PREVALENSI KEJADIAN PENYAKIT JANTUNG
KONGENITAL PADA ANAK PENDERITA SINDROM DOWN
DI RSUP HAJI ADAM MALIK PADA TAHUN 2008 - 2010
Oleh :
KHAIRUL AIZAT ABU HURAIRAH
080100344
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PREVALENSI KEJADIAN PENYAKIT JANTUNG
KONGENITAL PADA ANAK PENDERITA SINDROM DOWN
DI RSUP HAJI ADAM MALIK PADA TAHUN 2008 - 2010
KARYA TULIS ILMIAH
Oleh :
KHAIRUL AIZAT ABU HURAIRAH
NIM: 080100344
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
LEMBAR PENGESAHAN
Judul: Prevalensi Kejadian Penyakit Jantung Kongenital Pada Anak Penderita Sindrom Down Di RSUP Haji Adam Malik Pada Tahun 2008 - 2010
Nama : Khairul Aizat Abu Hurairah
NIM : 080100344
Pembimbing, Penguji I,
(dr. Rini Savitri Daulay, SpA) (dr. Tetty Aman Nasution, M. Med Sc)
Penguji II,
(Prof. dr. Aznan Lelo, PhD, sp. FK)
Dekan
Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK
Latar Belakang : Sindrom Down merupakan kelainan genetik yang sering terjadi pada bayi baru lahir dengan perbandingan 1 dari 800 kelahiran. Hampir setengah
dari bayi dengan Sindrom Down akan menderita kelainan jantung. Kelainan
kromosom yang didapat memungkinkan terjadinya kelainan jantung dengan
kemungkinan sebesar 50%. Penelitian ini dilakukan di RSUP Haji Adam Malik
untuk melihat prevalensi kejadian penyakit jantung kongenital pada anak
penderita sindrom down bagi tahun 2008 hingga 2010.
Metode : Penelitian ini bersifat deskriptif retrospektif yang dilaksanakan dengan pendekatan cross sectional yang menghubungkan variabel – variabel pada
kelompok responden untuk melihat prevalensi kajadian penyakit jantung
kongenital pada anak – anak yang menderita Sindrom Down.. Penelitian
dilaksanakan di RSUP Haji Adam Malik, pada bulan Augustus hingga September
2011. Sampel penelitian adalah anak – anak dengan Sindrom Down yang telah
menjalani pemeriksaan echocardiography di Departement Ilmu Kesehatan Anak
RSUP Haji Adam Malik Medan dengan tehnik pengambilan total sampling.
Hasil : Terdapat 43 kasus sindrom Down yang ditemukan, dengan jumlah pasien 23 laki – laki dan 20 perempuan. Dari jumlah tersebut, sebanyak 46.5% pasien
menderita penyakit jantung kongenital dengan jenis kelamin laki - laki lebih
banyak. Penyakit jantung kongenital yang paling sering terjadi adalah Ventricular
Septal Defect (40%).
Kesimpulan: Prevalensi kejadian penyakit jantung kongenital pada anak penderita sindrom Down pada tahun 2008 hingga 2010 adalah 46.5%. Anak
penderita sindrom Down dengan jenis kelamin laki – laki lebih banyak menderita
penyakit jantung kongenital (56.5%). Jenis penyakit jantung kongenital yang
paling banyak didapatkan adalah Ventricular Septal Defect (40.0%).
Abstract
Background: Down syndrome is a genetic disorder that often occurs in new born
with a ratio of 1 of 800 births. Nearly half of babies with Down syndrome will
develop cardiac abnormalities. The chromosome abnormalities obtained allow
the babies to have cardiac defect by 50% chances . The research was conducted
in RSUP Haji Adam Malik to see the prevalence of congenital heart disease
events in children with Down syndrome for the years 2008 to 2010.
Methods: A retrospective descriptive study was conducted with a cross-sectional
approach that connects variables in the group of respondents to see the
prevalence of congenital heart disease in children who suffer from Down's
Syndrome. The experiment was conducted in RSUP Haji Adam Malik, in August
and September 2011. Study sample were children with Down syndrome who had
undergone echocardiography examination at the Department of Child Health,
RSUP Haji Adam Malik Medan. Total sampling technique was used.
Results: 43 cases of Down’s Syndrome were found, with the number of 23 male
patients and 20 female patients. Of these, about 46.5% of patients were suffering
from congenital heart disease with male number higher than female. The most
frequent Congenital heart disease found was Ventricular Septal Defect (40%).
Conclusion: The prevalence of congenital heart disease events in children with
Down syndrome in the year 2008 to 2010 was 46.5%. Children with Down
syndrome with male gender suffer more from congenital heart disease (56.5%).
The most widely type of congenital heart disease obtained was Ventricular Septal
Defect (40.0%).
Keywords: Down syndrome, prevalence, Congenital Heart Disease, Ventricular
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadrat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmatnNya sehingga hasil KTI (karya tulis ilmiah) ini dapat diselesaikan.
Proposal ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan Sarjana
Kedokteran(S. Ked) di Fakultas Kedokteran USU. Saya menyedari bahwa hasil
KTI in masih jauh dari sempurna. Namun, besar harapan saya sekiranya tulisan
ini dapat bermanfaat dalam menambah perbendaharaan bacaan khususnya
tentang: “Prevalensi Kejadian Penyakit Jantung Kongenital Pada Anak Penderita
Sindrom Down Di RSUP Haji Adam Malik Pada Tahun 2008 - 2010 .” Dengan
selesainya hasil ini, perkenanlah saya menyampaikan rasa terima kasih dan
penghargaan kepada yang terhormat:
1. Dr. Rini Savitri Daulay, SpA sebagai dosen pembimbing. Beliau telah
banyak membantu dan memberikan bimbingan dalam penyusunan dan
menyiapkan hasil penelitian ini.
2. Keluarga saya yang tercinta yang telah banyak memberikan dukungan dan
doa selama menyiapkan hasil penelitian ini.
3. Seluruh dosen dan staf Program Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara.
4. Teman-teman seperjuangan saya yang telah banyak memberikan bantuan
dan dukungan selama saya menyiapkan hasil penelitian ini
5. Semua pihak yang terlibat secara langsung atau tidak langsung dalam
proses penyiapan hasil penelitian ini.
