• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bahasa Jawa Di Yogyakarta Dan Usaha Pemertahanannya (Konferensi Linguistik Universitas Airlangga "Fenomena Bahasa dalam Masyarakat Urban" Tahun 2014 oleh Airlangga University Press, ISBN 978-602-7924-70-3)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Bahasa Jawa Di Yogyakarta Dan Usaha Pemertahanannya (Konferensi Linguistik Universitas Airlangga "Fenomena Bahasa dalam Masyarakat Urban" Tahun 2014 oleh Airlangga University Press, ISBN 978-602-7924-70-3)"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Bahasa Jawa Di Yogyakarta Dan Usaha Pemertahanannya

Latif Amrullah IAIN Tulungagung

abstrak

Bahasa selalu berubah bersamaan dengan perkembangan manusia itu sendiri. Dikarenakan adanya kontak dengan budaya dari luar, sebuah bahasa dapat mengalami perubahan jumlah penutur. Namun terjadinya perubahan internal pada penutur juga dapat mengakibatkan terjadinya perubahan bahasa. Kasus-kasus tersebut akan mempengaruhi keberadaan bahasa beberapa waktu mendatang. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada bahasa Jawa di kawasan Provinsi D.I Yogyakarta bagian timur. Berkaitan dengan alasan-alasan tersebut, maka dilakukanlah penelitian ini dengan tujuan untuk menggali lebih jauh faktor-faktor yang mempengaruhi posisi bahasa Jawa dalam masyarakat multibahasa.

Kata kunci: bahasa Jawa; masyarakat multi bahasa; orang Jawa

1. Pendahuluan

Berbicara tentang bahasa Jawa, pembahasan ini tidak dapat lepas dari keberadaan masyarakat Jawa itu sendiri, sebuah susunan kemasyarakatan terbesar di Indonesia dengan tingkat penutur bahasa terbesar, dimana mereka sebagian besar mendiami pulau Jawa. Masyarakat Jawa tersebar dari Jawa Barat hingga Jawa Timur, dengan beraneka ragam dialek kebahasaan. Penduduk asli Jakarta menggunakan dialek Melayu-Betawi karena sejarah kota yang panjang dimana dahulu kota ini merupakan pusat perdagangan dengan pengaruh bahasa Melayu yang kental. Lalu di Jawa Barat bagian tengah dan selatan, masyarakat menggunakan bahasa Sunda, dimana bahasa ini, pada beberapa leksikon, memiliki kesamaan dengan bahasa Jawa di Yogyakarta. Masyarakat yang tinggal di Jawa Timur bagian utara dan timur telah lama dihuni oleh orang-orang Madura yang tetap mempertahankan bahasa Madura. Akan tetapi yang disebut dengan bahasa Jawa yang sebenarnya merupakan bahasa yang digunakan masyarakat penutur yang berada di Jawa Tengah dan Jawa Timur bagian barat (Suseno, 1993: 11).

Eksistensi budaya tidak dapat terlepas dari pengaruh politik geografis tersebut karena memang politik memegang peranan yang sangat kuat dalam pembentukan masyarakat. Pada jaman dahulu, pemerintah yang berkuasa terletak di kerajaan sehingga masih memungkinkan untuk menggunakan pola sentralisasi. Apapun yang dititahkan oleh sang raja, masyarakat pasti akan siap melaksanakannya. Begitu pula dengan kondisi pulau Jawa sekitar tahun 1700an dimana pusat pemerintahan berada di Kartasura dan Yogyakarta, hal tersebut mengakibatkan pusat kebudayaan juga berada di dua kerajaan ini. Bahasa yang juga merupakan bagian dari budaya, secara terpelihara dan terjaga digunakan oleh masyarakat hingga sekarang dengan mengacu kepada bahasa standar yang berasal dari kerajaan. Semakin masyarakat menjauhi pusat kebudayaan, maka penggunaan bahasa akan semakin menjauhi bahasa standar karena juga adanya pengaruh dari kebudayaan luar. Oleh karena itu, dalam tulisan ini bahasa yang digunakan sebagai obyek kajian adalah bahasa Jawa yang berada di sekitar pusat kerajaan Yogyakarta.

