Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
PERKEMBANGAN AGAMA KATOLIK DAN PENGARUHNYA
TERHADAP MASYARAKAT DI LINTONGNIHUTA (1937 – 1985)
SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN
O L E H
NAMA : ANTONIUS P MANALU NIM : 050706031
DEPARTEMEN SEJARAH
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
▸ Baca selengkapnya: doa pemberkatan rumah agama katolik
(2)Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
PERKEMBANGAN AGAMA KATOLIK DAN PENGARUHNYA
TERHADAP MASYARAKAT DI LINTONGNIHUTA (1937 – 1985)
SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O
L E H
NAMA : ANTONIUS P MANALU NIM : 050706031
Pembimbing
Dra. Penina Simanjuntak, M.S NIP 131570489006089
DEPARTEMEN SEJARAH
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
Lembar Pengesahan Pembimbing Skripsi
PERKEMBANGAN AGAMA KATOLIK DAN PENGARUHNYA
TERHADAP MASYARAKAT DI LINTONGNIHUTA (1937 – 1985)
SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O
L E H
NAMA : ANTONIUS P MANALU NIM : 050706031
Pembimbing
Dra. Penina Simanjuntak, M.S NIP 131570489 006089
Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Sastra USU Medan, untuk
melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Sastra dalam bidang Ilmu Sejarah
DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
Lembar Persetujuan Ujian Skripsi
PERKEMBANGAN AGAMA KATOLIK DAN PENGARUHNYA
TERHADAP MASYARAKAT DI LINTONGNIHUTA (1937 – 1985)
Yang diajukan oleh: Nama: ANTONIUS P MANALU
NIM: 050706031
Telah disetujui untuk diujikan dalam ujian skripsi oleh: Pembimbing
Dra. Penina Simanjuntak, M.S tanggal……. NIP 131570489006089
Ketua Departemen Sejarah
Dra. Fitriaty Harahap, S.U tanggal………. NIP 195406031983032001
DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
Lembar Persetujuan Ketua Departemen
Disetujui oleh:
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
DEPARTEMEN SEJARAH
Ketua Departemen
Dra. Fitriaty Harahap, S.U
NIP 195406031983032001
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
Lembar Pengesahan Skripsi Oleh Dekan dan Panitia Ujian
PENGESAHAN
Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara
Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Sastra
Dalam Ilmu Sejarah pada Fakultas Sastra USU Medan
Pada :
Tanggal :
Hari :
Fakultas Sastra USU
Dekan
Prof. Syaifuddin, M.A Ph.D
NIP 196509091994031004
Panitia Ujian
No Nama Tanda Tangan
1 ... ( )
2 ... ( )
3 ... ( )
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
ABSTRAK
Perkembangan agama Katolik di Lintongnihuta membawa dampak yang besar
dalam kehidupan masyarakat Lintongnihuta terutama dalam bidang adat istiadat dan
pendidikan. Masuknya missionaris Katolik di Lintongnihuta memberikan kontibusi
besar bagi perkembangan dan kemajuan masyarakat Lintongnihuta.
Masyarakat Lintongnihuta yang semula menganut kepercayaan tradisional
beralih menjadi penganut agama Kristen Katolik dikarenakan oleh mutu pendidikan
sekolah Katolik yang tinggi. Disamping itu, pendekatan yang dilakukan oleh
missionaris terhadap masyarakat menarik simpatik masyarakat untuk memilih masuk
menjadi agama Katolik.
Masuknya agama Katolik di Lintongnihuta mendapat tantangan baik dari
pihak Belanda, zending Jerman, dan masyarakat Batak Toba di Lintongnihuta.
Masuknya agama Katolik di Lintongnihuta mengakibatkan Lintongnihuta muncul
sebagai pusat pendidikan.
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
dan rahmat serta karunia-Nya yang dilimpahkan dengan memberikan kesehatan,
ketabahan serta ketekunan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini mulai dari
awal sampai selesai. Adapun penulisan ini dilakukan untuk memenuhi salah satu
syarat untuk menyelesaikan studi Program sarjana jurusan Ilmu Sejarah Fakultas
Sastra Universitas Sumatera Utara. Pada kesempatan ini penulis mengangkat tentang
permasalahan studi agama dalam kajian Ilmu Sejarah. Skripsi ini diberi judul “
Perkembangan Agama Katolik dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat di
Lintongnihuta ( 1937 – 1985)”.
Dalam penulisan skripsi ini banyak hambatan yang dihadapi terutama dalam
masalah pencarian data dan buku-buku literatur pendukung dalam penulisan skripsi.
Oleh sebab itu, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Untuk
itu penulis menerima kritikan dan masukan yang bersifat membangun dari semua
pihak sebagai bahan penyempurnaan skripsi ini.
Penulisan skripsi ini dapat diselesaikan berkat dorongan dan bimbingan dari
berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam kesempatan ini
penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara beserta Staf yang telah berkenan
menerima dan memberi kesempatan serta fasilitas kuliah kepada penulis
selama kuliah di Fakultas Sastra USU.
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
2. Prof. Syaifuddin, M.A. Phd selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas
Sumatera Utara.
3. Dra. Fitriaty Harahap S.U, dan Dra. Nurhabsyah M.Si selaku Ketua dan
Sekretaris Departemen Sejarah.
4. Drs. Samsul Tarigan selaku dosen wali penulis atas bimbingan selama kuliah
di Jurusan Sejarah
5. Dra. Penina Simanjuntak M.S selaku dosen pembimbing atas segala
ketekunan, kesabaran dan kemauan serta menyediakan waktunya untuk
membimbing dan memperbaiki naskah skripsi ini hingga selesai.
6. Bapak dan ibu dosen di Departemen Sejarah atas segala bekal ilmu yang telah
diberikan sehingga memungkinkan penulis dalam menyelesaikan karya studi
ini.
7. Ayahanda tercinta Barita Manalu dan Ibunda tersayang Helmina Sihombing
yang telah mendidik dan membimbing saya dengan ketulusan hati yang dalam
dan memberikan motivasi kepada saya untuk menggapai cita-cita melalui
pendidikan setinggi-tingginya.
8. Abang dan Kakak penulis yang terkasih: Panahatan dan Roganti Sihombing,
Lamtiar dan Lintong Marbun, Lamria dan Lae Gultom , Jerry, Dedy, Clara,
Anjel, Anita dan Tesya atas segala dukungan dan motivasinya.
9. Oppung tercinta Hosti Sihombing yang selalu mencintai dan tabah dalam
membimbing cucu-cucu, Tulang Kitab Sihobing, Jhony Sihombing, Palmok
Sihombing, Uda Harlen Manalu, Bontor Manalu, Amangboru Rumabutar,
Sibarani, Suster Irenita Manalu yang selalu memberi dukungan baik materiil
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
maupun moril untuk menggapai cita cita melalui pendidikan yang setinggi
tingginya.
10.Drs. Maruhum Sihombing selaku Camat Lintongnihuta dan Pastor Levi
Pakpahan selaku Pastor Paroki Lintongnihuta yang telah mengijinkan dan
membantu penulis selama melakukan penelitian lapangan.
11. Kawan kawan di Jurusan Ilmu Sejarah terutama stambuk 2005 tanpa
terkecuali dan sahabat-sahabatku di Berdikari Jogi, Jakson, Benmart Manalu,
Medi, Bangun, yang telah menjadi teman berbagi suka dan duka dan
membantu memberikan dorongan dan motivasi dalam penyelesaian skripsi
ini.
12.Kawan kawan penulis Fredy manalu, Hastomo Manalu, Evi Tamala, Lina
Nainggolan, Yanti dan siiumut Tika, terutama kepada Devi Marianti Naibaho
yang selalu memberikan dukungan dan motivasi dalam penyelesaian skripsi
ini.
Semoga semua kebaikan yang telah penulis terima dibalas oleh Tuhan Yang
Maha Kuasa dan penyertaan-Nya senantiasa menyertai kita semua.
