• Tidak ada hasil yang ditemukan

POTENSI INTERAKSI OBAT PADA PASIEN GANGGUAN GINJAL KRONIS DI INSTALASI RAWAT INAP RS “X” TAHUN 2014 Potensi Interaksi Obat Pada Pasien Gangguan Ginjal Kronis di Instalasi Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi Tahun 2014.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "POTENSI INTERAKSI OBAT PADA PASIEN GANGGUAN GINJAL KRONIS DI INSTALASI RAWAT INAP RS “X” TAHUN 2014 Potensi Interaksi Obat Pada Pasien Gangguan Ginjal Kronis di Instalasi Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi Tahun 2014."

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

KRONIS DI INSTALASI RAWAT INAP

RS “X”

TAHUN 2014

NASKAH PUBLIKASI

Oleh:

RIZQI NURUL KHASANAH

K 100120147

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

SURAKARTA

(2)
(3)

POTENSI INTERAKSI OBAT PADA PASIEN GANGGUAN GINJAL KRONIS DI INSTALASI RAWAT INAP RS “X” TAHUN 2014

POTENTIAL DRUG INTERACTIONS OF CHRONIC KIDNEY DISEASE OF HOSPITALIZED PATIENTS AT "X" HOSPITAL IN 2014

Rizqi Nurul Khasanah, Nurul Mutmainah Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Jl A Yani Tromol Pos 1, Pabelan Kartasura Surakarta 57102

#E-mail: rizqinurulkh@gmail.com

ABSTRAK

Gangguan ginjal kronis (GGK) merupakan suatu gangguan berupa penurunan fungsi ginjal yang disertai manifestasi kelainan patologi ginjal selama tiga bulan atau lebih. Pasien dengan gangguan ginjal kronis memiliki beberapa komplikasi penyakit biasanya menggunakan berbagai kombinasi obat. Penggunaan kombinasi obat dapat meningkatkan potensi terjadinya interaksi obat. Penelitian ini bertujuan untuk melihat

potensi interaksi obat yang terjadi pada pasien gangguan ginjal kronis di instalasi rawat inap RS “X” Tahun

2014. Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental dengan mengumpulkan data rekam medis pasien

rawat inap secara retrospektif di RS “X” yang menderita gangguan ginjal kronis, kemudian dianalisis dengan

metode deskriptif. Sampling dilakukan dengan metode purposive sampling diperoleh sampel sebanyak 100 pasien. Potensi interaksi obat yang diambil dari 100 sampel pasien didapatkan sebanyak 84 pasien (84%) mengalami potensi interaksi obat dengan 336 kasus interaksi obat. Interaksi obat berdasarkan mekanisme didapatkan hasil 44,94% mengalami mekanisme farmakodinamik, 29,76% mengalami mekanisme farmakokinetik, dan 25,29% yang tidak diketahui mekanismenya. Interaksi obat berdasarkan tingkat keparahan didapatkan hasil 63,98% interaksi obat moderat, 29,46% minor dan 6,55% mayor. Interaksi obat yang paling banyak terjadi adalah furosemid dan seftriakson sebanyak 27 kasus untuk interaksi moderat.

Kata Kunci: GGK, potensi interaksi obat.

ABSTRACT

Chronic kidney disease (CKD) is a condition which characterized by a gradual loss of kidney function accompanied by manifestations of kidney pathology abnormality for at least three months. Patients with chronic kidney disease who have some complications usually use various drug combinations. The use of drugs combination can increase the occurrence of drug interaction. The purpose of this study was to find out the potential drug interaction that may occured in hospitalized patients with chronic kidney disease at "X" hospital in 2014. This study is a non-experimental research in which the data analysis was done by collecting the medical records retrospectively. The samples were the hospitalized patients with chronic kidney disease at "X" hospital in 2014. The data were analyzed descriptively. The sampling technique was done by purposive sampling method. There were 100 patients obtained for this study. Out of 100 patients, there were 84 patients (84%) who had a potential drug interaction with 336 cases of drug interactions. The result obtained based on the drug interaction mechanism were 44.94% pharmacodynamics mechanism, 29.76% pharmacokinetic mechanism, and 25.29% unknown mechanism. The result obtained based on drug interactions seriousness were 63.98% moderate drug interaction, 29.46% minor drug interaction and 6.55% major drug interaction. The most common drug interaction happened in “X” hospital in 2014 were furosemide and ceftriaxone in 27 cases which is categorized as moderate interactions.

