JAWA SHAKAI NI OKERU TINGKEBAN GISHIKI
KERTAS KARYA
DIKERJAKAN O
L E H
SUFRIANI SAGALA Nim. 072203023
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA
PROGRAM PENDIDIKAN NON-GELAR SASTRA BUDAYA DALAM BIDANG STUDI BAHASA JEPANG
JAWA SHAKAI NI OKERU TINGKEBAN GISHIKI
KERTAS KARYA
DIKERJAKAN O
L E H
SUFRIANI SAGALA Nim. 072203023
Dosen Pembimbing Dosen Pembaca
(Hj. Rani Arfianty, S.S.)
NIP. 19761110 2005 01 2 002 NIP. 19691011 2002 12 1 001 (Muhammad Pujiono, S.S, M.Hum)
Kertas karya ini diajukan kepada panitia ujian
Program pendidikan Non-Gelar Fakultas Sastra USU Medan Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Diploma III Dalam Bidang Studi Bahasa Jepang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA PROGRAM PENDIDIKAN NON-GELAR SASTRA BUDAYA DALAM BIDANG STUDI BAHASA JEPANG
Disetujui Oleh :
Program Diploma Sastra dan Budaya
Fakultas Sastra
Universitas Sumatera Utara
Medan
Program Studi D3 Bahasa Jepang
Ketua,
NIP 19620727 198703 2 005 Adriana Hasibuan, S.S., M.Hum
PENGESAHAN
Diterima oleh :
Panitia Ujian Program Pendidikan Non-Gelar Sastra Budaya
Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan, untuk melengkapi salah satu
syarat ujian Diploma III Bidang Studi Bahasa Jepang
Pada :
Tanggal :
Hari :
Program Diploma Sastra Budaya
Fakultas Sastra
Universitas Sumatera Utara
Dekan,
NIP 19650909 199403 1 004 Prof. Syaifuddin, M.A., Ph.D.
Panitia :
No. Nama Tanda Tangan
1. Adriana Hasibuan, S.S., M. Hum ( )
2. Hj. Rani Arfianty, S.S. ( )
3. Muhammad Pujiono, S.S., M. Hum ( )
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT karena berkat
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan kertas karya ini, sebagai syarat
kelulusan dari program Diploma III Program Studi Bahasa Jepang Fakultas Sastra
Universitas Sumatera Utara. Kertas karya ini berjudul “ UPACARA TINGKEBAN
PADA MASYARAKAT JAWA “.
Penulis menyadari bahwa apa yang penulis sajikan dalam kertas karya ini,
masih jauh dari sempurna baik dari segi materi maupun penulisannya. Demi
kesempurnaannya penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun
dari pembaca untuk menuju ke arah perbaikan.
Dalam penyelesaian kertas karya ini penulis banyak menerima bantuan dari
berbagai pihak yang tak ternilai harganya. Untuk itu penulis mengucapkan banyak
terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Syaifuddin, M.A.,Ph.D, selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas
Sumatera Utara .
2. Ibu Adriana Hasibuan, S.S.,M. Hum, selaku ketua jurusan Program Studi
Bahasa Jepang Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Alimansyar, S.S., selaku Dosen Wali.
4. Ibu Hj. Rani Arfianty, S.S., selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak
meluangkan waktu demi selesainya kertas karya ini.
5. Muhammad Pujiono, S.S. M.Hum, selaku Dosen pembaca.
6. Seluruh staf Pengajar Program Studi Bahasa Jepang Fakultas Sastra
Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik penulis sehingga dapat
7. Teristimewa buat keluarga tercinta, ibunda, Abang Fakih, Kakak Lenni dan
Abang Azhar dan yang selalu memberikan dukungan baik berupa materi
maupun spritual sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dan
penyusunan kertas karya ini.
8. Sahabat-sahabat terdekat khususnya ( Dijah, Tya, Ratna, Bunga, Anum, Indri,
Indah, Henni, Dewi ) dan rekan mahasiswa yang telah memberikan bantuan
dan kerja sama dalam penulisan kertas karya ini.
Akhir kata penulis mengharapkan semoga kertas karya ini bermanfaat bagi
pembaca dan bagi ilmu pengetahuan.