Medan, Desember 2009
Penulis
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta 1.1 Latar Belakang Masalah ...1
1.2 Rumusan Masalah ...5
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ...5
1.4 Tinjauan Pustaka ...6
1.5 Metode Penelitian ...8
BAB II GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 2.1 Letak Geografis ...10
2.2 Keadaan Demografis ...11
2.3 Latar Belakang Historis ...14
2.4 Sistem Sosial Budaya Masyarakat ...18
BAB III TUMBUH DAN BERKEMBANGNYA AGAMA KATOLIK 3.1 Kepercayaan Masyarakat Sebelum Masuknya Ajaran Katolik ...23
3.2 Proses Masuknya Agama Katolik ...23
3.2.1 Perintisaan Agama Katolik Di Sumatera Utara ...29
3.2.2 Masuknya Agama Katolik Di Tapanuli ...33
3.2.3 Masuknya Agama Katolik Di Lintongnihuta ...37
3.3. Kendala yang Dihadapi Missionaris dalam Penyebaran Agama Katolik ...41
3.4. Perkembangan Agama Katolik Di Lintongnihuta ...47
3.4.1 Perkembangan Agama Katolik Pada Masa Marianus Van de Acker (1937- 1942) ...47
3.4.2 Perkembangan Agama Katolik Pada Masa Perang Dunia II
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
(1942- 1945) dan Agresi Militer I,II ( 1947- 1948) ...49
3.4.3 Perkembangan Agama Katolik Pada Masa Pastor Weinfridus Josen (1951- 1961) ...53
3.4.4 Perkembangan Agama Katolik Pada Masa Pastor Septimus Kamphof dan Wynen (1961-1985) ...55
BAB IV PENGARUH DAN PELAYANAN AGAMA KATOLIK 4.1 Pengaruh Dalam Ada ...57
4.1.1Pengaruh Dalam Adat Perkawinan ...57
4.1.2 Pengaruh Dalam Adat Orang Meninggal ...62
4.2 Pelayanan Dalam Bidang Pendidikan...66
BAB V KESIMPULAN 5.1 Kesimpulan ...72
5.2 Saran ...73
Daftar Pustaka Daftar Informan Lampiran
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 latar Belakang Masalah
Di dalam kehidupan manusia agama sangat penting, karena di dalamnya
terdapat nilai nilai yang dapat mengatur kehidupan manusia. Agama di dalam
masyarakat memberi nilai nilai bagi manusia untuk bertingkah laku secara sosiologis.
Agama menjadi penting dalam kehidupan manusia karena ilmu pengetahuan dan
keahlian tidak berhasil memberikan sarana adaptasi atau mekanisme penyesuaian
yang dibutuhkan. Dari sudut pandang teori fungsional, agama menjadi penting karena
agama mempunyai fungsi untuk menutupi unsur unsur pengalaman manusia yang
terbatas1
Pendidikan agama di mulai ketika agama itu sendiri muncul ke hadapan
manusia. Setiap agama di dunia mempunyai sistem pendidikannya sendiri, dan agama
perlu diajarkan kepada manusia tentang bentuk kepercayaan, adat istiadat, dan
ajarannya. Demikian pula tuntutan agama terhadap orang orang yang hendak masuk
dari luar, siapa yang ingin memeluk agama baru tentu saja diwajibkan mempelajari
pokok pokok kepercayaan dan adat kebiasaan agama itu lebih dahulu .
2
1
Thomas F. O,Dea, Sosiologi Agama, Jakarta: PT. Rajawali, 1985., hal. 26.
2
E.G. Hombrighousen, Pendidikan Agama Kristen, Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 1996., Hal .1.
.
Dalam kehidupan, manusia selalu mengalami perubahan. Perubahan tersebut
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
telah terjadi pada masa lampau, sebab sesuatu yang terjadi pada masa lampau tentu
mempengaruhi kehidupan masa kini. Begitu juga dengan apa yang dilakukan oleh
manusia pada masa kini akan mempengaruhi kehidupan yang akan datang, sesuai
dengan dimensi sejarah yaitu masa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang.
Menurut defenisi yang paling umum, kata sejarah kini berarti masa lampau
umat manusia3
Perkembangan Ilmu sejarah telah banyak memperluas kajian penulis sejarah . Sulit untuk menemukan pengertian sejarah yang sebenarnya sesuai
dengan yang diinginkan oleh pembaca. Seringkali ditemukan ada istilah-istilah yang
artinya sama dengan sejarah. Sejarah menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia
yang berorientasi pada kebudayaan, ekonomi, sosial, dan politik.
4
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, Lintongnihuta merupakan bagian
dari Afdeling Silindung, Keresidenan Tapanuli. Setelah kemerdekaan Republik .
Meluasnya objek kajian penulisan sejarah tersebut memberikan kesempatan bagi
penulis sejarah dalam merekonstuksi perkembangan agama. Dalam kehidupan
masyarakat seperti kehidupan beragama, kajian ilmu sejarah merupakan hal yang
penting untuk memahami tentang agama tersebut.
Kajian sejarah mengenai agama sangatlah penting untuk mengetahui dari
mana asal usul agama tersebut, bagaimana perkembangan agama, apa saja yang
dipengaruhi oleh agama tersebut, dan apakah agama tersebut menguntungkan atau
merugikan masyarakat yang dipengaruhi.
3
Louis Gottschalk, understanding History, Mengerti sejarah, (terj) Nugroho Noto Susanto, UI Press, Jakarta: 1986., Hal .27.
4
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
Indonesia, Lintongnihuta merupakan kecamatan yakni kecamatan Lintongnihuta
dengan ibukota Pasar Baru, kabupaten Humbang Hasundutan, pemekaran dari
kabupaten Tapanuli Utara.
Perkembangan agama Katolik di Lintongnihuta tidak terlepas dari masuknya
agama Kristen Protestan di daerah Lintongnihuta. Daya tarik utama agama Katolik di
Lintongnihuta adalah sekolah Katolik yaitu mulai dari masa penjajahan Belanda
yakni Volk School( sekolah rakyat setingkat dengan kelas satu sampai kelas tiga SD)
dan Vervolk School( sekolah rakyat setingkat dengan kelas empat sampai dengan
kelas enam SD)dan kemudian dikembangkan menjadi sekolah formal R.K ( Roma
Katolik) mulai dari Tingkat SD hingga SMP di Lintongnihuta.
Agama Katolik sebagai ajaran yang baru dikenal di masyarakat pada masa itu
menawarkan suatu kebenaran yang membebaskan masyarakat dari rasa kekhawatiran
dan ketakutan terhadap hal hal gaib. Kemudian para missionaris Katolik berhasil
menyadarkan masyarakat melalui usaha usaha penyebaran agama Katolik dilakukan
oleh missionaris Katolik. Missionaris menginginkan kehidupan dituntun oleh agama
agar dapat lebih sabar hidup di dunia, dan mengharapkan kekekalan di akhirat.
Agama Katolik juga berhasil menghilangkan kepercayaan kepercayaan lama
yang dianut oleh masyarakat Batak Toba dalam hidup mereka seperti animisme dan
dinamisme. Mereka menerima agama Katolik sebagai pandangan yang baru dalam
hidup mereka. Bahkan sampai sekarang agama Katolik telah banyak dianut oleh
masyarakat Lintongnihuta dan telah menyebar ke daerah daerah pedalaman.
Agama katolik sampai ke Indonesia melalui Selat Malaka pada abad ke- 16
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
berkebangsaan Portugis5. Dalam perjalanannya ke Malaka beliau mengikuti para
pedagang pedagang Portugis sambil menyebarkan dan menyiarkan injil. Agama
Katolik sampai di Tapanuli pada tahun 1929 dengan daerah misinya yang pertama
adalah Sibolga. Pada tanggal 5 Desember 1934 agama Katolik masuk ke Balige yang
disebarkan oleh Pastor Sybrandus Van Rossum. Balige pada saat itu merupakan
daerah pusat untuk penyebaran agama Katolik di Tapanuli.
Missionaris agama Katolik peduli dengan kemajuan orang Batak Toba.
Sebelum agama Kristen masuk ke daerah Toba, orang Batak Toba masih dalam
kegelapan. Di antara sesama mereka sering terjadi perang antara satu kampung
dengan kampung yang lain. Orang Batak sangat takut dengan kekuatan jimat. Pada
masa itu siapa yang paling kuat menjadi penguasa dan siapa yang lemah akan
menjadi tertindas. Untuk mengubah cara berfikir dan menghilangkan keterbelakangan
orang Batak Toba tersebut, missionaris berusaha mengenalkan pendidikan dengan
mendirikan sekolah sekolah.
Mengacu pada uraian di atas, penulis ingin mengungkapkan salah satu
kegiatan para missionaris Katolik di Kecamatan Lintongnihuta, baik dalam usaha
pengenalan dan perluasan agama Katolik maupun pengenalan pendidikan formal bagi
masyarakat Lintongnihuta. Adapun judul yang diajukan adalah Perkembangan
Agama Katolik dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta ( 1937-1985)
5
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
1.2 Rumusan Masalah
Perlu dibuat suatu rumusan masalah sebagai landasan utama dalam sebuah
penelitian dan substansi dari penulisan. Di samping itu, untuk mempermudah
penulisan, ditetapkan beberapa masalah dalam penulisan yang objektif. Untuk itu,
penulis mengemukakan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana proses masuk dan perkembangan agama Katolik di Lintongnihuta.
2. Bagaimana respon masyarakat Lintongnihuta terhadap agama Katolik dan
sekolah Katolik.
