PENENTUAN DAN PEMETAAN STATUS HARA FOSFOR DAN SENG TANAH SAWAH DI KECAMATAN PERBAUNGAN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI
MENGGUNAKAN PENDEKATAN GEOSTATISTIK
SKRIPSI
OLEH :
TEGUH BAGUS SURYA 100301119
AGROEKOTEKNOLOGI-ILMU TANAH
PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
PENENTUAN DAN PEMETAAN STATUS HARA FOSFOR DAN SENG TANAH SAWAH DI KECAMATAN PERBAUNGAN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI
MENGGUNAKAN PENDEKATAN GEOSTATISTIK
SKRIPSI
OLEH :
TEGUH BAGUS SURYA 100301119
AGROEKOTEKNOLOGI-ILMU TANAH
Skripsi Sebagai Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Di Program Studi Agroekoteknologi, Minat Ilmu Tanah, Fakultas
Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan
PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Judul Penelitian : Penentuan dan Pemetaan Status Hara Fosfor dan Seng Tanah Sawah di Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai Menggunakan Pendekatan Geostatistik
Nama : Teguh Bagus Surya
NIM : 100301119
Program Studi : Agroekoteknologi
Minat : Ilmu Tanah
Disetujui Oleh Komisi Pembimbing
Ketua Anggota
(Ir. Hardy Guchi, MP) (Dr. Ir. Hamidah Hanum, MP) NIP. 1956 0812198603 1001 NIP. 1969 0502199403 2005
Diketahui Oleh
Ketua Program Studi Agroekoteknologi
(Prof. Dr. Ir. T. Sabrina, M.Sc.) NIP. 1964 0620199803 2001
ABSTRAK
Pemupukan yang berlebihan dapat mengancam kelestarian lingkungan dan merugikan secara ekonomi. Penyebaran spasial hara-hara tanah merupakan informasi yang sangat penting dalam pelaksanaan manajemen lahan spesifik lokasi, yakni berupa penyusunan peta status hara yang dapat menjadi dasar arahan pemupukan yang tepat sasaran dan menguntungkan secara ekonomis serta mempertahankan kelestarian lingkungan. Untuk menentukan korelasi, tingkat keragaman spasial dan memetakan distribusi P-potensial, P-tersedia, dan Zn-tersedia, dilakukan penelitian di Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai pada bulan April hingga September 2014 menggunakan metode survei grid bebas skala 1 : 60.000 pada wilayah studi seluas 4.770 ha dengan mengambil sampel dari 44 titik yang disertai koordinat lokasi pada kedalaman 0—20 cm. Variabel tanah yang diamati adalah P-potensial (ekstraksi HCl 25 %), P-tersedia (Bray II), dan Zn-tersedia (ektraksi HCl 25 %). Selanjutnya data dianalisis dalam statistik deskriptif, uji normalitas Kolmogorov-Smirnov, analisis korelasi Pearson, serta analisis geostatistik (semivariogram dan interpolasi kriging).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata P-potensial, P-tersedia, dan Zn-tersedia berturut-turut 36,24 mg/100g, 17,73 ppm, dan 27,75 ppm. P-potensial dan P-tersedia secara nyata berkorelasi positif pada taraf 1 % sementara keduanya tidak berkorelasi secara nyata dengan Zn-tersedia. P-potensial, P-tersedia, dan Zn-tersedia berturut-turut memiliki tingkat keragaman spasial yang lemah, sedang, dan lemah dengan rentang efektif 4.505,04 m, 4.256,16 m, dan 7.718,21 m. Penyebaran spasial P-potensial adalah rendah (2,95 %; 141 ha), sedang (61,15 %; 2.917 ha), dan tinggi (35,90 %; 1.712 ha), P-tersedia adalah rendah (2,56 %; 5.122 ha), sedang (52,18 %; 2.489 ha) dan tinggi (45,26 %; 2.159 ha), serta Zn-tersedia seluruhnya (100 %; 4.770 ha) berstatus di atas 1 ppm atau termasuk cukup.
ABSTRACT
Exessive fertilization may damage environmental sustainability and diminish economical efficiency. Spatial variability of soil nutrients is such an essential information for implementing site-spesific land management. Soil nutrient mapping is capable to be utilized as guideline for planning targeted and profitable fertilization as well as sustainable environment. This study was aimed for assessing correlation, determining spatial dependence and mapping spatial distribution of potential-P, available-P, and available-Zn, conducted in Perbaungan District, Serdang Bedagai from April to September 2014 using flexible grid survey at 1 : 60.000 scale within 4.770 ha study area for collecting 44 geographical-referenced soil samples at 0—20 depth. Observed soil properties were potential-P (HCl 25 % extraction), available-P (Bray II), and available-Zn (HCl 25 % extraction). All soil properties were analyzed with descriptive statistics, Kolmogorov-Smirnov normality test, Pearson Correlation test, and geostatistical analyses (semivariogram and kriging interpolation).
The results showed that mean value of potential-P, available-P, and available-Zn are 36,24 mg/100g, 17,73 ppm, dan 27,75 ppm, respectively. Potential-P and available-P are positively correlated at 1 % test level while both are not correlated with available-Zn. The spatial dependence of potential-P, available-P, and available-Zn are weak, moderate, and weak, respectively with spatial effective range 4.505,04 m, 4.256,16 m, dan 7.718,21 m. Spatial distribution of potential-P is categorized as low (2,95 %; 141 ha), moderate (61,15 %; 2.917 ha), and high (35,90 %; 1.712 ha), available-P is categorized as low (2,56 %; 5.122 ha), moderate (52,18 %; 2.489 ha) and high (45,26 %; 2.159 ha), and available-Zn is categorized to be higher than 1 ppm all over study area.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 4 Agustus 1992 dari ayah Misno
(Alm.) dan Ibu Arsihani. Penulis merupakan putra pertama dari empat bersaudara.
Tahun 2010, penulis lulus dari SMA Negeri 1 Tebing Tinggi dan pada
tahun yang sama masuk ke Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara melalui
jalur Ujian Masuk Bersama (UMB) 2010, dengan memilih Program Studi
Agroekoteknologi dan pada semester VII memilih minat Ilmu Tanah.
Sejak masa kuliah, penulis pernah aktif sebagai asisten praktikum di
Laboratorium Biologi Tanah, Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, dan
Laboratorium Fisika dan Konservasi Tanah. Selain itu, penulis pernah aktif di
UKM Lembaga Pers Mahasiswa Suara USU dan juga aktif dalam organisasi luar
universitas di Forum Lingkar Pena (FLP) Sumatera Utara. Pada tahun 2013,
penulis merupakan kandidat terpilih dalam pelatihan kepemimpinan mahasiswa
Young Leaders for Indonesia (YLI) angkatan V di Jakarta serta pernah berhasil
meraih juara III pada kompetisi esai nasional dengan topik Koperasi Pertanian
Organik.
Penulis mengikuti Praktik Kerja Lapangan (PKL) di Unit Kebun Laras
PT Perkebunan Nusantara IV Simalungun dari tanggal 16 Juli 2013 sampai
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, yang telah
memberikan rahmat dan petunjuk-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul “Penentuan dan Pemetaan Status Hara Fosfor dan Seng
Tanah Sawah di Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai
Menggunakan Pendekatan Geostatistik”.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan banyak terima kasih
sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis yang telah membesarkan, memelihara,
dan mendidik penulis selama ini. Penulis juga menyampaikan banyak terima kasih
kepada Bapak Ir. Hardy Guchi, MP selaku ketua komisi pembimbing dan Ibu Dr.
Ir. Hamidah Hanum, MP selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak
memberikan nasihat dan bimbingan mulai dari menetapkan judul, melakukan
penelitian, hingga pada ujian akhir. Khusus untuk Ibu Masrina S. di Laboratorium
R&D Asian Agri Kebun Bahilang, penulis menyampaikan terima kasih atas
bantuan dalam pelaksanaan analisis tanah.
Selain itu penulis juga menyampaikan terima kasih kepada semua staf
pengajar dan pegawai di Program Studi Agroekoteknologi, serta semua rekan
mahasiswa yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat.
Medan, Oktober 2014
DAFTAR ISI
Survei dan Pemetaan Tanah ... 5Analisis Geostatistik ... 7
Unsur Hara Fosfor (P) ... 10
Unsur Hara Seng (Zn) ... 13
Kondisi Lingkungan Tanah Sawah ... 15
Status Hara Tanah dan Rekomendasi Pemupukan ... 18
METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ... 21
Bahan dan Alat ... 21
Metode Penelitian ... 21
Pelaksanaan Penelitian ... 24
Persiapan Awal ... 24
Penyediaan Peta ... 24
Pengambilan Contoh Tanah ... 25
Penanganan Contoh Tanah ... 25
Analisis Kimia Tanah ... 25
Pengambilan Data Kuesioner ... 25
Pengolahan Data ... 26
Analisis Statistik Deskriptif ... 26
Uji Normalitas Sebaran Data ... 26
Analisis Korelasi ... 27
Analisis Geostatistik ... 27
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil ... 29
Kondisi Umum Wilayah Studi ... 29
Analisis Statistik Deskriptif ... 30
Uji Normalitas Sebaran Data ... 31
Analisis Korelasi Pearson ... 32
Data Hasil Wawancara ... 32
Analisis Geostatistik ... 34
Penyebaran Spasial ... 37
Pembahasan ... 43
Korelasi Hara Fosfor dan Seng Tanah Sawah ... 43
Tingkat Keragaman Spasial Fosfor dan Seng ... 44
Penyebaran Spasial Fosfor dan Seng ... 45
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 48
Saran ... 48
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
No. Hal.