Medan, juni 2010
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... ... iii
BAB I PENDAHULUAN... 1
1.1 Alasan Pemilihan Judul ... 1
1.2 Pembatasan Masalah ... 2
1.3 Tujuan Penulisan ... 2
1.4 Metode Penulisan ... 2
BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT JAWA ... 3
2.1 Masyarakat Jawa ... 3
2.2 Upacara-Upacara Adat pada Masyarakat Jawa ... 3
BAB III UPACARA TINGKEBAN PADA MASYAAKAT JAWA ... 5
3.1 Upacara Tingkeban ... 5
3.2 Tahap-Tahap Persiapan ... 5
3.2.1 Kronologis Upacara ... 5
3.2.2 Peralatan dan Piranti ... 6
3.3 Pelaksanaan Upacara Tingkeban ... 12
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 14
4.1 Kesimpulan ... 14
4.2 Saran ... ... 14
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Alasan Pemilihan Judul
Banyak cara untuk mengenal adat daerah atau suku daerah di suatu bangsa,
misalnya dari segi bahasa, kesenian, sistem budaya, sistem politik dan lain
sebagainya.
Kertas karya ini khusus memperkenalkan upacara adat Jawa yaitu upacara
Tingkeban. Menurut Koentjaraningrat (1984:190) pengertian upacara atau ritual
adalah sistem aktivitas atau rangkaian tindakan yang ditata oleh adat atau hukum yang
berlaku dalam masyarakat, berhubungan dengan berbagai macam peristiwa yang
biasanya terjadi dalam masyarakat yang bersangkutan. Mengingat sistem budaya
masyarakat Jawa adalah budaya yang sangat terbuka, maka pengaruh dari nasional
dan asing sangat mudah mempengaruhi perubahan upacara adat, baik positif maupun
negatif yang mengikuti perkembangan zaman.
Sebagai upacara adat, Tingkeban merupakan salah satu budaya bangsa dan
warisan hasil budi luhur nenek moyang kita yang harus kita jaga dan dilestarikan
karena di dalamnya terkandung nilai-nilai kearifan lokal. Setiap tahap dalam
pelaksanaan upacara ini memiliki makna yang diharapkan akan membawa kebaikan
bagi ibu yang sedang mengandung maupun calon bayi yang akan dilahirkan.
Berdasarkan hal tersebut penulis merasa tertarik untuk membahas tentang
upacara Tingkeban pada masyarakat Jawa. Penulis merasa banyak manfaat positif
1.2. Pembatasan Masalah
Dalam kertas karya ini penulis hanya membahas gambaran umum tentang
masyarakat Jawa dan upacara-upacara adat masyarakat Jawa. Pembahasan tentang
upacara Tingkeban, baik dari peralatan dan pelaksanaannya itu sendiri.
1.3. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulis mengangkat “ upacara Tingkeban Pada Masyarakat
Jawa” sebagai judul kertas karya adalah sebagai berikut :
1. Untuk memperkenalkan salah satu upacara adat dari salah satu suku yang
ada di Indonesia ke masyarakat umum.
2. Untuk menambah wawasan dan Pengetahuan tentang salah satu upacara
adat di Indonesia.
3. Untuk melengkapi salah satu persyaratan supaya dapat lulus dari D3
Bahasa Jepang Universitas Sumatera Utara.
1.4. Metode Penelitian
Dalam kertas karya ini penulis menggunakan metode kepustakaan. Yaitu
pengumpulan data atau informasi dengan membaca buku, dari internet yang berkaitan
BAB II
GAMBARAN UMUM MASYARAKAT JAWA
2.1. Masyarakat Jawa
Yang dimaksud orang Jawa atau masyarakat Jawa oleh Magnis-Suseno adalah
orang yang bahasa ibunya bahasa Jawa dan merupakan penduduk asli bagian tengah
dan timur pulau Jawa. Berdasarkan golongan sosial, menurut sosiolog
Koentjaraningrat, orang Jawa diklasifikasi menjadi tiga yaitu:
1. Wong cilik (orang kecil) terdiri dari petani dan mereka yang berpendapatan rendah
2. Kaum Priyayi terdiri dari pegawai dan orang-orang intelektual
3. Kaum Ningrat gaya hidupnya tidak jauh dari kaum Priyayi
Selain dibedakan golongan sosial, orang Jawa juga dibedakan atas dasar
keagamaan dalam dua kelompok yaitu:
1. Jawa Kejawen yang sering disebut abangan yang dalam kesadaran dan cara
hidupnya ditentukan oleh tradisi Jawa pra-Islam. Kaum Priyayi tradisional hampir
seluruhnya
2. Santri yang memahami dirinya sebagai Islam atau orientasinya yang kuat terhadap
agama Islam dan berusaha untuk hidup menurut ajaran Islam. dianggap Jawa
Kejawen, walaupun mereka secara resmi mengaku Islam.
