• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jawa Shakai Ni Okeru Tingkeban Gishiki

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Jawa Shakai Ni Okeru Tingkeban Gishiki"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

JAWA SHAKAI NI OKERU TINGKEBAN GISHIKI

KERTAS KARYA

DIKERJAKAN O

L E H

SUFRIANI SAGALA Nim. 072203023

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA

PROGRAM PENDIDIKAN NON-GELAR SASTRA BUDAYA DALAM BIDANG STUDI BAHASA JEPANG

(2)

JAWA SHAKAI NI OKERU TINGKEBAN GISHIKI

KERTAS KARYA

DIKERJAKAN O

L E H

SUFRIANI SAGALA Nim. 072203023

Dosen Pembimbing Dosen Pembaca

(Hj. Rani Arfianty, S.S.)

NIP. 19761110 2005 01 2 002 NIP. 19691011 2002 12 1 001 (Muhammad Pujiono, S.S, M.Hum)

Kertas karya ini diajukan kepada panitia ujian

Program pendidikan Non-Gelar Fakultas Sastra USU Medan Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Diploma III Dalam Bidang Studi Bahasa Jepang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA PROGRAM PENDIDIKAN NON-GELAR SASTRA BUDAYA DALAM BIDANG STUDI BAHASA JEPANG

(3)

Disetujui Oleh :

Program Diploma Sastra dan Budaya

Fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara

Medan

Program Studi D3 Bahasa Jepang

Ketua,

NIP 19620727 198703 2 005 Adriana Hasibuan, S.S., M.Hum

(4)

PENGESAHAN

Diterima oleh :

Panitia Ujian Program Pendidikan Non-Gelar Sastra Budaya

Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan, untuk melengkapi salah satu

syarat ujian Diploma III Bidang Studi Bahasa Jepang

Pada :

Tanggal :

Hari :

Program Diploma Sastra Budaya

Fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara

Dekan,

NIP 19650909 199403 1 004 Prof. Syaifuddin, M.A., Ph.D.

Panitia :

No. Nama Tanda Tangan

1. Adriana Hasibuan, S.S., M. Hum ( )

2. Hj. Rani Arfianty, S.S. ( )

3. Muhammad Pujiono, S.S., M. Hum ( )

(5)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT karena berkat

rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan kertas karya ini, sebagai syarat

kelulusan dari program Diploma III Program Studi Bahasa Jepang Fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara. Kertas karya ini berjudul “ UPACARA TINGKEBAN

PADA MASYARAKAT JAWA “.

Penulis menyadari bahwa apa yang penulis sajikan dalam kertas karya ini,

masih jauh dari sempurna baik dari segi materi maupun penulisannya. Demi

kesempurnaannya penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun

dari pembaca untuk menuju ke arah perbaikan.

Dalam penyelesaian kertas karya ini penulis banyak menerima bantuan dari

berbagai pihak yang tak ternilai harganya. Untuk itu penulis mengucapkan banyak

terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Syaifuddin, M.A.,Ph.D, selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas

Sumatera Utara .

2. Ibu Adriana Hasibuan, S.S.,M. Hum, selaku ketua jurusan Program Studi

Bahasa Jepang Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Alimansyar, S.S., selaku Dosen Wali.

4. Ibu Hj. Rani Arfianty, S.S., selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak

meluangkan waktu demi selesainya kertas karya ini.

5. Muhammad Pujiono, S.S. M.Hum, selaku Dosen pembaca.

6. Seluruh staf Pengajar Program Studi Bahasa Jepang Fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik penulis sehingga dapat

(6)

7. Teristimewa buat keluarga tercinta, ibunda, Abang Fakih, Kakak Lenni dan

Abang Azhar dan yang selalu memberikan dukungan baik berupa materi

maupun spritual sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dan

penyusunan kertas karya ini.