Akhir kata saya memohon maaf bila terdapat kesalahan dalam penulisan hasil
penelitian ini. Semoga Allah sentiasa melimpahkan rahmat dan ridho-Nya
Medan, 5 Desember 2011
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Persetujuan...i
Abstrak……….ii
Abstract………iii
Daftar Isi...v
Daftar Singkatan...viii
Daftar Tabel………...…ix
Daftar Lampiran……….…….x
BAB 1 PENDAHULUAN...1
1.1. Latar Belakang...1
1.2. Rumusan Masalah...3
1.3. Tujuan Penelitian...4
1.4. Manfaat Penelitian...4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA...5
2.1: Definisi Sindrom Down...5
2.2: Faktor Risiko………...5
2.3: Skrining……...6
2.4: Patofisiologi...7
2.5: Morbiditas/Mortilitas...9
2.6: Efek Pada Fisik Dan Sistem Tubuh…...9
2.6.1. Temuan Fisik………..9
2.6.2. Hematologi……….…...11
2.6.3. Penyakit Jantung Kongenital………12
2.6.4. Immunodefisiensi………..15
2.6.6. Sistem Endokrin……….…15
2.6.7. Gangguan Psikologis………..16
2.6.8. Trisomi 21 Mosaik………..16
2.7: Perawatan Medis...16
2.7.1. Pemeriksaan Kesehatan Reguler………....16
2.8: Komplikasi Pada Jantung dan Sistem Vaskuler...22
BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL...20
3.1. Kerangka Konsep Penelitian...20
3.2. Definisi Operasional...21
BAB 4 METODE PENELITIAN...23
4.1. Rancangan Penelitian...23
4.2. Lokasi dan Paktu Penelitian...23
4.2.1. Lokasi Penelitian...23
4.2.2. Waktu Penelitian...23
4.3. Populasi dan Sampel...23
4.3.1 Populasi...23
4.3.2. Sampel...24
4.4. Metode Pengumpulan Data...24
4.5. Analisa………....24
4.6. Etika Penelitian………..…24
BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……….…….25
5.1. Hasil Penelitian………..….25
5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian……….…….25
5.1.2. Deskripsi Karakteristik Sampel………....25
5.2.2. PJK Pada Anak Penderita Sindrom Down……….30
5.2.3. Tipe Kelainan Penyakit Jantung Kongenital………..31
5.2.4. Skrining Awal Untuk Mendeteksi Kelainan Jantung…….32
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN………. 34
6.1. Kesimpulan………..…34
6.2. Saran………....35
DAFTAR PUSTAKA...31
Daftar Singkatan
HLA - Human Leukocyte Antigen
ADHD - Attention Deficit Acute Hyperactivity Disorder
AML - Acute Megakaryoblastic Leukemia
ALL - Acute Lymphoblastic Leukemia
AVD - Atrioventricular Septal Defects
VSD - Ventricular Septal Defects
ASD - Atrial Septal Defect
TOF - Tetralogy of Fallot
PDA - Patent DuctusArteriosus
Daftar Tabel
Nomor Judul Halaman
Tabel 5.1 Distribusi Pasien Anak Dengan Sindrom Down Di
RSUP Haji Adam Malik Pada Tahun 2008 hingga
2010
26
Tabel 5.2 Distribusi Pasien Anak Dengan Sindrom Down Di
RSUP Haji Adam Malik Pada Tahun 2008 hingga
2010 Berdasarkan Umur
26
Tabel 5.3 Distribusi Kejadian Penyakit Jantung Kongenital
Pada Anak Penderita Sindrom Down Di RSUP
Haji Adam Malik Pada Tahun 2008 hingga 2010
27
Tabel 5.4 Distribusi Kejadian Penyakit Jantung Kongenital
Berdasarkan Tahun di RSUP Haji Adam Malik
Pada Tahun 2008 hingga 2010
27
Tabel 5.5 Distribusi Kejadian PJK Pada Anak Penderita
Sindrom Down Berdasarkan Kelamin di RSUP
HajiAdam Malik Pada Tahun 2008 hingga 2010
28
Tabel 5.6 Distribusi Tipe PJK Yang Diderita Anak dengan
Sindrom Down di RSUP Haji Adam Malik Pada
Tahun 2008 hingga 2010
Daftar Lampiran
Lampiran I Daftar Riwayat Hidup
Lampiran II Master Data
Lampiran III Data SPSS
Lampiran IV Surat Izin Penelitian
ABSTRAK
Latar Belakang : Sindrom Down merupakan kelainan genetik yang sering terjadi pada bayi baru lahir dengan perbandingan 1 dari 800 kelahiran. Hampir setengah
dari bayi dengan Sindrom Down akan menderita kelainan jantung. Kelainan
kromosom yang didapat memungkinkan terjadinya kelainan jantung dengan
kemungkinan sebesar 50%. Penelitian ini dilakukan di RSUP Haji Adam Malik
untuk melihat prevalensi kejadian penyakit jantung kongenital pada anak
penderita sindrom down bagi tahun 2008 hingga 2010.
Metode : Penelitian ini bersifat deskriptif retrospektif yang dilaksanakan dengan pendekatan cross sectional yang menghubungkan variabel – variabel pada
kelompok responden untuk melihat prevalensi kajadian penyakit jantung
kongenital pada anak – anak yang menderita Sindrom Down.. Penelitian
dilaksanakan di RSUP Haji Adam Malik, pada bulan Augustus hingga September
2011. Sampel penelitian adalah anak – anak dengan Sindrom Down yang telah
menjalani pemeriksaan echocardiography di Departement Ilmu Kesehatan Anak
RSUP Haji Adam Malik Medan dengan tehnik pengambilan total sampling.
Hasil : Terdapat 43 kasus sindrom Down yang ditemukan, dengan jumlah pasien 23 laki – laki dan 20 perempuan. Dari jumlah tersebut, sebanyak 46.5% pasien
menderita penyakit jantung kongenital dengan jenis kelamin laki - laki lebih
banyak. Penyakit jantung kongenital yang paling sering terjadi adalah Ventricular
Septal Defect (40%).
Kesimpulan: Prevalensi kejadian penyakit jantung kongenital pada anak penderita sindrom Down pada tahun 2008 hingga 2010 adalah 46.5%. Anak
penderita sindrom Down dengan jenis kelamin laki – laki lebih banyak menderita
penyakit jantung kongenital (56.5%). Jenis penyakit jantung kongenital yang
paling banyak didapatkan adalah Ventricular Septal Defect (40.0%).
Abstract
Background: Down syndrome is a genetic disorder that often occurs in new born
with a ratio of 1 of 800 births. Nearly half of babies with Down syndrome will
develop cardiac abnormalities. The chromosome abnormalities obtained allow
the babies to have cardiac defect by 50% chances . The research was conducted
in RSUP Haji Adam Malik to see the prevalence of congenital heart disease
events in children with Down syndrome for the years 2008 to 2010.
Methods: A retrospective descriptive study was conducted with a cross-sectional
approach that connects variables in the group of respondents to see the
prevalence of congenital heart disease in children who suffer from Down's
Syndrome. The experiment was conducted in RSUP Haji Adam Malik, in August
and September 2011. Study sample were children with Down syndrome who had
undergone echocardiography examination at the Department of Child Health,
RSUP Haji Adam Malik Medan. Total sampling technique was used.
Results: 43 cases of Down’s Syndrome were found, with the number of 23 male
patients and 20 female patients. Of these, about 46.5% of patients were suffering
from congenital heart disease with male number higher than female. The most
frequent Congenital heart disease found was Ventricular Septal Defect (40%).
Conclusion: The prevalence of congenital heart disease events in children with
Down syndrome in the year 2008 to 2010 was 46.5%. Children with Down
syndrome with male gender suffer more from congenital heart disease (56.5%).
The most widely type of congenital heart disease obtained was Ventricular Septal
Defect (40.0%).
Keywords: Down syndrome, prevalence, Congenital Heart Disease, Ventricular
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Sindrom Down merupakan salah satu kelainan genetik yang sering terjadi
pada bayi baru lahir. Prevalensi kejadian bayi lahir dengan sindrom Down
adalah 1 dari 800 kelahiran. Berdasarkan penelitian awal yang dilakukan,
di Amerika Serikat terdapat lebih dari 400,000 orang menderita sindrom
Down, dengan jumlah kelahiran bayi yang mendapat sindroma tersebut
mencapai 3,400 bayi dalam setahun ( CDC, 2009).
Sindrom Down merupakan kelainan kromosom yang nantinya akan
menimbulkan berbagai kelainan ketika lahir. Individu dengan sindrom
Down biasanya akan mengalami keterbatasan dari segi kognitif, wajah
dismorfik yang berbeda apabila dibandingkan dengan orang normal,
kelainan jantung dan masalah – masalah kesehatan yang lain. Keparahan
kondisi yang diderita penderita sindrom Down adalah berbeda antara satu
individu dengan individu yang lainnya. Walau demikian, dengan adanya
tehnik skrining yang ada sekarang, usia penderita sindrom Down dapat
mencapai 60 tahun (National Down Syndrome Society, 2009).
Sebuah penelitian telah dilakukan pada 24 (21,62 %) anak yang
dicurigai sindrom Down dari 111 anak retardasi mental di Sekolah Luar
Biasa (SLB) Negeri Semarang periode Juli 2007 – Juni 2008. Berdasarkan
pemeriksaan dari 20 anak SLBC Negeri Semarang dengan penampakan
klinis Sindrom Down, 19 anak (95 %) mempunyai kelainan kromosom
Trisomi 21 (kelebihan 1 kromosom 21) dan 1 anak (5%) dengan kariotipe
(46,XX)(Vidyaningsih, 2008).
Pada penelitian tahun 1994, dari 340 siswa SLB, laki – laki dan
perempuan, di Semarang didapatkan 42 kasus sindrom Down di Semarang
(12,3%), secara keseluruhan jumlah sindrom Down jenis kelamin laki-laki
sama dengan jenis kelamin perempuan. Selanjutnya pada penelitian siswa
penderita sindrom Down 14% (32/235) dengan distribusi jenis kelamin
yang juga sama pada laki – laki dan perempuan. Sindrom Down yang
ditemukan pada penelitian ini menunjukkan angka yang hampir mirip
dengan angka yang pernah dilaporkan oleh peneliti lain pada bangsa
Kaukasia, tetapi pada penelitian lain jumlah penderita laki-laki lebih
banyak daripada penderita perempuan (Sultana, 2004).
Hampir setengah dari bayi dengan sindrom Down akan mendapat
kelainan jantung. Kelainan jantung dapat ringan dan dapat diterapi dengan
obat, dan ada juga kelainan berat yang memerlukan pembedahan. Setiap
bayi yang lahir dengan sindrom Down harus diperiksa oleh dokter
kardiologi anak. Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan
dengan echocardiogram atau ultrasound pada jantung setelah usia dua
bulan (American Academy of Pediatrics Committee on Genetics, 2007).