3. Apa kendala yang dihadapi oleh para missionaris di Lintongnihuta.
4. Bagaimana proses berdirinya sekolah sekolah formal yang diprakarsai oleh
Katolik di Lintongnihuta
1. 3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Setiap kegiatan yang dilakukan dalam penelitian selalu mempunyai tujuan
pokok yang hendak diperoleh penulis. Adapun tujuan dari penulisan ini antara lain:
1. Mengetahui dan menjelaskan proses masuk dan perkembangan agama Katolik di
Lintongnihuta.
2. Mengetahui dan menjelaskan respon masyarakat terhadap agama katolik dan
sekolah Katolik.
3. Menjelaskan kendala yang dihadapi oleh para missionaris di Lintongnihuta.
4. Menjelaskan proses berdiri dan berkembangnya sekolah sekolah formal yang
diprakarsai oleh Katolik di Lintongnihuta.
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
Hasil dari penulisan ini kiranya dapat memberikan manfaat bagi berbagai
pihak antara lain:
1. Memberikan masukan kepada lingkungan akademis untuk memahami proses
masuknya agama Katolik dan pengaruhnya terhadap perkembangan masyarakat
di Lintongnihuta
2. Menambah pengetahuan peneliti dan pembaca untuk memahami pengaruh
agama Katolik terhadap perkembangan masyarakat di Lintongnihuta
3. Menambah distribusi dan pengkajian sejarah agama Katolik di Sumatera Utara
dan sejarah lokal pada umumnya.
1.4 Tinjauan Pustaka
Untuk melakukan kegiatan penulisan, perlu dilakukan telaah pustaka dengan
menggunakan buku buku yang berhubungan dengan judul tulisan ini yakni tentang
agama Katolik dan pengaruhnya terhadap perkembangan masyarakat di
Lintongnihuta. Telaah pustaka dilakukan dalam rangka mencari data data yang lebih
objektif dan relevan dengan topik yang akan dibahas. Di samping itu, telaah pustaka
juga bertujuan untuk mencari kerangka teoritis yang hendak dipergunakan sebagai
acuan penulisan.
Dalam buku AM Harjana Penghayatan Agama : yang Otentik dan tidak
Otentik (1993: 42) menyatakan bahwa agama merupakan gejala yang boleh dikatakan
universal dalam hidup manusia. Sebagian besar penghuni planet bumi kita, dengan
berbagai latar belakang lingkungan, iklim dan budaya, menganut salah satu agama
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
penampilannya, agama nampak berbeda, bahkan berlawanan satu sama lain. Namun
bila dilihat dari intinya semua agama pada dasarnya mempercayai, meyakini dan
berpegang pada hal yang sama yaitu realita zat atau sesuatu yang paling tinggi.
Dilihat dari sistem atau struktur, lengkap atau tidak, canggih atau sederhana, setiap
agama memiliki segi pokok: (1) segi yang menyangkut keseluruhan hidup, (2) segi
yang menyangkut pemahaman, segi intelektual, (3) segi yang menyangkut
kelembagaan, segi institusional, dan (4) segi perwujudan dalam perilaku, segi etika.
Dalam buku lothar Schreiner Adat dan Injil (1972: 47) menyatakan bahwa
suku bangsa Batak membuka diri terhadap ajaran Kristen dan membiarkan diri
terjajah oleh kolonial Belanda. Mereka mulai mengalami dunia baru yang terasing ini
seperti lingkungan mereka yang baru.baik dari sudut pandang keagamaan maupun
dari sudut pemerintahan. Dengan kepemilikan ini mereka melepaskan diri dari agama
mereka sehingga mereka memeluk agama Kristen. Masuknya agama Kristen dan
amanat Injil memasukkan pembaruan ke dalam kebudayaan sehingga menjadi suatu
ciri yang bersifat menentukan dan tetap.
Dalam buku Elizabet Nottingham Agama dan Masyarakat: Suatu Pengantar
Sosiologi Agama (1994:23) bahwa Agama berfungsi melepaskan belenggu belenggu
adat dan kepercayaan manusia yang usang. Agama menyadarkan manusia untuk
menciptakan suatu ikatan bersama baik di antara anggota anggota beberapa
masyarakat maupun dalam kewajiban kewajiban sosial yang membantu
mempersatukan mereka. Karena nilai nilai yang mendasar sistem sistem kewajiban
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
1.5 Metode Penelitian
Untuk memperoleh data yang lebih ilmiah dilakukan suatu penyusunan
metode. Tujuannya agar penelitian dapat berjalan dengan baik dan sempurna serta
dapat memahami secara ilmiah objek penelitian yang dimaksud. Penelitian ini akan
dilakukan dengan metode penelitian historis sebagai rujukan. Untuk mencapai suatu
hasil yang maksimal, perlu dilakukan tahapan demi tahapan. Untuk merekonstruksi
masa lampau pada objek yang akan diteliti, dipakai metode sejarah dengan
menggunakan sumber sejarah sebagai bahan penelitian.
Tahapan pertama yang akan dilakukan adalah melalui heuristik yakni metode
yang dilakukan dengan mengumpulkan data, fakta fakta dan sumber yang sesuai
dengan objek yang diteliti. Dalam hal ini ada dua langkah yang dapat dilakukan yaitu:
Penelitian Kepustakaan atau Library Research yaitu penelitian mencari data
dalam perpustakaan yakni memperoleh buku buku dan keterangan melalui
bahan bahan penulisan sesuai dengan permasalahan yang diteliti.
Penelitian lapangan atau Field Research yaitu penelitian mencari data dalam
bentuk wawancara atau observasi secara langsung ke lapangan untuk
mengumpulkan keterangan tentang peristiwa yang terjadi.
Penelitian kepustakaan akan dilakukan dengan mengumpulkan sumber
sumber tertulis baik sumber primer maupun sumber sekunder berupa buku, majalah,
artikel, skripsi dan arsip yang berkaitan dengan objek yang akan diteliti. Dan
penelitian lapangan akan dilakukan dengan menggunakan metode wawancara yang
berstruktur/ tertutup dan terbuka terhadap informan informan yang dianggap mampu
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
Tahapan kedua yang dilakukan adalah kritik sumber. Dalam tahapan ini, kritik
dilakukan terhadap sumber yang telah dikumpulkan untuk mencari keaslian sumber
tersebut baik dari segi substansial (isi) maupun materialnya agar menjadi sumber
terpilih. Kritik yang dilakukan adalah kritik intern maupun kritik ekstern. Hal ini
dilakukan untuk mendapatkan kebenaran informasi dari sumber atau data data yang
diperoleh.
Tahapan yang ketiga adalah interpretasi. Dalam tahapan ini data yang
diperoleh dianalisis sehingga melahirkan suatu pemahaman baru yang sifatnya lebih
objektif dan ilmiah. Objek kajian yang cukup jauh ke belakang serta minimnya data
dan fakta yang membuat interpretasi menjadi sangat vital. Keakuratan serta analisis
yang tajam perlu dilakukan untuk mendapatkan fakta sejarah yang objektif. Dengan
kata lain tahap ini dilakukan sebagai penyimpulan kesaksian atau data yang dapat
dipercaya dari bahan bahan yang ada.
Tahapan keempat adalah historiografi, yakni penyusunan kesaksian yang
dapat dipercaya tersebut menjadi satu kisah atau kajian yang menarik dan berarti.
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
BAB II
GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN
2.1 Letak Geografis
Lintongnihuta terletak di dataran Tinggi Toba yang merupakan kawasan yang
didiami oleh etnis Batak Toba. Secara administratif pada masa Kolonial Belanda,
Lintongnihuta masuk dalam wilayah onderafdeling Dataran Tinggi Toba dengan
ibukota Siborong borong. Lintongnihuta terletak kira kira 20 kilometer dari pusat
pemerintahan kabupaten Humbang Hasundutan yang merupakan pemekaran dari
kabupaten Tapanuli Utara tahun 2003.
Lintongnihuta berbatasan dengan wilayah sebagai berikut:
Sebelah Utara berbatasan dengan kecamatan Muara
Sebelah Selatan berbatasan dengan kecamatan Siborong borong
Sebelah Barat berbatasan dengan kecamatan Dolok Sanggul
Sebelah Timur berbatasan dengan kecamatan Paranginan
Secara geografis Lintongnihuta berada pada ketinggian 1500 meter di atas
permukaan laut dengan curah hujan 100- 500 mm/ tahun dan suhu rata rata dalam
setahun 23 derajat Celsius. Lintongnihuta berhawa sejuk sebagaimana daerah daerah
lain yang ada di Humbang Hasundutan. Biasanya musim hujan dimulai bulan
September sampai dengan bulan April, sedangkan musim kemarau mulai bulan Mei
sampai dengan bulan Agustus6
6
Hasil wawancara dengan Camat Lintongnihuta bapak Maruhum Sihombing tanggal 7 Juli 2009 pukul 11.00 Wib.
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
Kondisi alam Lintongnihuta terdiri atas dataran yang luas, sawah, perkebunan
dan ladang. Sebagian besar tanah di daerah ini digunakan sebagai areal pertanian baik
ladang, sawah, dan kebun. Pada umumnya, masyarakat di Lintongnihuta sebagian
besar hidup dari pertanian. Hasil pertanian digunakan untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari masyarakat. Ladang biasanya ditanami tanaman kopi, sayur-
sayuran, ubi, dan lain lain, sedangkan sawah ditanami padi.
Sebagai usaha sampingan selain bertani, masyarakat Lintongnihuta juga
memelihara jenis hewan peliharaan seperti: kerbau, babi, anjing, dan ayam. Hewan
peliharaan tersebut berguna sebagai tambahan mata pencaharian hidup. Pada
umumnya hewan hewan ini akan dijual apabila ada kebutuhan yang mendesak.
Penyebaran penduduk di Lintongnihuta tidak merata di setiap desa, bervariasi
antara 3 sampai dengan 31 jiwa/ km2. Ini disebabkan oleh faktor geografis, tingkat
kesuburan tanah, ketergantungan fasilitas sarana/ prasarana, daya serap lapangan
kerja yang berbeda pada masing-masing desa di Lintongnihuta. Penggunaan lahan
pertanian di Lintongnihuta masuh relatif rendah dilihat dari lahan yang masih
menganggur berupa semak belukar dan ilalang. Jika dibandingkan dengan daerah
daerah lain yang ada di kabupaten Humbang Hasundutan, Lintongnihuta berperan
sebagai penghasil kopi7
7
Hasil wawancara dengan Seksi Kesejahteraan Masyarakat kecamatan Lintongnihuta bapak Pinantun Sinaga tanggal 7 Juli 2009 pukul 13.30 Wib.
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
2.2 Keadaan Demografis
Sampai pada masa kemerdekaan Indonesia, jumlah penduduk di
Lintongnihuta sulit diketahui secara pasti karena tidak adanya data tertulis tentang hal
itu. Berdasarkan sensus penduduk pada tahun 1985 jumlah penduduk di kecamatan
Lintongnihuta secara keseluruhan adalah 18.335 jiwa yang terdiri atas laki laki 9071
jiwa, dan perempuan 9264 jiwa.
Untuk lebih jelasnya, keadaan jumlah penduduk dapat dilihat secara rinci
pada tabel di bawah ini
Tabel 1 : Jumlah Penduduk Kecamatan Lintongnihuta berdasarkan umur dan jenis
kelamin pada tahun 1985
NO Umur Laki laki Perempuan Jumlah persentase
1 0-5 1623 1721 3344 18.23
2 6-10 1468 1485 2953 16.1
3 11-15 1370 1464 2834 15.45
4 16-25 1258 1193 2451 13.36
5 26-45 1556 1579 3135 17.09
6 46-55 957 964 1921 10.47
7 56 ke atas 839 858 1697 9.25
Jumlah 9071 9264 18335 100
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
Berdasarkan tabel diatas, tergambar bahwa persentase jumlah penduduk laki laki 49,
47% dan jumlah penduduk perempuan 50,52%.
Di Lintongnihuta mayoritas penduduknya memeluk agama Kristen, baik
agama Kristen Protestan maupun Kristen Katolik. Untuk lebih jelasnya berikut ini
dapat dilihat secara rinci pada tabel yang menggambarkan keadaan penduduk
berdasarkan agama.
Tabel 2 : Jumlah Penduduk Kecamatan Lintongnihuta berdasarkan agama pada tahun
1985.
No Agama Jumlah (Jiwa) Persentase
1 Islam - -
2 Kristen Protestan 12439 67,84
3 Kristen Katolik 5896 32,15
4 Budha - -
5 Hindu - -
Jumlah 18335 100
Sumber: Kantor Camat Lintongnihuta
Berdasarkan tabel diatas, dapat digambarkan bahwa sebagian masyarakat
Lintongnihuta menganut agama Kristen Protestan 67, 84% dan yang menganut agama
Kristen Katolik sebanyak 32,15%.
Penduduk yang mendiami daerah Lintongnihuta adalah mayoritas etnik Batak
Toba dan didominasi oleh marga Sihombing Siopat Ama (sihoming empat bapak).
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
marga Hutasoit mendiami daerah Hutasoit, marga Silaban mendiami daerah Silaban,
marga Lumban Toruan mendiami sekitar Lintongnihuta. Selain itu, marga marga
tanah yang lain di daerah ini seperti marga Siburian, marga Siregar, dan marga
Sinaga8.
Kemudian ditambah dengan marga marga lain yang datang ke daerah ini
seperti marga Sitanggang, marga Pasaribu, dan lain lain. Keberadaan marga lain di
daerah ini disebabkan oleh proses perkawinan dan pekerjaan. Misalnya pria marga
lain ada yang mempersunting gadis di daerah ini dan kemudian tinggal menetap.
Dengan istilah jika pria yang bermarga lain yang mempersunting gadis di daerah
tersebut dan tinggal menetap yaitu sonduk hela. Sedangkan marga yang lain yang
datang di daerah ini dengan alasan pekerjaan adalah guru dan tenaga medis.
2.3 Latar Belakang Historis
Perkembangan suatu daerah tidak terjadi begitu saja, tetapi tumbuh dan
mengalami perubahan. Demikian halnya dengan Lintongnihuta, awalnya
Lintongnihuta yang merupakan wilayah yang dipenuhi oleh hutan rimba, ditumbuhi
pepohonan dan semak belukar dan menjadi tempat binatang buas, tetapi lama
kelamaan tumbuh sebagai daerah yang terbuka.
Masyarakat Batak Toba meyakini bahwa mereka berasal dari keturunan Siraja
Batak yang berdiam di Pusuk Buhit, Sianjur Mulamula kecamatan Harian9
8
Hasil wawancara dengan bapak Maringan Sihombing tanggal 17 Juli 2008 pukul 20.00 Wib.
9
DJ Gultom Raja Marpodang, Dalihan Natolu Nilai Budaya Suku Batak, Medan: CV. Amanda, 1992., hal. 431.
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
mereka menyebar ke berbagai daerah untuk mencegah agar jangan sampai terjadi
perkawinan sesama saudara, sehingga Siraja Batak membuat silsilah ( tarombo).
Dengan silsilah ini setiap orang harus mencantumkan nama nenek moyang (yang
kemudian berubah menjadi marga) di belakang namanya. Adanya marga ini membuat
setiap orang mengetahui boleh tidaknya seseorang untuk dikawini.
Semula Sihombing bermukim di Pulau Samosir. Untuk memperoleh ruang
hidup yang lebih baru dan lebih baik ia bersama keempat anaknya: Silaban,
Lumbantoruan, Nababan, dan Hutasoit pindah ke Tipang, seberang Danau Toba10
Keluarga Sihombing beserta anak-anaknya cepat berlipat ganda di Tipang.
Mereka mengolah lahan persawahan dan pertanian yang semakin luas di sana. Jumlah
penduduk yang semakin banyak mengakibatkan lahan pertanian semakin tak cukup,
maka sebagian keturunan Sihombing bermigrasi (pindah) ke dataran tinggi yaitu
Humbang. Keturunan Lumbantoruan mendirikan kampung dekat Lintongnihuta yaitu
Sipagabu. Dari Sipagabu inilah secara bertahap keturunan Lumbantoruan berpencar
dii daerah Humbang, yaitu:Lintongnihuta dan sekitarnya, Bahalbatu dan sekitarnya,
Sibaragas dan sekitarnya, Sipultak dan sekitarnya, Butar dan sekitarnya
.
Tipang terletak di pantai selatan Danau Toba pada tanah pesisir yang sempit
dikelilingi perbukitan yang cukup tinggi tidak jauh dari Bakara, tempat pemukiman
Raja Sisingamangaraja.
11
Awalnya mereka hidup berkelompok, lalu membangun pemukiman dan
mengusahai tanah untuk dijadikan lahan pertanian. Perkembangan penduduk semakin
.
10
Ibid., Hal. 439.
11
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
lama semakin bertambah, sehingga hutan rimba yang dulunya ditumbuhi pepohonan
dan semak belukar digarap dan dijadikan tempat permukiman penduduk. Sesuai
dengan perkembangan waktu, pertambahan penduduk semakin banyak, sebagian
mereka berpencar dan membuka pemukiman baru.