(2)

bahasa dan juga demi menjaga keselarasan dalam berhubungan. Adanya derajat sosial akan berimplikasi dengan adanya hierarki sosial, tetapi ini bukanlah suatu batas pergaulan, artinya bahwa masyarakat diharapkan bisa menempatkan diri pada situasi tertentu dengan berperilaku yang tertentu pula, sehingga akan terjalin tata krama masyarakat yang baik. Sebagai dampak dari adanya hierarki sosial dan penempatan diri yang berbeda dalam situasi yang berbeda, maka bahasa sebagai media bicara juga turut beragam, yang di dalam masyarakat Jawa dikenal dengan istilah unggah-ungguh atau sopan-santun kebahasaan.

Unggah-ungguh adalah aturan bahasa berdasarkan letak tata krama. Dari pengertian ini terkandung makna bahwa ketika seseorang mampu menggunakan sopan santun berbahasa, apabila berbicara dengan orang lain, bahasa yang digunakan selalu tertata, sesuai dengan aturan kebahasaan, tata susila, selalu membuat hati menjadi senang. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi sikap sopan-santun kebahasaan bahasa Jawa, antara lain faktor umur antar penutur, faktor kekerabatan, faktor derajat kepangkatan, faktor garis keturunan, faktor kualitas pribadi, serta faktor keintiman (Harjawiyana, 2005: 13). Sehingga dapat diamati bahwa unggah-ungguh merupakan suatu hal yang kompleks dalam sebuah sistem komunikasi yang dilakukan oleh masyarakat Jawa. Kesemuanya mempunyai implikasi terhadap eksistensi individu tertentu di dalam masyarakat.

Menurut Poedjosoedarmo (1968 dalam Suseno, 1993: 62-63), bahasa Jawa terdiri dari 2 tingkat utama yang berbeda dalam kosakata dan tata bahasa. Tingkatan kromo berfungsi untuk mengungkapkan penghormatan, sedangkan tingkatan ngoko berguna untuk mengungkapkan keakraban. Untuk istilah sekitar 850 kata yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, bahasa Jawa mempunyai bentuk ngoko dan kromo. Jumlah tersebut masih harus ditambah dengan sekitar 260 kata pada tingkat bahasa ketiga yakni kromo inggil, dimana tingkatan ini berisi mengenai pribadi, tindakan-tindakan, serta untuk pengungkapan rasa hormat yang amat tinggi. Selain itu, masih ada juga kombinasi tengahan yang merupakan percampuran antara ngoko dan kromo. Sehingga bahasa Jawa mempunyai sebelas tingkat bahasa dimana masing-masing sesuai dengan hubungan kepangkatan sosial tertentu. Oleh karena itu, penggunaan bahasa Jawa mengandalkan kesadaran akan kedudukan sosial masing-masing penutur dan lawan tutur.

Dalam tulisan ini, peneliti mengambil sampel khusus yakni dusun Pundung, Desa Tirtomartani, Kecamatan Kalasan. Dusun ini merupakan daerah urban yang telah banyak bersentuhan dengan pengaruh kota, seperti pendidikan, pergaulan, pekerjaan, namun juga masih mempertahankan tradisi sosio-kultural masyarakat dengan memegang teguh falsafah budaya Jawa. Sehingga daerah ini layak untuk dijadikan obyek pengamatan. Berdasarkan informasi dari masyarakat bahwa dusun ini telah ada sejak jaman kemerdekaan sekitar tahun 1945. Mekipun tidak ada bukti tertulis, namun silsilah keturunan masih ada. Pada sekitar tahun 1998-2004 penulis secara aktif terlibat dalam interaksi sosial kemasyarakatan, mendapati bahwa bahasa Jawa dipergunakan oleh hampir semua golongan masyarakat, bahkan anak-anak pun dapat menggunakan bahasa Jawa dengn baik dan sedikit penggunaan bahasa Indonesia. Mereka mengetahui kapan harus menggunakan ngoko atau kromo. Saat itu bahasa Jawa digunakan dalam aktifitas formal masyarakat seperti rapat perkumpulan warga, arisan ibu-ibu PKK, peringatan HUT RI, atau gotong royong. Sedangkan remaja juga menggunakan bahasa Jawa ketika berkomunikasi informal, atau ketika berbicara dalam forum rapat kepemudaan. Di dalam tulisan ini, para remaja ini dianggap sebagai generasi pertama karena pengamatan dimulai dari titik ini.

(3)

bahasa Jawa kromo. Padahal pada era genereasi pertama, mereka mampu menggunakan kromo pada usia yang sama dengan anak-anak saat ini.

Dari bukti-bukti yang ada di lingkungan masyarakat tersebut, terlihat bahwa terjadi pergeseran penggunaan bahasa pada masyarakat generasi kedua dan ketiga. Oleh karena itu, penelitian ini akan mengamati faktor-faktor yang mempengaruhi pergeseran penggunaan bahasa Jawa oleh masyarakat. Selain itu, akan disampaikan solusi yang ditawarkan terkait dengan fenomena kebahasaan tersebut agar bahasa Jawa tidak mengalami kepunahan. Sebagai penutup, akan disampaikan kesimpulan hasil penelitian pada bagian akhir.

2. Metode

Dusun Pundung merupakan salah satu perkampungan di wilayah kelurahan Tirtomartani, kecamatan Kalasan, kabupaten Sleman. Kampung ini dikategorikan kecil karena hanya memiliki sekitar 170 kepala keluarga. Sebagian besar pekerjaan warga adalah petani dan buruh, meskipun juga ada yang berprofesi sebagai karyawan pabrik, pedagang, karyawan swasta, wirausaha, PNS, dan TNI/Polri. Kampung ini terbelah oleh akses jalan kabupaten yang merupakan sarana lalu lintas penghubung dimana setiap jam berangkat dan pulang kerja selalu ramai, disamping itu akses menuju pusat kota juga tidak terlalu sulit karena cukup ditempuh dalam waktu 30 menit. Sehingga banyak anggota masyarakat yang bekerja atau belajar di pusat kota dan mereka bersentuhan dengan pola kehidupan perkotaan. Tentunya aspek bahasa, secara disadari atau tidak, pasti juga akan terlibat.

Penelitian ini menggunakan metode pengamatan terlibat, dimana penulis secara pasif masuk ke dalam masyarakat. Perlu dicatat bahwa penulis juga merupakan anggota komunitas masyarakat tersebut, sehingga telah memiliki pemahaman terlebih dahulu mengenai wilayah ini. Obyek pengamatan terdiri dari warga dewasa sebagai generasi pertama, lalu remaja dan anak-anak sebagai generasi kedua dan ketiga. Dengan adanya 3 generasi yang berbeda ini, diharapkan akan ada pembanding sebagai data yang akurat.

3. Masyarakat Multibahasa

Dewasa ini masyarakat umumnya menguasai beberapa bahasa sekaligus, terutama bagi mereka yang mengalami kontak dengan budaya atau bahasa dari luar wilayahnya. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan juga adanya individu di masyarakat yang hanya menguasai satu bahasa atau ekabahasawan. Kasus ini biasanya terdapat pada orang yang telah lanjut usia dimana mereka tidak mampu lagi untuk belajar bahasa pada usia tersebut atau bagi mereka yang tidak mengenyam pendidikan pada waktu dahulu. Otak mengalami kesulitan untuk merekam kosakata baru karena daya serap yang menurun. Selain itu, apabila berhasil menyerap kosakata yang ada, mereka akan mengalami interferensi bahasa pada tahap fonologis, sistem gramatikal, leksikal, dan semantik (Kridalaksana, 1985: 26) yang dikarenakan perbedaan cara ucap dengan bahasa pertama mereka.

(4)

Bilingualisme, atau bahkan multilingualisme, tampaknya sudah mulai menjadi hal yang wajar di Asia, terutama bagi negara-negara yang merdeka pada kurun waktu abad ke 20. Menurut pandangan Kridalaksana (1985: 22) ada dua pokok permasalahan yang menjadi kendala dalam permasalahan kebahasaan ini, yakni 1) Negara yang secara formal telah memiliki bahasa kebangsaan, tetapi bahasa kebangsaan itu belum merupakan kenyataan sosial, sehingga persoalan yang dihadapi adalah bagaimana menyebarluaskan bahasa itu ke seluruh negeri; dan 2) Negara yang secara formal sudah memiliki bahasa kebangsaan dan bahasa itu sudah merupakan kenyataan sosial masih juga mengalami persoalan, karena bahasa kebangsaan itu harus didewasakan dan dimodernisasikan sesuai dengan tuntutan kemajuan. Dari kedua permasalahan tersebut, negara Indonesia masih menghadapi tantangan yang ke 2 yakni mengenai pendewasaan bahasa.

Dalam proses pendewasaan bahasa ini, bahasa Indonesia menyerap kosakata entah yang berasal dari bahasa daerah atau bahasa asing luar negeri. Tampaknya pengaruh bahasa daerah sangat kuat dalam proses pembentukan bahasa Indonesia karena memang budaya masyarakat Indonesia telah berakar denga kuat. Sedangkan adanya serapan dari bahasa asing terkesan

merupakan suatu “keharusan” yang dikarenakan tidak adanya kosakata tersebut dalam bahasa

Indonesia. Dalam satu sisi, bagi mereka yang mendukung penggunaan bahasa Indonesia secara menyeluruh, masyarakat sebaiknya menggunakan bahasa Indonesia karena ini merupakan bahasa yang telah diterima dan disepakati sebagai bahasa nasional, yang artinya masyarakat harus belajar tentang bahasa Indonesia. Akan tetapi, di sisi lain posisi bahasa daerah akan semakin terancam karena kehilangan penutur bahasa. Maka akan timbul segolongan masyarakat yang merasa perlu untuk tetap mempertahankan bahasa daerah dalam kehidupan dan masyarakat. Pada tataran ini seolah-olah terdapat suatu “persaingan” antara bahasa daerah dan bahasa nasional dalam kerangka aplikasi praktis (Kridalaksana, 1985: 22-23).

4. Fenomena Kebahasaan

Dengan berdasar pada adanya bilingualisme dalam masyarakat dan juga perkembangan budaya, maka secara langsung mempengaruhi masyarakat dalam berbahasa. Fenomena yang ada di dusun Pundung adalah bahwa bahasa Jawa mulai mengalami reduksi secara perlahan-lahan sehingga hanya bahasa Jawa ngoko saja yang sering dipakai oleh masyarakat, sedangkan bahasa Jawa kromo mulai jarang dipakai. Berikut ini adalah beberapa hal yang berpengaruh terhadap pemakaian bahasa Jawa di dusun Pundung.

4.1.Pengasuhan di Keluarga

Keluarga memegang peranan sangat penting dalam tumbuh kembang anak. Mereka akan melakukan imitasi terhadap orang-orang yang ada dalam keluarga dan lingkungan sekitar. Pengasuhan yang baik akan menjadikan anak berbahasa dengan baik, akan tetapi pengasuhan yang buruk akan berakibat pada hilangnya nilai-nilai budaya jawa. Seperti dalam kasus berikut:

Ibu : “Nendra ora pareng nakal to!” (diucapkan dengan nada berteriak keras) Anak : “Yo ben tho mak!” (diucapkan dengan nada berteriak lebih keras)

Si anak laki-laki yang berusia 3 tahun berkelahi dengan tetangga yang sama umurnya. Hal ini diketahui oleh si ibu yang kemudian memarahinya dengan suara berteriak keras. Apa yang dilakukan si ibu sebenarnya sangat berpengaruh terhadap kondisi psikologis anak karena anak mendapat tekanan dari orang tua. Selain itu, usia 3 tahun merupakan periode emas ketika anak melakukan penyerapan kosataka dari lingkungan sekitarnya. Dengan orang tua yang marah tersebut, maka anak akan berasumsi bahwa apa yang dilakukan oleh ibu adalah wajar dan bisa dicontoh. Perlu diingat bahwa anak belum dapat memilah mana yang benar dan mana yang salah.

(5)

nantinya akan terbiasa mendengar bahasa Jawa. Akan tetapi kecenderungan yang ada saat ini sudah mulai berubah. Beberapa keluarga muda, entah ayah atau ibu di dalam mendidik anak cenderung menggunakan bahasa Indonesia. Akibatnya kakek atau nenek mereka juga turut menggunakan bahasa Indonesia karena si anak tidak memahami bahasa Jawa. Hal ini tentunya sangat berbahaya dalam kurun waktu beberapa tahun mendatang. Orang tua memang masih menggunakan bahasa Jawa, anak-anaknya sudah mulai mengajarkan bahasa Indonesia kepada cucu-cucunya dengan melupakan bahasa Jawa.

Alangkah baiknya apabila pengasuhan di dalan keluarga menggunakan bahasa Jawa setiap harinya, sehingga selain belajar sopan-santun berbahasa, anak juga akan belajar sopan-santun budaya Jawa sebagai identitasnya. Orang tua sebagai model percontohan bagi anak-anak sebaiknya tetap mempertahankan penggunaan bahasa Jawa ketika berbicara dengan anak-anak, terutama menggunakan bahasa Jawa kromo. Meski demikian, ada pihak yang beranggapan bahwa bahasa Indonesia harus diajarkan sejak dini karena khawatir apabila anak-anak tersebut tidak bisa berbahasa Indonesia kelak. Pandangan ini sebenarnya kurang tepat. Anak-anak sudah dapat belajar bahasa Indonesia di sekolah, televisi, atau majalah anak. Perlu diingat bahwa konstruksi dan kosakata bahasa Indonesia jauh lebih mudah dibanding bahasa Jawa. Justru yang lebih sulit adalah bagaimana mengajarkan bahasa Jawa kepada anak-anak.

Dengan pengajaran bahasa Jawa yang baik di dalam keluarga, yakni menaikkan kedudukan si anak dengan cara orang tua berbicara kepada anak menggunakan bahasa Jawa kromo, maka si anak belajar bahwa berbicara kepada orang lain harus mempertimbangkan posisi dan kedudukan tertentu. Berbicara kromo dengan anak merupakan salah satu metode pembelajaran bahasa yang sangat tepat, artinya bahwa dengan meng-kromo-kan anak, orang tua memberi teladan bahwa bahasa ini sangat penting. Ketika anak bergaul dengan lingkungannya, harapannya mereka telah dibekali dengan kemampuan berbahasa yang halus, sehingga dengan sendirinya bahasa Jawa ngoko yang masuk ke dalam dirinya tidak mengganggu bahasa Jawa kromo yang telah ada.

4.2.Pendidikan

Faktor berikutnya yang mempengaruhi pergeseran bahasa Jawa adalah proses belajar di sekolah. Proses pendidikan di semua jenjang pendidikan selalu menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Mulai dari taman kanak-kanak, guru sudah mulai menggunakana bahasa Jawa meski dalam percakapan individu dengan murid terkadang guru menggunakan bahasa Jawa. Selanjutnya di jenjang sekolah dasar, selama 6 tahun pola pembelajaran sama seperti sebelumnya, ditambah lagi anak-anak mulai menggunakan bahasa Indonesia dan Jawa bersamaan ketika berbicara dengan teman. Di tingkat SMP dan SMA hingga perkuliahan bahasa Indonesia menjadi sangat dominan, bahkan dapat menggeser kemampuan berbahasa daerah.

(6)

Untuk masalah penggunaan bahasa dalam ranah pendidikan, sebenarnya hal ini tidak terlepas dari peran politik pemerintah. Saat ini pemerintah, terutama di Yogyakarta, sudah mulai mengambil kebijakan dengan mewajibkan semua jenjang pendidikan untuk mengajarkan bahasa Jawa di sekolah. Pengajaran ini diwujudkan dalam mata pelajaran muatan lokal bahasa Jawa yang diberikan mulai tingkat sekolah dasar hingga SMA. Hal ini merupakan salah satu usaha pemertahanan bahasa yang efektif, karena semua siswa pada akhirnya akan belajar bahasa Jawa, bahkan bagi siswa yang belum pernah mendengar kosakata bahasa Jawa.

Selain itu, guru sebagai pihak yang bersentuhan langsung dengan murid-murid alangkah baiknya apabila menggunakan bahasa Jawa layaknya di rumah sendiri. Hal ini selain sebagai usaha pemertahanan bahasa Jawa, juga dapat sebagai sarana untuk mengajarkan anak bagaimana menghormati orang yang lebih tua di luar lingkungan keluarga. Sesuai dengan Konferensi UNESCO tahun 1953 bahwa pendidikan sedapat-dapatnya diberikan lewat bahasa ibu berdasarkan asumsi pemajanan terhadap bahasa ibu selama mungkin menguntungkan bagi perkembangan kecendekiaan, keemosian, dan kemasyarakatan individu (Moeliono, 1981: 61). Tidak perlu malu untuk menggunakan bahasa Jawa di lingkungan sekolah, karena sekolah yang menggunakan lebih banyak bahasa Jawa, memiliki kecenderungan bahwa siswa yang ada menjadi lebih sopan dan hormat kepada orang lain jika dibandingkan dengan sekolah yang menggunakan bahasa Indonesia sepanjang waktu.

4.3.Pergaulan

Memang rumit untuk menentukan di lingkungan pergaulan mana anak-anak dan remaja di dusun Pundung termasuk. Akan tetapi secara umum mereka bergaul dengan teman sekolah dan lingkungan rumah. Untuk siswa sekolah dasar negeri yang terletak di dekat dusun, mereka cenderung menggunakan bahasa Jawa dalam pergaulan, karena memang siswa yang bersekolah di tempat tersebut berasal dari ekonomi menengah ke bawah. Sehingga kontak bahasa yang terjadi adalah bahasa Indonesia dalam proses belajar dan bahasa Jawa dalam aktifitas pergaulan. Sedangkan bagi siswa SMP, karena mereka memiliki teman yang berasal dari berbagai latar belakang keluarga berbeda, beberapa menggunakan bahasa Indonesia dan juga bahasa Jawa. Sedangkan siswa SMA terlihat sangat jelas bahwa mereka cenderung menggunakan bahasa Indonesia, khususnya ragam bahasa yang sering digunakan oleh anak-anak muda saat ini. Dari fenomena ini terlihat bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seorang anak, maka dia semakin menjauhi bahasa Jawa. Hal ini dikarenakan perasaan malu menggunakan bahasa Jawa karena terkesan konvensional, atau mereka memang berusaha untuk beradaptasi masuk ke dalam sebuah sistem pergaulan yang terkesan lebih nyaman untuk menggunakan bahasa Indonesia.

Di dalam pergaulan masyarakat, anak-anak masih menggunakan bahasa Jawa dengan teman sepermainan karena mereka juga teman satu sekolah sehingga mempunyai keintiman yang tinggi. Akan tetapi beberapa warga cenderung menggunakan bahasa Indonesia ketika berkomunikasi dengan anak-anak ini. Hal ini dikhawatirkan akan semakin menjauhkan anak-anak dari penguasaan bahasa Jawa. Lalu bagi para remaja, mereka tetap menggunakan bahasa Jawa ngoko dalam percakapan dengan sesama remaja. Namun dalam kegiatan perkumpulan pemuda, terjadi alih kode yang dilakukan oleh para remaja. Untuk sekedar bercakap-cakap dengan sesama remaja dalam kondisi santai, mereka menggunakan bahasa Jawa ngoko. Beberapa remaja menggunakan bahasa Jawa kromo alus ketika berbicara dengan pemuda yang lebih senior dan tua. Akan tetapi ketika rapat perkumpulan telah dimulai, maka bahasa Indonesia digunakan sepanjang waktu karena mereka berusaha menyesuaikan dengan situasi formal rapat. Hal ini dianggap wajar karena situasi rapat menuntut pemakaian bahasa formal.

(7)

menyebabkan penilaian terhadap remaja semakin menurun karena ketidakmampuan untuk menggunakan bahasa Jawa kromo. Semakin para remaja ini jauh dari penguasaan bahasa Jawa, tanpa disadari sebenarnya mereka juga telah mulai kehilangan tata kesopanan dalam pergaulan. Para remaja terkesan individualis karena tidak menyapa ketika berpapasan dengan orang yang lebih tua atau acuh terhadap lingkungan sekitar. Pada tingkat ini, mereka telah jauh dari falsafah nilai luhur budaya Jawa.

Oleh karena itu, dalam pergaulan hendaknya seluruh komponen masyarakat bekerja sama untuk menciptakan lingkungan yang kondusif untuk menunjang kemampuan anak berbahasa Jawa dengan baik. Para tokoh masyarakat dan para orang tua hendaknya tetap menggunakan bahasa Jawa ketika mereka berbicara dengan orang yang lebih muda, dan juga memberikan dorongan positif bahwa bahasa Jawa sangat penting dan berguna. Para pemuda harus tetap menjunjung tinggi bahasa Jawa, tidak perlu malu menggunakan bahasa Jawa karena bahasa ini banyak memuat kearifan lokal.

5. Kesimpulan

Bahasa merupakan suatu sistem budaya yang komplek, dimana usaha untuk mempertahankannya tidak cukup hanya dilakukan oleh satu pihak saja, melainkan harus ada upaya kolaboratif dari berbagai pihak dalam rangka pelestarian bahasa. Dengan usaha pemertahanan bahasa Jawa ini, khususnya di lingkungan masyarakat, diharapkan keberadaan bahasa Jawa, terutama tingkat kromo, tidak tergerus oleh keberadaan bahasa nasional serta bahasa asing. Pengasuhan di keluarga menjadi faktor penentu kesuksesan usaha ini karena anak-anak belajar pertama kali dari orang tua. Ketika anak-anak telah mantap dengan bahasa Jawa yang dia miliki, maka pada tahapan selanjutnya bahasa Jawa akan semakin mudah untuk dikuasai dan diaplikasikan dalam pendidikan serta pergaulan.

Pustaka Acuan:

Harjawiyana, Haryana dan Th. Supriya. 2005. Marsudi Unggah-Ungguh Basa Ja wa. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Kridalaksana, Harimurti. 1985. Fungsi Bahasa dan Sikap Berbahasa . Flores: Nusa Indah. Moeliono, A.M. 1981. Pengembangan dan Pembinaan Bahasa . Jakarta: Djambatan. Sumarsono, 2007. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Suseno, Franz Magnis. 1993. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Trudgill, Peter. 1978. Sociolinguistics An Introduction. Middlesex: Penguin Books.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan menganggap perilaku gelombang elektron dalam atom hidrogen serupa dengan getaran kawat kita dapat mengambil postulat bahwa sebuah elektron dapat mengelilingi

Akan tetapi reaksi enzimatis diatas batas suhu optimum akan menyebabkan nilai aktivitas enzimnya rendah, seperti pada perlakuan suhu 60°C pH 6 dengan nilai

Tuan Sigit wajib membuat faktur pajak pengganti dengan menggunakan nomor dan tanggal yang sama dengan faktur pajak sebelumnya, dan melaporkannya pada SPT Masa April

Arti tanda negatif pada konstanta adalah apabila tidak ada variabel country of origin, kualitas produk dan kelompok acuan maka tidak akan terjadi niat beli

Hasil analisis tutupan terumbu karang di Perairan Kota Makassar ditemukan dalam tiga kondisi menurut standar ukuran Braun-Blanquet (1965) yaitu Bagus (50-75%) ditemukan

Ø The arbitrage-free valuation of bond with spot rates is not available for bonds with embedded option, and we need a valuation approach with binomial interest rate tree.. ü

Pada tugas akhir ini wireless sensor network digunakan untuk sistem komunikasi data pada jembatan bentang panjang Surabaya- Madura untuk kemudian dapat diakses pada

selaku Ketua Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, yang telah mengarahkan penulis dalam menjalani perkuliahan dan membantu penulis dalam