• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Penambahan Berbagai Jenis Pati dan Tepung terhadap Mutu Batter yang Diaplikasikan pada Tempe yang Digoreng dengan Metode Deep Frying.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Penambahan Berbagai Jenis Pati dan Tepung terhadap Mutu Batter yang Diaplikasikan pada Tempe yang Digoreng dengan Metode Deep Frying."

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PENAMBAHAN BERBAGAI JENIS PATI

DAN TEPUNG TERHADAP MUTU BATTER YANG

DIAPLIKASIKAN PADA TEMPE YANG DIGORENG

DENGAN METODE

DEEP FRYING

DIANA PUSPITA SARI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK

CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Penambahan Berbagai Jenis Pati dan Tepung terhadap Mutu Batter yang Diaplikasikan pada Tempe yang Digoreng dengan Metode Deep Frying adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)
(5)

ABSTRAK

DIANA PUSPITA SARI. Pengaruh Penambahan Berbagai Jenis Pati dan Tepung terhadap Mutu Batter yang Diaplikasikan pada Tempe yang Digoreng dengan Metode Deep Frying. Dibimbing oleh MUHAMMAD ARPAH.

Batter digunakan untuk memperbaiki mutu produk yang melalui proses penggorengan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari aspek-aspek reologi batter terhadap penambahan berbagai pati dan tepung (sagu aren, tepung beras, dekstrin, tapioka dan pati kentang) ke dalam formulasi batter serta mempelajari pengaruh penambahan berbagai pati dan tepung ke dalam formulasi batter terhadap mutu tempe batter yang meliputi coating pick-up, cooking yield, tekstur, warna, kadar air, kadar lemak dan preferensi panelis. Perlakuan penambahan tepung beras dan tapioka dapat meningkatkan viskositas batter. Viskositas batter yang tinggi memiliki daya pelapisan yang baik karena dapat meningkatkan persentase coating pick-up dan cooking yield, sehingga penguapan air dan penyerapan minyak pada produk dapat dikendalikan. Persentase coating pick-up batter dengan perlakuan pati dan tepung berkisar antara 1-2%, sedangkan persentase cooking yield berkisar antara 22.74-42.85%. Daya pelapisan batter yang baik ditunjukkan dengan kadar lemak tempe batter yang rendah. Tempe batter dengan perlakuan penambahan tepung beras memiliki kadar lemak terendah dibandingkan dengan sampel lainnya yaitu sebesar 14.49% pada produk yang digoreng selama 15 menit. Secara keseluruhan, baik tekstur, warna, aroma dan rasa, tempe batter dengan perlakuan penambahan pati kentang adalah tempe batter yang paling disukai panelis karena memiliki skala rating hedonik tertinggi.

Kata kunci: batter, reologi batter, coating pick-up, cooking yield, kadar air, kadar lemak, tekstur, warna, preferensi panelis

ABSTRACT

DIANA PUSPITA SARI. Effects of Different Flours and Starches Addition for Batter Quality for Deep-Fried Battered Tempeh Application. Supervised by MUHAMMAD ARPAH.

(6)

fried for 15 minutes. Over all, included texture, color, aroma and taste, battered tempeh with potato starch addition is the most preferred by panelists because it has the highest rating hedonic scale.

(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian

pada

Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

PENGARUH PENAMBAHAN BERBAGAI JENIS PATI

DAN TEPUNG TERHADAP MUTU BATTER YANG

DIAPLIKASIKAN PADA TEMPE YANG DIGORENG

DENGAN METODE

DEEP FRYING

DIANA PUSPITA SARI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)
(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan secara dua tahap, untuk tahap pertama dilaksanakan sejak bulan Juni sampai Juli 2014 dan tahap kedua pada bulan Februari sampai Mei 2015 ini ialah formulasi batter, dengan judul Pengaruh Penambahan Berbagai Jenis Pati dan Tepung terhadap Mutu Batter yang Diaplikasikan pada Tempe yang Digoreng dengan Metode Deep Frying.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Muhammad Arpah, M.Si selaku pembimbing yang senantiasa membimbing dan memberikan saran yang berguna selama studi, penyelesaian penelitian hingga penyusunan skripsi, serta terima kasih pula penulis ucapkan untuk Dr. Elvira Syamsir, STP, Msi dan Dr. Ir. Sukarno, MSc atas kesediaannya menjadi dosen penguji dalam ujian akhir penulis. Selain itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Pak Nur dan Bu Sri sebagai teknisi Laboratorium Pilot Plant dan Laboratorium Evaluasi Sensori Seafast, Pak Gatot, Ibu Antin sebagai teknisi Laboratorium L2 dan Pengolahan Departemen ITP serta Pak Yahya selaku teknisi Laboratorium Kimia Pangan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan yang memberi banyak bantuan dan saran selama pelaksanaan penelitian. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibunda, Ayahanda dan Kakak-Kakak atas segala dukungan, doa dan kasih sayang yang tiada henti. Serta tak lupa, ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan untuk segenap teman-teman ITP 48.

Semoga skripsi ini bermanfaat.

(12)
(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR GAMBAR xii

DAFTAR LAMPIRAN xiii

PENDAHULUAN 1

Perumusan Masalah 4

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Penelitian 4

METODE 4

Waktu dan Tempat Penelitian 4

Alat 5

Bahan 5

Metodologi Penelitian 5

HASIL DAN PEMBAHASAN 12

Pengukuran Steady Shear 12

Viskositas Batter 14

Kadar Air Tempe Batter 18

Kadar Lemak Tempe Batter 18

Pengukuran Coating Pick-Up Batter 20

Pengukuran Cooking Yield Batter 20

Pengukuran Tekstur Tempe Batter 21

Analisis Warna Tempe Batter 24

Evaluasi Sensori Tempe Batter 26

SIMPULAN DAN SARAN 29

Simpulan 29

Saran 30

DAFTAR PUSTAKA 31

LAMPIRAN 33

(14)

DAFTAR TABEL

4. Data Analisis Proksimat Tempe Batter dengan Perlakuan Penambahan

Pati Kentang ke dalam Formulasi Batter. 29

DAFTAR GAMBAR

1. Tahapan Penelitian Tempe Batter 6

2. Reogram Batter yang Terbuat dari Campuran Berbagai Tepung pada Suhu: (a) 30°C; (b) 25°C; (c) 20°C; (d) 15°C dan (e) 10°C. 13 3. Viskositas Batter yang Terbuat dari Campuran Tepung pada Suhu: (a)

30°C; (b) 25°C; (c) 20°C; (d) 15°C dan (e) 10°C. 16 4. Kadar Air Tempe Batter dengan Perlakuan Penambahan Pati dan

Tepung pada Waktu Penggorengan 3, 6, 9, 12 dan 15 menit. 18 5. Kadar Lemak Tempe Batter dengan Perlakuan Penambahan Pati dan

Tepung pada Waktu Penggorengan 3, 6, 9, 12 dan 15 menit. 19 6. Persentase Coating Pick-Up Batter dengan Berbagai Perlakuan

Penambahan Pati dan Tepung pada Formulasinya. 20 7. Persentase Cooking Yield Batter dengan Perlakuan Penambahan Pati

dan Tepung pada Formulasinya. 21

8. Tekstur Kerapuhan Tempe Batter dengan Perlakuan Penambahan Pati

dan Tepung ke dalam Formulasinya. 23

9. Tekstur Kekerasan Tempe Batter dengan Perlakuan Penambahan Pati

dan Tepung ke dalam Formulasinya. 23

10. Tekstur Elastisitas Tempe Batter dengan Perlakuan Penambahan Pati

dan Tepung ke dalam Formulasinya. 23

11. Tekstur Cohessiveness Tempe Batter dengan Perlakuan Penambahan

Pati dan Tepung ke dalam Formulasinya. 24

(15)

14. Nilai b (Skala Hunter Lab) pada Pengukuran Warna Tempe Batter dengan Semua Perlakuan Penambahan Pati dan Tepung ke dalam

Formulasinya. 25

15. Data Hasil Evaluasi Sensori Atribut Warna Tempe Batter

Menggunakan Uji Rating Hedonik. 27

16. Data Hasil Evaluasi Sensori Atribut Kerapuhan Tempe Batter

Menggunakan Uji Rating Hedonik. 27

17. Data Hasil Evaluasi Sensori Atribut Kekerasan Tempe Batter

Menggunakan Uji Rating Hedonik. 28

18. Data Hasil Evaluasi Sensori Atribut “Oily Taste” Tempe Batter

Menggunakan Uji Rating Hedonik. 28

19. Data Hasil Evaluasi Sensori untuk Preferensi Kesukaan Panelis secara Keseluruhan Tempe Batter Menggunakan Uji Rating Hedonik. 28

DAFTAR LAMPIRAN

1. Grafik TPA Tempe Batter 33

2. Gambar Produk Tempe Batter 35

3. Form Kuesioner Sensori Uji Rating Hedonik terhadap Sampel Tempe

Batter 37

4. Output ANOVA dan Uji Lanjut Duncan 38

(16)
(17)

PENDAHULUAN

Metode penggorengan terendam atau deep fat frying merupakan metode penggorengan dimana bahan terendam sempurna oleh minyak yang berfungsi sebagai media penghantar panas pada suhu tinggi (antara 160-180oC) pada waktu tertentu (Mir-Bel et al 2012). Metode penggorengan deep fat frying dapat lebih menjaga kandungan nutrisi dibanding dengan proses perebusan dan pemanggangan, namun proses tersebut tetap memengaruhi kandungan nutrisi (vitamin dan mineral) pada bahan (Shirai dan Ramirez 2011). Suhu dan waktu proses penggorengan dapat diatur dan dikontrol sesuai dengan mutu produk akhir yang diinginkan, misalnya untuk menghasilkan produk yang renyah seperti keripik, produk yang kering atau produk yang kering di bagian luar tapi bertekstur lembut di bagian dalam. Namun, produk hasil proses penggorengan dapat menurunkan aspek mouthfeel serta menurunkan beberapa atribut sensori seperti warna, aroma dan tekstur. Produk yang diinginkan dalam penelitian ini adalah produk yang kering di bagian luar, sedangkan di bagian dalam produk masih memiliki kandungan air yang agak tinggi ( juicy).