8. Sahabat-sahabat terdekat khususnya ( Dijah, Tya, Ratna, Bunga, Anum, Indri,

Indah, Henni, Dewi ) dan rekan mahasiswa yang telah memberikan bantuan

dan kerja sama dalam penulisan kertas karya ini.

Akhir kata penulis mengharapkan semoga kertas karya ini bermanfaat bagi

pembaca dan bagi ilmu pengetahuan.

Medan, juni 2010

Penulis

(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ... iii

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Alasan Pemilihan Judul ... 1

1.2 Pembatasan Masalah ... 2

1.3 Tujuan Penulisan ... 2

1.4 Metode Penulisan ... 2

BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT JAWA ... 3

2.1 Masyarakat Jawa ... 3

2.2 Upacara-Upacara Adat pada Masyarakat Jawa ... 3

BAB III UPACARA TINGKEBAN PADA MASYAAKAT JAWA ... 5

3.1 Upacara Tingkeban ... 5

3.2 Tahap-Tahap Persiapan ... 5

3.2.1 Kronologis Upacara ... 5

3.2.2 Peralatan dan Piranti ... 6

3.3 Pelaksanaan Upacara Tingkeban ... 12

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 14

4.1 Kesimpulan ... 14

4.2 Saran ... ... 14

(8)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Alasan Pemilihan Judul

Banyak cara untuk mengenal adat daerah atau suku daerah di suatu bangsa,

misalnya dari segi bahasa, kesenian, sistem budaya, sistem politik dan lain

sebagainya.

Kertas karya ini khusus memperkenalkan upacara adat Jawa yaitu upacara

Tingkeban. Menurut Koentjaraningrat (1984:190) pengertian upacara atau ritual

adalah sistem aktivitas atau rangkaian tindakan yang ditata oleh adat atau hukum yang

berlaku dalam masyarakat, berhubungan dengan berbagai macam peristiwa yang

biasanya terjadi dalam masyarakat yang bersangkutan. Mengingat sistem budaya

masyarakat Jawa adalah budaya yang sangat terbuka, maka pengaruh dari nasional

dan asing sangat mudah mempengaruhi perubahan upacara adat, baik positif maupun

negatif yang mengikuti perkembangan zaman.

Sebagai upacara adat, Tingkeban merupakan salah satu budaya bangsa dan

warisan hasil budi luhur nenek moyang kita yang harus kita jaga dan dilestarikan

karena di dalamnya terkandung nilai-nilai kearifan lokal. Setiap tahap dalam

pelaksanaan upacara ini memiliki makna yang diharapkan akan membawa kebaikan

bagi ibu yang sedang mengandung maupun calon bayi yang akan dilahirkan.

Berdasarkan hal tersebut penulis merasa tertarik untuk membahas tentang

upacara Tingkeban pada masyarakat Jawa. Penulis merasa banyak manfaat positif

(9)

1.2. Pembatasan Masalah

Dalam kertas karya ini penulis hanya membahas gambaran umum tentang

masyarakat Jawa dan upacara-upacara adat masyarakat Jawa. Pembahasan tentang

upacara Tingkeban, baik dari peralatan dan pelaksanaannya itu sendiri.

1.3. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulis mengangkat “ upacara Tingkeban Pada Masyarakat

Jawa” sebagai judul kertas karya adalah sebagai berikut :

1. Untuk memperkenalkan salah satu upacara adat dari salah satu suku yang

ada di Indonesia ke masyarakat umum.

2. Untuk menambah wawasan dan Pengetahuan tentang salah satu upacara

adat di Indonesia.

3. Untuk melengkapi salah satu persyaratan supaya dapat lulus dari D3

Bahasa Jepang Universitas Sumatera Utara.

