ANALISIS PENGGUNAAN GAYA BAHASA
DALAM NOVELET
KAPPA
KARYA RYUNOSUKE AKUTAGAWA
SKRIPSI
Diajukan untuk Menempuh Ujian Sarjana
Program Studi Sastra Jepang Fakultas Sastra
Universitas Komputer Indonesia
DINY INDRYANI
NIM. 63807003
PROGRAM STUDI SASTRA JEPANG
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA
BANDUNG
i
ABSTRAK
Analisis Penggunaan Gaya Bahasa dalam Novelet Kappa Karya Ryunosuke Akutagawa
Setiap bahasa di dunia memiliki gaya bahasa tersendiri dengan ciri khasnya masing-masing. Begitu pun majas dalam bahasa Jepang atau yang disebut dengan Hiyu, memiliki perbedaan dengan majas pada umumnya. Ungkapan bahasa disebut majas atau bukan majas tidak harus dibedakan atas perbedaan bentuk ungkapannya, meskipun bentuk ungkapannya sejenis. Ungkapan dikatakan sebagai majas disebabkan bentuk ungkapan yang bersangkutan memenuhi persyaratan minimal adanya pengingkaran atas kebenaran yang diungkapkan atas makna sebenarnya atau makna struktur bentuk bahasa yang dipakai dalam ungkapan tersebut. Melalui bentuk bahasa itu, sebenarnya ingin menyatakan sesuatu yang lain. Salah satu karya sastra Jepang yang banyak menggunakan gaya bahasa adalah novelet Kappa karya Ryunosuke Akutagawa. Untuk itu, dengan mengidentifikasi lebih lanjut tentang gaya bahasa yang terkandung dalam novelet Kappa, penulis ingin mengetahui tujuan yang ingin disampaikan oleh pengarang, melalui penggunaan gaya bahasa tersebut. Berdasarkan hal-hal yang disampaikan diatas, penulis merasa tertarik melakukan penelitian mengenai bentuk dan tujuan penggunaan gaya bahasa yang digunakan dalam novelet Kappa.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis isi dengan pendekatan stilistika dan obyek penelitiannya adalah novelet Kappa karya Ryunosuke Akutagawa.
Berdasarkan penelitian, diketahui bahwa bentuk-bentuk gaya bahasa yang terdapat dalam novelet Kappa berjumlah delapan jenis, diantaranya adalah a) Metafora terdiri dari lima kutipan, b) Simile terdiri dari 17 kutipan, c) Hiperbola berjumlah tiga kutipan, d) Eupizeukis terdapat empat kutipan, e) Personifikasi berjumlah dua kutipan, f) Tautologi, g) Ironi dan h) Anagram berjumlah satu kutipan, maka jumlah keseluruhan kutipan yang mengandung gaya bahasa adalah 34 kutipan. Sedangkan tujuan penggunaan gaya bahasa dalam novelet Kappa, diantaranya adalah sebagai penyampaian dan penekanan dalam menyampaikan suatu hal.
ii
ABSTRA
CT
Analysis of Use of Language Style in Novellet Kappa
Every language in the world has its own style with its special characteristics. So even figure of speech (or in Japanese called by Hiyu), have differences with the figure of speech in general. The expression language called figure of speech or not should not be distinguished by differences in the form of expression, although similar forms of expression. The phrase is said as a figure of speech because of the phrase in question meet the minimum requirements of the denial of the truth revealed over the true meaning or significance of the structure of the language used in the expression. Through the form of the language, actually wanted to express something else. One of the many works of Japanese literature uses language style is novelett called “Kappa” which are written by Japanese novelist, Ryunosuke Akutagawa. By identifying more about the style of the language contained in the Kappa novelette, the author wanted to know the purpose to be conveyed by the author, through the use of such language style. Based on the things listed above, the authors feel interested in doing research on the shape and intended use of the language style used in the novelette Kappa.
The research method used in this study is the method of content analysis with stylistic approach and the object of research is “Kappa” novelette by Ryunosuke Akutagawa.
Based on research, it is known that the forms of a style that is contained in the novelette Kappa are eight species, among them are a) the metaphor consists of five quotations, b) Simile consists of 17 citations, c) Hyperbola of three quotations, d) there are four excerpts Eupizeukis , e) Personification amounted to two quotations, f) tautology, g) Irony and h) Anagram amounted to one quote, then the total number of citations that contain the style of language is 34 citations. While the purpose of the use of style in the novella Kappa, including the aebagai delivery and emphasis in conveying something.
iii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas segala rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
“Analisis Penggunaan Gaya Bahasa Dalam Novelet Kappa Karya Ryunosuke
Akutagawa” ini dengan lancar dan tanpa hambatan.
Penulis menyadari dalam penyusunan laporan ini terdapat banyak
kekurangan Oleh sebab itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari berbagai pihak.
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang
telah membantu dalam penyusunan laporan ini, yaitu:
1. Bapak Prof. Dr. H. Moh. Tadjuddin, MA., selaku Dekan Fakultas Sastra,
Universitas Komputer Indonesia.
2. Ibu Fenny Febrianty, S.S., M.Pd., selaku ketua jurusan Sastra Jepang,
Universitas Komputer Indonesia, sekaligus pembimbing kedua yang telah
memberikan bimbingan, saran dan nasehatnya dalam penyusunan skripsi ini.
3. Ibu Juju Juangsih, M.Pd., selaku dosen pembimbing pertama yang tak bosan memberikan masukan dan arahannya dalam penyusunan skripsi ini.
4. Bapak Soni Mulyawan Setiana, M.Pd., selaku dosen wali yang senantiasa
memberikan dukungan, semangat dan nasehatnya dalam penyususnan
skripsi ini.
5. Seluruh dosen Universitas Komputer Indonesia.
6. Kepada Teh Tyas, selaku kesekretariatan Sastra Jepang, yang telah
iv
7. Kepada orang tua dan seluruh keluarga yang telah memberikan semangat
dan doa dalam penyusunan skripsi ini.
8. Kepada teman-teman seperjuangan jurusan Sastra Jepang angkatan 2007,
Itang Zakaria, Bimo Haryo, Eri Dani, Fitriyah, Ryan Setiana.
9. Kepada semua teman-teman dan adik kelas yang telah memberikan doa dan
semangat dalam penyususnan skripsi ini.
10. Heru Erlangga yang senantiasa memberikan bantuan, nasehat, doa, kasih
sayang, dan motivasi dalam penyusunan skripsi ini.
11. Semua pihak yang telah banyak membantu penulis baik secara langsung
maupun tidak langsung yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga kebaikan Bapak, Ibu dan semua orang yang telah terlibat mendapat
balasan yang setimpal dari Allah SWT, Amin.
Bandung, Juli 2011
1 BAB I
PENDAHULUAN
4.4 Latar Belakang
Sastra adalah karya dan kegiatan seni yang berhubungan dengan ekspresi, seni dan penciptaan. Bahasa yang digunakan dalam sastra mengemban fungsi utama sebagai fungsi komunikatif yaitu sebagai perantara dalam menyampaikan pesan pengarang kepada pembaca. Dalam menyampaikan pesan, gagasan atau ide, setiap pengarang memiliki gayanya masing-masing atau yang biasa disebut dengan gaya bahasa. Gaya bahasa atau Stile (style) adalah cara pengucapan bahasa dalam prosa, atau bagaimana seorang pengarang megungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2010 : 276).
Gaya bahasa ditandai dengan ciri-ciri formal kebahasaan seperti pilihan kata, struktur kalimat, bentuk-bentuk bahasa figuratif, penggunaan kohesi dan lain-lain. Stile dapat bermacam-macam sifatnya tergantung konteks dimana digunakannya atau selera pengarang, namun juga tergantung apa tujuan penuturan itu sendiri. Pengarang memiliki kebebasan yang luas untuk mengekspresikan struktur maknanya ke dalam struktur lahir yang dianggap paling efektif. Salah satu unsur Stile yaitu retorika merupakan salah satu cara penggunaan bahasa untuk memperoleh efek estetis, yang diperoleh melalui kreativitas pengungkapan bahasa, diantaranya dengan cara pemajasan, penyiasatan struktur, dan pencitraan.
2 yang mendukungnya, melainkan pada makna yang ditambahkan atau makna yang tersirat (Nurgiyantoro, 2010:297). Pemajasan merupakan gaya yang sengaja mendayagunakan penuturan dengan memanfaatkan bahasa kias. Penggunaan bentuk-bentuk kiasan dalam kesastraan merupakan salah satu bentuk penyimpangan kebahasaan yaitu penyimpangan makna. Penggunaan stile yang berwujud pemajasan mempengaruhi gaya dan keindahan bahasa karya yang bersangkutan.