Sebagian besar dari masyarakat Jawa adalah Jawa Kejawen atau Islam abangan.
Orang-orang inilah yang memelihara warisan budaya Jawa secara mendalam sebagai
kejawen.
Pada umumnya upacara adat Jawa dibagi menjadi tiga golongan. Yang pertama,
upacara adat yang berhubungan siklus kehidupan. Yaitu upacara adat sejak sebelum
manusia lahir sampai meninggal dunia. Misalnya Upacara adat pada masa hamil,
masa melahirkan, masa bayi atau kanak-kanak, masa remaja, dan masa meninggal
dunia.
Yang kedua upacara adat yang menyangkut hubungan masyarakat Jawa dengan
siklus alam, misalnya Bersih Desa, Ruwat Bumi, Memohon Hujan, Masa Panen dan
lain sebagainya.
Yang ketiga mengenai upacara adat kelembagaan, misalnya Garebeg, Labuhan,
Sekatenan, Suran dan lain-lain.
Berbagai macam upacara adat yang terdapat pada masyarakat Jawa tersebut
merupakan pencerminan bahwa semua perencanaan, tindakan, dan perbuatan telah
diatur oleh tata nilai luhur. Tata nilai luhur tersebut diwariskan secara turun temurun
dari generasi ke generasi berikut.
Setiap tata upacara adat tersebut mempunyai makna sendiri-sendiri dan sampai
sekaramg masih dilaksanakan oleh masyarakat Jawa baik yang tinggal di kota-kota
besar maupun di desa-desa. Dalam pelaksanaannya disesuaikan dengan keadaan
BAB III
UPACARA TINGKEBAN PADA MASYARAKAT JAWA
3.1. Upacara Tingkeban
Upacara Tingkeban merupakan salah satu tradisi masyarakat Jawa. Upacara
Tingkeban adalah tata cara dan tata upacara yang dilaksanakan apabila usia kehamilan
seseorang berusia tujuh bulan. Tingkeban berasal dari kisah sepasang suami istri yang
bernama Ki Sedya dan Ni Satingkep, yang menjalankan laku prihatin (brata) sampai
permohonanannya dikabulkan oleh Yang Maha kuasa. Laku prihatin itu sampai
sekarang dilestarikan menjadi acara yang disebut tingkeban. Upacara tingkeban hanya
dilaksanakan ketika seorang wanita mengandung anak pertama.
Upacara tingkeban disebut juga mitoni berasal dari kata pitu yang artinya tujuh.
Kata pitu juga mengandung doa dan harapan, semoga kehamilan ini mendapat
pitulungan atau pertolongan dari Yang Maha Kuasa, agar bayi yang dikandung
maupun ibu yang mengandung tetap diberikan kesehatan dan keselamatan.
3.2. Tahap-Tahap Persiapan
3.2.1. Kronologis Upacara Tingkeban 1. Waktu Pelaksanaan
Antara pukul 9.00 sampai dengan pukul 11.00 pagi Calon ibu mandi dan cuci
rambut yang bersih, mencerminkan kemauan yang suci dan bersih. Kira-kira pukul
15.00-16.00 siang, upacara tingkepan dapat dimulai, menurut kepercayaan pada
jam-jam itulah bidadari turun mandi. undangan sebaiknya dicantumkan lebih awal pukul
2. Hari Pelaksanaan
Biasanya dipilih hari Rabu atau hari Sabtu, tanggal 14 dan 15 tanggal Jawa,
menurut kepercayaan agar bayi yang dilahirkan memiliki cahaya yang bersinar, dan
menjadi anak yang cerdas.