1.4. Metode Penelitian

Dalam kertas karya ini penulis menggunakan metode kepustakaan. Yaitu

pengumpulan data atau informasi dengan membaca buku, dari internet yang berkaitan

(10)

BAB II

GAMBARAN UMUM MASYARAKAT JAWA

2.1. Masyarakat Jawa

Yang dimaksud orang Jawa atau masyarakat Jawa oleh Magnis-Suseno adalah

orang yang bahasa ibunya bahasa Jawa dan merupakan penduduk asli bagian tengah

dan timur pulau Jawa. Berdasarkan golongan sosial, menurut sosiolog

Koentjaraningrat, orang Jawa diklasifikasi menjadi tiga yaitu:

1. Wong cilik (orang kecil) terdiri dari petani dan mereka yang berpendapatan rendah

2. Kaum Priyayi terdiri dari pegawai dan orang-orang intelektual

3. Kaum Ningrat gaya hidupnya tidak jauh dari kaum Priyayi

Selain dibedakan golongan sosial, orang Jawa juga dibedakan atas dasar

keagamaan dalam dua kelompok yaitu:

1. Jawa Kejawen yang sering disebut abangan yang dalam kesadaran dan cara

hidupnya ditentukan oleh tradisi Jawa pra-Islam. Kaum Priyayi tradisional hampir

seluruhnya

2. Santri yang memahami dirinya sebagai Islam atau orientasinya yang kuat terhadap

agama Islam dan berusaha untuk hidup menurut ajaran Islam. dianggap Jawa

Kejawen, walaupun mereka secara resmi mengaku Islam.

Sebagian besar dari masyarakat Jawa adalah Jawa Kejawen atau Islam abangan.

Orang-orang inilah yang memelihara warisan budaya Jawa secara mendalam sebagai

kejawen.

(11)

Pada umumnya upacara adat Jawa dibagi menjadi tiga golongan. Yang pertama,

upacara adat yang berhubungan siklus kehidupan. Yaitu upacara adat sejak sebelum

manusia lahir sampai meninggal dunia. Misalnya Upacara adat pada masa hamil,

masa melahirkan, masa bayi atau kanak-kanak, masa remaja, dan masa meninggal

dunia.

Yang kedua upacara adat yang menyangkut hubungan masyarakat Jawa dengan

siklus alam, misalnya Bersih Desa, Ruwat Bumi, Memohon Hujan, Masa Panen dan

lain sebagainya.

Yang ketiga mengenai upacara adat kelembagaan, misalnya Garebeg, Labuhan,

Sekatenan, Suran dan lain-lain.

Berbagai macam upacara adat yang terdapat pada masyarakat Jawa tersebut

merupakan pencerminan bahwa semua perencanaan, tindakan, dan perbuatan telah

diatur oleh tata nilai luhur. Tata nilai luhur tersebut diwariskan secara turun temurun

dari generasi ke generasi berikut.

Setiap tata upacara adat tersebut mempunyai makna sendiri-sendiri dan sampai

sekaramg masih dilaksanakan oleh masyarakat Jawa baik yang tinggal di kota-kota

besar maupun di desa-desa. Dalam pelaksanaannya disesuaikan dengan keadaan

(12)

BAB III

UPACARA TINGKEBAN PADA MASYARAKAT JAWA

3.1. Upacara Tingkeban

Upacara Tingkeban merupakan salah satu tradisi masyarakat Jawa. Upacara

Tingkeban adalah tata cara dan tata upacara yang dilaksanakan apabila usia kehamilan

seseorang berusia tujuh bulan. Tingkeban berasal dari kisah sepasang suami istri yang

bernama Ki Sedya dan Ni Satingkep, yang menjalankan laku prihatin (brata) sampai

permohonanannya dikabulkan oleh Yang Maha kuasa. Laku prihatin itu sampai

sekarang dilestarikan menjadi acara yang disebut tingkeban. Upacara tingkeban hanya

dilaksanakan ketika seorang wanita mengandung anak pertama.

Upacara tingkeban disebut juga mitoni berasal dari kata pitu yang artinya tujuh.