Setiap bahasa di dunia memiliki gaya bahasa tersendiri dengan ciri khasnya masing-masing. Begitu pun majas dalam bahasa Jepang atau yang disebut dengan Hiyu, memiliki perbedaan dengan majas pada umumnya. Ungkapan bahasa disebut majas atau bukan majas tidak harus dibedakan atas perbedaan bentuk ungkapannya, meskipun bentuk ungkapannya sejenis. Ungkapan dikatakan sebagai majas disebabkan bentuk ungkapan yang bersangkutan memenuhi persyaratan minimal adanya pengingkaran atas kebenaran yang diungkapkan atas makna sebenarnya atau makna struktur bentuk bahasa yang dipakai dalam ungkapan tersebut. Melalui bentuk bahasa itu, sebenarnya ingin menyatakan sesuatu yang lain.
3 bentuk-bentuk bahasa kias. Pemakaian bentuk-bentuk bahasa kias tersebut, disamping untuk memperindah penuturan itu sendiri, juga untuk membangkitkan suasana dan kesan tertentu.
Salah satu karya sastra yang banyak menggunakan gaya bahasa adalah novelet Kappa karya Ryunosuke Akutagawa. Dalam novelet Kappa terdapat sebuah narasi yang merupakan pengantar dari penerbit, menyatakan bahwa
“novelet Kappa merupakan ekspresi jiwa pengarang yang menyindir kehidupan dan budaya masyarakat Jepang dan diarahkan pada beberapa sasaran diantaranya modernisme, hubungan laki-laki dan perempuan, agama dan sensor atas seni”.
(Kappa, 2004:8) Walaupun novelet Kappa ditujukan sebagai sindiran, bukan berarti gaya bahasa yang digunakan hanya gaya bahasa sindiran, namun lebih bervariasi.
Kappa merupakan novelet yang menggunakan gaya bahasa yang lebih
variatif dibandingkan karya-karya Akutagawa yang lain, seperti cerpen Rashomon, Hana, Kumo no Ito dan lain-lain. Meskipun jika dilihat secara sepintas Kappa menceritakan sebuah legenda atau mitos yang masih dipercaya oleh masyarakat Jepang, namun muatan moral dan kritik terhadap realitas yang ada di dunia seniman dan kehidupan masyarakat Jepang sangat dalam.
4 1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penulis merumuskan masalah sebagai berikut : a. Bagaimana bentuk-bentuk gaya bahasa yang terdapat dalam novelet
Kappa, karya Ryunosuke Akutagawa ?
b. Bagaimana tujuan penggunaan gaya bahasa yang terdapat dalam novelet Kappa, karya Ryunosuke Akutagawa ?
4.3. Batasan Masalah
Pembahasan masalah dalam penelitian dibatasi berdasarkan dialog dan narasi yang mengandung gaya bahasa dalam novelet Kappa, karya Ryunosuke Akutagawa.
4.4. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini, sebagai berikut :
1. Mengetahui bentuk gaya bahasa dalam novelet Kappa, karya Ryunosuke Akutagawa.
2. Mengetahui tujuan penggunaan gaya bahasa dalam novelet Kappa, karya Ryunosuke Akutagawa.
4.5. Manfaat Penelitian
5 1. Penulis
Untuk menambah pemahaman dan pengetahuan tentang bentuk, dan tujuan penggunaan suatu gaya bahasa. Serta menambah wawasan tentang teori-teori analisis karya sastra, terutama penelitian gaya bahasa.
2. Pembaca
Memberikan informasi mengenai bentuk, dan tujuan penggunaan suatu gaya bahasa sebagai bahan masukan untuk penelitian-penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan gaya bahasa dari berbagai sudut.
3. Pengajar
Dapat dijadikan referensi pada kuliah kesusastraan terutama dalam analisis karya sastra dan gaya bahasa.
1.6.
Definisi Operasional
Definisi operasional digunakan untuk memperjelas serta memudahkan pembaca dalam memahami definisi yang digunakan dan untuk menjabarkan definisi-definisi yang digunakan agar tidak terjadi kesalahpahaman anatara
penulis dan pembaca mengenai istilah-istilah yang digunakan dalam judul penelitian. Berikut ini adalah definisi dalam judul penelitian ini :
Analisis Penggunaan Gaya Bahasa dalam Novelet Kappa
6 yang terdapat dalam dialog dan narasi pada novelet Kappa karya Ryunosuke Akutagawa.
1.7.
Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini berisi latar belakang, rumusan dan batasan maslah, tujuan dan manfaat penelitian, definisi operasional dan sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini merupakan telaah pustaka yang berisi tentang teori dasar pendukung penelitian, antara lain mengenai teori gaya bahasa,
yang terdiri dari bentuk dan tujuan pengunaan gaya bahasa, serta teori lainnya.
BAB III METODE PENELITIAN
Bab ini berisikan tentang metode penelitian, objek penelitian, serta teknik pengumpulan dan pengolahan data yang digunakan dalam
menganalisis penggunaan gaya bahasa.
BAB IV PEMBAHASAN
7 BAB V SIMPULAN DAN SARAN
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sastra
Robert Frost dalam Zaidan [et al] (2001:1) menyatakan “a performance in words”, hal ini mengarah pada pengertian sastra sebagai pertunjukan dalam kata sudah mengandung pengertian seni. Maka dapat dikemukakan bahwa sastra
hakikatnya merupakan seni pertunjukan dalam kata-kata.
Sumardjo dan Saini (1986:2) menyatakan bahwa satra adalah karya dan
kegiatan seni yang berhubungan dengan ekspresi dan penciptaan. Hal tersebut
merupakan salah satu yang membuat setiap usaha membuat batasan tentang apa
itu sastra selalu hanya merupakan gambaran dari suatu segi sastra saja, tidak
mungkin ada batasan sastra yang sanggup meliputi semua segi kebenaran tentang
sastra. Sebuah batasan tentang sastra biasanya tidak hanya berhenti pada membuat
deskripsi saja, tapi juga suatu usaha penilaian. Sebuah batasan tentang sastra
selalu mengacu pada kualitas karya sastra yang baik untuk suatu zaman dan suatu
waktu, yang dahulu disebut karya sastra baik, ratusan tahun kemudian sudah tidak
dinilai baik lagi.
Dari beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa sastra adalah seni
pengungkapan ekspresi manusia yang bernilai tinggi dan sarat makna, baik tertulis
9
2.1.1. Karya Sastra
Sumardjo dan Saini (1986:3) menyatakan bahwa Karya sastra bukan hanya
mengejar bentuk ungkapan yang indah, tetapi juga menyangkut masalah isi
ungkapan, bahasa ungkapannya dan nilai ekspresinya. Maka karya sastra yang
bermutu harus berdasarkan penilaian bentuk, isi, ekspresi dan bahasanya.
Jadi, karya sastra adalah sesuatu yang lahir dari emosi dan ekspresi
seseorang yang mengandung unsur keindahan dan seni.
2.1.2. Jenis Karya Sastra
Sastra dapat digolongkan menjadi dua kelompok jenisnya, yakni Sastra
Imajinatif dan Sastra Non-imajinatif. Dalam karya sastra imajinatif, ciri khayali
sastra lebih kuat dibanding dengan sastra non-imajinatif. Begitu pula dengan
penggunaan bahasanya, sastra imajinatif lebih menekankan penggunaan bahasa
konotatif dibanding dengan sastra non-imajinatif. Sastra non-imajinatif lebih
menekankan penggunaan bahasa denotatif.
Sastra non-imajinatif diantaranya essai, kritik, biografi, otobiografi, sejarah,
memoar, catatan harian dan surat-surat. Sedangkan sastra imajinatif diantaranya
puisi, fiksi atau prosa naratif dan drama. Puisi terdiri dari beberapa jenis
diantaranya puisi epik, puisi lirik dan puisi dramatik.
Novel, novelet, dan cerita pendek (cerpen) merupakan bagian dari fiksi atau
prosa naratif. Novel merupakan cerita berbentuk prosa dengan alur, tema dan
suasana cerita yang lebih kompleks serta karakter yang lebih banyak. Sedangkan
10
duduk, untuk mencapai efek tunggal bagi pembacanya. Begitu pun dengan cerpen
yang dapat dibaca sekali duduk dalam waktu kurang dari satu jam.
2.2. Gaya Bahasa
Stile (style) disebut juga gaya bahasa adalah cara pengucapan bahasa dalam prosa, atau bagaimana seorang pengarang megungkapkan sesuatu yang akan
dikemukakan (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2010 : 276). Gaya bahasa ditandai
dengan ciri-ciri formal kebahasaan seperti pilihan kata, struktur kalimat,
bentuk-bentuk bahasa figuratif, penggunaan kohesi dan lain-lain. Stile dapat
bermacam-macam sifatnya tergantung konteks dimana digunakannya atau selera pengarang,
namun juga tergantung apa tujuan penuturan itu sendiri. Bentuk ungkapan
kebahasaan seperti yang terlihat dalam sebuah novel merupakan suatu bentuk
performansi (kinerja) kebahasaan seorang pengarang, yang merupakan pernyataan
lahiriah dari suatu yang bersifat batiniah. Wujud performansi kebahasaan hadir
kepada pembaca dalam sebuah fiksi melalui proses penyeleksian dari berbagai
bentuk linguistik yang berlaku dalam sistem bahasa. Dalam hal ini, pengarang
memiliki kebebasan yang luas untuk mengekspresikan struktur maknanya ke
dalam struktur lahir yang dianggap paling efektif. Pemilihan bentuk struktur lahir
bisa sampai pada berbagai bentuk penyimpangan dari pemakaian bahasa yang
wajar.
Gaya Bahasa adalah pemakaian kata-kata kiasan dan perbandingan yang
11
pengarang dalam membuat cipta sastra dengan mengemukakan pemilihan kata
yang tepat.
2.3. Jenis-jenis Gaya Bahasa
2.3.1. Gaya Bahasa dalam Bahasa Indonesia
Gaya bahasa dapat dikategorikan dalam berbagai cara dan sudut pandang,
lain penulis, lain juga klasifikasi yang dibuatnya. Menurut Tarigan dalam
Pengajaran Gaya Bahasa (2009:6), gaya bahasa terbagi atas gaya bahasa pertentangan, gaya bahasa perbandingan, gaya bahasa pertautan dan gaya bahasa
perulangan.
1. Gaya Bahasa Pertentangan
Adalah gaya bahasa yang maknanya bertentangan dengan kata-kata yang
ada (Susilo, 2008). Gaya bahasa pertentangan terdiri dari :
a. Hiperbola yaitu gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang berlebih-lebihan jumlahnya, ukurannya atau sifatnya dengan maksud memberi
penekanan pada suatu pernyataan atau situasi untuk memperhebat,
meningkatkan kesan atau pengaruhnya. Misalnya : Hatiku terbakar, darahku
terasa mendidih mendengar berita itu.
b. Litotes yaitu gaya bahasa yang didalam pengungkapannya menyatakan sesuatu yang positif dengan bentuk yang negatif atau bentuk yang
bertentangan. Litotes merupakan kebalikan dari hiperbola, yaitu sejenis gaya
12
sebenarnya, misalnya untuk merendahkan diri. Misalnya : Datanglah ke gubuk orangtuaku
c. Ironi yaitu gaya bahasa yang mengimplikasikan sesuatu yang nyata berbeda, bahkan sering kali bertentangan dengan yang sebenarnya dikatakan, dengan
maksud mengolok-olok. Maksud itu dapat dicapai dengan mengemukakan
makna yang berlawanan dengan makna sebenarnya, ketidaksesuaian antara
suara yang diketengahkan dan kenyataan yang mendasarinya dan
ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan. Misalnya : Pagi benar engkau
datang padahal orang lain sudah banyak yang menunggu.
d. Oksimoron adalah sejenis gaya bahasa yang megandung pertentangan dengan menggunakan kata-kata yang berlawanan dengan frase yang sama.
Misalnya : Bahan-bahan nuklir dapat dipakai untuk kesejahteraan umat
manusia, tetapi dapat juga memusnahkannya.
e. Paronomasia yaitu gaya bahasa yang berisi penjajaran kata-kata yang berbunyi sama tapi bermakna lain. Misalnya : Oh, adinda sayang, akan
kutanam bunga tanjung di pantai tanjung hatimu.
f. Paralipsis yaitu gaya bahasa yang merupakan suatu formula yang digunakan sebagai sarana untuk menerangkan bahwa seseorang tidak mengatakan apa
yang tersirat dalam kalimat itu sendiri. Misalnya : Semoga Tuhan Yang Maha
Kuasa menolak doa kita ini, (maaf) bukan maksud saya mengabulkannya.
g. Zeugma dan Silepsis yaitu gaya bahasa yang mempergunakan dua konstruksi rapatan dengan cara menghubungkan sebuah kata dengan dua atau
13
hubungan dengan kata yang pertama. Dalam zeugma terdapat gabungan
gramatikal dua buah kata yang mengandung ciri-ciri semantik yang
bertentangan. Misalnya : Sambil memarahi anak itu paman saya
membelalakkan mata dan telinganya.
h. Satire merupakan penggunaan humor luas, parodi atau ironi untuk menertawakan suatu masalah, lebih dari sekedar ejekan, satire berisi kritik
moral atau politik. Satire juga mengandung kritik tentang kelemahan manusia
dengan tujuan agar diadakan perbaikan secara etis maupun estetis. Misalnya :
Jemu aku dengar bicaramu Kemakmuran
Keadilan Kebahagiaan
Sudah 10 tahun engkau bicara Aku masih tak punya celana
i. Inuedo yaitu sejenis gaya bahasa yang berupa sindiran dengan mengecilkan kenyataan sebenarnya. Gaya bahasa ini menyatakan kritik dengan sugesti
yang tidak langsung, dan tampaknya tidak menyakitkan hati bila dilihat
sekilas. Misalnya : Pada pesta tadi malam, dia sedikit sempoyongan karena
terlalu banyak minum minuman keras.
j. Antifrasis yaitu gaya bahasa yang berupa penggunaan sebuah kata dengan makna kebalikannya. Namun perlu diingat bahwa antifrasis dapat diketahui
14
yang dikatakan itu adalah sebaliknya. Misalnya : “ Lihatlah si gendut ini,”
ketika si kurus datang.
k. Paradoks yaitu semacam gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada. Paradoks juga berarti semua hal yang
menarik perhatian karena keberaniannya. Misalnya : Hatinya sunyi di kota
Jakarta yang ramai ini.
l. Klimaks yaitu sejenis gaya bahasa yang berupa susunan ungkapan yang semakin lama semakin mengandung penekanan. Klimaks mengandung
urutan-urutan pikiran yang setiap kali semakin meningkat kepentingannya
dari gagasan-gagasan sebelumnya. Misalnya : Sejak menyemai benih, tumbuh,
hingga menuainya aku sendiri yang mengerjakan.
m. Antiklimaks merupakan kebalikan gaya bahasa klimaks. Antiklimaks merupakan suatu acuan yang berisi gagasan-gagasan yang diurutkan dari
yang terpenting berturut-turut ke gagasan yang kurang penting, makna
tergantung dalam kata–kata diucapkan berturut–turut makin lama makin
menurun. Misalnya : Jangankan seribu, seratus rupiah pun tak ada.
n. Opostrof adalah sejenis gaya bahasa yang berupa pengalihan amanat dari yang hadir kepada yang tidak hadir. Biasanya dalam pidato yang disampaikan
orator, mengarahkan pembicaraannya langsung kepada sesuatu yang gaib,
misalnya kepada orang yang sudah meninggal, pada barang atau objek
khayalan, yang membuat seolah-olah tidak berbicara kepada yang hadir.
Misalnya : Wahai kalian yang telah menumpahkan darah dan mengorbankan
15
o. Anastrof atau Inversi adalah gaya bahasa yang merupakan perubahan urutan unsur-unsur konstruksi sintaksis, diperoleh dengan pembalikan susunan kata
yang biasa dalam kalimat. Misalnya : Datanglah dia, makanlah dia, lalu
pulang tanpa ucapan sepatah kata.
p. Apofasis atau Preterisio adalah gaya bahasa yang digunakan untuk menegaskan sesuatu tapi tampak menyangkalnya. Misalnya : Saya tidak ingin
menyingkapnya dalam rapat ini, bahwa putrimu telah berbadan dua.
q. Histeron Proteron adalah semacam gaya bahasa yang merupakan kebalikan dari sesuatu yang logis atau sesuatu yang wajar, misalnya menmpatkan pada
awal peristiwa sesuatu yang sebenarnya terjadi kemudian. Misalnya : Bila
kita berhasil menuruni ngarai yang curam ini, tibalah kita pada puncak sebuah
gunung yang tinggi.
r. Hipalase adalah sejenis gaya bahasa yang merupakan kebalikan dari suatu hubungan alamiah antara dua komponen gagasan, misalnya menggunakan
suatu kata tertentu untuk menerangkan sebuah kata, yang seharusnya
dikenakan pada kata lain. Misalnya : Ia duduk pada sebuah bangku yang
gelisah (yang gelisah adalah ia bukan bangku).
s. Sinisme yaitu sejenis gaya bahasa yang berupa sindiran, berbentuk kesangsian dan mengandung ejekan terhadap keikhlasan dan ketulusan hati.
Misalnya : Memang pak dukun lah yang dapat menghidupkan orang yang
telah mati, apalagi mematikan orang yang masih hidup.
16
mengandung kepahitan, celaan yang getir, kurang enak didengar dan
menyakitkan hati. Misalnya : Meminang anak gadis orang memang mudah,
memeliharanya setengah mati.
2. Gaya Bahasa Perbandingan
Yaitu kata-kata berkias yang menyatakan perbandingan untuk meningkatkan
kesan dan pengaruhnya terhadap pendengar atau pembaca, ditinjau dari cara
pengambilan perbandingannya (Vidianto, 2010), diantaranya :
a. Perumpamaan / simile yaitu perbandingan dua hal yang pada hakikatnya berlainan namun dianggap sama. Sering pula kata “perumpamaan” disamakan
dengan “persamaan”. Perbandingan itu secara eksplisit dijelaskan oleh
pemakaian kata seperti, ibarat, bak, bagai, umpama, laksana, serupa dan sebagainya. Misalnya : Wajahnya muram bagaikan bulan kesiangan.
b. Metafora yaitu sejenis gaya bahasa perbandingan yang paling singkat, padat dan tersusun rapi. Metafora adalah pemakaian kata-kata bukan arti
sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau
perbandingan. Misalnya : Raja siang telah pergi keperaduannya ( Matahari ) c. Personifikasi yaitu membandingkan benda mati atau tidak dapat bergerak
seolah-olah bernyawa dapat berperilaku seperti manusia. Melekatkan
sifat-sifat insani kepada benda yang tidak bernyawa dan ide yang abstrak.
Misalnya : Angin berbisik membelai gadis itu.
d. Depersonifikasi merupakan kebalikan dari personifikasi. Apabila
personifikasi menginsankan benda mati, maka depersonifikasi membedakan
17
e. Alegori yaitu cerita yang dikisahkan dalam lambang-lambang, merupakan metafora yang diperluas dan berkesinambungan, tempat atau wadah gagasan
atau objek yang diperlambangkan. Alegori juga merupakan gaya bahasa yang
memperlihatkan perbandingan utuh, perbandingan itu membentuk kesatuan
menyeluruh. Misalnya : Mendayung bahtera hidup ( merupakan perbandingan
yang utuh dan menyeluruh bagi seseorang dalam rumah tangga, bahtera
merupakan perbandingan dari rumah tangga, sedang pengemudi dan awaknya
merupakan perbandingan dari suami istri).
f. Antitesis adalah sejenis gaya bahasa yang mengadakan komparasi atau perbandingan antara dua antonim yaitu kata-kata yang mengandung ciri-ciri
semantik yang bertentangan. Misalnya : Pada saat kami berduka cita atas
kematian paman, mereka menyambutnya dengan kegembiraan tiada tara.
g. Pleonasme dan Tautologi merupakan gaya bahasa dengan pemakaian kata yang mubazir. Pleonasme merupakan pemakaian kata yang berlebihan yang
sebenarnya tidak perlu, seperti saling tolong-menolong. Suatu acuan kita
sebut tautologi apabila kata yang berlebihan itu pada dasarnya mengandung
perulangan dari suah kata yang lain. Misalnya : Orang yang meninggal itu
menutup mata untuk selama-lamanya.
h. Antisipasi atau Prolepsis merupakan gaya bahasa yang digunakan dalam menjelaskan suatu peristiwa, sebelum peristiwa itu terjadi dengan
menggunakan kata pengumpamaan. Misalnya : Mobil yang malang itu
18
i. Koreksi atau Epanortosis gaya bahasa yang berwujud mula-mula ingin menegaskan sesuatu, tapi kemudian memeriksa dan memperbaiki hal-hal
yang salah. Misalnya : Saya telah membayar iuran sebanyak tujuh juta, tidak,
tidak, tujuh ribu rupiah.
3. Gaya Bahasa Pertautan
Yaitu kata-kata berkias yang bertautan (berasosiasi) dengan gagasan,
ingatan atau kegiatan panca indra pembicara atau penulisnya (Vidianto, 2010).
Gaya bahasa penegasan diantaranya :
a. Metonimia yaitu gaya bahasa yang menggunakan nama suatu barang bagi sesuatu yang lain berkaitan erat dengannya. Metonimia memakai nama ciri
atau nama hal yang ditautkan dengan nama orang, barang atau hal lain
sebagai penggantinya. Misalnya : Ia naik Honda setiap hari ke kantornya
(Naik motor merk Honda).
b. Sinekdoke adalah gaya bahasa yang menyebutkan nama bagian sebagai pengganti nama keseluruhan. Misalnya : Setiap tahun semakin banyak mulut
yang harus diberi makan.
c. Alusi adalah gaya bahasa yang menunjuk secara tidak langsung pada suatu peristiwa atau tokoh berdasarkan anggapan adanya pengetahuan bersama
yang dimiliki oleh pengarang dan pembaca, serta adanya kemampuan
pembaca untuk menangkap pengacuan itu. Misalnya : Saya ngeri
membayangkan kembali peristiwa Westerling di Sulawesi Selatan. Tugu ini
19
d. Eufemisme ialah ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang dirasakan kasar, yang dianggap merugikan atau tidak menyenangkan.
Misalnya : tuna aksara pengganti buta huruf.
e. Eponim adalah semacam gaya bahasa yang mengandung nama seseorang yang begitu sering dihubungkan dengan sifat tertebtu sehingga nama itu
dipakai untuk menyatakan sifat itu. Misalnya : Hercules menyatakan
kekuatan.
f. Epitet adalah semacam gaya bahasa yang mengandung acuan yang menyatakan suatu sifat atau ciri yang khas dari seseorang atau sesuatu hal.
Keterangan itu merupakan suatu frase deskriptif yang memberikan atau
menggantikan nama sesuatu benda atau nama seseorang. Misalnya : Lonceng
pagi bersahut-sahutan di desa terpencil ini menyongsong mentari bersinar
menerangi alam (lonceng pagi = ayam jantan).
g. Antonomasia adalah semacam gaya bahasa yang merupakan bentuk khusus dari sinekdoke yang berupa pemakaian sebuah epitet untuk menggantikan
nama diri atau penggunaan nama gelar resmi. Misalnya : Gubernur Sumatera
Utara akan meresmikan pembukaan seminar bulan depan.
h. Erostesis adalah sejenis gaya bahasa yang berupa pertanyaan yang digunakan dalam tulisan atau pidato yang bertujuan untuk mencapai efek yang lebih
mendalam dan penekanan yang wajar dan sama sekali tidak menuntut
jawaban. Misalnya : Apakah sudah wajar bila kesalahan atau kegagalan itu
20
i. Paralelism adalah gaya bahasa yang berusaha mencapai kesejajaran dalam pemakaian kata-kata atau frase-frase yang menduduki fungsi yang sama
dalam bentuk gramatikal yang sama. Misalnya : Baik kaum pria maupun
kaum wanita mempunyai hak dan kewajiban yang sama secara hukum.
j. Elipsis adalah gaya bahasa yang didalamnya dilaksanakan peninggalan atau penghilangan kata-kata yang memenuhi bentuk kalimat berdasarkan tata
bahasa, dengan kata lain penghilangan salah satu atau beberapa unsur penting
dalam konstruksi sintaksis yang lengkap. Misalnya : Mereka ke Jakarta
minggu lalu (penghilangan predikat pergi, berangkat).
k. Gradasi adalah gaya bahasa yang mengandung suatu rangkaian atau urutan paling sedikit tiga kata, atau secara sintaksis bersamaan yang mempunyai
suatu atau beberapa ciri-ciri semantik secara umum dan yang diantaranya
paling sedikit suatu ciri diulang-ulang engan perubahan-perubahan yang
bersifat kuantitatif. Misalnya : Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan
kita, karena kita tahu bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan
ketekunan meninmbilkan tahan uji, dan tahan uji menimbulkan harapan, dan
pengharapan tidak mengecewakan.
l. Asindeton adalah semacam gaya bahasa yang berupa acuan padat dimana beberapa kata, frase atau klausa yang sederajat tidak dihubungkan dengan
kata sambung, bentuk-bentuk tersebut biasanya dipisahkan oleh koma.
Misalnya : Ayah, ibu, anak merupakan suatu inti suatu keluarga.
21
dihubungkan satu sama lain dengan kata-kata sambung. Misalnya : Istri saya
menanam nangka dan jambu dan cengkeh dan papaya dipekarangan rumah
kami.
4. Gaya Bahasa Perulangan
Nurdin [et all] (2002:28) dalam Sukir (2009) berpendapat bahwa gaya
bahasa perulangan adalah gaya bahasa yang mengulang kata demi kata entah itu
yang diulang pada bagian depan, tengah, atau akhir, sebuah kalimat. Gaya bahasa
perulangan diantaranya :
a. Aliterasi adalah sejenis gaya bahasa yang memanfaatkan pemakaian kata-kata yang permulaanya sama bunyinya. Misalnya : Dara damba daku.
b. Asonansi gaya bahasa repetisi yang berwujud perulangan vokal yang sama,
untuk memperoleh efek penekanan atau keindahan. Misalnya : Muka muda
mudah muram.
c. Antanaklasis adalah gaya bahasa yang mengandung ulangan kata yang sama, dengan makna yang berbeda. Misalnya : Saya selalu membawa buah tangan
untuk buah hati saya.
d. Kiasmus adalah gaya bahasa yang berisikan perulangan dan sekaligus inverse hubungan antara dua kata dalam satu kalimat. Misalnya : Sudah selayaknya
orang tua jangan menganggap dirinya muda, dan orang muda jangan
menganggap dirinya muda.
e. Epizeukis adalah gaya bahasa perulangan yang bersifat langsung yaitu kata
22
Misalnya : Ingat, kamu harus bertaubat, bertaubat, sekali lagi bertaubat agar
dosa-dosamu diampuni.
f. Tautotes adalah gaya bahasa perulangan atas sebuah kata dalam sebuah konstruksi. Misalnya : Kakanda mencintai adinda, adinda mencintai kakanda,
kakanda dan adinda saling mencintai.
g. Anaphora adalah gaya bahasa yang berupa perulangan kata pertama pada setiap baris atau setiap kalimat. Misalnya : Lupakah engkau bahwa mereka
telah membesarkanmu? Lupakah engakau bahwa merekalah yang
menyekolahkanmu? Lupakah engkau akan segala budi baik mereka?
h. Epistrofa adalah semacam gaya bahasa repetisi yang berupa perulangan kata atau frase pada akhir baris atau kalimat berurutan. Misalnya : Kemarin adalah
hari ini, besok adalah hari ini, hidup adalah hari ini, segala sesuatu untuk hari
ini.
i. Simploke adalah sejenis gaya bahasa yang berupa perulangan pada awal dan akhir beberapa baris atau kalimat berturut-turut. Misalnya : ibu bilang saya
pemalas, saya bilang biar saja, ibu bilang saya lamban, saya bilang biar saja.
j. Mesodilopsis gaya bahasa yang berwujud perulangan kata atau frase ditengah baris atau beberapa kalimat berurutan. Misalnya : Anak merindukan orang tua,
orang tua merindukan anak.
k. Epanalepsis gaya bahasa yang berupa perulangan kata pertama dari baris, klausa, atua kalimat menjadi terakhir. Misalnya : Kami sama sekali tidak
23
l. Anadilopsisi adalah gaya bahasa repetisi dimana kata atau frase terakhir dari suatu klausa atau kalimat menjadi kata atau frase pertama dari klausa atau
kalimat berikutnya. Misalnya : Dalam raga ada darah, dalam darah ada tenaga,
dalam tenaga ada daya, dalam daya ada segala.
Sedangkan menurut Keraf (2010:115), gaya bahasa dapat dilihat dari
berbagai sudut pandang. Pandangan-pandangan atau pendapat-pendapat tentang
gaya bahasa dapat dibedakan dari :
a. Segi Nonbahasa diantaranya terdiri dari :
1)Berdasarkan pengarang : pengarang yang kuat dapat mempengaruhi
orang-orang sejamannya atau pengikut-pengikutnya, sehingga dapat membentuk
suatu aliran.
2)Berdasarkan masa : gaya bahasa yang dikenal karena ciri-ciri tertentu yang
berlangsung dalam suatu kurun waktu tertentu.
3)Berdasarkan medium : gaya bahasa dalam arti alat komunikasi. Suatu
bahasa karena struktur atau situasi sosial pemakainya dapat menjadi corak
tersendiri.
4)Berdasarkan subjek : subjek yang menjadi pokok pembicaraan dalam
sebuah karangan dapat mempengaruhi pula gaya bahasa sebuah karangan.
5)Berdasarkan tempat : ciri-ciri kedaerahan mempengaruhi ungkapan atau
24
6)Berdasarkan hadirin : hadirin atau jenis pembaca mempengaruhi gaya
yang dipergunakan seorang pengarang, seperti gaya sopan, gaya intim
(familiar) dan sebagainya.
7)Berdasarkan tujuan : gaya berdasarkan tujuan memperoleh namanya dari
maksud yang ingin disampaikan oleh pengarang, dimana pengarang ingin
mencurahkan gejolak emotifnya.
b. Segi Bahasa merupakan gaya bahasa yang dibedakan berdasarkan titik tolak unsur bahasa yang dipergunakan, yaitu :
1)Gaya bahasa berdasarkan pilihan kata, gaya bahasa yang mempersoalkan
ketepatan dan kesesuaian dalam menghadapi situasi-situasi tertentu, seperti
gaya bahasa resmi, gaya bahasa tak resmi dan gaya bahasa percakapan.
2)Gaya bahasa berdasarkan nada, nada pertama-tama lahir dari sugesti yang
dipancarkan oleh rangkaian kata-kata, sedangkan rangkaian kata-kata
tunduk pada kaidah-kaidah sintaksis yang berlaku. Maka, gaya bahasa
dilihat dari sudut nada yang terkandung dalam sebuah wacana dibagi atas
gaya yang sederhana, gaya mulia dan berharga dan gaya menengah.
3)Gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat, yang dimaksud struktur kalimat
adalah bagaimana tempat sebuah unsur kalimat yang dipentigkan dalam
kalimat tersebut. Ada kalimat yang bersifat periodik, bersifat kendur dan
kalimat berimbang. Dari ketiga maca struktur kalimat tersebut maka dapat
diperoleh gaya bahasa klimaks, antiklimaks, paralelisme, antitesis, dan
25
4)Gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna, yaitu apakah acuan
yang dipakai masih mempertahankan makna denotatifnya atau sudah ada
penyimpangan. Gaya bahasa ini terbagi atas dua kelompok yaitu gaya
bahasa retoris yang semata-mata merupakan penyimpangan dari konstruksi
biasa untuk mencapai efek tertentu, diantaranya seperti aliterasi, asonansi,
anastrof, apofasis atau preterisio, apostrof, asindeton, polisindeton,
kiasmus, elipsis, eufimismus, litotes, histeron proteron, pleonasme dan
tautolgi, perifrasis, prolepsis atau antisipasi, erotesis atau pertanyaan
retoris, silepsis dan zeugma, koreksio atau epanortosis, hiperbol, paradoks
dan oksimoron.
Sedangkan gaya bahasa kiasan merupakan penyimpangan lebih jauh,
khususnya dalam makna, seperti persamaan atau simile, metafora, alegori,
parable dan fabel, personifikasi atau prosopopoeia, alusi, eponim, epitet,
sinekdoke, metonimia, antonomasia, hipalase, ironi, sinisme dan
sarkaasme, satire, inuendo, antifrasis, pun atau paronomasia.
2.3.2. Gaya Bahasa dalam Bahasa Jepang
Dalam bahasa Jepang bentuk ungkapan tertentu disebut sebagai majas atau
bukan majas tidak harus dibedakan atas perbedaan bentuk ungkapannya,
meskipun bentuk ungkapannya sejenis (Nurhadi, 2010). Morita et.all (2000:105)
mendefinisikan majas yakni :
26
(majas merupakan bentuk ungkapan yang maknanya didapat dari analogi, hubungan pikiran untuk menunjukkan karakter, keadaan atas penggunaan kata lain yang berbeda makna)
Berdasarkan pendapat tersebut, ungkapan dikatakan sebagai majas disebabkan
bentuk ungkapan yang bersangkutan memenuhi persyaratan tertentu. Persyaratan
minimal bentuk majas yakni adanya pengingkaran atas kebenaran yang
diungkapkan atas makna sebenarnya atau makna struktur bentuk bahasa yang
dipakai dalam ungkapan tersebut. Melalui bentuk bahasa itu, sebenarnya ingin
menyatakan sesuatu yang lain. Yamanashi (1998:14) dalam Nurhadi (2010)
menyatakan :
“Tatoerumono to tatoerarerumono, soshite kono tatoe no konkyou to narumono, kono mitsu no yousou wa, hiyuuhyougen no ninchiwaku no juuyou na kousei yousou de aru”
(terdapat tiga unsur atau batasan dalam mengklasifikasikan suatu ungkapan sehingga disebut majas, adanya objek pengumpama, objek yag diumpamakan dan alasan hubungan perbandingan)
Pendapat ini memberikan batasan yang jelas, bentuk ungkapan dalam majas
mempunyai unsur pembentuk esensial yang merupakan keharusan pada bentuk
yang diakui sebagai majas tersebut. Ketiga unsur tersebut adalah sesuatu atau
objek yang dibandingkan, sesuatu atau objek yang menjadi pembanding, dan
alasan hubungan perbandingan tersebut. Unsur yang disebutkan terakhir inilah
yang memberikan bukti, alasan dan deskripsi yang dapat dipergunakan sebagai
27
Dalam Hiyu Hyougen Jiten (2008) jenis-jenis gaya bahasa (majas) diantaranya :
1. 直 喩 chokuyu (Simile) majas yang mengibaratkan atau membandingkan
sesuatu secara jelas dengan hal yang lain dengan menggunakan kata-kata
sepeti : あたかも、さながら、まるで、ごとし、ようだ、みたいだ.
Contoh :
a) りんごのような頬 “pipi yang seperti apel”.
b) まるで鬼みたいなことこわい顔 “wajah yang seram seperti setan”.
2. 隠喩inyu (Metafora) majas yang mengibaratkan sesuatu secara jelas. Namun
metafora tidak seperti simile yang menggunakan kata あたかも、さながら、
ま る で 、 ご と し 、 よ う だ 、 み た い だ, namun mengibaratkan secara
langsung dengan benda atau hal yang diibaratkan.
Contoh :神にゆきおく “salju yang diletakan oleh dewa”.
3. 諷 喩 fuuyu (Alegori) majas yang mengganti hal yang sebenarnya ingin
disampaikan dengan hal yang mirip, yang sebenarnya makna yang ingin
disampaikan berada dibalik perkataan itu. Dengan kata lain hanya
mengibaratkan saja.
Jika inyu merupakan cara untuk mengungkapkan hal yang sebenarnya dengan menganalogikan hal tersebut dengan hal lainnya secara langsung, maka fuuyu merupakan ungkapan yang lebih ringkas dari inyu. Berikut ini merupakan
28
Contoh :
a) 大根のように太くて短い足 “kaki yang pendek dan besar seperti
lobak”.
b)大根足 “kaki lobak”.
c) 大根 “lobak”.
4. 活 喩 katsuyu disebut juga 擬 人 法 gijinhou (Personifikasi) majas yang
memperlakukan benda mati sebagai benda yang memiliki jiwa / nyawa yang
dapat bergerak dan berekspresi seperti manusia.
Contoh :
a) 花笑い鳥歌う “bunga tersenyum dan burung bernyanyi”.
b)海は怒り風はほえる “laut marah dan angin menggaung”.
5. 提喩teiyu (Sinekdoke) majas yang mengibaratkan atau menyatakan sebuah
hubungan yang disebut dengan sebagian dan keseluruhan.
Contoh :花 “bunga” merupakan ungkapan yang menunjukkan サクラ.
6. 換喩kanyu (Metonimi) majas yang pada prinsipnya mirip dengan sinekdoke,
tapi berlawanan namun masih ada hubungan antara sebagian dan keseluruhan.
Selain itu, hubungan yang erat antara dua hal yang menjadi dasar gaya bahasa
ini adalah adanya hubungan yang mengikat antara kedekatan, keterkaitan, dan
elemen-elemen lainnya.
Contoh :
a) 手が上がる “karya yang dibuat dengan tangan atau dalam bahasa
29
b)Saat memesan makanan biasanya berkata: 僕はタコだ “saya gurita” yang
berarti saya memesan gurita.
c) 財布 “dompet” yang menunjukkan uang.
d)セーラ服 “seragam pelaut” yang berarti siswa perempuan.
7. 引喩 inyu (Alusio) majas ini merupakan bahasa orang-orang pada zaman
dahulu, seperti peribahasa, haiku, waka, puisi yang diketahui oleh semua
orang. Namun terkadang diungkapkan secara tersembunyi.
Contoh :急がば回れ、ということがある.... ”pepatah mengatakan,
daripada terburu-buru lebih baik memutar”.
8. 張 喩 chouyu (Hiperbola) majas yang mengungkapkan pikiran ataupun
kenyataan yang dibesar-besarkan atau berlebih-lebihan.
Contoh :汗が滝のように流れる “keringat yang mengalir seperti air
terjun”.
9. 声 喩 seiyu (Onomatope) majas yang menggambarkan suatu kondisi atau
situasi dengan tiruan suara.
Contoh :ドカンと一発 “suara tembakan DOR”.
10. 字 喩 jiyu atau 字 装 法 jisouhou (Anagram) cara pengungkapan dengan
menggunakan hubungan elemen komposisi kata atau bentuk huruf untuk
menekankan isi atau menegaskan suatu makna kata
Contoh :くノ一 terdiri dari huruf く ku Hiragana, ノ no Katakana, dan
30
11. 詞 喩 shiyu (Paronomasia) cara pengungkapan dengan memanfaatkan
gabungan antara makna / arti dengan kata-kata dan suara yang menghasilkan
suatu kombinasi bunyi.
Contoh :
a) 不死山 dan 富士山 sama-sama dibaca Fujisan.
b)不死の山 gunung yang abadi
c) 富士山 gunung fuji
12. 類 喩 cara pengungkapan dengan menggunakan kalimat yang didalamnya
terdapat kata-kata yang memiliki bhubungan dengan maksud tersebuit.
Contoh :川、流れ、水、滴る、浮かぶ adalah kata-kata yang
memiliki hubungan dengan air.
Gaya bahasa yang terdapat dalam Nihon no kakikata handobukku karya
Shigeko Inagaki dalam Widiawati (2008 : 17), terbagi atas :
1. Hiyuhou 比喩法 (perumpamaan) yaitu cara mengungkapkan sesuatu dengan
contoh. Gaya bahasa ini terdiri atas:
a) Chokuyuhou 直 喩 方 yaitu cara mengungkapkan sesuatu dengan
menggunakan ~のような, ~のように, ~のごとき, ~のごとく.
Contoh : あらしのような拍手。 (tepuk tangan yang seperti badai).
b)Inyuhou 隠喩法 (metafora) yaitu ungkapan yang mengumpamakan benda
dengan sesuatu.
31
2. Gijinhou 擬人法 (personifikasi) yaitu mengungkapkn sesuatu yang bukan
manusia dengan sesuatu yang sama dengan manusia.
Contoh :
a) 山は呼ぶ、海はなめく。(gnung memggil, laut mgundang).
b) 風は私に語りかけた。 (angin bercerita padaku).
3. Kochouhou 誇 張 法 (hiperbola) yaitu mengungkapkan sesuatu dengan
berlebihan dibanding dengan yang sebenarnya.
Contoh : 嬉しくて涙はこぼれた。(senang hingga airmata bercucuran).
4. Tsuikuhou 対句法 (antitesis) yaitu mengungkapkan yang membandingkan
sesuatu dengan yang lain.
Contoh : 東京はいつも道が込んでいるが、私の村は静かだ。(Tokyo
jalannya selalu penuh, tapi desa saya sepi).
5. Zensohou ぜ ん そ ほ う (klimaks) yaitu memperkuat ungkapn dengan
“semakin”.
Contoh : 一人が幸せになれば、回りの十人がさらに、百人が幸せにな
る。 (jika seorang saja bisa bahagia diantara 10 orang, apalagi 100 orang bisa
lebih bahagia).
6. Hanpukuhou 反 復 法 (eupizeukis) yaitu menegaskan dengan mengulang
32
Contoh : 私は良い友人を持っていることは、良いひひょうかを持って
い る こ と だ 。 (saya mempunyai teman yang baik, yang dimaksud
mempunyai teman yang baik berarti mempunyai kritikus yang baik).
7. Tochihou とち法 (inverse) yaitu membalikan tata tertib kata.
Contoh :
a) 美しい山だ、富士山は。(gunung yang indah, Fujiyama).
b) 来るでしょう、すぐ!!!! (datang ya, sgera)
8. Hangohou 反語法 (ironi) yaitu memperkuat ungkapan yang berlawanan
dangan hal yang ingin disampaikan, banyak yang mempergunakan bentuk
pertanyaan dengan memakai ‘か’.
Contoh : そ の 問 題 を ほ う ち し て お い て よ う の だ ろ う か ?(baikkah
mengabaikan hal itu?)
Sedangkan dalam Ninshiki no retorikku karya Seto Kenichi dalam
Widiawati (2008 :19), membagi gaya bahasa atas :
1. Inyu 隠喩 (metafora) yaitu cara mengungkapkan benda abstrak yang tidak
bisa diberitakan secara langunsg seperti “愛” (cinta) dengan memilih hal yang
konkrit yang dapat dengan mudah dimengerti oleh persaan seperti “火のう”
(menyala).
Contoh :
a) 愛は火のうめらめらと燃え立つ。(cinta menyala, merah terbakar).
33
2. Kanyu 換喩 (metonimia) dalam kalimat “テブルをかたずける” terdapat
dua dugaan, yang pertama dilihat dari kata-katanya yang berarti membuat
ruang dengan menggerakan meja, dan yang kedua membereskan sesuatu yang
ada diatas meja. Dalam hal ini テブル menunjukan “テブルの上のもの”
(sesuatu yang berada diatas meja). Jadi metonimia menunjukan gejala
pemikiran diantra suatu benda dalam gabungan yang berdekatan.
3. Teiyu 提 喩 (sinekdok) yaitu gejala elestik secara arti atau makna yang
berdasarkan pada hubungan yang mengikuti antara bahan dan jenis.
Contoh :
a) “花” (jenis) dari “はなみ” menunjukan bahan atau wujud sakura.
b) “パンのかせぐ” (bekerja mencari roti) menunjukan jenis makanan.
“花” dalam ruang lingkup arti sakura menjadi sempit, sedangkan “パン”
dalam ruang lingkup “食べ物” meluas.
4. Douchakuhou ど うち ゃ く法 (oksimoron) berasal dari kata yunani yang
terdiri dari dua kata yang bertabrakan arti, axus (するどい: pintar / tajam)
dan moros (お ろ かな: bodoh). Seperti pada kalimat “音 こ く の輝 き”
(cahaya kegelapan) atau “こうぜんの秘密” (rahasia terbuka), arti yang
sangat berlawanan dihubungkan langsung.
5. Dougohanpuku 同 語 反 復 (tautologi) yaitu ungkapan yang
mengkonfirmasikan dan menegaskan arti yang sejenis secara positf bahkan
tidak ada kejelasan terhadap pengulangan ungkapan yang sama. Seperti pada
34
6. Enkyokuhou 婉 曲 法 (eupimisme) yaitu merubah kata-kata yang jelek
pengaruhnya menjadi kata-kata yang baik pengaruhnya. Dalam hal ini
terdapat kebaikan dan keburukan. Kebaikan yang menghias kenyataan yang
kasar dengan kata-kata yang khususnya untuk tidak memberikan perasaan
tidak enak bagi pendengar. Keburukannya, menyembunyikan kenyataan yang
kasar dengan kata-kata yang khususnya untuk tidak menimbulkan perasaan
yang tidak enak bagi pembicara.
Contoh : pada kata “トイレ” (toilet) menjadi “こしょうしつ” (kamar
mandi).
7. Kochouhou 誇 張 法 (hiperbola) yaitu cara mengungkapkan sesuatu yang
dibesar-besarkan secara luar biasa untuk menggambarkan suatu keadaan yang
sebenarnya.
Contoh : saat merasa lapar menggunakan kata “死にそう” (seperti mau
mati).
8. Gijinhou 擬 人 法 (personifikasi) pada umumnya adalah suatu teknik
ungkapan yang menggunakan sesuatu diluar manusia dengan manusia.
Contoh : ききは陽気だ、はこりたきさ岡はびしょうむ。(pepohonan
gmbira, bukit yg tinggi tesenyum).
Dari beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa
merupakan cara penuturan pengarang dalam menyampaikan suatu hal atau pesan
kepada pembaca, salah satunya dengan menggunakan majas. Penggunaan majas
35
terdapat sedikit perbedaan antara majas bahasa Jepang dengan jenis majas pada
umunya. Misalnya majas Anagram, yaitu cara pengungkapan dengan
menggunakan bentuk huruf untuk menekankan isi atau menegaskan suatu makna
kata.
2.4. Tujuan Penggunaan Gaya Bahasa
Gaya bahasa merupakan penggunaan bahasa secara khusus untuk
mendapatkan efek tertentu (Pradopo, 2009:264). Para pembaca dan penulis yang
unggul memanfaatkan penggunaan gaya bahasa untuk memaparkan
gagasan-gagasan mereka. Menurut Dale [et all] (1971:220) dalam Pengajaran Gaya Bahasa (2009:4) menyatakan bahwa gaya bahasa digunakan untuk meningkatkan efek dengan jalan memperkenalkan serta membandingkan suatu benda atau hal
tertentu dengan benda atau hal yang lebih umum. Secara singkat, penggunaan
gaya bahasa tertentu dapat mengubah, serta menimbulkan konotasi tertentu. Selain
itu, gaya bahasa merupakan bentuk retorik yaitu penggunaa kata-kata dalam
berbicara dan menulis untuk meyakinkan atau mempengaruhi penyimak dan
pembaca (Tarigan, 2009:4).
Dalam buku nihongo to shuuji (1997:140), tujuan penggunaan gaya bahasa dalam bahasa Jepang dibagi menjadi :
a. Penyampaian
Saat pembicara ingin menyampaiakan sesuatu hal kepada lawan bicaranya
namun terkendala oleh minimnya wawasan yang dimiliki oleh lawan bicara, maka
36
tersebut dengan hal lainnya yang dapat dipahami oleh lawan bicara. Misalnya
menerangkan danau pada anak-anak dengan mengumpamakan bahwa danau
adalah kolam yang luas. Penjelasan dengan pendekatan seperti ini disebut
perumpamaan deskriptif.
b. Penekanan
Perihal yang ingin disampaikan oleh seseorang, tidak diungkapkan begitu saja,
melainkan dengan memberikan penekanan pada perkara tersebut berdasarkan
sifat-sifat yang dimilikinya. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kesan atau
gambaran secra lebih mendalam mengenai perihal tersebut. Misalnya menjelaskan
bahwa kolam lebih besar daripada kolm lain. Walaupun lawan bicara telah
mengerti dan mngetahui bentuk kolam seprti apa, namun dalam hal ini pembicara
ingin memberikan penekanan pada bentuk kolam yang berbeda dibanding bentuk
kolam pada umumnya, maka dapat digunakan ungkapan ‘kolam itu besar seperti
danau’. Penjelasan ini disebut juga perumpamaan penekanan makna.
Secara singkat fungsi penggunaan gaya bahasa yang pertama untuk
memberi pemahaman pada lawan bicara yang awalnya tidak tahu menjadi tahu.
Dan fungsi yang kedua memberi penekanan tentang suatu makna tertentu pada
lawan bicara (Salam, 2010:14-15).
Dari penjelasan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa penggunaan
suatu gaya bahasa dalam karya sastra digunakan untuk memberikan efek dan
kesan tertentu, sehingga pembaca dapat menarik pesan atau informasi yang ingin
37
Adapun tujuan khusus pada beberapa gaya bahasa yang dijelaskan dalam
Pengajaran Gaya Bahasa, diantaranya seperti Metafora, sering kali digunakan untuk menambahkan kekuatan pada suatu kalimat. Gaya bahasa metafora
membuat perbandingan antara dua hal atau benda untuk menciptakan suatu kesan
mental yang hidup wlaupun tidak ditanyakan secara eksplisit dengan penggunaan
kata-kata seperti, ibarat, laksana, serupa dan lainnya (Tarigan, 2009:15).
Gaya bahasa Personifikasi, digunakan untuk memberikan ciri-ciri kualitas
pribadi orang kepada benda-benda yang tidak bernyawa ataupun pada
gagasa-gagasan (Tarigan, 2009:17).
Sedangkan Hiperbola, gaya bahasa yang mengndung pernyataan
berlebih-lebihan dengan maksud memberi penekanan pada pernyataan tersebut, atuapun
memberi penekanan pada suatu situasi untuk memperhebat, meningkatkan kesan
dan pengaruhnya (Tarigan, 2009:55), serta tujuan dalam penggunaan gaya bahasa
38 BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Metode Penelitian
Metode berasal dari kata methodos dalam bahasa latin yang terdiri dari kata
meta dan hodos. Meta berarti menuju, melalui, mengikuti, sesudah, sedangkan
hodos berarti jalan, cara, arah. Dalam pengertian yang lebih luas metode dianggap
sebagai cara-cara, strategi untuk memahami realitas, langkah-langkah sistematis
untuk memecahkan rangkaian sebab akibat berikutnya. Metode berfungsi untuk
menyederhanakan masalah, sehingga lebih mudah untuk dipecahkan dan dipahami.
Dalam penelitian ini digunakan metode analisis isi. Sesuai dengan namanya,
analisis isi terutama berhubungan dengan isi komunikasi, baik secara verbal dalam
bentuk bahasa, maupun non verbal seperti bangunan, pakaian, elektronik dan
lain-lain. Dalam karya sastra, isi yang dimaksud adalah pesan-pesan yang dengan
sendirinya sesuai dengan hakikat satra (Kutha, 2010 : 48).
Alasan penulis menggunakan metode analisis isi, karena dalam penelitian
ini penulis meneliti penggunaan gaya bahasa yang terdapat dalam narasi dan
dialog pada novelet Kappa, baik bentuk dan tujuan penggunaanya. Dalam hal ini
gaya bahasa yang diteliti termasuk kedalam isi laten yaitu isi yang terkandung
dalam dokumen dan naskah dan merupakan isi sebagaimana dimaksudkan oleh
penulis. Analisis terhadap isi laten akan menghasilkan arti.
Sebagai metode kualitatif, dasar pelaksanaan metode analisis isi adalah
39 perhatian pada situasi alamiah, maka penafsiran pada metode analisis isi berpusat
pada isi pesan. Oleh karena itulah metode analisi isi dilakukan dalam
dokumen-dokumen yang padat isi. Dalam karya sastra misalnya dilakukan untuk meneliti
gaya tulisan seorang pengarang.
3.1.1. Analisis Isi Melalui Pendekatan Stilistika
Stilistika adalah ilmu yang mempelajari gaya bahasa. Stilistika merupakan
bagian ilmu linguistik yang memusatkan diri pada variasi-variasi pengguanaan
bahasa yang memberikan perhatian khusus pada penggunaan bahasa yang paling
sadar dan paling kompleks dalam kesusastraan. Maka pendekatan stilistika dalam
penelitian karya sastra merupakan salah satu cara dalam menganalisis bahasa yang
digunakan termasuk gaya bahasa.
Dalam penelitian ini analisis isi melalui pendekatan stilistika adalah analisis
dokumen yaitu narasi dan dialog yang mengandung gaya bahasa dalam novelet
Kappa.
Alasan penulis menggunakan pendekatan stilistika, karena penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis penggunaan gaya bahasa baik bentuk maupun
tujuan penggunaan gaya bahasa yang digunakan oleh seorang sastrawan yang
terjadi dalam gaya bahasa tersebut. Hal tersebut sesuai dengan tujuan-tujuan dari
stilistika yang terdapat dalam Kaji Bahasa Karya Sastra (Purba, 2008 : 8),
diantaranya :
1. Menerangkan hubungan antara bahasa dengan fungsi artistik dan maknanya.
2. Menentukan dan memperlihatkan penggunaan bahasa sastrawan, khusus
40 3. Menjawab pertanyaan mengapa sastrawan mengekspresikan dirinya justru
memilih cara khusus? Bagaimanakah efek estetis yang dapat dicapai melalui
bahasa? Apakah pemilihan bentuk-bentuk bahasa tertentu dapat menimbulkan
efek estetis? Apakah fungsi penggunaan bentuk tertentu mendukung tujuan
estetis?
