HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL SUAMI
DENGAN KECEMASAN PADA WANITA MENOPAUSE
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi persyaratan
Ujian Sarjana Psikologi
Oleh :
MIRA NURMADINA
051301102
FAKULTAS PSIKOLOGI
Hubungan Dukungan Sosial Suami dengan Kecemasan Pada Wanita Menopause
Mira Nurmadina dan Meidriani Ayu Siregar
ABSTRAK
Dukungan sosial suami diartikan sebagai bantuan yang dapat diberikan oleh suami berupa bantuan material, informasi, maupun emosional yang dapat menimbulkan adanya perasaan dihargai dan dicintai pada istri yang menerima dukungan, sedangkan kecemasan pada wanita menopause merupakan situasi yang menimbulkan perasaan yang tidak menyenangkan dimana individu tersebut merasa gelisah, bingung dan khawatir yang disebabkan adanya berbagai perubahan fisik dan psikis yang dialaminya pada masa menopause.
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat korelasional yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara dukungan sosial suami dengan kecemasan pada wanita menopause.
Jumlah sampel penelitian ini adalah 74 wanita. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan purposive sampling. Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala model Likert yang kemudian dianalisa dengan menggunakan metode analisa korelasi. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah dua buah skala yaitu skala kecemasan yang disusun oleh peneliti berdasarkan aspek-aspek dari Blackburn & Davidson (1994) dan skala dukungan sosial suami yang disusun oleh peneliti berdasarkan aspek-aspek dari Sarafino (1998). Skala kecemasan memiliki nilai reliabilitas (rxx)=0.967
dan nilai reliabilitas skala dukungan sosial suami (rxx)=0.953.
Hasil analisa data penelitian dengan menggunakan teknik korelasi Pearson Product Moment menunjukkan koefisien korelasi (r)=-0.588 dengan p<0.01 (p=0.000) sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa ada hubungan yang sangat signifikan antara dukungan sosial suami dengan kecemasan pada wanita menopause.
Hubungan Dukungan Sosial Suami dengan Kecemasan Pada Wanita Menopause
Mira Nurmadina dan Meidriani Ayu Siregar
ABSTRACT
The social support of husband define as a helping that can be given by husband like material support, information or the emotional that can grow up the feeling to be honoured and be to individual who accept te support. The wariness is the situation that grow up and the feeling where the individual or teh person feel uneasy, confusing and worrying that caused some exchange of physics and psyche that will be felt in the menopause period.
This research is a correlation research that aims to know the correlation between the support of a husband to word to wariness by wife in the menopause period.
The total of sample is 74 woman. The sampling technique used is purposive sampling. The instrument is use in this analysis is quetioner model scale Likert and than analysed with used correlation of method.
Measuring tool used in this research is two scales that consist of anxiety scale and social support scale. The researcher created the scales based on anxiety by Blackburn and Davidson (1994) and social support from Sarafino (1998). Anxiety scale has reliability (rxx)=0.967 and reliabilility of social support
(rxx)=0.953.
The result of data analyzed which used correlation technic Pearson Product Moment shows that the coefficient correlation (r)=-0.588 with p<0.01 (p=0.000) so that researcher conclude that there is a very significant correlation between social support of a husband and anxiety in the menopause period.
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR SKEMA ... xi
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR LAMPIRAN……… ………...xi
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Perumusan Masalah ... 12
C. Tujuan Penelitian ... 12
D. Manfaat Penelitian ... 12
E. Sistematika Penulisan... 13
BAB II. LANDASAN TEORI ... 15
A. Kecemasan ... 15
1. Pengertian Kecemasan ... 15
2. Jenis-jenis Kecemasan ... 16
3. Aspek-aspek Kecemasan ... 17
4. Hal-hal yang menimbulkan Kecemasan ... 18
5. Reaksi-reaksi Kecemasan ... 19
7. Kecemasan pada Wanita Menopause ... 20
B. Dukungan Sosial ... 22
1. Pengertian Dukungan Sosial ... 22
2. Aspek-aspek Dukungan Sosial ... 23
3. Sumber-sumber Dukungan Sosial ... 26
4. Model kerja Dukungan Sosial ... 26
5. Dukungan Sosial Suami ... 27
C. Menopause ... 28
1. Pengertian Menopause ... 28
2. Tahap-tahap Menopause ... 29
3. Usia memasuki Menopause ... 30
4. Jenis-jenis Menopause ... 30
5. Gejala-gejala Menopause ... 32
D. Dewasa Madya ... 34
1. Pengertian Dewasa Madya ... 34
2. Karakteristik Dewasa Madya ... 34
3. Tugas Perkembangan Dewasa Madya ... 38
E. Hubungan Dukungan Sosial Suami dengan Kecemasan pada Wanita Menopause ... 44
D. Hipotesa Penelitian ... 46
BAB III. METODE PENELITIAN ... 47
B. Definisi Variabel Penelitian ... 47
1. Kecemasan ... 47
2. Dukungan Sosial Suami ... 48
C. Populasi, Sampel, Dan Metode Pengambilan Sampel...49
1. Populasi dan Sampel ...49
2. Metode Pengambilan Sampel ...49
3. Jumlah Sampel Penelitian ...50
D. Alat Ukur yang Digunakan ... 50
1. Skala Kecemasan ………...51
2. Skala Dukungan Sosial Suami ...52
E. Uji Coba Alat Ukur ... 53
1. Uji Validitas ... 54
2. Uji Daya Beda Aitem ... 54
3. Uji Reliabilitas ... 55
F. Hasil Uji Coba Alat Ukur ... 55
1. Hasil Uji Coba Skala Kecemasan ... 56
2. Hasil Uji Coba Skala Dukungan Sosial Suami ... 57
G. Prosedur Penelitian ... 59
1. Persiapan Penelitian ... 59
2. Pelaksanaan Penelitian ... 60
3. Tahap Pengolahan Data ... 60
H. Metode Analisa Data ... 60
2. Uji Linieritas ... 61
BAB IV ANALISA DAN INTERPRETASI DATA ... 62
A. Gambaran Subjek Penelitian ... 62
1. Usia Subjek Penelitian ... 62
2. Lamanya Menopause Subjek Penelitian ... 63
3. Pekerjaan Subjek Penelitian ... 64
4. Tingkat Pendidikan Subjek Penelitian ... 64
B. Hasil Penelitian ... 65
1. Hasil Uji Asumsi ... 65
2. Hasil Uji Analisa Data ... 67
3. Hasil Tambahan ... 74
C. Pembahasan ... 77
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 84
A. Kesimpulan ... 84
B. Saran ... 86
1. Saran Metodologis ... 86
2. Saran Praktis ... 87
DAFTAR SKEMA
Skema 1 : Fase normal kehidupan wanita ... 29
DAFTAR TABEL
Tabel 1 : Blue print skala kecemasan sebelum uji coba ... 51
Tabel 2 : Blue print skala dukungan sosial sebelum uji coba... 53
Tabel 3 : Distribusi aitem skala kecemasan setelah uji coba………...56
Tabel 4 : Distribusi item skala kecemasan untuk penelitian………...57
Tabel 5 : Distribusi item skala dukungan sosial suami setelah uji coba……….57
Tabel 6 : Distribusi item skala dukungan sosial suami untuk penelitian...58
Tabel 7 : Penyebaran subjek berdasarkan usia...62
Tabel 8 : Penyebaran subjek berdasarkan lamanya menopause……….63
Tabel 9 : Penyebaran subjek berdasarkan pekerjaan...64
Tabel 10 : Penyebaran subjek berdasarkan tingkat pendidikan……..………...65
Tabel 11 : Uji Normalitas dengan One Sample Kolmogorov-Smirnov…………66
Tabel 12 : Hasil Uji Linieritas hubungan kedua variabel…………...66
Tabel 13 : Hasil Model Summary pada Analisa Pearson ………...67
Tabel 14 : Nilai empirik dan hipotetik kecemasan...68
Tabel 15 : Kategorisasi data variabel kecemasan ………...69
Tabel 16 : Nilai empirik dan hipotetik dukungan sosial suami...71
Tabel 17 : Kategorisasi data variabel dukungan sosial suami………...71
Tabel 18 : Norma kategorisasi kecemasan pada wanita menopause...73
Tabel 19 : Kategorisasi data kecemasan pada wanita menopause...73
Tabel 20 : Norma kategorisasi dukungan sosial suami...74
Tabel 22 : Hasil Model Summary pada analisa regresi………...75
Tabel 23 : Gambaran kecemasan berdasarkan lamanya menopause...76
Tabel 24 : Gambaran kecemasan berdasarkan pekerjaan…………...76
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A : Gambaran Subjek Penelitian
Lampiran B : Reliabilitas
Lampiran C : Skala Penelitian
Lampiran D : Data Hasil Penelitian
Hubungan Dukungan Sosial Suami dengan Kecemasan Pada Wanita Menopause
Mira Nurmadina dan Meidriani Ayu Siregar
ABSTRAK
Dukungan sosial suami diartikan sebagai bantuan yang dapat diberikan oleh suami berupa bantuan material, informasi, maupun emosional yang dapat menimbulkan adanya perasaan dihargai dan dicintai pada istri yang menerima dukungan, sedangkan kecemasan pada wanita menopause merupakan situasi yang menimbulkan perasaan yang tidak menyenangkan dimana individu tersebut merasa gelisah, bingung dan khawatir yang disebabkan adanya berbagai perubahan fisik dan psikis yang dialaminya pada masa menopause.
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat korelasional yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara dukungan sosial suami dengan kecemasan pada wanita menopause.
Jumlah sampel penelitian ini adalah 74 wanita. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan purposive sampling. Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala model Likert yang kemudian dianalisa dengan menggunakan metode analisa korelasi. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah dua buah skala yaitu skala kecemasan yang disusun oleh peneliti berdasarkan aspek-aspek dari Blackburn & Davidson (1994) dan skala dukungan sosial suami yang disusun oleh peneliti berdasarkan aspek-aspek dari Sarafino (1998). Skala kecemasan memiliki nilai reliabilitas (rxx)=0.967
dan nilai reliabilitas skala dukungan sosial suami (rxx)=0.953.
Hasil analisa data penelitian dengan menggunakan teknik korelasi Pearson Product Moment menunjukkan koefisien korelasi (r)=-0.588 dengan p<0.01 (p=0.000) sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa ada hubungan yang sangat signifikan antara dukungan sosial suami dengan kecemasan pada wanita menopause.
Hubungan Dukungan Sosial Suami dengan Kecemasan Pada Wanita Menopause
Mira Nurmadina dan Meidriani Ayu Siregar
ABSTRACT
The social support of husband define as a helping that can be given by husband like material support, information or the emotional that can grow up the feeling to be honoured and be to individual who accept te support. The wariness is the situation that grow up and the feeling where the individual or teh person feel uneasy, confusing and worrying that caused some exchange of physics and psyche that will be felt in the menopause period.
This research is a correlation research that aims to know the correlation between the support of a husband to word to wariness by wife in the menopause period.
The total of sample is 74 woman. The sampling technique used is purposive sampling. The instrument is use in this analysis is quetioner model scale Likert and than analysed with used correlation of method.
Measuring tool used in this research is two scales that consist of anxiety scale and social support scale. The researcher created the scales based on anxiety by Blackburn and Davidson (1994) and social support from Sarafino (1998). Anxiety scale has reliability (rxx)=0.967 and reliabilility of social support
(rxx)=0.953.
The result of data analyzed which used correlation technic Pearson Product Moment shows that the coefficient correlation (r)=-0.588 with p<0.01 (p=0.000) so that researcher conclude that there is a very significant correlation between social support of a husband and anxiety in the menopause period.
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Dewasa madya adalah periode transisi dan jembatan antara dua generasi,
yaitu generasi muda dan generasi yang lebih tua. Usia madya merupakan masa
usia antara 40-60 tahun. Bagi kebanyakan orang, usia madya merupakan masa
dengan dua hal yang berbeda, yaitu usia madya dipandang sebagai usia yang
terbaik dalam hidup, tetapi juga merupakan masa munculnya kesadaran akan
kematian dan banyaknya waktu yang telah berlalu (Craig, 1986).
Usia madya merupakan saat untuk melihat masa lalu dan masa yang akan
datang. Masa ini menjadi saat bagi seseorang untuk mengevaluasi tujuan dan
harapan serta menentukan bagaimana cara terbaik dalam menjalani sisa waktu
dalam kehidupan mereka (Papalia, 2003). Banyak individu yang berusia 50 tahun
menganggap bahwa masa tersebut merupakan masa yang penting dalam
kehidupan mereka. Masa ini ditandai dengan adanya kemandirian, rasa aman
dalam suatu hubungan, kebebasan, penghasilan dan status sosial yang tinggi serta
kepercayaan diri (Frank dalam Dacey & Travers, 2002).
Usia madya juga merupakan saat-saat yang sibuk, dan terkadang disertai
dengan stress. Masa ini ditandai dengan beragam dan meningkatnya
tanggungjawab, bertambahnya peran yang harus dijalani, seperti menjalankan
atau memulai karir yang baru serta melakukan penyesuaian terhadap perubahan-
perubahan yang terjadi dalam kehidupan (Hurlock, 1990).
Perubahan yang dialami individu pada usia dewasa madya salah satunya
adalah perubahan seksual, yaitu andropouse yang dialami oleh pria dan
menopause pada wanita. Menopause merupakan suatu fase alamiah dimana
berakhirnya kemampuan wanita untuk bereproduksi yang ditandai dengan
berhentinya siklus menstruasi pada wanita. Secara normal wanita akan mengalami
menopause antara usia 45 tahun sampai 55 tahun, dan seorang wanita dikatakan
mengalami menopause bila siklus menstruasinya telah berhenti selama 12 bulan
(Kasdu, 2003).
Spencer & Brown (2007) mengartikan menopause sebagai suatu akhir
proses biologis dari siklus menstruasi yang terjadi karena penurunan produksi
hormon estrogen dan progesteron yang dihasilkan ovarium (indung telur). Proses
menuju menopause dimulai dengan perlambatan fungsi indung telur, lima tahun
sebelum periode menstruasi terakhir. Terdapat juga perubahan-perubahan fisik
dan emosi beberapa tahun setelah haid terakhir. Selama masa ini, terjadi
perubahan dalam keseimbangan hormon, ditandai dengan pengurangan jumlah
estrogen yang diproduksi indung telur, sehingga haid menjadi tidak teratur dan
akhirnya berhenti.
Saat seseorang memasuki masa menopause, kadar estrogennya akan turun
hingga kira-kira 80%. Selain itu saat menstruasi seseorang berhenti, tingkat
progesterone juga menurun. Perubahan hormon estrogen dan progesteron tersebut
tersebut diikuti dengan berbagai perubahan kondisi fisik maupun psikologis
wanita yang mengalaminya (Kasdu, 2003).
Data BPS (dalam Proyeksi Penduduk, 2008) menunjukkan bahwa
5.320.000 wanita Indonesia memasuki masa menopause per tahunnya, dan 68%
dari jumlah tersebut mengalami gejala-gejala menopause. Beberapa perubahan
atau gejala fisik yang dialami oleh seseorang yang memasuki masa menopause
diantaranya adalah rasa panas (hot flashes) yang timbul pada saat seseorang masih menstruasi sampai menstruasi benar-benar berhenti. Munculnya gejolak rasa
panas ini sering diawali pada daerah dada, leher, wajah dan beberapa daerah tubuh
yang lain. Mustopo (2005) mengatakan bahwa 85% wanita mengalami gejolak
rasa panas tersebut saat menopause. Selain itu kekeringan vagina yang dialami
akibat kekurangan hormon estrogen, dapat menimbulkan rasa sakit dan tidak
nyaman saat berhubungan seksual (dalam Zainuddin, 2005).
Kekurangan hormon estrogen juga menyebabkan perubahan pada kulit,
seperti munculnya kerutan dan terkadang disertai dengan jerawat, selain itu badan
juga menjadi lebih gemuk dari biasanya (Mustopo, 2005). Hal ini dapat
mengurangi kecantikan seorang wanita, sehingga wanita merasa kurang percaya
diri (dalam Retnowati, 2005).
Seseorang yang mengalami menopause juga sering berkeringat di malam
hari, sulit tidur, perubahan kesehatan mulut, kerapuhan tulang (osteoporosis), serta
penyakit-penyakit jangka panjang lainnya seperti penyakit jantung dan pembuluh
darah. Konsekuensi kesehatan yang terjadi pada menopause disebabkan oleh
tubuh seseorang. Level estrogen yang menurun selama menopause, serta
terjadinya proses penuaan alami, membuat seseorang menjadi lebih rentan
terhadap penyakit (Mustopo, 2005). Seperti yang tercatat pada tahun 2000,
dimana penyakit jantung menduduki urutan pertama penyebab kematian wanita
menopause di Amerika Serikat, dan tempat kedua diduduki oleh stroke (dalam
Kuncoro, 2004).
Perubahan fisik yang terjadi ketika menopause disertai juga dengan
beberapa gejala psikologis yang menonjol, seperti stress, frustasi dan adanya
penolakan terhadap menopause (Papalia, 2003). Namun, tidak semua orang yang
mengalami menopause merasakan hal tersebut. Beberapa wanita menganggap
menopause sebagai hal yang biasa dalam hidupnya. Mereka menganggap bahwa
setelah masa reproduksi berakhir, mereka tidak akan direpotkan lagi dengan haid
yang datang rutin setiap bulan sehingga tidak mengganggu aktivitas mereka,
terutama aktivitas yang berhubungan dengan keagamaan, misalnya ibadah shalat
bagi wanita yang beragama Islam. Ibrahim (2002) juga mengungkapkan bahwa
beberapa wanita justru menemukan kesenangan pada masa menopause, salah
satunya dengan memperkuat benteng agama. Wanita juga menunjukkan perhatian
yang lebih pada masalah agama dan kehidupan setelah kematian. Mereka
menjalankan berbagai kewajiban beribadah, mendatangi ahli agama untuk
mendapatkan bimbingan, nasihat dan penyuluhan rohani.
Penelitian yang dilakukan oleh Mathews (dalam Dacey & Travers, 2002)
juga menyatakan bahwa wanita-wanita di Israel, baik yang berasal dari budaya
menopause. Mereka memandang menopause sebagai masa perpaduan antara
integrasi, keseimbangan, kebebasan, dan kepercayaan diri.
Gejala-gejala lain yang muncul saat menopause adalah perasaan
menurunnya harga diri karena menurunnya daya tarik fisik dan seksual, mereka
merasa tidak dibutuhkan oleh suami dan anak-anak mereka, serta merasa
kehilangan femininitas karena fungsi reproduksi yang menurun (dalam Zainuddin,
2005). Dacey & Travers (2002) juga menyatakan bahwa seseorang yang
mengalami menopause sering sulit berkonsentrasi, sering lupa, kesepian, suasana
hati tidak menentu, dan sering merasa cemas.
Kecemasan adalah suatu perasaan yang tidak menyenangkan yang ditandai
dengan munculnya kegelisahan, kebingungan, ketakutan dan kekhawatiran,
dimana perasaan ini berhubungan dengan aspek-aspek subjektif dan emosi yang
hanya dapat dirasakan oleh orang yang bersangkutan, dimana akibatnya dapat
diketahui secara langsung dalam bentuk fisiologis (Calhoun dan Acocella,1995).
Budimoeljono (2004) menyatakan bahwa kecemasan biasanya diikuti dengan
meningkatnya rangsangan pada tubuh, seperti jantung berdebar-debar atau
keringat dingin.
Kecemasan yang dialami seseorang pada saat menopause erat
hubungannya dengan proses menopause itu sendiri, dimana kadar estrogen yang
mulai menurun dapat menimbulkan kecemasan (Nugroho, 2002). Mustopo (2005)
juga menyatakan bahwa kesehatan, pikiran dan ketenangan dipengaruhi oleh
hormon estrogen. Banyak wanita yang mengeluh bahwa setelah menopause
tidak hanya disebabkan oleh proses dari menopause saja, tetapi juga karena
adanya kekhawatiran dalam menghadapi situasi yang sebelumnya tidak pernah
dialami dan juga cemas akan hal-hal yang mungkin muncul menyertai
berakhirnya masa reproduksinya (Kasdu, 2003).
Seseorang yang cemas dalam menjalani menopause, pada umumnya tidak
mendapat informasi yang benar tentang menopause sehingga yang
dibayangkannya adalah efek negatif yang akan dialaminya setelah memasuki
masa menopause. Salah satunya adalah mereka cemas dengan berakhirnya
reproduksi, apalagi mereka menyadari dirinya akan menjadi tua, yang berarti
kecantikannya akan memudar. Seiring dengan itu, vitalitas dan fungsi organnya
akan menurun. Hal ini dapat menghilangkan kebanggaan dirinya sebagai wanita.
Keadaan ini dikhawatirkan dapat mempengaruhi hubungannya dengan suami
ataupun keluarga (Kasdu, 2002). Rasa takut akan hilangnya kemudaan dan
kecantikan dapat mengakibatkan adanya penolakan terhadap pasangan, pekerjaan
serta lingkungan sosial (Gunadarsa, 1991).
Banyak wanita yang takut tidak diperhatikan lagi, sehingga secara sadar
atau tidak, sebagian dari mereka yang mengalami menopause berubah menjadi
cerewet agar bisa menarik perhatian dari keluarga. Mereka menjadi lebih mudah
tersinggung dan marah terhadap sesuatu yang sebelumnya dianggap tidak
mengganggu. Perasaannya menjadi sangat sensitif terhadap sikap dan perilaku
orang-orang disekitarnya (dalam Zainuddin, 2005).
Hal senada dikemukakan oleh Kartono (1981), bahwa kecemasan adalah
dan marah, serta sering berada dalam keadaan gelisah. Papalia (2003) juga
mengemukakan bahwa gejala-gejala psikologis yang dominan muncul pada saat
menopause adalah cepat marah dan gampang tersinggung.
Seseorang yang mengalami menopause juga cemas akan keadaan atau
kondisi tubuhnya seperti pegal-pegal, cepat letih, jantung berdebar-debar, nyeri
sendi, sakit kepala, dan tidak nyaman saat buang air kecil. Selain itu kecemasan
yang dialami seseorang berhubungan dengan perubahan-perubahan fisik yang
terjadi pada dirinya. Munculnya gejala-gejala atau perubahan fisik saat
menopause dapat mengacaukan emosi, dan penurunan kadar estrogen dapat
menjadi penyebab yang mempengaruhi suasana hati dan ketenangan secara tidak
langsung (Spencer & Brown, 2007).
Gejala-gejala fisik yang terjadi selama menopause seperti perubahan
tekstur kulit, badan menjadi lebih gemuk, dan payudara yang menurun, dapat
membuat wanita kurang percaya diri sehingga takut kecantikannya akan menurun
serta khawatir suami tidak akan lagi tertarik padanya (dalam Kuncoro, 2004). Hal
ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh salah satu wanita yang telah menopause
pada tanggal 18 November 2008 berikut ini :
“ Ya cemas la pasti, apalagi saya sendiri menyadari semenjak menopause ini berat saya nambah, lebih gemukan dari sebelumnya. Takut kalau-kalau suami tidak tertarik lagi” (Fe, dalam komunikasi personal pada tanggal 18 November 2008).
Perubahan pada lapisan dinding vagina sering membuat wanita merasa
tidak bisa melakukan hubungan seks lagi, dan membuatnya cemas karena tidak
dapat memenuhi kebutuhan seksual suaminya. Reitz (1993) menyatakan bahwa
wanita merasa tidak diperdulikan oleh suaminya. Sejalan dengan hal itu mereka
sering merasakan kecemburuan yang tinggi terhadap suaminya, serta khawatir
bahwa dengan keberhasilan yang diraih, suami menginginkan seorang wanita
yang lebih muda dan menarik.
Ibrahim (2002) juga mengemukakan bahwa wanita yang mengalami
menopause juga merasa sangat minder yang disebabkan oleh
perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuhnya selama menopause, dan rasa minder
tersebut disertai dengan berbagai kecemasan dan keresahan. Selain itu Reitz
(1993) menyatakan bahwa banyak wanita menopause menggunakan obat-obatan
penenang untuk menghilangkan kecemasan dan kekhawatiran dalam dirinya.
Akibat dari fisik yang tidak nyaman dan kecemasan yang terjadi pada
masa menopause dapat menimbulkan ketegangan dan konflik batin serta
gangguan-gangguan emosional yang menjadi alasan bagi timbulnya kesehatan
mental yang kurang baik (Kartono, 1989). Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Rostiana (2004) menunjukkan bahwa kecemasan yang dirasakan oleh wanita
menopause mengakibatkan dirinya sulit untuk berkonsentrasi dalam mengerjakan
sesuatu, kesulitan dalam membuat keputusan, sering mnegalami sulit tidur serta
munculnya perasaan-perasaan seperti rasa gugup dan panik.
Kecemasan yang dialami seseorang selama menopause dipengaruhi oleh
sikap orang tersebut terhadap menopause, dimana menopause sering dilihat
sebagai sesuatu yang menakutkan bagi wanita (Dacey & Travers, 2002).
Kekhawatiran ini berawal dari pemikiran seseorang bahwa dirinya akan menjadi
merupakan salah satu fase yang harus dijalani seorang wanita dalam
kehidupannya, dan kecemasan yang mereka alami dapat menyebabkan mereka
sangat sulit menjalani masa ini (Kasdu, 2002).
Agar dapat menjalani menopause dengan baik, diperlukan kemauan diri
untuk memandang hidup sebagai sebuah harapan, dan dibutuhkan pikiran yang
positif dalam memandang setiap kejadian/ peristiwa yang dialami. Apabila
seseorang dapat berpikir secara positif, maka mereka dapat melalui masa
menopause dengan mudah. Namun sebaliknya, apabila orang tersebut berpikir
negatif tentang menopause, maka keluhan-keluhan yang muncul akan semakin
memberatkan hidupnya.
Oleh karena itu penting bagi seseorang untuk berpikir secara positif bahwa
menopause merupakan sesuatu yang sifatnya alami, sama halnya seperti fase
kehidupan yang lain. Sikap positif tersebut dapat muncul apabila ada bantuan dari
orang-orang disekitarnya (Kasdu, 2002). Selain itu beberapa penelitian
menyatakan bahwa perasaan-perasaan negatif yang dialami seseorang selama
menopause berhubungan dengan rendahnya dukungan yang diperoleh dalam
hidupnya (Dacey & Travers, 2002). Bantuan, perhatian, atau kenyamanan yang
dirasakan seseorang yang diterimanya dari orang lain disebut dengan dukungan
sosial (Cobb,dkk dalam Sarafino, 1998).
Dukungan sosial adalah keberadaan, kesediaan, dan kepedulian dari
orang-orang yang dapat diandalkan, menyayangi dan menghargai kita (Sarason, 1983).
Dukungan sosial merupakan berbagai macam dukungan yang diterima oleh
penghargaan atau harga diri, dukungan instrumental, dukungan informasi atau
dukungan dari kelompok. Adanya dukungan sosial merupakan hal yang sangat
penting bagi kesehatan dan kesejahteraan individu (Sarafino, 2002).
Reitz (1993) mengemukakan bahwa salah satu cara terbaik untuk
mengatasi kecemasan saat menopause adalah dengan berbagi dan
membicarakannya dengan orang-orang disekelilingnya, karena dengan
menceritakannya akan membuat orang tersebut lebih mudah dalam menerima
menopause. Kasdu (2002) juga menyatakan bahwa seseorang yang menjalani
masa menopause juga membutuhkan dukungan dalam bentuk informasi, seperti
pemahaman dan informasi yang benar tentang menopause, karena dengan
pengetahuan dan informasi yang benar akan membantu mereka dalam memahami
dan mempersiapkan dirinya untuk menjalani menopause dengan baik. Adanya
pemahaman bagaimana menopause dapat mempengaruhi dirinya, dapat membantu
seseorang dalam mengatasi perubahan-perubahan yang mungkin akan terjadi.
Selain itu pengetahuan yang dimiliki seseorang juga dapat mempengaruhi
sikapnya terhadap menopause.
Spencer & Brown (2007) mengemukakan bahwa dengan tetap
mempertahankan kehidupan sosial yang aktif, akan membantu seseorang dalam
mengatasi kesulitan emosi dan perasaan dalam menjalani menopause. Selain itu,
hal yang dibutuhkan oleh seseorang yang mengalami menopause adalah
pengertian dan dukungan dari keluarga dan lingkungan. Kasdu (2002) juga
menjalaninya dengan bantuan dan dukungan dari orang-orang disekitarnya, seperti
teman, keluarga dan khususnya suami.
Pengertian, penerimaan dan dukungan dari suami sangat besar artinya bagi
wanita yang menjalani menopause. Suami yang perduli dan perhatian serta dapat
diajak berbagi, akan sangat membantu seseorang dalam menjalani masa
menopausenya. Perhatian yang diperoleh akan membuatnya merasa berharga dan
dicintai oleh pasangannya. Hurlock (1990) juga menyatakan bahwa pada masa ini,
terdapat perubahan hubungan dari hubungan yang berpusat pada keluarga (family centred relationship) menjadi hubungan yang berpusat pada pasangan (pair cntred relationship), dimana hal ini menunjukkan bahwa peran pasangan sangat penting artinya dalam kehidupan.
Komunikasi dan keterbukaan diantara keduanya dapat membantu
seseorang menjalani menopausenya dengan lebih baik. Hal ini dapat terjadi
apabila permasalahan yang muncul saat menopause dibicarakan secara
bersama-sama dan dicari solusinya. Retnowati (2002) mengungkapkan bahwa keberadaan,
dukungan dan perhatian dari suami dapat membuat seorang wanita menopause
merasa dicintai dan dihargai. Kasdu (2002) juga menyatakan bahwa peran positif
dari suami akan membuat seorang wanita berpikir bahwa kehadirannya masih
sangat dibutuhkan dalam menghadapi kehidupan.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk mengetahui
B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya,
peneliti merumuskan permasalahan yang ingin diketahui dari penelitian ini yaitu
bagaimana hubungan antara dukungan sosial dengan kecemasan pada wanita
menopause.
C. TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana
hubungan antara dukungan sosial dengan kecemasan pada wanita yang mengalami
menopause.
D. MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik yang bersifat
teoritis maupun praktis.
a. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmu pengetahuan
terhadap perkembangan ilmu psikologi khususnya psikologi perkembangan
yang berkaitan dengan kecemasan dukungan sosial suami, khususnya
kecemasan menghadapi menopause.
b. Manfaat Praktis
1. Memberi informasi pada pasangan suami isteri tentang hubungan dukungan
2. Menambah wawasan masyarakat tentang hubungan dukungan sosial
dengan kecemasan pada wanita menopause dan pentingnya suatu
dukungan yang diberikan pada wanita menopause.
3. Bagi keluarga khususnya suami, diharapkan hasil penelitian ini menjadi
informasi mengenai pentingnya dukungan sosial khususnya dukungan
yang diberikan oleh pasangan dalam mengatasi kecemasan.
E. SISTEMATIKA PENELITIAN
Penelitian ini dibagi atas lima bab dengan sistematika sebagai berikut :
Bab I : Pendahuluan
Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II : Landasan Teori
Bab ini menguraikan kepustakaan yang menjadi landasan teori yang
mendasari masalah yang menjadi objek penelitian.
Bab III : Metodologi Penelitian
Bab ini menceritakan tentang metode kuantitatif yang digunakan dalam
penelitian yang meliputi identifikasi variabel penelitian, defenisi
operasional, populasi, dan metode pengambilan sampel, instrumen/ alat
ukur yang digunakan, prosedur penelitian, dan metode analisis data.
Bab IV Analisa Data dan Pembahasan
Bab ini berisi tentang hasil penelitian yang disertai dengan interpretasi
Bab V Kesimpulan dan Saran
Bab ini menguraikan kesimpulan sebagai jawaban permasalahan yang
diungkapkan berdasarkan hasil penelitian dan saran penelitian yang
BAB II
LANDASAN TEORI
A. KECEMASAN
1. Pengertian Kecemasan
Kecemasan adalah kondisi emosional yang tidak menyenangkan, yang
ditandai dengan emosi yang tidak stabil, sangat mudah tersinggung dan marah,
sering gelisah serta perasaan-perasaan subjektif seperti ketegangan, ketakutan, dan
kekhawatiran (Post, 1978). Daradjat (1990) mendefisinikan kecemasan sebagai
suatu manifestasi berbagai problem emosi yang bercampur baur, yang terjadi
ketika seseorang mengalami tekanan perasaan dan pertentangan batin (konflik).
Maramis (dalam Hermawati, 1994) mengartikan kecemasan sebagai suatu
ketegangan, rasa tidak aman, kekhawatiran yang timbul karena dirasakan akan
mengalami kejadian yang tidak menyenangkan. Kecemasan merupakan suatu
perasaan yang tidak menyenangkan yang ditandai dengan adanya kegelisahan,
kebingungan, ketakutan dan kekhawatiran, dimana perasaan ini berhubungan
dengan aspek- aspek subjektif dan emosi yang hanya dapat dirasakan oleh orang
yang bersangkutan, dimana akibatnya dapat diketahui secara langsung dalam
bentuk fisiologis (Calhoun & Acocella, 1995).
Atkinson & Hilgard (1996) menyatakan kecemasan sebagi suatu emosi
yang tidak menyenangkan yang ditandai dengan istilah seperti kekhawatiran serta
rasa takut dalam tingkatan yang berbeda-beda. Chess & Hassibi (dalam Elliot,
sebagai perasaan ketakutan dan mudah marah disertai oleh keresahan, kelelahan
dan beberapa simptom somatis seperti sakit kepala dan sakit perut. Khawatir atau
was-was adalah rasa takut yang tidak memiliki objek yang jelas atau tidak ada
objeknya sama sekali. Kekhawatiran menyebabkan rasa tidak tenang, gelisah,
tegang, tidak tenang dan tidak aman (Shaleh & Wahab, 2004).
Berdasarkan beberapa uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kecemasan
adalah suatu perasaan yang tidak menyenangkan yang muncul sebagai suatu
respon terhadap ancaman kegagalan, tekanan perasaan, konflik-konflik
ketegangan, dan perasaan tidak aman yang ditandai dengan adanya kekhawatiran
atau rasa takut dan hal ini dialami dalam tingkatan yang berbeda-beda oleh setiap
individu.
2. Jenis-jenis Kecemasan
Spielberg (1972) membagi kecemasan dalam dua bentuk, antara lain :
a. Kecemasan sesaat (state anxiety)
Merupakan dan reaksi emosi sementara yang timbul pada situasi tertentu yang
dirasakan sebagai suatu ancaman. Reaksi ini bersifat subjektif, dirasakan
dengan sadar, perasaan tegang, gelisah dan aktifnya sistem saraf otonom.
Penilaian terhadap stimulus (situasi) yang dianggap mengancam dipengaruhi
oleh sikap, kemampuan, pengalaman masa lalu dan kecemasan dasar.
b. Kecemasan dasar (trait anxiety)
Merupakan ciri atau sifat seseorang yang cukup stabil yang mengarahkan
anxiety sifatnya bawaan dan berbeda pada tiap individu. Seseorang yang memiliki trait anxiety yang tinggi memiliki kecenderungan yang tinggi pula dalam menanggapi suatu situasi sebagai ancaman.
Bucklew (dalam Tarigan, 2003) membedakan kecemasan dalam dua
bentuk, yaitu :
a. Tingkat Psikologis
Merupakan kecemasan yang berwujud gejala-gejala kejiwaan seperti tegang,
bingung, khawatir, sulit berkonsentrasi serta perasaan tidak menentu.
b. Tingkat Fisiologis
Merupakan kecemasan yang berwujud gejala-gejala fisik terutama pada fungsi
system syaraf, misalnya tidak dapat tidur, jantung berdebar-debar, keringat
dingin yang berlebihan serta perut mual.
3. Aspek-aspek Kecemasan
Blackburn & Davidson (1994) mengemukakan beberapa aspek dari
kecemasan, yaitu :
a. Suasana hati
Merupakan keadaan yang menunjukkan ketidaktenangan psikis, perasaan yang
tidak menentu, mudah marah dan perasaan tegang.
b. Pikiran
Keadaan pikiran yang tidak menentu seperti membesar-besarkan ancaman,
memandang diri sebagai sangat sensitif, rasa khawatir, sulit berkonsentrasi,
c. Motivasi
Keadaan pikiran yang tidak menentu seperti menghindari situasi,
ketergantungan yang tinggi, keinginan untuk lari dari kenyataan dan
termotivasi dari biasanya.
d. Perilaku
Keadaan diri yang tidak terkendali seperti gelisah, gugup, serta kewaspadaan
yang berlebihan.
d. Gejala biologis
Merupakan reaksi-reaksi yang tidak terkendali seperti berkeringat, gemetar,
pusing, berdebar-debar, mual dan mulut kering.
4. Hal-hal yang Menimbulkan Kecemasan
Kecemasan sering berkembang dalam jangka waktu yang panjang dan
sebagian besar tergantung pada pengalaman hidup seseorang. Peristiwa-peristiwa
atau situasi-situasi khusus dapat mempercepat munculnya serangan kecemasan.
Terdapat empat faktor utama yang mempengaruhi perkembangan pola
dasar yang menunjukkan reaksi rasa cemas (Ramaiah, 2003) :
a. Lingkungan
Lingkungan mempengaruhi bagaimana seseorang berpikir tentang diri sendiri
dan orang lain. Hal ini bisa dikarenakan oleh adanya pengalaman dengan
keluarga, sahabat, rekan kerja dan lain-lain. Kecemasan juga bisa muncul bila
b. Emosi yang ditekan
Kecemasan bisa muncul apabila seseorang tidak mampu menemukan jalan
keluar dalam suatu hubungan personal, terutama jika terdapat rasa marah dan
frustasi dalam jangka waktu yang lama.
c. Sebab-sebab fisik
Pikiran dan tubuh senantiasa berinteraksi dan dapat menyebabkan
kecemasan. Hal ini biasanya terlihat dalam kondisi-kondisi tertentu seperti
kehamilan, masa remaja, dan saat pemulihan dari suatu penyakit.
Perubahan-perubahan yang muncul dalam kondisi-kondisi tersebut dapat menimbulkan
kecemasan.
5. Reaksi-reaksi Kecemasan
Menurut Atkinson & Hilgard (1996), kecemasan yang dirasakan oleh
seseorang dapat memunculkan reaksi secara fisiologis dan psikologis, yaitu :
a. Reaksi fisiologis
Seseorang yang mengalami kecemasan, maka aktivitas salah satu atau lebih
dari organ tubuhnya akan meningkat, seperti meningkatnya detak jantung,
susah tidur, dan keringat yang berlebihan.
b. Reaksi psikologis
Merupakan reaksi berupa peningkatan atau penurunan dorongan untuk
berperilaku wajar seperti susah berkonsentrasi, gelisah, tegang, cemas, takut,
6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecemasan
Coleman (dalam Fisher, 1998) menyatakan bahwa kecemasan tergantung
pada beberapa hal seperti berikut :
a. Usia, dikarenakan usia akan mempengaruhi cara individu dalam mengevaluasi
keadaan yang menimbulkan kecemasan.
b. Pengalaman-pengalaman yang dialami individu dapat membuat individu lebih
tahan dalam menghadapi tekanan-tekanan yang dialaminya.
c. Sifat bawaan kepribadian dapat mempengaruhi penilaian terhadap situasi atau
keadaan yang mengancam ( Lazarus, 1969).
d. Perempuan lebih cemas akan ketidakmampuannya dibandingkan laki-laki.
Perempuan juga lebih cemas, kurang sabar, dan mudah mengeluarkan air
mata (Myers, 1983).
7. Kecemasan pada Wanita Menopause
Salah satu gejala psikologis yang muncul saat menopause adalah perasaan
cemas. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Robertson (dalam Retnowati,
2000) di Menopause Clinical Australia, dari 300 pasien usia menopause, terdapat
31.3 % pasien diantaranya mengalami kecemasan. Burn (1998) juga menyatakan
bahwa wanita menopause sering mengalami kecemasan, dimana kecemasan yang
muncul dapat menyebabkan seseorang sulit tidur. Kecemasan yang dialami wanita
menopause salah satunya dikarenakan adanya kekhawatiran dalam mengahadapi
situasi yang sebelumnya tidak pernah dialami dan juga cemas akan hal-hal yang
Mereka juga cemas dengan berakhirnya masa reproduksi yang dapat
menghilangkan kebanggaannya sebagai wanita, sehingga dikhawatirkan akan
mempengaruhi hubungannya dengan suami ataupun keluarganya.
Berhentinya siklus menstruasi juga sering dirasakan sebagai hilangnya
sifat inti kewanitaan, dan sebagai akibatnya timbul perasaan tidak berharga dan
tidak berarti sehingga muncul rasa khawatir bahwa orang-orang yang dicintainya
akan berpaling dan meninggalkannya (Muhammad, dalam pengertian tentang
menopause, 2003). Seseorang yang menjalani menopause juga cemas akan
kondisi tubuhnya seperti pegal-pegal, cepat letih, jantung berdebar-debar, nyeri
sendi dan sakit kepala (Spencer & Brown, 2007). Perubahan tubuh dan tekstur
kulit juga dapat membuat wanita kurang percaya diri sehingga takut
kecantikannya akan menurun serta takut suami tidak akan lagi tertarik padanya
(Kuncoro, 2004).
Supriyadi (dalam Apakah itu menopause, 2001) menyatakan bahwa
gejala-gejala psikologis pada wanita yang mengalami menopause biasanya tidak muncul
pada orang-orang di desa, melainkan pada wanita perkotaan yang mempunyai
beban pikiran yang lebih banyak. Spielberg (1972) menyatakan bahwa individu
dengan pendidikan tinggi biasanya akan memiliki kecemasan yang lebih rendah
dibandingkan dengan individu yang berpendidikan rendah. Penelitian yang
dilakukan oleh Yuliastri (2002) menunjukkan bahwa ada perbedaan kecemasan
antara wanita menopause yang bekerja dengan yang tidak bekerja, dimana wanita
yang bekerja kecemasannya lebih rendah daripada wanita yang tidak bekerja.
1. Pengertian Dukungan Sosial
Dukungan sosial (social support) didefenisikan oleh Gottlieb (1983) sebagai informasi verbal atau non-verbal, saran, bantuan yang nyata atau tingkah
laku yang diberikan oleh orang-orang yang akrab dengan subjek di dalam
lingkungan sosialnya dan hal-hal yang dapat memberikan keuntungan emosional
atau berpengaruh pada tingkah laku penerimanya. Dalam hal ini orang yang
merasa memperoleh dukungan sosial, secara emosional merasa lega karena
diperhatikan, mendapat saran atau kesan yang menyenangkan pada dirinya.
Pendapat senada dikemukakan juga oleh Sarason (1983) yang mengatakan bahwa
dukungan sosial adalah keberadaan, kesediaan, kepedulian dari orang-orang yang
dapat diandalkan, menghargai dan menyayangi kita. Rice (1987) mengartikan
dukungan sosial sebagai bantuan yang diberikan oleh pasangan (suami/istri),
orang tua dan teman-teman.
Menurut DiMatteo (1991) dukungan sosial adalah dukungan atau bantuan
yang berasal dari orang lain seperti teman, keluarga, tetangga, teman sekerja dan
orang-orang lainnya. Ordford (1992) juga menyatakan bahwa dukungan sosial
adalah sesuatu yang dimiliki oleh individu yang hanya dapat dinilai dengan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tepat kepada orang tersebut. Pendapat
lain dikemukakan oleh Johnson & Johnson (dalam Farhati & Rosyid, 1996) yang
menyatakan dukungan sosial sebagai keberadaan orang lain yang dapat
diandalkan untuk dimintai bantuan, dorongan dan penerimaan apabila individu
Pandangan yang sama juga dikemukakan oleh Cobb (dalam Sarafino,
1998) yang mendefinisikan dukungan sosial sebagai adanya kenyamanan,
perhatian, penghargaan atau menolong orang dengan sikap menerima kondisinya,
dukungan sosial tersebut diperoleh dari individu maupun kelompok. Dukungan
sosial merupakan berbagai macam dukungan yang diterima oleh seseorang dari
orang lain, dapat berupa dukungan emosional, dukungan penghargaan atau harga
diri, dukungan instrumental, dukungan informasi atau dukungan dari kelompok
(Sarafino,2002).
Dukungan sosial adalah rasa nyaman secara fisik dan emosional yang
diperoleh dari keluarga, teman-teman, rekan kerja dan lainnya. Hal yang sama
juga dikemukakan oleh Baron & Byrne (2002), bahwa dukungan sosial adalah
kenyamanan fisik dan psikologis yang diberikan oleh teman dan keluarga individu
tersebut.
Berdasarkan beberapa uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dukungan
sosial adalah bantuan atau dukungan yang diberikan oleh orang-orang di sekitar
individu yang mampu membuat individu merasa nyaman, baik secara fisik
maupun psikologis sebagai bukti bahwa mereka diperhatikan dan dicintai.
2. Aspek-Aspek Dukungan Sosial
Aspek-aspek dukungan sosial menurut Sarafino (1998) adalah sebagai
a. Dukungan penghargaan
Dukungan ini dapat berupa penghargaan positif kepada orang lain, mendorong
dan memberikan persetujuan atas ide-ide individu atau perasaannya,
memberikan semangat, dan membandingkan orang tersebut secara positif.
Individu memiliki seseorang yang dapat diajak bicara tentang masalah
mereka. Menurut Cohen dan Wills (dalam Orford, 1992) dukungan ini
ditandai dengan pernyataan terhadap individu bahwa dia dihargai dan diterima
apa adanya.
b. Dukungan emosional
Dukungan emosional merupakan dukungan yang berhubungan dengan hal
yang bersifat emosional atau menjaga kedaan emosi, afeksi atau ekspresi.
Dukungan ini meliputi ekspresi empati, kepedulian, dan perhatian pada
individu, memberikan rasa nyaman, memiliki dan perasaan dicintai. Menurut
Tolsdorf (dalam Orford, 1992) tipe dukungan ini lebih mengacu pada
pemberian semangat, kehangatan, cinta kasih dan emosi. Selain itu dukungan
ini melibatkan perhatian, rasa percaya dan empati sehingga individu merasa
berharga. Dukungan ini sangat penting dalam menghadapi keadaan yang
dianggap tidak dapat dikontrol.
c. Dukungan istrumental
Dukungan ini merupakan pemberian sesuatu berupa bantuan nyata (tangible aid) atau dukungan alat (instrumental aid). Wills (dalam Orford, 1992) menyatakan bahwa dukungan ini meliputi banyak aktivitas seperti
meminjamkan atau mendermakan uang, menyampaikan pesan, menyediakan
transportasi, membantu menyelesaikan tugas-tugas, menyediakan benda-benda
seperti perabot, alat-alat kerja dan buku-buku Dukungan ini sangat diperlukan
dalam menghadapi keadaan yang dianggap dapat dikontrol
d. Dukungan informasi
Dukungan informasi berarti memberi solusi pada suatu masalah (House dalam
Orford, 1992). Dukungan ini diberikan dengan cara menyediakan informasi,
memberikan saran secara langsung, atau umpan balik tentang kondisi individu
dan apa yang harus ia lakukan. Dukungan ini dapat membantu individu dalam
mengenali masalah yang sebenarnya. Dukungan informasi antara lain
memberikan solusi terhadap suatu masalah, memberikan nasehat, pengarahan,
saran atau feedback mengenai apa yang telah dilakukan seseorang.
e. Dukungan jaringan
Merupakan perasaan individu sebagai bagian dari kelompok. Menurut Cohen
dan Wills (dalam Orford, 1992) dukungan ini dapat berupa menghabiskan
waktu bersama dengan orang lain dalam aktivitas rekreasional di waktu
senggang. serta Dukungan ini juga dapat diberikan dalam bentuk menemani
seseorang beristirahat atau rekreasi. Dukungan ini dapat mengurangi stress
dengan memenuhi kebutuhan afiliasi dan kontak dengan orang lain, membantu
mengalihkan perhatian seseorang dari masalah yang mengganggu serta
3. Sumber-sumber Dukungan Sosial
Kahn & Antonucci (dalam Ordford, 1992) menyatakan bahwa seorang
individu dikelilingi oleh suatu pengiring yang selalu mendukung atau menyertai
individu tersebut sepanjang masa hidupnya, dimana anggota pengiring ini dapat
datang dan pergi seiring dengan berjalannya waktu. Dan peran anggota yang pergi
tersebut dapat digantikan oleh orang lain. Kahn & Antonoucci (dalam Orford,
1992) membagi sumber-sumber dukungan sosial menjadi tiga kategori yaitu :
a. Sumber dukungan sosial yang stabil sepanjang waktu perannya, yaitu yang
selalu ada sepanjang hidupnya, yang menyertai dan mendukung individu
tersebut. Misalnya keluarga dekat, pasangan (suami/isteri) atau teman dekat.
b. Sumber dukungan sosial yang berasal dari individu lain yang sedikit berperan
dalam hidupnya dan cenderung berubah sesuai sepanjang waktu. Misalnya
teman kerja, tetangga, sanak kelaurga dan teman sepergaulan.
c. Sumber dukungan sosial yang berasal dari individu lain yang sangat jarang
memberi dukungan dan memiliki peran yang sangat cepat berubah. Sumber
dukungan ini misalnya tenaga ahli/ professional dan keluarga jauh dan
sesama pekerja.
4. Model Kerja Dukungan Sosial
Ordford (1992) mengatakan bahwa untuk menjelaskan bagaimana
dukungan sosial mempengaruhi kondisi fisik dan psikologis individu, ada dua
a. Model Buffering Hypothesis
Orford (1992) mengatakan bahwa melalui model buffering hypothesis dukungan sosial bekerja dengan tujuan untuk memperkecil pengaruh dari
tekanan-tekanan atau stress yang dialami individu. Sarafino (1994) juga
menyatakan bahwa dukungan sosial mempengaruhi kondisi fisik dan
psikologis individu dengan melindungi individu tersebut dari efek negatif, dari
tekanan-tekanan yang dialaminya.
b. Model Main Effect Hypothesis atau Direct Effect Hypothesis
Menurut Banks, Ullah dan Warr (dalam Ordford, 1992) model main effect hypothesis atau direct effect hypothesis menunjukkan bahwa dukungan sosial dapat meningkatkan kesehatan fisik dan psikologis individu dengan atau tanpa
adanya tekanan-tekanan atau stress. Orang yang menerima dukungan sosial
cenderung lebih sehat dengan atau tanpa adanya tekanan-tekanan. Sarafino
(1998) juga menyatakan bahwa melalui model main effect hypothesis atau direct effect hypothesis, dukungan sosial memberikan manfaat yang sama baik dalam keadaan yang penuh dengan tekanan maupun yang tidak ada tekanan.
4. Dukungan Sosial Suami
Perubahan fisik dan emosi yang dialami seseorang selama menopause
membutuhkan penyesuaian diri dan pengertian serta dukungan dari berbagai pihak
terutama suami, agar mereka dapat menyikapi secara positif segala perubahan
yang terjadi saat menopause. Retnowati (2002) mengungkapkan bahwa
merasa dicintai dan dihargai. Pengertian, penerimaan dan dukungan dari suami
sangat besar artinya bagi wanita yang menjalani menopause. Suami yang perduli
dan perhatian serta dapat diajak berbagi, akan sangat membantu seseorang dalam
menjalani masa menopausenya. Perhatian yang diperoleh akan membuatnya
merasa berharga dan dicintai oleh pasangannya. Komunikasi dan keterbukaan
diantara keduanya dapat membantu seseorang menjalani menopausenya dengan
lebih baik. Hal ini dapat terjadi apabila permasalahan yang muncul saat
menopause dibicarakan secara bersama-sama dan dicari solusinya. Kasdu (2002)
juga menyatakan bahwa peran positif dari suami akan membuat seorang wanita
berpikir bahwa kehadirannya masih sangat dibutuhkan dalam menghadapi
kehidupan.
C. MENOPAUSE
1. Pengertian Menopause
Spencer & Brown (2007) mengartikan menopause sebagai suatu akhir
proses biologis dari siklus menstruasi yang terjadi karena penurunan produksi
hormon estrogen dan progesteron yang dihasilkan ovarium (indung telur).
Selanjutnya dikatakan apabila seseorang tidak mengalami haid selama satu tahun
penuh, maka dapat disimpulkan bahwa menopause terjadi saat terakhir kali ia
2. Tahap-tahap Menopause
Kasdu (2002) membagi menopause dalam tiga tahap seperti berikut :
a. Premenopause
Masa yang ditandai dengan fungsi reproduksi yang mulai menurun, sampai
timbulnya keluhan atau tanda-tanda menopause. Pada masa premenopause,
hormon estrogen dan progesteron masih tinggi, tetapi semakin rendah ketika
memasuki perimenopause dan postmenopause. Keadaan ini berhubungan
dengan fungsi indung telur yang terus menurun. Selanjutnya Mustopo (2005)
menyatakan bahwa pada masa ini, menstruasi menjadi tidak teratur dan
terkadang gejala-gejala menopause mulai timbul.
b. Perimenopause
Merupakan periode dengan keluhan memuncak, dan masa menopause berada
pada fase ini, dan berlangsung selama 4-5 tahun.
c. Potmenopause
Masa setelah perimenopause sampai senilis.
Skema Fase Normal Kehidupan Wanita
Periode Klimakterium
Fertil Senilis
3. Usia Memasuki Menopause
Rahman (dalam Kasdu, 2002) menyatakan bahwa menopause terjadi pada
usia 48-50 tahun. Namun rata-rata seseorang memasuki masa menopause berbeda
pada setiap ras. Dan dalam satu ras, tiap orang dapat mengalami menopause pada
usia yang berbeda juga. Misalnya, wanita ras Asia mengalami menopause pada
usia 44 tahun, sementara wanita Eropa mengalami menopause sekitar usia 47
tahun.
Selain itu Morgan (dalam Kasdu, 2002) menyatakan bahwa
kecenderungan bawaan, penyakit, stress, dan pengobatan dapat mempengaruhi
waktu terjadinya menopause. Di Amerika Utara, usia rata- rata wanita yang
mengalami menopause adalah sekitar 51 tahun. Data statistik menunjukkan bahwa
wanita perokok cenderung mendapat menopause lebih awal dan wanita yang
kelebihan berat badan cenderung mendapat menopause lebih lambat.
Spencer & Brown (2007) menyatakan bahwa usia wanita memasuki
menopause adalah 51 tahun, namun menopause juga dialami wanita pada rentang
usia 45-55 tahun. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa usia seseorang
mengalami menopause sangat bervariatif. Jika diambil rata-ratanya, seseorang
akan mengalami menopause sekita usia 45-55 tahun.
4. Jenis-jenis Menopause
Spencer & Brown (2007) membedakan menopause dalam dua jenis seperti
a. Menopause alami
Merupakan menopause atau berhentinya haid secara alamiah yang biasanya
terjadi antara usia 45 dan 50 tahun. Menopause terjadi ketika ovarium tidak
mampu memproduksi estrogen dan progesteron seperti sebelumnya serta tidak
mampu menjaga kelangsungan siklus menstruasi.
b. Menopause dini
Menopause dini biasanya didefinisikan sebagai menopause yang terjadi
sebelum usia 40 tahun. Menopause dini merupakan menopause yang datang
lebih awal atau datang sebelum waktunya. Hal ini terjadi karena adanya
gangguan tubuh tertentu sehingga seseorang harus mengalami menopause dini
(Kasdu, 2002).
Spencer & Brown menyatakan terdapat beberapa kondisi yang
mengakibatkan seseorang mengalami menopause dini. Diantaranya adalah
kelainan kromosom. Wanita dengan kelainan kromosom akan dilahirkan
dengan lebih sedikit sel telur dalam ovariumnya, dan akibatnya akan
mengalami menopause yang cepat. Selain itu menopause dini juga terjadi
ketika seseorang mengalami tindakan histeroktomi. Kasdu (2002) menyatakan bahwa histeroktomi merupakan istilah kedokteran yang digunakan untuk menyebut tindakan atau operasi pengangkatan rahim karena suatu gangguan
atau penyakit yang dapat membahayakan jiwanya. Seseorang yang melakukan
5. Gejala-gejala Menopause
Mustopo (2005) menyatakan terdapat beberapa gejala-gejala yang
berhubungan dengan menopause sebagai berikut :
a. Gejolak Rasa Panas
Merupakan rasa panas pada wajah dan bagian tubuh lainnya (seperti leher dan
dada). Gejala ini disertai dengan keringat yang berlebih dan biasanya terjadi
pada malam hari. Gejolak panas terjadi karena menurunnya kadar hormon
estrogen sehingga mempengaruhi beberapa fungsi tubuh yang dikendalikan
oleh hormon estrogen. Gejolak panas bisa terjadi beberapa detik atau menit,
tetapi ada juga yang berlangsung sampai satu jam (Kasdu, 2002).
b. Keringat Malam
Selain gejolak rasa panas, seseorang juga akan mengalami keringatan di
malam hari. Gejala ini akan mengganggu tidur yang menyebabkan seseorang
kelelahan karena kurang tidur.
c. Gejala pada Vagina
Merupakan perubahan pada organ reproduksi, dimana vagina menjadi kering
dan kurang elastis akibat penurunan kadar estrogen. Selain itu perubahan ini
dapat menimbulkan rasa sakit pada saat melakukan hubungan seksual (Kasdu,
2002).
d. Gejala pada Perkemihan
Terjadi perubahan pada saluran urethra, dimana kadar estrogen yang menurun
Selain itu hal ini juga menyebabkan seseorang tidak dapat menahan air
seninya.
e. Gejala pada Sendi dan Otot
Otot-otot menjadi mudah sakit dan kaku sehingga gerakan yang dilakukan
juga menjadi terbatas. Selain itu seseorang yang menopause rentan terkena
osteoporosis, dimana hal ini juga dihubungkan dengan usia yang semakin
bertambah. Osteoporosis adalah penyakit dimana kepadatan tulang menjadi
berkurang sehingga menyebabkan tulang menjadi lemah dan mudah patah.
Pada wanita menopause, hal ini berkaitan dengan penurunan kadar estrogen,
dimana estrogen mempunyai peran yang sangat penting dalam membatasi
jumlah resorpsi tulang (Spencer & Brown, 2007).
f. Gejala pada Kulit dan Wajah
Rendahnya kadar estrogen akan mempengaruhi jaringan kolagen pada tubuh,
yang mengakibatkan kulit menjadi kering, keriput dan kehilangan elastisitas.
g. Penambahan Berat Badan
Banyak wanita mengalami peningkatan berat badan saat menopause, terutama
di area sekita perut. Hal ini berhubungan dengan menurunnya kadar estrogen
dan gangguan pertukaran zat dasar metabolisme lemak.
h. Perubahan pada Payudara
Bentuk payudara akan mengecil, mendatar, dan mengendur. Hal ini terjadi
karena pengaruh atrofi pada kelenjar payudara. Puting payudara juga mengecil
dan pigmentasinya berkurang.
Perasaan gelisah, tegang, lesu, sedih sering dialami seseorang yang mengalami
menopause. Hal ini terjadi karena pusat pada otak yang mengendalikan
kesehatan, pikiran, penguasaan, dan rasa tenang dipengaruhi oleh hormon
estrogen.
D. DEWASA MADYA
1. Pengertian Dewasa Madya
Masa dewasa madya atau usia setengah baya adalah masa usia antara 40
sampai 60 tahun. Usia madya merupakan periode yang panjang dalam rentang
kehidupan manusia, yang dibagi ke dalam dua subbagian, yaitu : usia madya dini
(40-50 tahun) dan usia madya lanjut (50-60 tahun). Masa dewasa madya ditandai
dengan adanya perubahan-perubahan jasmani dan mental (Hurlock, 1990).
2. Karakteristik Usia Madya
Hurlock (1990) mengungkapkan terdapat sejumlah karakteristik usia
dewasa madya, yaitu :
a. Periode yang sangat ditakuti
Periode usia madya merupakan masa yang lebih menakutkan bila dilihat dari
seluruh kehidupan manusia. Beberapa alasan yang membuat orang takut
memasuki usia dewasa madya adalah banyaknya stereotipe yang tidak menyenangkan tentang usia madya, yaitu adanya kepercayaan tentang
kerusakan mental dan fisik yang diduga disertai dengan menurunnya fungsi
muda. Hal ini memberi pengaruh yang kurang menguntungkan terhadap sikap
orang dewasa pada saat memasuki usia madya dalam kehidupan mereka.
Selain itu pada masa ini kebanyakan orang dewasa menjadi rindu pada masa
muda mereka dan berharap dapat kembali ke masa itu.
b. Masa transisi
Usia madya merupakan masa transisi dimana pria dan wanita meninggalkan
ciri-ciri jasmani dan perilaku masa dewasanya dan memasuki suatu periode
dalam kehidupan yang akan diliputi oleh ciri-ciri jasmani dan perilaku yang
baru. Periode ini merupakan masa dimana pria mengalami perubahan
keperasaan dan wanita mengalami perubahan dalam kesuburan. Transisi juga
berarti penyesuaian diri terhadap minat, perilaku dan peran. Terjadi perubahan
hubungan yang awalnya berpusat pada keluarga (family centered relationship) menjadi hubungan yang berpusat pada pasangan (pair centered relationship). Pada perubahan peran, pria harus menyesuaikan diri terhadap perubahan
kondisi pekerjaan yang perlu disesuaikan dengan kondisi fisik mereka. Bagi
wanita,ia harus mneyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang terjadi,
baik dalam rumah tangga maupun dalam pekerjaan.
c. Masa stress
Penyesuaian secara radikal terhadap peran dan pola hidup yang berubah,
khususnya bila disertai dengan berbagai perubahan fisik, selalu cenderung
merusak keseimbangan fisik dan psikologis seseorang dan membawanya ke
masa stres. Misalnya kebanyakan wanita mengalami gangguan saat mereka
memaksa mereka melakukan penyesuaian dalam pola hidup mereka. Bagi
pria, umumnya pada usia 50-an mereka melakukan penyesuaian terhadap
masa pensiun.
d. Usia yang berbahaya
Usia madya dipandang sebagai usia yang berbahaya dalam rentang kehidupan.
Beberapa hal yang dianggap berbahaya diantaranya adalah mengalami
kesulitan kondisi fisik sebagai akibat terlalu banyak bekerja, rasa cemas yang
berlebihan, ataupun kurang memperhatikan kehidupan.
e. Usia canggung
Usia madya dikenal dengan istilah “usia serba canggung”, dimana seseorang
yang berusia madya tidak lagi muda tetapi juga tidak tua. Orang yang berusia
madya seolah-olah berdiri di antara generasi yang lebih muda dan generasi
yang lebih tua.
f. Masa berprestasi
Selama usia madya, orang akan menjadi lebih sukses atau sebaliknya mereka
berhenti beraktivitas dan tidak mengerjakan sesuatu apapun lagi. Apabila
orang berusia madya memiliki kemauan yang kuat untuk berhasil, mereka
akan mencapai puncaknya dan menikmati hasil dari kerja keras yang
dilakukan sebelumnya.
g. Masa evaluasi
Usia madya juga dikenal sebagai masa evaluasi diri. Karena pada umumnya
seseorang pada usia madya mencapai puncak prestasinya, maka pada masa ini
mereka dan harapan-harapan orang lain, khususnya anggota keluarga dan
teman.
h. Masa sepi
Usia madya dialami sebagai masa sepi, masa ketika anak-anak tidak lagi
tinggal bersama orangtua. Tahap masa kahampaan atau sepi dimulai dari usia
40-an, walaupun dengan perkawinan yang ditunda atau keluarga yang
mempunyai banyak anak. Selain itu setelah bertahun-tahun hidup dalam
rumah yang berpusat pada keluarga (family centered home), umumnya orang dewasa menemui kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan rumah yang
berpusat pada pasangan (pair centered home). Keadaan ini terjadi karena selama masa-masa mengasuh anak, suami dan istri mengembangkan minatnya
masing-masing. Akhirnya mereka hanya memiliki sedikit persamaan setelah
minat mereka terhadap anak-anak berkurang, dan mereka harus saling
melakukan penyesuaian diri dengan baik. Periode ini lebih bersifat traumatik
bagi wanita daripada pria. Hal ini terjadi khususnya pada wanita yang
menghabiskan waktu mereka dengan pekerjaan rumah tangga dan bagi mereka
yang kurang memiliki minat untuk mengisi waktu senggang. Kondisi yang
serupa juga dialami pria ketika mereka mengundurkan diri dari pekerjaan atau
karena pensiun.
i. Masa jenuh
Periode ini merupakan masa yang penuh dengan kejenuhan. Banyak pria dan
wanita mengalami kejenuhan pada akhir usia tigapuluhan dan empatpuluhan.
keluarga yang hanya memberikan sedikit hiburan. Sedangkan wanita banyak
menghabiskan waktu untuk memelihara rumah dan membesarkan
anak-anaknya. Kejenuhan tidak akan mendatangkan kebahagiaan atau kepuasan
pada usia manapun. Akibatnya, usia madya seringkali merupakan periode
yang tidak menyenangkan dalam hidup.
3. Tugas Perkembangan Usia Madya
Tugas- tugas perkembangan usia madya menurut Hurlock (1990), adalah :
a. Penyesuaian diri terhadap perubahan fisik
Salah satu dari sekian banyak penyesuaian yang sulit bagi orang berusia
madya adalah perubahan penampilan. Mereka harus benar-benar menyadari
bahwa fisiknya sudah tidak mampu berfungsi seperti sebelumnya saat mereka
masih kuat. Mereka juga harus menerima kenyataan bahwa kemampuan
reproduksi mereka sudah berkurang atau bahkan mereka akan kehilangan
dorongan serta daya tarik seksual. Penyesuaian-penyesuaian terhadap
perubahan fisik adalah sebagai berikut :
1). Perubahan dalam penampilan
Seperti yang telah diketahui, penampilan seseorang memegang
peranan penting terutama dalam penilaian sosial, dan kepemimpinan.
Bagi pria dan wanita selalu terdapat ketakutan bahwa penampilan
mereka pada usia madya tidak akan bisa mempertahankan pasangan
mereka ataupun malah mengurangi daya tarik mereka di depan
2). Perubahan dalam kemampuan indera
Perubahan-perubahan pada tubuh bagian luar juga terjadi bersamaan
dengan perubahan-perubahan pada organ-organ dalam. Selain itu juga
terdapat perubahan dalam kemampuan indera, seperti menurunnya
ketajaman mata, melemahnya kemampuan mendengar dan penurunan
daya cium.
3). Perubahan pada kesehatan
Usia madya ditandai dengan menurunnya kesegaran fisik secara umum
dan memburuknya kesehatan. Masalah kesehatan pada usia madya
mencakup kcenderungan mudah lelah, sakit pada otot, sakit lambung,
pusing, kehilanga selera makan serta insomnia.
4). Perubahan seksual
Penyesuain fisik yang paling sulit dilakukan oleh pria maupun wanita
pada usia madya adalah perubahan-perubahan pada kemampuan
seksual mereka, dimana wanita memasuki masa menopause dan pria
mengalami andropouse. Dalam hal ini terdapat berbagai keyakinan
yang membuat orang semakin merasa takut dalam menghadapi
perubahan-perubahan ini.
b. Penyesuaian diri terhadap minat yang berubah
Perubahan minat yang ada pada usia madya terjadi sebagai akibat dari
perubahan tugas, tanggungjawab, kesehatan dan peran dalam hidup. Beberapa
perubahan minat pada usia madya diantaranya adalah :
Minat terhadap penampilan semakin terlihat ketika perubahan fisik
terjadi dan dibarengi dengan semakin bertambahnya usia. Baik pria
maupun wanita biasanya melakukan pemilihan makanan, olahraga,
menggunakan alat kecantikan atau pakaian guna menutupi kondisi
fisiknya.
2). Minat terhadap uang
Pria tidak terlalu memikirkan jumlah pendapatannya dibandingkan saat
ia masih muda. Baginya, stabilitas kerja, kepuasan, dan prestise jauh labih penting daripada uang yang diperoleh. Sebaliknya wanita lebih
sering tertarik pada uang daripada pria, serta tertarik juga pada harta
benda seperti mobil, pakaian, rumah yang dijadikan sebagai ukuran
keberhasilan.
3). Minat terhadap simbol status
Pada usia madya seseorang akan semakin tertarik dengan simbol
status. Simbol status yang dianggap bernilai diantaranya adalah rumah,
mobil, dan pakaian. Makin banyak simbol status yang dimilikinya
maka akan semakin tinggi kemungkinan dan kesempatan untuk
memperoleh pengakuan.
4). Minat terhadap agama
Orang yang berusia madya sering tertarik pada kegiatan yang
berhubungan dengan keagamaan dibandingkan saat mereka masih
muda. Banyak dari mereka memandang agama sebagai sumber
5). Minat terhadap urusan kemasyarakatan
Orang pada usia madya lebih banyak memanfaatkan waktu mereka
untuk kegiatan kemasyarakatan dan berperan dalam organisasi
masyarakat. Alasan orang pada usia madya berpartisipasi dalam
kegiatan kemasyarakatan adalah untuk mendapatkan kesenangan dan
kepuasan dalam melayani kebutuhan masyarakat. Selain itu untuk
mengurangi perasaan sepi dan untuk meningkatkan prestise. 6). Minat terhadap rekreasi
Salah satu tugas perkembangan selama masa usia madya adalah belajar
menggunakan waktu luang. Baik pria maupun wanita pada masa ini
memiliki lebih banyak waktu luang dibandingkan masa sebelumnya,
oleh karena itu biasanya mereka melakukan kegiatan yang bersifat
rekreasional.
c. Penyesuaian sosial
Usia madya sering membawa perubahan minat dalam kehidupan sosial.
Sebagai pasangan yang tanggungjawab keluarganya berkurang, mereka dapat
lebih banyak terlibat dengan kegiatan sosial dibanding semasa mudanya.
Banyak orang yang berusia madya terutama kaum wanita, menyadari bahwa
kegiatan sosial dapat menghilangkan kesepian karena anak-anaknya sudah
dewasa dan berkeluarga. Selama masa ini, orang senang terhadap kegiatan
menjamu teman dalam bentuk acara makan malam, pesta-pesta dan kegiatan
berkumpul. Kegiatan ini mencapai puncaknya pada usia empatpuluhan dan