini, suatu obat dapat diketahui
pengaruh kerjanya baik di perifer maupun sentral. Obat yang ideal akan bekerja di
kedua fase tersebut (Coderre dan Katz, 1997).
CMC-Na dipilih sebagai kontrol negatif karena senyawa ini dapat
mensuspensikan senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon juga
kontrol positif morfin dan indometasin. CMC-Na tidak memiliki daya analgesik
persisten sehingga digunakan sebagai faktor koreksi senyawa uji. Kontrol positif
yang digunakan dalam metode ini yaitu morfin dan indometasin. Hal ini karena
morfin dapat menghambat fase I dan fase II (Xie dkk, 2005) sedangkan
indometasin dapat menghambat fase II (Hunskar dan Hole, 1989). Oleh karena
itu, morfin dan indometasin dapat digunakan sebagai pembanding daya analgesik
senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon.
Dari data observasi didapatkan total waktu mencit menjilat kaki yang
diinduksi formalin selanjutnya dianalisis menjadi daya analgesik persisten (dalam
%) dari setiap subjek uji. Selanjutnya dibuat kurva hubungan dosis dengan daya
analgesik persisten (dalam %) untuk menggambarkan kemampuan senyawa 2,5
bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon dalam menghambat nyeri. Penurunan
total waktu mencit menjilat merupakan respon yang menunjukkan bahwa senyawa
yang diberikan dapat menghambat rasa nyeri yang ditimbulkan akibat pemberian
formalin. Semakin lama mencit menjilat menunjukkan bahwa daya analgesik
semakin rendah. Tabel III menunjukkan hubungan perlakuan dengan total waktu
menjilat dan daya analgesik persisten (dalam %) pada uji Formalin Test.
Tabel III. Hubungan antara perlakuan dengan total waktu menjilat dan daya analgesik persisten (dalam %) pada uji daya analgesik persisten senyawa 2,5-bis -(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon dengan metode Formalin Test (n=5)
Total Waktu Menjilat (detik) (X±SE)
Daya Analgesik Persisten (%) (X±SE)
4 mg/kgBB 41,57±0,92 22,95±2,29 60,96±0,92 72,49±2,74
4 Siklopentanon
17,78 mg/kgBB 93,86±1,31 64,49±1,86 11,85±1,31 22,71±2,23
5 Siklopentanon
26,67 mg/kgBB 87,55±2,71 35,52±2,75 17,77±2,71 57,43±3,29
6 Siklopentanon
40 mg/kgBB 71,97±3,63 32,29±1,13 32,40±3,63 61,30±1,36
7 Siklopentanon
60 mg/kgBB 59,83±1,02 21,86±1,00 43,81±1,02 73,80±1,19
8 Siklopentanon
90 mg/kgBB 44,27±1,88 14,57±1,31 58,42±1,88 82,54±1,56
Keterangan :
X = Mean (Rata–rata)
SE = standard error (SD/√n)
0,00
CMC-Na 0.5% Morf in 5 Indometasin 4 Siklopentanon
17,78
Gambar 13. Hubungan antara perlakuan dengan % daya analgesik persisten pada uji daya analgesik persisten senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon dengan metode Formalin Test fase I (data dalam bentuk purata daya analgesik (dalam %) ± standard error, n=5)
CMC-Na 0.5% Morf in 5 Indometasin 4 Siklopentanon
17,78
Gambar 14. Hubungan antara perlakuan dengan daya analgesik persisten (dalam %) pada uji daya analgesik persisten senyawa 2,5-bis -(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon dengan metode Formalin Test fase II (data dalam bentuk purata daya analgesik (dalam %) ± standard error, n=5)
Dari Tabel III dan Gambar 13 dan 14 terlihat bahwa kontrol negatif
CMC-Na 0,5% memiliki daya analgesik terendah dan morfin memiliki daya analgesik
yang tertinggi pada fase I dan II. Hal ini menunjukkan bahwa metode yang
digunakan sudah benar. Selama ini telah diketahui bahwa CMC-Na hampir tidak
memiliki daya analgesik sedangkan morfin sebagai analgetika kuat yang dapat
menghambat kedua fase dalam metode Formalin Test. Indometasin juga dapat
menghambat nyeri pada fase I dan II namun daya analgesik yang ditimbulkan
lebih rendah daripada morfin.
CMC-Na sebagai pensuspensi senyawa 2,5-bis
-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon hampir tidak memiliki daya analgesik persisten baik pada fase I
maupun fase II. Hal ini menunjukkan bahwa daya analgesik yang dimiliki oleh
senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon tidak dipengaruhi
CMC-Na sebagai pensuspensi. Besarnya peningkatan daya analgesik persisten baik fase
I maupun fase II seiring dengan peningkatan dosis senyawa 2,5-bis
-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon. Hal ini mengindikasikan bahwa senyawa 2,5-bis
-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon memiliki daya analgesik persisten yang dose
dependent. Daya analgesik senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon
cukup besar pada fase II (perifer) tetapi kecil pada fase I (sentral).
Dari data hasil penelitian terlihat bahwa senyawa 2,5-bis
-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon memiliki kemampuan untuk menghambat nyeri baik
pada fase I maupun pada fase II. Namun untuk melihat kemaknaan perbedaan
respon setiap kelompok maka dilakukan uji statistik. Daya analgesik persisten
pada fase I dan II diuji sebaran datanya dengan Kolmogorov-Smirnov. Apabila
sebaran data dikatakan normal (p>0,05) maka dilanjutkan dengan uji Anava dan
untuk melihat kebermaknaannya menggunakan uji Tukey. Jika sebaran data
dikatakan tidak normal (p<0,05) maka dilanjutkan dengan uji Kruskal Wallis dan
untuk melihat kebermaknaannya menggunakan uji Mann Whitney. Pada fase I
dan fase II, sebaran data normal maka diuji dengan uji Anava dilanjutkan uji
Tukey untuk melihat tingkat kebermaknaan antar kelompok. Hasil uji Anava pada
fase I dan fase II menunjukkan bahwa respon dari setiap perlakuan berbeda
signifikan. Hasil uji Tukey fase I dan fase II dapat dilihat dalam Lampiran 5 dan
7. Tabel IV dan V merupakan rangkuman dari hasil uji Tukey.
Tabel IV. Rangkuman hasil Uji Tukey data daya analgesik persisten (dalam %) senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon metode Formalin Test fase I
Siklopentanon (mg/kgBB)
Indometasin 4 mg/kgBB
* * - * * * * TB
Keterangan : TB : tidak bermakna * : bermakna
Dari Tabel IV dan Gambar 13 terlihat bahwa terdapat perbedaan bermakna
antara kelompok kontrol negatif (CMC-Na) dengan semua kelompok perlakuan
yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa semua perlakuan memiliki aktivitas
analgesik pada fase I yang ditandai dengan berkurangnya lama waktu mencit
menjilat kaki yang telah diinduksi formalin. Demikian pula dengan kontrol positif
morfin yang merupakan analgetika narkotik memiliki perbedaan bermakna
dengan semua perlakuan. Morfin memiliki kemampuan menghambat nyeri sangat
kuat pada fase I. Senyawa 2,5-bis-(4’-metoksi-benzilidin)-siklopentanon juga
memiliki aktivitas analgesik tetapi tidak sekuat dengan morfin. Demikian juga