Perpindahan panas yang terdapat pada proses penggorengan terjadi secara konveksi (perpindahan panas dari minyak panas ke dalam produk pangan) dan secara konduksi (perpindahan panas dari permukaan produk ke bagian dalam produk). Ketika minyak panas berpenetrasi ke dalam produk, maka air yang berada pada produk pangan secara alami akan mengalami penguapan dan menyisakan rongga pada produk yang kemudian akan diisi oleh minyak panas tersebut (Dogan 2004). Air yang terdapat pada produk pangan tersebut mengalami proses evaporasi. Air yang berada di bagian dalam produk akan bergerak menuju bagian luar produk, fenomena ini disebut sebagai pumping (Lydersen 1983). Pembentukan uap yang terjadi selama proses penggorengan disebabkan oleh adanya tekanan bagian dalam produk pangan yang lebih besar daripada tekanan minyak goreng, sehingga terjadi keterbatasan penetrasi minyak goreng ke dalam produk pangan. Peningkatan oil uptake terjadi dengan penurunan tekanan bagian dalam produk yang disebabkan oleh kehilangan air pada produk selama proses pendinginan yang akan menyebabkan efek vakum (Rice dan Gamble 1989).

Perubahan yang terjadi selama proses penggorengan meliputi perubahan karakteristik kimia dan fisik produk pangan, seperti adanya proses gelatinisasi pati, pelunakan jaringan, inaktivasi enzim dan terjadinya reaksi antar komponen yang terdapat dalam produk pangan. Crust atau kerak pada permukaan produk pangan terbentuk karena proses dehidrasi selama proses penggorengan. Proses dehidrasi ini akan menurunkan kadar air produk karena suhu penggorengan di atas 100oC, menghasilkan struktur yang poros dan tekstur yang renyah (Moreira et al 1999).

(18)

2

berlebih ke dalam produk selama proses penggorengan (Wills et al 1981). Selain itu, batter yang melapisi permukaan luar produk pangan juga dapat memberikan nilai tambah bagi produk pangan goreng karena lapisan batter dapat memperbaiki penampakan produk, tekstur, flavor, berat dan volume produk dengan cara mengurangi proses dehidrasi pada produk, menambah efek kecoklatan yang akan memperbaiki warna produk dan memberikan tekstur yang baik pada produk (Cunningham dan Suderman 1981).

Batter diklasifikasikan ke dalam dua kategori, yaitu batter tempura atau adhesion dan batter interface atau puff (Loewe 1993). Batter tempura atau adhesion digunakan bersama dengan tepung panir (breading), dan digunakan sebagai lapisan pelekat atau adhesif utama antara permukaan produk dan permukaan tepung panir (breading). Batter tempura atau adhesion tidak menggunakan bahan kimia pengembang pada formulasinya. Batter interface atau puff mengandung bahan pengembang dalam formulasinya dan digunakan sebagai lapisan luar produk pangan. Formulasi batter dapat ditentukan berdasarkan substrat pangan dan penampakan lapisan yang diinginkan, sehingga formulasi batter sangat fleksibel untuk diterapkan secara maksimal pada pengembangan produk (Loewe 1990). Tepung terigu dan pati jagung memiliki peranan yang penting dalam formulasi batter interface. Tepung terigu mengandung protein gluten dan pati. Protein gluten pada tepung terigu ini berperan untuk menahan retensi gas yang dihasilkan dari bahan kimia pengembang, sehingga dapat menghasilkan tekstur yang baik. Pati jagung berfungsi untuk membentuk tekstur yang crispy. Batter interface terdiri dari tepung terigu, pati jagung dan bahan pengembang sebagai bahan penyusun utama, serta tepung-tepungan lain, pati-pati lain, gum (hidrokoloid), protein, pewarna pangan dan flavor dapat ditambahkan sebagai bahan opsional (Loewe 1990). Penambahan jenis pati dan hidrokoloid ke dalam formulasi batter dapat memengaruhi sifat reologi batter (Hsia et al 1992) serta berfungsi untuk meningkatkan viskositas batter karena hidrokoloid merupakan oligosakarida dan dapat mengenkapsulasi gas yang dihasilkan oleh bahan pengembang berdasarkan kemampuannya membentuk ikatan dengan air (water bonding capacity). Penambahan pati pada formulasi batter dapat dilakukan dengan konsentrasi 0 hingga 5% (Loewe 1990). Hidrokoloid yang digunakan pada penelitian ini adalah CMC (Carbon Metile Cellulose), sedangkan untuk penambahan pati dan tepung yang digunakan adalahtapioka, kentang, sagu aren, beras dan dekstrin.

(19)

3 Efek dari penambahan lima jenis pati dan tepung (tapioka, kentang, sagu aren, beras dan dekstrin), pengaruh suhu pada sifat reologi dan viskositas dari batter berbahan dasar tepung terigu-pati jagung akan dipelajari pada penelitian ini. Aplikasi dari batter yang megandung komposisi tepung yang berbeda akan menghasilkan flavor dan tekstur yang unik pada produk pangan goreng. Keseragaman dan ketebalan batter pada permukaan pangan ditentukan oleh viskositas dan suhu batter yang akan menentukan kualitas dan penerimaan produk pangan goreng (Moreira et al 1999). Oleh sebab itu, viskositas batter menjadi karakteristik kritis yang akan memengaruhi kuantitas dan kualitas batter pick-up, penampakan, tekstur dan penanganan produk yang dilapisi batter. Pengukuran sifat reologi digunakan untuk menentukan dan memantau perubahan sifat fisik selama pelapisan batter dan proses penggorengan (Chang et al 1996). Faktor-faktor yang dapat memengaruhi sifat reologi batter adalah komposisi dan proporsi bahan penyusun, perbandingan bahan solid dan air, serta suhu (Fiszman dan Salvador 2003).

Tempe digunakan sebagai substrat karena tempe memiliki banyak manfaat bagi tubuh manusia, diantaranya dapat menurunkan flatulensi dan diare, menghambat biosintesis kolesterol dalam hati, mencegah oksidasi LDL, menurunkan total kolesterol dan triasilgliserol, meningkatkan enzim antioksidan SOD, dan menurunkan risiko kanker recta, prostat, payudara, dan kolon (Astuti et al 2000). Selain itu, tempe mudah diperoleh karena Indonesia merupakan negara produsen tempe terbesar di dunia dan menjadi pasar kedelai terbesar di Asia. Jumlah produsen tempe di Indonesia hingga tahun 2011 yang telah terdaftar di KOPTI telah mencapai lebih dari 100.000 produsen yang tersebar di beberapa daerah seperti di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, NTB, Aceh, dan Lampung. Konsumsi tempe rata-rata per orang per tahun di Indonesia adalah sekitar 8.50 kg (SUSENAS 2009). Kandungan gizi pada tempe dapat dilihat pada tabel 1. Produk tempe akan dilapisi dengan batter kemudian digoreng dengan menggunakan metode deep fat frying dan dianalisis karakter fisik maupun kimianya pada penelitian ini.

(20)

4

Perumusan Masalah

Formulasi batter yang berbeda akan memengaruhi sifat reologi batter. Viskositas batter akan memengaruhi coating pick up dan mutu produk akhir lainnya seperti penampakan, tekstur, warna, flavor, berat dan volume. Batter diaplikasikan untuk melapisi produk atau substrat sebelum melalui proses penggorengan dengan menggunakan metode penggorengan deep fat frying pada suhu 180oC.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mempelajari pengaruh penambahan lima jenis pati dan tepung yang berbeda (tapioka, kentang, sagu aren, tepung beras dan dekstrin), pengaruh suhu pada sifat reologi dan viskositas dari batter berbahan dasar tepung terigu-pati jagung, serta mengetahui dan mempelajari kualitas dari tempe goreng yang telah dilapisi batter.

Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini bermanfaat untuk memperbaiki mutu produk goreng. Formulasi yang terbaik dan dapat diterima oleh panelis diharapkan dapat diperoleh dari hasil penelitian ini. Selain itu, diharapkan dari hasil penelitian ini diperoleh formulasi batter standar dengan perlakuan substitusi pati dan tepung sehingga dapat diterapkan dalam skala yang lebih besar seperti skala industri.

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan secara dua tahap. Tahap pertama dilakukan pada bulan Juni-Juli 2014 untuk menguji dan mengambil data sifat reologi batter berbahan dasar tepung terigu-pati jagung di laboratorium L2 untuk preparasi sampel dan di laboratorium Pengolahan Pangan untuk pengukuran shear rate, shear stress dan viskositas. Tahap kedua dimulai pada bulan Februari-Mei 2015 untuk mengambil data tentang aplikasi batter pada produk tempe yang digoreng dengan metode penggorengan deep fat frying.

(21)

masing-5 masing pada lima perlakuan waktu penggorengan yang berbeda (3 menit, 6 menit, 9 menit, 12 menit dan 15 menit). Pengukuran coating pick up dan cooking yield dilakukan di laboratorium Pilot Plant PAU, Seafast. Pelakasanaan evaluasi sensori dilakukan di laboratorium Evaluasi Sensori PAU, Seafast. Analisis proksimat, pengukuran kadar air dan kadar lemak dilakukan di laboratorium L3 dan Kimia Pangan, Departemen ITP (FATETA, IPB).

Alat

Alat yang digunakan untuk pembuatan dan analisis sifat reologi batter adalah wadah plastik, timbangan Shimadzu BX 62005, hand mixer Philip, gelas ukur, viskometer brookfield dengan spindle nomor 3. Alat yang digunakan untuk analisis tempe batter adalah oven, tanur, neraca analitik, kertas saring, kapas bebas lemak, desikator, termometer, penjepit cawan (gegep), perangkat soxhlet, labu lemak, perangkat kjeldahl, labu destilasi, kromameter Konica Minolta CR-310, deep fat fryer Model EF-88, termometer 200oC dan Texture Profile Analyzer TA-XT2i dengan probe silinder nomor 6.

Bahan

Bahan yang digunakan untuk membuat batter dan tempe batter adalah tepung terigu segitiga biru Bogasari, pati jagung atau maizena Maizenaku, garam Dolphin, CMC, baking powder, pati kentang dari supermarket Grand, dekstrin dari toko Setia Guna, tepung tapioka cap Nilasari, tepung Beras Rose Brand, sagu aren dari supermarket Grand, akuades, tempe Super Tempe, minyak goreng Sania. Bahan yang digunakan untuk analisis sampel adalah heksana, H2SO4 pekat, HgO,

K2SO4, larutan 60% NaOH-5% Na2S2O3, H2BO3 jenuh, HCl 0.02 N, batu didih,

air destilata dan indikator phenoftalein 1% (1 gram phenoftalein dalam 100 mL etanol).

Metodologi Penelitian

(22)

6

Formulasi Batter

Analisis sifat reologi batter

Aplikasi batter pada tempe (digoreng dengan metode deep fat frying)

Tapung terigu, maizena, garam, CMC, baking powder, tapioka, tepung beras, dekstrin, pati kentang, aren.

Analisis karakter fisik dan kimia tempe batter:

Coating Pick Up Cooking Yield Evaluasi Sensori Analisis Warna Analisis Tekstur Analisis Proksimat Analisis Kadar Air Analisis Kadar Lemak Analisis Statistik

(23)

7

Pembuatan Batter

Formulasi batter diperoleh dengan perbandingan padatan dan air sebesar 3:5. Padatan pada formulasi batter terdiri dari tepung terigu dan maizena dengan perbandingan jumlah yang sama (masing-masing 48.75%), CMC atau hidrokoloid sebesar 1.0%, garam sebesar 1.0%, bahan pengembang atau baking powder sebanyak 0.5%. Penambahan pati atau tepung lain pada formulasi adalah sebanyak 5.0% (dimana sebesar 2.5% untuk menggantikan tepung terigu dan 2.5% lagi untuk menggantikan maizena). Batter yang tidak menggunakan penambahan pati atau tepung lain digunakan sebagai kontrol. Bahan kering dicampur dengan air pada suhu ruang 30oC 1oC dengan menggunakan hand mixer kecepatan terendah selama 30 detik untuk memastikan semua bahan sudah tercampur sempurna.

Tabel 2 Formulasi Batter

Persiapan Tempe

Tempe digunakan sebagai produk yang akan dilapisi dengan batter. Tempe dipotong dengan ukuran 4x4 cm dan ketebalan 1.5 cm menggunakan pisau. Ketebalan tempe diseragamkan dengan menggunakan mikrometer (Mitutoya, Japan). Setiap tempe ditimbang sebelum dilapisi dengan batter.

Pelapisan dengan Batter

Tempe direndam di suspensi batter selama 10 detik kemudian ditiriskan selama 30 detik.

Tepung Beras

Pati Kentang

(24)

8

Proses Penggorengan

Sampel tempe yang telah dilapisi batter digoreng dengan menggunakan metode penggorengan terendam atau deep fat frying pada suhu 180oC.

Analisis Sampel

Sifat aliran dan time dependency batter dievaluasi dengan menggunakan viskometer Brookfield. Sifat aliran batter dievaluasi dengan mengukur perubahan shear stressseiring meningkatnya shear rate dari 0.3-60 1/s selama 300 detik. Time dependency batter dievaluasi dengan mengukur viskositas pada shear rate yang konstan (30 s-1 ) selama 300 detik. Selain itu, pengaruh suhu pada batter juga dievaluasi dengan menetapkan suhu analisis batter pada 10, 15, 20, 25 dan 30oC. Analisis pengaruh suhu pada batter dilakukan 1 jam setelah preparasi.

Setelah sampel tempe yang dilapisi dengan batter melalui proses penggorengan, minyak yang masih tersisa di permukaan sampel dikurangi dengan menggunakan paper towel dan ditiriskan sampai suhu ambien sebelum dilakukan analisis.

1.Coating Pick-Up

Coating Pick-Up adalah jumlah batter atau adonan yang melekat pada sampel setelah proses perendaman sampel pada batter (Dogan 2004). Tempe yang telah dilapisi batter masing-masing digoreng pada waktu 3, 6, 9, 12, dan 15 menit dan kemudian dihitung besar Coating Pick-Up. Perhitungan coating pick-up dapat dilakukan dengan rumus:

% Coating Pick-Up= x 100 Keterangan:

C = Berat tempe yang dilapisi dengan batter (gram) I = Berat tempe awal sebelum dilapisi batter (gram)

2. Cooking Yield

Cooking Yield dinyatakan sebagain indikator adhesi selama proses penggorengan terendam atau deep fat frying. Tempe yang telah dilapisi batter masing-masing digoreng pada waktu 3, 6, 9, 12, dan 15 menit dan kemudian dihitung besar Cooking yield dengan menggunakan rumus:

% Cooking Yield = x 100 Keterangan:

CW= Berat tempe batter yang sudah digoreng (gram)

C= Berat tempe yang dilapisi batter sebelum digoreng (gram)

3. Analisis Sensori(BSN 2006) (Meilgard et al 2007)

(25)

9 skala. Data dari hasil evaluasi sensori dianalsis dengan menggunakan analisa perbandingan jamak (Multiple Comparation) kemudian dilakukan uji lanjut dengan menggunakan Duncan’s Multiple Comparison. Sampel tempe batter yang dievaluasi sensori adalah tempe batter yang matang sempurna (proses penggorengan selama 15 menit).

4. Analisis Warna(Hutching 1999)

Sampel tempe batter dilakukan pengukuran warna dengan menggunakan kromameter Minolta CR-10 Japan menggunakan skala warna hunter L, a, b. Nilai L menyatakan lightness atau kecerahan dengan rentang nilai dari 0 (hitam) sampai 100 (putih). Nilai a menyatakan redness atau greenness dengan rentang nilai dari +60 sampai -60. Nilai b menyatakan yellowness atau blueness dengan rentang nilai dari +60 sampai -60. Analisis warna dilakukan terhadap sampel tempe batter yang digoreng sempurna (proses penggorengan selama 15 menit).

5. Analisis Tekstur

Analisis tekstur dilakukan terhadap sampel tempe batter yang digoreng sempurna (proses penggorengan selama 15 menit) dengan menggunakan TPA (Texture Profile Analyzer) TA-XT2i dengan probe silinder nomor 6. Parameter yang diperoleh dari hasil pengukuran adalah hardness, fracturability, elasticity dancohessiveness.

