TINGKAT PENERAPAN PENGENDALIAN HAMA
TERPADU
OLEH PETANI
(Kasus Petani Padi Sawah Di Desa Purwasari, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)
OLEH
:ELLYA ROSA
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ABSTRAK
ELLYA ROSA. 2002. " Tingkat Penerapan Pengendalian Hama Terpadu oleh
Petani (Kasus Petani Padi Sawah di Desa Purwasari, Kecamatan Dramaga,
Kabupaten Bogor, Jawa Barat)." Di bawah bimbingan ISMAIL PULUNGAN
sebagai Ketua, BASITA GINTING, S, dan RICHARD
W.E.
LUMINTANGsebagai anggota.
Perlindungan tanaman dengan menggunakan pestisida telah menimbulkan dampak negatif antara lain pencemaran lingkungan (tanah air, udara, tanaman dan lingkungan hidup lainnya). Pengendalian Hama Terpadu (PHT) merupakan suatu konsep dan program pemerintah dalam perlindungan tanaman dengan menggunakan empat prinsip manajemen, yaitu budidaya tanaman sehat, pengamatan mingguan, melestrarikan m u d alami dan penguasaan teknologi PHT oleh petani. Penelitian tentang Tingkat Penerapan Pengendalian Hama Terpadu oleh Petani bertujuan untuk mengkaji sejauhmana tingkat penerapan PHT oleh petani, faktor-faktor yang
berhubungan dengan tingkat penerapan
PHT
dan mengkaji perbedaan tingkatpenerapan PHT antara petani anggota kelompok tani dan petani non anggota kelompok tani.
Penelitian dilakukan pada bulan April
-
Mei 2002 di Desa Pwasari,Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. Rancangan penelitian yang digunakan
adalah survai dengan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data, dengan pengambilan sampel secara "simple random sampling", sebanyak 50 orang petani anggota kelompok tani dan 50 orang petani non anggota kelompok tani Analisis data
secara kuantitatif dengan uji korelasi peringkat Spearmann dan uji komperatif Man.-
Whitney serta didukung dengan analisa kualitatx
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat penerapan PHT oleh petani anggota kelompok tani di lokasi penelitian berada pada kategori tinggi, sedangkan petani non anggota pada kategori sedang. Faktor yang berhubungan nyata dengan tingkat penerapan PHT oleh petani anggota kelompok t a d adalah pendidikan formal, pendidikan non formal, kekosmopolitan, keuntungan relatif; kesesuaian, tingkat kerurnitan, kemudahan untuk dicoba, dan kemudahan untuk diamati, sedangkan oleh petani non anggota pada kemudahan untuk dicoba. Perbedaan nyata antara petani anggota kelompok tani dan non anggota kelompok tani adalah pendidikan non formal penguasan luas lahan, kekosmopolitan, keuntungan relatifj kemudahan untuk dicoba, kemudahan untuk diamati hasilnya dan tingkat penerapan PHT. Upaya
untuk meningkatkan penerapan PHT adalah mengaktifkan kembali kelompok tani dan
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul:
TINGKAT PENERAPAN PENGENDALIAN HAMA TERPADU OLEH PETANI
(Kasus petani padi sawah di desa Purwasai kecamatan Dramaga, kabupaten Bogor, Jawa Barat)
Adalah benar merupakan hasil karya saya sends dan belum pernah dipublikasikan, Semua sumber data dan idormasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dm dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor,_ 1 September 2002
TINGKAT PENERAPAN PENGENDALIAN
EMMA
TERPADU OLEH PETANI
(Kasus Petani Padi Sawah Di Desa Punvasari, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Jaws Barat)
ELLYA ROSA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : TMGKAT PENERAPAN PENGENDALIAN HAMA TERPADU OLEH PETANI (Kasus Petani Padi Sawah di
Desa Purwasari, Kecamatan Darmaga, Kabupaten Bogor,
Jawa Barat)
Nama Mahasiswa : ELLYA ROSA
Nomor Pokok : P.05500004
Program Studi : Ilmu Penyuluhan Pembangunan
Menyetujui
~ r . K ~smad ~ u l u o ~ a i . M.
sc
Ketua
Qe*
Ir. Richard W.E. Lumintann. MSEA Dr. Ir. Basita Gintin S.
&
MAAnggr~ta Anggota
Mengetahui,
2. Ketua Program Studi ogram Pascasarjana
Ilmu Penyuluhan Pembangunan
Penulis di lahirkan di Padang, Sumatera Barat pada tanggal 19 November
1962 sebagai anak ke dua dari lima bersaudara dari keluarga Bapak Yazid dan Ibu
Hj. Erma Yazid. Pada tanggal 3 Juni 1990 penulis menikah dengan Ir. Daryanto Sabir M.Si dan
kini
telah dikarunia satu orang putera, Ridho Riyansa (2 April 1991)dan 2 orang puteri masing-masing Ditha Riyansa (18 Oktober 1992) dan Ledya
Riyansa (30 Januari 1996).
Jenjang pendidikan selepas Sekolah Menengah Atas tahun 1982, penulis
diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalw Penelusuran Mimat dan
Kemampuan (PMDK). Pada Juni tahun 1987 penulis lulus sebagai Sarjana Jurusan
Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan, lnstitut Pertanian Bogor.
Sejak tahun 1987 hingga 1992 penulis bekerja di Balai I d o m s i Pertanian
Padang. Pada tahun 1992 hingga saat ini penulis bekerja di Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Sukarami, Sumatera Barat. Pada tahun 2000, penulis diberi
kesempatan melanjutkan studi di Program Studi Ilmu Penlduhan Pembangunan,
Program Pascasa rjana, Institut Pertanian Bogor dengan dukungan dana dari Proyek
Tesis ini merupakan laporan hasil penelitian berupa
kajian
untuk mengetahui tingkat penerapan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) oleh petani dan mengetahuihubungan karakteristik petani dan sifat-sifat inovasi dengan tingkat penerapan PHT
petani Penelitian dilaksanakan di Desa Purwasari, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, pada bulan April-Mei 2002.
Alhamdulillah penulis berhasil menyelesaikan tesis dengan baik atas bantuan,
dorongan, arahan, bimbhgan, dan koreksi dari berbagai pihak. Oleh karenanya,
ucapan terima kasih dengan tulus saya ucapkan kepada:
(1) Bapak Ir. H. Ismail Puluugan, M.Sc selaku Ketua Komisi Pembimbmg, Bapak
Dr.
Ir. Basita Ginting M.A dan Bapak
Ir. RichardW.E.
Lumintang, MSEA, masing-masing selaku anggota komisi; serta Bapak Prof Dr.Lr.
UtomoKartosuwondo, MS selaku dosen penguji diiuar komisi pembimbmg;
(2) Bapak Prof DRH-R Margono Slamet selaku Ketua Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan, Program Pascasa jana IPB beserta Staf Pengajar yang telah memberikan arahan dan bimbingan selama perkuliahan, sehingga
pengalaman belajar yang diperoleh terasa begitu bermakna;
(3) Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan Kepala Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Sukarami serta Kepala Instalasi Penelitian
dan Pengkajian Teknologi Pertanian Padang yang telah memberi kesempatan
kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan yadidikan ini, juga Pemimpin Proyek PAATP yang telah memberikan dana selama perkuliahan
dau penelitian;
(4) Masyarakat dan aparat pemerintahan Desa Purwasari yang telah bekerja sama
selama penelitian;
(5)
Ibu
Yani, Bapak Dida dan Bapak Asep yang banyak memberikan informasipenting dalam pengumpulan data;
(7) Direktur Pascasajana beserta staf
di
Program Pascasajana IPB yang telahmembantu penulis selama studi;
(8) Orang tua tersayang, kakak dan adik-adik yang telah memberikan doa dan
bantuannya;
(9) Keluarga b e a r mertua yang telah memberikan doa dan bantuannya;
(10) Teristimewa suami tercinta dan anak-anakku atas kasih sayang, kesabaran
dan
dorongannya sehingga penulis mampu mengatasi berbagai hambatan(11) Semua pihak yeng tidak sempat pen* sebutkan, namun telah membantu
penulis baik secara langsung maupun tidak langsung.