(4)

PENDAHULUAN

Gangguan ginjal kronis (GGK) merupakan suatu gangguan atau kerusakan fungsi maupun struktur ginjal dengan maupun tanpa penurunan laju filtrasi glumerulus disertai manifestasi kelainan patologi ginjal selama tiga bulan atau lebih. Penyebab terjadinya gangguan ginjal kronis diantaranya karena diabetes melitus, hipertensi, glomerulonefritis, malformasi pada saluran perkemihan, infeksi saluran kencing yang berulang, polikistik ginjal dan sebagainya (K/DOQI, 2002). Pasien dengan GGK yang memiliki beberapa penyakit penyerta, biasanya menggunakan berbagai kombinasi obat. Hal tersebut menyebabkan tingginya potensi terjadinya interaksi obat. Pada penelitian oleh PERNEFRI (Perkumpulan Nefrologi Indonesia) pada tahun 2011 penyakit penyerta pada pasien gangguan ginjal kronis antara lain diabetes melitus, hipertensi, dan penyakit kardiovaskuler (PERNEFRI, 2011).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Mylapuram Rama et al di rumah sakit Manipal India pada tahun 2012, diketahui terjadi 474 interaksi obat pada 156 pasien ginjal kronis

dengan 50,63% interaksi obat farmakodinamik dan 46,84% interaksi obat farmakokinetik (Rama et al., 2012). Pada penelitian lain oleh Marquito (2014) di Brazil didapatkan kasus

interaksi obat 0,4 % kontraindikasi absolut, 16,8% kontraindikasi mayor, 76,9% moderat, dan 5,9% minor yang diambil dari resep kunjungan terakhir di klinik pada pasien gangguan ginjal kronis (Marquito et al.,2014). Banyaknya kejadian interaksi obat tersebut yang melandasi peneliti untuk melakukan penelitian potensi interaksi obat pada pasien gangguan ginjal kronis di instalasi rawat inap RS “X” tahun 2014 untuk melihat potensi interaksi obat.

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian non eksperimental dengan rancangan penelitian retrospektif di RS “X” yang menderita gangguan ginjal kronis, kemudian dianalisis dengan metode deskriptif. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pasien GGK di instalasi rawat inap yang memenuhi kriteria inklusi di RS “X” pada Januari – Desember tahun 2014 dengan metode purposive sampling.

ALAT DAN BAHAN

Penelitian ini menggunakan alat berupa lembar pengumpulan data,drug interaction checker seperti Stockley’s Drug Interaction 8th Edition, Drugs Interaction Facts oleh Tatro tahun 2009, dan database interaksi obat dari drugs.com dengan laman website

www.drugs.com/drug_interactions. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data

(5)

ANALISIS DATA

Analisis data dilakukan dengan cara mengolah data penggunaan obat pada rekam medik pasien GGK di instalasi rawat inap RS “X” bulan Januari - Desember tahun 2014, kemudian dilakukan analisa interaksi obat dari kombinasi obat yang diresepkan pada pasien GGK dengan menggunakan drug interaction checker seperti Stockley’s Drug Interaction 8th

Edition, Drugs Interaction Facts oleh Tatro tahun 2009, dan database interaksi obat dari

drugs.com dengan laman website www.drugs.com/drug_interactions.html. Analisis data

dilakukan secara kuantitatif dengan menghitung persentase potensi interaksi obat berdasarkan

mekanisme, level keparahan, atau seluruh data yang diperoleh.

HASIL & PEMBAHASAN

Penelitian dilakukan pada pasien rawat inap penderita GGK di RS “X” selama periode bulan Januari - Desember tahun 2014 dengan populasi 975 pasien, kemudian dilakukan sampling dihasilkan sampel sebanyak 100 pasien.

A. Karakteristik Pasien

Tabel 1. Distribusi pasien gangguan ginjal kronis di instalasi rawat inap RS “X” berdasarkan usia dan jenis kelamin

Usia Laki-laki Perempuan

Prevalensi penderita gangguan ginjal kronis lebih banyak terjadi pada pasien laki-laki sebanyak 62 pasien (62%). Berdasarkan usia, paling banyak terjadi pada usia 19-64 tahun pada pasien laki-laki sebanyak 50 pasien (50%) dan pasien perempuan sebanyak 26 pasien (26%). Pada penelitian oleh Australian Institute of Health and Welfare (AIHW) tahun 2012 menyatakan bahwa prevalensi pasien ESRD (End Stage Renal Disease) berdasarkan

jenis kelamin, pada laki-laki terjadi 1,6 kali lebih tinggi daripada perempuan. Berdasarkan usia, lebih banyak terjadi pada usia tua seiring dengan penurunan fungsi ginjal (Lee-Koo et

al., 2014).