6. Analisis Kadar Air Metode Oven (AOAC 2005)

Sampel yang dianalisis kadar airnya adalah sampel tempe batter dengan semua perlakuan pati dan tepung yang masing-masing digoreng selama 3, 6, 9, 12, 15 menit. Langkah pertama untuk analisis kadar air adalah dengan mengeringkan cawan alumunium dalam oven selama 15 menit kemudian didinginkan dalam desikator selama 10 menit dan ditimbang (A). Sebanyak 1-2 gram sampel (B) ditempatkan ke dalam cawan kemudian dikeringkan dalam oven suhu 105oC selama 6 jam. Setlah di oven selama 6 jam, cawan dipindahkan ke dalam desikator dan didinginkan selama 15 menit kemudian ditimbang. Kadar air contoh dapat dihitung dengan persamaan berikut :

Kadar Air (%bb)= Kadar Air (%bk)= Keterangan :

bb = basis basah bk = basis kering

A= Bobot wadah setelah dioven (gram) B= Bobot sampel awal (gram)

(26)

10

7. Analisis Kadar Lemak(AOAC 2005)

Sampel yang dianalisis kadar lemaknya adalah sampel tempe batter dengan semua perlakuan pati dan tepung yang masing-masing digoreng selama 3, 6, 9. 12, 15 menit. Langkah analasis lemak adalah dengan menimbang sebanyak 2-5 gram sampel dimasukkan ke dalam kertas saring kemudian dikeringkan dalam oven bersuhu 105°C hingga kering. Kertas saring yang telah dikeringkan dimasukkan ke dalam selongsong dengan sumbat kapas. Selongsong kemudian dimasukan ke dalam alat ekstraksi soxhlet dan dihubungkan dengan kondensor dan labu lemak. Alat kondensor diletakkan di atasnya dan labu lemak yang telah ditimbang beratnya diletakkan di bawahnya. Pelarut hexana dimasukan ke dalam labu lemak secukupnya. Kemudian, dilakukan ekstraksi selama 6 jam. Pelarut yang ada dalam labu lemak didestilasi dan ditampung kembali. Labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC, didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Pengeringan diulangi hingga mencapai berat tetap. Kadar lemak dapat diperoleh dengan persamaan berikut :

Kadar Lemak (%bb)= 2005) seperti yang dijelaskan pada point 6 di atas, analisis kadar lemak (AOAC) seperti yang dijelaskan pada point 7 di atas, analisis kadar abu (AOAC 2005), analisis protein dengan metode Kjeldahl (AOAC 2005) dan analisis karbohidrat menggunakan metode by difference. Sampel tempe batter yang diuji proksimat adalah tempe batter dengan formulasi yang paling diterima oleh panelis berdasarkan uji sensori.

Analisis kadar abu menggunakan metode AOAC 2005. Pertama-tama, cawan porselen dan tutupnya dikeringkan di dalam oven selama 15 menit, lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang (A). Sebanyak 2-3 gram sampel (B) dimasukkan ke dalam cawan, kemudian dibakar hingga tidak berasap. Kemudian, dilakukan pengabuan di dalam tanur listrik pada suhu 400-600oC selama 4-6 jam hingga terbentuk abu berwarna putih dan memiliki bobot konstan. Abu berserta cawan didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang (C).

Kadar abu contoh dapat dihitung dengan persamaan berikut: Kadar Abu (%bb)=

Kadar Abu (%bk)= Keterangan:

(27)

11 B= Bobot sampel awal (gram)

C= Bobot sampel+cawan porselen setelah ditanur (gram)

Analisis protein dilakukan dengan menggunakan metode Kjeldahl (AOAC 2005). Analisis kadar protein dilakukan dengan 3 tahap, yaitu penghancuran, destilasi dan titrasi.Tahap penghancuran dilakukan dengan menimbang sebanyak 0,1-0.25 gram sampel kemudian dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl, lalu ditambahkan 1.0 ± 0.1 gram K2SO4, 40 ± 10 ml HgO, 2.0 ± 0.1 ml H2SO4dan 2-3

butir batu didih. Sampel didihkan dengan kenaikan suhu bertahap sampai cairan jernih kemudian didinginkan.

Tahap selanjutnya adalah tahap destilasi, pada tahap ini air destilata ditambahkan dalam jumlah kecil secara perlahan melalui dinding labu dan digoyang perlahan agar kristal yang terbentuk dapat larut kembali. Kemudian,isi labu dipindahkan ke dalam alat destilasi dan labu dibilas sebanyak lima sampai enam kali dengan 1-2 ml air destilata. Air bilasan labu dipindahkan ke labu destilasi dan ditambahkan 8-10 ml larutan 60% NaOH- 5% Na2SO3. Erlenmeyer

250 ml yang berisi 5 ml larutan H3BO3 dan 2-4 tetes indikator red-metilen blue,

diletakkan dibawah kondensor. Sampel didestilasi sampai diperoleh sekitar 15 ml destilat dan dilanjutkan pada tahap titrasi.

Tahap ketiga dalam analisis protein dengan metode Kjeldahl adalah tahap titrasi, pada tahap ini dilakukan standarisasi larutan HCl 0.02 N terlebih dahulu. Larutan HCl 0.02 N sebanyak 25 ml dipipet kedalam erlenmeyer 250 ml, lalu ditambahkan 2-3 tetes indikator fenolftalein 1%. Larutan HCl 0.02 N dititrasi dengan NaOH 0.02 N yang telah distandarisasi, sehingga dapat diketahui volume NaOH yang diperlukan untuk titrasi hingga menyebabkan perubahan warna larutan menjadi merah muda. Normalitas (N) larutan HCl dapat dihitung menggunakan rumus:

N HCl = (ml NaOH) x (N NaOH) ml HCl

Setelah dilakukan standarisasi larutan HCl 0.02 N, destilat diencerkan hingga kira- kira 50 ml, kemudian dipindah ke dalam erlenmeyer. Destilat dititrasi dengan HCl 0.02 N yang telah distandarisasi sampai terjadi perubahan warna menjadi abu-abu sehingga diperoleh volume HCl 0.02 N yang diperlukan untuk titrasi. Selain itu, dengan prosedur yang sama juga dilakukan penetapan volume HCl standar yang digunakan untuk titrasi blanko. Kadar protein contoh dapat

(28)

12

dan tepung yang berbeda pada formulasinya. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan faktorial. Jika terdapat data yang berbeda nyata antar

perlakuan, maka dilakukan uji lanjut Duncan’s Multiple Comparison Test (p

0.05) (SAS 1988).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengukuran Steady Shear

Sifat aliran batter dapat diketahui dengan berubahnya shear stress dan shear rate pada suhu yang tetap. Batter tergolong ke dalam cairan non-Newtonian. Reogram batter dengan perlakuan penambahan pati dan tepung (tepung beras, pati kentang, tapioka, sagu aren dan dekstrin) pada formula dasar batter dapat dilihat pada gambar 2a-2e. Formula batter yang digunakan sebagai kontrol hanya berbahan dasar tepung terigu dan pati jagung tanpa penambahan pati atau tepung lain. Pengukuran steady shear batter dilakukan dengan menyiapkan batter yang terdiri dari campuran tepung terigu dan pati jagung pada suhu 10, 15, 20, 25 dan 30oC, setelah satu jam persiapan sampel untuk memastikan pengembangan sempurna dari granula pati. Data reogram pengukuran steady shear batter diplotkan menjadi shear stress dan shear rate (0.3 sampai 60 s-1) seperti yang terdapat pada gambar 2a-2e. Berdasarkan hasil pengukuran, semua batter dari masing-masing formulasi menunjukkan sifat pseudoplastik. Substitusi tepung atau pati lain sebanyak 5% terhadap tepung terigu dan pati jagung akan menyebabkan peningkatan ataupun penurunan shear stress pada shear rate dan suhu yang sama. Pengukuran shear stress batter dengan penambahan pati dan tepung pada suhu rendah yaitu pada suhu 10oC menunjukkan bahwa batter tersebut memiliki shear stress yang lebih tinggi dari kontrol, kecuali batter dengan penambahan pati sagu aren dan dekstrin. Batter dengan penambahan tepung beras selalu meningkatkan nilai shear stress pada setiap perlakuan suhu.

0

(29)

13

Gambar 2 Reogram Batter yang Terbuat dari Campuran Berbagai Tepung pada Suhu: (a) 30°C; (b) 25°C; (c) 20°C; (d) 15°C dan (e) 10°C.

Berdasarkan data di atas, shear stress akan meningkat seiring dengan meningkatnya shear rate. Batter dengan formulasi penambahan pati dan tepung pada suhu 30oC menunjukkan bahwa batter dengan penambahan tepung beras

(b) Flow Behaviour: Shear rate and shear rate 25oC

CONTROL

(c) Flow Behaviour: Shear rate and shear rate 20oC CONTROL

(d) Flow Behaviour: Shear rate dan shear rate 15oC CONTROL

(30)

14

Viskositas semua jenis batter yang diplotkan pada masing-masing perlakuan suhu menunjukkan semakin tinggi suhu, maka viskositas batter semakin rendah (Gambar 3a-3e). Viskositas menurun dengan meningkatnya suhu dan shear rate. Penurunan viskositas dengan meningkatnya shear rate menunjukkan bahwa batter mengalami fenomena shear-thinning, sehingga sifat aliran batter dapat dimodelkan dengan menggunakan rumus Power Law, yaitu σ = K (γ)n, dimana σ = shear stress (Pa), γ = shear rate (s-1), K = consistency coefficient (Pa.sn), dan n = flow behaviour index. Batter dengan semua perlakuan penambahan pati dan tepung dapat dimodelkan dengan menggunakan rumus Power Law (r2 = 0.967 – 0.999). Nilai koefisien konsistensi batter berbahan dasar tepung terigu dan pati jagung tanpa penambahan pati dan tepung lain pada suhu 30oC memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan batter yang dilakukan penambahan pati dan tepung lain ke dalam formulasinya (Tabel 3). Berdasarkan hasil yang diperoleh, batter dengan penambahan pati dan tepung lain menunjukkan hasil yang lebih mendekati sifat Newtonian karena nilai n (behaviour index) mendekati 1, seperti pada batter dengan formulasi penambahan tepung beras (n=0.607).