1. Jumlah Responden per Desa ... 24
2. Statistik deskriptif P-potensial, P-tersedia, dan Zn-tersedia ... 30
3. Uji Normalitas Kolmogorov-Smirnov P-potensial, P-tersedia,
dan Zn-tersedia ... 31
4. Analisis Korelasi Pearson P-potensial, P-tersedia, dan Zn-tersedia ... 32
5. Tabulasi data kuesioner tiap desa ... 33
6. Model Semivariogram untuk P-potensial, P-tersedia, dan
Zn-tersedia ... 34
7. Penyebaran spasial P-potensial, P-tersedia, dan Zn-tersedia ... 37
DAFTAR GAMBAR
No. Hal.
1. Model Semivariogram ... 9
2. Peta penyebaran titik sampel tanah ... 22
3. Histogram P-potensial, P-tersedia, dan Zn-tersedia ... 31
4. Model Semivariogram Eksponensial P-potensial ... 35
5. Model Semivariogram Linear P-tersedia ... 35
6. Model Semivariogram Eksponensial Zn-tersedia ... 36
7. Peta penyebaran P-potensial ... 38
8. Peta penyebaran P-tersedia ... 39
9. Peta penyebaran Zn-tersedia ... 40
DAFTAR LAMPIRAN
No. Hal.
1. Luaran analisis data SPSS untuk statistik deskriptif ... 53
2. Luaran analisis data SPSS untuk uji normalitas ... 54
3. Luaran analisis data SPSS untuk analisis korelasi ... 56
4. Tabulasi data kuesioner wawancara ... 57
5. Luaran analisis geostatistik ArcGIS 10 untuk P-potensial ... 60
6. Luaran analisis geostatistik ArcGIS 10 untuk P-tersedia ... 61
7. Luaran analisis geostatistik ArcGIS 10 untuk Zn-tersedia ... 62
8. Kriteria P-potensial, P-tersedia, Zn-tersedia ... 63
9. Peta penyebaran spasial P-potensial ... 64
10. Peta penyebaran spasial P-tersedia ... 65
11. Peta penyebaran spasial Zn-tersedia ... 66
12. Hasil analisis kimia laboratorium P-potensial dan P-tersedia ... 67
13. Hasil analisis kimia laboratorium Zn-tersedia ... 69
14. Acuan pemupukan fosfor dan seng tanah sawah ... 73
15. Peta penyebaran titik sampel tanah ... 74
16. Peta administrasi Kecamatan Perbaungan ... 75
17. Peta penutupan lahan Kecamatan Perbaungan ... 76
18. Peta satuan lahan Kecamatan Perbaungan ... 77
19. Foto kegiatan pengambilan contoh tanah ... 78
20. Foto kegiatan wawancara ... 79
ABSTRAK
Pemupukan yang berlebihan dapat mengancam kelestarian lingkungan dan merugikan secara ekonomi. Penyebaran spasial hara-hara tanah merupakan informasi yang sangat penting dalam pelaksanaan manajemen lahan spesifik lokasi, yakni berupa penyusunan peta status hara yang dapat menjadi dasar arahan pemupukan yang tepat sasaran dan menguntungkan secara ekonomis serta mempertahankan kelestarian lingkungan. Untuk menentukan korelasi, tingkat keragaman spasial dan memetakan distribusi P-potensial, P-tersedia, dan Zn-tersedia, dilakukan penelitian di Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai pada bulan April hingga September 2014 menggunakan metode survei grid bebas skala 1 : 60.000 pada wilayah studi seluas 4.770 ha dengan mengambil sampel dari 44 titik yang disertai koordinat lokasi pada kedalaman 0—20 cm. Variabel tanah yang diamati adalah P-potensial (ekstraksi HCl 25 %), P-tersedia (Bray II), dan Zn-tersedia (ektraksi HCl 25 %). Selanjutnya data dianalisis dalam statistik deskriptif, uji normalitas Kolmogorov-Smirnov, analisis korelasi Pearson, serta analisis geostatistik (semivariogram dan interpolasi kriging).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata P-potensial, P-tersedia, dan Zn-tersedia berturut-turut 36,24 mg/100g, 17,73 ppm, dan 27,75 ppm. P-potensial dan P-tersedia secara nyata berkorelasi positif pada taraf 1 % sementara keduanya tidak berkorelasi secara nyata dengan Zn-tersedia. P-potensial, P-tersedia, dan Zn-tersedia berturut-turut memiliki tingkat keragaman spasial yang lemah, sedang, dan lemah dengan rentang efektif 4.505,04 m, 4.256,16 m, dan 7.718,21 m. Penyebaran spasial P-potensial adalah rendah (2,95 %; 141 ha), sedang (61,15 %; 2.917 ha), dan tinggi (35,90 %; 1.712 ha), P-tersedia adalah rendah (2,56 %; 5.122 ha), sedang (52,18 %; 2.489 ha) dan tinggi (45,26 %; 2.159 ha), serta Zn-tersedia seluruhnya (100 %; 4.770 ha) berstatus di atas 1 ppm atau termasuk cukup.
ABSTRACT
Exessive fertilization may damage environmental sustainability and diminish economical efficiency. Spatial variability of soil nutrients is such an essential information for implementing site-spesific land management. Soil nutrient mapping is capable to be utilized as guideline for planning targeted and profitable fertilization as well as sustainable environment. This study was aimed for assessing correlation, determining spatial dependence and mapping spatial distribution of potential-P, available-P, and available-Zn, conducted in Perbaungan District, Serdang Bedagai from April to September 2014 using flexible grid survey at 1 : 60.000 scale within 4.770 ha study area for collecting 44 geographical-referenced soil samples at 0—20 depth. Observed soil properties were potential-P (HCl 25 % extraction), available-P (Bray II), and available-Zn (HCl 25 % extraction). All soil properties were analyzed with descriptive statistics, Kolmogorov-Smirnov normality test, Pearson Correlation test, and geostatistical analyses (semivariogram and kriging interpolation).
The results showed that mean value of potential-P, available-P, and available-Zn are 36,24 mg/100g, 17,73 ppm, dan 27,75 ppm, respectively. Potential-P and available-P are positively correlated at 1 % test level while both are not correlated with available-Zn. The spatial dependence of potential-P, available-P, and available-Zn are weak, moderate, and weak, respectively with spatial effective range 4.505,04 m, 4.256,16 m, dan 7.718,21 m. Spatial distribution of potential-P is categorized as low (2,95 %; 141 ha), moderate (61,15 %; 2.917 ha), and high (35,90 %; 1.712 ha), available-P is categorized as low (2,56 %; 5.122 ha), moderate (52,18 %; 2.489 ha) and high (45,26 %; 2.159 ha), and available-Zn is categorized to be higher than 1 ppm all over study area.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penggunaan pupuk yang rasional dan berimbang merupakan faktor yang
sangat menentukan dalam keberlanjutan produksi pertanian. Keberhasilan
produksi tidak hanya diukur dari seberapa tinggi besaran panen yang dihasilkan,
tetapi juga sejauh mana tindakan pengelolaan lahan dapat mempertahankan
kelestarian lingkungan. Hal ini menuntut adanya upaya untuk mempertimbangkan
segala faktor yang mempengaruhi ataupun dipengaruhi oleh tindakan pengelolaan
tersebut. Menurut Zubair dan Ahmad (2011), pemupukan yang rasional dan
berimbang harus memperhatikan kadar unsur hara dalam tanah, jenis dan mutu
pupuk yang akan diberikan, keadaan pedoagroklimat serta unsur hara yang
dibutuhkan tanaman.
Padi sawah merupakan konsumen pupuk terbesar di Indonesia. Efisiensi
pemupukan tidak hanya berperan penting dalam sistem produksi berkelanjutan
(sustainable production system) dan kelestarian lingkungan, tetapi juga
meningkatkan pendapatan petani dan penghematan sumberdaya energi.
Kebutuhan dan efisiensi pemupukan ditentukan oleh dua faktor yang saling
berkaitan : (a) ketersediaan hara dalam tanah, termasuk pasokan melalui air irigasi
dan sumber lainnya, dan (b) kebutuhan hara tanaman. Karena itu, rekomendasi
pemupukan harus bersifat spesifik lokasi dan spesifik varietas
(Nurmegawati et.al., 2012).
Adiningsih (2004) dalam Barus dan Andarias (2007) menyatakan bahwa
banyak penelitian yang menunjukkan bahwa pemberian pupuk P pada tanaman
tidak diikuti dengan peningkatan hasil serta efisiensinya sangat rendah, sementara
harga pupuk tersebut cukup mahal. Dari hasil analisis, jumlah P yang terangkut
pada saat panen cukup kecil dan fosfat yang diserap tanaman padi pada lahan
irigasi 15—20 % dan pada lahan kering hanya 10—15 % dari takaran pupuk yang
diberikan, sementara sisanya tinggal di dalam tanah sebagai residu dalam bentuk
senyawa P. Menurut Dobermann dan Fairhurst (2000), rata-rata unsur hara P yang
terangkut panen pada gabah dan jerami padi adalah sekitar 3 kg/ton hasil,
sedangkan untuk unsur hara Zn sekitar 0,05 kg/ton hasil. Setiap ton gabah
membutuhkan sekitar 2,6 kg P/ha sehingga efisiensi pemupukan sangat
diperlukan agar jumlah unsur hara yang terangkut dan yang berada dalam tanah
berada dalam kondisi seimbang.
