• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rancang bangun sistem pengembangan agroindustri kelapa sawit dengan strategi pemberdayaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Rancang bangun sistem pengembangan agroindustri kelapa sawit dengan strategi pemberdayaan"

Copied!
265
0
0

Teks penuh

(1)

DENGAN STRATEGI PEMBERDAYAAN

ANGGA JATMIKA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 4

Manfaat Penelitian ... 5

Ruang Lingkup Penelitian ... 5

TINJAUAN PUSTAKA ... 6

Pemberdayaan ... 6

Pembangunan dengan Strategi Pemberdayaan ... 11

Pendekatan Sistem ... 14

Sistem Penunjang Keputusan... 17

Perkebunan Kelapa Sawit ... 20

Agroindustri Kelapa Sawit ... 26

LANDASAN TEORI ... 30

Soft System Methodology ... 30

Hard System Methodology ... 42

METODOLOGI PENELITIAN ... 51

Kerangka Pemikiran ... 51

Tahapan Penelitian ... 54

Metode Pengumpulan Data ... 57

Waktu dan Tempat Penelitian ... 58

ANALISIS SISTEM ... 59

Analisis Situasional ... 60

Analisis Kebutuhan ... 67

Formulasi Permasalahan ... 69

Identifikasi Sistem ... 71

FORMULASI STRATEGI PEMBERDAYAAN ... 73

Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal ... 73

Evaluasi Faktor Internal dan Eksternal ... 81

Formulasi Alternatif Strategi ... 83

Pemilihan Strategi... 84

IMPLEMENTASI STRATEGI PEMBERDAYAAN... 90

(3)

Teknologi Pengolahan ... 116

Mekanisme Peningkatan Kapasitas ... 128

Bentuk Kemitraan Agroindustri... 135

POLA PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI KELAPA SAWIT ... 143

Asumsi Pengembangan ... 145

Kelembagaan Pemberdayaan ... 147

Pemberdayaan Petani Pekebun ... 152

Pemberdayaan Koperasi Masyarakat Perkebunan ... 157

Pembiayaan Agroindustri AISA-Berdaya ... 164

SISTEM PENUNJANG KEPUTUSAN... 169

Konfigurasi Sistem Penunjang Keputusan... 169

Pemodelan Sistem Penunjang Keputusan... 170

Validasi Model AISA-OPT... 175

KESIMPULAN DAN SARAN ... 202

Kesimpulan ... 202

Saran ... 203

DAFTAR PUSTAKA ... 204

(4)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Rancang Bangun Sistem Pengembangan Agroindustri Kelapa Sawit dengan Strategi Pemberdayaan adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Maret 2007

(5)

Sawit dengan Strategi Pemberdayaan. Dibimbing oleh ERIYATNO, M. SYAMSUL MA'ARIF, MACHFUD, ERLIZA NOOR dan PURBOYO GURITNO.

Pengembangan perkebunan kelapa sawit rakyat sejak tahun 1977 melalui pola inti-plasma telah berhasil meningkatkan produksi namun belum memberikan peluang bagi petani untuk memanfaatkan potensi ekonomi dalam kegiatan off-farm. Penelitian ini bertujuan untuk merancang bangun sistem pengembangan agroindustri kelapa sawit dengan strategi pemberdayaan. Dalam sistem ini diupayakan terwujudnya PKS dengan kesinambungan operasional terjamin dan petani ikut menikmati keuntungan dari adanya PKS yang berlokasi di sekitar kebun. Sistem terdiri dari model konseptual dan sistem penunjang keputusan (SPK) yang dapat digunakan oleh pengguna secara interaktif.

Hasil penelitian memformulasikan strategi pemberdayaan petani pekebun adalah mengikutsertakan petani untuk memiliki agroindustri, mendorong berkembangnya bentuk usaha kemitraan dalam agroindustri, dan meningkatkan kapabilitas petani dalam pengelolaan kebun. Untuk mengimplementasikan strategi tersebut dirumuskan struktur pengembangan agroindustri dengan teknik ISM untuk mengidentifikasi elemen kunci dari kebutuhan, kendala, tujuan, tolok ukur keberhasilan, dan pelaku.

Hasil analisis dengan teknik AHP-pengambilan keputusan kelompok fuzzy memperlihatkan bahwa teknologi pengolahan terpilih adalah teknologi pengolahan menengah II yang berskala 5 ton TBS/jam menggunakan continuous sterilizer. Mekanisme peningkatan kapasitas petani pekebun yang sesuai adalah pelatihan dan pendampingan, sedangkan kemitraan usaha yang efektif adalah patungan investor – koperasi petani pekebun.

Berdasarkan hasil analisis tersebut kemudian dirancang model konseptual dinamakan pola AISA-Berdaya. Pola ini merupakan bentuk kelembagaan kemitraan jangka panjang antara koperasi dengan investor agroindustri untuk mendirikan dan mengoperasionalkan PKS. Technology fix adalah PKS dengan kapasitas 5 ton TBS/jam menggunakan continuous sterilizer. Dalam pola AISA-Berdaya, seluruh kebun dimiliki oleh petani dan PKS dimiliki oleh investor dan petani. Pembiayaan AISA-Berdaya bersumber dari dana pembiayaan usaha yang mudah terjangkau dan murah dengan adanya mekanisme subsidi bunga oleh Pemerintah Daerah atau Pemerintah Pusat.

Untuk mempermudah penerapan pola AISA-Berdaya oleh manajer atau perencana maka dirancang SPK AISA-OPT. SPK terdiri atas sub model prakiraan harga TBS, prakiraan harga CPO, prakiraan harga inti sawit, optimasi harga TBS kesepakatan, serta kelayakan finansial kebun dan agroindustri. Validasi SPK AISA-OPT di kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi memperlihatkan bahwa pada kondisi normal, nilai PBP, NPV, Net-B/CR, dan IRR berturut-turut adalah 6,20 tahun, Rp. 16,82 juta, 1,98, dan 25,12% untuk usaha kebun sawit per ha serta 3,35 tahun, Rp. 5,93 milyar, 1,46, dan 27,38% untuk PKS. Ini berarti baik usaha kebun maupun PKS layak dilakukan. Kepemilikan saham agroindustri oleh petani layak dilakukan dengan nilai IRR sebesar 28,21%.

(6)

ABSTRACT

ANGGA JATMIKA. Design of Palm Oil Agroindustry Development System with Empowerment Strategy. Under the direction of ERIYATNO, M. SYAMSUL MA’ARIF, MACHFUD, ERLIZA NOOR, and PURBOYO GURITNO.

Palm oil production has been successfully increased through nucleus estate smallholder pattern which is implemented since 1977. However, the increased of palm oil production has not offered potential economic opportunity for farmers by taking part in off farm palm oil production. The objective of this research is to design the oil palm agro industry development system based on empowerment strategy. In this system, palm oil factory will be developed on the basis of operational sustainability and farmer economic benefit. The system is consisted of a conceptual model and decision support system (DSS) that can be interactively operated by users.

The result of this research formulates empowerment of oil palm farmers’ strategies including taking in farmers to own factory, encouraging partnership in palm oil agroindustry, and building capacity of the farmers in oil palm plantation management. This strategy could be implemented subsequent to structural analysis of oilpalm agro industrial development using Interpretive Structural Modelling to identify key elements of needs, constraints, goals, success indicators, and stakeholders.

The result of Analytical Hierarchy Process - Fuzzy Group Decision Making shows choosen processing technology is medium II processing technology with capacity 5 tonnes FFB/hour using continuous sterilizer. The favored capacity building mechanism for oil palm farmers is training and accompanying. The preferred effective business partnership is joint operation of investor and farmers’s cooperative.

A conceptual model was designed based on that analysis entitled AISA-Berdaya pattern. This pattern represents long term partnership institution which governs investor and cooperative to establish and operate palm oil mill. Technology fix is producing capacity 5 tonnes FFB/hour with continuous sterilizer. In this AISA-Berdaya pattern, the plantation is owned by farmers and the factory is possessed by investors and farmers. AISA-Berdaya agroindustry is financed by affordable business financing fund providing low interest rate and subsidy mechanism which is supported by Local and or Central Government.

In order to plan AISA-Berdaya pattern, decision support system namely AISA-OPT was created. The decision support system is consisted of five submodels, i.e. FFB price forecasting, CPO price forecasting, kernel price forecasting, compromize FFB price optimatization, and on farm and off farm business financial analysis. AISA-OPT decision support system which is validated using data of Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi shows PBP 6.20 years, NPV Rp.16.82 millions, Net B/C 1,98, and IRR 25.12% for a plantation, and PBP 3.35 years, NPV Rp.5.93 billions, Net B/C 1.46, and IRR 27.38% for palm oil mill. It indicates that the business is feasible. Ownership of agro industry by farmers is feasible with IRR value of 28,21%.

(7)

©

Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007

Hak cipta dilindungi

(8)

RANCANG BANGUN SISTEM PENGEMBANGAN

AGROINDUSTRI KELAPA SAWIT

DENGAN STRATEGI PEMBERDAYAAN

ANGGA JATMIKA

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Ujian Tertutup

Penguji Luar Komisi

Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya, MEng.

Ujian Terbuka

(10)
(11)

hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Shalawat dan salam semoga tetap dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, para sahabat dan pengikutnya.

Pada kesempatan ini saya menyampaikan penghargaan dan terimakasih yang tulus kepada Prof. Dr. Ir. Eriyatno, MSAE selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan seutuhnya dengan rasa ikhlas, sabar dan peduli tanpa kenal bosan dan lelah. Penghargaan dan terimakasih yang serupa juga saya sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. M. Syamsul Ma’arif, MEng, Dr. Ir. Machfud, MS, Dr. Ir. Erliza Noor, dan Dr. Ir. Purboyo Guritno, MSc masing-masing sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang telah mencurahkan dukungan berupa pengetahuan, saran, petunjuk dan masukan dalam rangka menyempurnakan disertasi ini. Penghargaan dan ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Prof Dr Ir Bambang Pramudya, MEng atas kesediaan menjadi penguji luar komisi pada ujian tertutup dan masukan yang diberikan pada kesempatan tersebut. Penghargaan dan ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Dr Ir Agus Pakpahan, APU dan Dr Ir Lala M. Kolopaking, MS atas kesediaan menjadi penguji luar komisi pada ujian terbuka dan masukan yang diberikan pada kesempatan tersebut

Ucapan terimakasih disampaikan pula kepada:

1. Direktur Eksekutif Lembaga Riset Perkebunan Indonesia (LRPI) yang berkedudukan di Bogor atas dukungan yang diberikan kepada saya selama mengikuti pendidikan S3.

