UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS EKONOMI
MEDAN
ANALISIS PENGARUH PENERIMAAN DALAM NEGERI
DAN PENGELUARAN RUTIN PEMERINTAH
TERHADAP CICILAN UTANG LUAR NEGERI
SKRIPSI Diajukan Oleh: RIRIS ULI THERESIA S
070501047
EKONOMI PEMBANGUNAN
Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi
ABSTRACT
The main objective of this research is to find out the effect of government domestic revenue (X1) and routine government expenditure (X2) on the amount of
government foreign debt servicing (Y) in the year 1984 up to year 2008 by secondary data obtained from Bank Indonesia (Library and Website) , Badan Pusat Statistica Medan. Processed data represent time series.
The result shows that determinant coefficient equal to 0,91 meaning that the government foreign debt servicing (Y) is 91% influenced by the government domestic revenue (X1) and routine government expenditure (X2), while rest 8,55%
influenced by another factor outside the model. F hitung > F tabel (125,56 > 5,72), explains that both of government domestic revenue (X1) and routine government
expenditure (X2) positively and significantly affect the amount of total the
government foreign debt servicing in Indonesian.
The conclusion of the research is that the government domestic revenue and routine government expenditure significantly affect the government foreign debt servicing in Indonesian.
ABSTRAK
Penelitian ini berusaha untuk mengetahui pengaruh penerimaan dalam negeri (X1) dan pengeluaran rutin (X2) pemerintah terhadap cicilan utang luar
negeri pada tahun 1984 – 2008 dengan menggunakan data sekunder yang diperoleh dari Bank Indonesia (Perpustakaan dan Website), Badan Pusat Statistika kota Medan. Data yang diolah merupakan data runtun waktu (time serias).
Dari hasil penelitian diperoleh R2 sebesar 0,91452 yang berarti cicilan utang luar negeri di Indonesia sebanyak 91% dipengaruhi oleh faktor penerimaan dalam negeri (X1) dan pengeluaran rutin (X2) pemerintah, sedangkan sisanya
sekitar 8,55% dipengaruhi oleh faktor-faktor lain diluar dari model. F hitung > F tabel (125,56 > 5,72), memberikan arti bahwa secara bersama-sama penerimaan dalam negeri (X1) dan pengeluaran rutin (X2) pemerintah berpengaruh positif atau
signifikan terhadap jumlah cicilan utang luar negeri pemerintah di Indonesia.
Kesimpulan dari hasil penellitian ini adalah bahwa penerimaan dalam negeri dan pengeluaran rutin pemerintah berpengaruh signifikan atau nyata terhadap jumlah cicilan utang luar negeri pemerintah di Indonesia.
Kata kunci: Cicilan Utang Luar Negeri, Penerimaan Dalam Negeri, Pengeluaran Rutin
KATA PENGHANTAR
Segala puji syukur dan hormat Tuhan yang dengan kasihnya telah
membantu penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar
sarjana dari program strata I Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.
Adapun judul skripsi ini adalah “ Anlisis Pengaruh Penerimaan Dalam Negeri dan
Pengeluaran Rutin Pemerintah Terhadap Cicilan Utang Luar Negeri”
Dalam kesempatan ini penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada pihak yang telah membantu penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini, baik melalui dukungan doa, moril dan materil terutama
kepada:
1. Bapak Drs. Jhon Tafbu Ritonga, M.Ec, selaku Dekan Fakultas Ekonomi
Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec, selaku ketua Departemen Jurusan
Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Ilyda Sudardjat, Ssi, M.Si, selaku Dosen Pembimbing yang telah
bersedia meluangkan waktu untuk memberikan masukan dan bimbingan
mulai dari awal pengerjaan sampai dengan selesainya skripsi ini.
4. Bapak Drs. Rahmad Sumanjaya, C.A.E, M.Si, selaku Dosen Penguji I dan
Ibu Inggrita Gusti Sari, SE, M.Si, selaku Dosen Penguji II. Saran dan
kritiknya sangat berarti sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan
5. Seluruh staf pengajar dan pegawai di Fakultas Ekonomi terutama
Departemen Ekonomi Pembangunan yang telah mengajar dan
membimbing penulis selama masa perkuliahan.
6. Para staf Perpustakaan Bank Indonesia Kota Medan yang telah membantu
penulis dalam memperoleh data yang dibutuhkan untuk penyelesaian
skripsi ini.
7. Sahabat-sahabat terbaik penulis Anita, Esteria, Nancy, Nirwana, Masni,
Agnes, Sherly, Ade, Yan, Jumasi, Yakin, dan Antonius. Terima kasih atas
kebersamaan dan dukungannya selama ini.
8. Teman-teman yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, khususnya
teman-teman EP’07 secara keseluruhan. Terima kasih telah menjadi
bagian terbaik dalam hidup penulis selama masa perkuliahan, semoga
kesuksesan ada dalam setiap harapan dan cita-cita kita.
9. Kepada pihak-pihak lain yang telah memberikan motivasi dan bantuan
yang sangat luar biasa dalam penyelesaian skripsi ini.
Secara khusus skripsi ini penulis persembahkan buat kedua orang tuaku
tercinta Ayahanda H. P. Sitanggang dan Ibunda T. Siboro serta
saudara-saudaraku: Vonny C. T. Sitanggang, Julvianty A. Sitanggang dan Benhard E. M.
Sitanggang. Terima kasih buat segala doa, dukungan, semangat, bimbingan, kasih
dan cinta yang telah diberikan.
Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna, oleh
karena itu penulis sangat mengharapkan segala kritikan dan saran yang positif dan
Semoga kiranya skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua yang
memerlukanya.
Medan, Desember 2010
Penulis
Riris Uli Theresia S
DATAR ISI
1.2 Perumusan Masalah ……… 9
1.3 Hipotesis ………. 9
1.4 Tujuan Penelitian ……….. 10
1.5 Manfaat Penelitian ……… 10
Bab II Uraian Teoritis ……….. 11
2.1 Anggaran Negara ……….. 11
2.1.1 Pengertian Anggaran Negara ………... 11
2.1.2 Fungsi Anggaran Negara ………. 12
2.2 Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ……… 13
2.2.1 Pengertian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ……... 13
2.2.2 Perumusan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ……... 13
2.2.3 Fungsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ………….. 14
2.3 Penerimaan Negara ………... 15
2.3.1 Penerimaan (Rutin) Dalam Negeri ……….. 16
2.4 Pengeluaran Negara ……….. 19
2.4.1 Pengeluaran Rutin ……… 19
2.4.2 Klasifikasi Pengeluaran Negara ………... 20
2.4.3 Teori Perkembangan Pengeluaran Pemerintah ……… 20
2.5 Utang Negara ……… 23
2.5.1 Utang Luar Negeri ………... 24
2.5.2 Klasifikasi Utang Luar Negeri ………. 25
2.5.3 Negara dan Lembaga Donor Utama Indonesia ……… 26
2.6 Peranan Utang Luar Negeri Dalam APBN ………... 30
2.7 Hubungan APBN Terhadap Pembayaran Cicilan Utang Luar Negeri ……… 31
Bab III Metode Penelitian ………. 33
3.1 Ruang Lingkup Penalitian ……… 33
3.2 Jenis dan Sumber Data ……….. 33
3.3 Metode dan Pengumpulan Data ……… 33
3.4 Pengolahan Data ………... 34
3.5 Model Analisis Data ………. 34
3.5.1 Uji Kesesuaian (Test of Goodness Fit) ……… 35
3.5.1.1 Uji Koefisien Determinasi (R-square) ………. 35
3.5.1.2 Uji t-statistik (Partial Test) ……….. 36
3.5.1.3 Uji F-statistik ………... 37
3.5.2 Uji Penyimpangan Klasik ……… 39
3.5.2.1 Uji Multikolinearitas ……… 39
3.5.2.2 Uji Autokorelasi ……….. 40
3.6 Definisi Operasional ……… 42
Bab IV Analisa dan Pembahasan ………. 43
4.1 Gambaran Umum Indonesia ………. 43
4.1.1 Kondisi Geografis Indonesia ………... 43
4.1.2 Kondisi Demografi Indonesia ……….. 44
4.2 Gambaran Umum Perekonomian Indonesia ………. 45
4.3 Perkembangan Penerimaan Dalam Negeri Di Indonesia ………….. 48
4.4 Perkembangan Pengeluaran Rutin Di Indonesia ……….. 51
4.5 Perkembangan Cicilan Utang Luar Negeri di Indonesia ………….. 55
4.6 Analisis dan Pembahasan ………. 59
4.6.1 Analisis dan Pengumpulan Data ……….. 59
4.6.2 Interprestasi Model ……….. 59
4.6.3 Test of Goodness Fit ……… 61
4.6.3.1 Koefisien Determinasi ………. 61
4.6.3.2 Uji t-statistik ……… 61
4.6.4 Uji Penyimpangan Klasik ……… 66
4.6.4.1 Uji Multikolinearitas ……… 66
4.6.4.2 Uji Autokorelasi ………... 68
Bab V Kesimpulan dan Saran ………. 70
5.1 Kesimpulan ………... 70
5.2 Saran ………. 71
DAFTAR TABEL
No. Tabel Judul Halaman
4.1 Perkembangan Penerimaan Dalam Negeri
(Rutin) Pemerintah Indonesia 50
4.2 Perkembangan Pengeluaran Rutin
Pemerintah Indonesia 54
4.3 Perkembangan Cicilan Utang Luar Negeri
Pemerintah Indonesia 58
DAFTAR GAMBAR
No. Gambar Judul Halaman
4.1 Grafik Perkembangan Penerimaan
Dalam Negeri (Rutin) Pemerintah
Indonesia 49
4.2 Grafik Perkembangan Pengeluaran
Rutin Pemerintah Indonesia 52
4.3 Grafik Perkembangan Cicilan Utang
Luar Negeri Indonesia 56
4.4 Kurva Uji t-statistik Terhadap Penerimaan
Dalam Negeri (X1) 62
4.5 Kurva Uji t-statistik Terhadap Pengeluaran
Rutin (X2) 63
4.6 Kurva Uji F-statistik 65
ABSTRACT
The main objective of this research is to find out the effect of government domestic revenue (X1) and routine government expenditure (X2) on the amount of
government foreign debt servicing (Y) in the year 1984 up to year 2008 by secondary data obtained from Bank Indonesia (Library and Website) , Badan Pusat Statistica Medan. Processed data represent time series.