Pagani et.al. (2013) mengatakan bahwa pengujian hara merupakan
perangkat yang penting dalam menentukan kebutuhan hara tanaman. Yang
termasuk hal ini antara lain uji tanah, analisis tanaman, dan pembacaan sensor
tanaman. Hasil pengujian ini harus disesuaikan dengan status hara tanah dan
kecukupan tanaman dalam rangka memberikan perlakuan masukan yang tepat,
baik berupa pupuk maupun bahan organik. Sementara itu, menurut
Aisyah et al. (2010), dengan pertimbangan baik dari segi ekonomi maupun
lingkungan, petani perlu melakukan pengelolaan kesuburan tanah yang efektif.
Hal ini dapat dilakukan dengan pendekatan manajemen hara spesifik lokasi yang
memperhitungkan keragaman spasial status hara sehingga dapat mengurangi
Penetapan status hara tanah merupakan bagian dari kegiatan uji tanah yang
meliputi pengambilan contoh tanah, analisis kimia di laboratorium dengan metode
yang tepat dan teruji, serta interpretasi hasil analisis yang kemudian disajikan
dalam bentuk peta status hara. Wigena et.al. (2012) menyatakan bahwa peta status
hara tanah sawah sangat bermanfaat untuk arahan penyusunan rekomendasi
pemupukan padi sawah spesifik lokasi serta arahan kebutuhan pupuk di tingkat
kabupaten, provinsi, dan nasional. Peta status hara lahan sawah pada skala
tingkat semidetail bermanfaat untuk penyusunan rekomendasi pemupukan padi
sawah spesifik lokasi serta arahan penggunaan pupuk tingkat kabupaten.
Menurut Data Badan Pusat Statistik (2013), Serdang Bedagai merupakan
salah satu daerah andalan produksi beras di Provinsi Sumatera Utara. Pada tahun
2012, luas baku lahan sawah di Kabupaten Serdang Bedagai mencapai 35.308 ha
atau sekitar 18 % dari total luas wilayah. Kecamatan yang memiliki areal
persawahan yang cukup luas di Serdang Bedagai adalah Kecamatan Perbaungan.
Luas areal sawah di kecamatan saat ini mencapai 5.868 ha dengan rata-rata
produksi55,40 kuintal/ha pada tahun 2012. Namun, guna menyusun rekomendasi
pupuk spesifik lokasi, hingga saat ini belum tersedia peta status hara yang
memadai untuk areal persawahan di Kecamatan Serdang Bedagai, terutama untuk
tingkat semidetail.
Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan menentukan status hara fosfor dan
seng tanah sawah di Kecamatan Perbaungan sehingga dapat digunakan sebagai
Tujuan Penelitian
1. Menentukan korelasi hara P dan Zn tanah sawah di Kecamatan Perbaungan
Kabupaten Serdang Bedagai.
2. Menentukan tingkat keragaman spasial hara P dan Zn tanah sawah di
Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai.
3. Memetakan distribusi spasial hara P dan Zn tanah sawah di Kecamatan
Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai.
Hipotesis Penelitian
Terdapat korelasi yang nyata antara P-potensial dan P-tersedia, P-potensial
dan Zn, serta P-tersedia dan Zn tanah sawah di Kecamatan Perbaungan Kabupaten
Serdang Bedagai.
Kegunaan Penelitian
Sebagai dasar arahan rekomendasi pemupukan untuk manajemen lahan
sawah spesifik lokasi di Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai dan
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana dari Program Studi
TINJAUAN PUSTAKA
Survei dan Pemetaan Tanah
Rossiter (2000) mendefinisikan survei tanah sebagai proses menentukan
pola tutupan tanah, menentukan karakteristik tanah dan menyajikannya dalam
bentuk yang dapat dipahami dan diinterpretasi oleh berbagai kalangan pengguna.
Sedangkan menurut Rayes (2007), survei tanah adalah penelitian tanah di
lapangan dan di laboratorium, yang dilakukan secara sistematis dengan
metode-metode tertentu terhadap suatu daerah (areal) tertentu, yang ditunjang oleh
informasi dari sumber-sumber lain yang relevan.
Menurut Soil Suvey Division Staff (1993), survei tanah mendeskripsikan
karakteristik tanah-tanah di suatu daerah , mengklasifikasikannya menurut sistem
klasifikasi baku, membuat alur batas tanah pada peta dan membuat prediksi
tentang sifat tanah. Perbedaaan penggunaan tanah dan bagaimana tanggapan
pengelolaan mempegaruhi tanah itulah yang terutama perlu diperhatikan (dalam
merencanakan dan melakukan survei tanah). Informasi yang dikumpulkan dalam
survei tanah membantu pengembangan rencana penggunaan lahan dan sekaligus
mengevaluasi dan memprediksi pengaruh penggunaan lahan terhadap lingkungan.
Rayes (2007) menyatakan bahwa terdapat tiga metode yang digunakan
dalam survei tanah, yakni metode Grid Kaku, Fisiografi (Interpretasi Foto
Udara/IFU), dan Grid Bebas.
1. Metode Grid Kaku, dilakukan dengan pengambilan contoh tanah yang secara
sistematik dirancang dengan mempertimbangkan kisaran spasial autokorelasi
grid) dengan interval titik pengamtan berjarak sama pada arah horizontal dan
vertikal.
2. Metode Fisiografi (IFU), dilakukan dengan interpretasi foto udara untuk
mendelienasi landform pada darah yang disurvei, diikuti dengan peninjauan
lapangan terhadap komposisi satuan peta hanya pada daerah pewakil, sehingga
tidak semua delineasi dikunjungi.
3. Metode Grid Bebas, merupakan perpaduan metode grid Kaku dan fisiografi
yang umumnya diterapkan pada survei tingkat semidetail hingga detail.
Pengamatan di lapangan dilakukan seperti Grid Kaku, tetapi jarak pengamatan
tidak perlu sama dalam dua arah tergantung pada fisiografi daerah survei. Jika
terjadi perubahan fisiografi yang menyolok dalam jarak dekat, perlu
pengamatan lebih rapat, sedangkan jika landform cenderung seragam maka
jarak pengamatan dapat berjauhan. Sehingga, kerapatan pengamatan
disesuaikan menurut kebutuhan skala survei yang dilaksanakan serta tingkat
kerumitan pola tanah di lapangan
Peta tanah semidetail merupakan peta yang umumnya dibuat dengan skala
1 : 50.000 dengan intensitas pengamatan sekitar 1 untuk setiap 50 ha, tergantung
dari kerumitan bentang lahan. Pengamatan lapangan bisasanya dilakukan dengan
sistem grid yang dibantu oleh hasil interpretasi foto udara dan citra satelit. Pada
jenis skala ini, luas tiap 1 cm2 pada peta adalah sekitar 25 ha di lapangan. Peta
semidetail memberi gambaran tentang potensi daerah secara lebih rinci dan dapat
menunjukkan lokasi proyek yang akan dilaksanakan. Peta ini umum digunakan
operasional untuk proyek-proyek pertanian, perkebunan, transmigrasi,
perencanaan dan perluasan jaringan irigasi (Rayes, 2007).
Analisis Geostatistik
Geostatistika merupakan cabang ilmu statistik untuk menganalisis dan
memprediksi variabel (nilai) yang berkaitan dengan karakteristik ruang dan waktu
suatu fenomena. Geostatistika mengintegrasikan dimensi atau koordinat spasial
(dan kadang juga temporal) dengan data yang dianalisis, sehingga dapat
memprediksi fenomena yang sama pada lokasi yang tidak diambil sampel.
Geostatistika dapat digunakan dalam bidang ilmu tanah (soil science) untuk
memetakan tingkat polusi tanah oleh Nitrogen, Fosfor, dan Kalium, memodelkan
distribusi spasial variabel seperti konduktivitas hidrolik tanah, serta mempelajari
hubungan antara variabel tersebut dan hasil panen secara keseluruhan
(Indarto, 2013).
Geostatistika menyediakan perangkat untuk memperbaiki perancangan
pengambilan contoh dengan menggunakan tingkat autokorelasi spasial di wilayah
pengambilan sampel dan sangat bermanfaat untuk menggambarkan hubungan
antardata serta mengurangi kesalahan, penyimpangan, dan meningkatkan
ketelitian data (Myers, 1997, dalam Eltaib et al., 2002). Geostatistika telah banyak
digunakan untuk mengestimasi sejumlah karakteristik tanah yang penting, di
antaranya beberapa sifat kimia tanah (Aisyah et al. 2010), Kalium tanah sawah
(Masjkur, 2005), dan hara-hara mikro tanah sawah (Liu et al., 2004).
Di antara beberapa teknik dalam geostatistika, Kriging merupakan bentuk
prosedur interpolasi yang memberikan estimasi terbaik dengan bias kecil untuk
mengestimasi nilai-nilai pada wilayah yang tidak diambil sampel. Estimasi
menggunakan Kriging dikalkulasi sebagai nilai-nilai yang dibobotkan pada
konsentrasi sampel-sampel yang saling berdekatan. Oleh karena itu, apabila data
terlihat sangat kontinu pada ruang, titik-titik yang berjarak lebih dekat pada
wilayah yang terestimasi akan menerima pembobotan yang lebih tinggi daripada
yang berjarak lebih jauh (Cressie, 1990, dalam Liu et al., 2004).