(31)

15

(a) Flow Behaviour: Shear rate and apparent viscosity 30oC

(b): Flow Behaviour: Shear rate and apparent viscosity 25oC

(c) Flow Behaviour: Shear rate and apparent viscosity 20oC

(32)

16

Gambar 3 Viskositas Batter yang Terbuat dari Campuran Tepung pada Suhu: (a) 30°C; (b) 25°C; (c) 20°C; (d) 15°C dan (e) 10°C.

Berdasarkan hasil di atas, viskositas batter menurun dengan meningkatnya shear rate. Pengukuran pada suhu yang berbeda memberikan hasil yang berbeda pula. Viskositas batter dengan berbagai formulasi tidak jauh berbeda pada suhu 30oC, sedangkan pada suhu 25oC dan 20oC batter dengan formulasi penambahan tapioka memiliki nilai viskositas tertinggi dibandingkan dengan batter lainnya. Batter dengan perlakuan penambahan tepung beras pada suhu 15oC dan 10oC memiliki nilai viskositas yang tidak jauh berbeda dengan batter yang menggunakan perlakuan penambahan tapioka, kedua batter dengan perlakuan penambahan pati dan tepung tersebut memiliki nilai viskositas yang lebih tinggi dibandingkan dengan batter lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa batter dengan penambahan tapioka dan tepung beras memiliki viskositas yang lebih stabil pada pengukuran diberbagai perlakuan suhu. Semua batter menunjukkan sifat aliran pseudoplastik karena viskositas menurun dengan meningkatnya shear rate. Fenomena ini disebut dengan fenomena shear-thinning.

Power-Law model merupakan model yang tepat untuk mengetahui sifat aliran dari batter. Ketika rumus Power-Law dilinearkan serta Ln σ dan Ln γ diplotkan, maka nilai n (flow behavior index) dan nilai K (indeks konsistensi) dari batter dapat diketahui dari slope (kemiringan) dan intersep. Nilai konsistensi (K) dan flow behaviour (n) adalah parameter yang diperlukan untuk mengklasifikasikan jenis aliran, dimana viskositas memiliki nilai yang berbeda (khususnya cairan Non-Newtonian) pada shear stress dan shear rate yang berbeda. Nilai n yang semakin kecil menunjukkan bahwa cairan tersebut bersifat pseudoplastik, sedangkan nilai n yang semakin besar menunjukan bahwa cairan semakin bersifat dilatan. Viskositas aliran dari cairan non-Newtonian dapat dilihat berdasarkan nilai K, dimana semakin besar nilai K menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai viskositasnya.

(33)
(34)

18

Kadar Air Tempe Batter

Proses penggorengan menyebabkan penurunan kadar air produk pangan karena air yang berada pada permukaan maupun bagian dalam produk mengalami proses evaporasi. Pengukuran kadar air dilakukan pada tempe batter dengan perlakuan penambahan pati dan tepung, masing-masing pada waktu penggorengan 3, 6, 9, 12, dan 15 menit. Semakin lama waktu penggorengan, maka kadar air produk pangan akan semakin menurun (Gambar 4). Kadar air tempe yang dilapisi oleh batter dengan formulasi dasar atau kontrol memiliki nilai yang paling kecil dibandingkan dengan sampel lainnya, sedangkan tempe yang dilapisi oleh batter dengan perlakuan penambahan dekstrin memiliki kadar air yang paling tinggi di antara semua sampel. Target produk akhir yang diinginkan adalah produk yang bagian dalamnya tidak terlalu kering agar menghasilkan tekstur dalam produk yang juicy, jadi produk yang terlalu kering atau terlalu basah tidak diinginkan. Kadar air tempe batter dengan perlakuan penambahan tepung beras, tapioka, sagu aren dan pati kentang memiliki kadar air produk akhir yang nilainya sama, yaitu lebih tinggi dari kontrol dan lebih rendah dari perlakuan penambahan dekstrin. Tempe batter kontrol mengalami kehilangan air paling besar diantara tempe batter lainnya, hal ini berarti bahwa batter dengan formulasi kontrol memiliki kemampuan melapisi produk yang kurang baik. Penambahan pati dan tepung dapat meningkatkan daya pelapisan batter terhadap produk dan dapat menurunkan kehilangan air berlebih pada produk. Hal ini dapat berhubungan dengan viskositas batter dengan perlakuan penambahan tepung beras dan tapioka memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan batter kontrol, sehingga batter dengan penambahan tapioka dan tepung beras memiliki daya pelapisan yang lebih baik terhadap produk.

(35)

19 kemampuan emulsifikasi yang dihasilkan dari sisi hidrofilik dan lipofilik dari rantai protein (Mohamed et al 1998).

Kadar Lemak Tempe Batter

Pengukuran kadar lemak dilakukan pada tempe batter dengan perlakuan penambahan pati dan tepung, masing-masing pada waktu penggorengan 3, 6, 9, 12, dan 15 menit. Semakin lama waktu penggorengan, maka penyerapan minyak goreng ke dalam produk pangan akan semakin meningkat. Penyerapan minyak goreng ke dalam produk dapat dilihat dari kadar lemaknya. Kadar lemak yang rendah menunjukkan kemampuan batter dalam mencegah penyerapan minyak berlebih ke dalam produk selama proses penggorengan. Jika penyerapan minyak berlebih ke dalam produk dapat dicegah, kadar air bahan pangan dapat dipertahankan, sehingga produk tidak terlalu kering. Penambahan tepung beras ke dalam formulasi batter mampu menurunkan penyerapan minyak goreng selama proses penggorengan. Hal ini ditunjukkan oleh kadar lemaknya yang lebih rendah dibandingkan tempe dengan formulasi batter lainnya (Gambar 5). Penambahan tepung beras pada batter mampu membentuk crust yang dapat menjadi pembatas atau barrier untuk mencegah kehilangan air, sehingga dapat mencegah penyerapan minyak ke dalam produk (Shih dan Daigle 1999). Tepung beras memiliki kemampuan untuk mengikat air yang tinggi sehingga dapat mengendalikan kehilangan air pada produk. Oleh sebab itu, penyerapan minyak ke dalam produk dapat dicegah. Viskositas tepung beras yang tinggi juga efektif untuk mencegah penyerapan minyak berlebih ke dalam produk (Saguy 2003).

Tempe yang dilapisi batter dengan penambahan pati kentang memiliki kadar lemak tertinggi dibandingkan semua tempe dengan formulasi batter lainnya (Gambar 5). Hal ini dapat disebabkan oleh granula pati kentang yang berukuran besar sehingga sulit larut dalam suspensi batter yang menyebabkan viskositas batter dengan penambahan pati kentang ini memiliki nilai yang rendah, dengan demikian persentase coating pick-up juga rendah. Oleh sebab itu, batter dengan penambahan pati kentang tidak mampu melapisi produk dengan baik atau menjadi barrier yang baik bagi produk, sehingga produk kehilangan banyak air dan meningkatkan penyerapan minyak.

(36)

20

Pengukuran Coating Pick-Up Batter

Jumlah batter yang melekat pada sampel setelah proses perendaman sampel pada batter dinyatakan sebagai coating pick-up yang dinyatakan dalam persen (%). Persentase coating pick-up batter dengan berbagai perlakuan penambahan pati dan tepung yang digoreng selama 3, 6, 9, 12 dan 15 menit tidak berbeda secara signifikan, yaitu berada dikisaran 1-2% (Gambar 6). Coating pick-up erat kaitannya dengan viskositas batter. Semakin rendah viskositas batter, maka persentase coating pick-up akan semakin rendah. Peresentase coating pick-up yang rendah, akan menyebabkan menurunnya kemampuan batter untuk mencegah oil uptake berebih selama proses penggorengan. Batter dengan viskositas yang tinggi diharapkan memiliki coating pick-up yang tinggi pula, sehingga dapat mencegah penyerapan minyak berlebih ke dalam produk (Sahin et al 2005). Viskositas batter yang tertinggi adalah batter dengan perlakuan penambahan tepung beras dan tapioka, maka seharusnya persentase coating pick-up tertinggi adalah batter dengan perlakuan penambahan tepung beras ataupun tapioka. Namun, hasil yang diperoleh tidak berbeda nyata. Hal ini dapat disebabkan oleh penambahan konsentrasi pati dan tepung ke dalam formulasi batter sebanyak 5% belum menghasilkan persentase coating pick-up yang signifikan. Persentase coating pick-up yang tidak berbeda nyata ini menyebabkan kemampuan batter dalam menngendalikan kehilangan air berlebih pada produk dan penyerapan minyak berlebih ke dalam produk juga tidak berbeda nyata pula.