The result shows that determinant coefficient equal to 0,91 meaning that the government foreign debt servicing (Y) is 91% influenced by the government domestic revenue (X1) and routine government expenditure (X2), while rest 8,55%
influenced by another factor outside the model. F hitung > F tabel (125,56 > 5,72), explains that both of government domestic revenue (X1) and routine government
expenditure (X2) positively and significantly affect the amount of total the
government foreign debt servicing in Indonesian.
The conclusion of the research is that the government domestic revenue and routine government expenditure significantly affect the government foreign debt servicing in Indonesian.
ABSTRAK
Penelitian ini berusaha untuk mengetahui pengaruh penerimaan dalam negeri (X1) dan pengeluaran rutin (X2) pemerintah terhadap cicilan utang luar
negeri pada tahun 1984 – 2008 dengan menggunakan data sekunder yang diperoleh dari Bank Indonesia (Perpustakaan dan Website), Badan Pusat Statistika kota Medan. Data yang diolah merupakan data runtun waktu (time serias).
Dari hasil penelitian diperoleh R2 sebesar 0,91452 yang berarti cicilan utang luar negeri di Indonesia sebanyak 91% dipengaruhi oleh faktor penerimaan dalam negeri (X1) dan pengeluaran rutin (X2) pemerintah, sedangkan sisanya
sekitar 8,55% dipengaruhi oleh faktor-faktor lain diluar dari model. F hitung > F tabel (125,56 > 5,72), memberikan arti bahwa secara bersama-sama penerimaan dalam negeri (X1) dan pengeluaran rutin (X2) pemerintah berpengaruh positif atau
signifikan terhadap jumlah cicilan utang luar negeri pemerintah di Indonesia.
Kesimpulan dari hasil penellitian ini adalah bahwa penerimaan dalam negeri dan pengeluaran rutin pemerintah berpengaruh signifikan atau nyata terhadap jumlah cicilan utang luar negeri pemerintah di Indonesia.
Kata kunci: Cicilan Utang Luar Negeri, Penerimaan Dalam Negeri, Pengeluaran Rutin
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembangunan ekonomi suatu negara memiliki arah dan strategi untuk
senantiasa mewujudkan masyarakat adil dan makmur secara merata, baik materiil
maupu n spiritual. Masyarakat seperti ini akan tercapai dengan dihapuskannya
kemiskinan lewat peningkatan pendapatan nasional per kapita, perluasan
kesempatan kerja dan redistribusi pendapatan yang lebih merata. Hal tersebut
menggambarkan, bahwa pembangunan ekonomi itu sendiri bertujuan untuk
mencapai tingkat kemakmuran yang lebih baik, tidak terkecuali bagi
negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Tujuan pembangunan memerlukan urutan prioritas pembangunan disesuai
dengan tersedianya dana dan kebutuhan pembangunan. Prioritas pembangunan
tercermin dalam prioritas dalam anggaran negara, sehingga kebijakan anggaran
suatu negara disusun sebagai salah satu kebijakan penting dalam usaha mencapai
cita-cita pembangunan. Terlebih dikarenakan negara mengambil bagian pokok
sebagai pemimpin pembangunan suatu negara.
Strategi pembangunan dan penyediaan modal yang diperlukan Indonesia
terbentuk seperti dua sisi mata uang koin. Pembangunan ekonomi negara
berkembang disatu sisi memerlukan dana yang relatif besar, sementara disisi lain
juga memerlukan usaha untuk pengerahan dana tersebut. Dan proses untuk
membiayai pembangunan tersebut yang kerap kali mengalami kendala. Salah
Pengerahan modal yang dibentuk merupakan wujud kemampuan suatu
negara menghimpun dana baik bersumber dari penerimaan ekspor barang ke luar
negeri maupun dari masyarakat melalui instrument pajak dan instrument
lembaga-lembaga keuangan. Untuk itu diperlukan sebuah pelaksanaan pembangunan yang
bertanggung jawab yaitu berupa bagaimana peranan negara dilaksanakan.
Peran pemerintah dalam pembangunan ekonomi akan dapat berjalan
lancar, apabila disertai dengan administrasi yang baik. Administrasi dalam
pembangunan akan menunjukkan betapa kompleksnya organisasi pemerintah,
sistem manajemennya dan proses kegiatan pemerintah yang dilakukan untuk
mencapai tujuan pembangunan. Salah satunya adalah melalui politik anggaran
dalam struktur perekonomian suatu negara.
Politik anggaran merupakan salah satu alat yang digunakan untuk
mempengaruhi stuktur perekonomian suatu negara, karena kegiatan-kegiatan
pembangunan suatu negara memang sangat ditentukan oleh tujuan akhir serta
dana yang tersedia dalam perekonomiannya, baik yang berada di tangan individu
atau swasta maupun pemerintah. Untuk alokasi dana pemerintah Indonesia
sendiri, tercermin dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bertindak sebagai alat
pengatur urutan prioritas pembangunan Indonesia dengan mempertimbangkan
tujuan-tujuan yang ingin dicapai, serta sesuai ketersediaan dana dan kebutuhan
pembangunan.
Pemerintah Indonesia sejak zaman Orde Baru menyusun Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menggunakan konsep anggaran
perimbangan antara anggaran pengeluaran dengan anggaran penerimaan.
Anggaran dinamis berarti adanya peningkatan secara terus-menerus akan besarnya
tabungan pemerintah. Anggaran fungsional tertuju pada pengertian bahwa fungsi
dari pinjaman luar negeri adalah untuk membiayai pengeluaran pembangunan
(Basri dan Subri, 2005:41).
Walaupun demikian bentuk anggaran seimbang seperti diatas tidak umum,
karena keseimbangan dalam anggaran tersebut sebenarnya defisit anggaran yang
ditutup dengan aliran dana yang berasal dari bantuan luar negeri. Namun
kebijaksanaan anggaran defisit dapat menimbulkan masalah inflasi di luar
kewajaran, jika keadaan yang defisit ditutup dengan jalan mencetak uang selain
meminjam dana dari masyarakat.
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang seimbang
seluruh pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan mampu dibiayai hanya
dengan mengandalkan penerimaan rutin semata, namun tidak terjadi pada
keuangan negara Indonesia. Dapat dikatakan sejak Pelita I hingga tahun pertama
Pelita IV kita menempuh anggaran yang defisit, karena seluruh penerimaan dalam
negeri (rutin) tidak cukup untuk membiayai seluruh anggaran pengeluaran negara
baik anggaran pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan. Salah satu
gambaran yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia adalah pada tahun pertama
Pelita IV yaitu T.A 1984/1985 tercatat pengeluaran rutin sebesar Rp 9,429 miliar
dan pengeluaran untuk membiayai pembangunan sebesar Rp 9,952 miliar,
kemudian dijumlahkan menjadi sebesar Rp 19,381 miliar. Jumlah ini tidak dapat
ditutupi oleh penerimaan dalam negeri (rutin) yang hanya sebesar Rp 15,905
tercatat sebesar US $ 30265,00 juta, jika di konversikan dengan nilai kurs maka
utang luar negeri tercatat sebesar Rp 31.021,625 miliar.