Kata pitu juga mengandung doa dan harapan, semoga kehamilan ini mendapat

pitulungan atau pertolongan dari Yang Maha Kuasa, agar bayi yang dikandung

maupun ibu yang mengandung tetap diberikan kesehatan dan keselamatan.

3.2. Tahap-Tahap Persiapan

3.2.1. Kronologis Upacara Tingkeban 1. Waktu Pelaksanaan

Antara pukul 9.00 sampai dengan pukul 11.00 pagi Calon ibu mandi dan cuci

rambut yang bersih, mencerminkan kemauan yang suci dan bersih. Kira-kira pukul

15.00-16.00 siang, upacara tingkepan dapat dimulai, menurut kepercayaan pada

jam-jam itulah bidadari turun mandi. undangan sebaiknya dicantumkan lebih awal pukul

(13)

2. Hari Pelaksanaan

Biasanya dipilih hari Rabu atau hari Sabtu, tanggal 14 dan 15 tanggal Jawa,

menurut kepercayaan agar bayi yang dilahirkan memiliki cahaya yang bersinar, dan

menjadi anak yang cerdas.

3. Pelaksana yang menyirami/memandikan

Para Ibu yang jumlahnya tujuh orang, yang terdiri dari sesepuh terdekat.

Upacara dipimpin oleh ibu yang sudah berpengalaman.

Pada acara Tingkeban ini, biasanya pamangku hajat mengundang kehadiran

para tetua (sesepuh), tetangga, sanak saudara, teman kerja, dan sebagainya.

3.2.2. Peralatan dan Piranti

Peralatan berbeda dengan piranti. Peralatan mengacu pada berbagai sarana yang

digunakan dalam proses pelaksanaan upacara tingkeban. Sedangkan piranti pengganti

kata sesaji dan sebagai sarana penjamuan atau berbagai makanan yang disajikan

untuk para tamu.

a. Peralatan dan Maknanya

Peralatan adalah segala hal yang mendukung pelaksanaan tata upacara

Tingkeban. Pada upacara ini alat-alat yang dibutuhkan adalah sebagai berikut :

1. Pangaron (tempayan)

Melambangkan bahwa setiap orang hendaknya senantiasa menyucikan diri baik

lahir maupun batin.

2. Toya Suci Pewita Sari

Air suci digunakan untuk mandi calon ibu. Air suci ini diambil dari tujuh sumber.

Hal ini bertujuan agar kemana pun calon ibu pergi senantiasa diberikan

(14)

3. Sekar Setaman atau Sritaman

Sekar setaman disini bukan berarti semua bunga yang berada di taman, tatapi dapat

diwakili oleh bunga mawar, melati, kantil, atau kenanga.

4. Nyamping 7 dan Mori

Nyamping (kain jarit/jarit) berjumlah 7 untuk dipakai berganti-ganti. Ketujuh motif

dipilih dari beberapa motif yang ada sebagai berikut :

a. Sidamukti

b. Trutum

c. Sidaluhur

d. Parangkusuma

e. Semenrama

f. Udan riris

g. Cakar ayam

h. Grompol

i. Lasem

j. Dringin

Mori dipakai sebagai alas (busana dasar) sebelum berganti-ganti nyamping. Hal ini

mengandung makna bahwa segala perilaku calon ibu senantiasa dilambari dengan

hati yang bersih.

5. Dhingklik

Dhingklik adalah kursi kecil tempat duduk calon ibu.

6. Ron Kaluwih

Ron kaluwih atau daun kaluwih digunakan sebagai lambaran alas duduk calon ibu

ketika dimandikan. Daun kaluwih ini sebagai lambang harapan hidup keluarga

(15)

7. Ron Alang-alang dan Ron Kapa-kapa

Dua daun ini mengandung harapan semoga calon ibu mulai sekarang hingga saat

melahirkan dan seterusnya tidak mendapat halangan apa-apa.

8. Klasa Bangka

Klasa bangka adalah tikar yang terbuat dari anyaman daun pandan. Hal ini

melambangkan putaran hidup manusia dan lambang perjalanan manusia pada

empat dunia. Keempat dunia itu disebut catur jagad lokajanma. Catur berarti

empat, jagad berarti dunia, loka adalah tempat, dan janma adalah manusia.

9. Janur Kuning

Hal ini bermakna semua halangan telah dimusnahkan sehingga yang ditemui

adalah keselamatan.

10. Keris Pusaka Kyai Brojol dan Kunir

Keris yang digunakan oleh calon bapak disebut Kyai Brojol. Disebut Kyai Brojol

karena diharapkan jabang bayi dapat keluar dengan lancar. Pada ujung keris

ditancapkan kunir sebagai lambang penghapus mara bahaya.

11. Telur ayam

Telur terdiri dari dua bagian, yaitu kuning telur dan putih telur. Kuning telur

sebagai lambang darah dan putih telur sebagai lambang air ketuban.

12. Cengkir Gading

Cengkir gading adalah kelapa berwarna kuning dan lebih kecil daripada ukuran

kelapa biasa. Warna kuning adalah warna kemenangan, yaitu kemenangan calon

ibu dan calon bayi.

13. Klenthing

Klenthing sebagai lambang kehamilan dan air sebagai lambang ketuban dalam

(16)

14. Ayam beserta Sangkarnya

Ayam sebagai lambang bayi dan sangkar sebagai lambang perut calon ibu.

15. Siwur (gayung)

Siwur adalah gayung yang terbuat dari tempurung kelapa.

16. Rujak

Rujak yang ada biasanya rujak crobo, artinya calon bayi jangan sampai croobo

(dekil atau malas-malasan). Selain itu rujak ini dapat dinikmati pula oleh para

hadirin.

17. Dawet dan Cendol

Harapannya semoga rezeki keluarga tersebut mengalir, berkumpul, seperti cendol

yang terdapat dalam dhawet. Dawet juga melambangkan kesegaran.

b. Piranti dan Maknanya

Piranti tingkeban cukup banyak, diantaranya adalah sebagai berikut,

1. Tumpeng Tujuh beserta Lauknya

Tumpeng beserta lauknya ini melambangkan harapan kemakmuran keluarga.

2. Tumpeng Robyong dan Tumpeng Gundal

Keduanya merupakan lambang bahwa sebagai hamba Tuhan, akan senantiasa

bertakwa kepada-Nya.

3. Telur Penyu (Endhong Penyon)

Disebut endhong penyon karena mengandung harapan bahwa keluarga yang

ditingkebi memiliki sikap berani, teguh, sentosa, mandiri. Seperti halnya telur

penyu.

4. Jenang Procot

(17)

5. Clorot

Ini mengandung harapan agar keluarga memancarkan sinar (cumlorot) yang

dilambangkan dalam sekul punar.

6. Sekul Punar

Artinya kelahiran calon bayi merupakan datangnya cahaya kehidupan dalam

keluarga yang membawa kebahagiaan keluarga.

7. Jenang

Ada berbagai jenang yang digunakan sebagai piranti tingkeban, piranti tersebut

adalah sebagai berikut.

a. Jenang abang

b. Jenang putih

c. Jenang abang putih

d. Jenang palang putih

e. Jenang palang merah

f. Jenang boro-boro merah

g. Jenang boro-boro putih

h. Jeneng sungsum dan bubur sumsum

i. Jenang lare

8. Tumpeng Damar

Tumpeng damar juga berjumlah tujuh dengan harapan agar kehidupan keluarga

senantiasa mendapatkan sinar atau petunjuk dalam menggapai tujuan berumah

tangga.

(18)

Pring sedhapur dilambangkan dalam ruas bambu kecil atau cabangnya sebanyak 7

batang yang diikat. Hal ini bertujuan semoga calon ibu bapak dan calon bayi

selamat tidak ada halangan apa pun karena telah dipagari oleh pagar keselamatan.

10. Babon Angrem

Ini berarti bahwa pada saat ini seorang ibu telah mengandung untuk siap

melahirkan anaknya.

11. Pasung

Pasung melambangkan kejantanan seorang laki-laki.

12. Kupat Pletek

Kupat pletet berwujud kupat yang ddibelah pada sisi lebarnya. Pada belahannya

ditaburi abon yang melambangkan yoni (alat vital perempuan).

13. Apem

Apem berasal dari bahasa Arab ‘afawun’ yang artinya maaf. Orang yang

melahirkan hendaknya bebas dari segala tekanan termasuk dosa.

14. Cenil atau Klepon

Cenil dan klepon melambangkan harapan agar keluarga yang ditingkebi senantiasa

bersatu.

15. Srintil Thiwul

Melambangkan harapan semoga keluarga yang ditingkebi dapat hidup secara

bersahaja, tidak boros dan tidak berfoya-foya.

16. Kacang Panjang, Lobak, Kubis, Lembayung

Semua sayur-sayuran tersebut sebagai lambang kesuburan.

17. Sekul Gurih

Hal ini melambangkan pangan.

(19)

Buah-buahan berarti apa yang diinginkan mereka berdua telah mendatangkan hasil.

Semua piranti tersebut diletakkan ditempat khusus yang menyatu dihadapan

para hadirin dan duduk mengelilingi piranti.

3.3. Pelaksanaan Upacara Tingkeban

Cara pelaksanaan upacara tingkeban adalah :

1. Siraman dilakukan oleh sesepuh (orang-orang yang dituakan) sebanyak tujuh

orang, termasuk ayah dan ibu hamil yang sedang ditingkebi. Sebaliknya yang

memandikan adalah orang sudah mempunyai cucu. Setelah upacara siraman selesai,

air kendi tujuh mata air digunakan untuk mencuci muka, setelah air dalam kendi

habis, kendi dipecah.

2. kemudian memasukkan telur ayam kampung ke dalam kain (sarung) calon ibu oleh

suami melalui perut sampai pecah.

3. Setelah selesai disusul dengan berganti Nyamping sebanyak tujuh kali secara

bergantian, disertai kain putih. Kain putih sebagai dasar pakaian pertama.

4. Selanjutnya dilaksanakan pemutusan Lawe atau janur kuning yang dilingkarkan di

perut calon ibu, dilakukan calon ayah menggunakan keris Brojol yang ujungnya

diberi rempah kunir, dengan maksud agar bayi dalam kandungan akan lahir dengan

mudah.

5. Setelah selesai putus lawe, maka calon nenek dari pihak calon ibu, menggendong

kelapa gading dengan ditemani oleh ibu besan. Sebelumnya kelapa gading

diteroboskan dari atas ke dalam kain yang dipakai calon ibu lewat perut, terus ke

bawah, diterima (ditampani) oleh calon nenek, maknanya agar bayi dapat lahir

(20)

Calon ayah memecah kelapa, dengan memilih diantara dua buah kelapa gading yang

sudah digambari Kamajaya dan Kamaratih atau Harjuna dan Wara Sembodro atau

Srikandi.

6. Kemudian upacara memilih nasi kuning yang diletak di dalam takir sang suami.

Setelah itu dilanjutkan dengan upacara jual dawet dan rujak, pembayaran dengan

uang logam tiruan yang terbuat dari pecahan genteng (kreweng), yang dibentuk bulat,

seolah-olah seperti uang logam. Hasil penjualan dikumpulkan dalam kuali yang

terbuat dari tanah liat. Kuali yang berisi uang kreweng dipecah di depan pintu.

Maknanya agar anak yang dilahirkan banyak mendapat rejeki, dapat menghidupi

keluarganya dan banyak amal.