Gambar 6 Persentase Coating Pick-Up Batter dengan Berbagai Perlakuan Penambahan Pati dan Tepung pada Formulasinya.

Pengukuran Cooking Yield Batter

(37)

21 penggorengan, maka semakin rendah persentase cooking yield yang diperoleh. Persentase cooking yield pada waktu penggorengan tiga menit berkisar di 40%, sedangkan persentase cooking yield pada waktu penggorengan 15 menit berkisar di 30% (Gambar 7). Penurunan cooking yield pada waktu penggorengan tiga menit pertama terjadi akibat adanya penguapan air secara drastis. Penurunan persentase cooking yield setelah waktu pengggorengan selama tiga menit menurun sedikit demi sedikit. Hal ini dapat disebabkan oleh telah terbentuknya kerak atau crust pada permukaan produk setelah tiga menit berlangsungnya proses penggorengan, sehingga fungsi pelapisan atau barrier dari batter sudah mulai berfungsi, yang menyebabkan penurunan persentase cooking yield setelah lama penggorengan tiga menit tidak drastis. Penurunan persentase cooking yield ini menunjukkan bahwa jumlah air pada produk pangan yang menguap lebih besar dibandingkan dengan jumlah minyak yang terserap ke dalam produk selama proses penggorengan.

Persentase cooking yield tidak berbeda nyata satu sama lain, kecuali persentase cooking yield tempe batter dengan perlakuan penambahan dekstrin pada waktu penggorengan 12 menit. Sampel dengan batter yang menggunakan perlakuan penambahan dekstrin yang digoreng selama 12 menit ini memiliki persentase cooking yield terendah dibandingkan sampel semua perlakuan penambahan pati atau tepung lainnya (Gambar 7). Hal ini disebabkan oleh struktur alami dekstrin yang tidak memiliki granula sehingga tidak dapat mengikat air atau memiliki water bonding capacity yang rendah (Sahin et al 2005). Retensi kandungan air yang semakin tinggi pada produk yang digoreng dan penurunan penyusutan produk, akan meningkatkan persentase cooking yield produk (Duxburry 1989).

Gambar 7 Persentase Cooking Yield Batter dengan Perlakuan Penambahan Pati dan Tepung pada Formulasinya.

Pengukuran Tekstur Tempe Batter

Tekstur tempe batter dengan perlakuan penambahan pati dan tepung ke dalam formulasi diukur dengan menggunakan grafik TPA (Texture Profile Analysis) pada alat texture analyzer. Pengukuran tekstur dilakukan pada tempe

(38)

22

batter dengan perlakuan penambahan pati dan tepung, masing-masing digoreng matang selama 15 menit. Parameter yang dapat diperoleh dari hasil pengukuran menggunakan TPA adalah kekerasan (hardness), kerapuhan (fracturability), elastisitas dan cohessiveness (Gambar 8-11). Indikator utama yang menunjukkan kerenyahan produk adalah kerapuhan dan kekerasan, sedangkan parameter elastisitas adalah parameter yang menunjukkan kemampuan produk untuk kembali ke bentuknya semula setelah terjadi proses deformasi. Cohessiveness menunjukkan daya kohesif atau interaksi internal produk.

Tempe yang dilapisi batter dengan formulasi penambahan tepung beras memiliki nilai kerapuhan tertinggi (Gambar 8). Hal ini menunjukkan bahwa penambahan tepung beras pada formulasi batter mampu meningkatkan kerenyahan produk. Viskositas dan coating pick-up yang tinggi juga menghasilkan batter dengan kerenyahan yang baik. Namun, formulasi batter dengan penambahan tepung beras, dekstrin, sagu aren dan formulasi kontrol tidak berbeda secara signifikan. Penambahan pati kentang pada formulasi batter menghasilkan produk dengan nilai kerapuhan yang rendah. Hal ini disebabkan oleh rendahnya nilai viskositas dan coating pick-up batter, sehingga batter dengan formulasi ini tidak mampu melapisi produk dengan baik. Nilai kerapuhan yang tinggi juga menunjukkan bahwa produk mudah hancur.

Tempe yang dilapisi dengan berbagai perlakuan penambahan pati dan tepung sebanyak 5% ke dalam formulasi batter memiliki nilai kekerasan yang tidak berbeda nyata satu sama lain. Viskositas batter yang tinggi menyebabkan persentase coating pick-up yang tinggi, bersama dengan properti pembentuk film akan meningkatkan kekerasan dan menghasilkan crust yang renyah selama proses penggorengan (Dogan 2004).

(39)

23

Gambar 8 Tekstur Kerapuhan Tempe Batter dengan Perlakuan Penambahan Pati dan Tepung ke dalam Formulasinya.

Gambar 9 Tekstur Kekerasan Tempe Batter dengan Perlakuan Penambahan Pati dan Tepung ke dalam Formulasinya.

Gambar 10 Tekstur Elastisitas Tempe Batter dengan Perlakuan Penambahan Pati dan Tepung ke dalam Formulasinya.

331,4000 a

583,2500 ab

817,9000 b 883,5500 b

959,6000 b 1018,5500 b

Kentang Tapioka Kontrol Aren Dekstrin Beras

1018,5500 a 1130,0000

a 1249,0000

a 1297,6000 a 1339,9500

a 1387,8000 a

Beras Kentang Tapioka Dekstrin Kontrol Aren

0,631750 a 0,661300 a 0,685700 a

1,009100 a 1,058700 a 1,079750 a

(40)

24

Gambar 11 Tekstur Cohessiveness Tempe Batter dengan Perlakuan Penambahan Pati dan Tepung ke dalam Formulasinya.

Analisis Warna Tempe Batter

Warna tempe batter diukur dengan menggunakan skala Hunter L, a dan b. Analisis warna dilakukan pada tempe batter dengan perlakuan penambahan pati dan tepung, masing-masing digoreng matang selama 15 menit. Pengukuran warna tempe batter ini bertujuan untuk melihat efek yang diberikan oleh penambahan pati dan tepung ke dalam formulasi batter terhadap warna produk akhir. Nilai L, a dan b dapat dilihat pada gambar 12-14. Penambahan pati dan tepung ke dalam formulasi batter menghasilkan kecerahan produk akhir yang berbeda satu sama lain secara signifikan, kecuali perlakuan penambahan pati kentang dan tapioka. Kecerahan produk akhir dilihat berdasarkan nilai L pada skala Hunter L, a, b. Penambahan tapioka ke dalam formulasi batter menghasilkan produk dengan kecerahan tertinggi, sedangkan penambahan dekstrin ke dalam formulasi batter menghasilkan produk yang berwarna gelap atau kecerahan terendah (Gambar 12). Hal ini disebabkan oleh tapioka yang berasal dari ekstraksi pati singkong yang melewati tahap pemucatan atau bleaching sehingga menghasilkan warna yang cerah, sedangkan dekstrin merupakan oligosakarida hasil pemecahan pati sehingga menyebabkan reaksi Maillard yang tinggi sehingga produk akhir berwarna lebih gelap atau nilai L (kecerahan) rendah. Nilai a pada skala Hunter memiliki rentan nilai dari -60 (hijau) hingga +60 (merah). Perlakuan penambahan berbagai jenis pati dan tepung ke dalam formulasi batter menghasilkan nilai a yang berbeda secara signifikan satu sama lain, kecuali tempe yang dilapisi batter dengan perlakuan penambahan pati kentang dan tapioka. Secara keseluruhan, nilai a tempe batter bernilai positif (Gambar 13). Penambahan dekstrin pada formulasi batter menghasilkan produk akhir yang memiliki nilai a paling tinggi, sedangkan penambahan pati kentang pada formulasi batter menghasilkan produk akhir yang memiliki nilai a terendah. Nilai b pada skala Hunter Lab memiliki rentan nilai -60 (biru) hingga +60 (kuning). Secara keseluruhan, semua tempe batter memiliki nilai positif. Nilai b antar tempe batter semua perlakuan berbeda secara signifikan satu sama lain, kecuali perlakuan penambahan tepung beras dan formulasi kontrol yang tidak berbeda secara signifikan (Gambar 14). Tempe yang dilapisi batter dengan penambahan pati kentang ke dalam fromulasinya memiliki nilai b tertinggi,

0,304800 a

0,372650 ab 0,385600 ab 0,411550 ab

0,483600 ab 0,530750

b

(41)

25 sedangkan penambahan dekstrin ke dalam formulasi batter menghasilkan produk akhir dengan nilai b terendah karena berwarna gelap.

Gambar 12 Nilai L (Skala Hunter Lab) pada Pengukuran Warna Tempe Batter dengan Semua Perlakuan Penambahan Pati dan Tepung ke dalam Formulasinya.