4. Mengganti kritik sastra yang bersifat subyektif dan impresif dengan analisis.
Stil wacana sastra yang lebih obyektif dan ilmiah.
5. Menggambarkan karakteristik khusus sebuah karya sastra.
6. Mengkaji berbagai bentuk gaya bahasa yang digunakan oleh sastrawan dalam
karyanya.
3.2. Objek Penelitian
Obyek dalam penelitian ini adalah narasi dan dialog yang terdapat pada
novelet “Kappa”, karya Ryunosuke Akutagawa. Novel ini ditulis pada tahun 1927
dan diterjemahkan dalam bahasa Ingrris pada tahun 2000 oleh Geoffrey Bownas.
Cetakan pertama dengan terjemahan bahasa Indonesia pada Oktober 2004, dan
cetakan kedua pada Juli 2006, sebanyak 170 halaman, oleh Andi Bayu Nugroho.
Dalam novelet Kappa, terdapat 35 kutipan yang berupa narasi dan dialog
yang bisa diklasifikasikan sebagai gaya bahasa. Hal tersebut dilihat dari struktur
kalimat, pemilihan diksi dan hal lainnya yang menunjukkan bahwa kalimat
41 3.3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam metode ini dilakukan melalui studi
kepustakaan yaitu suatu teknik pencarian data melalui media tertulis,
gambar/simbol, atau video. Data diperoleh dari berbagai referensi yang berkaitan
dengan bentuk, makna dan perubahan makna yang muncul dalam gaya bahasa.
Selain itu peneliti juga mengumpulkan data dan informasi dari beberapa artikel
melalui media cyber di website atau situs-situs yang berhubungan dengan
penelitian yang dilakukan.
3.4. Teknik Analisis Data
Teknik penganalisisan data pada penelitian ini menggunakan metode
analisis isi dengan pendekatan stilistika melalui beberapa tahap dibawah ini :
Bagan 1. Teknik Analisis Data
1. Data atau obyek penelitian berupa kutipan dalam bahasa Jepang
dikelompokan menurut jenis gaya bahasanya, dilihat dari struktur kalimat,
pemilihan diksi dan lain-lain.
DATA PENGELOMPOKKAN GAYA BAHASA
PENGANALISISAN TUJUAN PENGGUNAAN
SUATU GAYA BAHASA PENERJEMAHAN
[image:46.612.173.463.431.570.2]42 2. Setelah kutipan-kutipan tersebut dikelompokan, kemudian dilakukan
penerjemahan ulang kedalam bahasa Indonesia untuk mempermudah dalam
penganalisisan tujuan penggunaan gaya bahasa itu sendiri.
3. Dari kutipan-kutipan yang telah diterjemahkan ulang, penulis dapat
mengetahui tujuan penggunaan suatu gaya bahasa dan pesan yang ingin
43 BAB IV
PEMBAHASAN
4.1. Bentuk-Bentuk Gaya Bahasa Dalam Novelet Kappa
Penulis telah melakukan analisis dalam novelet Kappa. Analisis dilakukan
dengan tahap pembacaan menyeluruh, penerjemahan ulang dari bahasa Jepang ke
dalam bahasa Indonesia, pengelompokan gaya bahasa dan pencarian makna dari
narasi dan dialog. Dari hasil analisis bentuk dan makna gaya bahasa, diketahui
bentuk-bentuk gaya bahasa yang terdapat dalam novelet Kappa diantaranya
Metafora, Simile, Hiperbola, Eupizeukis, Personifikasi, Tautologi, Ironi, dan
Anagram. Penggunaan sejumlah gaya bahasa tersebut oleh Ryunosuke Akutagawa
mempunyai tujuan tertentu. Berikut ini adalah hasil analisis bentuk-bentuk gaya
bahasa yang terdapat dalam novelet Kappa.
4.1. 1. Gaya Bahasa Metafora
Metafora (隠喩inyu) merupakan majas yang mengibaratkan sesuatu secara
jelas, yaitu mengibaratkan secara langsung dengan benda atau hal yang di
ibaratkan. Pemakaian kata-kata dalam metafora bukanlah arti sebenarnya,
melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan
terhadap sikap, bentuk atau hal lainnya. Penggunaan metafora dapat berupa kata,
frase, atau kalimat. Berikut ini adalah enam kutipan yang terdapat dalam novelet
44
a) 僕は超人 (boku wa choujin)
僕は超人 (boku wa choujin) merupakan sebuah metafora. Hal ini terlihat
pada kata超人 (choujin), yang digunakan sebagai pengumpamaan langsung dari
僕 (boku), penggunaannya terlihat pada kutipan (1), dibawah ini :
(1) 「僕か? 僕は超人(直訳すれば超河童です。)だ。」トック は昂然(こうぜん)と言い放ちました。(河童:五課)
“Boku ka? Boku wa choujin (chokuyaku sureba choukappa desu) da”.
“Aku? Aku adalah manusia super (secara harfiah maksudnya Kappa
Super)”. Tok berkata dengan penuh semangat. (Kappa, Bab 5 : 37)
Kata超人(choujin) : 普通の人ひととはかけ離はなれた、すぐれた能力を持つ人。
人 間 的 可 能 性 を 極 限きょくげん ま で 実 現 し た 理想的人間典型り そうて きに んげん てん けい mempunyai makna
berbeda dengan orang biasa, manusia yang mempunyai kemampuan diatas
rata-rata, manusia super, tipikal manusia unggul yang dapat mewujudkan suatu
probabilitas hingga batas-batas tertentu (Koujien, 2009: 1743). Kemampuan
tersebut dapat berupa bakat, keahlian, kekuatan dan lain sebagainya, yang berada
diatas kemampuan atau keahlian manusia pada umumnya.
Kata僕 (boku) merujuk pada tokoh bernama Tok yang berprofesi sebagai
seniman atau penyair seperti yang tergambar pada kalimat「トックは河童仲間
の詩人です。」(Tok adalah seorang teman kappaku yang berprofesi penyair). 詩
人(shijin/Penyair) termasuk kedalam 芸術家 (geijutsuka): 芸術の倉作活動くらさくかつどうを行
う人 (orang yang menghasilkan karya sastra atau kegiatan seni lainnya atau
45
untuk menciptakan karya dengan nilai estetik. Dalam menciptakan berbagai
karyanya seniman memiliki bakat lebih dibanding dengan kemapuan manusia
lain pada umumnya, karena setiap manusia bisa menciptakan karya seni namun
tidak semua orang bisa menjadi seniman. Karena itu seniman dianggap berbeda
dengan orang biasa.
Kata超人(choujin) pada kutipan (1) bersinonim dengan kata スーパーマン.
Kata 超 人 (choujin) dipilih karena didalamnya mengandung makna 君主くんしゅ
(kunshu/penguasa; raja) yang bisa mewakili 詩人(shijin/penyair) karena seorang
penyair tentunya menguasai ilmu membuat syair.
超人 adalah metafora yang mengumpamakan 僕(boku) yang merupakan
seorang penyair (超 人) karena sama-sama memiliki kelebihan dibandingkan
manusia lain.
b) 正直は最良の外交 (shoujiki wa sairyou no gaikou)
正直は最良の外交 (shoujiki wa sairyou no gaikou) mengandung gaya
bahasa metafora, dilihat dari pengumpamaan 正直 (shoujiki), yang diibaratkan
dengan kata 最 良 の 外 交 (sairyou no gaikou), penggunaannya terlihat pada
kutipan (2), di bawah ini :
(2) 『正直は最良の外交である』とはビスマルクの言った言葉でし ょう。(河童:九課)
46
Bismark berkata bahwa “kejujuran adalah diplomasi yang baik”. (Kappa, Bab 9 : 58)
正直 (shoujiki) : 心が正しくすなおなこと。いつわりのないこと。か
げひなたのないこと。 率 直そっちょくなこと。ありのまま。 (jujur, tidak bohong,
tidak bermuka dua, keterbukaan, kenyataan, berterus terang, polos) (Koujien,
2009:1314). Kejujuran diperlukan dalam hidup ini, terutama saat kita
menyampaikan berita atau berkomunikasi dengan orang lain. Saat menyampaikan
sesuatu hal dengan apa adanya dan sesuai dengan kenyataan, akan membuat orang
lain tidak curiga pada setiap tindakan kita ataupun merasa takut ditipu. Dengan
begitu, kita pun akan mendapatkan kepercayaan dari orang tersebut.
外交 (gaikou) : 外国との交際。国際間こくさいかんの事柄ことがらを 交 渉こうしょうで処理し ょ りすること。
(hubungan diplomatik dengan