3. Pelaksana yang menyirami/memandikan
Para Ibu yang jumlahnya tujuh orang, yang terdiri dari sesepuh terdekat.
Upacara dipimpin oleh ibu yang sudah berpengalaman.
Pada acara Tingkeban ini, biasanya pamangku hajat mengundang kehadiran
para tetua (sesepuh), tetangga, sanak saudara, teman kerja, dan sebagainya.
3.2.2. Peralatan dan Piranti
Peralatan berbeda dengan piranti. Peralatan mengacu pada berbagai sarana yang
digunakan dalam proses pelaksanaan upacara tingkeban. Sedangkan piranti pengganti
kata sesaji dan sebagai sarana penjamuan atau berbagai makanan yang disajikan
untuk para tamu.
a. Peralatan dan Maknanya
Peralatan adalah segala hal yang mendukung pelaksanaan tata upacara
Tingkeban. Pada upacara ini alat-alat yang dibutuhkan adalah sebagai berikut :
1. Pangaron (tempayan)
Melambangkan bahwa setiap orang hendaknya senantiasa menyucikan diri baik
lahir maupun batin.
2. Toya Suci Pewita Sari
Air suci digunakan untuk mandi calon ibu. Air suci ini diambil dari tujuh sumber.
Hal ini bertujuan agar kemana pun calon ibu pergi senantiasa diberikan
3. Sekar Setaman atau Sritaman
Sekar setaman disini bukan berarti semua bunga yang berada di taman, tatapi dapat
diwakili oleh bunga mawar, melati, kantil, atau kenanga.
4. Nyamping 7 dan Mori
Nyamping (kain jarit/jarit) berjumlah 7 untuk dipakai berganti-ganti. Ketujuh motif
dipilih dari beberapa motif yang ada sebagai berikut :
a. Sidamukti
b. Trutum
c. Sidaluhur
d. Parangkusuma
e. Semenrama
f. Udan riris
g. Cakar ayam
h. Grompol
i. Lasem
j. Dringin
Mori dipakai sebagai alas (busana dasar) sebelum berganti-ganti nyamping. Hal ini
mengandung makna bahwa segala perilaku calon ibu senantiasa dilambari dengan
hati yang bersih.
5. Dhingklik
Dhingklik adalah kursi kecil tempat duduk calon ibu.
6. Ron Kaluwih
Ron kaluwih atau daun kaluwih digunakan sebagai lambaran alas duduk calon ibu
ketika dimandikan. Daun kaluwih ini sebagai lambang harapan hidup keluarga
7. Ron Alang-alang dan Ron Kapa-kapa
Dua daun ini mengandung harapan semoga calon ibu mulai sekarang hingga saat
melahirkan dan seterusnya tidak mendapat halangan apa-apa.
8. Klasa Bangka
Klasa bangka adalah tikar yang terbuat dari anyaman daun pandan. Hal ini
melambangkan putaran hidup manusia dan lambang perjalanan manusia pada
empat dunia. Keempat dunia itu disebut catur jagad lokajanma. Catur berarti
empat, jagad berarti dunia, loka adalah tempat, dan janma adalah manusia.
9. Janur Kuning
Hal ini bermakna semua halangan telah dimusnahkan sehingga yang ditemui
adalah keselamatan.
10. Keris Pusaka Kyai Brojol dan Kunir
Keris yang digunakan oleh calon bapak disebut Kyai Brojol. Disebut Kyai Brojol
karena diharapkan jabang bayi dapat keluar dengan lancar. Pada ujung keris
ditancapkan kunir sebagai lambang penghapus mara bahaya.
11. Telur ayam
Telur terdiri dari dua bagian, yaitu kuning telur dan putih telur. Kuning telur
sebagai lambang darah dan putih telur sebagai lambang air ketuban.
12. Cengkir Gading
Cengkir gading adalah kelapa berwarna kuning dan lebih kecil daripada ukuran
kelapa biasa. Warna kuning adalah warna kemenangan, yaitu kemenangan calon
ibu dan calon bayi.
13. Klenthing
Klenthing sebagai lambang kehamilan dan air sebagai lambang ketuban dalam
14. Ayam beserta Sangkarnya
Ayam sebagai lambang bayi dan sangkar sebagai lambang perut calon ibu.