Menurut Indarto (2013), Kriging adalah sekumpulan metode interpolasi
yang didasarkan pada model semivariogram untuk memprediksi nilai autokorelasi
spasial, error, dan arah korelasi spasial. Semivariogram merupakan suatu fungsi
yang menyatakan keragaman (variance) di antara sampel-sampel yang dipisahkan
oleh jarak yang berbeda-beda. Umumnya, semivariogram akan menunjukkan yang
kecil untuk perbedaan jarak yang relatif pendek. Semakin panjang perbedaan
jarak, maka keragaman akan semakin besar. Hal ini menunjukkan bahwa data
memiliki auokorelasi spasial (spatial auto-correlation).
Autokorelasi spasial mengindikasikan bahwa nilai atribut suatu variabel
pada daerah tertentu terkait atau saling berhubungan dengan nilai atribut apda
daerah lain yang letaknya berdekatan atau bertetangga. Menurut
Johnston et al. (2001), semivariogram menggambarkan autokorelasi spasial pada
titik-titik sampel yang diukur. Apabila setiap pasangan lokasi diplotkan, maka
terdapat suatu model yang disesuaikan. Ada beberapa karakteristik yang umum
digunakan untuk menggambarkan model tersebut, yaitu range, sill, dan nugget
Gambar 1. Model Semivariogram (Bohling, 2005)
Bohling (2005) mendefinisikan Sill sebagai nilai semivariance pada saat
variogram mulai mendatar, yang juga dapat mengacu pada amplitudo komponen
tertentu dari semivariogram. Pada gambar di atas, sill bisa mengacu baik pada
keseluruhan sill (1,0) maupun partial sill yakni selisih (0,8) antara sill dan nugget
(0,2). Dalam hal ini, makna dapat tergantung pada konteks. Sedangkan range
merupakan jarak di mana semivariogram mencapai nilai sill, atau jarak saat model
pertama kali mulai mendatar. Johnston et al. (2001) menyatakan bahwa letak titik
sampel yang dipisahkan pada jarak lebih dekat daripada range secara spasial
berautokorelasi, sementara jarak yang lebih jauh tidak ada autokorelasi.
Masih menurut Johnston et al. (2001), secara teoritis, pada jarak
pemisahan sama dengan nol (misal, lag = 0), nilai semivariogram seharusnya juga
nol. Namun, pada jarak pemisaan yang sangat kecil, perbedaan antar pengukuran
nugget dapat dianggap sebagai error pengukuran atau sumber keragaman spasial
pada jarak yang lebih kecil dari interval (range). Error pengukuran terjadi karena
kesalahan inheren pada alat pengukuran. Fenomena alam dapat beragam secara
spasial melalui suatu rentang skala. Keragaman pada skala yang lebih kecil
daripada jarak pengambilan contoh dapat muncul sebagai nilai nugget.
Dalam analisis geostatistik, rasio nugget/sill menentukan tingkat
autokorelasi spasial pada masing-masing variabel tanah seperti yang dinyatakan
oleh Cambardella et al. (1994) bahwa variabel memiliki tingkat autokorelasi
spasial yang kuat jika nilai rasio > 25 %, moderat jika nilai rasio 25 %—75 %,
dan kuat jika nilai rasio > 75 %. Autokorelasi spasial yang kuat pada variabel
tanah mengacu pada faktor-faktor intrinsik seperti pembentukan tanah, tekstur,
dan mineralogi yang umumnya dipengaruhi oleh bahan induk tanah. Sedangkan
tingkat autokorelasi spasial yang lemah lebih mengacu pada faktor-faktor
ekstrinsik seperti pemupukan dan pengolahan tanah.
Unsur Hara Fosfor (P)
Fosfor (P) merupakan unsur yang diperlukan dalam jumlah besar (hara
makro). Jumlah fosfor dalam tanaman lebih kecil dibandingkan dengan nitrogen
dan kalium. Akan tetapi, fosfor dianggap sebagai kunci kehidupan (key of life).
Unsur hara P dalam tanah dapat digolongkan menjadi P organik dan P anorganik.
Menurut Nyakpa et al. (1988), bentuk P pada tanah masam yaitu H2PO4- lebih
dominan dijumpai dan terus ke bentuk HPO42- dan PO42- sedangkan P yang dapat
diserap tanaman dalam bentuk orthophospat yaitu H2PO4- dan HPO42- pada
Ketersediaan fosfor tanah untuk tanaman terutama sangat dipengaruhi oleh
sifat dan ciri tanahnya sendiri. Pada Ultisol, tidak tersedia dan tidak larutnya P
disebabkan fiksasi oleh mineral-mineral liat dan ion-ion Al, Fe yang membentuk
senyawa kompleks yang tidak larut. Ada beberapa faktor yang turut
mempengaruhi ketersediaan P tanah yaitu tipe liat, pH tanah, waktu reaksi,
temperatur, dan bahan organik tanah (Nyakpa et al., 1988).
Hanya sebagian kecil dari P total dalam tanah berada pada larutan tanah
pada satu waktu, biasanya kurang dari 4 pon per acre. Rentang konsentrasi dalam
larutan tanah mulai kurang dari 0,1 hingga sekitar 5 ppm. Kebanyakan tanaman
merespon terhadap penambahan P saat tingkat larutan tanah kurang dari 0,1 – 0,2
ppm. Tingkat larutan P pasti secara konstan berubah, lebih sering dua kali sehari
selama masa penyerapan puncak saat musim tanam. proses-proses kesetimbangan
(pertukaran dan pelarutan) sebagaimana penurunan bahan organik dan jumlah
penambahan pupuk untuk pergerakan P dari cadangan melimpah tanah ke bentuk
terlarut (Hodges, 2011).
Tanaman-tanaman yang cepat tumbuh dapat mengangkut hara P sebanyak
1 kg/ha/hari (2,3 kg P2O5/ha/hari). Total jumlah P yang diangkut tanaman dari
lahan bervariasi sesuai tanaman. Besar pengangkutan hara fosfat dari lahan pada
tanaman yang dipanen kebanyakan berada pada 10—30 kg P/ha per panen
(23—69 kg P2O5/ha). Tanaman padi yang menghasilkan panen 2—8 ton/ha
mengangkut sekitar 4—16 kg P/ha (9—37 kg P2O5/ha) per panen jika jerami
tetap berada di lahan, atau 6—22 kg P/ha (14—50 kg P2O5/ha) per panen jika
jerami juga diangkut. Untuk gandum (panen 8 ton/ha) dan kentang (panen 40
tanaman tetap tinggal di lahan, dan akan lebih banyak jika sisa tanaman juga
terangkut. Dalam jangka panjang, aplikasi P harus sama dengan jumah yang
terangkut pada panen tanaman. Pada tanah-tanah dengan kapasitas pengikatan
yang tinggi (seperti yang terdapat pada tanah-tanah tropis), aplikasi P hingga
200 kg P/ha (460 kg P2O5/ha) atau lebih sebagai aplikasi pada satu waktu, diikuti
dengan laju tahunan yang normal, bisa jadi dibutuhkan untuk mempertahankan
kandungan P di dalam larutan tanah di atas batas kritis (Lægreid et.al., 1999).
Tidak seperti nitrogen, pengelolaan P memerlukan strategi jangka panjang.
Hal ini disebabkan terutama karena sifat P yang tidak mobil, sehingga P tidak
mudah tersedia bagi tanaman dan tidak mudah hilang dari tanah. Dengan
demikian cara pengelolaan hara P menjadi lebih kompleks dan perlu
mempertimbangkan hal-hal berikut:
1. Perubahan ketersediaan hara P alami di tanah. Hal ini terkait dengan penentuan
takaran pupuk P yang perlu ditambahkan untuk mencapai keseimbangan hara
dalam tanah.
2. Pengaruh penimbunan hara P di tanah sebagai akibat dari pemberian pupuk P
secara intensif dan terus-menerus.
3. Pemeliharaan tingkat kesuburan dan status hara P tanah pada level optimal,
sehinggamampumencukupi kebutuhan dan tidakmenimbulkan kahat hara lain
seperti Zn dan N pada tanaman padi.
Unsur Hara Seng (Zn)
Unsur hara mikro esensial adalah unsur-unsur yang dibutuhkan tanaman
pada kadar < 50 mg/kg bahan (kriteria lain < 0,1 %). Semua unsur hara, termasuk
hara mikro, akan mempunyai efek yang sama-sama merugikan pertumbuhan
apabila kurang atau tidak tersedia bagi tanaman (defisiensi), tetapi mempunyai
pola efek yang tidak sama apabila tersedia berlebihan. Kelebihan unsur hara
mikro akan langsung bersifat toksik bagi tanaman, tetapi sebelum meracuni
tanaman, terdapat area luxury consumption (konsumsi berlebihan) yang tidak
berefek negatif tetapi tidak efektif karena peningkatan serapan hara tidak diikuti
dengan perbaikan tanaman. Timbulnya permasalahan hara mikro umumnya dipicu
oleh kebiasaan petani yang lebih memprioritaskan pemupukan hara-hara makro,
yang memacu penyerapan hara-hara mikro akibat membaiknya pertumbuhan dan
produksi tanaman (Hanafiah, 2005).
Praktik pertanian intensif dengan aplikasi pemupukan dapat
meningkatkan pertumbuhan dan hasil. Hal ini juga dapat menambah kebutuhan
hara-hara mikro ke tingkat yang lebih tinggi daripada yang dapat disediakan
tanah. Pada beberapa tahun terakhir, defisiensi dari satu atau lebih hara mikro
telah terjadi dengan meningkatnya frekuensi pemupukan. Defisiensi hara mikro
dapat menghambat perkembangan dan hasil tanaman, serta menyebabkan
inefisiensi penyediaan hara mikro pada pemupukan dan pengapuran
(Lægreid et.al., 1999).
Mousavi (2011) menjelaskan bahwa terdapat beberapa faktor yang
menyebabkan terjadinya defisiensi Zn, antara lain : 1) Keasaman tanah yang
tanah; dan 3) Terhalangnya penyerapan Zn karena adanya kation-kation logam
seperti Cu2+ dan Fe2+. Rehm and Schmitt (1997) menyatakan bahwa aplikasi
pupuk fosfat berlebihan telah menyebabkan defisiensi hara Zn dan penurunan
produksi pada tanaman jagung. Sedangkan menurut Hanafiah (2005), serapan P
yang tinggi pada tanaman dapat menghambat metabolisme dan penyerapan Zn
oleh akar. Sementara itu Sofyan et al. (2004) menyatakan bahwa pemberian
pupuk hara makro terus-menerus seperti Urea, Amonium Sulfat, TSP/SP-36 dan
KCl pada lahan sawah intensifikasi dapat mengakibatkan terkurasnya unsur hara
mikro di antaranya Zn. Kahat Zn dapat terjadi karena terbentuknya persenyawaan
Zn-P, ZnCO3, Zn(OH)2, atau karena drainase buruk pada lahan sawah yang dapat
membentuk senyawa ZnS yang tidak larut.
Reduksi akan mengakibatkan ketersediaan Zn dan Cu dalam larutan tanah
menurun. Penurunan kadar Zn dalam larutan tanah dapat disebabkan oleh
berbagai faktor, antara lain (1) terbentuknya endapat Zn(OH)2 sebagai akibat
meningkatnya pH setelah penggenangan; (2) terbentuknya endapan ZnCO3 karena
adanya akumulasi CO2 hasil dekomposisi bahan organik; dan (3) terjadinya
endapan ZnS karena adanya H2S sebagai akibat reduksi berlebihan atau adanya
endapan Zn3(PO4)2 karena adanya fosfat berlebihan. Oleh sebab itu kekahatan Zn
pada tanah sawah tidak dapat diukur melalui kelarutan Zn namun perlu
mempertimbangkan faktor-faktor lain yang mempengaruhinya (Yoshida, 1981).
Bentuk unsur hara mikro ini yang diserap tanaman adalah bentuk kation
Zn2+ sebagai hasil pelapukan bahan-bahan mineralnya. Kation dalam larutan hara
berada dalam kesetimbangan dengan kationdd pada situs pertukaran koloid tanah.
ketersediaannya menurun dengan meningkatnya kadar bahan organik tanah.
Defisiensi Zn juga dijumpai pada tanah organik. Pada tanah berkapur, defisiensi
terjadi akibat tingginya pH sehingga terjadi presipitasi Zn oleh ion-ion hidroksil.
Sedangkan pada tanah berpasir yang masam, defisiensi terjadi akibat intensifnya
pencucian. Pada kasus lain, defisiensi Zn juga terjadi akibat pemupukan fosfat
takaran tinggi yang menyebabkan Zn diikat oleh senyawa fosfat terlarut
(Hanafiah, 2005).
Kondisi Lingkungan Tanah Sawah
Tanah sawah adalah tanah yang digunakan untuk bertanam padi sawah,
baik terus-menerus sepanjang tahun maupun bergiliran dengan tanaman palawija.
Istilah tanah sawah bukan merupakan istilah taksonomi, melainkan istilah umum
seperti halnya tanah hutan, tanah perkebunan, tanah pertanian dan sebagainya.
Segala macam jenis tanah dapat disawahkan asalkan air cukup tersedia. Padi
sawah juga ditemukan pada berbagai macam iklim yang jauh lebih beragam
dibandingkan dengan jenis tanaman lain. Karena itu tidak mengherankan bila sifat
tanah sawah sangat beragam sesuai dengan sifat tanah asalnya
(Hardjowigeno et al., 2004).
Tanah tergenang mempunyai sifat yang berbeda dibandingkan dengan
tanah yang tidak tergenang. Oksigen pada lapisan olah tanah yang tergenang
dalam jangka panjang relatif terbatas. Kondisi tersebut dapat berpengaruh
terhadap perpindahan hara melalui proses difusi maupun aliran massa. Hal ini erat
hubungannya dengan perubahan kimia maupun elektrokimia yang terjadi dalam
suasana kurang oksigen. Serangkaian perubahan yang terjadi dalam suasana
CO2, asam organik, gas methana, dan molekul hidrogen meningkat
(Yoshida, 1981).
Tanah sawah di dataran rendah, didominasi (55%) oleh subordo Aquept
dan Aquent (Aluvial dan Tanah Glei), sedangkan tanah sawah di daerah
“uplands” didominasi (17%) oleh subordo Udept (Latosol dan Regosol).
Tanah-tanah sawah yang termasuk ke dalam subordo Aquept dan Aquent, umumnya
berasal dari tanah dengan air tanah yang sangat dangkal atau selalu tergenang air,
khususnya di daerah pelembahan atau lahan rawa. Sedangkan yang termasuk
Udept, umumnya berasal dari tanah kering yang disawahkan
(Hardjowigeno et al., 2004).
Akibat genangan tanah sawah terbagi atas dua lapisan. Lapisan pertama
terbentuk dari tanah lumpur setebal beberapa milimeter yang berbatasan langsung
dengan air yang menggenanginya disebut lapisan oksidatif. Lapisan ini masih
mengandung oksigen yang berasal dari udara yang menembus lapisan air dan
berasal dari asimilasi ganggang-ganggang dalam air. Dalam lapisan oksidatif
tersebut hidup jasad renik aerob. Selain itu, terdapat pula hasil-hasil oksidasi
seperti nitrat, sulfat, dan ferri. Oksigen tidak dapat menembus lebih dalam lagi
sehingga lapisan tanah lumpur di bawah lapisan oksidatif ini miskin oksigen dan
disebut lapisan reduktif. Lapisaan reduktif berrwarna lebih kelam, yang terkait
dengan warna hasil-hasil reduksi. Potensial oksidasi-reduksi (Eh) di lapisan ini
rendah dan jasad renik yang mampu hidup adalah jasad renik yang bersifat
anaerob (Abdulrachman et al., 2009).
Yoshida (1981) menyatakan bahwa proses reduksi merupakan proses yang
OH- (sehingga pH meningkat) dan terbentuk besi ferro. Kecepatan reduksi dan
macam serta jumlah hasil reduksi ditentukan oleh: (a) macam dan kandungan
bahan organik; (b) macam dan konsentrasi zat anorganik penerima elektron;
(c) pH; dan (d) lamanya penggenangan. Menurut Sanchez (1993), kuatnya proses
reduksi bergantung pada jumlah bahan organik yang mudah melapuk. Makin
tinggi kandungan bahan organik tanahnya makin besar kekuatan reduksinya. Pada
umumnya, kadar zat yang tereduksi mencapai puncak pada 2—4 minggu setelah
penggenangan kemudian berangsur-angsur menurun sampai suatu tingkat
keseimbangan.
Menurut Ponnamperuma (1985), besarnya nilai Eh berpengaruh terhadap
ketersediaan unsur-unsur hara, yang mana Eh rendah meningkatkan ketersediaan
P, K, Fe, Mn, dan Si tetapi mengurangi ketersediaan S dan Zn.
Sulaeman et al. (1997) telah mempelajari pengaruh perubahan potensial redoks
terhadap sifat erapan P tanah dan kelarutan untuk tanah sawah bukaan baru
Petroferic Hapludox di Dorowati Lampung dan dilaporkan bahwa : (1) besi sudah
mulai tereduksi pada Eh 400 mV dan memberikan kadar besi terlarut hingga 59
ppm pada Eh – 300 mV dan (2) kebutuhan pupuk P untuk mencapai 0,02 ppm P
terlarut pada Eh sekitar 0 mV (nilai Eh yang umum berlaku pada masa
pertumbuhan padi sawah) sebesar 95 dan 268 mg P/kg tanah masing-masing
untuk tanah lapisan atas dan bawah.
Selain ketersediaan hara, produktivitas tanaman padi ditentukan kesuburan
tanah, kondisi iklim (curah hujan dan radiasi surya), varietas tanaman, serta
pengendalian hama penyakit tanaman. Dalam kondisi lingkungan biotik dan
sesuai dengan potensi hasil atau hasil maksimum untuk varietas tertentu. Namun
demikian kondisi ideal seperti ini tidak mudah terpenuhi karena banyaknya faktor
penghambat pertumbuhan tanaman padi sawah (Setyorini et al., 2004).
Peningkatan produktivitas dapat dilakukan dengan peningkatan mutu
intensifikasi yakni menerapkan rekayasa sosial dan teknologi maju yang efisien
dan spesifik lokasi, serta didukung oleh penerapan alat mesin pertanian dengan
tetap memperhatikan kelestarian lingkungan. Teknologi yang dikembangkan
mencakup penyiapan lahan secara tepat waktu, pemanfaatan air secara optimal,
penggunaan bibit unggul, perbaikan budidaya, pemupukan berimbang,
pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) dan penekanan kehilangan
hasil (Wahyunto, 2009).
Status Hara Tanah dan Rekomendasi Pemupukan
Status hara tanah dapat dibuat apabila telah disusun kriteria klasifikasi
berdasarkan hasil-hasil penelitian uji tanah, mulai dari penjajagan hara, studi
korelasi, kalibrasi, sampai penyusunan rekomendasi. Hasil penelitian uji tanah
yang telah dilaksanakan Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan
Agroklimat (Puslitbangtanak) menunjukkan bahwa penggunaan ekstrak HCl 25 %
untuk penetapan P dan K potensial mempunyai korelasi yang baik dengan hasil
tanaman padi sawah (Nursyamsi, 1994 dalam Sofyan et al., 2004).
Berdasarkan penelitian-penelitian kalibrasi di berbagai tempat diperoleh
bahwa klasifikasi P untuk padi sawah dengan pengekstrak HCl 25 % adalah
rendah (< 20 mg/100g), sedang (20—40 mg/100 g), dan tinggi (> 40 mg/100 g)
(Moersidi, et al., 1990). Sedangkan klasifikasi hara K dengan pengekstrak yang
K2O/100 g), dan tinggi (> 20 mg K2O/100) (Adiningsih et al., 1989 dalam Sofyan
et al., 2004).
Penelitian status hara tanah sawah dapat digunakan sebagai acuan efisiensi
penggunaan pupuk. Hasil penelitian Jauhari dan Juanda (2006) untuk mengetahui
status hara di lahan sawah seluas 1.980,062 ha di Kecamatan Maos Kabupaten
Cilacap menunjukkan bahwa terdapat 61,97 % berstatus hara P tinggi, 36,20 %
berstatus P sedang, dan 1,82 % berstatus hara P rendah. Dari informasi tersebut,
kebutuhan pupuk SP-36 di Kecamatan Maos berdasarkan anjuran 118,880 ton
SP-36 per musim pupuk SP-36 dapat dihemat sebesar 194,873 ton/musim atau
bila harga pupuk SP-36 Rp 1.900/kg pengeluaran dapat dihemat Rp 370.259.631
per musim.
Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh Zubair dan Ahmad (2011)
di Kabupaten Bone Bolango Provinsi Gorontalo menunjukkan bahwa takaran
pupuk P menurut anjuran Dinas Pertanian setempat adalah 150 kg SP-36/musim,
sehingga lahan sawah yang diidentifikasi seluas 1.976,91 ha diperlukan pupuk
SP-36 sebanyak 296.536,5 kg/musim. Bila penggunaan pupuk P didasarkan pada
peta status hara P tanah, maka kebutuhan pupuk SP- 36 di daerah tersebut hanya
206.238,17 kg. Hal ini berarti di Kabupaten Bone Bolango dalam satu musim
dapat dihemat penggunaan pupuk SP-36 sebanyak 90.298.33 kg. Jika harga pupuk
SP-36 Rp 2.700,-/kg maka jumlah dana yang dapat dihemat mencapai
Rp 243.805.491 ha/musim.
Penetapan takaran pemupukan berimbang, memerlukan data hasil analisis
tanah, terutama analisis kadar P dan K tanah. Yang menjadi permasalahan di
banyak tersedia laboratorium tanah di sekitar wilayah pertanian. Peta status hara
merupakan penyederhanaan (simplifikasi) dalam pemanfaatan hasil-hasil
penelitian uji tanah. Peta status hara menggambarkan dan memberikan informasi
tentang sebaran dan luasan hara dalam suatu wilayah. Dari peta tersebut dapat
diketahui berapa luas tanah-tanah yang mempunyai status hara tanah yang rendah,
sedang, dan tinggi dan di mana lokasinya. Peta status hara tanah skala 1 : 250.000
dapat digunakan sebagai dasar dalam alokasi pupuk tingkat provinsi, sedangkan
peta status hara tanah skala 1 : 50.000 dapat digunakan sebagai dasar menyusun
METODOLOGI PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang
Bedagai dengan dengan posisi geografis adalah 3° 28' 12"—3° 36' 36" Lintang
Utara dan 98° 55' 48"— 99° 6' 36" Bujur Timur, dengan ketinggian tempat
sekitar 0—65 meter dpl dengan topografi cenderung datar. Analisis Tanah di
Laboratorium Research and Development Asian Agri Kebun Bahilang Tebing
Tinggi. Penelitian dilakukan pada April hingga September 2014.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan adalah contoh tanah sawah dari Kecamatan
Perbaungan yang diambil berdasarkan koordinat, sedangkan alat-alat yang
digunakan adalah peta lokasi titik sampel, perangkat Global Positioning System
(GPS) dari aplikasi Android GPS Test. V.1.3.0 , bor tanah tipe Belgi, pH meter,
formulir kuesioner, perangkat lunak ArcGIS 10 dari ESRI dan SPSS 16, kamera
digital, serta peralatan dan bahan kimia laboratorium untuk analisis tanah.
Metode Penelitian
Penelitian ini bersifat Deskriptif dengan menggunakan Metode Survei.
Data lapangan yang diambil berupa sampel tanah sawah yang diambil dari 44 titik
lokasi disertai koordinat di wilayah Kecamatan Perbaungan dari kedalaman
0—20 cm pada masa awal tanam dengan metode survei semidetail (1 : 60.000).
Luas wilayah penelitian adalah 4.770 ha. Lokasi penyebaran titik pengambilan
Beberapa variabel yang diukur adalah P-potensial, P-tersedia, dan
Zn-tersedia, menggunakan metode ekstraksi berturut-turut HCl 25 %, Bray II, dan
HCl 25 %, Data hasil pengukuran kemudian dianalisis dengan statistik deskriptif
(menggunakan SPSS 16) dan geostatistik (ArcGIS 10), serta analisis korelasi pada
taraf 5 %.
Kuesioner digunakan untuk mengetahui dosis aplikasi P yang digunakan
petani dan produksi yang dihasilkan. Jumlah responden ditentukan berdasarkan
rumus yang disederhanakan oleh Yamane (1967) dalam Israel (1992) berikut :
N
Sehingga, dengan menggunakan tingkat kepercayaan 95 % dan presisi (e)
10 %, dari populasi sebesar 4.703 petani, maka :
Dalam hal ini, jumlah responden dibulatkan menjadi 100 yang tersebar
secara acak proporsional pada 12 desa. Sebaran responden tiap desa disajikan
pada tabel 1 berikut.
Tabel 1. Jumlah Responden per Desa
No Desa Jumlah petani Jumlah responden
(Jumlah petani desa/4.702) x 100
Pada tahap ini dilakukan konsultasi dengan komisi dosen pembimbing dan
Pengurusan izin dengan pihak berwenang terkait lokasi penelitian.
Penyediaan Peta
Penyediaan peta administrasi daerah, peta tata guna lahan, peta satuan
tanah, peta lokasi penelitian serta peta kerja lapangan yang telah disertai titik-titik
pengambilan sampel dengan sistem Grid Bebas pada skala 1 : 60.000 dan interval
Pengambilan Contoh Tanah
Pengambilan contoh tanah di lokasi penelitian dengan sistem Grid Bebas.
Pemboran dilakukan pada kedalaman 0—20 cm. Pengambilan contoh dilakukan
secara komposit pada tiap grid kemudian dicatat koordinat lokasi dengan bantuan
GPS. Saat pengambilan contoh, lahan sudah ditanami padi berumur sekitar 3
minggu.
Penanganan Contoh Tanah
Contoh tanah diambil secara komposit sebanyak 2 kg lalu dimasukkan
dalam kantong plastik kemudian diberi label dan nomor. Tanah dibiarkan tetap
berada dalam kondisi lembab seperti keadaan di lapangan, kemudian diantar ke
laboratorium untuk dianalisis.
Analisis Kimia Tanah
Analisis tanah di Laboratorium dilakukan untuk mengekstraksi dan
menetapkan kadar dari masing-masing variabel tanah sesuai dengan metode
ekstraksi sebagai berikut.
- Analisis P-potensial (mg/kg) metode ekstraksi HCl 25 %
- Analisis P-tersedia tanah (ppm) dengan Bray II
- Analisis Zn-tersedia (ppm) dengan metode HCl 25 %
- Nilai pH tanah dengan metode elektrometri menggunakan H2O (1 : 2,5)
Pengambilan Data Kuesioner
Kuesioner disebarkan kepada petani responden melalui wawancara sesuai
jumlah yang telah ditentukan pada tiap desa. Kriteria petani yang ditetapkan
sawah, terutama pemberian pupuk, baik pada lahan yang dimiliki sendiri maupun
mengelola lahan orang lain yang masih tercakup pada wilayah penelitian.
Pengolahan Data
1. Analisis Statistik Deskriptif
Data pengukuran sampel tanah untuk setiap variabel dan data kuesioner
diolah menggunakan perangkat lunak SPSS (Statistical Product and Service
Solution) versi 16 untuk memperoleh besaran nilai minimum, nilai maksimum,
rata-rata, simpangan baku, ragam, dan koefisien keragaman (KK).
2. Uji Normalitas Sebaran Data
Uji Normalitas dilakukan untuk mengetahui kenormalan dari sebaran data
pada masing-masing variabel. Metode pengujian yang digunakan adalah uji
Kolmogorov-Smirnov. Kriteria pengujian hipotesis menurut Gibbons and
Chakraborti (2003) adalah sebagai berikut.
H0 diterima, jika Dn < Dn, α (Data berdistribusi normal)
H0 ditolak, jika Dn > Dn, α (Data tidak berdistribusi normal)
Nilai Dn diperoleh dari pengolahan data menggunakan SPSS, sedangkan Dn, α
merupakan nilai kritis Kolmogorov-Smirnov untuk jumlah contoh tanah (n) = 44
yang diperoleh melalui pendekatan :
Dn, α = 1,36/√n
Dn, α = 1,36/√44 (44 sampel, α = 0,05)
Dn, α = 0,205
Kriteria pengujian juga dapat dilakukan dengan menggunakan nilai
untuk dua arah dan signifikansi > α (α = 0,05), maka dapat dikatakan data
berdistribusi normal.
3. Analisis Korelasi
Analisis korelasi Product Moment Pearson dilakukan untuk mengetahui
hubungan antara P-potensial dan P-tersedia, P-potensial dan Zn-tersedia, serta
P-tersedia dan Zn-tersedia. Hipotesis yang digunakan adalah :
H0 : rxy = 0 (korelasi nol, tidak ada korelasi)
H1 : rxy = 0 (korelasi tidak sama dengan nol)
Statistik uji yang digunakan menurut (Rosari, 2006) dengan rumus :
rxy√n-2
√(1—r2xy)
Kriteria penolakan H0 menggunakan statistik t (tabel t-student) pada taraf
nyata 5 % sebagai berikut :
Tolak H0 jika : t > tα/2, v maka H1 diterima
4. Analisis Geostatistik
Pendugaan keragaman spasial variabel tanah dilakukan dengan
menggunakan model semivariogram, yang menurut Goovaerts (1999) dalam
Liu et al. (2004) didefinisikan sebagai berikut :
Semivarians r(h), dihitung sebagai kuadrat dari setengah rata-rata selisih antara
dua pasangan data, di mana N(h) adalah total bilangan pasangan data yang
serta x adalah posisi dari sampel tanah. Luaran analisis geostatistik diperoleh
menggunakan perangkat lunak ArcGIS 10.
Pembuatan Peta Sebaran Spasial Status Hara
Peta status hara dihasilkan melalui interpolasi Kriging berdasarkan
pembobotan data dari model semivariogram, sehingga diperoleh luasan dari
data-data titik yang kemudian dikelompokkan berdasarkan kriteria dari Badan Litbang
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Kondisi Umum Wilayah Studi
Berdasarkan informasi dari Badan Pusat Statistik Serdang Bedagai (2012),
Kecamatan Perbaungan terletak di Kabupaten Serdang Bedagai, dengan posisi
geografis 3° 28' 12"—3° 36' 36" lintang utara dan 98° 55' 48"— 99° 6' 36" bujur
timur, dengan ketinggian berkisar antara 0—65 meter di atas permukaan laut.
Kecamatan ini memiliki luas 111,620 km2 yang terdiri dari 24 desa dan 4
kelurahan. Batas-batas wilayah Kecamatan Perbaungan yakni : sebelah Utara
berbatasan dengan Kecamatan Pantai Cermin, sebelah Selatan dengan Kecamatan
Pegajahan, sebelah Timur dengan Kecamatan Teluk Mengkudu, dan sebelah
Barat dengan Kecamatan Pagar Merbau Kabupaten Deli Serdang.
Berdasarkan pengamatan Stasiun Sampali, sebagaimana yang dilaporkan
oleh Badan Pusat Statistik Serdang Bedagai (2013), rata-rata kelembaban udara
per bulan sekitar 83 %, curah hujan berkisar 78—297 mm/bulan, curah hujan
berkisar 78—297 mm/bulan dengan periode tertinggi pada bulan Oktober, hari
hujan per bulan berkisar 12—20 hari, rata-rata kecepatan angin sekitar 2,4 m/detik
dengan tingkat penguapan berkisar 3,9 mm/hari. Temperatur udara per bulan
minimal 23,7 oC dan maksimal 33,1 oC.
Luas sawah keseluruhan di Kecamatan Perbaungan adalah 5.868 ha, yang
terdiri atas sawah beririgasi semiteknis 5.495 ha dan nonteknis 373 ha. Sebagian
besar wilayah di Perbaungan termasuk dalam ordo tanah Entisol, dengan grup
Fluvaquent. Menurut Soil Survey Staff (1999), Fluvaquents adalah grup dari ordo
Holosen sebesar 0,2 persen atau lebih pada kedalaman 125 cm di bawah
permukaan tanah mineral, atau memiliki penurunan kandungan karbon organik
secara tidak teratur dari kedalaman 25 cm sampai 125 cm atau mencapai kontak
densik, litik, atau paralitik apabila lebih dangkal.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada sejulah petani di 12 desa
di Kecamatan perbaungan, diperoleh bahwa penanaman padi dilakukan sebanyak
2 kali per tahun, dengan varietas umum yang digunakan adalah Ciherang.
Analisis Statistik Deskriptif
Hasil analisis statistik deskriptif untuk setiap variabel survei dari 44
sampel tanah sawah dengan koordinat lokasi disajikan dalam tabel 2 berikut ini,
dengan luaran analisis SPSS terdapat pada lampiran 1.
Tabel 2. Statistik deskriptif P-potensial, P-tersedia, dan Zn-tersedia
Variabel Minimum Maksimum Rata-Rata
Data pada tabel di atas menunjukkan bahwa rata-rata P-potensial,
P-tersedia, dan Zn-tersedia berturut-turut adalah 36,24 mg/100g, 17,73 ppm, dan
27,75 ppm. Nilai koefisien keragaman (KK) terbesar terdapat pada variabel
P-tersedia yakni 74,22 % sedangkan yang terkecil terdapat pada Zn-tersedia yakni
17,90 %. Hal ini mengindikasikan bahwa penyebaran P-tersedia menunjukkan
keragaman yang cukup tinggi sementara penyebaran Zn-tersedia paling seragam
Uji Normalitas Sebaran Data
Uji Normalitas distribusi data dengan metode Kolmogorov-Smirnov
ditampilkan pada tabel 3 berikut, dengan luaran analisis terdapat pada lampiran 2.
Tabel 3. Uji Normalitas Kolmogorov-Smirnov P-potensial, P-tersedia, dan Zn-tersedia
Variabel Jumlah sampel
Nilai Z
Kolmogorov-Smirnov Signifikansi Dn Dn, α
P-potensial 44 0,766 0,600 0,115 0,205
P-tersedia 44 1,204 0,110 0,182 0,205
Zn-tersedia 44 1,026 0,243 0,155 0,205
Hasil analisis di atas menunjukkan bahwa semua data variabel terdistribusi
secara normal dan dapat dilanjutkan ke analisis statistik parametrik berikutnya,
yakni analisis korelasi, karena semua variabel memenuhi syarat yakni, nilai Dn, α
hasil perhitungan lebih besar daripada Dn tabel serta nilai Z Kolmogorov-Smirnov
lebih kecil dari 1,96. Secara visual. Histogram dari ketiga variabel menunjukkan
kemiripan dengan pola data berdistribusi normal sebagaimana ditunjukkan pada
gambar 3 berikut.
Gambar 3. Histogram P-potensial, P-tersedia, dan Zn-tersedia
Zn-tersedia (ppm) P-tersedia (ppm)
Analisis Korelasi Pearson
Analisis korelasi antarvariabel dengan metode Pearson diperlihatkan pada tabel 4 berikut, dengan luaran analisis SPSS terdapat pada lampiran 3.
Tabel 4. Analisis Korelasi P-potensial, P-tersedia, dan Zn-tersedia
Variabel P-potensial P-tersedia Zn-tersedia
P-potensial - - -
P-tersedia 0,798** - -
Zn-tersedia -0,198tn -0,123tn -
** Korelasi nyata pada taraf 1 %
Tabel 4 menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif yang sangat nyata
antara P-potensial dan P-tersedia. Sementara itu, baik P-potensial maupun
P-tersedia tidak berkorelasi secara nyata dengan Zn-tersedia. Ada tidaknya
korelasi ini dapat dipengaruhi oleh banyak faktor, di antaranya kandungan hara
inheren dalam tanah, asal bahan induk, pemupukan, irigasi, dan pengolahan tanah.
Data Hasil Wawancara
Data hasil wawancara dari 100 responden petani yang dikelompokkan
menurut masing-masing desa di Kecamatan Perbaungan terdapat pada tabel 5,
dengan data keseluruhan responden terdapat pada lampiran 4.
Rata-rata petani memiliki luas areal sawah tidak lebih dari satu hektar,
yakni seluas 0,67 ha dengan varietas padi Ciherang. Rata-rata dosis pupuk SP-36
dan urea yang digunakan berturut-turut adalah 195,81 kg/ha dan 198,83 kg/ha,
dengan dosis tertinggi terdapat pada desa Lubuk Dendang yakni masing-masing
sebesar 250 kg/ha. Sementara itu, rata-rata produksi terbilang cukup tinggi
Tabulasi data kuesioner yang dikelompokkan untuk setiap desa ditampilkan pada tabel 5 berikut ini.
Tabel 5. Tabulasi data kuesioner tiap desa
Desa
Informasi Hara Bahan Organik
Analisis Geostatistik
Analisis geostatistik P-potensial, P-tersedia, dan Zn-tersedia dengan model
semivariogram yang disesuaikan ditunjukkan pada tabel 6 berikut, dengan luaran
analisis menggunakan ArcGIS 10 terdapat pada lampiran 5, 6, dan 7.
Tabel 6. Model Semivariogram untuk P-potensial, P-tersedia, dan Zn-tersedia
Variabel Model Nugget (C0)
P-potensial Eksponensial 186,7 211,39 88,32 Lemah 4.505,04
P-tersedia Linear 154,49 210,33 73,45 Sedang 4.256,16
Zn-tersedia Eksponensial 18,56 9,13 203,28 Lemah 7.718,21
Tabel 6 menunjukkan bahwa P-potensial, P-tersedia, dan Zn-tersedia
berturut-turut memiliki nilai perbandingan nugget/sill 88,32 %, 73,45 %, dan
203,28 %. Menurut Cambardella et al. (1994), nilai perbandingan ini dapat
menjadi dasar untuk menentukan tingkat autokorelasi atau keeratan hubungan
spasial masing-masing variabel. Tingkat spasial kuat jika nilai perbandingan lebih
kecil daripada 25 %, sedang jika berada pada 25—75 %, dan lemah jika lebih
besar daripada 75 %. Maka, pada data di atas, P-potensial dan Zn-tersedia
masing-masing memiliki tingkat autokorelasi spasial yang lemah, sedangkan
P-tersedia memiliki tingkat autokorelasi spasial yang sedang.
P-potensial, P-tersedia, dan Zn-tersedia masing-masing memiliki rentang
efektif 4.505,04 m, 4.256,16 m, dan 7.718,21 m. Nilai rentang efektif ini
merupakan jarak yang menunjukkan keragaman yang nyata pada variabel-variabel
di setiap lokasi. Nilai-nilai variabel pada lokasi yang berjarak masih berada pada
lokasi-lokasi yang lebih jauh daripada rentang efektif ini. Dengan kata lain,
perbedaan nilai variabel pada jarak rentang ini tidak berbeda secara signifikan.
Sebaliknya, semakin jauh jarak, maka keragaman nilai variabel secara spasial
semakin besar dan signifikan.
Gambar 4, 5, dan 6 berikut ini menunjukkan model semivariogram yang
disesuaikan untuk P-potensial, P-tersedia, dan Zn-tersedia, yang menunjukkan
hubungan antara nilai semivarians atau keragaman spasial (sumbu Y) terhadap
jarak spasial (sumbu X) antara dua titik, berdasarkan data luaran analisis pada
lampiran 6.
Gambar 4. Model Semivariogram Eksponensial P-potensial
Gambar 6. Model Semivariogram Eksponensial Zn-tersedia
Dari gambar di atas, dapat dilihat bahwa semivariogram P-potensial dan
Zn-tersedia masing-masing merupakan model eksponensial, sedangkan
semivariogram P-tersedia merupakan model linear. Pada model eksponensial,
semakin bertambah jarak spasial maka nilai keragaman atau semivarians semakin
besar, hingga mencapai titik semivarians total (sill) yang nilainya cenderung
konstan dengan bertambahnya jarak spasial. Sedangkan pada model linear,
semakin bertambah jarak maka semivarians akan terus meningkat, dengan
Penyebaran Spasial
Pada tabel 7 berikut ini disajikan luas dan persentase penyebaran
P-potensial, P-tersedia, dan Zn-tersedia berdasarkan setiap kriteria yang terdapat
pada lampiran 8.
Tabel 7. Penyebaran spasial P-potensial, P-tersedia, dan Zn-tersedia
Variabel Kriteria* Luas Penyebaran
ha %
P-potensial Rendah (< 20 mg/100g) 141 2,95 Sedang (20—40 mg/100g) 2.917 61,15 Tinggi (> 40 mg/100g) 1.712 35,90
Kriteria berdasarkan Badan Litbang Pertanian (2008)
Untuk P-potensial, kriteria sedang memiliki luas penyebaran terbesar
yakni 2.917 ha dengan proporsi 61,15 %, sedangkan untuk P-tersedia, kriteria
sedang juga mendominasi luas penyebaran yakni sebesar 2.489 ha dengan
proporsi 52,18 %. Sementara itu, Zn-tersedia seluruhnya berada pada kriteria di
atas 1 ppm atau berada dalam kondisi cukup.
Secara visual, penyebaran P-potensial, P-tersedia, dan Zn-tersedia
digambarkan dalam peta status hara skala semidetail (1 : 60.000) pada gambar 7,
Dari gambar 7, terlihat bahwa P-potensial dalam kriteria sedang
mendominasi penyebaran, terutama di bagian timur, sedangkan kriteria tinggi
umumnya banyak berada di bagian barat. Sementara itu, gambar 8 menunjukkan
P-tersedia dalam kriteria sedang juga mendominasi penyebaran pada bagian timur,
dan kriteria tinggi pada bagian barat. Pada gambar 9, Zn-tersedia seluruhnya
berada dalam kriteria di atas 1 ppm.
Tabel 8 berikut merupakan tabulasi data P-potensial, P-tersedia, dan
Zn-tersedia pada setiap desa tempat pengambilan contoh tanah beserta kriteria
berdasarkan hasil analisis laboratorium pada lampiran 12 dan 13 serta kriteria
Badan Litbang Pertanian (2008).
Tabel 8. Tabulasi data P-potensial, P-tersedia, dan Zn-tersedia pada setiap desa
No Desa P-potensial P-tersedia Zn-tersedia
mg/100g ppm ppm
No Desa P-potensial P-tersedia Zn-tersedia
mg/100g ppm ppm
22 Pematang Sijoman 40.64 (tinggi) 11.67 (sedang) 24.53 (>1 ppm) 23 Lubuk Cemara 36.48 (sedang) 6.00 (rendah) 27.50 (>1 ppm)
Dari data di atas, kadar P-potensial tertinggi berada di Desa Suka Beras
(76,26 mg/100 g) dan terendah terdapat di Desa Lubuk Bayas (13,48 mg/100g).
Untuk P-tersedia, kadar tertinggi terdapat pada Desa Kuta Galuh (56,67 ppm) dan
terendah terdapat pada Desa Lubuk Bayas (3,67 ppm). Sementara itu, kadar
Zn-tersedia tertinggi terdapat pada Desa Lubuk Bayas (42,36 ppm) dan kadar
Pembahasan
Korelasi Hara Fosfor dan Seng Tanah Sawah
Pada tabel 4, analisis korelasi Pearson menunjukkan bahwa terdapat
korelasi positif yang sangat nyata antara P-potensial dan P-tersedia,, yang berarti
semakin tinggi P-potensial semakin tinggi pula P-tersedia. Namun, hubungan ini
dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti bahan induk, jenis mineral yang
ada pada tanah, pemupukan, mineralisasi bahan organik, serta pH tanah. Pada
keadaan tertentu, korelasi negatif juga dapat terjadi yakni peningkatan
ketersediaan P diikuti dengan penurunan cadangan P dalam tanah. Dalam hal ini,
Nyakpa et al. (1998) menyatakan bahwa ketersediaan fosfor sangat dipegaruhi
oleh sifat dan ciri tanah serta bagaimana pengelolaan yang dilakukan.
Damanik et al. (2011) menyatakan bahwa sumber utama hara fosfor hanya berasal
dari pelapukan mineral dan tidak melalui fiksasi biologis seperti halnya nitrogen,
sehingga penurunan cadangan fosfor dapat dipercepat melalui pengangkutan hasil
panen yang intensif tanpa ada sisa yang dikembalikan.
Analisis korelasi juga menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi yang
nyata baik P-potensial maupun P-tersedia terhadap Zn-tersedia tanah sawah. Hal
ini berarti tidak terdapat hubungan langsung antara hara fosfor dan seng.
Meskipun, dalam beberapa kasus, menurut Prasetyo et al. (2004), pemupukan P
yang berlebihan dapat menyebabkan penurunan hara Zn dalam tanah karena
terbentuknya endapan Zn(PO4) akibat pemupukan P yang berlebihan. Kekahatan
Zn pada tanah sawah tidak hanya dapat diukur dari kelarutan Zn tetapi juga perlu
Tingkat Keragaman Spasial Fosfor dan Seng
Analisis geostatistik menunjukkan bahwa variabel P-potensial,
P-tersedia, dan Zn-tersedia berturut-turut memiliki rasio Nugget/Sill yakni
88,32 %, 73,45 %, dan 203,28 %. Dalam analisis geostatistik, nilai rasio ini
menentukan tingkat autokorelasi spasial pada masing-masing variabel tanah
seperti yang dinyatakan oleh Cambardella et al. (1994) bahwa variabel memiliki
tingkat autokorelasi spasial yang kuat jika nilai rasio > 25 %, moderat jika nilai
rasio 25 %—75 %, dan kuat jika nilai rasio > 75 %. Autokorelasi spasial yang
kuat pada variabel tanah mengacu pada faktor-faktor intrinsik seperti
pembentukan tanah, yang umumnya dipengaruhi oleh bahan induk tanah.
Sedangkan tingkat autokorelasi spasial yang lemah lebih mengacu pada
faktor-faktor ekstrinsik yakni tindakan manajemen tanah contohnya pemupukan,
pengolahan tanah, dan pengairan.
Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa kadar P-potensial dan
Zn-tersedia di wilayah studi memiliki tingkat hubungan spasial yang lemah.
Hal ini mengindikasikan bahwa faktor-faktor ekstrinsik seperti pemupukan,
pengolahan tanah, pengairan, dan tindakan manajemen lahan lainnya telah
melemahkan hubungan spasial pada masing-masing variabel ini setelah
penggunaan tanah yang berkepanjangan. Sementara itu, kadar P-tersedia memiliki
tingkat hubungan spasial yang moderat atau sedang, yang mana pengaruh faktor
intrinsik dan ekstrinsik masih relatif sama besar.
Variabel P-potesial, P-total, dan Zn-tersedia memiliki rentang efektif
spasial berturut-turut 4.505,04 m, 4.256,16 m, dan 7.718,21 m. Rentang efektif ini