Gambar 13 Nilai a (Skala Hunter Lab) pada Pengukuran Warna Tempe Batter dengan Semua Perlakuan Penambahan Pati dan Tepung ke dalam Formulasinya.

Gambar 14 Nilai b (Skala Hunter Lab) pada Pengukuran Warna Tempe Batter dengan Semua Perlakuan Penambahan Pati dan Tepung ke dalam Formulasinya.

38,1150a 40,5700 b

48,3700c 49,8150d

59,0900e 59,2500e

Dekstrin kontrol Beras Aren Kentang Tapioka

11,5600 a 11,7250 a 12,9950

b 14,6800

c

17,9050 d 18,6500 e

Kentang Tapioka Beras Aren kontrol Dekstrin

26,0200 a 27,5450 b 27,9450 b

30,8500 c 33,4850

d 34,3500 e

(42)

26

Evaluasi Sensori Tempe Batter

(43)

27 Secara keseluruhan, tempe yang dilapisi batter dengan perlakuan penambahan pati kentang ke dalam formulasinya adalah yang paling disukai panelis. Hal ini dapat dilihat pada skala ratingnya yang memiliki nilai tertinggi dibandingkan dengan tempe batter perlakuan lainnya (Gambar 19). Tempe batter dengan formulasi terbaik, diuji kandungan gizinya dengan melakukan analisis proksimat yaitu analisis kadar air, kadar abu, protein, lemak dan karbohidrat. Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil analisis,tempe batter dengan perlakuan penambahan pati kentang memiliki kadar air 32.03%, kadar abu 0.86%, lemak 20.14%, protein 22.26% dan karbohidrat 24.71% (Tabel 4). Jika dibandingkan dengan komposisi kimia tempe mentah (tabel 1), maka tempe batter dengan perlakuan penambahan pati kentang memiliki kadar air yang lebih rendah dibandingkan tempe mentah karena tempe batter melalui proses penggorengan yang mengeluarkan sebagian besar air pada produk. Tempe batter dengan perlakuan penambahan pati kentang juga memiliki kadar karbohidrat dan protein yang lebih tinggi dibandingkan dengan tempe mentah. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya tambahan kandungan karbohidrat dan protein yang berasal dari pati dan tepung yang digunakan pada formulasi batter.

Gambar 15 Data Hasil Evaluasi Sensori Atribut Warna Tempe Batter Menggunakan Uji Rating Hedonik.

Gambar 16 Data Hasil Evaluasi Sensori Atribut Kerapuhan Tempe Batter Menggunakan Uji Rating Hedonik.

3,73a

5,19b 5,76

c 5,79c 5,95cd 6,48d

Dextrin Tapioka Beras Aren Kontrol Kentang

4,60a

5,65b 5,76b 5,76b 6,08b 6,15b

(44)

28

Gambar 17 Data Hasil Evaluasi Sensori Atribut Kekerasan Tempe Batter Menggunakan Uji Rating Hedonik.

Gambar 18 Data Hasil Evaluasi Sensori Atribut “Oily Taste” Tempe Batter Menggunakan Uji Rating Hedonik.

Gambar 19 Data Hasil Evaluasi Sensori untuk Preferensi Kesukaan Panelis secara Keseluruhan Tempe Batter Menggunakan Uji Rating Hedonik.

4,91a 5,51

b 5,68b 5,95bc 6,08

bc 6,40c

Tapioka Kontrol Dextrin Beras Aren Kentang

4,99a 5,03a 5,51b 5,64

b 5,71b 5,71b

Dextrin Tapioka Beras Aren Kentang Kontrol

4,76a 5,12a

5,73b 5,83bc 6,08bc 6,31c

(45)

29 Tabel 4 Data Analisis Proksimat Tempe Batter dengan Perlakuan Penambahan

Pati Kentang ke dalam Formulasi Batter.

Komponen Kadar (%)

Penambahan jenis pati dan tepung yang berbeda ke dalam formulasi batter memberikan efek yang berbeda-beda terhadap parameter reologinya. Berdasarkan hasil analisis, semua suspensi batter tergolong ke dalam cairan Non-Newtonian dan dapat dimodelkan dengan Power-Law model serta memiliki perilaku shear-thinning. Penambahan tepung beras dan tapioka ke dalam formulasi batter dapat meningkatkan viskositas batter, sedangkan penambahan sagu aren dan dekstrin ke dalam formulasi batter menyebabkan viskositas batter cenderung menurun. Secara alami, dekstrin tidak memiliki granula, sehingga daya serap air yang dihasilkan oleh dekstrin lebih rendah dibandingkan dengan pati dan tepung lainnya, sehingga formulasi batter dengan penambahan dekstrin memiliki lebih banyak air bebas yang menyebabkan viskositas batter memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan viskositas batter dengan perlakuan lainnya.

Viskositas batter yang tinggi akan menyebabkan tingginya persentase coating pick-up dan cooking yield. Namun, menurut hasil yang diperoleh persentase coating pick-up dan cooking yield antar sampel tidak berbeda secara signifikan. Meskipun demikian, efek dari penambahan tepung beras ke dalam formulasi batter dapat dilihat pada kadar lemak produk akhir yang rendah. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan penambahan tepung beras ini mampu mengendalikan penguapan air dan penyerapan minyak pada produk sehingga kadar lemak produk akhir lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Proses penggorengan terbukti efektif untuk menurunkan kadar air produk pangan sehingga produk bisa memiliki umur simpan yang lebih lama.

(46)

30

Saran

(47)

31

DAFTAR PUSTAKA

AOAC. 1984. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical Chemists, 14th edn. Arlington, VA.

[AOAC] Association of Official Analytical Chemistry. 2005. Official Method of Analysis. Washington DC(US): AOAC.

Altunakar B. 2003. Functionality of different batters in deep-fat fried chicken nuggets. Middle East: Middle East Technical University (METU).

Astuti M, Andreanyta M, Dalais SF, Wahlqvist ML. 2000. Tempe, a Nutritious and Healthy Food from Indonesia. Asia Pacific J Clin Nutr. 9(4): 322-325. Chang CN, S Dus dan JI Kokini. 1996. Measurement and Interpretation of Batter

Rheological Properties, hlm. 199-226. Di dalam K.Kulp dan R. Loewe, editor, Batter and Breadings in Food Processing. USA: American Association of Cereal Chemists. hlm 276.

Cunningham FE dan Suderman DR. 1981. The effect of freezing broiler drumsticks on breading adhesion. J. Food Sci. 46:1953-1955.

Direktorat Gizi Depkes RI. 1992. Komposisi Kimia Tempe. Jakarta: Depkes RI. Dogan SF. 2004. Effects of Different Batter Formulations on Quality of Deep-Fat

Fried Chicken Nuggets. Middle East: Graduate School of Natural and Applied Sciences.

Duxburry DD. 1989. Oil water barrier properties enhanched in fried foods. J. Food Processing. 50(20):66-67.

Fiszman SM dan Salvador A. 2003. Recent development in coating batters. J. Of Agr and Food Chem. 13: 10-12.

Hsia HY, Smith DM, Steffe JF. 1992. Rheological properties and adhesion characteristics of flour-based batters for chicken nuggets as affected by three hydrocolloids. J. Food Sci. 57:16-19, 24.

Loewe R. 1993. Role of ingredients in batter systems. Cereal Foods World 38:673–677.

Loewe R. 1990. Ingredient selection for batter systems. Di dalam: Kulp K, Loewe R, editor, Batters and Breadings in Food Processing. St. Paul: Minn. AAAC. hlm 11-28.

Lyderson AL. 1983. Mass Transfer in Engineering Practice. New York: John Willey and Sons.

McWatters KH. 1978. Cookie baking properties of defatted peanut, soybean and field pea flours. Cereal Chemistry, 55(6):853-863.

Meilgard, et al. 2007. Sensory Evaluation Techniques Third Edition. New York: CRC Press.

Meyers MA. 1989. Reduction of oil in batter and breaded fried foods using methylcellulose and hydroxypropyl methylcellulose. J. Food Tech. 43:166. Mir-Bel J, Oria R, dan Salvador ML. 2012. Influence of temperature on heat

transfer coefficient during moderate vacuum deep-fat frying. J. of Food Eng, 113:167-176.

Mohamed S, Hamid NA, Hamid MA . 1998. Food components affecting the oil absorption and crispiness and fried batter. J. Sci Food Agric, 78:39-45.

(48)

32

Barrufet MA, editor, Deep-Fat Frying Fundamentals and Applications. USA: Aspen publishers Inc. hlm 350.

Rao MA. 1977. Rheology of liquid foods. J. of Texture Studies. 8: 135-168. Rice P dan Gamble M. 1989. Modeling moisture loss during potato slice frying.

International J. of Food Sci and Tech. 24: 183-187.

Saguy IS, dan Dana D. 2003. Intergrated approach to deep fat frying: engineering, nutrition, health and consumer aspects. J. of Food Eng, 14:399-407.