2. Direktur Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) yang berkedudukan di Medan atas ijin, kesempatan dan dukungan dana yang diberikan kepada saya untuk menempuh pendidikan S3.

(12)

4. Seluruh staf pengajar program studi Teknologi Industri Pertanian IPB atas bekal ilmu dan pengalaman yang diberikan kepada saya.

5. Ir. Syafrudin Ahmad, MS, Dr. Ir. Suhirman Mulyodihardjo, Ir. Rimun Wibowo, MSi, Ir. Agus Sutejo, MSi, Harun Al-Rasyid, SSos, Dr Ir Teguh Wahyono, MS, Dr Aji Hermawan, Ir. H. Idris Adlin, Ir. Priyo Atmaji, Ir. Hardantono atas kesediaannya memberikan data dan informasi serta pendapat melalui wawancara dan diskusi selama proses penelitian.

6. Rekan-rekan mahasiswa Teknologi Industri Pertanian dari jenjang S1 sampai dengan S3 dari berbagai angkatan serta rekan-rekan mahasiswa S3 sebimbingan dari program studi selain TIP atas kerjasamanya dalam penyelesaian studi dan disertasi ini.

Penghargaan dan terimakasih juga saya sampaikan kepada kedua orangtua dan mertua penulis yakni Soekatmo, Sujati (alm), H. Dana Sutisna, dan Hj. Ratu Fatimah atas kasih sayang dan didikannya. Penghargaan dan terimakasih juga saya sampaikan kepada yang tercinta, istri Ir. Hj. Evo Gartini, ananda Vania Pramudita Utami, Husna Nuridhia Utami, Muhammad Arya Dharmawan, dan Ramadhanti Utami atas kesabarannya mendampingi dalam suka dan duka

Akhirnya kepada semua pihak yang telah membantu, yang saya tidak dapat sebutkan satu per satu, saya mengucapkan terima kasih. Semoga Allah SWT memberi pahala yang setimpal. Amin, Amin, Amin. Wassalam.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2007

(13)

Penulis dilahirkan di Kertosono, Nganjuk, Jawa Timur pada tanggal 14 Agustus 1964, anak pertama dari pasangan Soekatmo dan Sujati (alm). Menikah dengan Ir Hj. Evo Gartini pada 1990 dan dikaruniai empat orang anak, yaitu Vania Pramudita Utami (15 tahun), Husna Nuridhia Utami (13 tahun), Muhammad Arya Dharmawan (9 tahun), dan Ramadhanti Utami (6 tahun).

Penulis menempuh pendidikan dasar hingga menengah di Kertosono. Setelah lulus dari Sekolah Menengah Atas Negeri Kertosono pada tahun 1983, penulis melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor (IPB) sebagai mahasiswa undangan tanpa ujian saringan masuk melalui Proyek Perintis II. Penulis lulus dari jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian pada tahun 1988. Pada tahun 1991 dengan dana beasiswa dari Pusat Penelitian Kelapa (PPK) Bandar Kuala Sumatera Utara penulis melanjutkan pendidikan pascasarjana S2 pada Program Studi Ilmu Pangan di Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun 1995. Pada tahun 2000 penulis melanjutkan pendidikan pada program S3 Teknologi Industri Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Beasiswa pendidikan S3 diperoleh dari Pusat Penelitian Kelapa Sawit yang berkedudukan di Medan, Sumatera Utara.

(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Perbandingan antara proses dan hasil pemberdayaan menurut tingkat

analisis... 10

2 Luas areal kelapa sawit Indonesia menurut pengusahaan 1991–2003... 21

3 Distribusi luas lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia pada 2003 .... 22

4 Potensi produksi menurut kelas kesesuaian lahan (ton TBS/ha/th) ... 23

5 Distribusi perkebunan kelapa sawit menurut kelas kesesuaian lahan... 23

6 Produksi minyak sawit Indonesia menurut pengusahaan 1991-2003 ... 24

7 Produksi inti sawit Indonesia menurut pengusahaan 1991-2003... 25

8 Contoh distribusi produksi bulanan kelapa sawit ... 26

9 Sebaran Pabrik Kelapa Sawit (PKS) di Indonesia pada 2003... 27

10 Sebaran pabrik fraksinasi minyak sawit di Indonesia pada 2000 ... 28

11 Produksi dan penggunaan dalam negeri CPO Indonesia 1994-2004... 29

12 Skala penilaian perbandingan ... 38

13 Luas hutan yang dapat dikonversi untuk budidaya non kehutanan ... 62

14 Takaran pupuk berdasarkan kombinasi pupuk dan kelas lahan... 63

15 Ekspor dan pangsa pasar minyak sawit dunia... 65

16 Harga rata-rata minyak sawit di pasar domestik dan internasional 1988- 2003... 67

17 Tingkat kepentingan faktor internal untuk penentuan strategi pemberdayaan ... 82

18 Tingkat kepentingan faktor eksternal untuk penentuan strategi pemberdayaan ... 83

19 Matriks strategi pemberdayaan hasil analisis SWOT ... 85

20 Agregasi faktor terhadap alternatif strategi pemberdayaan SO ... 86

21 Agregasi pendapat pakar terhadap alternatif strategi pemberdayaan SO .. 86

22 Agregasi faktor terhadap alternatif strategi pemberdayaan WO... 87

23 Agregasi pendapat pakar terhadap alternatif strategi pemberdayaan WO. 87

24 Agregasi faktor terhadap alternatif strategi pemberdayaan ST... 87

25 Agregasi pendapat pakar terhadap alternatif strategi pemberdayaan ST... 88

26 Agregasi faktor terhadap alternatif strategi pemberdayaan WT ... 88

(15)

28 Matriks reachability final elemen kebutuhan ... 94

29 Matriks reachability final elemen kendala ... 98

30 Matriks reachability final elemen tujuan... 102

31 Matriks reachability final elemen tolok ukur keberhasilan ... 107

32 Matriks reachability final elemen lembaga yang terlibat ... 112

33 Tingkat kepentingan kriteria untuk penentuan teknologi pengolahan... 126

34 Agregasi kriteria terhadap alternatif teknologi pengolahan... 126

35 Agregasi pendapat pakar terhadap alternatif teknologi pengolahan ... 127

36 Tingkat kepentingan kriteria untuk penentuan mekanisme peningkatan kapasitas... 134

37 Agregasi kriteria terhadap alternatif mekanisme peningkatan kapasitas.. 134

38 Agregasi pendapat pakar terhadap alternatif mekanisme peningkatan kapasitas... 134

39 Tingkat kepentingan kriteria untuk penentuan bentuk kemitraan... 140

40 Agregasi kriteria terhadap alternatif bentuk kemitraan ... 141

41 Agregasi pendapat pakar terhadap alternatif bentuk kemitraan... 141

42 Evaluasi teknik prakiraan untuk prakiraan harga TBS ... 175

43 Evaluasi teknik prakiraan untuk prakiraan harga CPO... 175

44 Evaluasi teknik prakiraan untuk prakiraan harga inti sawit... 175

(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Tujuh langkah dalam Soft System Methodology ... 17

2 Struktur dasar sistem penunjang keputusan... 20

3 Perkembangan perkebunan kelapa sawit Indonesia 1916-2003 ... 21

4 Diagram teknik ISM ... 35

5 Diagram alir teknik AHP (Analytical Hierarchy Process) ... 37

6 Optimasi variabel tunggal/unimodal... 42

7 Mekanisme penelusuran Golden Section... 43

8 Kerangka pemikiran penelitian ... 53

9 Tahapan penelitian ... 55

10 Perkembangan harga CPO cif Roterdam 1972-2005 ... 66

11 Diagram sebab akibat sistem pengembangan agroindustri... 72

12 Diagram input output sistem pengembangan agroindustri ... 72

13 Diagram alir formulasi strategi pemberdayaan... 74

14 Diagram alir teknik strukturisasi elemen ... 91

15 Struktur hierarki antar sub elemen kebutuhan pengembangan ... 94

16 Matrik driver power-dependence elemen kebutuhan pengembangan ... 96

17 Struktur hierarki antar sub elemen kendala pengembangan ... 99

18 Matrik driver power-dependence elemen kendala pengembangan ... 101

19 Struktur hierarki antar sub elemen tujuan pengembangan ... 104

20 Matrik driver power-dependence elemen tujuan pengembangan ... 105

21 Struktur hierarki antar sub elemen tolok ukur keberhasilan pengembangan ... 108

22 Matrik driver power-dependence elemen tolok ukur keberhasilan pengembangan ... 110

23 Struktur hierarki antar sub elemen lembaga yang terlibat ... 113

24 Matrik driver power-dependence elemen lembaga yang terlibat ... 114

25 Struktur elemen pengembangan agroindustri ... 116

26 Diagram alir teknik pemilihan teknologi pengolahan... 118

27 Proses ekstraksi minyak sawit dari buah sawit tenera... 120

(17)