Sindrom Down adalah kelainan genetik (kromosom) yang sering
berhubungan dengan penyakit jantung kongenital, mencapai sehingga 5%
dari keseluruhan kelainan jantung. Pada penderita sindrom Down, kejadian
kelainan jantung dapat mencapai 50%. Defek pada jaringan endokardial
dan kelainan katup ventrikular merupakan kelainan yang paling sering
dilaporkan (American Academy of Pediatrics, 1993).
Anak sindrom Down memiliki risiko lebih tinggi mendapat
penyakit jantung kongenital. Insidens penyakit jantung kongenital pada
populasi umum adalah 0.8 %, sedangkan pada anak penderita sindrom
Down sebesar 40 – 60 % (Freeman SB, 2009).
Kelainan jantung kongenital yang paling sering terjadi pada anak
penderita sindrom Down adalah Atrioventricular Septal Defects (AVSDs).
Kelainan jantung lain adalah Ventricular Septal Defects (VSDs), defek
Atrial Septal, Patent Ductus Arteriosus dan Tetralogy of Fallot (
1.2. Rumusan masalah
Sesuai dengan latar belakang yang dikemukakan, yang menjadi
permasalahan dalam penelitian ini adalah “ Berapa prevalensi kelainan
jantung kongenital pada anak penderita sindrom Down yang menjalani
skrining di RSUP Haji Adam Malik ?”.
1.3. Tujuan penelitian
1.3.1. Tujuan umum
Mengetahui prevalensi kejadian kelainan jantung kongenital pada anak –
anak penderita sindrom Down.
1.3.2. Tujuan khusus
Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah :
1. Mengetahui jumlah kasus anak penderita sindrom Down di RSUP Haji
Adam Malik pada tahun 2008 hingga 2010.
2. Mengetahui distribusi frekwensi umur anak penderita sindrom Down
di RSUP Haji Adam Malik.
3. Mengetahui prevalensi kejadian penyakit jantung kongenital pada anak
penderita sindrom Down yang dilaporkan di RSUP Haji Adam Malik,
Medan pada tahun 2008 hingga 2010.
4. Mengetahui tahun yang mencatatkan jumlah kejadian penyakit jantung
kongenital terbanyak.
5. Mengetahui proporsi jenis kelamin yang lebih sering mendapat
kelainan jantung kongenital.
6. Mengetahui jenis kelainan jantung kongenital yang paling sering
didapatkan pada anak penderita sindrom Down.
7. Mengetahui usia termuda penyakit jantung kongenital boleh dideteksi
1.4. Manfaat penelitian
Memberi gambaran kepada orang tua tentang kondisi yang mungkin
diderita anak mereka yang menderita sindrom Down, supaya mereka dapat
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Sindrom Down
Sindrom Down merupakan kelainan genetik yang dikenal sebagai trisomi,
karena individu yang mendapat sindrom Down memiliki kelebihan satu
kromosom. Mereka mempunyai tiga kromosom 21 dimana orang normal
hanya mempunyai dua saja. Kelebihan kromosom ini akan mengubah
keseimbangan genetik tubuh dan mengakibatkan perubahan karakteristik
fisik dan kemampuan intelektual, serta gangguan dalam fungsi fisiologi
tubuh (Pathol, 2003).
Terdapat tiga tipe sindrom Down yaitu trisomi 21 reguler,
translokasi dan mosaik. Tipe pertama adalah trisomi 21 reguler. Kesemua
sel dalam tubuh akan mempunyai tiga kromosom 21. Sembilan puluh
empat persen dari semua kasus sindrom Down adalah dari tipe ini
(Lancet, 2003).
Tipe yang kedua adalah translokasi. Pada tipe ini, kromosom 21
akan berkombinasi dengan kromosom yang lain. Seringnya salah satu
orang tua yang menjadi karier kromosom yang ditranslokasi ini tidak
menunjukkan karakter penderita sindrom Down. Tipe ini merupakan 4%
dari total kasus (Lancet, 2003)
Risiko untuk mendapat bayi dengan sindrom Down didapatkan meningkat
dengan bertambahnya usia ibu saat hamil, khususnya bagi wanita yang
pada usia muda tidak bebas terhadap risiko mendapat bayi dengan sindrom
Down.
Harus diingat bahwa kemungkinan mendapat bayi dengan sindrom
Down adalah lebih tinggi jika wanita yang hamil pernah mendapat bayi
dengan sindrom Down, atau jika adanya anggota keluarga yang terdekat
yang pernah mendapat kondisi yang sama. Walaubagaimanapun
kebanyakan kasus yang ditemukan didapatkan ibu dan bapaknya normal
(Livingstone, 2006).
Berikut merupakan rasio mendapat bayi dengan sindrom Down
berdasarkan umur ibu yang hamil:
- 20 tahun: 1 per 1,500
Terdapat dua tipe uji yang dapat dilakukan untuk mendeteksi bayi sindrom
Down. Pertama adalah uji skrining yang terdiri daripada blood test
dan/atau sonogram. Uji kedua adalah uji diagnostik yang dapat memberi
hasil pasti apakah bayi yang dikandung menderita sindrom Down atau
tidak (American College of Nurse-Midwives, 2005).
Pada sonogram, tehnik pemeriksaan yang digunakan adalah Nuchal
Translucency (NT test). Ujian ini dilakukan pada minggu 11 – 14
kehamilan. Apa yang diuji adalah jumlah cairan di bawah kulit pada
belakang leher janin. Tujuh daripada sepulah bayi dengan sindrom Down
dapat dikenal pasti dengan tehnik ini (American College of
diperhatikan adalah plasma protein-A dan hormon human chorionic
gonadotropin (HCG). Hasil yang tidak normal menjadi indikasi bahwa
mungkin adanya kelainan pada bayi yang dikandung (Mayo Foundation
for Medical Education and Research (MFMER), 2011).
Terdapat beberapa uji diagnostik yang boleh dilakukan untuk
mendeteksi sindrom Down. Amniocentesis dilakukan dengan mengambil
sampel air ketuban yang kemudiannya diuji untuk menganalisa kromosom
janin. Kaedah ini dilakukan pada kehamilan di atas 15 minggu. Risiko
keguguran adalah 1 per 200 kehamilan.
Chorionic villus sampling (CVS) dilakukan dengan mengambil
sampel sel dari plasenta. Sampel tersebut akan diuji untuk melihat
kromosom janin. Tehnik ini dilakukan pada kehamilan minggu kesembilan
hingga 14. Resiko keguguran adalah 1 per 100 kehamilan.
Percutaneous umbilical blood sampling (PUBS) adalah tehnik di
mana darah dari umbilikus diambil dan diuji untuk melihat kromosom
janin. Tehnik dilakukan pada kehamilan diatas 18 minggu. Tes ini
dilakukan sekiranya tehnik lain tidak berhasil memberikan hasil yang
jelas. Resiko keguguran adalah lebih tinggi (Mayo Foundation for Medical
Education and Research (MFMER), 2011).
2.4. Patofisiologi
Kromosom 21 yang lebih akan memberi efek ke semua sistem organ dan
menyebabkan perubahan sekuensi spektrum fenotip. Hal ini dapat
menyebabkan komplikasi yang mengancam nyawa, dan perubahan proses
hidup yang signifikan secara klinis. Sindrom Down akan menurunkan
survival prenatal dan meningkatkan morbiditas prenatal dan postnatal.
Anak – anak yang terkena biasanya mengalami keterlambatan
pertumbuhan fisik, maturasi, pertumbuhan tulang dan pertumbuhan gigi
yang lambat.
Lokus 21q22.3 pada proksimal lebihan kromosom 21 memberikan
khas, anomali pada ekstremitas atas, dan penyakit jantung kongenital.
Hasil analisis molekular menunjukkan regio 21q.22.1-q22.3 pada
kromosom 21 bertanggungjawab menimbulkan penyakit jantung
kongenital pada penderita sindrom Down. Sementara gen yang baru
dikenal, yaitu DSCR1 yang diidentifikasi pada regio 21q22.1-q22.2,
adalah sangat terekspresi pada otak dan jantung dan menjadi penyebab
utama retardasi mental dan defek jantung (Mayo Clinic Internal Medicine
Review, 2008).
Abnormalitas fungsi fisiologis dapat mempengaruhi metabolisme
thiroid dan malabsorpsi intestinal. Infeksi yang sering terjadi dikatakan
akibat dari respons sistem imun yang lemah, dan meningkatnya insidensi
terjadi kondisi aotuimun, termasuk hipothiroidism dan juga penyakit
Hashimoto.