Nama Lintongnihuta berasal dari dua kata yaitu Lintong artinya datar,
sedangkan huta artinya kampung. menurut informasi para tetua sebutan daerah
Lintongnihuta berarti daerah yang datar sehingga masyarakat mengatakan dengan
nama Lintongnihuta12
Setelah kemerdekaan Republik Indonesia, daerah Lintongnihuta menjadi
sebuah kecamatan di kabupaten Tapanuli Utara. Pusat pemerintahan kecamatan
Lintongnihuta dipusatkan di Pasar Baru. Kecamatan Lintongnihuta terdiri dari
beberapa desa desa yang langsung dipimpin oleh kepala desa. Desa desa di
kecamatan Lintongnihuta terdiri dari desa Silaban, desa Nagasaribu, desa Tapian
Nauli, desa Sitolu Bahal, desa Pearung, desa Paranginan, desa Parulohan, desa
Sibuntuon, desa Huta Soit, desa Pargaulan dan desa Pasar Baru .
13
Umumnya masyarakat yang tinggal di daerah ini membentuk permukiman
sendiri yang disebut dengan Huta ( Kampung). Huta merupakan sebuah
pemerintahan kecil yang berdiri sendiri dan berdaulat penuh atas eksistensi hutanya
keluar maupun ke dalam. Biasanya huta dikelilingi oleh benteng benteng dan .
12
Hasil wawancara dengan Maringan Sihombing tanggal 17 Juli 2009 pukul 20.00 Wib
13
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
ditanami pohon bambu dengan maksud untuk menahan musuh jika sewaktu waktu
musuh menyerang huta14
Tiap huta terikat akan peraturan yang ditetapkan oleh dewan huta disebut
dengan horja. Huta dipimpin oleh seorang pengetua Huta sebagai pendiri huta, dan
dialah yang memimpin aktivitas baik dalam pendirian rumah, upacara upacara adat
dan segala aktivitas upacara ritual yang terbatas pada kawasan hutanya. Tiap huta
mempunyai raja huta yang berhak menentukan segala yang berlaku di hutanya.
Peperangan antar huta sering terjadi terutama sewaktu masyarakatnya menganut
kepercayaan animisme dan kepercayaan dinamisme. Hal ini terjadi karena setiap huta
ingin memperluas wilayahnya sekaligus menunjukkan kekuatannya .
15
Seiring dengan bertambahnya jumlah masyarakat, mereka kemudian
membentuk suatu tempat perkumpulan yaitu partukkoan
. Di samping itu
juga adanya persebaran marga marga Batak Toba pada masa leluhur yang pertama
selalu terjadi sengketa soal tanah, warisan, barang pusaka, dan lain lain, sehingga
masalahnya terus berlarut larut sampai kepada turunannya masing masing.
Masuknya agama Kristen mengakibatkan semakin jarangnya terjadi perang
antar huta. Hal ini tidak terlepas dari usaha usaha missionaris untuk memajukan
masyarakat dan mengubah cara berpikirnya melalui pendidikan ditambah dengan
ajaran agama Kristen yang menganjurkan agar setiap umat saling mengasihi.
16
14
Sitor Situmorang, Toba Na Sae, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993., hal .42.
15
Ibid., hal.44.
. Partukkoan ini berguna
sebagai tempat pertemuan dalam membicarakan hal hal yang penting dan juga
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
sehari hari. Lambat laun partukkoan ini berubah fungsi menjadi tempat pertemuan
antara penjual dan pembeli dalam melakukan hubungan jual beli. Biasanya di
Lintongnihuta hari pekan dilakukan sekali dalam seminggu yaitu pada hari Senin.
2.4 Sistem Sosial Masyarakat
Masyarakat Batak Toba menganut sistem kekerabatan berdasarkan patrilineal,
yaitu berdasarkan garis keturunan ayah. Kelompok kekerabatan berdasarkan satu
ayah disebut dengan sa ama, sedangkan kelompok kekerabatan berdasarkan satu
nenek moyang disebut sa Ompu dan kelompok kekerabatan yang mencakup kedua
duanya (sa ama dan sa ompu) disebut dengan sa panganan17
Perasaan senasib dan sepenanggungan masih terdapat dalam masyarakat di
Lintongnihuta, tetapi hal itu terbatas pada aktivitas yang berkaitan dengan kematian,
kecelakaan, dan musibah. Penggunaan istilah kekerabatan ada dua macam yaitu
istilah untuk menyapa (term of address) dan istilah untuk menyebut seseorang, .
Kelompok batih disebut ripe yang juga merupakan kelompok kekerabatan
terkecil. Istilah ripe dapat juga dipakai untuk menyebutkan keluarga luas Patrilokal.
Kelompok kekerabatan yang berdasarkan tempat tinggal ( teritorial) yang disebut
sapanjouan. Sa ompu dapat disebut klen kecil, tetapi istilah ini dipakai juga untuk
menyebutkan kerabat yang terikat dalam satu nenek moyang. Anak laki laki
mempunyai kedudukan yang penting dalam keluarga karena laki laki adalah penerus
silsilah atau tarombo sesuai dengan sistem kekerabatan patrilineal.
16
Ibid., hal.52.
17
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
misalnya untuk menyebut nama panggilan seseorang ( term of reference)18
1. perbedaan tingkat umur dan status kawin
. Pada
umumnya ada tiga stratifikasi sosial dalam masyarakat Batak Toba dalam kehidupan
sehari hari yang didasarkan atas:
2. perbedaan tingkat keaslian
3. perbedaan pangkat dan jabatan.
Di kalangan masyarakat di daerah Lintongnihuta, prinsip yang pertama dan
kedua sangat kelihatan. Stratifikasi sosial berdasarkan perbedaan umur dan status
kawin kelihatan dalam pelaksanaan upacara adat serta urusan kekerabatan lainnya.
Dalam hal mengambul keputusan maka yang berhak adalah orangtua dan yang telah
kawin. Anak anak muda atau orang yang belum kawin hanya berfungsi sebagai
tenaga pelaksana (parhobas ). Demikian halnya stratifikasi sosial berdasarkan
keaslian, kelihatan perbedaan antara marga tanah dan marga boru. Marga tanah yang
dimaksud adalah marga marga yang pertama membuka permukiman di daerah ini,
sedangkan marga boru merupakan marga marga yang datang di daerah ini karena
perkawinan maupun karena pekerjaan. Hak untuk memiliki tanah menjadi pempinan
desa, menerima jambar19
18
Sitor Situmorang, Op-Cit., hal.54.
19
Jambar merupakan imbalan dalam bentuk daging maupun dalam bentuk uang yang diberikan kepada anggota masyarakat yang hadir dalam pesta.
pada umumnya masih dipercayakan kepada marga tanah.
Jika marga boru ingin memiliki atau menjual sebidang tanah, maka harus terlebih
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
Hubungan antara marga tanah dan marga boru di Lintongnihuta dipererat
dengan falsafah Dalihan Natolu. Pelaksanaan segala kegiatan terutama yang
berhubungan dengan acara pesta adat harus berpedoman dengan falsafah tersebut.
Pelaksana operasional adalah pihak boru, mereka ini harus rela berkorban
demikesuksesan pesta. Kelompok marga tanah bertindak sebagai hula hula. Upacara
adat dilaksanakan untuk mencapai tujuan yaitu: hagabeon ( banyak keturunan),
hamoraon ( banyak kekayaan), dan hasangapon (kemuliaan).
Dalihan Natolu (Tungku nan Tiga) bagi masyarakat Batak Toba merupakan
ciri khas dalam kesatuan hubungan kekeluargaan. Dalam dalihan Natolu terdapat tiga
unsur kekeluargaan yang saling berhubungan yaitu:
2. Hula hula ( keluarga pemberi istri)
3. Dongan sabutuha ( teman semarga)
4. Boru ( keluarga dari penerima istri).
Unsur Hula hula dalam masyarakat Batak Toba harus selalu dihormati, karena
ada anggapan bahwa hula hula adalah Debata na niida (allah yang nampak) sehingga
dalam perbuatan dan tindakan harus hati hati. Pihak hula hula selalu memberikan
berkat dan nasehat kepada pihak paranak (penerima istri) dengan memberikan ulos.
Unsur dongan sabutuha yaitu mereka yang berasal dari satu marga yang satu
penanggungan, satu perasaan dalam memikul beban secara bersama sama terutama
dalam upacara adat. Dalam kehidupan sehari hari namardongan tubu harus saling
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
berdiskusi dalam kegiatan sehari hari. Sedangkan unsur Boru yaitu kelompok yang
terdiri dari penerima istri20
adalah dalam upacara adat, baik dalam upacara adat perkawinan maupun upacara adat
orang meninggal
.
Aktivitas dalihan Natolu yang sangat nampak dalam masyarakat Batak Toba
21
Dalihan Natolu memegang peranan penting dalam kehidupan sosial
masyarakat Batak Toba dan tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan sehari hari
sejak lahir hingga akhir hayatnya
. Ketiga unsur Dalihan Natolu mempunyai peran masing masing.
Baik upacara adat perkawinan maupum upacara orang meninggal, pihak Hula hula
merupakan pemberi Umpasa (nasehat) dan berkah kepada mempelai dan keluarganya
dengan memberikan ulos sebagai simbol, dan dongan Sabutaha sebagai Paniroi
(pembimbing ) dan bertindak dalam mengatur jalannya pesta, sedangkan Boru disebut
sebagai Parhobas (pelayan) yang mengatur segala perlengkapan perlengkapan
upacara pesta. Demikian juga halnya dengan upacara adat orang meninggal.
22
20
Hasil wawancara dengan bapak Ramidin Sirait tanggal 19 Juli 2009 pukul 13.00 Wib.
21
T.M Sihombing, Op-Cit., hal.18.
22
Ibid., hal.24.
. Dalihan Natolu adalah falsafah hidup dan
pundasi yang kukuh dalanm hubungan sosial dan dalam interaksi hubungan biasa
maupun hubungan kekeluargaan. Berdasarkan Dalihan Natolu orang orang Batak
Toba dapat dengan segera mengetahui status, fungsi dan sikap sosialnya.
Dalihan Natolu berhubungan juga dengan kepercayaan. Simbol simbol konsep
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
Batak Toba mempercayai Debata Mulajadi Nabolon sebagai Pencipta (yang Maha
Kuasa) yang disebut juga dengan Debata Natolu dengan wujud pancaran kuasanya
meliputi kebijakan, kebenaran dan kekuatan23
23
Ibid., hal.41.
. Wujud pancaran kuasa Debata
Mulajadi Nabolon diwujudkan dalam kehidupan masyarakat Batak Toba yaitu hula
hula sebagai wujud kebijakan, Dongan Sabutuha sebagai wujud kebenaran, boru
sebagai wujud kekuatan. Semua yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat
Batak Toba akan terlaksana dengan baik apabila berlangsung sesuai dengan Dalihan
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
BAB III
TUMBUH DAN BERKEMBANGNYA AGAMA KATOLIK
3.1 Kepercayaan Masyarakat Lintongnihuta Sebelum Masuknya Ajaran Katolik
Sebelum agama Kristen masuk di Lintongnihuta, masyarakat Lintongnihuta
telah memiliki kepercayaan tradisional yaitu kepercayaan kepada roh orang
meninggal, dan kepercayaan terhadap pohon-pohon besar, dan tempat tempat yang
keramat. Di samping itu, masyarakat Lintongnihuta juga percaya kepada Debata
Mulajadi Nabolon dengan kemuliaannya di banua atas ( langit).
Kepercayaan masyarakat kepada Debata Mulajadi Nabolon dengan wujud
pancaran kekuasaannya adalah Debata Natolu yaitu Batara Guru dengan lambang
warna hitam yang menggambarkan hahomion ( kebijaksanaan), Debata Sori dengan
lambang warna putih yang menggambarkan habonaran ( kesucian), dan Debata
Balabulan dengan lambang warna merah yang menggambarkan hagogoon (
kekuatan). Lambang Debata Natolu merupakan wujud pancaran kuasa Mulajadi
Nabolon yang dilambangkan dengan tiga warna hitam, putih, merah. Sebagai
penghubung dari ketiga warna ini disebut dengan bonang Manalu24
Kepercayaan kepada roh orang meninggal disebut dengan istilah sipele begu.
Roh orang meninggal atau nenek moyang harus dihormati dengan memberikan
makanan dalam bentuk sesajen. Upacara pemberian makanan kepada arwah orang
meninggal dilakukan pada acara-acara tertentu berdasarkan tata cara yang dianggap
suci untuk melakukan penyembahan
.
25
24
DJ Gultom Raja Marpodang, Op-Cit., hal.372.
25
Ismail Manalu, Mengenal Batak, Medan: CV. Kiara, 1985, hal.4.
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
Dalam acara menghormati roh orang meninggal, dilakukan dengan
memberikan sesajen dalam bentuk napinadar ( sajian makanan yang terdiri dari nasi
yang diwarnai dengan kunyit dan daging ayam yang dimasak dengan pedas) dan
naniura ( sajian makanan yang terdiri dari nasi yang diwarnai dengan kunyit dan ikan
mas yang dimasak tanpa menggunakan api, tetapi dengan menggunakan asam).
Sesajen yang sudah dipersiapkan diletakkan dalam lage tiar ( tikar yang terbuat dari
daun pandan berukuran kecil) yang diletakkan diatas gobuk ( tempat penyimpanan
padi). Sesajen tersebut dibiarkan dalam beberapa menit, sesudah itu makanan diambil
dan dibagi bagikan kepada seluruh anggota keluarga. Pemberian makanan kepada roh
orang meninggal dipercaya akan mendatangkan berkat dan perlindungan bagi seluruh
anggota keluarga.
Pemberian sesajen ini dilakukan pada acara ritual seperti mangongkal holi/
saring saring ( membingkan tulang belulang kerabat keluarga yang sudah lama
meninggal) untuk dimasukkan ke dalam tugu26
Kepercayaan masyarakat Lintongnihuta sebelum masuknya ajaran Kristen di
Lintongnihuta terhadap pohon pohon besar sangatlah kuat. Masyarakat mempercayai
bahwa pohon besar merupakan tempat tinggal roh roh orang meninggal dan nenek
moyang. Pohon besar yang dianggap sakral ini disebut dengan hau jabi jabi (pohon , menjelang musim tanam padi dan
musim panen padi, jiarah ke kuburan dan kepercayaan kepercayaan kepada roh yang
dianggap sakral oleh masyarakat.
26
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
beringin). Sebelum melakukan kegiatan pengolahan sawah untuk menanam padi,
masyarakat akan membuat suatu acara ritual sebagai isyarat meminta izin kepada roh
roh yang bertempat tinggal di hau jabi-jabi27
Menurut pandangan masyarakat Batak Toba, dunia ini terbagi atas tiga bagian
yaitu Banua ginjang yang disebut dengan benua atas, merupakan tempat kuasa
Mulajadi Nabolon yang dihuni oleh orang-orang suci, sedangkan banua Tonga
merupakan tempat berdiam makhuk-makhluk ciptaan Mulajadi Nabolon termasuk
manusia, dan banua holing yang disebut dengan benua bawah merupakan tempat
tingga l dari roh-roh jahat yang selama hidupnya mengganggu kehidupan manusia . Upacara ini biasanya dilakukan oleh
satu kampung yang dipimpin oleh natua tua ni huta ( pengetua kampung).
28
Pandangan masyarakat Batak Toba terhadap kematian merupakan sebuah
ketakutan manusia. Penyebab kematian manusia adalah oleh begu
.
29
untuk menghubungkan parsimangotan (arwah) orang meninggal meminta petunjuk
agar begu tidak mengganggu hidup manusia. Setiap datu yang dipanggil untuk
menghubungkan manusia dengan roh nenek moyangnya, selalu membuat interpretasi
sendiri akan hubungan keluarga dengan roh nenek moyang tersebut. Agar begu tidak yang dapat
menghantui hidup manusia. Begu sering mengganggu kehidupan manusia, bila
manusia selama hidupnya tidak bagus di dunia, begitu jugalah roh rohnya akan selalu
mengganggu manusia setelah meninggal. Begu yang sering mengganggu manusia
merupakan roh roh manusia yang sering berbuat jahat sewaktu hidup.
Untuk menghindari gangguan dari begu ini manusia memanggil datu (dukun)
27
Ibid., hal .8.
28
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
mengganggu keluarga, diberikanlah sesajen dalam bentuk napinadar ataupun naniura
untuk diberikan kepada roh roh jahat setelah dimanterai oleh datu.
Untuk menjaga dan memelihara hubungan antara manusia dengan roh-roh
nenek moyang, tiap-tiap individu dalam masyarakat Batak Toba harus melakukan
berbagai aturan kepercayaan antara lain: setiap anak yang baru lahir dan sesudah
berumur tujuh hari, bayi harus dibawa keluarga martutu aek. Martutu aek adalah
acara kepercayaan, memperkenalkan bayi pada ciptaan Mulajadi Nabolon dan
meminta agar bayi itu disucikannya, setelah itu bayi dibawa maronan yaitu sebuah
acara untuk kepercayaan memperkenalkan pada kehidupan dunia atau kehidupan
manusia30
Setelah anak dewasa dibuat acara mangalontik ipon yaitu meratakan giginya
sebagai pertanda bahwa ia telah dewasa. Dengan tanda itu maka ia akan
bertanggungjawab akan sikap sopan santun bagaimana bersikap perilaku seorang
dewasa. Jika si anak akan kawin, ruhut-ruhut (aturan) kepercayaan dan adat harus
dipenuhinya, dan acara perkawinan itu disebut pasu pasu raja. Acara perkawinan
pasu pasu raja inilah sebagai pertanda bahwa perkawinan itu sah berdasarkan
kepercayaan dan adat. Setelah uzur dan mendekati ajal, maka turunannya akan
memberikan sulang-sulang yang disebut juga pasahat sipanganon natabo. Pasahat
sipanganon natabo kepada orangtua merupakan pemberian makanan yang lezat
kepada orangtua sebelum ajalnya. Pada saat acara manulangi itulah orangtua .
29
Begu artinya hantu
30
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
memberkati anak anaknya, menggariskan penggunaan warisan, memberi nasehat dan
petunjuk perhadap anak anaknya.
3.2 Proses Masuknya Agama Katolik 3.2.1 Agama Katolik di Sumatera Utara
Sebelum membicarakan proses masuknya agama Katolik di Lintongnihuta,
terlebih dahulu dijelaskan perkembangan agama Katolik di Sumatera Utara.
Perkembangan agama Katolik di Sumatera Utara, Tapanuli, dan Lintongnihuta
merupakan rangkaian dari peristiwa peristiwa pergolakan yang terjadi di Eropa sejak
abad ke- XVI. Tahun 1517 terjadi pergolakan besar dalam agama Katolik di Eropa.
Hal ini menimbulkan perpecahan dengan berpisahnya “kelompok” yang menamakan
dirinya Protestan di bawah pimpinan Martin Luther.31
Tahun 1546 agama Katolik telah berkembang di Maluku dibawa oleh
missionaris-missionaris Portugis. Sementara itu misi Kristen Protestan juga
mengembangkan agama Kristen Protestan di sebelah Barat Indonesia
Protestan yang memisahkan
diri dari Katolik berkembang pesat di Eropah sampai Nusantara dan seterusnya ke
Tanah Batak. Demikian halnya dengan perkembangan agama Katolik juga sampai ke
Nusantara dan seterusnya sampai ke Tanah Batak.
32
31
Arnoldus, Op-Cit., Hal .52.
32
Ibid., Hal .55.
. Di Sumatera
Utara sebenarnya usaha usaha dari pihak Katolik sudah lama untuk mengembangkan
agama Katolik. Usaha perkembangan agama Katolik pertama dipelopori oleh Pastor
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
sebab itu misi agama Katolik yang pertama mengalami kegagalan dan berakhirlah
usaha pertama misi Katolik di Sumatera Utara, khususnya Tapanuli.
Sejak pertengahan abad ke- 19 (tahun 1861) para missionaris Protestan dari
Rheinische Missiongeselschaft ( Bremen Muppertal) telah menjalankan misi mereka
di kalangan Batak. Usaha ini baru menampakkan hasil nyata sesudah kurun waktu
sepuluh tahun dengan tampilnya missionaris Nomensen, yang membuka lembaran
baru bagi pengkristenan orang Batak Toba. Pewartaan ini tampak pada waktu tahun
1870 di lembah Silindung dengan titik beratnya di Tarutung, Tapanuli Utara.
Selanjutnya pengkristenan diperluas wilayah-wilayah di sekitar Tapanuli Utara
termasuk Lintongnihuta, Balige dan daerah Simalungun. Perkembangan zending
berhasil membentuk masyarakat Kristen Batak ( Hatopan Kristen Batak).
Keberhasilan penyebaran agama Protestan tidak diikuti secara mudah oleh
agama Katolik dikarenakan penyebaran agama Katolik sangat terikat dengan
peraturan pemerintah Hindia Belanda yang tertuang dalam perundang undangan pasal
123( kemudian menjadi pasal 177) yang melarang adanya zending berganda yaitu
aktifitas zending dan misi oleh berbagai gereja yang sama. Alasannya supaya
ketertiban dan keamanan tidak terganggu. Peraturan pemerintah kolonial ini
mengakibatkan penyebaran agama Katolik di tengah tengah orang Batak tersendat.
Tahun 1870-an orang Katolik Eropa di pantai Sumatera Timur dikunjungi
oleh Pastor Jesuit dari Sungai selan (Bangka). Antara tahun 1878 dan tahun 1884
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
bekerja di perkebunan). Sejak itu Medan menjadi stasi33 tetap dan dikunjungi secar
berkala. Tidak lama kemudian, pastor Jesuit dipanggil ke Jakarta. Tahun 1913, saat
berada di Jakarta, pastor Wennecker, SJ memberi pelajaran agama Katolik kepada
beberapa orang Batak. Demikian juga pada beberapa siswa Batak yang sedang belajar
di sekolah guru di Muntilan-Jawa Tengah dengan harapan jika mereka kembali ke
Sumatera, mereka akan menjadi tokoh dan pewarta ajaran Katolik34
Pada awal abad ke-20 seluruh kepulauan Indonesia yang masih dibawah
kerajaan Belanda, dipercayakan kepada Ordo Serikat Jesuit untuk reksa pastoral .
35 .
Seluruh Indonesia berada dibawah vikariat Apostolik Batavia, yang sekarang disebut
Jakarta. Tahun 1905 pulau Kalimantan kepada OFMcap dan pada tahun 1911 pulau
Sumatera dengan pulau-pulau sekitarnya diserahkan juga kepada OFMCap. Seluruh
Sumatera satu prefektur Apostolik di bawah Mgr. Liberatus Cluts OFMCap. Bersama
dengan uskup ini tibalah di Sumatera pada tanggal 13 juni 1912 kapusin kapusin yang
pertama: Matheus de Wolf, CamillusBuil, Augustinus Huijbergts, dan Remigius van
Hoof36
Warisan pertama yang diterima dari pastor pastor Jesuit ialah sekitar 4000
orang yang beriman, hampir semua orang Eropah. Umat tersebut tercerai berai
diseluruh pulau, di kota- kota, dan desa desa menurut tempat pekerjaan mereka.
Banyak di antara pegawai kerajaan Belanda, sebagian administrator perkebunan
karet, kelapa, teh, dan tembakau dan asisten-asisten kebun. Sebagian lagi para .
33
Stasi merupakan unit unit gereja Katolik di daerah pedalaman
34
AGP Datubara, Omnibus Omnia, Medan, 2008., hal .4.
35
Reksa pastoral merupakan wilayah pengembangan pastoran.
36
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
pedagang dan pengusaha di pelabuhan-pelabuhan, dan ada juga termasuk dinas
militer kerajaan37
Sejak missionaris Kapusin masuk ke Sumatera kelompok kelompok orang
batak telah menyatakan keinginannya untuk masuk agama Katolik. Banyak surat
dikirimkan kepada pastor dan juga utusan dari berbagai daerah, agar perluasan agama
Katolik dilakikan di Tanah Batak. Kepada Gubernur Jenderal di Batavia, orang-orang
Batak mengirimkan rekes supaya para missionaris diizinkan masuk ke Tanah Batak.
Tetapi ada kesulitan untuk masuk daerah Batak karena ada larangan dari pemerintah
Hindia Belanda yang tertuang dalam buku hukum pasal 123 ( pasal 177) yang
menyatakan bahwa guru guru Kristen, imam imam, dan pendeta pendeta bila hendak
masuk suatu daerah, untuk melaksanakan tugas mereka, harus lebih dulu mendapat
izin dari Gubernur Jenderal .
38
Menghadapi tantangan tantangan ini, para missionaris tak henti hentinya
berjuang. Mgr. Brans sendiri berusaha sekuat tenaga untuk memperoleh izin agar para
missionaries Katolik dapat masuk ke Tanah Batak, khususnya Tapanuli. Oleh karena
itu dengan sengaja stasi-stasi di pinggiran Tanah Batak seperti di daerah Laras, . Kalau tugas mereka dianggap mengganggu keamanan
suatu daerah maka izin masuk mereka dapat dicabut oleh Gubernur Jenderal.
Terutama dobel-zending dilarang ( dua misi sekaligus, yaitu misi Katolik dan
Zending Protestan pada waktu yang sama). Karena sejak tahun 1860 Zending
Protestan sudah aktif di Tanah Batak, maka Gubernur Jenderal tidak lagi memberi
izin kepada misi Katolik untuk masuk Tanah Batak.
37
Ibid., hal .11.
38
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
Simalungun didirikan walaupun umat hampir tidak ada. Untuk mempengaruhi orang
Batak Toba datang, para missionaris mendekati orang Batak Toba, seperti Sibolga.
Menunggu izin masuk ke Tapanuli, para missionaris secara khusus
memperhatikan orang Batak di kota. Pastor Marianus Spanjers ditugasi untuk
mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan misi di Tanah Batak. Setiap hari
Minggu, missa untuk orang orang Batak dilakukan di gereja orang Eropa.
Tantangan dari pihak Protestan pun muncul, Aurelius Kerkers dari Siantar
memberitahukan ada perlawanan dan hasutan dari pihak pemimpin pemimpin
Protestan. Rintangan ini dihadapi para missionaris dengan menerbitkan buku buku
kecil yang diedarkan untuk mempertahankan agama Katolik.,beberapadiantaranya:
Hoeria ni Jesoes Kristoes ima Hoeria Katholiek, Sakramen Panopotion di dosa
dibagasan Hoeria Katholiek, Pelean Misa na badia dibagasan Hoeria Katholiek39
39
Crispinianus Theeuwes OFM Cap, Op-Cit., hal .23.
.
Mgr. Brans bersama para missionaris berusaha keras untuk menembus
Tapanuli. Para missionaris juga mengusahakan perkembangan stasi dan pusat
pengabaran di kota maupun di pedalaman yang biasanya melayani orang Tionghoa
dan orang Eropa. Walaupun belum maksimal, tetapi jumlah umat yang terus
bertambah, para missionaris tetap giat dengan penuh optimis melakukan penyebaran
agama Katolik.
Tahun 1934 Mgr. Brans mendapatkan izin dari pemerintah Kolonial Belanda
masuk ke daerah Tapanuli untuk memulai misi pada orang Batak Toba. Para
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
Sejak tahun 1926 banyak orang Batak Toba pindah ke Medan, masuk gereja
Katolik dan menyekolahkan anak anak mereka di sekolah Katolik yang dikelola
langsung oleh biarawan dan biarawati. Sekolah ini sangat menarik untuk orang Batak
karena terbukti sangat berkualitas. Melihat pengabdian biarawan biarawati serta
teladan keramah tamahan para pastor Kapusin, permintaan orang batak untuk menjadi
Katolik dan mendirikan sekolah di daerah mereka semakin banyak. Pada awalnya
pastor Kapusin ragu karena adanya larangan kolonial, namun karena permintaan
terus mendesak, maka pastor Kapusin mengurus izin ke Jakarta agar dapat berkarya
di Tapanuli. Tahun 1923, misi Katolik diperbolehkan di Sibolga dan sekitarnya.
Kemudian izin diperluas ke daerah Tapanuli tahun 1933, dan di Pulau Nias tahun
1939. Kemudian ke beberapa tempat diutus seorang missionaris tetap, antara lain di
daerah Batak- Simalungun, yakni Pematang Siantar, dan Saribu Dolok tahun 1938.
demikian juga ke daerah Dairi, Sidikalang pada tahun 1938.
Pusat misi di daerah Tapanuli berada di Balige. Dari Balige penyebaran
agama Katolik disebarkan ke daerah Lintongnihuta dengan mendirikan stasi tahun
1937. Tahap pertama yang ekstensif berlangsung dengan melayani tempat tempat
manapun yang dapat dicapai, sehingga umat umat Katolik terdapat diberbagai daerah
pedesaan40
Stasi Batak pertama didirikan dekat Siantar yaitu Laras di perkebunan pada
tahun 1931. Ajaran diperkenalkan di Tanah Batak sehingga permohonan masuk
agama Katolik semakin banyak. Untuk menampung permintaan ini, Prefekt Apostolik .
40
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
mengangkat Kenan Hutabarat menjadi Katekis41
Adat istiadat Batak Toba yang sangat kokoh kemudian guncang dengan
datangnya Nonmensen dengan agama Protestan dan tentara Belanda. Seluruh bangsa
mengalami keguncangan ketika tentara Belanda berhasil membunuh
Sisingamangaraja XII. Masa itu mereka yakin raja dan daerah Batak Toba tidak dengan gaji tetap. Katekis inilah
mengunjungi umat yang ada di Siantar dan para simpatisan sambil mengajarkan
agama Katolik.
Dengan semangat menggelora Mgr. Brans mulai mendirikan sekolah sekolah.
Sekolah dibangun dalam ukuran besar dan megah, terbuat dari beton, lantainya
menggunakan tegel, dan atapnya dari genteng. Pada zaman Kolonial, hanya gedung
yang bermutu yang menerima subsidi dari Roma dan Belanda. Kontrol dari
pemerintah dan sponsor selalu ada, kemewahan gedung ini juga menjadi salah satu
daya tarik dan pamer Katolik menghadapi kelompok lain yang sudah lebih dulu
membangun.
Masyarakat Batak Toba merupakan suku bangsa yang selalu menutup diri
dengan dunia luar, tersendiri dan tidak mempunyai hubungan dengan suku suku di
sekitarnya. Tersembunyi di antara lembah, bukit, dan bukit barisan sehingga
pengaruh agama dan bangsa lain sangat sulit untuk menembus suku ini. Agama Islam
yang diperkenalkan di seluruh Indonesia pada abad ke 13 dan abad ke 14 hampir
tidak berhasil memasuki daerah Tanah batak Toba.
41
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
terkalahkan42. Setelah kematian Sisingamangaraja XII, terbukalah mata mereka,
ternyata Ada kuasa lain yang lebih kuat, agama Kristen dan kolonisasi, yang ternyata
lebih maju, lebih modern dari mereka. Suku Bangsa ini mulai tertarik ingin
mengalami dan meraih kemajuan yang baru. Banyak orang Batak Toba tidak tahan
menunggu sampai kemajuan ini sampai ke pedalaman. Mereka mulai mencarinya
sendiri. Setiap marga, kampung, setiap pemuda ingin memiliki kemajuan. Maka para
remaja mulai keluar untuk merantau. Demikian juga bapak bapak muda keluar dari
kampungnya untuk mencari nafkah di dunia luar. Jika para perantau ini kembali dari
waktu ke waktu ke kampung halamannya, dan hikayatnya tentang pengalamannya di
perantauan menarik lebih banyak orang lain keluar mengejar kemajuan itu43
42
Lothar Schreiner, Adat dan Injil, Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 1972., hal .49.
43
Ibid., hal.52.
.
Begitu kesempatan bersekolah terbuka, orangtua mengirim anaknya untuk
belajar pengetahuan baru, agar lebih maju dan mendapat kedudukan baik. Pada
gilirannya anak anak yang maju ini akan menolong adik adiknya dan keluarganya
untuk turut menikmati kemajuan itu.
Sifat orang Batak memang esoteris, yaitu melihat suatu yang baru dan
menarik, dia tidak tinggal kagum, tetapi langsung ingin memiliki sendiri, melakukan
hal yang sama, atau mampu memperbaiki dan menyempurnakannya. Pepatah Batak
Tobam menyatakan bahwa “ gokhon sipaimaon, jou jou silausan” artinya undangan
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
3.2.2 Masuknya agama Katolik di Tapanuli
Tanggal 12 Maret 1929 pastor paroki pertama diutus ke Sibolga, pastor
Chrysologus Timmermans. Kemudian disusul oleh suster suster dari Tilburg tanggal
21 Maret 1930 yang sebelumnya menetap di Padang. Tanggal 3 Juli 1931 pastor
Aurelius Kerkers memulai karyanya di Pematang Siantar. Sejak pastor Auelius
Kerkers sampai di Pematang Siantar, banyak orang Batak Toba yang bertamu ke
rumah pastor44
Perkembangan agama Katolik di Sibolga dan Pematang Siantar membuka
kesempatan bagi missionaris untuk mengembangkan agama Katolik di daerah Toba.
Pekerjaan missionaris tersebut dibantu oleh orang orang Batak Toba yang . Karena pastor tidak dapat memenuhi undangan mereka untuk datang
ke kampung kampung, maka mereka dilayani dengan cara membagi bagikan brosur.
Sejak diajukannya permohonan untuk mendapatkan izin bagi karya misi,
maka pada tanggal 17 Ferbuari 1933 menghasilkan jawaban positif, yakni
mengkristenkan orang Batak Toba yang banyak menetap di Tapanuli.dengan
dihapuskannya penerapan Pasal 123, zendeling Protestan Jerman mendapat lawan dan
saingan dalam pengkristenan masyarakat Batak Toba di Tapanuli.
Balige menjadi pusat penyebaran agama katolik di wilayah Toba, Samosir,
Dataran Tinggi Toba dan Habinsaran. Alasan missionaris memilih Balige sebagai
pusat misi Katolik karena Balige berada ditengah tengah daerah Batak Toba. Para
missionaris menyebar ke daerah penjuru Tapanuli dengan pesan dari Mgr. Brans “
Pergilah, carilah kontak dengan masyarakat, entah waktu siang ataupun malam