29 Diagram alir teknik pemilihan mekanisme peningkatan kapasitas... 129

30 Tingkat partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan ... 131

31 Diagram alir teknik pemilihan bentuk kemitraan agroindustri ... 136

32 Struktur kelembagaan pemberdayaan sampai dengan terbentuknya agroindustri PKS AISA-Berdaya... 150

33 Struktur kelembagaan pemberdayaan pada saat agroindustri PKS AISA-Berdaya beroperasi... 151

34 Mekanisme subsidi bunga untuk membantu penyertaan modal petani dalam agroindustri ... 165

35 Mekanisme KUMK dari Dana SUP-005, melalui KSP/USP-Koperasi... 166

36 Mekanisme pembiayaan pola AISA-Berdaya... 168

37 Konfigurasi program AISA-OPT... 169

38 Diagram alir sub model optimasi harga TBS kesepakatan ... 172

39 Diagram alir sub model kelayakan finansial usaha perkebunan kelapa sawit ... 173

40 Diagram alir sub model kelayakan finansial usaha agroindustri kelapa sawit ... 174

41 Prakiraan harga TBS dengan analisis Fourier... 176

42 Prakiraan harga CPO dengan analisis Fourier... 176

43 Prakiraan harga inti sawit dengan analisis Fourier... 177

44 Hubungan produktivitas riil dengan PBP dan net B/C ... 183

45 Hubungan produktivitas riil dengan NPV danIRR ... 183

46 Hubungan harga TBS dengan PBP dan net B/C... 184

47 Hubungan harga TBS dengan NPV danIRR... 185

48 Hubungan biaya produksi TBS dengan PBP dan net B/C ... 185

49 Hubungan biaya produksi TBS dengan NPV danIRR... 186

50 Hubungan suku bunga dengan net B/C dan NPV... 187

51 Hubungan rendemen CPO dengan PBP dan net B/C... 191

52 Hubungan rendemen CPO dengan NPV danIRR ... 192

53 Hubungan rendemen inti sawit dengan PBP dan net B/C... 193

54 Hubungan rendemen inti sawit dengan NPV danIRR ... 193

55 Hubungan harga CPO dengan PBP dan net B/C ... 194

56 Hubungan harga CPO dengan NPV danIRR ... 194

57 Hubungan harga inti sawit dengan PBP dan net B/C ... 195

(18)

xvi

59 Hubungan harga TBS dengan PBP dan net B/C... 196

60 Hubungan harga TBS dengan NPV danIRR... 197

61 Hubungan biaya produksi CPO dengan PBP dan net B/C... 198

62 Hubungan biaya produksi CPO dengan NPV danIRR ... 198

(19)

1 Peralatan pengolahan kelapa sawit skala kecil di Afrika... 214

2 Penilaian pakar terhadap strategi pemberdayaan SO... 215

3 Penilaian pakar terhadap strategi pemberdayaan WO ... 216

4 Penilaian pakar terhadap strategi pemberdayaan ST ... 217

5 Penilaian pakar terhadap strategi pemberdayaan WT... 218

6 SSIM final untuk elemen kebutuhan pengembangan agroindustri ... 219

7 SSIM final untuk elemen kendala pengembangan agroindustri ... 219

8 SSIM final untuk elemen tujuan pengembangan agroindustri... 219

9 SSIM final untuk elemen tolok ukur keberhasilan pengembangan agroindustri ... 220

10 SSIM final untuk elemen lembaga yang terlibat dalam pengembangan agroindustri ... 220

11 Kriteria panen tandan buah kelapa sawit ... 221

12 Peralatan PKS mikro I berkapasitas 500 kg TBS/jam ... 222

13 Peralatan PKS mikro II berkapasitas 1000 kg TBS/jam... 223

14 Peralatan PKS menengah I berkapasitas 5 ton TBS/jam ... 224

15 Peralatan PKS menengah II berkapasitas 5 ton TBS/jam... 225

16 Penilaian pakar terhadap alternatif teknologi pengolahan ... 226

17 Tata letak PKS menengah II berkapasitas 5 ton TBS/jam... 227

18 Penilaian pakar terhadap alternatif mekanisme peningkatan kapasitas ... 228

19 Penilaian pakar terhadap alternatif bentuk kemitraan... 229

20 Proyeksi laba rugi usaha kebun kelapa sawit seluas 1 Ha ... 230

21 Proyeksi arus kas usaha kebun kelapa sawit seluas 1 Ha ... 234

22 Proyeksi laba rugi usaha agroindustri PKS 5 ton TBS/jam ... 238

23 Proyeksi arus kas usaha agroindustri PKS 5 ton TBS/jam ... 240

(20)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kelapa sawit (Elaeis guineensis, Jacq.) merupakan salah satu komoditas andalan perkebunan yang peranannya cukup penting bagi perekonomian nasional, khususnya sebagai penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan dan devisa negara. Disamping itu pengembangan kelapa sawit juga berperan dalam mendorong pengembangan wilayah dan pengembangan agroindustri. Pengembangan kelapa sawit antara lain memberi manfaat dalam peningkatan pendapatan petani, penyediaan CPO untuk bahan baku minyak goreng dan oleokimia, serta perolehan devisa dari ekspor CPO. Produksi CPO tahun 1998 sebesar 5,6 juta ton meningkat menjadi sekitar 10,7 juta ton pada tahun 2003, volume ekspor CPO tahun 1998 sebesar 1,6 juta ton senilai US$ 800 ribu dolar meningkat menjadi 5,7 juta ton senilai US$ 2,1 juta dolar pada tahun 2003. Perkebunan kelapa sawit mampu menyediakan kesempatan kerja bagi lebih dari 2 juta tenaga kerja.

Pada tahun 2004 total luas areal tanaman kelapa sawit Indonesia telah mencapai 5,29 juta ha dengan produksi CPO sekitar 12,4 juta ton dengan nilai ekspor CPO mencapai US$ 3,95 milyar (Deptan 2005). Sebaran perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah 85,55% di Sumatera, 11,45% Kalimantan, 2% Sulawesi, dan 1% di wilayah lainnya. Indonesia saat ini merupakan produsen minyak sawit kedua terbesar di dunia setelah Malaysia. Menurut perkiraan berdasarkan tingkat perluasan areal yang terus berlangsung, Indonesia akan menjadi produsen minyak sawit terbesar di dunia pada tahun 2010 (Bangun 2005).

Kemajuan pengembangan perkebunan kelapa sawit tersebut diantaranya merupakan kontribusi dari perkebunan kelapa sawit rakyat. Pada tahun 2003, luas areal perkebunan rakyat mencapai 1.827 ribu ha atau 34,9% dari luas areal di seluruh Indonesia dan memberi andil produksi CPO sebesar 3.645 ribu ton (37,12% produksi CPO Indonesia). Produksi tersebut dicapai pada tingkat produktivitas perkebunan rakyat sekitar 2,73 ton CPO/ha.

(21)

and Smallholder Development Project (NES Project). Dalam pola ini pemerintah mengembangkan model pengembangan perkebunan rakyat melalui pemukiman di daerah baru dengan dukungan perusahaan perkebunan negara sebagai intinya.

Pengembangan pola PIR tersebut diharapkan dapat meningkatkan kemampuan, mengembangkan dan mendinamisasikan potensi bagian masyarakat yang lemah aksesnya terhadap sumber daya ekonomi sehingga manfaat pembangunan tidak hanya dirasakan oleh kelompok masyarakat tertentu yang kuat aksesnya kepada sumber daya ekonomi. Pola PIR merupakan perwujudan aplikasi sistem ekonomi kerakyatan. Menurut Eriyatno (1996) sistem ekonomi kerakyatan mempunyai misi pokok menyediakan lapangan pekerjaan serta mewujudkan taraf hidup yang layak bagi seluruh warga negara. Apabila ekonomi rakyat berkembang, pembangunan dapat berkesinambungan. Ketahanan perekonomian nasional terhadap goncangan-goncangan ekonomi eksternal dan internal diharapkan menjadi lebih kukuh disebabkan oleh adanya basis perekonomian yang lebih luas - tidak terpusat pada perorangan, sekelompok orang atau perusahaan tertentu (Kartasasmita 1996).

Dalam pola PIR, bagian masyarakat yang dikategorikan sebagai pelaku ekonomi kecil yaitu petani pekebun mendapatkan bantuan agar akhirnya dapat memiliki kebun kelapa sawit seluas 2 ha/KK. Berbagai aktivitas yang dikembangkan dalam pola PIR dirasakan sangat penting untuk mengatasi kelemahan pelaku ekonomi kecil yang menurut Juoro (2000) umumnya mempunyai akses minim terhadap sumber pembiayaan maupun modal, sumber daya manusia, informasi dan perkembangan teknologi. Pola PIR mengalami berbagai perkembangan, sejak dimulai pada tahun 1977/1978 sudah terdapat lima tipe pola PIR yang dilaksanakan yaitu PIR-Lokal, PIR Berbantuan, PIR Khusus, PIR Akselerasi, dan PIR Trans dan KKPA (Zen et al. 2005).

(22)

3

Pembangunan ekonomi Indonesia pada masa yang lalu yang lebih ditekankan pada aspek pertumbuhan, ternyata menimbulkan berbagai permasalahan, seperti kesenjangan, degradasi sumber daya alam, pengangguran, dan kemiskinan. Manfaat pembangunan lebih dirasakan oleh kelompok masyarakat tertentu yang kuat aksesnya kepada sumber daya ekonomi. Pemerataan yang diharapkan terjadi dengan sendirinya melalui mekanisme trickle down effect, ternyata tidak pernah terjadi. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tanpa diikuti pemerataan kesempatan berusaha untuk masyarakat, ternyata hanya menghasilkan perekonomian nasional yang rentan.

Bagian yang tertinggal dalam masyarakat ditingkatkan kemampuannya melalui strategi pemberdayaan, dengan mengembangkan dan mendinamisasikan potensinya. Secara praktis upaya yang merupakan pengerahan sumber daya untuk mengembangkan potensi ekonomi rakyat ini akan meningkatkan produktivitas rakyat sehingga baik sumber daya manusia maupun sumber daya alam di sekitar keberadaan rakyat dapat ditingkatkan produktivitasnya. Upaya tersebut menyebabkan rakyat dan lingkungannya mampu secara partisipatif menghasilkan dan menumbuhkan nilai tambah ekonomis sekaligus meningkatkan harkat, martabat, rasa percaya diri, dan harga dirinya (Hikmat 2004).