Tulisan ini mas31 jauh dari kesempumaan, harapan penulis semoga karya
ilmiah ini ada manfaatnya.
Bogor, September 2002
~
DAFTAR
IS1
~
Halaman...
DAFTAR TABEL x
...
I DAFTAR GAMBAR xii
PENDAHULUkN ... 1 Latar Belakang ... 1 Perumusan Masalah ... 5 Tujuan Penelitian ... 6 Kegunaan Penelitian ... 7
TINJAUAN PUSTAKA ...
.
.
... 8Proses Adopsi dan Dihsi Inovasi ... 8
.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Adopsi Dihsi Inovasi ... 11 Pen~endalian Hama Terpadu ... 16 Kelompok Tani ... 20
KERANGKA BERFLKlR DAN HIPOTESIS PENELITIAN ... 25
Kerangka Berfikir ... 25 Hipotesis Penelitian ... 28
METODOLOGI PENELITIAN ... 30 Metode Penelitian ...
. . . . . . . . 30
Lokasi. Waktu. Populasi dan Sampel Penelitian ... 30
Teknik Pcngumpulan data ... 31
Validitas Instrumen ... 31 Reliabilitas Instrumen ... 32 Analisis Data ... 32 Definisi Operasional dan Pengukuran ... 33 H A S L DAN PEMBAHASAN ... 40 Keadaan Umum Daerah Penelitian ... 40 Karzkteristik Petani Responden ... 45 Sifat-Sifat Inovasi ... 51 Hubungan Karakteristik Petani dan Sifat-Sifat Inovasi
dengan Tingkat Penerapan PHT ... 57
...
Rangkuman 70
...
, KESIMPULANDANSARAN 74
Kesimpulan ... '74
...
Saran 75
...
DAFTAR PUSTAKA 76
DAFTAR
TABEL
1 . Peubah, defiuisi operasional. indikator. dan pengukuran
karakteristik petani ... 34 2 . Peubah, d e w operasional, indilcator. dan pengukuran
sifat-sifat inovasi ... 36
3 . Peubah, definisi operasional. indikator. dan pengukuran
tingkat penerapan
PHT
oleh petani ... 394 . Produksi pertanian per tahun di desa Purwasaxi.
kecarnatan Dramaga ... 41
5 . Distribusi jumlah penduduk menurut golongan usia.
dan jenis kelamin ... 42
6 Kualitas angkatan kerja menurut pendidikan ... 43
...
7 . Struktur pemilikan lahan di desa Putwasan 44
8 . Sebaran petani responden berdasarkan karakteristiknya ... 46 9 . Sebaran petani responden berdasarkan sifat-sifat inovasi ... 52
10 . Sebaran petani berdasarkan tingkat penerapan
PHT
...
541 1 . Sebaran responden menurut penerapan prinsip-pn'nsip PHT ... 56
12 . Tingkat penerapan
PHT
berdasarkan umur pada petani anggota ...Kelompok tani (%) 58
13 . Tingkat penerapan
PHT
berdasarkan umur pada petani...
non anggota Kelompok tani (%) 58
14 . Tingkat penerapan
PHT
berdasarkan tingkat pendidikan...
formal pada anggota kelornpok tani (%) 59
15 . Tingkat penerapan PHT berdasarkan tingkat pendidikan
...
formal petani non anggota kelompok tani (%) 59
16 . Tingkat penerapan
PHT
berdasarkan pengalaman berusaha...
tani petani anggota kelornpok tani (%) 60
17 . Tingkat penerapan PHT berdasarkan pengalaman berusaha
...
18. Tingkat penerapan
PHT
berdasarkan tingkat pendidikan...
non formal petani non anggota kelompok tani (%)
19. Tingkat penerapan PHT berdasarkan tingkat pendidikan
...
non formal pada petani anggota kelompok tani (%)
20. Tingkat penerapan PHT berdasarkan penguasaan lahan pada
... petani anggota kelompok tani (%)
2 1. Tingkat penerapan PHT berdasarkan penguasaan lahan pa& petani non anggota kelompok tani (%)
...
22. Tingkart penerapan PHT berdas~rkan kekosmopolitan pada
...
petani anggota kelonpok tani (%)
23. Tingkart penerapan
PHT
berdasarkan kekosmopolitan padapetani anggota kelompok tani (%) ...
24. Tingkat penerapan PHT berdasarkan keuntungan relatif
pada petani anggota kelompok tani (%) ...
25. Tingkat penerapan PHT berdasarkan keuntungan relatif
...
pada petani anggota kelompok tani (%)
26. Tingkat penerapan PHT berdasarkan kesesuaian pada petani anggota kelompok tani (%) ...
27. Tingkat penerapan PHT berdasarkan kesesuaian pada petani ... non anggota kelompok tani (%)
28. Tingkat penerapan PHT berdasarkan kemudahan untuk
... dicoba pa& petani anggota kelompok tani (%)
29. Tingkat penerapan PHT berdasarkan kemudahan untuk
dicoba pada petani non anggota kelompok tani (%) ...
30. Tingkat penerapan PHT berdasarkan kemufian untuk
...
diamati hasilnya pada petani anggota kelompok tani (%)
3 1. Tingkat penerapan PHT berdasarkan kemudahan untuk
diamati hasilnya pada petani non anggota kelompok tani (%)
...
32. Tingkat penerapan PHT berdasarkan tingkat kerumitan pada
petani non anggota kelompok tani (%) ...
33. Tingkat penerapan PHT berdasarkan tingkat kerumitan pada
DAFTAR
GAMBAR
1. Kerangka berplkir hubungan antara karakteristik petani dan sifat-
sifat inovasi dengan tingkat penerapan
PHT
oleh petani...
282. Nilai koefisien korelasi antara karakteristik petani dan sifat-
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pengendalian Hama Terpadu (PHT) telah menjadi kebijaksanaan pemerintah
dalam menangani perlindungan tanaman. Perlindungan tanaman merupakan salah
satu bagian penting dalam usaha peningkatan produksi, selain penggunaan bibit
unggul, pupuk dan alat-alat pertanian modem.
Perlindungan tanaman dengan menggunakan pestisida telah menimbulkan
dampak negatifl antara lain pencemaran lingkungan (tanah, air, udara, tanaman dan
lingkungan hidup lainnya). Penggunaan pestisida yang mempunyai daya racun
tinggi, spektnun lebar serta persistensi yang tinggi pula menimbulkan masalah baru.
Berbagai spesies makhluk yang berguna dan bukan sasaran ikut binasa, disamping itu
juga terjadi pencemaran air, tanah dan udara. Terdapatnya residu pestisida di dalam
hasil pertanian merupakan contoh kasus dampak negatif akibat penggunaan pestisida,
kesehatan manusia terutama petani makin terancam, telah tejadi keracunan akut
maupun kronis bahkan kasus kemat~an (Oka, 1995).
Berdasarkan kenyataan
hi,
kemudian dikembangkan suatu altematif untukmengendalikan serangan hama penyakit yang dikenal sebagai Pengendalian Hama
Terpadu. Konsep ini berdasarkan pada prinsip ekologi, yaitu hubungan fimgsional
timbal balik antara komponen-komponen ekosistem. Pengendalian hama terpadu,
dalam ha1 ini merupakan salah satu jawaban untuk memberikan pemecahan
Pengendalian Hama terpadu (PHT) adalah usaha
untuk
mengoptimumkanhasil pengendalian hama secara ekonornik dan ekologik. Hal ini dapat dicapai
dengan menggunakan berbagai taktii secara kompatibel agar tetap mempertahankan
kerusakan hama dibawah aras kerusakan ekonomi, dan melindungi terhadap ancaman
atau bahaya bagi manusia, binatang, tanaman dan lingkungan (Anonim dalam
Kasumbogo, 1984).
PHT bukan hanya sebuah konsep ataupun paket kegiatan, tetapi lebih dalam
lagi, yaitu sebuah cara untuk mengelola pertumbuhan tanaman sehingga memberikan
keuntungan yang maksimal (Departemen Pertanian, 1997). Ada 4 prinsip manajemen
yang mendasari PI-IT, yaitu: (1) budidaya tanaman sehat yang terdiri dari: (a)
pernilihan bibit yang sehat dari varietas tahan hama, yang cocok dengan kondisi
setempat, (b) pengairan cukup dan pemupukan yang seimbang, (c) penyiangan gulma
secara teratur; (2) melestarikan musuh alami, yaitu: (a) dengan mengenali dan
mengamati musuh-musuh alami (teman petani) di lahan sawah, (b) memelihara
keseimbangan lingkungan lahan sawah agar populasi m u d alami dapat
berkembang, (c) jangan menggunakan pestisida yang membunuh musuh alami, (3)
pengamatan mingguan, yaitu: (a) mengamati tanaman, air, cuaca, penyakit, tikus,
hama dan musuh alami, (b) menganalisis keadaan dan membuat keputusan dengan
membandingkan potensi kehilangan hasil dengan ongkos pengelolaan, petani ahli
PHT, yaitu petani menguasai teknologi PHT dan mampu menerapkan prinsip PHT
Salah satu pengadopsian dan pemasyarakatan konsep dan teknologi PHT
adalah dengan diselenggarakannya Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu
(SLPHT). SLPHT adalah sekolah yang berada di lapangan yang mempunyai
pesertabetani) dan pemandu lapangan dengan ciri-ciri sebagai berikut (Departemen
Pertanian, 1997): (a) petani dan pemandu saling menghonnati, (b) perencanam
bersama oleh kelompok tani, (c) keputusan bersama dari anggota kelompok, (d) cara
belajar lewat pengalaman, (e) melakukan sendhi, mengalami sendiri dan menemukan
sendiri, (f) materi pelatihan dan praktek terpadu di lapangan, (g) sarma belajar adalah lahan pengelolaan usaha tani (agroekosistem), (i) pelatihan selama satu siklus
perkembangan tanaman dan (j) kurikulum yang rinci dan terpadu.
Tujuan SLPHT adalah untuk melatih petani menjadi ahli PHT dan mampu
menerapkan prinsip PHT sekurang-kuranguya di lahan sendiri serta diharapkan dapat
menyebarkan informasi PHT kepada petani lainnya atau tetangganya.
Proses belajar dalam SLPHT mengikuti daur belajar melalui pengalaman,
yaitu melakukan, mengungkapkan, menganalisa, men-rimpullcan, meuerapkan dan
diharapkan dapat menyebarkannya. Pada proses ini setiap peserta berperan sebagai
murid dan guru. Tujuan dan proses SLPHT dapat tercapai bila SLPHT memiliki
materi-materi pelatihan yang menunjang kegiatan petani.
Menurut Abdurachman (1998) bahwa keberhasilan program PJ3T bervariasi
tidak hanya antar wilayah di kabupaten Sukabumi tetapi juga antar petani dalam satu
wilayah. Kenyataan ini menunjukkan bahwa ada faktor-faktor tertentu yang
Pengembangan lebih lanjut SLPHT perlu lebih mempertimbangkan unsur
petani sebagai pengambil keputusan pengadopsian PHT yang akan menentukan
keberhasilan program secara keseluruhan. Penelaahan tentang faktor-faktor di dalam
diri petani dan usahatani mereka sangat b e d a a t bagi upaya pengembangan program PHT. Pertanyaan-pertanyaan seperti sampai sejauhmana penerimaan petani
terhadap program, faktor-faktor apa yang mendorong petani untuk menerapkan PHT
pada usahatani mereka, dan pertanyaan lainnya yang sejenis perlu ditelusuri dalam
rangka pengembangan program tersebut.
Selama ini penelaahan dalam evaluasi SLPHT lebih banyak menekankan
kepada aspek penyelenggaraan SLPHT. Evaluasi semacam ini dapat mengungkapkan
keefektifan dan efisiensi SLPHT dalam mengkomunikasikan informasi PHT d m
menarik partisipasi petani. Monnasi tersebut akan lebih b e d a a t apabila
dilengkapi dengan telaahan yang mendalam terhadap faktor-faktor ekstemal dan
internal petani dalam kaitannya dengan penerimaan informasi PHT. Sesuai dengan
tujuan akhir SLPHT adalah agar petani peserta SLPHT termotivasi untuk mau d m
dapat menerapkan PHT dalam malaksanakan usahataninya. Penerapan teknologi
tersebut oleh petani dapat diiasi&asikan menjadi tiga : (1) petani mengetahui PHT,
(2) petani mengetahui PHT dail menerapkan pada usahataninya, (3) petani
mengetahui, menerapkan PHT dan menyebarluaskan PHT kepada petani lainnya.
PHT sebagai suatu konsepsi dan program di Indonesia telah dilaksanakan
sejak tahun 1989. Tidak semua petani memperoleh kesempatan mengikuti program
SLPHT dari pemeriutah. Petani diharapkan dapat melaksanakan SLPHT secara
Berdasarkan informasi dari Kepala Cabang Dinas
(KCD)
tngkat Kecamatan. .
sebagian petani
di
Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor telah pernah mengikutiprogram SLPHT, bahkan ada yang melaksanakan SLPHT secara swadaya melalui
kelompoktaninya. Akan tetapi kenyataannya saat sekarang dari sejumlah 58
kelompok tani, hanya 16 kelompok yang masih aktX
Pada rembug (pertemuan) Kontaktani Nelayan Andalan (KTNA) se-
Kecamatan Dramaga pada tanggal 3 1 Januari 2002 diperoleh informasi bahwa petani
sangat membutuhkan ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan pemeriutah dalam
penentuan harga jual produk pertanian. Karena keterbatasan pengetahuan tersebut
petani masih memerlukan penyuluhan untuk meningkatkan hasil dan mutu
usahataninya. Melalui pertemuan dalam kelompok tani, baik petani mapun
pemerintah dapat saling memberikan informasi yang dibutuhkan. Untuk itu perlu
upaya mengaktifkan kembali kelompok tani.
Perurnusan Masalah
Di beberapa daerah serangan hama sudah cukup mengkhawatirkan, bahkan
bersifat laten. Ini aicm dapat mengacam kelestarian saasembada pangan, dan
p e n m a n pendapatan petani Mengatasi hzl tersebut, pemerintah sejak tahun 1989
telah mencanangkan program nasional PHT dan pemasyarakatannya dilakukan
melalui penyuluhan, latihan dan kursus-kursus tani dalam kesatuan kelompoktani
(SLPHT). Namun demikian kelompok tani yang banyak dibantu pembentukannya
oleh pemerintah banyak yang tidak aktii pada ha1 melalui kelompok tani, petani lebih
menyampaikan informasiuya untuk petani. Kenyataan di lapangan sebagian petani
sudah bergabung dalam kelompok tani, sebagian lag. belum.
Sehubungan dengan ha1 diatas, permasalahan yang dimmuskan dan ingin
dijawab dalam penelitian ini adalah :
(1) Sejauhmana petani telah menerapkan PHT ?
(2) Faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan tingkat penerapan PHT
oleh petani ?
(3) Apakah ada perbedaan tiugkat penerapan PHT antara anggota kelompok tani
dengan non anggota kelompok tani.
(4) Apakah ada perbedaan kharakteristik petani antara anggota kelompok tani
dengan non anggota kelompok tani.
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah:
(1) Mengkaji tingkat penerapan PHT oleh petani.
(2) Mengkaji faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat penerapan PHT
oleh petani.
(3) Mengkaji perbedaan tingkat penerapan PHT antara anggota kelompok tani
dengan non anggota kelompok tani.
(4) Mengkaji perbedaan kharakteristik petani antara anggota kelompok tani
Kegunaan Penelitian Penelitian in. diharapkan akan berguna:
(1) Bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususuya dalam pengembangan konsep-konsep teoritis mengenai hubungan ciri-ciri petani dalam menerapkan
PHT.
TINJAUAN PUSTAKA
Proses Adopsi dan Difusi Inovasi
Mardikanto (1993) mengemukakan, adopsi adalah proses perubahan perilaku
baik berupa pengetahuan, sikap maupun ketrampilan pada seseorang setelah
menerima inovasi yang disampaikan oleh penyuluh. Rogers d m Sheomaker (197 1)
meinbagi proses adopsi kedalam lima tahap, yaitu : (1) tahap kesadaran, yaitu seseorang mengetahui adanya ideide baru; (2) tahap minat, yaitu seseorang mulai
berminat terhadap inovasi dan mencari informasi lebih banyak mengenai inovasi
tersebut; (3) tahap penilaian, yaitu seseorang mengadakan penilaian terhadap ide baru
tersebut dan menghubungkannya dengan situasi sendiri saat itu dan masa yang akan datang, serta menentukan akan mencobanya atau tidak; (4) tahap percobaan, yaitu
seseorang menerapkan ide baru dalam skala kecil untuk menentukan kegunaannya,
sesuai atau tidak dengan situasi dirinya; dan (5) tahap penerimaan (adopsi), yaitu
seseorang menggunakan ide baru secara tetap dalam skala yang lebih luas.
Proses adopsi tidak selalu berakhir dengan mengad~psi, mungkin terjadi
proses penolakan atau meacari informsi lebih lanjut untuk memperkuat
keputusanilya. Selanjutnya Rogers dan Shoemaker (1 97 1 ) membagi tahap adopsi
(penerimaan) menjadi empat, yaitu pengenalan, persuasi, keputusan dan
kodirmasi.
Van den ban dan Hawkins (1999) menyatakan bahwa inovasi merupakan
suatu ide, metode atau objek yang dianggap sebagai sesuatu yang baru oleh
D&si merupakan proses menyebarnya inovasi melalui saluran tertentu
diantara anggota sistem sosial atau dari satu sistem sosial ke sistem soial yang lain '
(Rogers dan Shoemaker, 197 1 ).
Soekartawi (1988) menyatakan bahwa d f i s i adalah proses sehingga ide baru
disebarluaskan pada individu atau kelompok dalam sistem sosial tertentu. Proses
adopsi adalah proses mental yang terjadi pada
dii
seseorang sejak pertama kalimengenal inovasi sampai mengadopsinya.
Slamet (1978) menyatakan bahwa proses d a s i adalah proses menyebarnya
inovasi dari seseorang yang telah mengadopsi kepada orang-orang lain dalam
masyarakat. Lionberger dan Gwin (1991) menyatakan bahwa penyebaran inovasi
pada prinsipnya merupakan suatu transfer teknologi dari hasil-hasil penelitian
kepada para pengguna. Hasil-hasil penelitian, percobaan dan penemuan lain yang
disampaikan kepada petani (pengguna akhir) tentu tidak semudah yang diharapkan,
banyak kendala atau halangan yang harus dilalui. Selanjutnya agar proses tersebut
dapat berjalan dengan baik maka : (1) informasi, ide atau teknologi yang
dikembangkan harus mudah diterapkan; (2) inovasi hams dicobakan disetiap daerah;
(3) penyebarluasan diarahkan dengan langkah terpadu dari keseluruhan sistem
produksi; (4) adanya penguatan terhadap proses dan kondisi yang diperlukan agar
mereka mau menggunakan inovasi yang disampaikan; dan (5) f h g s i pemerintah
sebagai pelaksana dan pengatur dalam pengambilan keputusan administratif dalam
Proses
dfisi teknologi
PHT akan berlangsung sejak ada petani yang sudahmengadopsi kepada petani lain. Proses ini dapat dimulai dari sesama anggota
kelompok tani. Khususnya pola SLPHT yang pada dasarnya telah memhgsikan
kelompok tani dalam sistem bimbingan dan penyuluhannya. Jangka panjang,
kelompok tani tidak hanya berpeluang sebagai tempat belajar-mengajar dan
mengembangkan kerja sama saja, namun dapat juga b e h g s i untuk mengembangkan
dan melembagakan suatu tatanan PHT pada lingkup kelompok maupun pada lingkup
yang lebih luas.
Hal ini sesuai dengan ciri-ciri petani yang ingin diwujudkan dalam program PHI', yaitu:
(1) Petani hams mandiri dan tidak tergantung pada orang lain termasuk petugas
pemerintah dalam memutuskan dan melaksanakan program pengendalian
hama sesuai dengan prinsip PHT.
(2) Petani hams dapat menghayati, menguasai, dan menerapkan berbagai prinsip
dan teknik
PHT
secara kratif sesuai dengan keadaan ekosistem lahannya dankemampuan ekonominya.
( 3 ) Petani hams responsif dan perspektif dalam menanggapi perkembangan
teknologi pengelolaan hama menuju ke efisiensi dan e f e k t ~ t a s penggunaan
sumberda ya.
(4) Petani hams mampu menjadi pengelola lahan pertanian yang profesional
sehingga dapat dicapai p r o d u k t ~ t a s dan efisiensi yang tinggi dan pemasaran
(5) Petani hams mampu bekerjasama dengan petani-petani lain didalam dan
diiuar kelompoknya untuk menerapkan dan mengembangkan PHT.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Adopsi dan Difusi Inovasi
Mardianto (1993:69) mengemukakan bahwa kecepatan adopsi suatu inovasi
dipengaruhi oleh enam faktor yaitu : (1) Sifat adopsinya, diiana ha1 ini terbagi menjadi: (a) Sifat i n t ~ s i k yang mencakup : informasi ilmiah yang melekat atau
."
-
diietakkan pada inovasinya, nilai-nilai atau keunggulan-unggulan (teknis, ekonomis,
sosial dan politik); (b) Sifat ekstrinsik, yang mencakup: tingkat kesesuaian
(compatibility) inovasi dengan lingkungan setempat, tingkat keuntungan relatif dari
inovasi yang ditawarkan (teknis, ekonomis, sosial dan politis); (2) Sifat sasaran, (3)
Cara Pengambilan keputusan; (4) Saluran komunikasi yang digunakan; (5) Keadaan
Penyuluh atau komunikan; (6) Ragam sumber informasi.
Slamet (1978) dan Soekartawi (1988) mengatakan bahwa beberapa faktor
yang dapat mempengar~hi kecepatan adopsi adalah: sifat-sifat inovasi, jenis-jmis
keputusan inovasi, saluran komunikasi, ciri-ciri sistem sosiai, kegiatan promosi oleh
penyuluh, interaksi individual dan kelompok, sumber informasi dan faktor diri
adopter.
Menurut Van den ban dan Hawkins (1999) peubah-peubah yang berhubungan
positif dengan tingkat adopsi antara lain : (a) peubah sosial ekonomi seperti tingkat
pendidikan, tingkat melek huruf, status sosial dan luas usahatani; (b) peubah
rasionalitas, sikap terhadap perubahan, dan sikap terhadap ilmu pengetahuan, dan
agen pembaharuan, keterdadahan terhadap media massa, keterdadahan media
interpersonal aktivitas mencari informasi dan tingkat kepemimpinan.
Soekartawi (1988) mengatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
proses dfisi adalah faktor sosial kebudayaan, personal, kelompok referensi,
kelompok formal yang diikuti dan status sosialnya. Faktor-faktor kebudayaan
mencakup adat budaya masyarakat setempat, seperti keterbukaan terhadap orang luar,
kepercayaan dan yang terkait dengan sikap masyarakat terhadap teknologi baru dan
sebagainya. Faktor personal mencakup, (1) umur, orang yang lebih tua cendrung kurang responsif terhadap ide-ide baru; dan (2) pendidikan, dapat menciptakan
dorongan mental untuk menerima inovasi yang menguntungkan, dan (3) ciri-ciri
psikologis, sifat orang yang kaku akan lebih sulit menerima inovasi. Faktor
situasional mencakup : ( 1 ) pendapatan usahatani, pendapatan yang tinggi ada
hubungannya dengan tingkat adopsi dan &si inovasi pertanian, (2) ukuran
usahatani, berhubungan positif dengan &si inovasi, (3) status pemilikan lahan lebih
leluasa membuat keputusan untuk mengadopsi sesuatu, (4) pretise masyarakat,
kedudukan seseorang dalam masyarakat berhubungan positif dengan adopsi dan
dfisi inovasi, dan (5) sumber-sumber informasi, jumlah sumber informasi yang
digunakan berhubungan positifdengan tingkat adopsi dan d i i s i inovasi.
Penggunaan teknologi baru dalam usahatani biasanya akan memerlukan
tambahan biaya dibandingkan dengan penggunaan teknologi terdahulu. Tambahan
biaya tersebut terutama untuk membeli input baru sehubungan dengan digunakannya
inovasi tersebut. Menurut Soewardi (Hartoyo, 1982: 1 I), bagi petani kecil, tambahan
umumnya para petani kecil kekurangan dana untuk membiayai usahataninya. Hal ini
-
didukung oleh hasil penelitian Rahardjo (1984:92) yang menemukan bahwa, hanya
kira-kira 33 persen saja petani responsif terhadap modernisasi, terutama di kalangan petani kaya dan menengah. Petani golongan tersebut memiliki kemampuan dan
kesempatan yang lebih besar dalam menerima dan memanfaatkan teknologi baru.
Hal ini karena petani tersebut lebih mudah dalam mendapatkan informasi, cadangan kredit dan kas, akses pada pelayanan administrasi serta pengaruh politik yang
mungkin dimilikinya. PHT menawarkan teknologi yang dapat mengurangi biaya
untuk pengeluaran input pertanian terutama melalui pengurangan biaya pestisida.
Oleh karena itu, diharapkan petani dengan lahan yang relatif sempit dapat responsif
terhadap inovasi tersebut.
Soekartawi (1988) menyatakan bahwa beberapa studi menunjukkan d i i s i
inovasi yang paling tinggi adalah pada petani yang berumur setengah tua. Petani
yang berumur lebih muda biasanya akan lebih bersemangat dibandingkan dengan
petani yang lebih tua.
Bakir dan Manning (1984:24) mengemukakan bahwa umur produktif
untuk bekerja di negara-negara berkembang umumnya adalah 15-55 tahun.
Kemampuan kerja petani juga sangat dipengaruhi oleh tingkat umur petani tersebut,
karena kemampuan ke j a produktif akan terus menurun dengan semakin lanjutnya
usia petani. Dengan demikian, ada kecendrungan bahwa umur petani akan
mempengaruhi tingkat penerapan
PHT
yang dilakukan petani..Banoewidjojo ( 1979:2) mengemukakan bahwa tingkat pendidikan yang
kerja yang dilakukan, tetapi sekaligus mempercepat proses penyelesaian kerja yang
diusahakan.
Soehajo dan Patong (1973:52) menyatakan bahwa pendidikan umumnya
akan mempengaruhi cara dan pola pikir pet& Pendidikan yang relatif tinggi dan
umur yang muda menyebabkan petani lebih dinamis. Semakin tinggi tingkat
pendidikan seseorang, semakin efisien dia bekeja dan semakin banyak juga dia
menghti serta mengetahui cara-cara berusahatani yang lebih produktif dan lebih
menguntungkan. Berdasarkan dua pendapat yang telah disebutksn, terdapat
kecendrungan bahwa ada hubungan antara tingkat pendidikan yang dimiliki oleh
petani dengan tingkat penerapan PHT.
Petani dalam melakukan suatu usahatani mempunyai motif untuk
memaksimurnkan keuntungan. Kindangan et al. ( 1990: 70), keuntungan yang
diterima petani merupakan selisih antara total penerimaan dengan jumlah biaya yang dikeluarkan dalam suatu proses produksi. Total penerimaan yang diperoleh petani
merupakan hasil perkalian antara total produksi dengan harga yang berlaku di pasar.
Untuk meningkatkan total penerimaan, hsrus ditingkatkan kedua faktor ini, produksi
dan harga produksi, atau sekurang-kurangnya harga produksi stabil di pasaran. Oleh
sebab itu, tidak ada artinya seandainya petani mampu menaiickan produksi jika tidak
mendapat harga yang layak. Disamping itu, pengelolaan terhadap biaya yang akan
dikeluarkan dalam usahatani juga akan menentukan tingkat keuntungan yang diterima
petani.
Gohong (1975) menyatakan bahwa tingkat harga akan mempengaruhi
sumberdaya yang dimilikinya. Pendapat ini menunjukkan bahwa petani dalam melakukan/memilih suatu usahatani telah memperhitungkan terlebih dahulu peluang
memperoleh keuntungan. Semakin tinggi keuntungan yang dapat diarapkan dari
hasil usahataninya semakin termotivasi petani tersebut dalam mengusahakan
usahataninya.
Suharyono (1692) menyatakan bahwa penyuluhan pertanian adalah sistem
pendidikan luar sekolah untuk para petani dan keluarganya dengan tujuan agar
mampu, sanggup dan berswadaya memperbaikilmeningkatkan kesejahteraannya
sendii, serta masyarakatnya. Inti dari kegiatan penyuluhan pertanian adalah merubah
perilaku petani agar mau berusaha untuk memperbaiki sistem usahataninya.
Raudabaugh (1967) menyatakan bahwa peranan penyuluhan adalah untuk
mengajarkan orang-orang tentang cara-cara mengukur atau menilai kebutuhannya
sendiri. Sebab, dengan mengetahui kebutuhannya s e n d i orang akan mampu
melakukan atau memilih berbagai alternatif pekerjaan yang lebih baik dan
menguntungkan.
Pengendalian Hama Terpadu
Menurut Kasumbogo (1984), konsep PHT yang saat ini merupakan dasar
kebijaksanaan Pemerintah dalam program perlindungan tanaman berusaha untuk
lebih memberikan kepercayaan dan kesempatan bagi para musuh alami untuk bekerja
dan berfimgsi dalam mengendalikan berbagai jenis hama yang menyerang padi.
Caranya adalah dengan membuat ekosistem pesawahan yang tidak mendorong
alami hama untuk bekerja. Pergiliran tanam, tanam serempak, penanaman varietas
padi tahan wereng coklat, dan sanitasi tanaman adalah merupakan perpaduan
teknik pengendalian hama yang mampu mempertahankan keadaan hama dalam
keadaan tidak membahayakan.
Menurut Wiaatmadja (1984) PHT adalah suatu sistem pengelolaan hama
(dalam arti luas) dengan menggabungkan berbagai teknik pengendalian yang
disesuaikan dengan sasaran menjadi satu program. Program tersebut selalu berada
pada tingkat yang tidak menimbulkan kerugian ekonomis, teknologi dan sosial,
bahkan dapat menghasilkan keuntungan ekonomis yang maksimal bagi produsen,
konsumen dan melestarikan lingkungan sehingga sumber daya dapat dimanfaatkan
selama mungkin oleh generasi-generasi yang akan datang.
Menurut hasil 'FA0 Symposium On Integrated Pest Control" pengendalian
hama terpadu diartikan sebagai sistem pengendalian populasi (hama) yang
memanfaatkan semua teknologi yang dapat digunakan bersama untuk menurunkan
dan mempertahankan populasi di bawah batas yang menyebabkan kerusakan
ekonomis (Anonim, 1985). Semua cara pengendalian, baik pengendalian secara
biologis, maupun dengan menggunakan pestisida atau dengan cara bercocok tanam,
diitregasikan menjadi suatu pola yang terkoordinasi dan ditujukan pada produksi
yang menguntungkan dan berkualitas.
Terdapat empat prinsip manajemen yang mendasari PHT, yakni budidaya
tanaman sehat, melestarikan musuh alami, pengamatan mingguan dan penguasaan
Konsep PHT muncul clan berkembang sebelum konsep pembangunan berkelanjutan. Konsep tersebut dicetuskan oleh Stem dalam Anonim (1985) yang
sangat memperhatikan penggunaan pestisida berspektnun luas juga membunuh
musuh alami yang dalam keadaan normal dapat mengendalikan hama secara efektif
Pada konsep PHT ini keberadaan dan mekanisme pengendalian ahmi dan
keanekaragaman hayati dihargai
dm
dimanfiaatkan semaksimal mungkin. Supayatujuan PHT dapat tercapai, ada empat ha1 penting yang perlu dikembangkan yaitu: (1)
Pengenalan ekosistem; (2) Metoda pengamatan dan peramalan hama.; (3) Pencagaran
dan penguatan peranan musuh alami; (4) Penggunaan pestisida secara selektif; bila
diperlukan.
Salah satu pengadopsian dan pemasyarakatan konsep dan teknologi PHT
adalah dengan diselenggarakannya Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu
(SLPHT) yang merupakan sekolah yang berada di lapang. Pelaksanaan kegiatan
SLPHT tersebut berada di lapang, tempat para peserta mengerjakan tugas sehari-hari
(bertani). Hal ini dimaksudkan agar peserta dapat mempelajari secara langsung teori dan praktek secara terpadu, sehingga peserti; dapat sungguh-sungguh menghayati
materi ajaran yang diberikan.
Asumsi dasar yang secara prinsip diterapkan dalam SLPHI' adalah sifat dasar
manusia sebagai mahkluk hidup yang selalu aktif dan kreatif. Dalam ha1 ini petani dianggap mampu untuk memahami dinamika dan pola-pola kehidupan yang
dialaminya. Dengan demikian, pendekatan matode SLPHT mendudukan arti
sekolah sebagai tempat bagi peserta untuk secara aktif menguasai dan mempraktekan
terhadap temuan-temuannya, SLPHT mengantarkan peserta untuk memahami
masalah yang mereka hadapi dan melihat kaitan unsur-unsur didalamnya, sehingga mampu merumuskan satu keputusan sebagai landasan mengelola lahannya.
Titik berat proses tersebut adalah menempatkan peserta didik untuk
menemukan sendiri pengetahuan melalui interaksi langsung dengan falcta di lapang.
Oleh karenanya, pola SLPHT dirancang sedemikian rupa sehingga terbuka
kesempatan belajar yang sangat luas, agar petani berinteraksi dengan realitas mereka
-
secara langsung. Dengan demikian, pendidikan SLPHT bukan semata-mata 'learning
by doing", melainkan suatu proses "discovery learning", yang dinamis dan dapat
diterapkan dalam manajemen lahan peaanian
sendiri
(Dilt, 1994).Pola SLPHT secara spes5k dicirikan sebagai berikut (Dilt, 1994) :
(1) Sarana belajar ciptaan sendiri : dalam peneyelenggaraannya, sarana belajar adalah sawah dan ekologi lahan pertanian setempat yang hidup dan dinamis.
(2) Peran pemandu : tugas pemandu lapangan bukan untuk mengajar dan
menggurui peserta, melainkan mengajak mereka agar melibatkan diri dalam
suatu proses pendidikan. Dalam w a h seterusnya, yang alctif adalah peserta,
bukan pemandu, artinya, proses belajar terjadi dan berpusat pada peserta itu
sendiri.
(3) Analisis dan pengambilan keputusan : kegiatan yang paling penting pada
setiap sesi S L P W adalah kegiatan analisis agro-ekosistem, sehingga para
petani dapat secara tajam menangkap dinamika ekologi lokal.
(4) Latihan semusim : SLPHT dirancang untuk mengikuti siklus lapangan secara
(5) Dinamika Kelompok dan pengembangan wahan petani : tujuan SLPHT adalah juga untuk menciptakan suatu organisasi belajar yang lestari. Tujuan
jangka panjang adalah menunjang tercapainya PHT oleh pet& sehingga
petani dapat mengambil insiatif di dalam pengembangan, penyebariuasan, dan
pelembagaan PHT.
(6) Arti partisipasi dalam Sekolah lapangan : partisipasi dipahami dalam tiga
jenjang. Pertama, partisipasi
untuk
menguasai ilmu PHT, artinya pesertaberpartisipasi aktif dalam mengumpdkan data aktual, pengkajian data, dan
pengambilan keputusan manajemen lahan. Kedua, partisipasi untuk interaksi
dan pengembangan kelompok; partisipasi ini ditujukan pada kecakapan
berorganisasi dan manajemen manusia. Ketiga, partisipasi untuk
pembaharuan dan kemandirian sosial, yang tujuannya adalah untuk
pelembagaan PHT di tingkat petani.
Kegiatan yang dilakukan peserta SLPHT berlangsung selama satu musim,
yaitu selama dua belas minggu. Kegiatan diiakukan satu kali dalam
seminggu. Kegiatan mingguan tersebut adalah: (1) melakukan pengsmatan
agro-ekosistem, (2) menggambar dan mendiskusikan keadaan ekosistem,
(3) presentasi hasil analisis agro-ekosistem dan pengambilan keputusan,
(4) dinamika kelompok, (5) topik khusus, yakni sesuai dengan materi atau
masalah yang dihadapi petani dilahannya.
Pendidian pada SLPHT diarahkan kepada tiga bidang penting yaitu kerja,
hubungan antar manusia, dan kekuasaan. Bidang kerja menekankan kepada aspek
mteraksi dan komunikasi, sedangkan bidang kekuasaan mengamhkan petani untuk
menjadi manajer pada usahatsninya sendhi Ketiganya diperhatikan sejak tahap
persiapan, pemilihan lokasi, serta pemilihan kelompok dan peserta, sampai ketahap
pelaksanaan dan evaluasi.
Melalui
SLPHT
dapat ditingkatkan pengetahuan petani mengenaiPHT
sehingga petani lebih mandiri, taktis dan hati-hati serta mampu memilih dan
mengambil keputusan yang sesuai. Kesadaran akan kebersamaan, saling
ketergantungan akan keselamatan usahatani makin tmggi timbul sebagai konsekuensi
adanya tuntutan penerapan
PHT
secara benar (Djauhari dan Supriyatna, 1996).Kelompok Tani
Pengelompokkan petani telah dimulai sejak zaman penjajahan Belanda
dengan nama saat itu Rukun (Jawa Barat) dan Kring Tani (Jawa Timur) (Abbas, 1995). Salah satu syarat pelancar pembangunan pertanian adalah adanya kegiatan
kerjasama kelompok tani. Oleh sebab itu sejak pelaksanaan Repelitz I di Indonesia mulai dikembangkan pembentukan kelompok tani, yang diawali dengan kelompok-
kelompok kegiatan (kelompok pemberantasan hama, dan kelompok pendengar siaran
pedesaan) dan akhirnya sejak tahun 1976 dengan dilaksanakannya yroyek penyuluhan
tanaman pangantnational food crop extension proyek (NFCEP) dikembangkan pula
kelompok tani berdasarkan hamparan lahan pertaniannya (Mosher,1967 dalarn
Mardikanto, 1993).
Berdasarkan surat keputusan Menteri Pertanian No.88lIKptdOT.
nelayan yang terikat secara non formal atas dasar keserasian, kondisi lingkungan
(sosial, ekonomi, sumber daya), keakraban, kepentingan bersama dan saling percaya
mempercayai, serta mempunyai pimpinan
untuk
mencapai tujuan bersama.Berdasarkan pengertian diatas dapat disebutkan beberapa ciri dari kelompok
tani nelayan, yaitu : (a) saling mengenal dengan baik antara sesama anggotanya,
akrab dan saling percaya mempercayai; (b) mempunyai pandangan dan kepentingan
yang sama dalam berusaha tani; (c) memiliki kesamaan tradisilkebiasaan,
pemukiman, hamparan usaha tani, jenis usaha, status ekonomi maupun sosial;
(d) bersifat non formal, tidak berbadan hukum tetapi mempunyai pembagian dan
tanggung jawab atas dasar kesepakatan bersama baik tertulis maupun tidak.
Penumbuhan kelompok tani nelayan didasarkan atas faktor-faktor pengikat
sebagai berikut : (a) adanya kepentingan bersama antara anggotanya; (b) adanya
kesamaan kondisi sumber daya alam dalam berusaha tani-nelayan; (c) adanya kondisi
masyarakat dan kehidupan sosial yang sama; (d) adanya saling percaya mempercayai
antara sesama anggota. Dengan pendekatan kelompok ini maka akan tejalin
kejasama antara individu anggota kelompok dalam proses belajar, proses
berproduksi, pengolahan hasil dan pemasaran hasil untuk peningkatan pendapatan
dan penghidupan yang layak. Pembentukan kelompok tani-nelayan fleksibel, anggota
kelompok dapat sehamparan (terutama supra insus), dapat sesuai domisili dan dapat
pula berdasar komoditi. Jumlah anggota tiap kelompok berkisar antara 10 - 20 orang
(Abbas, 1995).
Beberapa keuntungan dari pembentukan kelompok tani itu, antara lain
interaksi dalam kelompok dan semakin terbmanya kepemimpinan kelompok;
(b) semakin terarahnya peningkatan secara cepat tentang jiwa kerjasama antar
petani; (c) semakia cepatnya proses perembesan (difUsi) penerapan movasi
(teknologi) b a n ; (d) semakin naiknya kernampun rata-rata pengembalian hutang
(pmjaman) petani; (e) semakin meningkatnya orientasi pasar, baik yang berkaitan
dengan masukan (input) maupun produk yang dihasilkannya; dan (f) semakin dapat
membantu efisiensi pembagian air irigasi serta pengawasannya oleh petani sendiri.
Sajogyo (1978) dalam Mardikanto (-1993) memberikan tiga alasan utama
dibentuknya kelompok taayaitu : (a) Untuk memanfaatkan secara lebih baik
(optimal) semua sumber daya yang tersedia, (b) Dikembanglcan oleh pemerintah
sebagai alat pembangunan, (c) Adanya alasan ideologis yang "mewajibkan" para
petani untuk terikat oleh suatu amanat suci yang hams mereka amalkan melalui
kelompok taninya.
Hasil survey yang telah dilakukan oleh tim UNPAD (1990) menunjukkan
bahwa: motivasi utama keikutsertaan anggota dalam kelompok tani terutama
didorong oleh hasrat meningkatkan kemampuan berusaha tani dan pemenuhan
kebutuhan primer, dan perbaikan kesejahteraaannya. Karenanya kelompoktani lebih
bersifat sebagai organisasi "pamrih". Lebih lanjut, karena pembentukan Wilayah
Kelompok dikaitkan dengan upaya pemerintah untuk mensukseskan pelaksanaan
NFCEPfNAEP, maka kelompoktani yang ada sekarang ini dapat pula dikatakan
sebagai "organisasi paksaan", yang dipakai oleh penguasa sebagai alat untuk
dikategorikan sebagai organisasi formal (bukan kelompok informal) dengan struktur rangkap "pamrih paksaan" (Mardikanto, 1994).
Sesuai S
K
Menteri Pertanian No.881/Kpts/OT.210/12/l988, kelompok taninelayan berperan dan berfimgsi sebagai kelas belajar, unit produksi usaha tani
nelayan dan wahana kerjasama antara anggota kelompok dengan pihak lam.
Kelompok tani nelayan adalah organisasi non formal.
Kelompok tani sebagai kelas belajar dan mengajar bagi petani nelayan
merupakan wadah bagi setiap anggotanya untuk berinteraksi guna meningkatkan
pengetahuan, keterampilan dan sikap dalam berusaha tani nelayan yang lebih baik
dan menguntungkan, serta berperilaku lebih mandiri untuk mencapai kehidupan yang
lebih sejahtera. Oleh karena itu pembmaannya diarahkan agar anggota kelompok
secara merata memiliki kemampuan kemampuan, antara lain dalam : menggali dan
merumuskan keperluan belajar; berhubungan dan bekerja sama dengan sumber
informasi dan teknologi yang diperlukan dalam proses belajar mengajar baik yang
berasal dari sesama petani nelayan, instansi pembina maupun pihak pihak lam;
menciptakan iklim/lingkungan belajar yang serasi; mempersiapkan sarana belajar;
berperan aktif dalam proses belajar mengajar dan merumuskan kesepakatan bersama
baik dalam memecahkan masalah maupun melaksanakan berbagai kegiatan kelompok
(Abbas, 1995).
Berdasarkan unit usaha produksi usahatani nelayan, kelompok tani merupakan
satu kesatuan unit usaha tani untuk mewujudkan kerjasama dalam mencapai skala
ekonomi yang lebih menguntungkan. Oleh karena itu pembinaan diarahkan agar
dalam : mengambil keputusan dalam menentukan pola usahatani yang
menguntungkan berdasarkan teknologi terapan berorientasi pasar tanpa melupakan
kepentingan nasional; menyusun rencana usahatanilrencana d e w i f kelompok serta
rencana permodalan; menerapkam teknologi maju dalam usahatani sesuai
rekomendasi; berhubungan clan bekerjasama dengan pihak pihak penyedia sarana
produksi dan pemasaran hasil; menganalisa dan menilai usahatani yang dilaksanakan
dan mengelola administrasi kelompok (Abbas, 1995).
Berdasarkan wahana kerjasama kelompok tani nelayan merupakan tempat
untuk memperkuat kerja sama diantara sesama petani nelayan dalam kelompok dan
antara kelompok dengan pihak lain untuk menghadapi berbagai ancaman, tantangan,
hambatan dan gangguan. Upaya pembinaan Kelompoktani-nelayan agar anggota
memiliki kemampuan kemampuan, antara lain dalam : menciptakan suasana saling
kenal, saling percaya dan selalu berkeinginan untuk bekerjasama; menciptakan
suasana keterbukaan dalam menyatakan pendapat dan pandangan pandangan diantara
anggota; mengatur dan melaksanakan pembagian tugas; bekerjasama dengan pihak
pihak penyedia kemudahan sarana produksi, pengolahan dan pemasaran has4 dan
melaksanakan hubungan melembaga dengan KUD dalam pelaksanaan RDK, RDKK,
pengolahan, pemasaran hasil dan permodalan (antara lain kelompoktani sebagai
KERANGKA
BERFIKIR
DAN
HIPOTESIS PENELITIAN
Kerangka B e r f i
Petani selalu berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan bagi diri dan
keluarganya. Salah satu usaha untuk meningkatkan kesejahteraan yaitu dengan
memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi, demi meningkatkan efisiensi dan
produktivitas usaha.
Beberapa keuntungan penerapan usahatani berwawasan lingkungan melalui
penerapan teknologi PHT, adalah; (a) produk usahatani terhindar dari residu racun
yang terkandung dalam pestisida dan harga produk lebih tinggi, karena residu racun
dari pestisida ini sangat berbahaya bagi kesehatan manusia maupun ternak dan ikan, (b) merupakan upaya pelestarian lingkungan alami dari kepunahan jasad yang
berguna bagi kehidupan manusia secara luas.
Rogers dan Shoemaker ( 197 1) mengajukan suatu model proses adopsi
inovasi, yaitu model proses pengambilan keputusan untuk menerima atau menolak
inovasi menjadi empat tahap. Tahap-tahap tersebut ada!ah: (1) tahap pengenalan,
(2) tahap persuasi, (3) tahap keputusan, dan (4) tahap k o b s i .
Petani memerlukan dasar-dasar pertimbangan yang dianggap benar, baik dan
layak dalam proses adopsi inovasi. Petani masih perlu pertimbangan atau
pengabsahan dari pihak lain, baik secara individu maupun secara
kelembagaadkelompok, kelayakan suatu inovasi tennasuk PHT.
Penerapan inovasi tida k hanya tergantung pada inovasi yang ditawarkan,
(1987) menyatakan bahwa petani
memainkan
peranan inti dalam pembangunanpertanian. Petanilah yang menentukan cara usahatani yang hams dilakukan sehingga
hams mempelajari dan menerapkan metoda baru yang diperlukan untuk membuat
usahataninya lebih produktif.
Variabel terpilih dalam studi ini yang diduga berhubungan dengan penerapan
PHT adalah tingkat pendidikan formal, pendidikan non formal umur, pengalaman
berusahatani, kekosmopolitan, dan penguasaan luas lahan.
Selain karakteristik petani, sifat teknologi yang disampaikan kepada petani
juga berpengaruh terhadap cepat lambatnya proses adopsi inovasi. Menurut Rogers
dan Shoemaker (1971) sifat-sifat teknologi tersebut adalah: (1) keuntungan relatif
yaitu tingkatan dimana suatu ide atau materi baru dianggap suatu yang lebih baik
daripada ide-ide yang ada sebelumnya, (b) kesesuaian (kompatibilitas) yaitu sejauh
mana suatu materi dianggap konsisiten dengan nilai-nilai yang ada, pengalaman masa
lalu, dan kebutuhan penerima atau sasaran, (c) kerumitan (kompleksitas) yaitu tingkat
dimana suatu materi dianggap relatif sulit untuk diengerti dan digunakan,
(d) kemudahan untuk dicoba (triabilitas) yaitu tingkat dimana suatu materi dapat
dicoba dengan skala kecil, dan (e) kemudahan untuk diamati hasilnya (observabilitas)
yaitu tingkat dimana hasil-hasil suatu materi yang diberikan dapat d i i a t oleh
orang lain.
Pemasyarakatan PHT dilakukan melalui penyuluhan, latihan dan kursus-
kursus tani dalam kesatuan kelompok tani (SLPHT). Pemerintah telah berusaha
tersebar. Melalui kelompok tani, petani akan lebih
mudah
mendapatkan informasiyang dibutuhkan petani dan pemerintah lebih mudah menyampailcan informasiuya.
Beberapa keuntungan dari pembentukan kelompok tani itu, antara lam
diungkapkan oleh Torres dalam Mardikanto (1993) sebagai berikut: (a) semakin
eratnya interaksi dalam kelompok dan semakin teibmanya kepemimpinan kelompok;
(b) semakin terarahnya peningkatan secara cepat tentang jiwa kexjasama antara
petani; (c) semakin cepatnya proses perembesan ( a d ) penerapan inovasi;
(d) semakin naiknya kemampuan rata-rata pengembalian hutang (perninjaman)
petani; (e) semakin meningkatnya orientasi pasar, baik yang berkaitan dengan
masukan (input) maupun produk yang dihasilkannya; dan ( f )
semakin
dapatmembantu efisiensi pembagian air irigasi serta pengawasannya oleh petani
sendiri.
Kenyataan di lapangan banyak petani yang belum bersedia menjadi anggota
kelompok tani. Dalam penelitian ingin dilihat perbedaan penerapan PHT antara
petani anggota kelompok tani dengan petani non anggota kelompok tani.
Hubungan antara karakteristik petani dengan penerapan PHT dan antara siiat-
sifat inovasi dengan penerapan
PHT
seperti yang digambarkan pada gambar 1Gambar 1. Hubungan 'antara karalcteristik petani dan sifat-sifat inovasi dengan
penerapan
PHT
oleh petani Karakteristik Petani1 Umur
2 Pendidikan formal
3 Pendidikan non formal
4 Pengalaman betusahatmi
5 Penguasaan luas lahan
6 Kekosmopolitan
Hipotesis Penelitian
1. Eiduga terdapat perbedaan karakteristik petani antara anggota dan non
allggota kelompok tani.
2. Diduga terdapat perbedaan tingkat penerapan
PHT
antara anggota dan nonanggota kelompok tani.
3. Diduga terdapat hubungan yang nyata antara karakteristik petani (pendidikan
formal, pendidikan non formal, pengalaman berusahatani, penguasaan luas
lahan dan kekosmopolitan) dengan penerapan
PHT
yang dilakukan petani.v
Tingkat Penerapan PHT
A Sifat
-
Sifat Inovasi1 . Keuntungan relatif
2. Kesesuaian dengan kebutuhan petani
3. Tingkat kerumitan
4. Kemudahan untuk dicoba
[image:140.603.134.506.84.371.2]Rancangan Penelitian
Penelitian dilakukan dengan metode penelitian survai yang b e r a t deskriptif
korelatif. Penelitian ini menjelaskan hubungan antara dua peubah, peubah bebas dan
peubah terikat. Peubah terikat adalah tingkat penerapan PHT, sedangkan peubah
bebas adalah faktor-faktor yang mempengaruhi petani dalam penerapan PHT yang
meliputi : karateristik petani dan sifat inovasi
Rancangan penelitian survai yaitu suatu penelitian yang mengambil sample
dari populasi, dimana informasi dikumpulkan dari sebahagian populasi untuk
mewakili seluruh populasii dengan menggunakan kuesioner sebagai alat
pengumpulan data pokok (Singarimbun dan Efendi, 1989).
Lokasi, Waktu, Populasi dan Sampel Penelitian
Penelitian dilakukan di desa Purwasari, Kecamatan Dramaga, Kabupaten
Bogor pada bulan April sampai dengan Mei 2002. Lokasi dipilih secara sengaja didasarkan atas permasalahan, tujuan penelitian dan kesesuaian kecukupan sampel
yang akan diambil.
Populasi penelitian adalah petani padi sawah di desa Purwasari, Kecamatan
Dramaga, Bogor. Kenyataan dilapangan terlihat bahwa sebagian petani sudah
tergabung dalam kelompok tani dan sebahagian lagi belum. Berdasarkan ha1 tersebut
secara purposive populasi dibagi 2 menjadi sub populasi petani anggota kelompok
masing 50 orang dengan cara acak. Menurut Sugiyono (2001), pengambilan
responden sebanyak 30 orang sudah mewakili populasi.
Teknik Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan terdiri dari dua sumber, yaitu data primer dan data sekuuder, yang selanjutnya akan dijelaskan pada bagian di bawah ini:
Data Primer, yaitu data yang diperoleh dari responden, dan informan terpilih dengan
menggunakan dafiar pertanyaan, berupa ideutitas petani dan faktor-hktor yang
mempengaruhi petani dalam menerapkan PHT. Data primer
ini
juga diperoleh daripengamatan di lokasi penelitian.
Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dengan studi pustaka dan dari instansi yang terkait yang disesuaikan dengan permasalahan yang diteliti..
Validitas Instrumen
Suatu alat ukur dapat dikatakan mempunyai validitas yang baik bila alat ukur
itu mengukur yang sesuatu yang sebenarnya ingin diukur (Singarimbun, 1989).
Dalam penelitian ini jenis validitas yang digunakan adalah validitas konstruk, yaitu
menyuan tolak
ukur
operasional dari suatu kerangka konsep dan teori yang akandiukur. Dalam ha1 ini upaya yang dilakukan adalah; (a) konsultasi dengan para a