7. Setelah selesai upacara Tingkeban biasanya dilanjutkan penjamuan. Penjamuan ini

sebagai tanda syukur pemangku hajat beserta keluarga kepada Tuhan Yang Maha Esa

dan sebagai penghormatan dan terima kasih atas kehadiran dan doa restu para tamu.

(21)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan

Dari pembahasan di atas maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1) Setiap tata cara, peralatan maupun waktu dalam pelaksanaan upacara

tingkeban mempunyai makna sendiri-sendiri, yang diharapkan akan membawa

kebaikan bagi ibu yang sedang mengandung atau pun calon bayi yang akan di

lahirkan.

2) Dari penjelasan upacara tingkeban tersebut menggambarkan bahwa

pendidikan kepada anak tidak hanya dimulai setelah anak lahir maupun

dewasa, akan tetapi semenjak benih tertanam di dalam rahim sang ibu.

4.2. Saran

Dari pembahasan tentang upacara tingkeban pada masyarakat Jawa ini, penulis

menyarankan sebagai berikut :

1) Penulis menyarankan agar kita dapat lebih mengenal upacara-upacara adat

termasuk tingkeban, baik melalui media elektronik, media cetak, maupun

melihat langsung prakteknya.

2) Penulis menyarankan agar kita bisa menghargai dan melestarikan kebudayaan

kita, dengan mempraktekkannya dalam lingkungan masyarakat, agar tidak

terhapus oleh waktu dan berlanjut secara turun temurun.

3) Penulis menyarankan agar kita bisa saling menghargai dalam antar suku

bangsa. Misalnya meskipun kita tidak msyarakat Jawa, tetapi kita dapat

(22)

4) Penulis menyarankan agar pemerintah dapat secara tegas melestarikan

kebudayaan bangsa dengan membuat perundangan-undangan untuk

(23)

DAFTAR PUSTAKA

1. Pringgawidagda, Suwarna. 2003. Upacara Tingkeban. Yogyakarta: Adicita Karya

Nusa.

2. Bratawidjaja, Thomas Wiyasa. 1988. Upacara Tradisional Masyarakat Jawa.

Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

3. Utomo, Sutrisno Sastro. 2005. Upacara Daur Hidup Adat Jawa. Semarang:

Referensi

Dokumen terkait

memegang bayi.Ibu mengerti dengan penjelasan yang diberikan dan akan melakukannya. 3) Menjelaskan kepada ibu tentang manfaat ASI bagi bayi, dan menganjurkan ibu

Pada pola asuh ibu hanya praktik ibu memberi makan bayi yang berhubungan dengan pertumbuhan bayi, sedang- kan kejadian diare tidak berhubungan dengan pertum- buhan bayi yang

Warna hitam sendiri melambangkan keteguhan dan sikap kepercayaan diri yang didasari pada nilai kebaikan universal.Warna sabuk ini menjadi idaman bagi setiap karateka

ditunjukkan dari ibu-ibu yang sedang membatik, belum jadi pun menunjukkan keindahan harmoninya. Dalam scene ini, Laudya sebagai brand ambassador yang

Regresi bivariat poisson adalah metode yang tepat untuk menggambarkan jumlah kematian bayi dan jumlah kematian ibu dikarenakan kedua kasus tersebut memiliki nilai

Hal tersebut sama dengan penjelasan yang ditunjukkan pada Gambar 2, bahwa umur ibu melahirkan kurang dari 20 atau lebih dari 35 tahun cenderung melahirkan bayi dengan

Pada hakekatnya pelaksanaan ujian bagi calon dukun yang berasal dari berbagai desa dalam suatu upacara tradisi adalah suatu taraf di mana manusia sebagai masyarakat

Robert Wood Johnson Medical School, New Jersey menyatakan selain kaya akan gizi yang penting bagi pertumbuhan bayi, air susu ibu juga mengandung asam lemak yang bisa memperbaiki