Sejalan dengan pengembangan perkebunan kelapa sawit, agroindustri pengolah kelapa sawit menjadi minyak sawit (crude palm oil, CPO) yang dinamakan Pabrik Kelapa Sawit (PKS) juga berkembang. Pelaksanaan pola PIR mengubah peta kepemilikan kebun kelapa sawit namun tidak mengubah kepemilikan PKS. Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, PKS sepenuhnya menjadi milik perusahaan perkebunan baik milik negara maupun swasta, yang dalam pola PIR berperan sebagai perusahaan inti. Pada pola PIR yang dikembangkan pada tahap awal, perusahaan inti memiliki PKS dan 20% luas areal kebun. Pada PIR berikutnya, perusahaan inti memiliki PKS dan 40% luas areal kebun.

(23)

Permasalahan yang muncul misalnya petani tidak menjual ke PKS inti untuk mendapatkan harga yang lebih tinggi dan petani kurang perhatian dalam pengelolaan kebun. Berdasarkan permasalahan di atas maka perlu dilakukan penataan kembali pola hubungan antara petani dengan investor dalam sistem pengembangan agroindustri kelapa sawit yang terdiri dari kebun kelapa sawit dan PKS. Pola yang baru tersebut tetap menggunakan strategi pemberdayaan yang lebih meningkatkan keberdayaan petani agar lebih berperan dalam pengembangan sistem agroindustri kelapa sawit di Indonesia.

Pada saat pola PIR dikembangkan pada tahun 1977/1978, Indonesia masih menganut tata pemerintahan sentralisasi sehingga Pemerintah Pusat sangat dominan dalam perumusan kebijakan tersebut. Sedangkan, pada era otonomi daerah saat ini, yaitu sejak diberlakukannya Undang-undang No. 22 tahun 1999 kemudian direvisi dengan Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 kemudian direvisi dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, Pemerintah Daerah dapat berperan lebih besar dalam pengembangan sistem agroindustri kelapa sawit dibandingkan dengan peran yang dijalankan ketika PIR mulai dilaksanakan. Pemerintah Daerah mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat setempat, termasuk masyarakat perkebunan kelapa sawit.

Tujuan Penelitian

(24)

5

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa: (1) menyediakan pola pengembangan agroindustri dengan strategi pemberdayaan yang didukung oleh SPK agar pengambil keputusan dapat memperkirakan konsekuensi dari kebijakan yang diterapkan. Oleh karena itu, diharapkan keputusan-keputusan manajemen dapat memanfaatkan peluang yang ada, tepat waktu, tepat sasaran, dan dapat dipertanggungjawabkan, (2) menyediakan pola pengembangan agroindustri yang berisi semangat keberpihakan terhadap pelaku ekonomi kecil menengah untuk meningkatkan taraf hidupnya, (3) menyediakan pola pengembangan agroindustri yang menjamin keberlanjutan usaha baik secara ekonomi maupun sosial, dan (4) memperkaya khasanah penerapan pendekatan sistem pada bidang agroindustri kelapa sawit.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Obyek kajian adalah perkebunan kelapa sawit rakyat, (2) Agroindustri kelapa sawit adalah perkebunan dan agroindustri pengolah TBS (Pabrik Kelapa Sawit = PKS) yang menghasilkan CPO dan inti sawit berskala kecil menengah, (3) Perkebunan dan agroindustri kelapa sawit yang dikaji berlokasi di lahan dengan kesesuaian kelas 3 (cukup sesuai), berkisar dari lahan mineral dan lahan gambut yang tidak dalam.

(25)

Pemberdayaan

Pemberdayaan (empowerment) berasal dari bahasa Inggris dengan kata dasar to empower. Menurut Merriam-Webster Online Dictionary (2006) to empower diartikan sebagai to promote the self-actualization or influence of (meningkatkan aktualisasi diri atau pengaruh terhadap sesuatu). Sedangkan Narayan (2002) mengartikan pemberdayaan sebagai peningkatan modal dan kemampuan dari rakyat yang lemah untuk berpartisipasi dalam, bernegosiasi dengan, mempengaruhi, mengawasi, dan mengendalikan tanggungjawab kelembagaan yang mempengaruhi hidupnya.

Kalangan ilmuwan dari perguruan tinggi juga terlibat banyak dalam mendiskusikan konsep pemberdayaan ditinjau dari perspektif ilmu-ilmu sosial ekonomi, budaya dan politik. Hermawan (2005) telah mengidentifikasi empat disiplin ilmu yang secara luas menggunakan istilah (atau kata) pemberdayaan yaitu perilaku organisasi, manajemen sumber daya manusia, psikologi kemasyarakatan, dan ilmu politik.

Perilaku organisasi adalah suatu disiplin yang memandang pemberdayaan terutama dari perspektif psikologi dan individu. Pemberdayaan dipersepsikan sebagai suatu bentuk kondisi psikologis, lebih spesifik sebagai unsur kognitif dari seorang individu dalam organisasi-organisasi. Inisiatif pemberdayaan kebanyakan didefinisikan oleh manajer untuk mendapatkan perilaku mendukung pegawai yang diharapkan mengarah ke perkembangan prestasi organisasi.

(26)

7

menjalankan program pemberdayaan, dimana inisiatif diambil oleh para manajer dan prestasi organisasi ditempatkan sebagai tujuan utama.

Disiplin psikologi kemasyarakatan memandang pemberdayaan tidak hanya sebagai suatu kondisi psikologis individu semata tetapi juga mengandung proses pemberdayaan dalam pengaturan organisasi maupun masyarakat. Disiplin ini memandang pemberdayaan sebagai suatu proses yang diambil oleh individu-individu yang menginginkan pemberdayaan, tidak diberikan oleh fihak luar.

Agak berbeda dengan ketiga disiplin yang terdahulu, ilmu politik menggunakan istilah pemberdayaan yang gagasan dasarnya kebanyakan tidak jauh dari partisipasi dan demokrasi, yang telah muncul sebelumnya. Tujuan pemberdayaan cenderung memfokuskan pada mendapatkan kekuasaan daripada hanya sekedar perasaan telah memiliki kekuasaan. Pemberdayaan mengandung keterlibatan secara sosial dan politik pada bidang-bidang yang relevan. Pendekatan yang digunakan pada umumnya berasal dari bawah, dijalankan oleh kelompok masyarakat yang lemah untuk memperoleh distribusi kekuasaan yang merata baik dalam bidang ekonomi maupun politik.

Pada disiplin perilaku organisasi dan manajemen sumber daya manusia pemberdayaan dibingkai dalam setting organisasi perusahaan dengan penerima manfaat terutama karyawan, sedangkan pada disiplin psikologi kemasyarakatan dan ilmu politik settingnya adalah masyarakat atau bentuk kemasyarakatan yang lebih luas dengan penerima manfaat adalah bagian dari anggota masyarakat tersebut.

(27)

Dalam rangka menjelaskan konsep pemberdayaan para ilmuwan yang berada pada disiplin psikologi kemasyarakatan memilahnya berdasarkan tingkat analisisnya dan membedakan pemberdayaan sebagai proses pemberdayaan (empowering) dan sebagai hasil pemberdayaan (empowered). Pemberdayaan dapat dianalisis pada tingkat individu, organisasi, dan masyarakat.

Pemberdayaan tingkat individu diekspresikan dengan pemberdayaan secara kejiwaan (psychological empowerment). Bentuknya tergantung pada konteks populasi yang dikaji. Pada kebanyakan kasus, pemberdayaan dikonseptualisasikan dengan memilahnya lagi menjadi komponen intrapersonal, interactional, dan perilaku (Zimmerman et al. 1992). Komponen intrapersonal merujuk kepada bagaimana seseorang memandang dirinya sendiri termasuk didalamnya motivasi, penguasaan diri dan kompetensi. Komponen interactional merujuk kepada pemahaman seseorang tentang masyarakatnya dan permasalahannya. Sedangkan komponen perilaku merujuk kepada tindakan yang diambil seseorang yang akan mempengaruhi hasil yang didapatkannya.

(28)

9

Gergis (1999) menyatakan bahwa dimensi motivasi pemberdayaan individu meliputi 1) keberdayaan akan dicapai hanya oleh individu yang ingin berdaya, 2) pemberdayaan sejatinya adalah penciptaan kondisi kondusif untuk peningkatan motivasi, dan 3) dalam pemberdayaan diperlukan pembekalan terhadap individu agar mempunyai kemampuan memadai.

Dalam pemberdayaan tingkat organisasi, organisasi berkiprah untuk melayani anggotanya dan masyarakatnya. Proses pemberdayaan organisasi merujuk peranannya dalam hubungannya dengan anggotanya, sedangkan hasil pemberdayaan merujuk kepada keefektifannya terhadap masyarakat. Proses pemberdayaan organisasi adalah menyediakan peluang-peluang bagi anggotanya untuk mendapatkan kendali atas kehidupannya. Organisasi hasil pemberdayaan seharusnya dapat mempengaruhi kebijakan (Zimmerman 2000).

Proses pemberdayaan organisasi membutuhkan kepemimpinan, manajemen sumber daya, koordinasi kegiatan, dan pengaturan lain yang sedemikian rupa dapat membuat anggotanya berdaya. Organisasi yang mengalami proses pemberdayaan seharusnya dapat memberikan peluang bagi anggotanya untuk ambil bagian dalam pengambilan keputusan, tanggung jawab kolektif, dan kepemimpinan kolektif. Menurut Maton dan Salem (1995), kepemimpinan yang baik merupakan ciri organisasi hasil pemberdayaan yang berhasil. Sementara itu Zimmerman (2000) menyebutkan ciri-ciri organisasi hasil pemberdayaan yang berhasil adalah berdaya saing, berjejaring dengan organisasi lainnya untuk berbagi informasi dan sumber daya, serta berpengaruh terhadap proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi masyarakatnya.

Menurut Speer dan Hughey (1995) hasil pemberdayaan organisasi memunculkan tiga alat kekuasaan yaitu kemampuan memberikan penghargaan dan penalti terhadap anggota secara baik, kemampuan social power mengarahkan topik sehingga tidak merembet ke hal yang tidak diperlukan, kemampuan untuk mempengaruhi opini masyarakat terhadap suatu permasalahan.