Dan uraian diatas juga menggambarkan bahwa komponen anggaran
penerimaan pemerintah, anggran pengeluaran pemerintah serta utang sangat
berhubungan erat sebagai wujud dari kekuatan anggaran yang dimiliki dalam hal
ini negara Indonesia.
Kebijakan pembangunan yang dijalankan oleh negara Indonesia kemudian
menghasilkan pengeluaran pembangunan yang selalu besar dan cenderung terus
meningkat setiap tahunnya sementara anggaran penerimaan yang mampu
dihimpun tidak memadai. Akibatnya selisih dana dari anggaran–anggaran yang
rutin dilakukan pemerintah tidak mampu menjamin kelangsungan pembangunan
Indonesia. Kekurangan dana mengharuskan pemerintah untuk menggunakan
komponene bantuan luar negeri, dengan pertimbangan bantuan yang berasal dari
luar negeri dapat mencegah peningkatan inflasi di dalam negeri serta suku
bunganya lebih rendah.
Pencapaian konsep anggaran berimbang pemerintah nyatanya hanyalah
sebuah konsep defisit anggaran yang diupayakan berimbang. Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dianggap berimbang ketika
defisitnya anggaran dapat ditutup oleh sumber pembiayaan dari luar negeri.
Karena suatu anggaran defisit terjadi apabila terdapat kesenjangan antara
pengeluaran pembangunan yang lebih besar daripada tabungan pemerintah yang
tersedia (Supriyanto dan Sampurna, 1999:117).
Pada umumnya negara-negara berkembang kurang mampu menciptakan
yang diperlukan untuk pembangunan, oleh karenanya modal luar negeri perlu
dikerahkan untuk menutupi kekurangan tersebut. Dalam keadaan ini bantuan luar
negeri berfungsi sebagai dana untuk menutupi saving-invesment gap. Bantuan luar
negeri memungkinkan negara penerima bantuan melaksanakan penanaman modal
(investasi) yang lebih besar sehingga meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara
bersangkutan.
Perubahan sistem anggaran yang membawa konsekuensi pada politik
penerimaan dan pengeluaran pemerintah, seakan memaksa pemerintah untuk
membuat anggaran yang lebih bijak tanpa mengesampingkan kepentingan di luar
pelunasan utang luar negeri. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) T.A 2007 penerimaan dalam negeri (rutin) sebesar Rp 591,427 miliar dan
di T.A 2008 sebesar Rp 679,520 miliar (Bank Indonesia).
Peningkatan penerimaan dalam negeri ini memerlukan pengelolaan yang
baik, sehingga dapat digunakan untuk membiayai pembangunan yang selama ini
masih didominasi oleh utang luar negeri, walaupun secara riil masih belum
maksimal. Penerimaan negara Indonesia merupakan aspek penting dalam
pembentukan dana yang akan digunakan sebagai anggaran pembangunan,
terutama penerimaan dalam negeri yang terdiri dari penerimaan pajak dan migas.
Indonesia belum mampu untuk menciptakan penerimaan dalam negeri secara
optimal, dikarenakan Indonesia belum mampu mengolah pontesi alam yang
dimiliki serta rendahnya kesadaran masyarakat sebagai wajib pajak.
Kondisi serupa diharapkan berlaku kepada pengeluaran rutin agar mampu
utang luar negeri. Karena tujuan dari keseluruhannya adalah agar pembangunan
dapat terealisasi cepat dan masyarakat mampu menata hidup yang lebih sejahtera.
Indonesia pernah mencapai kondisi yang mulai mampu untuk melepaskan
diri dari ketergantungan akan utang luar negeri, yaitu pada tahun 1990-an hingga
beberapa tahun sebelum terjadi krisis ekonomi tahun 1998. Saat itu belum terjadi
lonjakan nilai tukar mata uang seperti ditahun 1998. Ketidakstabilan politik dalam
negeri serta masa transisi pemerintahan orde lama menuju gerakan reformasi,
mengakibatkan krisis ekonomi dimana nilai tukar rupiah sangat lemah.
Cicilan utang luar negeri yang harus dibayar pemerintah Indonesua naik
sebesar US$ 5,905 miliar atau sebesar Rp 47.487,625 miliar di tahun 1998, yaitu
meningkat sebesar Rp 13.554,225 miliar dari tahun sebelumnya yaitu sebesar US$
7,276 miliar atau sebesar Rp 22,902 miliar tahun 1997. Tahun 1999 pasca krisis
ekonomi utang luar negeri terus menunjukkan trend meningkat menjadi US$
5,800 miliar atau Rp 41.180,000 milliar, merupakan jumlah yang cukup besar dan
berlanjut untuk tahun-tahun berikutnya (Sumber: Statistik Ekonomi Keuangan
Indonesia, 1997–1999). Pengawasan akan nilai tukar menjadi perlu mengingat
depresiasi akan meningkatkan pinjaman luar negeri dalam bentuk rupiah, yang
tentunya sangat memberatkan pelunasan utang luar negeri berupa bunga dan
cicilan pokok utang luar negeri Indonesia.
Utang luar negeri merupakan hal yang tidak asing dalam kebijakan
ekonomi sebuah negara, termasuk di Indonesia. Dalam uraian sebelumnya jelas
bahwa pemerintah mengambil kebijakan utang luar negeri untuk membiayai
defisit anggaran negara. Namun dalam kenyataannya, setiap tahun rancangan
negeri merupakan bagian wajib dari kebijakan pembiayaan negara setiap
tahunnya. Sebagai gambaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
T.A 1995/1996 lebih dari dua pertiganya adalah anggaran pengeluaran rutin.
Artinya kekuatan untuk mengerakkan perekonomian sudah amat kecil. Jika
berkelanjutan utang luar negeri bukan lagi menjadi faktor pelengkap tetapi
berubah menjadi suatu ketergantungan atau disebut Fisher’s Paradox, yaitu
semakin banyak cicilan utang pokok yang dibayar, semakin bertambah tinggi
utang yang menumpuk (Arief, 2001:103).
Masalah utang luar negeri masih dianggap berada pada kondisi yang
mengkhawatirkan. Dilema yang terjadi terletak pada perlu tidaknya berutang
untuk menutupi kesenjangan pembiayaan. Mengingat peranan utang luar negeri
masih besar bagi pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
Indonesia. Perangkap utang dalam frame bantuan pinjaman akan semakin
memojokkan negara-negara pengutang dan memunculkan bentuk intervensi
dalam penentuan pengambil kebijaksanaan ekonomi negara pengutang, salah
satunya yang disponsori oleh IMF dan Bank Dunia. Dibawah kontrol IMF,
Indonesia harus mengetatkan anggaran dengan pengurangan dan pengapusan
subsidi, menaikkan harga barang-barang pokok dan pelayanan publik,
meningkatkan penerimaan sektor pajak dan privatisasi Badan Usaha Milik Negara
(BUMN).
Negara pengutang tetap berada dalam kemiskin karena terus-menerus
terjerat utang yang semakin menumpuk dari waktu ke waktu. Di Indonesia sejak
pemerintahan Seokarno hingga pemerintahan kini, pengelolaan utang luar negeri
Bank Dunia yakni pendapatan per hari sekitar US $ 2 untuk setiap penduduk yang
berpenghasilan menanggung beban utang yang cukup besar. Dan lebih ironisnya
lagi bermunculan konsep beban utang luar negeri yang diwariskan kepada
generasi berikutnya.
Dari uraian diatas, maka penulis tertarik untuk meneliti sejauh mana
pengaruh anggaran-anggaran APBN yang rutin setiap tahunnya dianggarkan oleh
pemerintah berupa anggaran penerimaan dalam negeri pemerintah dan anggaran
pengeluaran rutin pemerintah terhadap pembayaran cicilan utang luar negeri
Indonesia. Oleh karena itu, dalam penulisan skripsi ini penulis mengangkat judul
“Analisis Pengaruh Penerimaan Dalam Negeri Dan Pengeluaran Rutin Pemerintah Terhadap Cicilan Utang Luar Negeri”.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka
permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaruh penerimaan dalam negeri pemerintah terhadap
cicilan utang luar negeri Indonesia?
2. Bagaimana pengaruh pengeluaran rutin pemerintah terhadap cicilan utang
luar negeri Indonesia?
1.3 Hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap permasalahan yang ada,
dan masih perlu dikaji kebenaranya melalui data yang terkumpul. Berdasarkan
1. Penerimaan dalam negeri pemerintah mempunyai pengaruh positif
terhadap cicilan utang luar negeri Indonesia, cateris paribus.
2. Pengeluaran rutin pemerintah mempunyai pengaruh positif terhadap
cicilan utang luar negeri Indonesia, cateris paribus.
1.4 Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk menegetahui bagaimana pengaruh penerimaan dalam negeri
pemerintah terhadap cicilan utang luar negeri Indonesia.
2. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh pengeluaran rutin pemerintah
terhadap cicilan utang luar negeri Indonesia.