15. Siwur (gayung)
Siwur adalah gayung yang terbuat dari tempurung kelapa.
16. Rujak
Rujak yang ada biasanya rujak crobo, artinya calon bayi jangan sampai croobo
(dekil atau malas-malasan). Selain itu rujak ini dapat dinikmati pula oleh para
hadirin.
17. Dawet dan Cendol
Harapannya semoga rezeki keluarga tersebut mengalir, berkumpul, seperti cendol
yang terdapat dalam dhawet. Dawet juga melambangkan kesegaran.
b. Piranti dan Maknanya
Piranti tingkeban cukup banyak, diantaranya adalah sebagai berikut,
1. Tumpeng Tujuh beserta Lauknya
Tumpeng beserta lauknya ini melambangkan harapan kemakmuran keluarga.
2. Tumpeng Robyong dan Tumpeng Gundal
Keduanya merupakan lambang bahwa sebagai hamba Tuhan, akan senantiasa
bertakwa kepada-Nya.
3. Telur Penyu (Endhong Penyon)
Disebut endhong penyon karena mengandung harapan bahwa keluarga yang
ditingkebi memiliki sikap berani, teguh, sentosa, mandiri. Seperti halnya telur
penyu.
4. Jenang Procot
5. Clorot
Ini mengandung harapan agar keluarga memancarkan sinar (cumlorot) yang
dilambangkan dalam sekul punar.
6. Sekul Punar
Artinya kelahiran calon bayi merupakan datangnya cahaya kehidupan dalam
keluarga yang membawa kebahagiaan keluarga.
7. Jenang
Ada berbagai jenang yang digunakan sebagai piranti tingkeban, piranti tersebut
adalah sebagai berikut.
a. Jenang abang
b. Jenang putih
c. Jenang abang putih
d. Jenang palang putih
e. Jenang palang merah
f. Jenang boro-boro merah
g. Jenang boro-boro putih
h. Jeneng sungsum dan bubur sumsum
i. Jenang lare
8. Tumpeng Damar
Tumpeng damar juga berjumlah tujuh dengan harapan agar kehidupan keluarga
senantiasa mendapatkan sinar atau petunjuk dalam menggapai tujuan berumah
tangga.
Pring sedhapur dilambangkan dalam ruas bambu kecil atau cabangnya sebanyak 7
batang yang diikat. Hal ini bertujuan semoga calon ibu bapak dan calon bayi
selamat tidak ada halangan apa pun karena telah dipagari oleh pagar keselamatan.
10. Babon Angrem
Ini berarti bahwa pada saat ini seorang ibu telah mengandung untuk siap
melahirkan anaknya.
11. Pasung
Pasung melambangkan kejantanan seorang laki-laki.
12. Kupat Pletek
Kupat pletet berwujud kupat yang ddibelah pada sisi lebarnya. Pada belahannya
ditaburi abon yang melambangkan yoni (alat vital perempuan).
13. Apem
Apem berasal dari bahasa Arab ‘afawun’ yang artinya maaf. Orang yang
melahirkan hendaknya bebas dari segala tekanan termasuk dosa.
14. Cenil atau Klepon
Cenil dan klepon melambangkan harapan agar keluarga yang ditingkebi senantiasa
bersatu.
15. Srintil Thiwul
Melambangkan harapan semoga keluarga yang ditingkebi dapat hidup secara
bersahaja, tidak boros dan tidak berfoya-foya.
16. Kacang Panjang, Lobak, Kubis, Lembayung
Semua sayur-sayuran tersebut sebagai lambang kesuburan.
17. Sekul Gurih
Hal ini melambangkan pangan.
Buah-buahan berarti apa yang diinginkan mereka berdua telah mendatangkan hasil.
Semua piranti tersebut diletakkan ditempat khusus yang menyatu dihadapan
para hadirin dan duduk mengelilingi piranti.
3.3. Pelaksanaan Upacara Tingkeban
Cara pelaksanaan upacara tingkeban adalah :
1. Siraman dilakukan oleh sesepuh (orang-orang yang dituakan) sebanyak tujuh
orang, termasuk ayah dan ibu hamil yang sedang ditingkebi. Sebaliknya yang
memandikan adalah orang sudah mempunyai cucu. Setelah upacara siraman selesai,
air kendi tujuh mata air digunakan untuk mencuci muka, setelah air dalam kendi
habis, kendi dipecah.