(29)

memungkinkan adanya partisipasi warga. Proses pemberdayaan masyarakat diekspresikan melalui pembangunan multi sektor yang saling berkaitan yang merujuk pada adanya hubungan antara kelembagaan dan konstituennya, keterkaitan kelembagaan lintas sektor, dan perhatian kolektif terhadap issue pembangunan yang berkembang di masyarakat (Speer dan Hughey 1995). Berdasarkan tingkat analisisnya, proses dan hasil pemberdayaan memperlihatkan perbedaan, sebagaimana disajikan pada Tabel 1 (Perkins dan Zimmerman 1995; Zimmerman 2000).

Tabel 1. Perbandingan antara proses dan hasil pemberdayaan menurut tingkat analisis

Tingkat analisis Proses pemberdayaan Hasil pemberdayaan

Individu

(30)

11

dalam pengambilan keputusan (pemberdayaan organisasi). Koperasi dapat meningkatkan, meskipun kadang hanya sedikit, power dan voice anggota koperasi dalam kehidupan masyarakat dimana koperasi tersebut berada (pemberdayaan masyarakat).

Fawcet et al. (1995) memberikan contoh praktis penerapan strategi pemberdayaan pada pengembangan kesehatan masyarakat melalui kemitraan. Ia berhasil mengidentifikasi empat kelompok strategi pemberdayaan masyarakat yaitu pengembangan pengalaman dan kompetensi, pengembangan kapasitas dan struktur kelompok, penghilangan kendala-kendala sosial dan lingkungan, serta peningkatan sumberdaya dan dukungan lingkungan. Keempat strategi tersebut dijabarkan menjadi 33 macam kegiatan.

Berdasarkan telaah terhadap beragam pandangan dari masing-masing disiplin tersebut maka makna pemberdayaan yang dimaksudkan dalam kaitan pemberdayaan petani pekebun agar dapat mengambil peran dalam pengembangan agroindustri kelapa sawit menyerupai pengertian pemberdayaan menurut pemahaman psikologi kemasyarakatan. Dalam lingkup koperasi petani pekebun kelapa sawit diharapkan dapat dilaksanakan pemberdayaan dalam berbagai tingkat, menyerupai yang dilakukan Kroeker (1995) melalui strategi pemberdayaan yang teridentifikasi oleh para pakar.

Pembangunan dengan Strategi Pemberdayaan

Istilah pemberdayaan mulai muncul dekade 1970-an, kemudian digunakan secara luas oleh berbagai lapisan masyarakat di Indonesia terutama setelah Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) waktu itu menyampaikan Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besarnya di Universitas Brawijaya Malang pada tanggal 17 Mei 1995 (Hikmat 2004; Pranadji 2006).

(31)

Memberdayakan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu. Dengan kata lain memberdayakan masyarakat adalah memampukan dan memandirikan masyarakat (Wibowo 2002). Senada dengan hal tersebut, Djohani (1996) mengartikan pemberdayaan masyarakat sebagai pengembangan kemampuan masyarakat agar secara berdiri sendiri memiliki ketrampilan untuk mengatasi masalah-masalah mereka sendiri.

Merujuk pada berbagai konsepsi seperti dijelaskan di atas maka pemberdayaan merupakan suatu pendekatan pembangunan yang berorientasi pada manusia, dengan mengedepankan azas partisipasi (participatory), musyawarah dan keadilan (equity), yang dalam prosesnya memberikan sesuatu kemudahan (akses) sehingga pada akhirnya dicapai kemajuan dan kemandirian.

Sayogyo (1999) mengemukakan bahwa untuk merangsang lahirnya gerakan masyarakat yang bermula pada komunitas lokal, ada sejumlah syarat yang terlebih dahulu harus dipenuhi. Tiga syarat terpenting diuraikan pada alinea berikut.

Pertama, restrukturisasi kelembagaan dasar komunitas. Tatanan dasar yang mengatur kehidupan komunitas perlu direorientasi (UU Politik dan Pemerintahan), dari pola yang feodalistik dan kolonial (pemerintahan yang kuat dan paternalistik) ke pola pemerintah yang lebih professional dan masyarakat yang dinamis. Tatanan baru perlu menjamin kebebasan masyarakat berekspresi dan mengembangkan inisiatif lokal untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan azasinya. Masyarakat harus menjadi subjek dan penentu utama dari segala kegiatan pembangunan dalam arti yang sesungguhnya.

Kedua, meninjau kembali segala kebijakan yang memperlemah kebudayaan masyarakat, dan menggantinya dengan kebijakan yang lebih memihak pada upaya peningkatan keberdayaan masyarakat desa untuk memperbaiki nasib sendiri.

(32)

13

kebutuhan, perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, evaluasi sampai pemanfaatan hasil-hasilnya. Dalam keadaan demikian, masyarakat akan menerima “kegagalan” maupun “keberhasilan” program secara bertanggung jawab.

Pembangunan yang memberdayakan hanya bisa tercapai melalui sikap intrinsik “memanusiakan manusia”, melalui penggalian dan penghargaan pada nilai-nilai luhur kemanusiaan, dan melalui pengembangan prakarsa dan partisipasi masyarakat menolong diri sendiri untuk “berdiri di atas kaki sendiri”. Pemberdayaan merupakan proses belajar yang produktif dan reproduktif. Produktif dalam pengertian mampu mendayagunakan potensi diri dan lingkungan. Kerjasama untuk memperoleh kemanfaatan material dan immaterial bagi masyarakat pada suatu jangka waktu tertentu. Reproduktif, dalam pengertian mampu mewariskan nilai-nilai kearifan. Setiap generasi yang berdaya harus bisa mewarisi nilai kerarifan kepada generasi berikutnya, utamanya nilai-nilai pembebasan diri dari keterbelakangan dan kemiskinan.

Ketidakberdayaan umumnya mengacu pada ketidakmampuan untuk mengakses kebutuhan masyarakat menurut ukuran tertentu. Ketidakberdayaan hampir selalu berkonsekuensi pada aspek ekonomi, misalnya pendapatan. Peningkatan pendapatan sarat dengan ukuran-ukuran yang bersifat ekonomis, meskipun dalam prosesnya seringkali terkait dengan aspek-aspek non ekonomis.

Pemberdayaan masyarakat terutama di bidang ekonomi dan politik merupakan prasyarat agar pembangunan perekonomian rakyat dapat dilaksanakan secara baik. Pemberdayaan masyarakat dalam bidang ekonomi saja, tanpa diikuti dengan pemberdayaan dalam bidang politik, tidak akan memberikan hasil yang optimal. Sebaliknya, pemberdayaan dalam bidang politik tanpa diikuti dengan pemberdayaan dalam bidang ekonomi hanya akan menimbulkan chaos (Haeruman 2001).

(33)

warga masyarakat dibawah pimpinan dan pengawasan anggota masyarakat (Mubyarto 2002). Menurut Sumodiningrat (1999) pemberdayaan masyarakat mengandung pengertian memihak (targetting), mempersiapkan (enabling), dan melindungi (protecting). Dalam kaitan makna inilah sesungguhnya letak strategisnya pemberdayaan untuk mengatasi tantangan pembangunan nasional saat ini yaitu bagaimana “menghidupkan” ekonomi oleh pelaku ekonomi kecil-menengah berdampingan dengan pelaku ekonomi besar, yang dalam penelitian ini adalah petani dan investor.

Pendekatan Sistem

Manetsch dan Park (1977) mendefinisikan sistem adalah suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau suatu gugus dari tujuan-tujuan. Visi kesisteman dalam arti luas adalah pola pikir ilmiah untuk pengkajian yang memerlukan telaah berbagai hubungan yang relevan, komplementer dan terpercaya. Oleh karena pemikiran kesisteman selalu mencari keterpaduan antar bagian melalui pemahaman yang utuh, maka diperlukan suatu kerangka pikir yang dinamakan pendekatan sistem (Eriyatno 1999). Pendekatan sistem mulai diperkenalkan oleh Von Bertalanffy dengan gagasannya yang dinamakan General System Theory (GST) yang didasari oleh pemikiran perlunya keahlian generalis dan pendekatan lintas disiplin dalam memahami dunia nyata secara efisien.

(34)

15

maupun rekomendasi. Dalam menerapkan pendekatan sistem harus dipegang teguh tiga pola pikir dasar yaitu: (1) sibernetik (cybernetic), artinya berorientasi pada tujuan. Bahwasanya pendekatan sistem dimulai dengan menetapkan sekumpulan tujuan yang ditampilkan melalui analisa kebutuhan, (2) holistik (holistic), yaitu cara pandang yang utuh terhadap keutuhan sistem, yang berarti segmentasi atau cara pandang yang parsial dipandang mereduksi hasil kajian, (3) efektif (effectiveness), yaitu konsepsi yang lebih mementingkan hasil guna yang operasional serta dapat dilaksanakan daripada pendalaman teoritis untuk mencapai efisiensi keputusan (Eriyatno 1999).

Tahapan pendekatan sistem, sebagaimana dikemukakan oleh Manetsch dan Park (1977), mengandung tiga unsur utama sistem yaitu data dan pengetahuan dasar, keandalan model matematik, dan penerapannya. Pendekatan sistem dicirikan oleh adanya metodologi perencanaan atau pengelolaan, bersifat multidisiplin, terorganisir, penggunaan model matematika, kemampuan berpikir secara kualitatif, penggunaan teknik simulasi dan optimasi serta dapat diterapkan dengan komputer. Pendekatan sistem menggunakan model, yaitu suatu abstraksi dari keadaan nyata atau penyederhanaan sistem nyata dalam rangka memudahkan pengkajian suatu sistem yang dipelajari atau diamati (Marimin 2002). Paparan tersebut lebih merujuk kepada apa yang sekarang dikenal sebagai hard system approach.

Saat ini, pendekatan sistem berkembang menjadi berbagai macam tipe, yaitu hard system approach, soft system approach, dan critical system approach (Midgley 2000; Goede 2005).

(35)

Situasi tidak terstruktur yang ditengarai sebagai

permasalahan

Situasi permasalahan yang ditemukenali

Pendefinisian sistem yang

relevan

Model konseptual Perbandingan model

dan dunia nyata

Perubahan: ƒ diinginkan secara

sistematis ƒ layak secara

kultural Tindakan untuk

memperbaiki sistem

Dunia nyata

Pendekatan sistem

Sumber: Checkland (1995)

Gambar 1. Tujuh langkah dalam soft systemmethodology.

Pengguna critical system approach berkeyakinan bahwa hal yang terjadi pada masyarakat di dunia ini tidak harmonis secara fundamental. Oleh karena itu, untuk memahami, menjelaskan dan membuat perubahan-perubahan yang mungkin, harus dipikirkan berbagai hal yang bersifat kontradiksi (Goede 2005). Pendekatan ini diterapkan terutama dengan intervensi yaitu aksi yang mempunyai tujuan yang dilakukan oleh agen untuk membuat perubahan (Midgley 2006).

(36)

17

metode-metode intervensi yang digunakan pada keadaan tertentu seharusnya dikenali. Pemikiran sistem kritis diarahkan agar semua pihak dapat berkembang secara maksimal berdasarkan potensi masing-masing. Pemikiran sistem kritis menghargai teori maupun metode yang dikembangkan dalam pemikiran sistem lainnya yaitu hard system thinking dan soft system thinking. Berdasarkan penghargaan ini, Jackson (2001) menelaah perbedaan ketiga pemikiran sistem tersebut dalam hal ide sistem, peranan model, penggunaan teknik kuantitatif, proses intervensi dan pengujian solusi.

Salah satu metodologi yang dikembangkan untuk menerapkan pemikiran sistem kritis adalah total systems intervention (Jackson, 2000). Proses TSI terdiri dari tahap kreativitas (creativity), pemilihan (choice), dan implementasi (implementation).

Tahap kreativitas ditujukan untuk mengungkap dan menyoroti tujuan, hal yang menjadi perhatian dan permasalahan di dalam sebuah organisasi dengan menggunakan metafora (kiasan). Pihak yang berkepentingan didorong untuk menempatkan metafora terhadap berbagai aspek fungsi organisasi yang berbeda. Sebagai contoh, dengan membayangkan organisasi sebagai sebuah mesin, seekor binatang, sebuah tim dan lain sebaginya. Tahap pemilihan ditujukan untuk memilih metodologi-metodologi sistem yang relevan. Pilihan disesuaikan menurut konteks permasalahan dan pelaku yang terlibat. Tahap implementasi ditujukan untuk mewujudkan perubahan yang baik menurut metodologi yang terpilih. Hasil implementasinya merupakan intervensi yang relevan dan terkoordinasi.

Sistem Penunjang Keputusan

(37)

menyempurnakan pengambilan keputusan. SPK memanfaatkan data, menyediakan user interface yang mudah, dan memungkinkan the decision maker’s own insights. Menurut Marakas (2003), terdapat bermacam-macam definisi SPK, namun semuanya memiliki 3 tema yaitu: (1) diterapkan pada masalah tidak terstruktur, (2) menunjang tetapi tidak menggantikan proses pengambilan keputusan, dan (3) dibawah kendali pengguna.

Dalam konteks organisasi, pengambilan keputusan merupakan bagian dari proses manajemen yang paling kritis. Setiap keputusan yang diambil selalu memberikan implikasi bagi organisasi, baik implikasi yang telah diperkirakan sebelumnya maupun tidak (Suryadi dan Ramdani 1998). Perkembangan teknologi informasi telah memungkinkan pengambilan keputusan dapat dilakukan dengan lebih cepat. Hal tersebut dimungkinkan berkat adanya perkembangan teknologi perangkat keras, yang diiringi oleh perkembangan perangkat lunak, serta kemampuan perakitan dan penggabungan beberapa teknik pengambilan keputusan ke dalamnya.

Perkembangan teknologi informasi telah berevolusi dari Pengolahan Data Elektronik (PDE) ke Sistem Informasi Manajemen (SIM) dan berlanjut pada Sistem Penunjang Keputusan (SPK) bahkan ke e-commerce. PDE mempunyai fokus perhatian pada data; penyimpanan, pemrosesan, serta alirannya dalam operasi, serta upaya peningkatan efisiensi pemrosesan, optimasi penjadwalan dan penggunaan prosesor, pengintegrasian file, serta laporan pemrosesan. SIM berfokus pada penyajian informasi terutama untuk manajemen tingkat menengah, struktur, dan aliran informasi, serta pengintegrasian PDE dari berbagai fungsi perusahaan, maupun peningkatan efektivitas penggunaan basis data. Sedangkan, SPK berfokus pada pengambilan keputusan; untuk membantu manajemen puncak dan eksekutif pengambil keputusan, dan bertumpu pada fleksibilitas, adaptabilitas, dan jawaban yang cepat yang dapat dikendalikan oleh pengguna, bahkan menjanjikan untuk dapat memenuhi “gaya” penggunanya. Rancangan SPK yang baik memungkinkan terjadinya komunikasi dan koordinasi antara berbagai bidang maupun tingkat manajemen.

(38)

19

sarana. Oleh karena itu, aspek individu pengambil keputusan dan konteks masalah yang dihadapi akan turut mewarnai keputusan yang akan diambil (Suryadi dan Ramdani 1998).

Komponen SPK terdiri atas: 1) manajemen basis data, mencakup data yang relevan untuk situasi yang dihadapi dan dikelola oleh data base manajemen systems (DBMS). Pada komponen ini data dapat ditambah, dihapus, diganti atau disunting agar tetap relevan jika hendak dubutuhkan; 2) manajemen basis model, merupakan paket software yang terdiri dari finansial, statistik, manajemen sain, atau model-model kuantitatif lain yang menyediakan kapabilitas analitis sistem, dan manajemen software yang sesuai; 3) sub-sistem komunikasi atau sub-sistem dialog, merupakan sub-sistem yang disiapkan untuk berkomunikasi user interface sehingga tugas utama manajemen dialog adalah menerima masukan dan memberikan keluaran yang dikehendaki oleh pengguna; dan 4) manajemen pengetahuan (knowledge management) merupakan sistem pengolahan terpusat untuk melakukan fungsi koordinasi dan pengendali dari operasi SPK secara menyeluruh. Sistem ini menerima masukan dari ketiga sub-sistem lainnya dalam bentuk baku serta menyerahkan keluaran sub-sistem yang dikehendaki dalam bentuk yang baku pula. Manajemen terpusat atau manajemen pengendali merupakan sub-sistem optional yang dapat menunjang setiap sub-sistem lain atau bertindak sebagai suatu komponen independent. Model konseptual SPK memberikan pemahaman dasar tentang struktur umum dan komponen-komponen dari SPK seperti disajikan pada Gambar 2 (Turban 1993).

(39)

Manajemen Data

Manajemen Model Manajemen

Pengetahuan Data: eksternal

dan internal Sistem Berbasis Komputer Lain

Manajemen Dialog

Pengguna

Gambar 2 Struktur dasar sistem penunjang keputusan.

Perkebunan Kelapa Sawit

Era perkebunan kelapa sawit komersial di Indonesia dimulai dari penanaman 2000 bibit kelapa sawit di Pulau Raja-Asahan, Sumatera Utara dan Sungei Liput-Aceh oleh M. Adrien Hallet pada tahun 1911. Meskipun keragaan (performance) tanaman kelapa sawit di kedua lokasi perkebunan tersebut jauh lebih baik dibandingkan dengan keragaannya di lokasi asalnya Afrika namun perkembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia berjalan relatif lambat hingga tahun 1969.

Gambar 3 menunjukkan bahwa titik kritikal perkembangan areal perkebunan kelapa sawit Indonesia terjadi dalam periode 80an. Dalam 1970-1979, luas areal berkembang dengan laju sekitar 6,9%/th. Dalam 1980-1989 laju tersebut naik menjadi 12,7% dan sedikit turun menjadi 10,1% dalam 1990-1999.

(40)

21

0 1000 2000 3000 4000 5000 6000

1916 1923 1930 1937 1968 1975 1982 1989 1996 2003 Tahun

Luas (ribu ha

Gambar 3 Perkembangan perkebunan kelapa sawit Indonesia 1916-2003 (Ditjen Bina Produksi Perkebunan 2004)

dan 12,8% dan 12,4% untuk periode 1990-1999. Pada kedua periode tersebut, perkebunan negara berkembang dengan laju 6,2% dan 2,8% (Tabel 2). Pertambahan tersebut diduga juga terkait dengan peranannya sebagai kebun inti dalam proyek-proyek PIR.

Tabel 2. Luas areal kelapa sawit Indonesia menurut pengusahaan 1991 - 2003 Luas areal (ha)

Tahun

Rakyat Negara Swasta Jumlah

1991 384.594 395.183 531.219 1.310.996

1992 439.468 389.761 638.241 1.467.470

1993 502.332 380.746 730.109 1.613.187

1994 572.544 386.309 845.296 1.804.149

1995 658.536 404.732 961.718 2.024.986

1996 738.887 426.804 1.083.823 2.249.514

1997 813.175 448.735 1.254.169 2.516.079

1998 890.506 489.143 1.409.134 2.788.783

1999 1.038.289 516.447 1.617.427 3.172.163

2000 1.190.154 528.716 2.050.739 3.769.609

2001 1.566.031 540.728 2.314.209 4.420.968

2002 1.795.321 556.323 2.430.222 4.781.866

2003 1.827.844 645.823 2.765.504 5.239.171

(41)

Sejalan dengan perkembangan areal, distribusi perkebunan kelapa sawit juga meluas. Pada 1970an, kelapa sawit baru diusahakan di Sumatera dan sedikit di Jawa, kondisi ini mengalami perubahan sejak dimulainya Pelita I pada tahun 1969, perkebunan kelapa sawit terus berkembang dengan pesat. Saat ini perkebunan kelapa sawit telah menyebar ke 18 propinsi yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bangka-Belitung, Bengkulu, Lampung, Jawa Barat, Banten, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, dan Papua. Distribusi luas lahan perkebunan kelapa sawit pada tahun 2003 disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Distribusi luas lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia pada 2003

No Propinsi Luas (ha) No Propinsi Luas (ha)

1 N. Aceh D. 239.828 10 Jawa Barat 3.747

2 Sumatera Utara 769.452 11 Banten 11.587

3 Sumatera Barat 279.982 12 Kalimantan Barat 345.273

4 Riau 1.326.023 13 Kalimantan Tengah 335.023

5 Jambi 320.892 14 Kalimantan Selatan 163.280

6 Sumatera Selatan 436.662 15 Kalimantan Timur 159.114

7 Bangka-Belitung 108.629 16 Sulawesi Tengah 55.666

8 Bengkulu 80.040 17 Sulawesi Selatan 80.136

9 Lampung 151.370 18 Papua 58.074

Sumber: Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan (2004)

Berdasarkan kesesuaiannya dengan tanaman kelapa sawit, lahan dikelompokkan menjadi sangat sesuai (S1), sesuai (S2), kurang sesuai (S3) dan tidak sesuai (N). Potensi produksi rata-rata untuk kelas S1 adalah 24 ton TBS/ha/th dengan produksi tertinggi sekitar 31 ton TBS/ha/th. Potensi produksi rata-rata kelas S2 adalah 22 ton dengan produksi puncak 28 ton TBS/ha/th sedangkan rata-rata produksi kelas S3 adalah 20,1 ton TBS/ha/th dengan produksi puncak 26 ton TBS/ha/th. Pencapaian produksi di kebun bervariasi dan sebagian besar kurang dari potensi produksinya. Potensi produksi selama umur ekonomis tanaman untuk kelas kesesuaian S1, S2 dan S3 disajikan pada Tabel 4.

(42)

23

masih menguntungkan atau lebih menguntungkan dibandingkan dengan komoditas lainnya. Kebun di lahan kelas S1 dan S2 hanya dijumpai di Sumatera khususnya Sumatera Utara sedangkan kebun di luar Sumatera Utara umumnya berada di kelas lahan S3. Distribusi kebun kelapa sawit yang ada berdasarkan kelas kesesuaian lahannya adalah seperti disajikan pada Tabel 5.

Tabel 4. Potensi produksi menurut kelas kesesuaian lahan (ton TBS/ha/th)

Umur (th) Kelas S1 Kelas S2 Kelas S3

Rerata 24,0 22,0 20,1

Sumber: Pusat Penelitian Kelapa Sawit (2002)

Tabel 5. Distribusi perkebunan kelapa sawit menurut kelas kesesuaian lahan

(43)

Sejalan dengan perkembangan areal, produksi kelapa sawit Indonesia berkembang sama pesatnya. Produksi CPO 1920 adalah 329 ton, naik menjadi 240 ribu ton pada 1940, 140 ribu ton pada 1960, 721 ribu ton pada 1980 dan 6,3 juta ton pada 2000. Produksi rata-rata kelapa sawit 1920 hanya sekitar 150 kg/ha/th dan meningkat menjadi 784 kg/ha/th pada 1930 dan sekitar 2 ton pada 1940 dan menjadi 2,7 ton pada tahun 2000. Kualitas bahan tanaman yang digunakan meningkat. Potensi produksi naik dari 4,3 ton minyak/ha/th untuk bahan tanaman 1960an menjadi 5,4 ton/ha/th untuk bahan tanaman 1970, 6,4 ton/ha/th untuk bahan tanaman 1980an dan 7,0 ton/ha/th untuk bahan tanaman 1990an. Namun, rata-rata produksi nasional relatif tetap karena peningkatan perluasan perkebunan dilakukan di lahan-lahan dengan kelas kesesuaian rendah (S3). Perkembangan produksi minyak sawit dan inti sawit selama periode 1991-2003 disajikan pada Tabel 6 dan Tabel 7.

Tabel 6. Produksi minyak sawit Indonesia menurut pengusahaan 1991- 2003 Produksi minyak sawit (ton)

Tahun

(44)

25

Produksi TBS bulanan tidak rata sepanjang tahun tetapi memiliki pola tertentu. Panen puncak umumnya berlangsung selama 2-3 bulan dengan produksi sekitar 12-13% dari produksi tahunan sedangkan panen produksi rendah dapat mencapai sekitar 3-4% produksi tahunan. Distribusi produksi bulanan dapat bervariasi menurut lokasi. Contoh distribusi produksi di yaitu di Kalimantan Barat, Aceh Timur dan Labuhan Batu disajikan pada Tabel 8. Distribusi bulanan ini penting untuk mengestimasi produksi bulanan dan semesteran.

Tabel 7. Produksi inti sawit Indonesia menurut pengusahaan 1991- 2003 Produksi inti sawit (ton)

Tahun

PR PBN PBS Jumlah

1991 85.443 285.096 180.806 551.345

1992 99.822 287.896 171.556 559.274

1993 104.646 288.762 208.821 602.229

1994 162.307 338.741 295.489 796.537

1995 195.533 384.393 362.137 942.063

1996 233.462 396.850 454.364 1.084.676

1997 279.604 423.411 526.318 1.229.333

1998 292.047 431.540 560.108 1.283.695

1999 357.682 440.181 594.848 1.392.711

2000 395.563 453.233 726.422 1.575.218 2001 560.149 369.485 938.054 1.867.688 2002 626.865 377.850 1.048.567 2.053.282 2003 729.755 384.839 1.072.183 2.186.777 Sumber : Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan (2004)

(45)

Tabel 8. Contoh distribusi produksi bulanan kelapa sawit Distribusi produksi bulanan (%) Bulan

Kalimantan Aceh Timur Labuhan Batu

Januari 4,04 2,51 4,27

Februari 8,31 5,17 7,55

Maret 7,40 6,13 6,17

April 9,17 7,38 6,99

Mei 7,28 8,12 8,17

Juni 8,05 7,96 8,10

Juli 5,09 8,04 8,28

Agustus 6,87 9,97 9,06 September 9,42 12,11 10,83 Oktober 11,47 10,66 10,35 November 6,81 9,48 9,34 Desember 15,16 12,47 10,88

Jumlah 100,00 100,00 100,00

Sumber : Pusat Penelitian Kelapa Sawit (2002)

Agroindustri Kelapa Sawit

Agroindustri kelapa sawit di Indonesia sampai saat ini yang paling banyak berupa agroindustri pengolah tandan buah segar (TBS) sawit menjadi minyak sawit dan inti sawit yang dinamakan Pabrik Kelapa Sawit (PKS). Pada tahun 2003 jumlah PKS di Indonesia adalah 302 buah dengan kapasitas terpasang 12.761 ton TBS/jam dengan rincian seperti disajikan dalam Tabel 9. Sebagian besar pabrik memiliki kapasitas 30 ton dan 60 ton TBS per jam. PKS yang terbanyak berlokasi di Sumatera Utara yaitu 96 unit, diikuti oleh Riau (66 unit), Sumatera Selatan (32 unit), Jambi (23 unit), Kalimantan Tengah (18 unit), dan Kalimantan Barat (17 unit).

(46)

27

Tabel 9. Sebaran Pabrik Kelapa Sawit (PKS) di Indonesia pada 2003

No. Lokasi Jumlah (unit) Kapasitas terpasang

(Ton TBS/jam)

12 Kalimantan Tengah 18 900

13 Kalimantan Selatan 3 110

14 Kalimantan Timur 3 130

15 Sulawesi Tengah 1 30

16 Sulawesi Selatan 4 150

17 Papua 3 180

Jumlah 302 12.761

Sumber: Direktorat Jenderal Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (2004)

Pola PR mula-mula dikembangkan dengan pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR). Setelah PIR berkembang di sekitarnya terdapat rakyat yang secara swadaya membangun kebun kelapa sawit dan ini dinamakan pola swadaya. Sejak diterapkan pada tahun 1977/1978 pola PIR telah mengalami beberapa perubahan. PIR yang dilaksanakan pada tahun 1977/1978 dinamakan pola PIR lokal, 1984 PIR Berbantuan, 1984 PIR Khusus, 1984 PIR Akselerasi, 1986 PIR Trans dan PIR KKPA. Semua pola PIR tersebut dibiayai oleh pemerintah Indonesia kecuali PIR Berbantuan dibiayai oleh Bank Dunia atau Bank Pembangunan Asia. Pada PIR KKPA dipersyaratkan petani pekebun bergabung dalam suatu wadah koperasi.

Pada pola PIR, peranan perkebunan besar adalah sebagai perusahaan inti yang berfungsi sebagai pembina petani dan penampung produk yang dihasilkan petani.

(47)

PKS. Pendapatan petani bersumber dari hasil kebun dan nilai tambah pengolahan buah sawit menjadi minyak sawit dan inti sawit seluruhnya dinikmati oleh perusahaan perkebunan besar.

Selain PKS, agroindustri kelapa sawit yang ada di Indonesia adalah pabrik minyak inti sawit, pabrik minyak goreng, pabrik margarin dan pabrik oleokimia. Industri minyak goreng dan oleokimia berkembang di beberapa daerah, yang umumnya di kota-kota besar yang lengkap dengan fasilitas pelabuhan. Beberapa daerah sentra industri minyak goreng meliputi DKI Jakarta, Jawa Timur, Sumatera Utara, Riau, dan Sumatera Selatan.

Untuk keperluan pangan, CPO dipisahkan menjadi fraksi padat (stearin) dan fraksi cair (olein). Olein inilah, yang telah mengalami proses pemurnian, yang dikenal di kalangan masyarakat sebagai minyak goreng. Kapasitas terpasang industri fraksinasi 1985 adalah 2,9 juta ton padahal produksi CPO tahun tersebut adalah 1,2 juta ton. Pada 1995 kapasitas pabrik fraksinasi adalah 6 juta ton yang juga melebihi produksi CPO nasional dan pada tahun 2000, kapasitas terpasang mencapai 11 juta ton (Tabel 10). Dari segi laju pertumbuhan, industri oleo kimia dasar yaitu fatty acid, metalic soap, gliserin dan fatty alkohol, maju sangat pesat. Pada 1988 produksi oleokimia dasar Indonesia baru 79.500 ton, naik menjadi 217.700 ton pada 1993 dan menjadi 652 ribu ton pada 1998 atau tumbuh dengan laju sekitar 23,5%/tahun. Namun, kontribusi oleokimia dasar Indonesia terhadap produksi dunia baru 10,8%.

(48)

29

Tabel 10. Sebaran pabrik fraksinasi minyak sawit di Indonesia pada 2000

No. Lokasi Kapasitas terpasang

(ton CPO/tahun)

1 DKI Jaya 2.397.000

2 Jawa Timur 1.425.000

3 Lampung 180.000

4 Sumatera Utara 4.290.000

5 Riau 1.920.000

6 Sumatera Selatan 540.000

7 Jawa Barat & Banten 105.000

8 Sumatera Barat 75.000

9 Jambi 90.000

10 Kalimantan Selatan 60.000

Jumlah 11.082.000

Sumber: Direktorat Jenderal Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (2004)

Tabel 11. Produksi dan penggunaan dalam negeri CPO Indonesia 1994-2004

Tahun Produksi (ton) Penggunaan dalam negeri (ton)

1994 4.008.062 2.701.659

(49)

Analisis SWOT - Pengambilan Keputusan Kelompok Fuzzy

Analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats) adalah identifikasi berbagai faktor secara jelas untuk merumuskan strategi (Rangkuti 2006). Identifikasi berbagai faktor dalam analisis SWOT dapat dipilah menjadi penilaian terhadap lingkungan eksternal dan internal. Kekuatan dan kelemahan internal dibandingkan dengan peluang dan ancaman ekstern sebagai landasan untuk menghasilkan alternatif-alternatif strategi (Pearce dan Robinson 2003).

Analisis SWOT dapat memberikan gambaran menyeluruh atas suatu permasalahan dengan cara mengelompokkan elemen-elemen permasalahan ke dalam empat kategori yaitu kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman. Pengelompokkan ini lebih mudah dilaksanakan oleh pakar yang menguasai permasalahan. Oleh karena itu meskipun alat analisis ini sudah cukup lama dipergunakan, sampai saat ini masih banyak peneliti yang menggunakannya (Suh dan Emtage 2005).

David (2002) mengembangkan kerangka kerja analitis perumusan strategi yang meliputi tiga tahap, yaitu (1) tahap input, (2) tahap pencocokan, dan (3) tahap keputusan. Masing-masing tahapan memiliki alat analisis tersendiri. Pada tahap input, alat analisis yang paling sering digunakan adalah matriks evaluasi faktor internal dan matriks evaluasi faktor eksternal.

Meskipun analisis SWOT memiliki keunggulan namun juga memiliki kelemahan yaitu tidak dilengkapi dengan alat analisis yang dapat menganalisis tingkat kepentingan masing-masing faktor atau penilaian kesesuaian antara faktor dan alternatif keputusan (Stewart 2002). Untuk mengatasi kelemahan ini maka beberapa peneliti mengkombinasikan analisis SWOT dengan teknik yang lain, misalnya dengan AHP (Stewart 2002; Shinno et al. 2006).

(50)

31

keputusan, beberapa kriteria dan alternatif maka dapat dikelompokkan ke dalam pengambilan keputusan multi pakar dan multi kriteria/ multi expert – multi criteria decision making (Marimin 2004) yang dapat diselesaikan dengan langkah-langkah yang dikembangkan oleh Yager (1993).

Proses pengambilan keputusan dimulai dengan penentuan alternatif pilihan keputusan dan kriteria yang merupakan hasil analisis SWOT. Bobot setiap faktor ditentukan dengan memberikan penilaian terhadap faktor eksternal dan internal menggunakan metode perbandingan berpasangan dengan tiga skala (Kinnear dan Taylor 1991). Penilai adalah pakar yang berpengalaman di bidangnya. Bobot setiap faktor diperoleh dengan menggunakan proporsi nilai setiap variabel terhadap jumlah nilai faktor keseluruhan. Rumus yang digunakan adalah:

Nilai pembobotan kemudian dikonversi ke dalam bentuk label linguistik fuzzy. Penilaian oleh pakar untuk setiap kriteria pada setiap alternatif juga dinyatakan dalam bentuk label linguistik fuzzy yang merupakan preferensi pakar (Marimin 1997). Skala penilaian yang sering dipergunakan adalah 7 skala atau 5 skala. Pada penilaian 5 skala, penilaian dapat dinyatakan sebagai ST = Sangat Tinggi (S5), T = Tinggi (S4), M = Medium (S3), R = Rendah (S2), dan SR = Sangat Rendah

(S1).

Proses pengambilan keputusan kelompok pakar tersebut dilakukan menurut langkah-langkah yang dikembangkan oleh Marimin et al. (1998) dengan memanfaatkan operasi negasi (Yager 1993) dan ordered weighted averaging (Yager 1988).

(51)

Neg (I(qj)) = I (qq-j+1)

dimana:

I(qj) = bobot kriteria ke-j

q = jumlah skala penilaian

Untuk lima skala penilaian, operasi negasinya adalah sebagai berikut: Neg ST = SR, Neg T = R, Neg M = M, Neg R = T, dan Neg SR = ST.

Agregasi kriteria dilakukan untuk menentukan nilai masing-masing pakar terhadap masing-masing alternatif keputusan, dengan menggunakan rumus berikut:

Pik = Minj [Neg (I(qj)) ω Pik (qj)]

dimana:

Pik = nilai alternatif ke-i oleh pakar ke-k

I(qj) = bobot kriteria ke-j

Pik (qj) = nilai alternatif ke-i oleh pakar ke-j pada kriteria ke-k

ω = notasi maksimum

Agregasi pakar dilakukan untuk mengkombinasikan nilai masing-masing pakar terhadap alternatif keputusan yang dapat dipilih. Tahapan ini diawali dengan pendefinisian fungsi Q(i). Fungsi ini dapat dilihat sebagai generalisasi nilai, berapa

banyak pakar yang setuju untuk menerima alternatif keputusan tertentu. Nilai fungsi Q(i) diperoleh dari skala penilaian yang digunakan S = (S1, S2, S3, S4, S5) dan

untuk mendefinisikan Q(i) digunakan operator intejer. Rumus yang digunakan

adalah sebagai berikut:

Qϖ(k) = Sb(k) , dan b(k) = Int [1 + (k*(q-1)/r)]

dimana:

Sb = skala penilaian

b(k) = bobot kepentingan pakar ke-k

q = jumlah skala penilaian r = jumlah pakar

k = jumlah kriteria

Selanjutnya digunakan prosedur ordered weighted averaging (OWA). Mula-mula Pik diurutkan dengan urutan dari yang besar ke yang kecil (descending

order). Kemudian nilai seluruh pakar terhadap setiap alternatif ditentukan dengan rumus sebagai berikut:

(52)

33

dimana:

Pi = nilai agregasi pendapat pakar

Q(j) = bobot nilai pakar ke-j

BBj = pengurutan nilai dari besar ke kecil oleh pakar ke-j

ϖ = notasi minimum

Teknik Interpretive Structural Modelling (ISM)

Teknik ISM adalah proses pengkajian oleh suatu kelompok untuk menghasilkan model struktural guna memotret perihal yang kompleks dari suatu sistem melalui pola yang dirancang secara seksama dengan menggunakan grafis atau kalimat. (Eriyatno 1995).

Teknik ISM terutama ditujukan untuk mengkaji suatu sistem oleh suatu kelompok, namun juga dapat dipakai oleh seorang peneliti. Metode ISM terdiri dari dua bagian yaitu penyusunan hirarki dan klasifikasi sub-elemen (Eriyatno 1999), sebagaimana digambarkan pada Gambar 4. Prinsip dasar ISM adalah proses mengidentifikasi struktur di dalam suatu sistem yang dapat memberi nilai manfaat yang tinggi guna meramu sistem secara efektif dalam pengambilan keputusan yang lebih baik.

Gambar

Gambar 1.  Tujuh langkah dalam soft system methodology.
Gambar 2  Struktur dasar sistem penunjang keputusan.
Tabel 5.  Distribusi perkebunan kelapa sawit menurut kelas kesesuaian lahan
Tabel 6.  Produksi minyak sawit Indonesia menurut pengusahaan   1991- 2003
+7

Referensi

Dokumen terkait

Setelah Anda menemukan sebuah situs web target dan diketahui memiliki celah untuk dieksploitasi menggunakan SQL Injection, step berikutnya yang menjadi prosedur adalah

Tanpa adanya rasa saling percaya atau hubungan yang baik an- tara pemberi dukungan dan orang yang akan didukung, pem- berian dukungan yang tepat akan sulit dilakukan.( 5 Menit

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan (1) kesalahan ortografi penggunaan tanda baca hubung, (2) kesalahan ortografi penggunaan huruf kapital; (3) kesalahan

Dataset yang digunakan untuk evaluasi serangan jaringan pada penelitian ini menggunakan KDD Cup, yang mana dataset tersebut dapat dibilang data yang masih mentah

Inspeksi K3 di IEBE dilakukan satu kali dalam satu tahun Inspeksi dilakukan oleh seluruh karyawan yang bekerja di IEBE dengan objek inspeksi yaitu laboratorium

Hasil eksperimen Westhuis, dkk (2001) memperlihatkan bahwa pemuncakan elevasi gelombang yang tinggi dipengaruhi oleh perbandingan amplitudo dan selisih bilangan

Penanganan kerusakan jalan berdasarkan jenis kerusakan yang terjadi seperti, lubang, legokan, retak dan alur pada ruas jalan lingkar utara Kabupaten sragen, yang perlu

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayahnya-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan judul “