Penderita dengan sindrom Down sering kali menderita
hipersensitivitas terhadap proses fisiologis tubuh, seperti hipersensitivitas
terhadap pilocarpine dan respons lain yang abnormal. Sebagai contoh,
anak – anak dengan sindrom Down yang menderita leukemia sangat
sensitif terhadap methotrexate. Menurunnya buffer proses metabolik
menjadi faktor predisposisi terjadinya hiperurisemia dan meningkatnya
resistensi terhadap insulin. Ini adalah penyebab peningkatan kasus
Diabetes Mellitus pada penderita Sindrom Down (Cincinnati Children's
Hospital Medical Center, 2006).
Anak – anak yang menderita sindrom Down lebih rentan menderita
leukemia, seperti Transient Myeloproliferative Disorder dan Acute
Megakaryocytic Leukemia. Hampir keseluruhan anak yang menderita
sindrom Down yang mendapat leukemia terjadi akibat mutasi
hematopoietic transcription factor gene yaitu GATA1. Leukemia pada
anak – anak dengan sindrom Down terjadi akibat mutasi yaitu trisomi 21,
2.5. Mortalitas/Morbiditas
Diperkirakan sekitar 75% kehamilan dengan trisomi 21 tidak akan
bertahan. Sekitar 85% bayi dapat hidup sampai umur satu tahun dan 50%
dapat hidup sehingga berusia lebih dari 50 tahun. Penyakit jantung
kongenital sering menjadi faktor yang menentukan usia penderita sindrom
Down. Selain itu, penyakit seperti Atresia Esofagus dengan atau tanpa
fistula transesofageal, Hirschsprung disease, atresia duodenal dan
leukemia akan meningkatkan mortalitas (William, 2002).
Selain itu, penderita sindrom Down mempunyai tingkat morbiditas
yang tinggi karena mempunyai respons sistem imun yang lemah. Kondisi
seperti tonsil yang membesar dan adenoids, lingual tonsils, choanal
stenosis, atau glossoptosis dapat menimbulkan obstruksi pada saluran
nafas atas. Obstruksi saluran nafas dapat menyebabkan Serous Otitis
Media, Alveolar Hypoventilation, Arterial Hypoxemia, Cerebral Hypoxia,
dan Hipertensi Arteri Pulmonal yang disertai dengan cor pulmonale dan
gagal jantung (Cincinnati Children's Hospital Medical Center, 2006).
Keterlambatan mengidentifikasi atlantoaxial dan atlanto-occipital
yang tidak stabil dapat mengakibatkan kerusakan pada saraf spinal yang
irreversibel. Gangguan pendengaran, visus, retardasi mental dan defek
yang lain akan menyebabkan keterbatasan kepada anak – anak dengan
sindrom Down dalam meneruskan kelangsungan hidup. Mereka juga akan
menghadapi masalah dalam pembelajaran, proses membangunkan upaya
berbahasa, dan kemampuan interpersonal (Cincinnati Children's Hospital
Medical Center, 2006).
2.6. Efek Pada Fisik Dan Sistem Tubuh
2.6.1. Temuan Fisik
Fisikalnya pasien sindrom Down mempunyai rangka tubuh yang pendek.
Mereka sering kali gemuk dan tergolong dalam obesitas. Tulang rangka
mereka pendek dan melebar, adanya kondisi clinodactyly pada jari kelima
dengan jari kelima yang mempunyai satu lipatan (20%), sendi jari yang
hiperekstensi, jarak antara jari ibu kaki dengan jari kedua yang terlalu
jauh, dan dislokasi tulang pinggul (6%) (Brunner, 2007).
Bagi panderita sindrom Down, biasanya pada kulit mereka
didapatkan xerosis, lesi hiperkeratosis yang terlokalisir, garis – garis
transversal pada telapak tangan, hanya satu lipatan pada jari kelima,
elastosis serpiginosa, alopecia areata, vitiligo, follikulitis, abses dan
infeksi pada kulit yang rekuren (Am J., 2009).
Retardasi mental yang ringan hingga berat dapat terjadi. Intelegent
quatio (IQ) mereka sering berada antara 20 – 85 dengan rata-rata 50.
Hipotonia yang diderita akan meningkat apabila umur meningkat. Mereka
sering mendapat gangguan artikulasi. (Mao R., 2003).
Penderita sindrom Down mempunyai sikap atau prilaku yang
spontan, sikap ramah, ceria, cermat, sabar dan bertoleransi. Kadang kala
mereka akan menunjukkan perlakuan yang nakal dengan rasa ingin tahu
yang tinggi (Nelson, 2003)
Infantile spasms adalah yang paling sering dilaporkan terjadi pada
anak – anak sindrom Down sementara kejang tonik klonik lebih sering
didapatkan pada yang dewasa.
Tonus kulit yang jelek, rambut yang cepat beruban dan sering
gugur, hipogonadism, katarak, kurang pendengaran, hal yang berhubungan
dengan hipothroidism yang disebabkan faktor usia yang meningkat,
kejang, neoplasma, penyakit vaskular degeneratif, ketidakmampuan dalam
melakukan sesuatu, pikun, dementia dan Alzheimer dilaporkan sering
terjadi pada penderita sindrom Down. Semuanya adalah penyakit yang
sering terjadi pada orang – orang lanjut usia (Am J., 2009).
Penderita sindrom Down sering menderita Brachycephaly,
tidak mempunyai sinus frontal dan sphenoid serta hipoplasia pada sinus
maksilaris (John A. 2000).
Mata pasien sindrom Down bentuknya seperti tertarik ke atas
(up-slanting) karena fissura palpebra yang tidak sempurna, terdapatnya lipatan
epicanthal, titik – titik Brushfield, kesalahan refraksi sehingga 50%,
strabismus (44%), nistagmus (20%), blepharitis (33%), conjunctivitis,
ruptur kanal nasolacrimal, katarak kongenital, pseudopapil edema, spasma
nutans dan keratoconus (Schlote, 2006).
Pasien sindrom Down mempunyai hidung yang rata, disebabkan
hipoplasi tulang hidung dan jembatan hidung yang rata (Schlote, 2006).
Apabila mulut dibuka, lidah mereka cenderung menonjol, lidah
yang kecil dan mempunyai lekuk yang dalam, pernafasan yang disertai
dengan air liur, bibir bawah yang merekah, angular cheilitis, anodontia
parsial, gigi yang tidak terbentuk dengan sempurna, pertumbuhan gigi
yang lambat, mikrodontia pada gigi primer dan sekunder, maloklusi gigi
serta kerusakan periodontal yang jelas (Selikowitz, Mark., 1997).
Pasien sindrom Down mempunyai telinga yang kecil dan heliks
yang berlipat. Otitis media yang kronis dan kehilangan pendengaran sering
ditemukan. Kira – kira 60–80% anak penderita sindrom Down mengalami
kemerosotan 15 – 20 dB pada satu telinga (William W. Hay Jr, 2002).
2.6.2. Hematologi
Anak penderita sindrom Down mempunyai risiko tinggi mendapat
Leukemia, termasuklah Leukemia Limfoblastik Akut dan Leukemia
Myeloid. Diperkirakan 10% bayi yang lahir dengan sindrom Down akan
mendapat klon preleukemic, yang berasal dari progenitor myeloid pada
hati yang mempunyai karekter mutasi pada GATA1, yang terlokalisir pada
kromosom X. Mutasi pada faktor transkripsi ini dirujuk sebagai Transient
Leukemia, Transient Myeloproliferative Disease (TMD), atau Transient
2.6.3. Penyakit Jantung Kongenital
Penyakit jantung kongenital sering ditemukan pada penderita sindrom
Down dengan prevelensi 40-50%. Walaubagaimanapun kasus lebih sering
ditemukan pada penderita yang dirawat di RS (62%) dan penyebab
kematian yang paling sering adalah aneuploidy dalam dua tahun pertama
kehidupan.
Antara penyakit jantung kongenital yang ditemukan
Atrioventricular Septal Defects (AVD) atau dikenal juga sebagai
Endocardial Cushion Defect (43%), Ventricular Septal Defect (32%),
Secundum Atrial Septal Defect (ASD) (10%), Tetralogy of Fallot (6%),
dan Isolated Patent Ductus Arteriosus (4%). Lesi yang paling sering
ditemukan adalah Patent Ductus Arteriosus (16%) dan Pulmonic Stenosis
(9%). Kira - kira 70% dari endocardial cushion defects adalah terkait
dengan sindrom Down. Dari keseluruhan penderita yang dirawat, kira –
kira 30% mempunyai beberapa defek sekaligus pada jantung mereka
(Baliff JP, 2003).
Atrioventricular septal defects (AVD)
Atrioventricular septal defects (AVD) adalah kondisi dimana terjadinya
kelainan anatomis akibat perkembangan endocardial cushions yang tidak
sempurna sewaktu tahap embrio. Kelainan yang sering di hubungkan
dengan AVD adalah patent ductus arteriosus, coarctation of the aorta,
atrial septal defects, absent atrial septum, dan anomalous pulmonary
venous return. Kelainan pada katup mitral juga sering terjadi.
Penderita AVD selalunya berada dalam kondisi asimtomatik pada
dekade pertama kehidupan, dan masalah akan mula timbul pada dekade
kedua dan ketiga kehidupan. Pasien akan mula mengalami pengurangan
pulmonary venous return, yang akhirnya akan menjadi left-to-right shunt
AVD juga boleh melibatkan septum atrial, septum ventrikel, dan
pada salah satu, atau kedua dua katup atrioventikuler. Pada penderita
dengan penyakit ini, jaringan jantung pada bagian superior dan inferior
tidak menutup dengan sempurna. Akibatnya, terjadi komunikasi intratrial
melalui septum atrial. Kondisi ini kita kenal sebagai defek ostium primum.
Akan terjadi letak katup atrioventikuler yang abnormal, yaitu lebih rendah
dari letak katup aorta. Perfusi jaringan endokardial yang tidak sempurna
juga mangakibatkan lemahnya struktur pada leaflet katup mitral.
Pada penderita sering terjadi predominant left-to-right shunting.
Apabila penderita mengalami kelainan yang parsial, shunting ini sering
terjadi melalui ostium primum pada septum. Kalau penderita mendapat
defek yang komplit, maka dapat terjadi defek pada septum ventrikel dan
juga insufisiensi valvular. Kemudian akan terjadi volume overloading
pada ventrikel kiri dan kanan yang akhirnya diikuti dengan gagal jantung
pada awal usia. Sekiranya terjadi overload pulmonari, dapat terjadi
penyakit vaskuler pulmonari yang diikuti dengan gagal jantung kongestif
(Kallen B.,1996).
Ventricular Septal defect (VSD)
Ventricular Septal Defect kondisi ini adalah spesifik merujuk kepada
kondisi dimana adanya lubang yang menghubungkan dua ventrikel.
Kondisi ini boleh terjadi sebagai anomali primer, dengan atau tanpa defek
kardiak yang lain. Kondisi ini dapat terjadi akibat kelainan seperti
Tetralogy of Fallot (TOF), complete atrioventricular (AV) canal defects,
transposition of great arteries,dan corrected transpositions (Freeman SB,
1998)
Secundum Atrial Septal Defect (ASD)
Pada penderita secundum atrial septal defect, didapatkan lubang atau jalur
yang menyebabkan darah mengalir dari atrium kanan ke atrium kiri, atau
septum ini, darah arterial dan darah venous akan bercampur, yang bisa
atau tidak menimbulkan sebarang gejala klinis. Percampuran darah ini
juga disebut sebagai ‘shunt’. Secara medis, right-to-left-shunt adalah lebih
berbahaya (Freeman SB, 1998).
Tetralogy of Fallot (TOF)
Tetralogy of Fallot merupakan jenis penyakit jantung kongenital pada
anak yang sering ditemukan. Pada kondisi ini, terjadi campuran darah
yang kaya oksigen dengan darah yang kurang oksigen. Terdapat empat
abnormalitas yang sering terkait dengan Tetralogy of fallot. Pertama
adalah hipertrofi ventrikel kanan. Terjadinya pengecilan atau tahanan pada
katup pulmonari atau otot katup, yang menyebabkan katup terbuka kearah
luar dari ventrikel kanan. Ini akan menimbulkan restriksi pada aliran darah
akan memaksa ventrikel untuk bekerja lebih kuat yang akhirnya akan
menimbulkan hipertrofi pada ventrikel.
Kedua adalah ventricular septal defect. Pada kondisi ini, adanya
lubang pada dinding yang memisahkan dua ventrikel, akan menyebabkan
darah yang kaya oksigen dan darah yang kurang oksigen bercampur.
Akibatnya akan berkurang jumlah oksigen yang dihantar ke seluruh tubuh
dan menimbulkan gejala klinis berupa sianosis.
Ketiga adalah posisi aorta yang abnormal. Keempat adalah
pulmonary valve stenosis. Jika stenosis yang terjadi ringan, sianosis yang
minimal terjadi karena darah masih lagi bisa sampai ke paru. Tetapi jika
stenosisnya sedang atau berat, darah yang sampai ke paru adalah lebih
sedikit maka sianosis akan menjadi lebih berat (Amit K, 2008).
Isolated Patent Ductus Arteriosus (PDA)
Pada kondisi Patent ductus arteriosus (PDA) ductus arteriosus si anak
kongestif. Semakin besar PDA, semaki buruk status kesehatan penderita
(Amik K, 2008).
2.6.4. Immunodefisiensi
Penderita sindrom Down mempunyai risiko 12 kali lebih tinggi
dibandingkan orang normal untuk mendapat infeksi karena mereka
mempunyai respons sistem imun yang rendah. Contohnya mereka sangat
rentan mendapat pneumonia (William W. Hay Jr. 2002).
2.6.5. Sistem Gastrointestinal
Kelainan pada sistem gastrointestinal pada penderita sindrom Down yang
dapat ditemukan adalah atresia atau stenosis, Hirschsprung disease (<1%),
TE fistula, Meckel divertikulum, anus imperforata dan juga omphalocele.
Selain itu, hasil penelitian di Eropa dan Amerika didapatkan
prevalensi mendapat Celiac disease pada pasien sindrom Down adalah
sekitar 5-15%. Penyakit ini terjadi karena defek genetik, yaitu spesifik
pada human leukocyte antigen (HLA) heterodimers DQ2 dan juga DQ8.
Dilaporkan juga terdapat kaitan yang kuat antara hipersensitivitas dan
spesifikasi yang jelek (Livingstone, 2006).
2.6.6. Sistem Endokrin
Tiroiditis Hashimoto yang mengakibatkan hipothyroidism adalah
gangguan pada sistem endokrin yang paling sering ditemukan. Onsetnya
sering pada usia awal sekolah, sekitar 8 hingga 10 tahun. Insidens
ditemukannya Graves disease juga dilaporkan meningkat. Prevelensi
mendapat penyakit tiroid seperti hipothirodis kongenital, hipertiroid
primer, autoimun tiroiditis, dan compensated hypothyroidism atau
hyperthyrotropenemia adalah sekitar 3-54% pada penderita sindrom
Down, dengan persentase yang semakin meningkat seiring dengan
2.6.7. Gangguan Psikologis
Kebanyakan anak penderita sindrom Down tidak memiliki gangguan
psikiatri atau prilaku. Diperkirakan sekitar 18-38% anak mempunyai risiko
mendapat gangguan psikis. Beberapa kelainan yang bisa didapat adalah
Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), Oppositional Defiant
Disorder, gangguan disruptif yang tidak spesifik dan gangguan spektrum
Autisme (Cincinnati Children's Hospital Medical Center, 2006).
2.6.8. Trisomi 21 mosaik
Trisomi 21 mosaik biasanya hanya menampilkan gejala – gejala sindrom
Down yang sangat minimal. Kondisi ini sering menjadi kriteria diagnosis
awal bagi penyakit Alzheimer. Fenotip individu yang mendapat trisomi 21
mosaik manggambarkan persentase sel – sel trisomik yang terdapat dalam
jaringan yang berbeda di dalam tubuh (Andriolo, 2005).
2.7. Perawatan Medis
Walaupun berbagai usaha sudah dijalankan untuk mengatasi retardasi
mental pada penderita sindrom Down, masih belum ada yang mampu
mengatasi kondisi ini. Walau demikian usaha pengobatan terhadap
kelainan yang didapat oleh penderita sindrom Down akan dapat
memperbaiki kualitas hidup penderita dan dapat memperpanjang usianya.
2.7.1. Pemeriksaan Kesehatan Reguler pada Anak Penderita Sindrom Down
Beberapa pemeriksaan secara reguler dapat dilakukan untuk memantau
perkembangan tingkat kesehatan penderita sindrom Down, baik anak
ataupun dewasa. Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan
audiologi, pemeriksaan optalmologi secara berkala sebagai pencegah
penderita sindrom Down dapat diatasai dengan pengurangan komsumsi
kalori dan meningkatkan aktivitas fisik (Breslow, 2002).
Skrining terhadap penyakit Celiac juga harus dilakukan, yang
ditandai dengan kondisi seperti konstipasi, diare, bloating, tumbuh
kembang yang lambat dan penurunan berat badan. Selain itu, kesulitan
untuk menelan makanan harus juga diperhatikan, dipikirkan kemungkinan
terjadi sumbatan pada jalan nafas.
Perhatian khusus harus diberikan terhadap proses operasi
dikarenakan tidak stabilnya atlantoaxial dan masalah yang mungkin terjadi
pada sistem respirasi. Selain itu, jangan lupa untuk melakukan skrining
untuk kemungkinan tejadinya penyakit Hipothiroidism dan Diabetes
Mellitus. Jangan dilupakan untuk memberi perhatian terhadap kebersihan
yang berkaitan dengan menstrual, seksual, kehamilan dan sindrom
premenstruasi (Tolmie, 2006).
Kelainan neurologis dapat menyebabkan retardasi mental,
hipotonia, kejang dan stroke. Pastikan juga perbaikan kemampuan
berkomunikasi dan terapi bicara diteruskan, dengan memberi perhatian
pada aplikasi bahasa nonverbal dan kecerdasan otak (Merritt's, 2002).
Bagi pasien sindrom Down, baik anak atau dewasa harus sentiasa
dipantau dan dievaluasi gangguan prilaku, seperti fobia, ketidakmampuan
mengatasi masalah, prilaku streotipik, autisme, masalah makanan dan lain
– lain. Tatalaksana terhadap kondisi mental yang timbul pada penderita
sindrom Down harus dilakukan (National Down Syndrome Society, 2007).
Selain dari aspek medis, harus diperhatikan juga aspek sosial dan
pergaulan. Yaitu dengan memberi perhatian terhadap fase peralihan dari
masa anak ke dewasa. Penting untuk memberi pendidikan dasar juga harus
diberikan perhatian seperti dimana anak itu akan bersekolah dan
sebagainya. Hal – hal berkaitan dengan kelangsungan hidup juga perlu
diperhatikan, contohnya bagaimana mereka akan meneruskan kehidupan
2.8. Komplikasi Pada Jantung dan Sistem Vaskular
Walapupun lahir secara normal, asimptomatik dan tidak dijumpai murmur,
anak penderita sindrom Down tetap mempunyai risiko mendapat defek
pada jantung.
Apabila resistensi pada vaskular pulmonari dapat dideteksi,
kemungkinan terjadinya shunt dari kiri ke kanan dapat dikurangi, sehingga
dapat mencegah terjadinya gagal jantung awal. Apabila tidak dapat
dideteksi, keadaan ini akan menyebabkan hipertensi pulmonal yang
persisten dengan perubahan pada vaskular yang ireversibel (Cincinnati
Children's Hospital Medical Center, 2006).
Umumnya tatalaksana operatif untuk memperbaiki defek pada
jantung dilakukan setelah anak cukup besar dan kemampuan bertahan
terhadap operasi yang dilakukan lebih baik. Biasanya tindakan operasi
dilakukan apabila anak sudah berusia 6-9 bulan. Saat ini, hasil operasi
sudah lebih baik dan anak yang dioperasi mampu hidup lebih lama (Kallen
B, 1996).
Bagi penderita sindrom Down yang menderita defek septal
atrioventrikuler, simptom biasanya timbul sewaktu usia kecil, ditandai
dengan shunting sistemik-pulmonari, aliran darah pulmonari yang tinggi,
disertai dengan peningkatan risiko terjadinya hipertensi arteri pulmonal.
Resistensi pulmonal yang meningkat dapat memicu terjadinya kebalikan
dari shunting sistemik-pulmonal yang diikuti dengan sianosis (Baliff JP,
2005).
Penderita sindrom Down mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk
menderita hipertensi arteri pulmonal dibandingkan dengan orang normal.
Hal ini disebabkan berkurangnya jumlah alveolus, dinding arteriol
pulmonal yang lebih tipis dan fungsi endotelial yang terganggu (Galley R,
2005).
endothelin, antagonis reseptor dan phosphodiesterase-5-inhibitor)
didapatkan mampu memperbaiki status klinis dan jangka hidup bagi
penderita hipertensi arteri pulmonal (Livingstone, 2006).
Meskipun demikian penyakit jantung koroner didapatkan rendah
pada penderita sindrom Down. Hal ini dibuktikan melalui pemeriksaan
patologi dimana didapatkan rendahnya kemungkinan terjadi aterosklerosis
BAB 3
KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1. Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitan di atas maka kerangka konsep dalam
penelitian ini adalah:
3.1.1. Kerangka konsep
Gambar 1 Kerangka Konsep Prevalensi Mendapat Penyakit Jantung Kongenital
Pada Anak – anak Sindrom Down
Tipe Penyakit Jantung Kongenital Jumlah Kasus
Umur
Distribusi PJK Mengikut Kelamin
Penyakit Jantung Kongenital
3.1.2. Definisi Operasional
Anak penderita sindrom Down adalah pasien anak yang telah didiagnosa menderita sindrom Down oleh dokter spesialis anak di
RSUP Haji Adam Malik. Rekam medis mereka diperiksa untuk
melihat apakah si anak itu menderita sindrom Down atau tidak. Skala
ukurannya adalah skala nominal.
Sesuai dengan Undang-undang No. 23 Tahun 2009, definisi anak pada Pasal 1 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan seorang anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak
yang masih dalam kandungan. Justeru, anak – anak penderita sindrom
Down yang baru lahir hingga berusia 18 tahun adalah temasuk dalam
lingkup umur untuk penelitian ini.
Penyakit jantung kongenital adalah defek pada struktur jantung dan salur utama pada jantung yang terjadi sejak lahir. Terdapat banyak
jenis penyakit jantung kongenital yang akan mengganggu aliran darah,
atau bisa saja mengakibatkan aliran darah dari jantung yang abnormal;
seterusnya mengganggu sirkulasi darah di seluruh tubuh.
Distribusi kejadian penyakit jantung kongenital mengikut kelamin ditentukan dengan meneliti data yang ada pada rekam medis pasien
anak sindrom Down. Berdasarkan data yang didapatkan, maka
ditentukan jumlah kejadian penyakit jantung kongenital pada anak
penderita sindrom Down yang laki – laki dan perempuan.
Antara penyakit jantung kongenital yang mungkin ditemukan adalah Atrioventricular Septal Defects (AVD), Ventricular Septal Defects
(VSDs), Atrial Septal Defects (ASD), Patent Ductus Arteriosus
(PDA) dan Tetralogy of Fallot (TOF).
Alat ukur yang akan digunakan adalah rekam medis pasien anak dengan sindrom Down yang telah menjalani pemeriksaan
echocardiography dan skrining bagi mendeteksi kelainan yang
Penelitian ini dilakukan secara retrospektif. Cara ukur bagi penelitian ini adalah dengan memeriksa rekam medis anak – anak dengan
sindrom Down yang menjalani skrining test dari tahun 2008 hingga
2010. Dari rekam medis, akan diperiksa sebarang laporan yang
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1. Rancangan Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif retrospektif yang dilaksanakan
dengan pendekatan crossectional yang menghubungkan variabel –
variabel pada kelompok responden untuk melihat prevalensi kejadian
penyakit jantung kongenital pada pasien anak yang menderita sindrom
Down.
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
4.2.1. Lokasi Penelitian
Penelitian telah dilaksanakan di RSUP Haji Adam Malik, Medan. Data –
data yang digunakan dalam penelitian ini telah didapatkan dari Instalasi
Rekam Medis dan Divisi Kardiologi Anak.
4.2.2. Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan sejak bulan Augustus 2010 hingga December
2011. Data penelitian pula telah dikumpulkan pada bulan Augustus hingga
September 2011.
4.3. Populasi dan sampel
4.3.1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah rekam medis anak – anak dengan
sindrom Down yang telah menjalani pemeriksaan echocardiography di
4.3.2. Sampel
Sampel diambil menggunakan metode total sampling. Data pertama
diambil dari Instalasi Rekam Medis yang kemudiannya ditambah dengan
data yang diambil dari Devisi Kardiologi anak. Hasilnya, total pasien yang
didapatkan adalah 54. Walaubagaimanapun, hanya 43 rekam medis yang
benar – benar lengkap dan dapat dianalisa dengan tepat. Kesemua anak
dengan sindrom Down yang menjalani echocardiography dalam jangka
waktu dari tahun 2008 hingga 2010 telah diteliti rekam medis mereka
untuk melihat ada atau tidak dilaporkan terjadinya kasus penyakit jantung
kongenital.
4.4. Metode Pengumpulan Data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah data sekunder, yang
diekstrak dari rekam medis anak – anak dengan sindrom Down dari tahun
2008 hingga 2010.
4.5 Analisa
Data yang telah diperoleh diproses dengan menggunakan program
komputer Microsoft Excel dan dianalisa dan diolah dengan menggunakan
program komputer SPSS. Data yang siap dianalisa disajikan dalam bentuk
tabel dan frekwensi.
4.6 Etika Penelitian
Penelitian ini telah melalui komisi etik Fakultas Kedokteran USU dan
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penelitian telah dijalankan di RSUP Haji Adam Malik. Pengambilan data telah
dilaksanakan dalam tempoh dua bulan yaitu dari bulan Augustus hingga
September 2011.
5.1 Hasil Penelitian
5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian
Penelitian ini telah dijalankan di RSUP H. Adam Malik Medan yang
terletak di Jalan Bunga Lau No.17, kelurahan Kemenangan Tani,
kecamatan Medan Tuntungan. Rumah sakit ini merupakan rumah sakit
pendidikan bagi mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara. Di sini terdapatnya fasilitas yang diperlukan untuk menjalankan
skrining ke atas anak penderita sindrom Down untuk mendeteksi apakah
mereka menderita penyakit jantung kongenital atau tidak.
Pengambilan data telah dilakukan di divisi kardiologi anak yang
terletak di lantai dua bangunan rawat jalan. Selain itu, data penelitian ini
juga diambil dari instalasi rekam medis yang terletak di lantai satu.
5.1.2 Deskripsi Karakteristik Sampel
Jumlah pasien anak penderita sindrom Down di RSUP Haji Adam Malik
Tabel 5.1 Distribusi Pasien Anak Dengan Sindrom Down Di RSUP Haji
Adam Malik Pada Tahun 2008 hingga 2010
Berdasarkan Tabel 5.1, dapat dilihat jumlah pasien tertinggi dicatatkan
pada tahun 2009 yaitu seramai 20 orang. Sementara jumlah pasien yang
paling sedikit adalah pada tahun 2010. Dalam tempoh tiga tahun tersebut,
jumlah pasien laki – laki adalah lebih banyak, sebanyak 53% berbanding
pasien perempuan yang berjumlah 47%.
Tabel 5.2 Distribusi Pasien Anak Penderita Anak Penderita Sindrom Down
Di RSUP Haji Adam Malik Pada Tahun 2008 hingga 2010 Berdasarkan
Umur
Tabel 5.2 menggambarkan taburan umur pasien anak penderita sindrom
Down yang menjalani echochardiography yang telah dicatatkan pada
tahun 2008 hingga 2010. Sepanjang tempoh tiga tahun tersebut, sebanyak
39.5% pasien adalah berumur antara dua bulan hingga satu tahun. Jumlah
sepuluh tahun. Dalam penelitian ini, pasien yang paling tua ditemukan
adalah yang berusia sepuluh tahun.
Table 5.3 Distribusi Kejadian Penyakit Jantung Kongenital Pada Anak
Penderita Sindrom Down Di RSUP Haji Adam Malik Pada Tahun 2008
hingga 2010
PJK Frekuensi Persen(%)
Ada 20 46.5
Tidak ada 23 53.5
Jumlah 43 100.0
Tabel 5.3 menggambarkan distribusi kejadian penyakit jantung kongenital
pada anak – anak penderita sindrom Down sepanjang tahun 2008 hingga
2010. Hasilnya dapat dilihat bahwa 46.5% dari jumlah total responden
menderita penyakit jantung kongenital. Responden yang selebihnya tidak
menderita sebarang kelainan jantung.
Tabel 5.4 Distribusi Kejadian Penyakit Jantung Kongenital Berdasarkan
Tahun di RSUP Haji Adam Malik Pada Tahun 2008 hingga 2010
Berdasarkan Tabel 5.4, kejadian penyakit jantung kongenital dilaporkan
paling banyak terjadi pada tahun 2009 sebanyak 11 kasus. Total kejadian
penyakit jantung kongenital yang paling sedikit adalah pada tahun 2010,
yaitu hanya dua kasus. Menurut asumsi peneliti, jumlah kasus yang sedikit
Tahun Penyakit Jantung Kongenital Total Ada Tidak ada
2008 7 12 19
2009 11 9 20
2010 2 2 4
pada tahun 2010 didorong faktor menurunnya faktor risiko yang menjadi
penyebab lahirnya anak dengan sindrom Down. Terdapat juga beberapa
rekam medis yang tidak lengkap menyebabkan data tersebut tidak dapat
dianalisa.
Table 5.5 Distribusi Kejadian PJK Pada Anak Penderita Sindrom Down
Berdasarkan Kelamin Di RSUP Haji Adam Malik Pada Tahun 2008 Hingga
2010
Berdasarkan Tabel 5.5, dapat dilihat kejadian penyakit jantung kongenital
lebih sering terjadi pada anak penderita sindrom Down dengan jenis
kelamin laki – laki. Sepanjang tiga tahun tersebut, 56.5% pasien laki – laki
mendapat kelainan jantung. Berbeda dengan pasien perempuan, hanya
35% yang mendapat kelainan jantung.
Table 5.6 Distribusi Tipe Penyakit Jantung Kongenital Yang Diderita Anak
dengan Sindrom Down Di RSUP Haji Adam Malik Pada Tahun 2008 ingga
Tabel 5.6 menunjukkan tipe – tipe penyakit jantung kongenital yang
ditemukan pada anak penderita Sindrom Down di RSUP Haji Adam Malik
sepanjang tahun 2008 hingga 2010. Hasilnya, PJK tipe Ventricular Septal
Defect (VSD) paling banyak dilaporkan, yaitu sebanyak 40% dari total
responden yang mendapat kelainan jantung. Ini diikuti dengan
Atrioventricular Septal Defect (ASD) sebanyak 25%. Tipe ketiga paling
banyak dilaporkan adalah Tetralogy of Fallot (TOF) sebanyak 10%.
Terdapat tiga pasien yang menderita lebih daripada satu jenis kelainan
jantung.
5.2 Pembahasan
5.2.1 Anak Penderita Sindrom Down
Hasil dari penelitian yang telah dilakukan, jumlah kasus anak dengan
sindrom Down yang dilaporkan sepanjang tahun 2008 hingga 2010 di
RSUP Haji Adam Malik, Medan adalah 43 kasus. Dari tahun 2008 ke
2009, jumlah kasus meningkat dari 19 ke 20 kasus. Data yang dikeluarkan
Centers for Disease Control and Prevention (2009) menyatakan bahwa
setiap empat tahun, dari tahun 1979 hingga 2003, prevalensi mendapat
anak dengan sindrom Down meningkat dengan rata – rata 0.6% bagi setiap
10 000 kelahiran.
Hal ini mungkin didorong oleh beberapa faktor seperti
meningkatnya jumlah ibu yang hamil pada usia yang lebih tua, pernah
mendapat kelahiran anak dengan sindrom Down sebelumnya dan adanya
karier pada si ibu atau si bapak (Mayo Foundation for Medical Education
and Research, 2011). Sebagai contoh American Society for Reproductive
Society (2003) menyatakan ibu yang berumur 20 tahun, kemungkinan
mendapat anak dengan sindrom Down adalah 1/1667 kelahiran. Jika ibu
berusia 30, kemungkinannya adalah 1/995 kelahiran. Ibu berusia 40 tahun
kemungkinan melahirkan anak dengan sindrom Down adalah 1/11
kelahiran.
Pada tahun 2010, kasus anak lahir dengan sindrom Down menurun,
dari 20 kasus pada 2009 menjadi empat kasus sahaja pada 2010. Menurut
peneliti, penurunan itu mungkin saja terjadi karena faktor risiko untuk
mendapat kelahiran bayi dengan sindrom Down menurun, maka jumlah
anak dengan sindrom Down juga akan berkurang.
Antara faktor resiko yang paling utama untuk mendapat anak
dengan sindrom Down adalah ibu yang hamil pada usia tua.
Walaubagaimanapun, hal ini tidak dapat dibuktikan peneliti karena rekam
medis pasien anak yang didapatkan tidak semuanya mencantumkan data
usia ibu ketika melahirkan anak tersebut.
Berdasarkan penelitian, peneliti mendapati distribusi kejadian
sindrom Down antara kelamin laki – laki dan perempuan adalah hampir
sama tanpa perbedaan jumlah yang ketara. Pada tahun 2008 hingga 2010,
jumlah pasien anak laki – laki dengan sindrom Down adalah 23 kasus
(53%) dan perempuan adalah 20 kasus (47%). Gayle Encylopedia of
Genetic Disorders (2002) ada menyebutkan sindrom Down terjadi kira –
kira sekali dalam 800 kelahiran dan boleh terjadi pada anak laki – laki dan
perempuan dalam bilangan yang sama. Sindrom Down adalah kelainan
kromosomal yang tidak terkait dengan kromosom sex, maka distribusinya
adalah hampir sama antara kelamin laki – laki dan perempuan. Selain itu,
kejadiannya yang berlaku secara randomisasi turut menyebabkan jumlah
pasien laki – laki dan perempuan hampir sama.
5.2.2 Penyakit Jantung Kongenital (PJK) Pada Anak Penderita Sindrom Down
Daripada 43 kasus anak dengan sindrom Down yang dilaporkan, 46.5%
hingga 60%. Dalam penelitian yang beliau lakukan, didapatkan prevalensi
kejadian PJK adalah 42%.
PJK sangat terkait dengan regio 21q.22.1-q22.3 pada kromosom 21
yang bertanggungjawab menimbulkan penyakit jantung kongenital pada
penderita sindrom Down. Selain itu, terdapat juga regio 21q22.1-q22.2
juga pada kromosom 21 yang mengakibatkan retardasi mental dan
kelainan jantung (Mayo Clinic Internal Medicine Review, 2008).
Semua anak yang menderita sindrom Down mempunyai kelebihan
kromosom 21. Sekiranya gen – gen pada regio 21q.22.1-q22.3 dan
21q22.1-q22.2 terekspresi, maka sudah pasti mereka akan menderita
kelainan jantung kongenital. Kondisi inilah yang menyebabkan
kemungkinan untuk menderita PJK sangat tinggi. Sekiranya mereka
mendapat sebarang kelainan jantung, lama – kelamaan akan timbul
komplikasi seperti gagal jantung kongestif, penyakit pulmonal vaskuler,
pneumonia, dan juga failure to thrive. Hal – hal ini akan menyebabkan
peningkatan morbiditas dan mortalitas pada anak dengan sindrom Down
apabila kelainan jantung tidak dapat dideteksi seawal mungkin.
Berdasarkan beberapa penelitian terdahulu, memang terbukti
bahwa anak dengan sindrom Down memiliki risiko tinggi menderita
kelainan jantung. Dalam sebuah penilitian, Sally B. (1998) menemukan
dari 227 kasus anak yang lahir dengan sindrom Down. Dari jumlah itu,
100 kasus (44%) mendapat kelainan jantung. Paladini (2000) Berjaya
mendapatkan 41 anak dengan sindrom Down dimana sebanyak 23 orang
(56.1%) didapati mendapat kelainan jantung. Dalam penelitian lain yang
dilakukan Wells (1994), daripada 102 orang pasien anak dengan sindrom
Down terdapat 49 orang (48%) yang menderita kelainan jantung.
5.2.3 Tipe Kelainan Jantung Kongenital Pada Anak Dengan Sindrom Down
Dari penelitian ini didapatkan beberapa jenis tipe kelainan jantung
Ventricular Septal Defect (VSD), Tetralogy of Fallot (TOF), Isolated
Patent Ductus Arteriosus (PDA), dan Patent Foramen Ovale (PFO).
Peneliti mendapatkan tipe kelainan jantung yang paling banyak ditemukan
sepanjang tahun 2008 hingga 2010 di RSUP Haji Adam Malik adalah
VSD yaitu sebanyak 40%, diikuti dengan ASD sebanyak 25% dan PFO
sebanyak 10%. Tipe lain sebanyak 5%, dan ada tiga kasus (15%) dimana
pasiennya menderita lebih dari satu jenis kelainan jantung.
Hasil yang didapatkan peneliti sama dengan yang ditemukan
Laursen (1998). Dalam penelitian yang beliau lakukan, daripada 80 pasien
anak sindrom Down dengan kelainan jantung, 49% mendapat VSD.
Berbeda dengan Sang C. (1977) beliau mendapati kasus paling banyak
dalam penelitiannya adalah AVD sebanyak 43% diikuti dengan VSD 32%.
Sallie B. (1998) turut memperoleh hasil tipe terbanyak AVD dengan
jumlah 45% diikuti dengan VSD 35%. Beliau juga ada mengemukakan
bahwa tipe VSD sering disertai dengan kelainan jantung yang lain.
Penelitian yang dijalankan oleh J.I.E. Hoffman (1995) yg menggunakan
sampel yang lebih besar mendapatkan tipe VSD adalah paling sering
terjadi yaitu 30.7% diikuti dengan PDA 13.5%.
Berdasarkan hasil, peneliti mendapati kejadian penyakit jantung
kongenital adalah lebih sering pada anak laki – laki berbanding
perempuan. Walau demikian tidak ditemukan penelitian yang terdahulu
yang mengaitkan prevalensi kejadian penyakit jantung kongenital dengan
kelamin tertentu. Tetapi didapatkan pendapat yang mengatakan bahwa
survival pada anak penderita sindrom Down perempuan adalah lebih
rendah, menyebabkan kelainan jantung yang ditemukan hari ini lebih
banyak pada anak penderita sindrom Down yang laki - laki.
5.2.4 Skrining Awal Untuk Mendeteksi Kelainan Jantung
mendeteksi sebarang kelainan jantung pada anak penderita sindrom Down.
Copel JA (1987) telah melakukan echocardiography pada 1022 fetus. Dari
jumlah itu, 74 ditemukan mendapat kelainan pada struktur jantung yang
nantinya akan menjadi penyakit jantung kongenital. Lancet (1996) telah
melakukan penelitian keatas 3085 wanita hamil yang datang untuk kontrol
kehamilan pada usia gestasi 18 hingga 28 minggu. Hasilnya, 46 kasus
kelainan jantung kongenital telah beliau temukan. Sharland (1992) telah
menjalankan penelitian yang sama seperti Lancet. Dalam waktu 2.5 tahun,
36% dari total responden dalam penelitian beliau didiagnosis hamil
dengan anak yang mendapat kelainan jantung. Walaupun ada di antara
penelitian diatas yang menggunakan responden yang tidak menderita
sindrom Down, ini menjadi indikasi bahwa anak – anak dengan sindrom
Down harus diskrining awal karena kelainan genetik yang didapat mereka
menyebabkan resiko mendapat kelainan jantung adalah lebih tinggi.
Walaupun begitu, menurut hasil yang diperoleh, 39.5% pasien
adalah anak sindrom Down yang berumur antara dua bulan hingga satu
tahun. Faktor ini mungkin berpunca dari gejala – gejala penyakit jantung
yang baru terlihat pada anak tersebut. Keberadaan sarana mungkin
menjadi penghalang mengapa penyakit jantung kongenital pada anak tidak
dapat dideteksi pada usia yang lebih awal, dan diagnosa hanya dapat
ditegakkan setelah anak mula menampakkan gejala. Bagaimanapun,
adalah lebih bagus diusahakan untuk tidak menunggu hingga mereka
dewasa ataupun setelah timbul gejala – gejala berat untuk dilakukan
skrining. Sekiranya mereka mendapat sebarang kelainan jantung, lama –
kelamaan akan timbul komplikasi seperti gagal jantung kongestif, penyakit
pulmonal vaskular, pneumonia, dan juga failure to thrive. Walaupun
begitu, keberadaan sarana yang diperlukan untuk melakukan skrining
sudah tentu menjadi faktor yang mempengaruhi kemampuan untuk
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, adalah disimpulkan bahwa:
a. Sejak tahun 2008 hingga 2010, terdapat 43 kasus anak dengan sindrom
Down dilaporkan, dengan jumlah pasien laki – laki lebih banyak yaitu 23
pasien.
b. Mayoritas pasien yang dilaporkan menderita sindrom Down yang telah
menjalani echocardiography adalah berumur dua bulan hingga satu tahun
yaitu sebanyak 39.5%.
c. Prevalensi kejadian penyakit jantung kongenital pada anak penderita
sindrom Down sepanjang tahun 2008 hingga 2010 di RSUP Haji Adam
Malik adalah 46.5%.
d. Kasus penyakit jantung kongenital pada anak penderita sindrom Down
paling banyak terjadi pada tahun 2009 yaitu 11 kasus.
e. Sepanjang tiga tahun ini, didapatkan bahwa anak penderita sindrom Down
kelamin laki – laki lebih banyak mendapat penyakit jantung kongenital
jika dibandingkan dengan anak penderita sindrom Down perempuan,
dengan prevalensi sehingga 56.5%.
f. Dalam tiga tahun ini, tipe penyakit jantung kongenital yang paling banyak
ditemukan adalah Ventricular Septal Defect (VSD) sebanyak 8 kasus
(40%).