2. kemudian memasukkan telur ayam kampung ke dalam kain (sarung) calon ibu oleh
suami melalui perut sampai pecah.
3. Setelah selesai disusul dengan berganti Nyamping sebanyak tujuh kali secara
bergantian, disertai kain putih. Kain putih sebagai dasar pakaian pertama.
4. Selanjutnya dilaksanakan pemutusan Lawe atau janur kuning yang dilingkarkan di
perut calon ibu, dilakukan calon ayah menggunakan keris Brojol yang ujungnya
diberi rempah kunir, dengan maksud agar bayi dalam kandungan akan lahir dengan
mudah.
5. Setelah selesai putus lawe, maka calon nenek dari pihak calon ibu, menggendong
kelapa gading dengan ditemani oleh ibu besan. Sebelumnya kelapa gading
diteroboskan dari atas ke dalam kain yang dipakai calon ibu lewat perut, terus ke
bawah, diterima (ditampani) oleh calon nenek, maknanya agar bayi dapat lahir
Calon ayah memecah kelapa, dengan memilih diantara dua buah kelapa gading yang
sudah digambari Kamajaya dan Kamaratih atau Harjuna dan Wara Sembodro atau
Srikandi.
6. Kemudian upacara memilih nasi kuning yang diletak di dalam takir sang suami.
Setelah itu dilanjutkan dengan upacara jual dawet dan rujak, pembayaran dengan
uang logam tiruan yang terbuat dari pecahan genteng (kreweng), yang dibentuk bulat,
seolah-olah seperti uang logam. Hasil penjualan dikumpulkan dalam kuali yang
terbuat dari tanah liat. Kuali yang berisi uang kreweng dipecah di depan pintu.
Maknanya agar anak yang dilahirkan banyak mendapat rejeki, dapat menghidupi
keluarganya dan banyak amal.
7. Setelah selesai upacara Tingkeban biasanya dilanjutkan penjamuan. Penjamuan ini
sebagai tanda syukur pemangku hajat beserta keluarga kepada Tuhan Yang Maha Esa
dan sebagai penghormatan dan terima kasih atas kehadiran dan doa restu para tamu.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1) Setiap tata cara, peralatan maupun waktu dalam pelaksanaan upacara
tingkeban mempunyai makna sendiri-sendiri, yang diharapkan akan membawa
kebaikan bagi ibu yang sedang mengandung atau pun calon bayi yang akan di
lahirkan.
2) Dari penjelasan upacara tingkeban tersebut menggambarkan bahwa
pendidikan kepada anak tidak hanya dimulai setelah anak lahir maupun
dewasa, akan tetapi semenjak benih tertanam di dalam rahim sang ibu.
4.2. Saran
Dari pembahasan tentang upacara tingkeban pada masyarakat Jawa ini, penulis
menyarankan sebagai berikut :
1) Penulis menyarankan agar kita dapat lebih mengenal upacara-upacara adat
termasuk tingkeban, baik melalui media elektronik, media cetak, maupun
melihat langsung prakteknya.
2) Penulis menyarankan agar kita bisa menghargai dan melestarikan kebudayaan
kita, dengan mempraktekkannya dalam lingkungan masyarakat, agar tidak
terhapus oleh waktu dan berlanjut secara turun temurun.
3) Penulis menyarankan agar kita bisa saling menghargai dalam antar suku
bangsa. Misalnya meskipun kita tidak msyarakat Jawa, tetapi kita dapat
4) Penulis menyarankan agar pemerintah dapat secara tegas melestarikan
kebudayaan bangsa dengan membuat perundangan-undangan untuk
DAFTAR PUSTAKA
1. Pringgawidagda, Suwarna. 2003. Upacara Tingkeban. Yogyakarta: Adicita Karya
Nusa.
2. Bratawidjaja, Thomas Wiyasa. 1988. Upacara Tradisional Masyarakat Jawa.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
3. Utomo, Sutrisno Sastro. 2005. Upacara Daur Hidup Adat Jawa. Semarang: