• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konflik Sosial di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran (Studi Deskriptif Tentang Konflik Perebutan Tanah Warisan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Konflik Sosial di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran (Studi Deskriptif Tentang Konflik Perebutan Tanah Warisan)"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

Konflik Sosial di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran

(Studi Deskriptif Tentang Konflik Perebutan Tanah Warisan)

Skripsi

Guna memenuhi salah satu syarat

Untuk memperoleh Gelar Sarjana

Oleh:

040901045

ROSMALEMNA TARIGAN

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

LEMBAR PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan oleh:

Nama : Rosmalemna Tarigan

Nim : 040901045

Departemen : Sosiologi

Judul : Konflik Sosial di Desa Kuta Rayat Kec.Naman Teran.

(Studi Deskriptif Tentang Konflik Perebutan Tanah Warisan)

Dosen Pembimbing, Ketuan Departemen,

(Drs.Junjungan SBP Simanjutak,M.Si) (Dra.Rosmiani,MA)

NIP: 196006141986011002 NIP: 196002261990032002

Dekan,

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

(Prof.DR.Badaruddin,M.Si)

(3)

Abstraksi

Tanah menjadi sangat penting ketika terdapat beberapa makna atas arti penting tanah. Tanah dapat diartikan sebagai nilai ekonomi, pada sisi yang lain tanah diartikan memiliki kegunaan non ekonomi (nilai religio-magis tanah). Pada saat itulah memunculkan konflik tanah yang tampaknya tidak mudah untuk di pecahkan. Konflik perebutan tanah warisan adalah jenis konflik yang paling sering muncul di kalangan masyarakat Karo. Konflik tanah muncul karena adanya perbedaan dalam hal batas tanah, adanya perbedaan pandangan dalam pembagian warisan dan perbedaan pandangan dalam bukti kepemilikan. Konflik juga dapat terjadi karena lemahnya administrasi pertanahan di tingkat pedesaan.

Adapun masalah dalam penelitian ini di rumuskan sebagai berikut:mengapa terjadi konflik perebutan tanah warisan, Apakah faktor-faktor penyebab tanah warisan pada masyarakat Karo? Bagaimana proses penyelesaian konflik perebutan tanah warisan tersebut dilakukan? Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian studi kasus dengan pendekatan kualitatif, dimana jumlah informan yang mengalami kasus perebutan tanah warisan ini sebanyak 10 informan.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penyebab konflik perebutan tanah warisan pada masyarakat Karo adalah karena ketidak sesuain pembagian tanah warisan, tanah warisan yang dipinjamkan diambil alih oleh pihak peminjam,tidak memiliki keturunan laki-laki, sehingga tanah warisan yang telah dibagikan, diminta kembali oleh saudara laki-laki nya., adanya perbedaan pendangan mengenai batas-batas tanah warisan. Penyebab terjadinya konflik perebutan tanah warisan ini, pada dasarnya disebabkan karena tidak adanya bukti otentik/ sertifikat kepemilikan tanah. Selain itu, konflik ini dipicu karena orang tua tidak bersedia membagikan harta warisan semasa hidup nya, Proses

(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah didalam Nama Tuhan Yesus Kristus

atas Kasih-Nya yang begitu besar didalam kehidupanku. IA yang telah memberikan

kekuatan dan memampukan penulis dalam menjalani hari-hari sejak awal perkuliahan

sampai dengan penyusunan skripsi yang akhirnya juga telah dapat menyelesaikan skripsi

ini dengan judul : “ KONFLIK SOSIAL DI KUTA RAYAT,KECAMATAN NAMAN

TERAN ( Studi Deskriftif, Tentang Perebutan Tanah Warisan )”.

Guna memenuhi syarat untukmemperoleh gelar sarjana dari Departemen Sosiologi

Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politi, Universitas Sumatera Utara.

Dalam proses penyusunan skripsi ini peneliti banyak menghadapi hambatan. Tapi

berkat pertolongan Tuhan semua hambatan tersebut dapat dilalui oleh penulis sehingga

penulisan skripsripsi dapat selesai. Hal ii juga tidak terlepas juga berkati motivasi dan doa

dari keluarga dan teman-teman. Oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih

kepada semua pihak yang turut serta membantu dalam penulisan skripsi ini. Dalam

kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. 1.Bapak Prof.DR.Badaruddin,M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dra.Rosmiani, MA selaku sekertaris Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik dan juga selaku ketua penguji dalam ujian komprehensif

(5)

3. Bapak Drs. Junjungan SBP Simanjuntak,M.Si selaku Dosen pembimbing yang

telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, pemikiran, saran ,

evaluasi, serta motivasi sehingga skripsi ini dapat di selesaikan dengan baik.

4. Bapak Drs. Muba Simanihuruk selaku penguji tamu yang telah sudi kiranya

menyediakan waktu pada ujian komprehensif penulis dan telah banyak

memberikan masukan demi kesempurnaan skripsi ini.

5. Seluruh staf pengajar dan staf administrasi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik,

Universitas Sumatera Utara, khususnya Departemen Sosiologi.

6. Bapak P. Sembiring dan keluarga yang ada di Kuta Rayat, yang telah banyak

membantu selama penulis berada di lapangan ( Kuta Rayat ) dan juga kepada

seluruh informan penulis yang bersedia di wawancarai dalam membantu penulis

untuk mendapatkan data-data.

7. Terkhusus dan Teristimewa kepada kedua orang tuaku, kepada Ayahanda

M.Tarigan terimakasih untuk perjuangan dan kerja keras yang selama ini sudah

diberikan,aku mungkin tidak akan dapat membalas semua yang telah diberikan

kepadaku tapi skripsi ini adalah sebagai salah satu tanda baktiku padamu. Dan

kepada Ibunda D.br Barus yang telah melahirkan, merawat dan membesarkanku

dengan penuh kasih sayang, maafkan aku untuk kesalahan yang telah kulakukan,

aku persembahkan skripsi ini sebagai bukti janjiku padamu, walaupun terlambat.

8. Untuk adik-adikku tersayang Herman Tarigan, Ramli Tarigan, Santa Monika

Tarigan, terimakasih untuk dorongan semangat dan motivasi, kalian juga telah

(6)

9. Teristimewa untuk Suamiku, yang selalu sabar membantuku , dorongan semangat

dan motivasi yang sangat besar, yang juga selalu setia mengantarku ke kampus,

skripsi ini adalah hasil dari usaha kita selama ini, ini adalah bukti kepada keluarga

bahwa kita mampu menyelesaikan perkuliahanku dan meraih gelar sarjana

walaupun kita telah membentuk sebuah keluarga kecil. Juga untuk Anakku sikecil

Nathasya, yang selalu membuatku tersenyum.

10.Seluruh keluarga besar penulis khususnya keluarga besar Marga Tarigan Gersang

terimakasih untuk bantuan serta dorongan semangat juga kepada keluarga besar

yang ada di desa Sibunga-bunga ( kedua mertuaku, Bapauda M.Saragih serta Mak

uda, Bapauda R.Saragih serta Mak uda)

11.Teman-tema yang saya rindukan di Departemen Sosiologi stambuk 2004 yang

tidak bisa saya sebutkan satu-persatu, terimakasih untuk kebersamaan kita,

perjuangan kita dan atas bantuan, saran serta motivasi serta doanya.

12. Buat sahabatku Ferika, Mestika, Rabanta, Renova, Herna, Floren, Juni

terimakasih untuk kebersamaan kita, dorongan semangat serta motivasi dari

kalian.

13.Buat adik-adik stambuk 2005, 2006, 2007, 2008, 2009, dan teman-teman yang

lainnya tidak bisa saya sebutkan satu persatu treimakasih buat bantuan dan

dukungannya.

Akhirnya penulis menyadari bahwa skripsi ini maih jauh dari kata sempurna. Oleh

karena itu kritik dan saran dari pembaca sangat diharapkan demi kesempurnaan

(7)

Medan, Agustus 2010

Penulis

(8)

DAFTAR ISI

Halaman Judul………i

Halaman Persetujuan………ii

Kata Pengantar……….iii

Abstaksi………...IVi Daftar Isi………...Vi Daftar Tabel……….…VIIIi Daftar Matriks………IXi BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah………...1

1.2.Perumusan Masalah………..5

1.3.Tujuan Penelitian………..6

1.4.Manfaat Penelitian………6

1.5.Defenisi Konsep………7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1. Konflik…………...………10

2.1.1. Pengertian………..……10

2.1.2. Jenis-Jenis Konflik………...……….15

2.1.3. Faktor Penyebab Konflik………...…16

2.2. Tahapan Konflik………..19

2.3. Tipe dan Akar Permasalahan Konflik Sosial………21

2.4. Pola Konflik………..23

(9)

3.1. Jenis Penelitian ... 25

3.2. Lokasi Penelitian………..25

3.3. Teknik Pengumpulan Data ………..26

3.4. Unit Analisis dan Informan..………...……….27

3.5. Interpretasi Data………..27

3.6. Jadwal Penelitian……….28

3.7. Keterbatasan Penelitian………...29

BAB IV DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN 4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian………..30

4.1.1. Sejarah Terjadinya Kampung Toraja Berneh/ Kuta Rayat………30

4.1.2. Letak Dan Keadaan Wilayah……….32

4.1.3. Komposisi Penduduk……….33

4.1.4. Sarana dan Prasarana……….37

4.2. Penyajian dan Interpretasi Data………38

4.2.1. Profil Informan………..38

4.3. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Konflik Perebutan Tanah Warisan...44

4.4. Proses Penyelesaian Konflik Perebutan Tanah Warisan...53

4.5. Pihak-Pihak yang Terlibat dalam Penyelesaian Konflik Perebutan Tanah Warisan ...57

4.6. Interpretasi Data Penelitian...60

4.6.1. Sejarah Konflik Perebutan Tanah Warisan pada Masyarakat Karo...60

4.6.2. Eskalasi Konflik...61

4.6.3. Resolusi Konflik...63

4.6.4. De-Eskalasi Konflik...64

(10)

BAB V PENUTUP

5.1. Kesimpulan...68

5.2. Saran...70

DAFTAR PUSTAKA

(11)

Abstraksi

Tanah menjadi sangat penting ketika terdapat beberapa makna atas arti penting tanah. Tanah dapat diartikan sebagai nilai ekonomi, pada sisi yang lain tanah diartikan memiliki kegunaan non ekonomi (nilai religio-magis tanah). Pada saat itulah memunculkan konflik tanah yang tampaknya tidak mudah untuk di pecahkan. Konflik perebutan tanah warisan adalah jenis konflik yang paling sering muncul di kalangan masyarakat Karo. Konflik tanah muncul karena adanya perbedaan dalam hal batas tanah, adanya perbedaan pandangan dalam pembagian warisan dan perbedaan pandangan dalam bukti kepemilikan. Konflik juga dapat terjadi karena lemahnya administrasi pertanahan di tingkat pedesaan.

Adapun masalah dalam penelitian ini di rumuskan sebagai berikut:mengapa terjadi konflik perebutan tanah warisan, Apakah faktor-faktor penyebab tanah warisan pada masyarakat Karo? Bagaimana proses penyelesaian konflik perebutan tanah warisan tersebut dilakukan? Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian studi kasus dengan pendekatan kualitatif, dimana jumlah informan yang mengalami kasus perebutan tanah warisan ini sebanyak 10 informan.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penyebab konflik perebutan tanah warisan pada masyarakat Karo adalah karena ketidak sesuain pembagian tanah warisan, tanah warisan yang dipinjamkan diambil alih oleh pihak peminjam,tidak memiliki keturunan laki-laki, sehingga tanah warisan yang telah dibagikan, diminta kembali oleh saudara laki-laki nya., adanya perbedaan pendangan mengenai batas-batas tanah warisan. Penyebab terjadinya konflik perebutan tanah warisan ini, pada dasarnya disebabkan karena tidak adanya bukti otentik/ sertifikat kepemilikan tanah. Selain itu, konflik ini dipicu karena orang tua tidak bersedia membagikan harta warisan semasa hidup nya, Proses

(12)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Konflik tanah yang muncul sering sekali terjadi karena adanya masalah

dengan orang perorang antar generasi. Konflik tersebut sering muncul antar tetangga,

teman-teman dan keluarga karena ketergantungan masyarakat pada transaksi tanah secara

informal dan tidak tertulis.

Demikian halnya pada masyarakat Karo, juga masih banyak terdapat

konflik atau sengketa tanah. Dalam tulisan ini akan difokuskan pada masyarakat Karo

yang berada di desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran Kabupaten Karo. Dari survey

pra penelitian yang dilakukan oleh penulis, kebanyakan konflik tanah yang terjadi antar

mereka yang masih memiliki hubungan darah/ keturunan.

Seperti yang di alami oleh A.Sitepu yang pernah mengalami konflik

dengan saudara kandungnya. A.Sitepu adalah seorang petani di desa Kuta Rayat dan saat

ini sudah berusia 70 tahun. Konflik yang di alaminya sudah terjadi 8 tahun yang lalu dan

terjadi karena ketidak puasan salah satu pihak terhap pembagian tanah warisan. P.Sitepu

adalah salah satu informan yang merupakan salah satu pihak penggugat dari kasus

konflik perebutaan tanah warisaan dan pernah menjabat sebagai anggota legislative di

pemerintahaan kabupaten karo. Ketika menjabat sebagai wakil rakyat,informan mengaku

meninggalkan kampung halamanya dan memberi kepercayaan kepada bere-bere nya

(anak dari saudara perempuannya) untuk mengelola tanah miliknya akan tetapi ketika

(13)

bere-bere nya tidak mau mengembalikan tanah itu dan sudah menganggapnya menjadi

miliknya.

Konflik tanah yang terjadi pada masyarakat menyebabkan rusaknya

interaksi sosial diantara pihak-pihak yang bersengketa. Tanah merupakan modal dasar

bagi kehidupan manusia, sebagai sebuah modal dasar, maka tanah memiliki dua fungsi,

yaitu fungsi produksi dan fungsi non produksi. Kebutuhan akan penggunaan tanah

tersebut acapkali berbenturan , mengingat bahwa terdapatnya jumlah luas tanah yang

terbatas, pada sisi yang lain terdapat ledakan pertumbuhan penduduk.

Tanah menjadi sangat penting ketika terdapat dua makna atas arti penting tanah.

Tanah dapat diarikan sebagai nilai ekonomi, pada sisi yang lain tanah diartikan memiliki

kegunaan non ekonomi (nilai religio-magis tanah). Pada saat itulah memunculkan konflik

tanah yang tampaknya tidak mudah untuk di pecahkan. Sejarah membuktikan bahwa

terjadinya konflik, pertumpahan darah sejak masa lalu lebih disebabkan perebutan atas

penguasaan sebidang tanah.

Konflik tanah tidak mudah untuk diselesaikan, hal ini dapat dipahami

mengingat menguasai tanah bukan sekedar penguasaan atas sebidang objek fisik berupa

tanah, melainkan sebuah keyakinan bahwa tanah mengandung religio magis yang kuat

dikalangan masyarakat. Masyarakat memandang bahwa tanah tidak sekedar bernilai

ekonomis tetapi mengandung nilai sakral, karena di tanah tersebut ia dilahirkan, orang tua

dimakamkan, harga diri dimunculkan dalam bentuk penguasaan atas tanah.

Ada 3 (tiga) komponen kepentingan dan bagaimana masyarakat

(14)

1) Dimensi Ekomaterialistik, yaitu tanah sebagai bagian dari ekosistem

bersifat “non-private”, sehingga tanah dihargai secara matrealistik (

dengan uang).

2) Dimensi Historiosuksesif, yaitu tanah sebagai symbol kejayaan leluhur

dimasa silam, sehingga jangan ada orang lain yang mengganggu

meskipun dengan cara membeli dengan harga yang layak.

3) Dimensi Psikomonumentif, yaitu tanah sebagai harga diri, warisan,

monument keluarga, sehingga jangan ada orang lain yang mengganggu

(Supiryoko,1994).

Dalam masyarakat Karo, ukuran kekayaan seseorang itu adalah tanah yang

lebar. Semua kekayaan itu kelak akan diwariskan kepada anak laki-laki di keluarga itu

sendiri.. anak perempuan tidak memiliki hak untuk meminta bagian dari warisan tersebut,

dan seandainya pun anak perempuan mendapatkan warisan itu dinamakan pemberian

(perkuah ate) kalimbubu (saudara laki-laki). Hal ini disebabkan karena masyarakat Karo

menganut sistem kekerabatan patrilineal.

Garis keturunan patrilineal adalah yang menghitung hubungan

kekerabatan melalui orang laki-laki saja dank arena itu mengakibatkan bahwa tiap-tiap

individu dalam masyarakat semua kaum kerabat ayahnya masuk dalam batas hubungan

kerabatnya, sedangkan semua kaum kerabat ibunya jauh di luar batas itu (Konjaraningrat,

1967:124, dalam Helenta hal 6). Garis keturunan laki-laki akan musnah atau hilang jika

tidak ada anak laki-laki yang dilahirkan. Fungsi utama anak laki-laki dalam masyarakat

Karo adalah sebagai penerus keturunan (marga) dan sebagai penerima harta warisan

(15)

saudara laki-lakinya hanya dapat digunakan semasa hidup saudara perempuannya dan

tidak bisa dijadikan sebagai hak miliknya.

Dari hal tersebut lah biasanya akan muncul konflik. Memang konflik yang

timbul bukan dalam waktu yang singkat, justru sebaliknya akan timbul dalam jangka

waktu yang cukup lama, yaitu ketika pihak peminjam tanah itu sudah meninggal dan

pemberi tanah pinjaman juga sudah meninggal atau lebih jelasnya konflik itu bermula

dari keturunan mereka masing-masing. Keturunan saudara laki-laki nya akan meminta

kembali tanah yang dulu nya pernah diberikan orang tua nya kepada kepada keturunan

saudara perempuan ayah mereka, sedangkan keturunan dari pihak saudara perempuan

merasa bahwa tanah itu sudah menjadi hak milik mereka, karena sudah sangat lama

mereka lah yang mengelolanya seperti milik sendiri. Dari sinilah akan timbul konflik

internal dalam keluarga besar masing-masing.

Konflik perebutan tanah warisan adalah jenis konflik yang paling sering

muncul di kalangan masyarakat Karo. Konflik tanah muncul karena adanya perbedaan

dalam hal batas tanah, adanya perbedaan pandangan dalam pembagian warisan dan

perbedaan pandangan dalam bukti kepemilikan. Konflik juga dapat terjadi karena

lemahnya administrasi pertanahan di tingkat pedesaan.

Berdasarkan catatan fakta di lapangan di temukan beberapa kasus

mengenai perebutan tanah warisan. Dari hasil wawancara dengan tokoh adat, diketahui

bahwa konflik yang terjadi pada masyarakat desa Kuta Rayat ini disebabkan karena tidak

adanya bukti otentik pemberian warisan terhadap keturunan perempuan, sehimgga kurang

dihargai oleh keturunan laki-laki. Kebudayaan masyarakat Karo yang merasa keberatan

(16)

konflik. Pada umumnya, pembagian warisan dalam masyarakat Karo dilakukan ketika

orang tua dalam keluarga sudah meninggal dunia. Konflik perebutan tanah warisan ini

biasanya terjadi pada beberapa generasi berikutnya, dengan alasan merasa tidak puas

terhadap aturan-aturan yang sudah berlaku selama ini. Adapun pihak-pihak yang

berkonflik dalam perebutan tanah warisan tersebut adalah antara sesama saudara

kandung, antar saudara sepupu yang ayahnya bersaudara kandung, konflik dengan

saudara kandung ayahnya, konflik antar saudara laki-laki dan saudara perempuan, konflik

antara keturunan saudara laki-laki nya dengan keturunan saudara perempuannya, dan

juga antara paman dan keponakannya.

Penulis merasa tertarik untuk mengkaji permasalahan konflik di kalangan

masyarakat Karo, disebabkan karena penulis melihat bahwa pembahasan kasus konflik

yang ada selama ini kurang mendetail, sehingga dalam tulisan ini juga penulis ingin

mengkaji bagaimana sebenarnya proses terjadinya konflik dalam masyarakat Karo dan

bagaimana penyelesaian konflik tersebut di lakukan. Dalam penyelesaian konflik tanah

pada masyarakat Karo, mungkin agak berbeda dengan kasus konflik pada masyarakat

lainnya. Hal ini disebabkan karena dalam masyarakat Karo, ikut berperan nya “dalikan

sitelu” ( tungku yang berkaki tiga), yaitu senina, kalimbubu, dan anak beru dalam

penyelesaiaan konflik tanah tersebut.

1.2. Perumusan Masalah

Agar penelitian dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, maka penulis

(17)

dan dengan apa ( Arikanto, 2002:22). Berdasarkan uraian diatas, maka perumusan

masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Apakah faktor-faktor penyebab terjadinya konflik perebutan tanah

warisan?

2. Bagaimana penyelesaian konflik tanah tersebut dilakukan?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk memgetahui dan menganalisis bagaimana proses terjadinya konflik

tanah pada masyarakat Karo.

2. Untuk mengetahui bagaimana penyelesaian konflik tanah tersebut

dilakukan.

1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah:

1. Untuk melatih kemempuan akademis sekaligus penerapan ilmu

pengetahuan sosiologis yang telah di peroleh penulis.

2. Sebagai bahan rujukan bagi peneliti selanjutnya yang mempunyai

ketertarikan dengan masalah penelitian ini.

1.4.2. Manfaat Praktis

(18)

2. Data-data peneliian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi perumus

kebijakan dan instansi terkait.

3. Hasil penelitian ini dapat memberi masukan bagi warga yang terlibat

dalam konflik.

1.5. Defenisi Konsep

Dalam sebuah penelitian ilmiah, defenisi konsep sangat di perlukan untuk

mempermudah dan memfokuskan penelitian. Konsep adalah defenisi, suatu abstaksi

mengenai gejala atau realita suatu pengertian yang nantinya akan menjelaskan suatu

gejala. Di samping mempermudah dan memfokuskan penelitian, konsep juga berfungsi

sebagai panduan bagi peneliti untuk menindaklanjuti kasus tersebut serta menghindari

timbulnya kekacauan akibat kesalahan penafsiran dalam penelitian.

Konsep-konsep penting dalam penelitian ini adalah:

Konflik tanah adalah perbedaan kepentingan antara berbagai pihak, baik individu maupun kelompok yang memiliki tujuan atau

maksud yang tidak sejalan terhadap satuan bidang tanah/ wilayah

daratan tertentu yang menimbulkan perselisihan dan

benturan-benturan.

Tanah warisan adalah warisan nenek moyang yang diperuntukkan bagi warga desa tertentu, tanah komunal yang tidak di perjual

belikan, warga hanya punya hak kelola saja bukan hak untuk

(19)

Suku Karo adalah suku bangsa yang berasal dari dataran tinggi Karo, dan ada sebagian yang menyebar (merantau) keseluruh

pelosok tanah air. Suku Karo yang di maksud dalam peelitian ini

adalah penduduk desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran

Kabupaten Karo.

Resolusi konflik adalah upaya-upaya yang menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan-hubungan baru

yang bisa tahan lama diantara kelompok-kelompok yang

bermusuhan. Resolusi konflik mengacu pada strategi-strategi untuk

menangani konflik terbuka dengan harapan tidak hanya mencapai

suatu kesepakatan mengskhiri kekerasan (penyelesaian konflik),

tetapi juga mencapai suatu resolusi dari berbagai perbedaan

sasaran yang menjadi penyebabnya (Fisher, 2001:7-8). Dalam

penelitian ini yang dimaksud sebagai resolusi konflik adalah upaya

yang dilakukan oleh warga untuk menyelesaikan konflik dan

mencapai kesepakatan yang bisa diterima oleh pihak-pihak yang

terlibat dalam konflik.

Daliken Sitelu adalah tungku yang tiga (Daliken = batu tungku, Si = yang, Telu tiga). Arti ini menunjuk pada kenyataan bahwa untuk

menjalankan kehidupan sehari-hari, masyarakat tidak lepas dari

yang namanya tungku untuk menyalakan api (memasak). Lalu

(20)

Karo tidak lepas dari tiga kekerabatan ini. Namun ada pula yang

mengartikannya sebagai sangkep nggeluh (kelengkapan hidup).

Garis Keturunan Patrilineal adalah suatu adat masyarakat yang mengatur alur keturunan berasal dari piha

seringkali disamakan dengan patriarkhat atau patriarkhi,

meskipun pada dasarnya artinya berbeda. Patrilineal berasal dari

dua kata, yaitu pater

(bahasa Latin) yang berarti "garis". Jadi, "patrilineal" berarti

mengikuti "garis keturunan yang ditarik dari pihak ayah".

Senina adalah mereka yang bersodara karena mempunyai merga dan submerga yang sama.

Kalimbubu adalah kelompok pemberi isteri kepada keluarga tertentu.

Anak beru adalah pihak yang mengambil isteri dari suatu keluarga tertentu untuk diperistri. Anak beru dapat terjadi secara langsung

karena mengawini wanita keluarga tertentu, dan secara tidak

langsung melalui perantaraan orang lain.

(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konflik 2.1.1. Pengertian

Menurut Soerjono Soekanto, konflik sosial adalah suatu proses social

dimana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan

menentang pihak lawan yang disertai dengan ancaman atau kekerasan Menurut teori

konflik, masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang di tandai oleh

pertentangan yang terus menerus diantara unsure-unsurnya. Teori konflik melihat bahwa

setiap elemen memberikan sumbangan terhdapa disintegrasi sosial. Teori konflik melihat

bahwa keteraturan yang terdapat dalam masyarakat itu hanyalah disebabkan karena

adanya tekanan atau pemaksaan kekuasaan dari atas golongan yang berkuasa.

Konflik sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Ketika orang

memperebutkan sebuah area, mereka tidak hanya memperebutkan sebidang tanah saja,

namun juga sumber daya alam seperti air dan hutan yang terkandung di dalamnya. Upreti

(2006) menjelaskan bahwa pada umunya orang berkompetisi untuk memperebutkan

sumber daya alam karena empat alasan utama. Pertama, karena sumber daya alam

merupakan “interconnected space” yang memungkinkan perilaku seseorang mampu

mempengaruhi perilaku orang lain. Sumber daya alam juga memiliki aspek “social

space” yang menghasilkan hubungan-hubungan tertentu diantara para pelaku. Selain itu

sumber daya alam bisa menjadi langka atau hilang sama sekali terkait dengan perubahan

(22)

daya alam pada derajat tertentu juga menjadi sebagai simbol bagi orang atau kelompok

tertentu.

Konflik merupakan kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan sering

bersifat kreatif. Konflik terjadi ketika tujuan masyarakat tidak sejalan, berbagai

perbedaan pendapat dan konflik biasanya bisa diselesaikan tanpa kekerasaan, dan sering

menghasilkan situasi yang lebih baik bagi sebagian besar atau semua pihak yang terlibat

(Fisher, 2001:4).

Dalam setiap kelompok social selalu ada benih-benih pertentangan antara

individudan individu, kelompok dan kelompok, individu atau kelompok dengan

pemerintah. Pertentangan ini biasanya berbentuk non fisik. Tetapi dapat berkembang

menjadi benturan fisik, kekerasaan dan tidak berbentuk kekerasaan. Konflik berasal dari

kata kerja Latin, yaitu configure yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik

diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok)

dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkan atau

membuatnya tidak berdaya.

Dalam teori hubungan masyarakat, Fisher menyebutkan bahwa konflik

disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, serta tidak adanya saling percaya dalam

masyarakat yang melahirkan permusuhan diantara kelompok yang berbeda dalam suatu

masyarakat. selain itu, penyebab konflik dalam masyarakat juga dapat disebabkan oleh

kebutuhan-kebutuhan dasar manusia. Dalam teori kebutuhan manusia, Fisher mengatakan

bahwa konflik yang berakar dalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia (fisik),

(23)

Hoult (1969) sebagaiman di kutip Wiradi (2000) menyebut konflik

sebagai situasi proes interaksi antara dua (atau lebih ) orang atau kelompok yang

masing-masing memperjuangkan kepentingannya atas obyek yang sama, yaitu tanah dan

benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah, seperti air dan perairan, tanaman, tambang , dan

juga udara yang berada di atas tanah yang bersangkutan. Konflik yang terjadi dapat

berupa konflik vertical, yaitu antar pemerintah , masyarakat dan swasta, antar pemerintah

pusat, pemerintah kota dan desa, serta konflik horizontal yaitu konflik antar masyarakat.

Menurut teori konflik, unsur-unsur yang terdapat di dalam masyarakat

cenderung bersifat dinamis atau sering kali mengalami perubahan. Setiap elemen-elemen

yang terdapat pada masyarakat dianggap mempunyai potensi terhadap disintegrasi sosial.

Menurut teori ini keteraturan yang terdapat dalam masyarakat hanyalah karena ada

tekanan atau pemaksaan kekuasaan dari golongan yang berkuasa. Adanya perbedaan

peran dan status di dalam masyarakat menyebabkan adanya golongan penguasa dan yang

dikuasi. Distribusi kekuasaan dan wewenang yang tidak merata menjadi faktor terjadinya

konflik sosial secara sistematis (Ritzer, 2002:26).

Dahrendrof membedakan golongan yang terlibat konflik atas tiga tipe

kelompok, yaitu kelompok semu (Quasi Group) atau sejumlah pemegang posisi dengan

kepentingan yang sama atau merupakan kumpulan dari para pemegang kekuasaan atau

jabatan dengan kepentingan yang terbentuk karena munculnya kelompok kepentingan .

kelompok yang kedua adalah kelompok kepentingan. Kelompok kepentingan terbentuk

dari kelompok semu yang lebih luas, mempunyai struktur, organisasi program, tujuan,

serta anggota yang jelas. Kelompok kepentingan ini lah yang menjadi sumber nyata

(24)

Dari berbagai jenis kelompok kepentingan inilah muncul kelompok

konflik atau kelompok yang terlibat dalam konflik kelompok aktual. Konflik yang terjadi

menyebabkan perubahan –perubahan dalam masyarakat. segera setelah kelompok konflik

muncul, kelompok tersebut akan melakukan tindakan yang menyebabkan

perubahan-perubahan dalam struktur sosial. Bila konflik itu hebat, perubahan-perubahan yang terjadi adalah

perubahan yang radikal, bila konflik itu disertai dengan tindakan kekerasan, akan terjadi

perubahan struktur secara tiba-tiba (Ritzer, 2002:156). Secara akademis, konflik tidak

harus berarti kekerasan. Konflik juga bisa berupa kompetisi untuk perebutan sumber daya

alam yang yang ketersediaanya terbatas (Pratikono, dkk,2004:29). Konflik muncul ketika

individu saling berhadapan dan bertentangan denganm kepentingan, tujuandan nilai yang

di pegang oleh masing-masing individu. Demikian juga halnya pada masyarakat Karo,

mula konflik terjadi karena adanya perebutan tanah di antara dua pihak yang masih

merupakan satu bagian keluarga besar. Mereka berkompetisi memperebutkan tanah

warisan dan masing-masing mereka mempertahankan tanah tersebut.

Secara teoritis, konflik yang terjadi dalam masyarakat dapat dibedakan

kedalam dua bentuk, yaitu konflik sosial vertikal dan horizontal. Konflik sosial vertikal

adalah konflik yang terjadi antara masyarakat dan Negara dan dapat dikatakan konflik

laten, sebab benih-benih konflik sudah ada dan telah terpendam pada masa sebelumnya.

Konflik sosial horizontal, disebabkan karena konflik antar etnis, suku, golongan, agama,

atau antar kelompok masyarakat yang dilatar belakangi oleh kecemburuan sosial yang

memang sudah terbentuk dan eksis sejak masa kolonial.

Pola konflik dibagi kedalam tiga bentuk,; pertama, konflik laten sifatnya

(25)

Kedua, konflik terbuka adalah konflik yang berakar dalam dan sangat nyata, dan

memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai macam

efeknya. Dan yang ketiga adalah, konflik di permukaan memiliki akar yang dangkal atau

tidak berakar dan muncul hanya karena kesalahpahaman mengenai sesuatu yang dapat

diatasi dengan menggunakan komunikasi (Fisher,2001:6).

Untuk menyelesaikan konflik yang terjadi dalam masyarakat, tentu kita

harus mengetahui apa yang menjadi penyebab suatu konfik itu dapat terjadi. Dalam

pandangan sosiologis, masyarakat itu selalu dalam perubahan dan setiap elemen dalam

masyarakat selalu memberikan sumbangan bagi terjadinya konflik. Collins mengatakan

bahwa konflik berakar pada masalah individual karena akar teoritisnya lebih pada

fenomenologis. Menurut Collins, konflik sebagai fokus berdasarkan landasan yang

realistik dan konflik adalah proses sentral dalam kehidupan sosial.

Salah satu penyebab terjadinya konflik adalah karena ketidakseimbangan

antara hubungan-hubungan manusia ,seperti aspek sosial, ekonomi, dan kekuasaan.

Konflik dapat juga terjadi karena adanya mobilisasi social yang memupuk keinginan

yang sama. Menurut perspektif sosiologi (Soekanto, 2002:98), konflik di dalam

masyarakat terjadi karena pribadi maupun kelompok menyadari adanya

perbedaan-perbedaan badaniah, emosi, unsure-unsur kebudayaan, pola perilaku dengan pihak lain.

Konflik atau pertentangan adalah suatu proses sosial dimana individu atau kelompok

berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan menantang pihak lawan yang disertai

dengan ancaman dan/ atau kekerasan.

Konflik yang terjadi dalam internal dalam masyarakat Karo, menjadi

(26)

yang akan bertugas mencampuri segala hal yang mungkin akan terjadi dalam urusan

penyelesaian konflik itu. Pihak anak beru adalah pihak yang paling berperan penting

dalam segala urusan dalam kehidupan adat masyarakat Karo. Pertentangan yang terjadi

dapat menyebabkan perpecahan dalam internal keluarga sendiri. Hal ini dapat terjadi

apabila penyelesaian konflik yang dilakukan tidak memuaskan kedua belah pihak,

sehingga peran anak beru sangat domonan dalam hal ini.

2.1.2. Jenis-Jenis Konflik

Soerjono Soekanto membagi konflik social menjadi lima bentuk khusus,

yaitu sebagai berikut:

1. Konflik atau pertentangan pribadi, yaitu konflik yang terjadi antara dua

individu atau lebih karena perbedaan pandangan dan sebagainya.

2. Konfli atau pertentangan rasial, yaitu konflik yang timbul akibat

perbedaan-perbedaan ras.

3. Konflik atau pertentangan antara kelas-kelas sosial, yaitu konflik yang

disebabkan adanya perbedaan kepentingan antar kelas sosial.

4. Konflik atau pertentangan politik, yaitu konflik yang terjadi akibat adanya

kepentingan atau tujuan politis seseorang atau kelompok.

5. Konflik atau pertentangan yang bersifat internasional, yaitu konflik yaqng

terjadi karena perbedaan kepentingan yang kemudian berpengaruh pada

(27)

2.1.3. Faktor Penyebab Konfik

Menurut Saiman Pakpahan, penyebab konflik dapat diklasifikasikan

menjadi dua hal. Pertama, ada penyebab identitas yang dapat dilihat berdasarkan

perbedaan ideologi, ras, etnik (kultur). Kedua, perbedaan yang dapat dilihat berdasarkan

distribusi sumber daya ekonomi, politik, social, dan hokum beserta derivasinya. Secara

penjelasan baik bersifat teori dan informasi hasil kajian menunjukkan bahwa faktor

penyebab konflik adalah karena perbedaan identitas dan distribusi sumber daya.

Kemudian, dalam hubungan dengan potensi, sumber konflik tersebut merupakan temuan

utama menunjukkan bahwa antara isu perbedaan identitas dan sumber daya saling

berinteraksi dan saling mempengaruhi. Umumnya, tidak disadari bahwa konflik yang

disebabkan perbedaan sumber daya, khususnya ekonomi, politik atau hukum dibelokkan

menjadi konflik yang bertendensi ideologi dan etnik.

Untuk menyelesaikan konflik yang terjadi dalam masyarakat, tentu kita

harus mengetahui apa yang menjadi penyebab konflik itu dapat terjadi. Dalam pandangan

sosiologi, masyarakat itu selalu dalam perubahan dan setiap elemen dalam masyarakat

selalu memberikan sumbangan bagi terjadinya konflik. Collins mengetakan bahwa

konflik berakar pada masalah individual karena akar teoritisnya lebih pada

fenomenologis. Menurut Collins, konflik sebagai fokus berdasarkan landasan yang

realiktik dan konflik adalah proses sentral dalam kehidupan sosial.

Salah satu penyebab terjadinya konflik adalah karena ketidakseimbangan

antara hubungan-hubungan manusia seperti aspek social, ekonomi dan kekuasaan.

Contohnya kurang meratanya kemakmuran dan akses yang tidak seimbang terhadp

(28)

(Mengelola konflik, hal 4). Konflik dapat juga terjadi karena adanya mobilisasi social

yang memupuk keinginan yang sama. Menurut perspektif sosiologi ( Soekanto, 2002:

98), konflik di dalam masyarakat terjadi karena pribadi maupun kelompok menyadari

adanya perbedaan-perbedaan badaniah, emosi, unsure-unsur kebudayaan pola perilaku

dengan pihak lain. Konflik atau pertentangan adalah suatu proses dimana individu atau

kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan menantang pihak lawan yang

disertai dengan ancaman atau kekerasan.

Adapun yang menjadi faktor penyebab konflik, antara lain yaitu:

1. Adanya perbedan individu yang meliputi perbedaan pendirian dan

perasaan, karena setiap manusia unik, dan mempunyai perbedaan

pendirian, perasaan satu sama lain. Perbedaan pendirian dan perasaan

ini akan menjadi satu faktor penyebab konflik social, sebab dalam

menjalani hubungan social seorang individu tidak selalu sejalan dengan

individu atau kelompoknya.

2. Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk

pribadi-pribadi yang berbeda-beda, individu sedikit banyak akan terpengaruh

oleh pola pemikiran dan pendirian kelompoknya, dan itu akan

menghasilkan suatu perbedaan individu yang dapat memicu konflik.

3. Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok, individu

memiliki latar perasaan, pendirian dan latar belakang budaya yang

berbeda. Ketika dalam waktu yang bersamaan masing-masing individu

atau kelompok memilki kepentingan yang berbeda. Kadang, orang

(29)

contoh, misalnya perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan.

Para tokoh masyarakat menganggap hutan sebagai kekayaan budaya

yang mnejadi bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga

dan tidak boleh ditebang. Para petani menebang pohon-pohon karena

dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk membuat kebun atau

ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan

kemudian kayu nya di ekspor guna mendapatkan uang dan membuka

pekerjaan. Sedangkan bagi pencinta lingkungan, hutan adalah bagian

dari lingkungan sehingga harus dijaga dan dilestarikan. Disini jelas

terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan

kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik social di

masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula

menyengkut bidang politik, ekonomi, social, dan budaya. Begitu pula

dapat terjadi antar kelompok atau antar kelompok dengan individu,

misalnya konflik antar kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi

karena perbedaan kepentingan diantara keduanya. Para buruh

menginginkan upah yang memadai, sedangkan pengusaha

menginginkan pendapatan yang besar untuk dinikmati sendiri serta

memperbesar bidang serta volume usaha mereka.

4. Faktor terjadinya konflik juga dapat disebabkan karena

perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.

Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika

(30)

tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada

masyarakat pedesan yang mengalami industrialisai yang mendadak

akan memunculkan konflik social sebab nilai-nilai lama pada

masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat

berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang

berubah itu seperti nilai kegotong royongan berganti menjadi nilai

kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis

pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan

struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai

kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang

pamanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi

pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam

dunia industri. Perubahan-perubahan ini jika terjadi secara cepat dan

mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial dalam

masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua

bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehidupan

masyarakat yang sudah ada.

2.2. Tahapan Konflik

Fisher, dkk menyebutkan ada beberapa alat bantu unntuk menganalisis

situasi konflik, salah satunya adalah penahapan konflik. Konflik berubah setiap saat,

melalui tahap aktivitas, intensitas, ketegangan dan kekerasan yang berbeda

(31)

1. Pra-Konflik: merupakan periode dimana terdapat suatu ketidaksesuain sasaran diantara dua pihak atau lebih, sehingga timbul konflik. Konflik

tersembunyi dari pandangan umum, meskipun salah satu pihak atau lebih

mungkin mengetahui potensi terjadi konfrontasi. Mungkin terdapat

ketegangan hubungan diantara beberapa pihak dan/ atau keinginan untuk

menghindari kontak satu sama lain.

2. Konfrontasi: pada saat ini konflik menjadi semakin terbuka. Jika hanya satu pihak yang merasa ada masalah, mungkin para pendukungnya mulai

melakukan demonstrasi atau perilaku konfrontatif lainnya.

3. Krisis: ini merupakan puncak konflik, ketika ketegangan dan/ kekerasan terjadi paling hebat. Dalam konflik skala besar, ini merupakan periode

perang, ketika orang-orang dari kedua pihak terbunuh. Komunikasi normal

diantara dua pihak kemungkinan putus, pernyataan-pernyataan umum

cenderung menuduh dan menentang pihak lainnya.

4. Akibat: kedua pihak mungkin setuju bernegosiasi dengan atau tanpa perantara. Suatu pihak yang mempunyai otoritas atau pihak ketiga yang

lebih berkuasa mungkin akan memaksa kedua pihak untuk menghentikan

pertikaian.

5. Pasca-Konflik: akhirnya situasi diselesaikan dengan cara mengakhiri berbagai konfrontasi kekerasan, ketegangan berkurang dan hubungan

mengarah lebih normal diantara kedua pihak. Namun jika isu-isu dan

(32)

tidak diatasi dengan baik, tahap ini sering kembali lagi menjadi situasi

pra-konflik.

2.3. Tipe dan Akar Permasalahan Konflik Sosial

Secara teoritis, konflik yang terjadi dalam masyarakat dapat dibedakan

menjadi dua bentuk, yaitu konflik sosial vertikal dan konflik sosial horizontal. Konflik

sosial vertikal adalah konflik yang terjadi antara masyarakat dan Negara dan dapat

dikatakan konflik latent, sebab benih-benih konflik sudah ada dan telah terpendam pada

masa sebelumnya.

Seperti di Indonesia, konflik social vertikal ini dapat dicermati dari

beberapa upaya daerah yang melepaskan diri dari belenggu pemerintahan pusat. Konflik

ini semakin tidak akan terkendali karena pendekatan penyelesaian masalah diwarnai

dengan pendekatan militer. Peranan aparat militer masih mendominasi daripada

diplomasi politik dan kultural.

Ada beberapa hal yang menjadi akar permasalahan terjadinya intensitas

konflik vertikal, khususnya di Indonesia antara lain:

1. Luapan kekecewaan dan ketidakpuasan terhdap perilaku

pemerintah dan aparatur pemerintah yang secara sistematis

mengeksploitasi sumber daya alam daerah-daerah demi

kepentingan orang-orang yang berkuasa.

2. Pemerintah pusat dengan berdalih pembangunan seringkali

semena-mena merampas dan menduduki hak-hak penduduk

(33)

3. Menurunya kepercayaan masyarakat daerah pada pemerintah

karena pemerintah tidak lagi memihak dan melayani

kepentingan-kepentingan tuntutan masyarakat tetapi secara

terencana memperdaya masyarakat.

4. Terbukannya ruas sosial (social space). Hal ini merangsang

terjadinya konflik vertikal dan tanpa disadari mendorong

masyarakat untuk bereuphoria sebagai bentuk balas dendam

atau sekedar melepas rasa ketidakpuasan pada pejabat

pemerintah.

5. Tidak tertutup kemungkinan konflik vertikal ini terjadi karena

ditunggangi oleh sekelompok elit yang rakus dan haus

kekuasaan.

Konflik sosial horizontal, disebabkan karena konfik antar etnis, suku,

golongan , agama, atau antar kelompok masyarakat yang dilatarbelakangi oleh

kecemburuan sosial yang memang sudah terbentuk dan eksis sejak masa kolonial.

Adapun hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya konflik horizontal adalah:

1. Saling mengklaim dan menguasai sumber daya alam yang mulai terbatas

akibat tekanan penduduk dan kerusakan lingkungan.

2. Kecemburuan sosial yang bersumber dari ketimpangan-ketimpangan

ekonomi anatra kaum pendatang dan penduduk lokal. Keberhasilan

(34)

lelah yang kemudian dapat mengausai pasar dan peluang ekonomi sering

dilihat sebagai penjajahan ekonomi.

3. Dorongan emosional kesukuan karena ikatan-ikatan norma tradisional.

Konflik ini dapat juga muncul disebabkan karena kefanatikan ajaran

ideologi tertentu .

4. Mudah dibakar dan dihasut oleh para dalang kerusuhan, elit politik dan

orang-orang yang haus kekuasaan.hal ini didorong oleh kualitas sumber

daya manusia yang rendah, juga diikuti oleh rendahnya kesadaran sosial.

2.4. Pola Konflik

Pola konflik dibagi kedalam tiga bentuk; pertama, konflik latent sifatnya

tersembunyi dan perlu diangkat kepermukaan sehingga dapat ditangani secara efektif.

Kedua, konflik terbuka adalah konflik yang berakar dalam dan sangat nyata, dan

memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai macam

efeknya. Ketiga, konflik dipermukaan memiliki akar yang dangkal atau tidak berakar dan

muncul hanya karena kesalahpahaman mengenai sesuatu yang dapat diatasi dengan

menggunakan komunikasi ( Fisher, 2001:6).

2.5. Dampak Konflik Sosial

Konflik sosial memiliki dampak yang bersifat positif dan negatif. Adapun dampak positif dari konflik social adalah sebagai berikut:

(35)

2. Adanya konflik menimbulkan penyesuaian kembali norma-norma dan nilai-nilai

yang berlaku dalam masyarakat.

3. Konflik dapat meningkatkan solidaritas diantara angota kelompok.

4. Konflik dapat mengurangi rasa ketergantungan terhadap individu atau kelompok.

5. Konflik dapat memunculkan kompromi baru.

Adapun dampak negatif yang ditimbulkan oleh konflik sosial adalah

sebagai berikut:

1. Konflik dapat menimbulkan keretakan hubungan antara individu dan kelompok.

2. Konflik menyebabkan rusaknya berbagai harta benda dan jatuhnya korban jiwa.

3. Konflik menyebabkan adanya perubahan kepribadian.

(36)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Adapun jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif

dengan pendekatan Studi kasus. Pendekatan kualitatif dimaksudkan untuk memahami

fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian secara holistik (utuh), misalnya

tentang perilaku, motivasi, tindakan dan sebagainya (Moleong, 2006:4-6). Metode

kualitatif digunakan dalam penelitian ini karena:

2. Penelitian ini melihat individu secara holistik (utuh),

3. Pendekatan ini menggunakan latar alamiah, dengan maksud

menggambarkan fenomena yang terjadi dengan melibatkan berbagai

metode seperti wawancara, observasi dan lain-lain.

4. Pendekatan ini bersifat emik, peneliti dapat membangun

pandanangannya sendiri tentang apa yang diteliti secara rinci.

3.2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di sebuah desa yang berada di Tanah Karo, yang

letaknya agak jauh dari kota Medan yaitu di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran.

Lokasi ini ditetapkan oleh penulis sebagai daerah untuk lokasi penelitian dengan

pertimbangan karena di desa ini sering kali terjadi konflik tanah dalam intern keluarga

(37)

3.3. Teknik Pengumpulan Data

Data penelitian digolongkan menjadi dua yaitu data primer dan data

sekunder.

1. Data Primer

Untuk mendapatkan data primer dalam penelitian inin dilakukan dengan

cara penelitian lapangan, yaitu:

a. Observasi

Observasi yaitu pengamatan langsung terhadap berbagai gejala yang

tampak pada saat penelitian.

b. Wawancara Mendalam

Wawancara mendalam merupakan proses Tanya jawab secara

langsung ditujujkan terhadap informan di lokasi penelitian dengan

menggunakan pedoman atau panduan wawancara.

2. Data Sekunder

Data sekunder yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung dari objek

penelitian. Pengumpulan data sekunder dalam penelitian dilakukan dengan cara

penelitian kepustakaan dan pencatatan dokumen, yaitu dengan mengumpulkan data dan

mengambil informasi dari buku-buku referensi, dokumen, foto, majalah, jurnal, artikel

dan internet yang dianggap relevan dengan masalah yang diteliti.

3.4. Unit Analisis Dan Informan

Adapun yang menjadi unit analisis dalam subyek penelitian ini adalah

(38)

informan dalam penelitian ini adalah pihak-pihak yang terlibat dalam konflik dan

penyelesaian konflik. Informan dipilih atas pertimbangan dan criteria tertentu yang telah

ditetapkan oleh penulis.

Dalam penelitian ini, informan diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu:

1. Informan kunci yaitu sumber informasi yang actual dalam menjelaskan

tentang masalah penelitian. Informan kunci yang akan diwawancarai yaitu

tokoh masyarakat dan tokoh adat serta ahli-ahli pertanahan.

2. Informan biasa yaitu warga biasa. Informasi yang ingin diperoleh dari

ninforman ini adalah informasi tentang konflik yang pernah terjadi di desa

ini. Adapun criteria informan ini adalah penduduk asli desa Kuta Rayat

dan telah dewasa.

3.5. Interpretasi Data

Bogdan dan Biklen (dalam Moleong,2006:248) menjelaskan analisis data

adalah upaya yang dilakukan denagn jalan bekerja dengan data, mengorganisaikan data,

memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat di kelola, mensintesiskan, membuat

ikhtisarnnya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dipelajari, dan

memeutuskan apa yang akan diceritakan kepada orang lain.

Analisis data diulai dengan menelaah data yang tersedia dari berbagai

sumber, yaitu wawancara, pengamatan yang dituliskan dalam catatan lapangan, dokumen

pribadi, dokumen resmi, gambar,foto, dan sebagainya. Setelah di baca, di pelajari, dan di

telaah, langkah berikutnya adalah mereduksi data yang dilakukan melelui abstraksi.

Abstraksi merupakan usaha membuat rangkuman yang inti, proses dan

(39)

berikutnya adalah menyusun dalam satuan-satuan. Satuan-satuan ini kemudian di

kategorikan. Berbagai kategori tersebut dilihat kaitannya satu dengan lainnya dan di

interpretasikan secara kualitatif sesuai dengan teori yang digunakan dalam penelitian.

3.6. Jadwal Penelitian

NO Jenis Kegiatan B u l a n K e -

1 2 3 4 5 6 7 8 9

1 Pra proposal X

2 Acc Judul X

3 Penyusunan Proposal Penelitian X X

4 Seminar Proposal X

5 Revisi proposal penelitian X X

6 Penyerahan hasil seminar

proposal

X

7 Operasional penelitian X X

8 Bimbingan X X

9 Penulisan laporan akhir X X

10 Sidang meja hijau X

3.7. Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan dalam penelitian ini antara lain disebabkan karena

(40)

dimiliki informan untuk melakukan wawancara, hal ini disebabkan karena padatnya

aktivitas informan. Masyarakat di desa kuta rayat ini pada umumnya bermata pencaharian

bertani, sehingga peneliti harus menunggu informan siap untuk diwawancarai dan

peneliti harus pintar dalam menentukan waktu yang tepat untuk melakukan wawancara

dengan informan.

Walau terdapat berbagai keterbatasan , peneliti tetap berusaha semaksimal

mungkin dalam mengumpulkan berbagai informasi dari informan, serta informasi yang

(41)

BAB IV

DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN

4.1. DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

4.1.1. Sejarah Terjadinya Kampung Toraja Berneh/ Kuta Rayat Jauh SebelumTahun 1900

Menurut cerita orang tua/ nenek moyang pembentukan dan pembangunan

kampungan Toraja Berneh dilaksanakan oleh 4 golongan yaitu:

Golongan kalimbubu ( karo mergana/bermarga karo-karo)

• Golongan kalimbubu puang taneh

• Golongan anak beru • Golongan guru (dukun)

Adapun fungsi dari golongan-golongan tersebut diatas adalah sebagai berikut:

1. Golongan kalimbubu/ karo mergana , berfungsi sebagai penanggung

jawab terhadap segala peralatan yang diperlukan, termasuk peralatan

bidang keamanan dan lain-lain.

2. Golongan kalimbubu puang taneh, berfungsi sebagai hakim tertinggi dan

penasehat.

3. Golongan anak beru, berfungsi sebagai pelaksana pembentukan/

pembangunan kampung toraja berneh, pelaksana pembangunan rumah

darurat, pelaksana keamanan, pelaksasa perhubungan , dan pelaksana

(42)

4. Golongan guru (dukun), berfungsi sebagai penentu kapan waktu dimulai

pelaksanaan pembentukan kampung toraja berneh, yang sekarang dikenal

dengan Kuta Rayat. Selain itu guru juga berfungsi menyelidiki

tanda-tanda penyakit yang bakal terjadi yang merupakan menjadi penghalang

dalam pembentukan kampung nantinya, sehingga guru juga harus

menyediakan obat-obatan untuk berbagai jenis penyakit yang dianggap

bakal muncul.

Dari hasil keputusan musyarah keempat golongan tersebut, maka anak

beru mulai melaksanakan hasil keputusan itu. Keputusan pertama dimana kalimbubu

karo mergana menunjuk tempat pembentukan kampung toraja berneh yang diadakan di

lingkungan Tambak Emas lebih kurang 1 km sebelah timur dari desa ini. Kondisi desa ini

awalnya bagaikan hutan belantara yang dihuni oleh binatang buas dan berbisa, sehingga

golongan anak beru dibekali obatan oleh kalimbubu karo mergana seperti

obat-obatan dan semapang kuno. Setelah selesai penebangan maka dibuatlah perumahan

darurat dan mereka pun menanam padi disana.

Setelah kampong Toraja Berneh di Tambak Emas didiami puluhan tahun,

maka terjadi persengketaan antara kampong Toraja Berneh dengan kampung lain yang

menimbulkan peperangan. Akibat kejadian itu maka terjadilah perpindahan ke pedeleng

kira-kira 0,5 km ke sebelah Tenggara dari desa ini, namun setelah didiami puluhan tahun

maka terjadi pula perpindahan ke lau njulu yaitu 0,5 km kesebelah Utara disebabkan

karena terjadinya peperangan .

Perkampungan Toraja Berneh di Lau Njulu ini berada di sebelah kanan

(43)

pemerintah orde baru, dan puluhan tahun kemudian pindah lagi kira-kira 0,5 km ke

selatan dari lau njulu tersebut. Perpindahan tersebut membawa dampak yang baik, karena

sarana lalu lintas dari Toraja Berneh kabupaten Karo ke Telagah kabupaten Langkat

semakin baik dan semakin sering dilalui.demikian sejarah terjadinya kampung Toraja

Berneh, yang sekarang lebih dikenal dengan desa Kuta Rayat.

4.1.2. Letak dan Keadaan Wilayah

4.1.2.1. Kondisi Iklim dan Letak Geografis

Kondisi iklimdi desa Kuta Rayat Kecamatan Naman Teran sangat sejuk

dan berhawa dingin. Hal ini disebabkan karena letaknya berada di ketinggian 700-1420

meter diatas permukaan laut.

4.1.2.2. Batas Wilayah dan Luas Wilayah

Batas-bats wilayah desa Kuta Rayat Kecamatan Naman Kabupaten Karo

adalah sebagai berikut:

1. Sebelah Timur berbatasan dengan desa Kebayaken

2. Sebelah Barat berbatasan dengan desa kuta gugung

3. Sebelah Utara berbatasan dengan Hutan Negara

4. Sebelah Tenggara berbatasan dengan desa Singgarang-Garang.

Luas wilayah administrative dari desa kuta Rayat adalah sekitar 14,1 km2

atau sekitar 16,18% dari luas keseluruhan dari Kecamatan Naman Teran. Kecamatan

Naman Teran merupakan salah satu dari 17 Kecamatan yang ada di kabupaten Karo

(44)

Kecamatan Naman Teran dibentuk atas dasar Perda No. 04 tahun 2005,

dimana Simpang Empat dimekarkan menjadi 3 (tiga ) kecamatan yaitu, Kecamatan

Simpang Empat ( sebagai kecamatan induk), Kecamatan Naman Teran ( hasil

pemekaran), dan Kecamatan Merdeka ( hasil pemekaran). Kecamatan Naman Teran

dengan luas _+87,82 km2 berada pada ketinggian rata-rata 1300-1600m diatas

permukaan laut dengan temperature 16-17 C.

4.1.3. Komposisi Penduduk

4.1.3.1. Komposisi Penduduk Berdasarkan Suku

Tabel 4.1

Persentase penduduk menurut suku

NO Suku Jumlah Persentase

1 Karo 1500 85

2 Jawa 178 10

3 Batak Toba 87 5

Jumlah 1765 100

Sumber: Kantor Kepala Desa Kuta Rayat, 2010

Dari martiks diatas dapat dilihat bahwa penduduk di desa Kuta Rayat tidak

hanya di hunu oleh suku Karo saja, namun bersifat heterogen. Suku Karo merupakan

(45)

suku Batak Toba merupakan suku pendatang ke desa Kuta Rayat tersebut, namun

sebagian ada yang menikah dengan penduduk setempat sehingga bukan lagi dianggap

sebagai pendatang.

4.1.3.2. Komposisi Penduduk berdasarkan Agama

Dilihat dari segi agama, di desa Kuta Rayat para penduduk memeluk jenis

agama yang berbeda, namun dalam kehidupan sehari-hari perilaku umat beragama

tercipta secara rukun dan saling menghormati antar pemeluk agama yang berbeda.

Adapun jenis agama yang dianut oleh penduduk desa Kuta Rayat ini dapat dilihat dalam

matriks berikut:

Table 4.2

Persentase Penduduk Menurut Agama

NO Agama Jumlah Persentase (%)

1 Kristen Protestan 794 45

2 Islam 706 40

3 Khatolik 265 15

Jumlah 1765 100

(46)

Berdasarkan matriks diatas dapat dilihat bahwa penduduk di desa Kuta

Rayat menganut agama yang tidak jauh berbeda antara Kristen Protestan yaitu 45% dan

penganut Agama Islam Sebanyak 40%, sedangkan 15% lagi dianut oleh agana Katholik.

4.1.3.3. Komposisi Penduduk berdasarkan Mata Pencaharian

Mata pencaharian adalah jenis pekerjaan yang sedang atau pernah

dilakukan seseorang yang mencirikan pekerjaan yang dilaksanakan dalam tujuan untuk

memenuhi kelangsungan hidup. Ditinjau dari segi mata pencaharian, penduduk desa Kuta

Rayat pada umunya bekerja sebagai PNS, ABRI/POLRI, dan juga sebagai pegawai

swasta.

Table 4.3

Mata Pencaharian Penduduk

Sumber: Kantor Kepala Desa Kuta Rayat,2010

NO Pekerjaan Jumlah Persentase (%)

1 Bertani 1500 85

2 PNS, ABRI/POLRI 177 10

3 Pegawai Swasta 88 5

(47)

Dari matriks diatas terlihat bahwa jenis mata pencaharian yang mayoritas

sebanyak 85% yaitu sebagai petani, karena walaupun penduduk membuka warung tetapi

tidak terlepas dari aktivitasnya sebagai petani.

4.1.3.4. Komposisi Penduduk berdasarkan Tingkat Pendidikan Table 4.4

Tingkat Pendidikan Penduduk

Sumber: Kantor Kepala Desa Kuta Rayat, 2010

Berdasarkan matriks diatas dapat diasumsikan bahwa pendidikan di desa

kuta Rayat ini masih rendah. Hal ini dilihat dari jumlah keseluruhan penduduk sebanyak

1765 jiwa, namun hanya 5% yang melanjut ke perguruan tingggi. NO Tingkat Pendidikan Jumlah Persentase (%)

1 Tidak tamat SD 177 10

2 SD 353 20

3 SMP 530 30

4 SMA 618 35

5 Perguruan Tinggi 88 5

(48)

4.1.4. Sarana dan Prasarana

4.1.4.1. Sarana Kesehatan

Sarana kesehatan yang terdapat di desa Kuta Rayat hanya berjumlah 1

buah yaitu puskesmas. Pada umumnya jika masyarakat mengalami penyakit ringan,

seperti demam, flu, batuk maka kan berobat ke puskesmas, namun jika penyakit yang

dialami penduduk bersifat seris maka biasanya penduduk memilih pelayanan kesehatan

ke kota Berastagi atau ke ibukota Tanah Karo yaitu Kabanjahe.

4.1.4.2. Sarana Ibadah

Penduduk desa Kuta Rayat melaksanakan aktivitas keagamaannya di

rumah ibadah yang ada di desa Kuta Rayat ini . adapun sarana ibadah yang dijadikan

sebagai tepat untuk menjalankan ritual keagamaan adalah satu buah Mesjid untuk

peribadatan penduduk yang beragama Islam, satu buah Gereja untuk peribadatan agama

Kristen Protestan, dan agama Katholik biasanya menjalankan ibadah mereka ke Gereja di

desa tetangga yaitu desa singgarang-garang, karena di desa Kuta Rayat ini belum ada

rumah ibadah bagi agama Katholik.

4.1.4.3. Sarana Pendidikan

Sarana pendidikan yang ada di Desa Kuta Rayat sangat terbatas, yaitu satu

sekolah untuk taman kanak-kanak dan satu buah sekolah dasar. Hal ini tidak berarti tidak

terdapat sarana pendidikan untuk SMP dan SMA. Anak yang ingin melanjutkan

pendidikannya ke SMP biasanya sekolah di sdesa Singgarang-garang, SMP Naman

(49)

pendidikan ke SMA biasanya sekolah di Berastagi dan Kabanjahe dan ada sebagian kecil

ke SMA Negeri 1 Simpang Empat di desa Sibintun.

4.2. PENYAJIAN DAN INTERPRETASI DATA

Untuk mendapatkan data mengenai Perebutan Tanah Warisan pada

Masyarakat Karo, maka peneliti melakukan wawancara terhadap pihak yang mengalami

perebutan tanah warisan di desa Kuta Rayat, kecamatan Naman Teran ini. Adapun

informan yang diwawancarai adalah sebagai berikut:

4.2.1. Profil Informan yang mengalami Konflik Perebutan Tanah Warisan

4.2.1.1. A. Sitepu

A. Sitepu adalah seorang petani di desa Kuta rayat dan saat ini sudah

berusia 70 tahun. Informan pernah mengalami konflik perebutan tanah dengan saudara

kandungnya. Konflik perebutan tanah yang dialaminya terjadi 8 tahun yang lalu.

Informan mengaku bahwa konflik ini terjadi disebabkan karena ketidakpuasan salah satu

pihak terhadap pembagian tanah warisan. Saudara A.Sitepu merupakan pihak yang

merasa keberatan atas pembagian tanah tersebut, sehingga mempermaslahkannya setelah

beberapa tahun kemudian. A. sitepu menganggap bahwa pembagian tanah warisan itu

sudah adil, dan tidak setuju jika saudara nya tersebut meminta kembali sebagian dari

(50)

4.2.1.2. R. Ginting

R. Ginting penganut agama Protestan dan sudah berusia 60 tahun.

Informan lahir di desa Kuta Rayat ini dan memenuhi kebutuhan hidupnya dengan

berprofesi sebagai petani di desa Kuta Rayat. Informan memiliki 4 orang putra dan 2

orang putri. Keenam anak informan ini juga berdomisili disekitar desa Kuta Rayat ini.

Informan mengaku bahwa nenek moyangnya juga berprofesi sebagai petani dan termasuk

anak beru kuta. Informan mengalami konflik perebutan tanah warisan disebabkan karena

ketidaksesuaian pembagian tanah warisan. R. Ginting berharap agar pembagian tanah

warisan itu harus dilihat berdasarkan luas lahan, letak lahan dan juga tingkat kesuburan

tanah. Informan mengaku kecewa jika tanah yang letaknya strategis ( dekat dengan jalan

raya) disamakan pembagiannya dengan tanah yang letaknya terisolir.

4.2.1.3. P. Sitepu

P. Sitepu merupakan pihak penggugat dari kasus konflik perebutan tanah

warisan ini. Saat ini informan sudah berusia 60 tahun dan pernah menjabat sebagai

anggota legislatif di pemerintahan kabupaten Karo. Ketika menjabat sebagai wakil

rakyat, informan mengaku meninggalkan kampung halamannya dan memberi

kepercayaan kepada bere-bere nya (anak dari saudara perempuannya) untuk mengelola

tanah miliknya. Akan tetapi ketika informan kembali pulang ke kampung halaman

setelah puluhan tahun kemudian dan meminta tanah yang tadinya di pinjamkan kepada

bere-bere nya mengalami permasalahan. Bere-bere nya tidak bersedia

mengembalikannya dan sudah dianggapnya sebagai miliknya, sehingga terjadilah

(51)

4.2.1.4. S. Sitepu

S. Sitepu penganut agama Islam dan sudah berusia 50 Tahun, memiliki 5

Putri dan tidak memiliki Putra. Konflik perebutan tanah yang dialami informan

disebabkan karena pihak saudaranya merebut tanah warisan yang diberikan kepadanya.

Alasan saudarannya mengambil tanah warisan yang seharusnnya hak miliknya ini

disebabkan karena informan tidak memilki keturunan laki-laki. Dimana diketahui bahwa

masyarakat karo lebih menghargai keberadaan anak laki-laki dibandingkan anak

perempuan, karena laki-lai dianggap sebagai penerus garis keturunan dan dianggap

sebagai pihak yang berhak mendapatkan harta warisan. Informan mengaku tidak setuju

dengan perlakuan saudaranya ini.

4.2.1.5. R. Br Ginting

R. Br Ginting adalah salah satu pihak penggugat yang berhasil. Informan

mengalami konflik perebutan tanah warisan dengan saudara laki-lakinya. Ketika

pembagian harta warisan sudah tercapai kesepakatan antar berbagai pihak, namun setelah

berjalan 6 tahun saudara laki-laki informan ingin menguasai tanah R Br Ginting. Saudara

laki-laki informan menganggap dirinya lebih berkuasa untuk memiliki semua asset

sepeninggalan orang tua mereka, disebabkan karena posisinya sebagai laki-laki dan

menggganggap bahwa saudara perempuannya tidak berhak atas tanah tersebut.

Perempuan berusia 45 tahun ini merasa puas dengan keputusan pengadilan yang berpihak

(52)

4.2.1.6. A. Ginting

Hari jumat, tepatnya pukul 19.30 wib penulis berkunjung ke rumah salah

satu informan yaitu A. Ginting. Malam itu, informan baru saja selesai makan malam dan

mempersilahkan penulis untuk masuk. Penulis mengutarakn tujuan dan meminta kepada

informan agar memberikan informasi yang dibutuhkan oleh penulis. Informan bersedia

untuk diwawancarai dan memberikan informasi sesuai dengan apa yang diketahuinya.

.Informan mengaku bahwa dirinya adalah pihak yang digugat oleh

saudaranya. Informan mengatakan bahwa tanah yang berkasus itu adalah miliknya, dan

merasa wajar jika tidak bersedia memberikan kepada siapapun termasuk saudaranya

sendiri. Konflik perebutan tanah warisan ini sudah berlangsung selama 2 tahun terakhir.

Pria berusia 45 tahun ini menegaskan akan tetap mempertahankan apa yang dianggapnya

menjadi hak nya.

4.2.1.7. Pj. Sitepu

Pj. Sitepu adalah pihak penggugat dalam kasus perebutan tanah warisan.

Penulis melakukan wawancara terhadap informan ketika informan sedang berada di

ladang dan saat itu informan baru saja selesai makan siang. Informan pun

mempersilahkan penulis untuk melakukan wawancara setelah penulis menjelaskan

tujuannya untuk melakukan wawancara. Informan mengalami kasus perebutan tanah

warisan ini 2 tahun yang lalu.

Konflik ini terjadi disebabkan karena saudara sepupunya tidak

(53)

dalam membagikan tanah tersebut tidak hanya melihat luas tanah yang dibagikan, namun

harus juga memperhatikan letak tanah warisan yang dibagikan tersebut, ungkap informan

kepada penulis.

4.2.1.8. J. Sembiring

Pria berusia 60 tahun ini memiliki 1 putra dan 3 putri, mengalami kasus

perebutan tanah warisan 5 tahun yang lalu. Informan merupakan pihak tergugat oleh anak

saudara kandungnya. Informan mengatakan kepada penulis bahwa anak saudara nya

tersebut meminta sebagaian tanah yang menjadi haknya dan mengakui bahwa tanah

tersebut adalah bagian ayahnya,sehingga akhirnya berujung dengan konflik. J. Sembiring

berprofesi sebagai petani, namun saat ini informan mengurangi aktivitasnya untuk

bertani, mengingat usiannya sudah cukup tua.

4.2.1.9. P. Sembiring

Hari senin, tepatnya pukul 19.30 wib penulis berkunjung ke rumah P.

Sembiring. Letak rumah informan yang berdekatan dengan tempat tinggal penulis ketika

melkukan penelitian ini mempermudah proses wawancara. Hal ini disebabkan karena

sebelumnya informan juga sudah pernah bebincang dengan penulis pada awal kedatangan

penulis ke desa ini. Proses wawancara pun berjalan secara lancar, dan informan juga

bersemangat menjawab pertanyaan-pertanyaan dari penulis.

Informan mengaku mengalami kasus perebutan tanah warisan disebabkan

keegoisan saudara kandungnya. Sebenarnya sudah ada kesepakatn pada awalnya ketika

(54)

menggugatnya karena menganggap bahwa tidak adilnya pembagian tanah warisan

tersebut diantara mereka.

4.2.1.10. Ar. Sitepu

Ar. Sitepu adalah salah satu pihak tergugat dalam kasus konflik tanah ini.

Informan digugat oleh saudara perempuannya, karena diduga mengambil tanah warisan

yang seharusnya milik saudara perempuannya tersebut. Ar. Sitepu menegaskan bahwa

diri nya lah yang lebih berhak atas tanah tersebut, mengingat masyarakat karo menganut

system kekerabatan patrilineal. Dalam hal ini , informan mengatakan perempuan

sebenarnya tidak berhak mendapatkan tanah warisan karena mereka juga akan

mendapatkannya dari suami mereka. Pria berusia 45 tahun ini menambahkan bahwa

biasanya harta warisan yang diterima oleh saudara perempuannya adalah berupa perkuah

ate ( pemberian karena belas kasihan) dari saudara laki-laki nya.

4.3. Faktor- Faktor Penyebab terjadinya Konflik Perebutan Tanah Warisan Pada Masyarakat Karo

Menurut Dedy Armayadi (2008:60), ada tiga akar permasalahan yang

melandasi konflik lahan, pertama adalah adanya penggunaan lahan milik orang lain oleh

seseorang yang tidak jelas proses penafsiran pemerolehannya oleh masing-masing orang.

Si pengguna kadang-kadang berpendapat bahwa lahan tersebut telah diminta dan menjadi

miliknya, tetapi sipemilik asal berpendapat bahwa lahan tersebut hanya dipinjamkan;

kedua, adanya proses jual beli lahan warisan oleh salah seorang ahli waris yang tidak

Gambar

Tabel 4.1 Persentase penduduk menurut suku
Table 4.2 Persentase Penduduk Menurut Agama
Table 4.3
Table 4.4 Tingkat Pendidikan Penduduk
+5

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa representasi sosial tentang pemena pada Masyarakat Desa Gunung adalah bahwa pemena merupakan Agama Suku Karo, pemena

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah penulis uraikan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa Persepsi Masyarakat Tentang Penyebab Konflik Antara Masyarakat

Hasil penelitian menunjukkan bahwa representasi sosial tentang pemena pada Masyarakat Desa Gunung adalah bahwa pemena merupakan Agama Suku Karo, pemena

Hasil penelitian menunjukkan bahwa representasi sosial tentang pemena pada Masyarakat Desa Gunung adalah bahwa pemena merupakan Agama Suku Karo, pemena

Status kepemilikan tanah warisan dapat beralih menjadi tanah pelaba pura dalam masyarakat hukum adat di Bali karena Beralih agama menghilangkan status seseorang

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) masyarakat desa adat Bali Utara memandang bahwa konflik adat yang terjadi merupakan imbas dari ³NHWLGDNQ\DPDQDQ´

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah penulis uraikan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa Persepsi Masyarakat Tentang Penyebab Konflik Antara Masyarakat

Kedudukan anak laki laki dan perempuan suku batak karo dalam sistem pembagian harta warisan dalam budaya adat pada masyarakat desa Manuk Mulia, sistem kekerabatan bersifat patrilineal