Sahin S, Sastry SK, Bayindirh L. 2000. Combined effects of frying parameters on oil content on moisture levels in french fries. J. Food Sci Tech. 37(5):557-560. Sahin S,Sumnu G, Altunakar B. 2005. Effects of batters containing different gum

types on the quality of deep-fat fried chicken nuggets. J. Sci. Food Agric85:2375–2379.

SAS. 1988. SAS User’s Guide Statistics. Raleigh, NC: SAS Institute Inc.

Singh R, Singh G, dan Chauhan GS. 1996. Effect of incorporation of defatted soy flour on the quality of biscuits. J. of Food Sci and Tech. 33(4):355-357.

Shih F dan Daigle K. 1999. Oil uptake properties of fried batters from rice flour. J. Of Agric and Food Chem, 85:2375-2379.

Shirai K dan Ramirez JCR. 2010. Utilization of Fish Processing By-products for Bioactive Compounds. Di dalam: Hall GM, editor. Fish Processing: Sustainability and New Opportunities. Volume 10. Preston (UK): Wiley Blackwell.

[SUSENAS] Survei Konsumsi Nasional. 2009. Data Konsumsi Kedelai Nasional. Jakarta (ID): Badan Pusat Statistik.

(49)

33

LAMPIRAN

Lampiran 1 Grafik TPA Tempe Batter

Grafik TPA tempe batter, kode: aren ulangan 1 (kiri) dan 2 (kanan)

Grafik TPA tempe batter, kode: berasulangan 1 (kiri) dan 2 (kanan)

Grafik TPA tempe batter, kode: dekstrinulangan 1 (kiri) dan 2 (kanan)

(50)

34

Grafik TPA tempe batter, kode: kontrolulangan 1 (kiri) dan 2 (kanan)

(51)

35 Lampiran 2 Gambar Produk Tempe Batter

2a. Tempe Batter Perlakuan Penambahan Sagu Aren yang digoreng Selama 3, 6, 9, 12 dan 15 Menit (dari Kiri ke Kanan)

2b. Tempe Batter Perlakuan Penambahan Tepung Beras yang digoreng Selama 3, 6, 9, 12 dan 15 Menit (dari Kiri ke Kanan)

2c. Tempe Batter Perlakuan Penambahan Pati Kentang yang digoreng Selama 3, 6, 9, 12 dan 15 Menit (dari Kiri ke Kanan)

(52)

36

2e. Tempe Batter Perlakuan Penambahan Dekstrin yang digoreng Selama 3, 6, 9, 12 dan 15 Menit (dari Kiri Atas ke Kanan Atas dan dari Kiri Bawah ke Kanan Bawah)

(53)

37 Lampiran 3 Form Kuesioner SensoriUji Rating Hedonik terhadap Sampel Tempe

Batter

SENSORY EVALUATION FORM

Please fill the form before you evaluate the product.

Product: Battered Tempeh

Name : Age :

Date :

Direction:

- In front of you, presented 6 samples of battered tempeh.

- Do the evaluation for each sample based on the hardness, fracturability, color, oily taste and overall acceptability.

- Write down your respond in the table below based on 9-hedonic scales as follows: 9= Like extremely

8=Like very much 7= Like moderately 6= Like slightly

5= Neither like nor dislike 4= Dislike slightly

3= Dislike moderately 2= Dislike very much 1= Dislike extremely

- Evaluate for each sample and do not compare between the samples.

- Netralised your mouth with mineral water before evaluate the sample.

- Do in the same way until all samples evaluated.

Attribute Sample Code

132 213 354 426 512 632

(54)

38

Lampiran 4 Output ANOVA dan Uji Lanjut Duncan 4a. Output SPSS data coating pick-up

Between-Subjects Factors

N

pati_tepung

Aren 10

Beras 10

dekstrin 10

kentang 10

kontrol 10

tapioka 10

Waktu

3 12

6 12

9 12

12 12

(55)

39

Descriptive Test

Dependent Variable: coating_pickup

pati_tepung Waktu Mean Std. Deviation N

(56)

40

Levene's Test of Equality of Error Variancesa

Dependent Variable: coating_pickup

F df1 df2 Sig.

. 29 30 .

Tests the null hypothesis that the error variance of the

dependent variable is equal across groups.

a. Design: pati_tepung + waktu + pati_tepung * waktu

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: coating_pickup

Source Type III Sum of

Squares

Df Mean Square F Sig.

Model 102,232a 30 3,408 727,007 ,000

pati_tepung ,009 5 ,002 ,383 ,857

Waktu ,042 4 ,011 2,255 ,087

pati_tepung * waktu ,032 20 ,002 ,344 ,992

Error ,141 30 ,005

Total 102,372 60

a. R Squared = ,999 (Adjusted R Squared = ,997)

Estimated Marginal Means

1. Grand Mean

Dependent Variable: coating_pickup

Mean Std. Error 95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

1,305 ,009 1,287 1,323

Total

3 1,327350 ,0607276 12

6 1,343983 ,0875642 12

9 1,290108 ,0589906 12

12 1,272475 ,0322627 12

15 1,290025 ,0255188 12

(57)

41

3. waktu

Dependent Variable: coating_pickup

waktu Mean Std. Error 95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

3 1,327 ,020 1,287 1,368

6 1,344 ,020 1,304 1,384

9 1,290 ,020 1,250 1,330

12 1,272 ,020 1,232 1,313

15 1,290 ,020 1,250 1,330

4. pati_tepung * waktu

Dependent Variable: coating_pickup

pati_tepung Waktu Mean Std. Error 95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

Aren

3 1,279 ,048 1,180 1,377

6 1,333 ,048 1,235 1,432

9 1,291 ,048 1,192 1,390

12 1,277 ,048 1,178 1,375

15 1,279 ,048 1,180 1,377

Beras

3 1,346 ,048 1,247 1,445

6 1,351 ,048 1,252 1,450

9 1,363 ,048 1,264 1,462

12 1,288 ,048 1,189 1,387

15 1,293 ,048 1,194 1,392

2. pati_tepung

Dependent Variable: coating_pickup

pati_tepung Mean Std. Error 95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

Aren 1,292 ,022 1,247 1,336

Beras 1,328 ,022 1,284 1,372

Dekstrin 1,302 ,022 1,258 1,346

Kentang 1,292 ,022 1,248 1,336

Kontrol 1,308 ,022 1,264 1,352

(58)

42

3 1,374 ,048 1,275 1,473

6 1,327 ,048 1,228 1,425

9 1,270 ,048 1,172 1,369

12 1,257 ,048 1,158 1,356

15 1,282 ,048 1,184 1,381

Kentang

3 1,287 ,048 1,188 1,386

6 1,327 ,048 1,229 1,426

9 1,273 ,048 1,175 1,372

12 1,288 ,048 1,189 1,387

15 1,285 ,048 1,186 1,384

Kontrol

3 1,315 ,048 1,217 1,414

6 1,390 ,048 1,291 1,489

9 1,250 ,048 1,151 1,349

12 1,281 ,048 1,182 1,380

15 1,302 ,048 1,203 1,401

Tapioka

3 1,364 ,048 1,265 1,463

6 1,336 ,048 1,237 1,434

9 1,293 ,048 1,194 1,392

12 1,245 ,048 1,146 1,344

(59)

43

Post Hoc Tests pati_tepung

Homogeneous Subsets

coating_pickup

Duncan

pati_tepung N Subset

1

Aren 10 1,291600

Kentang 10 1,292050

Dekstrin 10 1,301980

Tapioka 10 1,307380

Kontrol 10 1,307750

Beras 10 1,327970

Sig. ,306

Means for groups in homogeneous subsets are

displayed.

Based on observed means.

The error term is Mean Square(Error) = ,005.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size =

10,000.

b. Alpha = ,05.

waktu

Homogeneous Subsets

coating_pickup

Duncan

Waktu N Subset

1 2

12 12 1,272475

15 12 1,290025 1,290025

9 12 1,290108 1,290108

3 12 1,327350 1,327350

6 12 1,343983

(60)

44

4b. Output SPSS Data Cooking Yield

Univariate Analysis of Variance

pati_tepung Waktu Mean Std. Deviation N

Gambar

Tabel 1  Komposisi Kimia dalam 100 gram Tempe Kedelai (Direktorat Gizi
Gambar  1 Tahapan Penelitian Tempe Batter
Gambar  2  Reogram Batter yang Terbuat dari Campuran Berbagai
Gambar  3  Viskositas Batter yang Terbuat dari Campuran Tepung pada
+7

Referensi

Dokumen terkait

Perlakuan es krim kontrol memiliki tekstur creamy dan lembut, berbeda dengan es krim dengan penambahan berbagai jenis bekatul beras dan ketan yang memiliki

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa perlakuan taraf penambahan tepung kunyit dan umur berbeda memberikan jumlah bakteri coliform dan konsistensi feses yang

Penambahan level tepung tapioka dan tepung daun pepaya (Carica papaya. L) yang diolah mengunakan teknik yang berbeda dalam pembuatan wafer ransum komplit diharapkan

Rataan kandungan protein kasar (PK) pellet unggas dengan penambahan level konsentrasi tepung daun pepaya yang berbeda masing-masing perlakuan dapat dilihat