1.5 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
1. Memberikan bukti empiris mengenai pengaruh variabel penerimaan dalam
negeri dan pengeluaran rutin pemerintah terhadap cicilan utang luar negeri
Indonesia.
2. Sebagai bahan studi dan tambahan literatur bagi mahasiswa/mahasiswi FE
USU khususnya bagi jurusan Ekonomi Pembangunan, yang tertarik untuk
mengetahui tentang anggaran rutin APBN dan cicilan utang luar negeri
Indonesia.
3. Menambah dan melengkapi bahan masukan bagi penulis dan pembaca,
sebagai sumbangan pemikiran yang kiranya dapat berguna dikemudian
BAB II
URAIAN TEORITIS
2.1 Anggaran Negara
2.1.1 Pengertian Anggaran Negara
Menurut Ibnu Syamsi, anggaran negara adalah hasil dari suatu
perencanaan yang berupa daftar mengenai bermacam-macam kegiatan terpadu,
baik menyangkut penerimaannya maupun pengeluarannya yang dinyatakan dalam
satuan uang dalam jangka waktu tertentu. Negara Indonesia menetapkan
anggaran negaranya dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
yang ditetapkan tiap tahun dengan undang-undang setelah mendapatkan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Anggaran negara merupakan salah satu alat politik fiskal untuk
mempengaruhi arah dan percepatan pendapatan nasional. Adapun mengenai
anggaran yang akan digunakan tergantung pada keadaan ekonomi yang dihadapi.
Dalam keadaan ekonomi yang normal dipergunakan anggaran negara yang
seimbang, kemudian dalam keadaan ekonomi yang deflasi biasanya dipergunakan
anggaran negara yang defisit dan sebaliknya dalam keadaan ekonomi yang inflasi
dipergunakan anggaran negara yang surplus.
Umumnya anggaran negara dapat diklasifikasikan atas 2 kategori:
1. Anggaran Berimbang (Balanced Budgeting)
Anggaran berimbang disusun sedemikian rupa sehingga setiap
pengeluaran pemerintah dapat dibiayai oleh penerimaan dari sektor pajak
atau sejenisnya, yaitu suatu kondisi dimana penerimaan pemerintah sama
2. Anggaran Tidak Seimbang (Unbalanced Budgeting)
Anggaran tidak seimbang terdiri dari anggaran surplus dan anggaran
defisit. Anggaran surplus yaitu pengeluaran lebih kecil dari penerimaan
sedangkan anggaran defisit yaitu pengeluaran lebih besar dari penerimaan.
Anggaran belanja yang tidak seimbang biasanya akan mempunyai
pengaruh yang berlipat ganda terhadap pendapatan nasional.
2.1.2 Fungsi Anggaran Negara
Anggaran yang dimiliki oleh suatu negara mengandung tiga fungsi fiskal
utama yaitu:
1. Fungsi Alokasi
Pemerintah mengadakan alokasi terhadap sumber-sumber dana
untuk mengadakan barang-barang kebutuhan perseorangan dan sarana
yang dibutuhkan untuk kepentingan umum. Semuanya itu diarahkan agar
terjadi keseimbangan antara uang beredar dan barang serta jasa dalam
masyarakat.
2. Fungsi Distribusi
Pemerintah melakukan penyeimbangan, menyesuaikan pembagian
pendapatan dan mensejahterahkan masyarakat.
3. Fungsi Stabilitas
Pemerintah meningkatkan kesempatan kerja serta stabilitas harga
barang-barang kebutuhan masyarakat dan menjamin selalu meningkatkan
2.2 Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
2.2.1 Pengertian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan rencana
keuangan tahunan pemerintah negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR). Dalam menyusun suatu anggaran harus berkaitan antara dana-dana
yang akan dikeluarkan dan tujuan yang akan dicapai. Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) berisikan daftar sistematis dan terperinci yang memuat
rencana penerimaan dan pengeluaran negara dalam satu tahun anggaran (1 Januari
– 31 Desember). Namun ada juga yang dimulai dari 1 April dan berakhir pada 31
Maret tahun berikutnya. Pola Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
dan realisasinya adalah untuk melaksanakan tugas sehari-hari (rutin) dalam rangka
pelaksanaan kegiatan dibidang pemerintahan
2.2.2 Perumusan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) diajukan
oleh presiden dalam bentuk rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR). Setelah melalui pembahasan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
menetapkan undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja negara
(APBN) selambat-lambatnya dua bulan sebelum tahun anggaran dilaksanakan.
Berdasarkan perkembangannya jika ditengah-tengah tahun anggaran yang berjalan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dapat mengalami perubahan.
Pada kondisi tersebut pemerintah harus mengajukan kembali Rancangan
Undang-Undang Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk
yang akan dilakukan paling lambat akhir Maret, setelah pembahasan dengan
Badan Anggaran DPR. Khusus untuk kejadian yang tidak dapat diperkirakan
sebelumnya seperti bencana alam, pemerintah dapat melakukan perubahan
anggaran yang belum tersedia.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dibedakan menjadi
anggaran rutin dan anggaran pembangunan. Suatu anggaran rutin yang terdiri dari:
a. Anggaran penerimaan rutin (dalam negeri)
b. Anggaran belanja (pengeluaran) rutin
Sedangkan untuk melaksanakan tugas pembangunan (non rutin) disusun
anggaran pembangunan yang terdiri dari:
a. Anggaran penerimaan pembangunan
b. Anggaran belanja (pengeluaran) pembangunan
2.2.3 Fungsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) memiliki enam fungsi
dalam rangka membentuk struktur perekonomian negara antara lain:
1. Fungsi Otoritas
Bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menjadi
dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja negara pada tahun yang
bersangkutan, dengan demikian pembelanjaan atau pendapatan dapat
dipertanggungjawabkan kepada rakyat.
2. Fungsi Perencanaan
Bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dapat
tersebut. Bila pembelanjaan telah direncanakan sebelumnya, maka negara
dapat membuat rencana-rencana untuk mendukung pembelanjaan tersebut.
Misalnya telah direncanakan atau dianggarkan akan membangun proyek
pembangunan jalan, maka pemerintah dapat mengambil tindakan untuk
persiapan proyek tersebut agar bisa berjalan dengan lancar.
3. Fungsi Pengawasan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus menjadi
pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintah
negara sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
4. Fungsi Alokasi
Bahwa suatu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
harus diarahkan untuk mengurangi penggangguran dan pemborosan
sumber daya serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian.
5. Fungsi Distribusi
Bahwa kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
6. Fungsi Stabilitas
Bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menjadi
alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental
perekonomian.
2.3 Penerimaan Negara
Penerimaan negara adalah penerimaan pemerintahan yang meliputi
yang dimiliki dan dihasilkan oleh pemerintah, pinjaman pemerintah, mencetak
uang dan sebagainya (Suparmoko, 1986:93).
Penerimaan negara baik dari dalam negeri ataupun yang berasal dari luar
negeri sangat penting bagi proses keberhasilan proses pembangunan nasional,
terutama penerimaan pemerintah dari dalam negeri yaitu berupa penerimaan pajak
dan bukan pajak serta penerimaan migas dan non migas. Penerimaan ini
digunakan untuk menutupi pengeluaran rutin pemerintah dan sisanya akan
menjadi tabungan pemerintah. Kelebihan dana tersebut yang kemudian akan
menjadi sumber pembangunan apabila tidak tersedia, maka pembangunan harus
dibiayai dengan pinjaman luar negeri.
Menurut Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), pendapatan
Negara dibedakan menjadi (Soetrisno, 1982:97) :
a. Sumber-sumber penerimaan rutin
b. Sumber-sumber penerimaan pembangunan
2.3.1 Penerimaan (Rutin) Dalam Negeri
Penerimaan dalam negeri terdiri atas penerimaan perpajakan dan
penerimaan negara bukan pajak.
Penerimaan perpajakkan
Penerimaan perpajakkan dapat dikelompokkan atas beberapa jenis, yaitu:
1. Pajak Penghasilan (PPh)
Pajak penghasilan merupakan biaya atau tarif yang ditetapkan sesuai
2. Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa (PPN) dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah (PPnBM)
Pajak pertambahan nilai barang dan jasa merupakan tarif yang
dikenakan atas nilai tambah barang dan jasa sedangkan pajak penjualan
atas barang mewah merupakan pajak yang dikenakan terhadap
barang-barang mewah yang diimpor dari luar negeri.
3. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Pajak bumi dan bangunan merupakan pungutan yang dikenakan
atas tanah dan bangunan yang didirikan di atasnya. Hasil pemungutan
tersebut 90% dikembalikan kepada daerah setempat dan sisanya 10%
digunakan untuk pemerintah pusat.
4. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan merupakan jenis
penerimaan pajak yang dikenakan atas nilai perolehan hak atas tanah dan
atau bangunan yang meliputi pemindahan hak dan pemberian hak baru.
5. Pajak Lainnya
Pajak lainnya terdiri bea materai dan cukai. Bea materai
merupakan tarif yang dikenakan atas dokumen, dokumen terutang dan
tidak terutang. Cukai merupakan pemungutan atas barang kena cukai
yang digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam
pembuatan barang hasil akhir.
6. Cukai
Kebijaksanaan pemungutan cukai tidak semata-mata dilaksanakan
dalam rangka perlingungan bagi masyarakat. Dasar perhitungan besarnya
tarif cukai tergantung kepada jumlah barang kena cukai, tarif, dan harga
dasar.
7. Bea Masuk
Bea masuk merupakan tarif yang dikenakan atas barang-barang
yang di impor dari luar negeri. Selain sebagai penerimaan negara bea
masuk yang bertujuan untuk memproteksi produksi dalam negeri.
8. Tarif Ekspor
Tarif ekspor merupakan tarif atas beberapa komotidi yang akan di
ekspor.
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBD)
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBD) merupakan penerimaan
pemerintah pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan. Penerimaan
Negara Bukan Pajak (PNBD) dapat dikelompokan menjadi:
1. Penerimaan yang bersumber dari pengelolaan dana pemerintah
2. Penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam (SDA)
3. Penerimaan dari hasil pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan
4. Penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan pemerintah
5. Penerimaan berdasarkan putusan pengadilan dan yang berasal pengenaan
denda administrasi
6. Penerimaan berupa hibah yang merupakan hak pemerintah
2.4 Pengeluaran Negara
Pengeluaran negara diartikan sebagai pengeluaran pemerintah dalam arti
yang seluas-luasnya, dalam rangka memenuhi kebutuhan penyelenggaran negara
tergantung pada macam dan sifat dari pengeluaran pemerintah tersebut baik untuk
kebutuhan harian atau rutin maupun untuk memenuhi pencapaian pembangunan.
Pengeluaran pemerintah dapat dibedakan menjadi (Seotrisno, 1982:339) :
a. Pengeluaran (belanja) rutin
b. Pengeluaran (belanja) pembangunan
2.4.1 Pengeluaran (Belanja) Rutin
Pengeluaran rutin merupakan pengeluaran yang digunakan untuk
pemeliharaan dan penyelenggaraan pemerintah yang meliputi belanja pegawai,
belanja barang, pembayaran bunga dan cicilan utang, subsidi dan pengeluaran
rutin lainnya. Pengeluaran rutin digunakan untuk menjaga kelancaran
penyelenggaraan pemerintah, kegiatan operasinal dan pemeliharaan asset negara,
pemenuhan kewajiban kepada luar negeri, perlindungan kepada masyarakat
miskin dan kurang mampu serta menjaga stabilitas perekonomian.
Terjadinya kenaikan pengeluaran rutin pemerintah yaitu pada belanja
pegawai, subsidi serta pembayaran bunga utang luar negeri yang menyebabkan
anggaran dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terus
meningkat. Dana yang dialokasikan kepada belanja pegawai berupa peningkatan
gaji pegawai dan dana untuk pensiunan, sementara kondisi lonjakan harga minyak
mentah dunia mengakibatkan pemerintah melakukan subsidi bahan bakar minyak
harus dikeluarkan oleh pemerintah. Kemudian semakin meningkatnya jumlah
utang luar negeri serta merta mengakibatkan terjadinya peningkatan jumlah
pembayaran bunga utang. Hal ini disebabkan oleh besarnya jumlah utang luar
negeri yang jatuh tempo serta perubahan nilai tukar rupiah fluktuatif terhadap
mata uang lain.
2.4.2 Klasifikasi Pengeluaran Negara
Menurut Suparmoko pengeluaran negara secara garis besar dapat
diklasifikasikan ke dalam:
a. Pengeluaran yang merupakan investasi yang menambah kekuatan dan
ketahanan ekonomi dimasa mendatang.
b. Pengeluaran yang langsung memberikan kesejahteraan dan kemakmuran
masyarakat.
c. Pengeluaran yang merupakan penghematan terhadap pengeluaran masa
mendatang.
d. Pengeluaran untuk menyediakan kesempatan kerja yang lebih luas dan
menyebarkan daya beli yang lebih luas.
2.4.3 Teori Perkembangan Pengeluaran Pemerintah
Teori mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah menurut beberapa
para ahli ekonomi, (Basri dan Subri, 2005:49) antara lain:
1. Model Pembangunan Tentang Pengeluaran Pembangunan
Model ini dikemukakan oleh Rostow dan Musgrave yang
tahap-PkPP1
tahap pembangunan ekonomi yang dibedakan antara tahap awal, tahap
menengah dan tahap lanjut.
a. Pada tahap awal perkembangan ekonomi, persentase investasi
pemerintah terhadap total investasi besar terhadap total investasi besar,
sebab pada tahap ini pemerintah harus menyediakan prasarana seperti
pendidikan, kesehatan, transportasi dan lainnya.
b. Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah
tetap diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Investasi
swasta yang sudah semakin besar akan menimbulkan kegagalan pasar
dan menyebabkan pula pemerintah harus menyediakan barang dan jasa
publik dalam jumlah yang lebih banyak dan kualitas yang lebih baik.
c. Pada tahap lebih lanjut aktivitas pemerintah beralih dari penyediaan
prasarana ke pengeluaran-pengeluaran untuk kegiatan sosial seperti
halnya program kesejahteraan hari tua, program pelayanan kesehatan
masyarakat dan sebagainya.
2. Hukum Wagner
Wagner mengemukakan bahwa dalam suatu perekonomian apabila
pendapatan perkapita meningkat secara relatif pengeluaran pemerintah pun
akan meningkat. Teori Wagner didasarkan pada teori organis mengenai
pemerintah yang menganggap pemerintah sebagai individu yang bebas
bertindak, terlepas dari anggota masyarakat lainnya.
Dimana:
Pk PP adalah Pengeluaran Pemerintah Pekapita
PPK adalah Pendapatan Perkapita (GDP/jumlah penduduk)
1,2,….. n adalah jangka waktu (tahun)
3. Teori Peacock dan Wiseman
Teori Peacock dan Wiseman (1961) didasarkan pada suatu
pandangan bahwa pemerintah senantiasa berusaha untuk memperbesar
pengeluaran sedangkan masyarakat tidak suka membayar pajak yang
semakin besar untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang semakin
besar.
a. Perkembangan ekonomin menyebabkan pemungutan pajak yang
semakin meningkat yang kemudian menyebabkan penegeluaran
pemerintah juga semakin meningkat. Oleh akrena itu meningkatnya
GNP menyebabkan penerimaan pemerintah yang semakin besar,
begitu juga dengan pengeluaran pemerintah menjadi semakin besar.
b. Apabila terjadi keadaan tidak normal misalnya perang, maka
pemerintah harus memperbesar pengeluarannya untuk membiayai
perang, karena itu penerimaan pemerintah dari pajak juga meningkat
dan juga harus meminjam dari negara lain untuk membiayai perang.
Setelah keadaan normal, tarif pajak belum dapat diturunkan oleh
karaena harus mengembalikan bunga pinjaman dan angsuran utang
byang digunakan. Adanya gangguan sosial akan menyebabkan
terjadinya konsentrasi kegiatan ke tangan pemerintah yang sebelumnya
2.5 Utang Negara
Sumber-sumber penerimaan pemerintah yang paling utama adalah dari
pajak, pinjaman, dan pencetakan uang. Di samping itu ada sumber penerimaan
lain yang memainkan peranan penting yaitu utang negara. Utang negara
merupakan sumber-sumber dana tambahan pemerintah baik dari dalam negeri
maupun dari luar negeri yang berupa pinjaman negara. Sumber pendanaan ini
digunakan untuk menutupi kekurangan dana yang mampu diciptakan oleh
pemerintah.
Berdasarkan sumber perolehannya, utang negara dapat dibedakan menjadi
menjadi dua (Suparmoko, 1992:243) yaitu:
1. Utang dalam negeri
Utang dalam negeri merupakan pinjaman yang berasal dari
orang-orang atau lembaga-lembaga sebagai penduduk negara itu sendiri atau
dalam lingkungan negara itu sendiri. Utang luar negeri dapat bersifat
terpaksa maupun bersifat sukarela.
2. Utang luar negeri
Utang luar negeri merupakan pinjaman yang berasal dari
orang-orang atau lembaga-lembaga negara lain. Utang luar negeri biasanya
bersifat sukrela, terkecuali bila ada suatu kekuasaan dari suatu negara atas
negara lain.
Badan atau lembaga yang menjadi sumber utang atau pinjaman negara
a. Individu Dalam Masyarakat
Pemberian pinjaman oleh para individu dengan cara membeli
obligasi negara. Ini dapat mempengaruhi pola konsumsi dan pola tabungan
para individu yang bersangkutan.
b. Lembaga Keuangan Bukan Bank
Pemerintah dapat pula menjual surat obligasi negara kepada
perusahaan asuransi dan sebagainya yang bukan bank. Pembelian obligasi
oleh perusahaan jenis ini dilakukan dengan menggunakan dana yang
mengganggur yang dimiliki.
c. Bank-Bank Umum
Dengan pembelian obligasi negara maka bank umum mempunyai
tambahan reserve requirement 20%. Kondisi ini memampukan bank
umum untuk menciptakan uang giral sebanyak lima kali lipat dan tidak
menurunkan pendapatan nasional.
d. Bank Sentral
Pemerintah dapat menjual obligasi kepada Bank Sentral. Tindakan
ini juga menciptakan tenaga lebih seperti halnya bila pemerintah menjual
obligasi kepada bank umum.
2.5.1 Utang Luar Negeri
Utang luar negeri adalah pinjaman yang berasal dari orang-orang atau
lembaga-lembaga negara lain, yaitu mencakup pemindahan kekayaan (dana) dari
negara yang meminjamkan (kreditur) ke Negara peminjam (debitur) pada saat
Utang luar negeri yang harus di penuhi oleh pemerintah melalui anggaran
rutin setiap tahunnya adalah berupa pembayaran bunga utang beserta cicilan
pokok utang. Pemerintah menggunakan utang luar negeri adalah sebagai alat
pelengkap dalam memenuhi kekurangan dari sumber dana pembangunan.
2.5.2 Klasifikasi Utang Luar Negeri
Bentuk-bentuk utang luar negeri dapat dibedakan atas:
1. Pinjaman/Kredit Bilateral/Multilateral
a. Pinjaman/Kredit Bilateral: misalnya bantuan/kredit yang diperoleh dari
negara CGI.
b. Pinjaman/Kredit Multilateral: misalnya bantuan/kredit dari peserta
IBRD, IDA, UNDP, ADB, dan lain-lain. Jangka waktu dan syarat
pengembalian bantuan/kredit bilateral/multilateral adalah berdasarkan
perjanjian antara pemerintah Indonesia dengan pihak-pihak yang
memberikan bantuan/kredit.
2. Pinjaman/Bantuan menurut kategori ekonomi, barang/jasa
a. Bantuan Program: yaitu berupa pangan, misalnya dalam rangka PL 480
atau dalam bentuk devisa kredit.
b. Bantuan Proyek: yaitu bantuan yang diperoleh untuk pembiayaan dan
pengadaan barang/jasa pada proyek-proyek pembangunan.
c. Bantuan Teknik: yaitu berupa pengiriman tenaga ahli dari luar negeri
2.5.3 Negara dan Lembaga Donor Utama Indonesia
Kebijakan utang luar negeri tidak hanya tergantung pada kebijakan negara
peminjam dalam mengelola utang luar negeri tetapi hingga tingkat tertentu juga
dipengaruhi ole kebijakan dari pihak pemberi. Pemberian utang luar negeri secara
ketat akan membuat ketergantungan kepada negara atau lembaga pendonor rendah
atau tingkat efektivitas penggunaannya tinggi. Adapun negara-negara atau
lembaga pendonor utama Indonesia (Tulus, 2008:269) antara lain :
1. Lembaga-Lembaga Donor
a. Internasional Bank of Reconstruction and Development (IBRD)
Awal berdirinya IBRD (Bank Dunia) hingga sekarang memiliki
fokus pemberian utang untuk memerangi kemiskinan di dunia. Untuk
mencapai tujuan ini, IBRD memberi bantuan atau pinjaman kepada
banyak negara termasuk Indonesia. Indonesia menggunakan dana
IBRD untuk mendanai aspek-aspek pembangunan diantaranya
pendidikan atau peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM),
infrastruktur dan fasilitas transportasi serta komunikasi, pembangunan
sektor pertanian dan ekonomi pedesaan dan banyak lainnya.
b. Asian Development Bank
Fungsi awal ADB adalah sebagai pemberi pinjaman proyek yang
mendukung investasi negara berkembang anggota ADB di sektor
pertanian, industri, dan infrastruktur. Namun sejak pertengahan
1980-an ADB juga telah mendukung reformasi kelembaga1980-an d1980-an kebijak1980-an
c. Japan Bank for Internasional Cooperation (JBIC)
Pinjaman lunak yang diberikan oleh pemerintah Jepang ke negara
berkembang termasuk Indonesia disalurkan dalam kerangka Official
Development Assistance (ODA), yang disalurkan lewat JBIC. Asia
Tenggara merupakan wilayah perhatian khusus ODA dengan jumlah
hampir 60% dari bantuan bilateral Jepang ke negara berkembang
berupa pengembangan SDM dan pembangunan infrastruktur sosial and
ekonomi.
2. Negara-Negara Donor
a. Pemerintah Jepang
Berbeda dengan prioritas ODA secara umum, untuk pemerintah
Indonesia, pemerintah Jepang memprioritaskan pendanaan oleh
pinjaman yen pada pembangunan infrastuktur ekonomi untuk
menciptakan iklim investasi yang nyaman dan didukung oleh
reformasi pada setiap sektor, dua diantaranya adalah tenaga listrik dan
transportasi.
b. Pemerintah Jerman
Pemerintah Federal Jerman menyalurkan bantuan atau pinjaman
luar negerinya ke negara berkembang seperti Indonesia melalui
German Technical Cooperation (GTZ) dengan tujuan mendukung
pelaksanaan proyek-proyek kerja sama teknik yang berkaitan dengan
pembangunan ekonomi.
Pinjaman luar negeri pemerintah Perancis disalurkan lewat France
Protocol Loan yang membiayai proyek-proyek di 16 negara
berkembang termasuk Indonesia. Sejak tahun1960-an hingga
tahun1995 Indonesia penerima kedua terbesar yaitu US$ 150 juta
namun pada masa krisis ekonomi hingga tahun 2001 pinjaman dari
pemerintah Perancis terhenti akibat situasi politik yang tidak menentu
di Indonesia.
d. Pemerintah Korea Selatan
Seperti pemerintah Jepang, pemerintah Korea Selatan juga
memberikan pinjaman kepada Indonesia dalam kerangka ODA yang
disalurkan melalui the Economic Development Cooperation Fund
(EDCF) yang dibentuk pada tahun 1987. Bantuan yang diberikan
terutama untuk pembangunan industry dan stabilitas ekonomi di
negara-negara peminjam.
2.5.4 Pertumbuhan Utang Luar Negeri Indonesia
Menurut Tulus T. H. Tambunan, masalah utang luar negeri Indonesia tidak
lagi menjadi hal baru. Hal ini dikarenakan Indonesia sudah memiliki utang luar
negeri bahkan sejak masa penjajahan Belanda. Namun utang luar negeri muncul
sebagai masalah serius setelah terjadi transfer negatif bersih pada pertengahan
dekade 80-an, yakni utang baru yang diterima lebih kecil daripada cicilan pokok
dan bunga yang harus dibayar setiap tahunnya. Utang luar negeri yang baru sama
sekali tidak bisa digunakan sesuai tujuannya selain untuk membayar sebagian
Utang luar negeri pemerintah Indonesia pada tahun 1950 sebesar US$ 7,8
miliar yaitu berupa warisan utang pada masa pemerintahan Hindia Belanda
sebesar US$ 4 miliar dan utang baru US$ 3,8 miliar. Kondisi ini disebabkan
sektor swasta yang belum berkembang sehingga pemerintah hanya memiliki utang
luar negeri saja.
Pada masa pemerintahan Soekarno jumlah keseluruhan utang luar negeri
Indonesia sebesar US$ 6,3 miliar, jumlah tersebut merupakan kumulatif dari
utang luar negeri masa penjajahan sebelumnya.
Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto utang luar negeri Indonesia
mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan oleh dua hal pendorong utama yaitu:
1. Pemerintahan Orde Baru pada saat itu menganggap utang luar negri
sebagai salah satu langkah tepat untuk memutuskan lingkaran setan
kemiskinan melalui pembangunan yang sebagian besar dibiayai oleh
utang luar negeri.
2. Pada masa pemerintahan Orde Baru banyak perusahaan swasta yang
melakukan peminjaman dana dari luar negeri selain pemerintah.
Pertumbuhan negatif utang luar negeri Indonesia baru terjadi tahun 1999
yakni 0,2% pemicunya adalah sejak terjadinya krisis ekonomi tahun1998. Pada
saat itu perekonomian Indonesia mencapai titik terburuk. Para konglomerat di
zaman Orde Baru dituduh sebagai salah satu penyebab jatuhnya nilai tukar rupiah
2.6 Peranan Utang Luar Negeri Dalam APBN
Utang merupakan salah satu alternatif yang dipilih sebagai sumber
pembiayaan karena adanya kebutuhan yang perlu diselesaiakan segera. Dalam
struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), utang luar negeri
dimaksudkan sebagai penerimaan pembangunan yang berasal dari pinjaman
program dan pinjaman proyek. Dana luar negeri yang diperoleh kemudian
digunakan sebagai sumber pembiayaan pembangunan di berbagai sektor
kehidupan negara.
Dapat dikatakan bahwa utang luar negeri pemerintah Indonesia hanya
berfungsi sebagai pelengkap dalam pengeluaran pembangunan maupun total
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), namun semua utang luar
negeri pemerintah tetap dan terus saja semakin besar setiap tahunnya pada masa
lalu sejak Pelita I hingga Pelita VI.
Selain dari sisi pengeluaran, dalam sistem Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN), penerimaan negara sebagai aspek terpenting dalam
pembentukkan tabungan pemerintah. Apabila pemerintah mampu membiayai
pembangunan dari tabungan pemerintah yang tersedia yaitu sisa dari penerimaan
dalam negeri setelah dikurangi pengeluaran pembanguan, maka Indonesia tidak
lagi memerlukan utang dari luar negeri. Namun kenyataannya tabungan
pemerintah tidak mampu untuk membiayai semua kegiatan pembangunan, untuk
itu pemerintah harus mengusahakan kekurangan dari sumber lain salah satunya
dengan fasilitas utang luar negeri yang berperan hanya sebagai pelengkap.
Namun peran pelengkap ini semakin mengkhawatirkan karena adanya
negara peminjam tersebut untuk membayar kembali pinjaman dan bunganya di
masa yang akan datang. Di negara-negara berkembang oleh karana lambannya
pertumbuhan ekspor dan penerimaan devisa yang dapat dipakai untuk mambayar
kembali utang beserta bunganya, pemerintah harus menyusun anggaran yang lebih
rasional dan bertanggung jawab agar polemik utang luar negeri tidak
menimbulkan masalah baru di kemudian hari.
2.7 Hubungan APBN terhadap Pembayaran Cicilan Utang Luar Negeri
Pembayaran cicilan utang luar negeri beserta bunganya atas pinjaman luar
negeri merupakan beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang
memberatkan tahun-tahun fiskal mendatang, karena semakin besarnya jumlah
pinjaman luar negeri setiap tahunnya dan semakin berakumulasi.
Sampai sekarang kemungkinan untuk menghentikan pinjaman luar negeri
dalam pemeliharaan daya gerak pembangunan belum terlihat pasti. Pinjaman yang
diperoleh Indonesia masih berperan dominan dalam beberapa hal dan sepanjang
anggaran masih tetap defisit bila tanpa bantuan dari luar negeri.
Semakin besar jumlah pengeluaran pembangunan yang harus dipenuhi
oleh pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maka
penyediaan dana untuk pengeluaran rutin akan semakin membengkak.
Pembengkakan yang terjadi salah satunya berupa pembayaran bunga utang beserta
cicilan pokok utang luar negeri. Sedangkan jumlah bunga utang luar negeri yang
harus dibayar pemerintah cenderung lebih besar dari cicilan pokok utang itu
sendiri, bahkan penyediaan dana untuk kewajiban utang luar negeri termasuk
memperberat pengeluaran rutin pemerintah. Sehingga pemerintah harus
memperkuat komponen lainnya seperti penerimaan dalam negeri dan
mengefisiensikan jumlah pengeluaran rutin, agar jumlah kewajiban utang tidak
perlu diperberat melalui pembentukan utang yang baru.
Anggaran yang semakin ketergantungan akan kemampuan utang luar
negeri akan semakin mempersulit perekonomian negara yang bersangkutan untuk
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian dilakukan di Indonesia dengan mengamati dan
menganalisa pengaruh anggaran rutin yaitu penerimaan dalam negeri (rutin) dan
pengeluaran rutin pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) terhadap cicilan utang luar negeri di Indonesia.
3.2 Jenis Dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dalam
bentuk urut waktu (time series) yaitu berupa angka-angka kuantitatif. Sedangkan
data diperoleh melalui Bank Indonesia (BI) Kota Medan, Badan Pusat Statistik
(BPS) Kota Medan dan sumber-sumber lain yang berhubungan dengan penelitian.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data adalah dengan melakukan pencatatan langsung
hasil publikasi instansi yang terkait berupa data tahunan, selama kurun waktu 25
tahun yaitu dari tahun anggaran 1984 – 2008.
3.4 Pengolahan Data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pengolahan data dengan
program pembantu untuk meminimalkan kesalahan dalam pencatatan data jika
dibandingkan dengan pencatatan ulang secara manual.
3.5 Model Analisis Data
Dalam menganalisis besarnya pengaruh variabel-variabel bebas terhadap
variabel terikat digunakan model ekonometrika dengan meregresi
variabel-variabel yang ada dengan mengunakan metode Ordinary Least Square (OLS) atau
metode kuadrat terkecil biasa. Data-data yang digunakan, dianalisis secara
kuantitatif dengan menggunakan persamaan regresi linier berganda.
Variabel-variabel bebas yang mempengaruhi variabel terikat dinyatakan
dalam fungsi sebagai berikut:
Y = f(X1,X2,X3,…Xn) ………(1)
Kemudian fungsi tersebut dispesifikasikan kedalam bentuk model
persamaan linier sebagai berikut:
Log Y = α + Log β1X1 + Log β2X2 + μ ………..………(2)
Dimana:
Y = Cicilan utang luar negeri (miliar rupiah)
α = Intercept/Konstanta
X1 = Penerimaan dalam negeri pemerintah (miliar rupiah)
X2 = Pengeluaran rutin pemerintah (miliar rupiah)
β1,β2,β3 = Koefisien regresi
> 0,
Bentuk hipotesisnya sebagai berikut :
Artinya jika terjadi kenaikan pada X1 (penerimaan dalam
negeri) maka Y (cicilan utang luar negeri) mengalami
kenaikan, cateris paribus.
Artinya jika terjadi kenaikan pada X2 (pengeluaran rutin) maka
Y (cicilan utang luar negeri) mengalami kenaikan, cateris
paribus.
3.5.1 Uji Kesesuaian (Test of Goodness Fit)
Uji kesesuaian (Test of Goodness Fit) dilakukan untuk mengetahui
kesesuian garis regresi sampel mencocokan data. Untuk menganalisa model
tersebut dilakukan pengujian sebagai berikut:
3.5.1.1 Uji Koefisien Determinasi (R-square)
Uji koefisien determinasi (R2) dilakukan untuk mendeteksi ketepatan
paling baik dari garis regresi. Uji ini digunakan untuk melihat sebarapa besar
variabel-variabel bebas secara bersama mampu memberikan penjelasan mengenai
variabel terikat dimana nilai koefisien determinasi (R2) adalah antara 0 sampai
dengan 1 (0≤R2≤1)
Koefisien determinasi bernilai nol berarti tidak ada hubungan antara
variabel-variabel bebas dengan variabel terikat, sebaliknya nilai koefisien
determinasi 1 berarti ada hubungan sempurna antara variabel bebas dengan
t-statistik =
Sbi
3.5.1.2Uji t-Statistik (Partial Test)
Uji t merupakan suatu pengujian apakah masing-masing koefisien regresi
signifikan atau tidak terhadap variabel terikat dengan menganggap variabel bebas
lainnya konstan. Nilai t-statistik dapat diperoleh dengan rumus:
(bi – b)
Dimana:
bi = Keofisien variabel bebas ke-i
b = Nillai hipotesis nol
Sbi = Simpangan baku dari variabel ke-i
Dalam hal ini digunakan hipotesis sebagai berikut:
Ho : β1 = 0
Ha : β1≠ 0
Dengan ketentuan sebagai berikut:
Ho diterima jika t-statistik < t tabel
Dalam program Eviews:
a. Probabilitas Xi > 0,01 bila α = 1%
b. Probabilitas Xi > 0,05 bila α = 5%
c. Probabilitas Xi > 0,10 bila α = 10%
Artinya variabel-variabel bebas tidak mempengaruhi variabel terikat.
Ha diterima jika t-statistik > ttabel
Dalam program Eviews:
(1 – R2)/(n – k) R2/(k – 1)
b. Probabilitas Xi < 0,05 bila α = 5%
c. Probabilitas Xi < 0,10 bila α = 10%
Artinya variabel-variabel bebas mempengaruhi variabel terikat.
Ho diterima
Ha diterima Ha diterima
-tα/2 0 tα/2
Gambar 3.1 Kurva Uji t-statistik
3.5.1.3 Uji F-Statistik
Uji F-statistik ini dilakukan untuk melihat seberapa besar pengaruh
variabel bebas secara keseluruhan atau bersama-sama terhadap variabel terikat.
Nilai F-statistik dapat diperoleh dengan rumus:
=
Dimana:
R2 = Koefisien determinasi
k = Jumlah variabel bebas dan intercept
n = Jumlah sampel
Ho : β1= β2= β3 = 0
Ha : β1≠ β2≠ β3≠ 0
Pengujian ini dilakukan untuk membadingkan nilai F-statistik dengan F tabel
dengan kriteria sebagai berikut:
Ho diterima jika F-statistik < Ftabel
Dalam program Eviews:
a. Probabilitas Y > 0,01 bila α = 1%
b. Probabilitas Y > 0,05 bila α = 5%
c. Probabilitas Y > 0,10 bila α = 10%
Artinya variabel-variabel bebas tidak mempengaruhi variabel terikat
Ha diterima jika Fstatistik > F tabel
Dalam program Eviews:
a. Probabilitas Y < 0,01 bila α = 1%
b. Probabilitas Y < 0,05 bila α = 5%
c. Probabilitas Y < 0,10 bila α = 10%
Artinya variabel bebas memepengaruhi variabel terikat
Ho diterima
Ha diterima
0
3.5.1.3Uji Penyimpangan Asumsi Klasik 3.5.2.1 Uji Multikolinearitas
Multikolinaeritas adalah uji untuk mengetahui apakah ada hubungan yang
kuat (kombinasi linier) diantara variabel bebas. Untuk mendeteksi ada tidaknya
multikolinearitas dapat dilihat dari nilai R2 dan nilai F-statistik, nilai t-statistik
serta standart error. Suatu model regresi liner akan menghasilkan estimasi yang
baik apabila model tersebut tidak mengandung multikolinearitas.
Multikolinearitas terjadi karena adanya hubungan yang kuat antara sesama
variabel bebas dari suatu model estimasi.
Adanya multikolinearitas ditandai dengan:
1. Standar eror tidak terhingga
2. Tidak ada satupun t-statistik yang signifikan pada α=1%, α=5%, α=10%
3. Terjadi perubahan tanda atau tidak sesuai dengan teori
4. R2 sangat tinggi
3.5.2.2 Uji Autokorelasi
Uji ini merupakan hubungan variabel-variabel dari serangkaian yang
tersusun dalam rangkaian waktu. Autokorelasi juga menunjukkan hubungan
nilai-nilai yang berurutan dari variabel yang sama. Autokorelasi dapat terjadi jika
kesalahan pengganggu suatu periode korelasi dengan kesalahan pengganggu
periode sebelumnya.
Untuk menguji apakah hasil-hasil estimasi tidak mengandung autokorelasi,
maka dipergunakan:
∑(et – et – 1)2 ∑et2
d =
Dimana terlebih dahulu harus ditentukan besarnya nilai kritis dari
du dan dl berdasarkan jumlah pengamatan dari variabel bebasnya.
Untuk pengujian ini digunakan hipotesis sebagai berikut:
Ho : ρ = 0, tidak ada gejala autokorelasi
Ha : ρ ≠ 0, ada gejala autokorelasi
Dengan kriteria sebagai berikut:
Ho diterima jika (du< d < 4 − du), artinya data pengamatan tidak terdapat
autokorelasi.
Ha ditolak jika (d < dl) atau (d > 4 − dl), artinya data pengamatan memiliki
gejala autokorelasi.
Inconclusive Inconclusive
Autokolerasi (−) Autokolerasi (+)
Ho diterima
dl du 2 4 – du 4 – dl
Gambar 3.3 Kurva Uji Durbin Watson
Keterangan:
Ho = Tidak ada autokorelasi
d > 4 – dl = Tolak Ho (ada korelasi negatif)
du < d < 4 – du = Terima Ho (tidak ada autokorelasi)
dl ≤ d ≤ du = Tidak dapat disimpulkan (inconclusive)
(4 – du) ≤ d ≤ (4 –dl) = Tidak dapat disimpulkan (inconclusive)
2. Uji LM-Test
Menggunakan Uji LM-Test atau juga dikenal Breusch Godfrey
Test, dengan hipotesis sebagai berikut:
a. Jika hasil estimasi yang diperoleh menunjukkan bahwa nilai Obs*
R-square > χ2 atau nilai probabilitas lebih rendah dari 0,05 maka
menurut Uji LM-Test terdapat autokolerasi di dalam hasil estimasi.
b. Jika hasil estimasi yang diperoleh menunjukkan bahwa nilai Obs*
R-square < χ2 atau nilai probabilitas lebih besar dari 0,05 maka
menurut LM-Test tidak terdapat autokolerasi di dalam hasil
3.6 Definisi Operasional
1. Anggaran adalah perencanaan yang berupa daftar mengenai
bermacam-macam kegiatan terpadu pemerintah Indonesia, baik yang menyangkut
penerimaan maupun pengeluaran yang dinyatakan dalam miliar rupiah.
2. Penerimaan dalam negeri adalah penerimaan pemerintah Indonesia yang
meliputi penerimaan pajak dan bukan pajak (migas) yang dinyatakan
dalam miliar rupiah.
3. Pengeluaran rutin adalah pengeluaran untuk pemeliharaan atau
penyelenggaraan roda pemerintahan Indonesia meliputi belanja pegawai,
belanja barang, berbagai macam subsidi, angsuran dan bunga utang serta
pengeluaran lainnya yang dinyatakan dalam miliar rupiah.
4. Cicilan utang luar negeri adalah jumlah kewajiban atas pembayaran utang
luar negeri berupa bunga dan cicilan pokok utang pemerintah Indonesia
BAB IV
ANALISA DAN PEMBAHASAN
4.1Gambaran Umum Indonesia
Indonesia merupakan sebuah negara demokrasi yang dipimpin oleh
seorang presiden sebagai pemimpin negara dan Pancasila sebagai filosofi dasar
negara. Pancasila terdiri dari 5 (lima) dasar yang saling berhubungan dan
merupakan jiwa demokrasi bangsa yang dikenal dengan nama Demokrasi
Pancasila. Demokrasi Pancasila pertama kali dinyatakan oleh presiden Indonesia
yang pertama yaitu Seokarno dalam proklamasi kemerdekaan, tepatnya pada
tanggal 17 Agustus tahun 1945.
4.1.1 Kondisi Geografis Indonesia
Indonesia terletak antara 6º LU − 11º LS dan 97º BT − 141º BT. Indonesia
merupakan negara terbesar di dunia yang diapit oleh dua benua yaitu Benua Asia
dan Benua Australia serta dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera
Pasifik. Posisi strategis ini sangat berpengaruh terhadap kebudayaan, sosial,
politik, dan ekonomi Indonesia.
Luas laut Indonesia sekitar 7,9 km2 termasuk dalam daerah Zona
Exclusive Economic (ZEE) atau 81% dari luas keseluruhan Indonesia. Daratan
Indonesia mempunyai luas lebih dari 1,86 juta km2 serta mempunyai ratusan
gunung dan sungai. Posisi yang strategis serta masih banyak terdapat beberapa
gunung berapi yang masih aktif, menyebabkan Indonesia masih sering dilanda
Indonesia merupakan negara berbentuk republik dan memiliki 30 propinsi
dengan 4 (empat) propinsi tambahan di tahun 2001 yaitu Gorontalo, Kepulauan
Bangka Belitung, Banten, dan Maluku Utara. Kemudian di tahun 2005 indonesia
tercatat memiliki 33 propinsi dengan 3 (tiga) propinsi tambahan yaitu Kepulauan
Riau, Sulawesi Barat, dan Irian Jaya Barat.
4.1.2 Kondisi Demografi Indonesia
Pada tahun 2000 Indonesia memiliki penduduk sebesar 205,1 juta jiwa
namun belum termasuk penduduk yang tidak bertempat tinggal tepat sebesar
421,399 juta jiwa. Pada tahun 2004 jumlah penduduk Indonesia sebesar 216,4 juta
jiwa dan pada tahun 2005 meningkat menjadi 219,2 juta jiwa.
Indonesia selalu berusaha untuk mensejahterakan penduduk nya yang
mengarah kepada pemerataan penyebaran penduduk, baik melalui program
transmigrasi maupun urbanisasi sebagai salah satu usaha pemerintah dalam rangka
mengatasi masalah kependudukan. Usaha pemerintah berikutnya adalah melalui
program Keluaraga Berencana (KB) pada awal tahun 1970-an dengan jumlah
anggota keluaraga dibatasi dengan memiliki 2 (orang) anak saja dalam setiap
keluarga serta program otonomi daerah (otda) yaitu sekitar tahun 2001. Melalui
program ini pemerintah Indonesia berusaha menekan perpindahan penduduk dari
desa ke kota-kota besar yang kerap kali terjadi di pulau Jawa dimana jantung
pemerintahan dan perekonomian Indonesia berada.
Dalam pemahaman ekonomi suatu negara yang memiliki jumlah penduduk
yang cukup besar, diyakini mampu melahirkan jumlah tenaga kerja yang optimal