B. Karakteristik Obat

Tabel 2. Distribusi penggunaan obat pasien gangguan ginjal kronis di instalasi rawat inap RS “X” Tahun 2014 Kelas terapi Golongan Nama Obat Jumlah

pasien

Candesartan cileksetil 4 4

Loop diuretic Furosemid 81 81

Diuretik hemat kalium Spironolakton 2 2

CCB Diltiazem 3 3

Amlodipin 16 16

Nifedipin 1 1

Beta bloker Bisoprolol 1 1

Alfa 2 agonist Klonidin 30 30

Elektrolit Infus rehidrasi Infus NaCl 0,9% 28 28

(6)

Kelas terapi Golongan Nama Obat Jumlah

Antigastritis H2 Antagonis Ranitidin 36 36

PPI Omeprazol 30 30

Analgesik- Antipiretik NSAID Ketorolac 9 9

Na Diklofenak 3 3

Antiinflamasi Kortikosteroid Metil prednisolon 11 11

Deksametason 6 6

Golongan lain Nitroimidazol Metronidazol 10 10

Anestetik Lidokain 2 2

Antituberkulosis Pirazinamid 1 1

Etambutol 1 1

Streptomisin 1 1

(7)

(Lanjutan 2) Tabel 2. Distribusi penggunaan obat pasien gangguan ginjal kronis di instalasi rawat inap RS “X” Tahun 2014 Kelas terapi Golongan Nama Obat Jumlah

pasien

Antisiolitik Klordiazepoksid 1 1

Antispasmodik Klidinium 1 1

Antihiperkalemia Kalium Polistiren sulfat 2 2

Neurotropik Citikolin 5 5

Antifibrinolitik Asam traneksamat 6 6

Agen dislipidemia Fenofibrat 1 1

Nutrisi parenteral Nefrosteril 9 9

Suplemen KCl 3 3

Pada distribusi penggunaan obat yang diresepkan pada pasien gangguan ginjal kronis yang menjalani rawat inap di RS “X” tahun 2014, paling banyak digunakan furosemid pada sebagian besar pasien (81%). Berdasarkan penelitian pada KDIGO (Kidney Disease Improving Global Outcomes) furosemid atau obat golongan loop diuretic berguna untuk mengatasi udem dan tekanan darah tinggi khususnya pada penderita gangguan ginjal kronis atau CKD stage 4 dan 5 (NKF, 2012). Sebagian besar sampel dari penelitian, pasien memiliki diagnosa CKD stage 5 dan memiliki penyakit penyerta seperti hipertensi, diabetes melitus, udem paru-paru dan asidosis metabolik.

(8)

kronis. Asam folat dibutuhkan sebagai pengganti vitamin, karena asam folat ikut hilang saat pasien menjalani hemodialisa (Schonder, 2008).

C. Interaksi Obat

Sampel yang didapat dari penelitian dilihat interaksi obat yang diresepkan dan potensi interaksi obat. Interaksi obat di analisa berdasarkan mekanisme interaksi, tingkat keparahan, potensi interaksi dan mekanisme farmakologi.

1. Interaksi Obat Berdasarkan Mekanisme

Distribusi potensi interaksi obat berdasarkan mekanisme pada pasien gangguan ginjal kronis di instalasi rawat inap RS “X” tahun 2014 dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Distribusi interaksi obat pada pasien gangguan ginjal kronis di instalasi rawat inap RS “X” berdasarkan mekanisme Kategori Farmakodinamik Farmakokinetik Tidak diketahui Total

Jumlah Persentase

Interaksi obat berdasarkan mekanisme farmakologi didapatkan hasil paling banyak terjadi pada mekanisme farmakodinamik sebesar 44,94%. Interaksi obat berdasarkan mekanisme farmakokinetik didapatkan sebesar 29,76% dan yang tidak diketahui mekanismenya sebesar 25,29%. Penelitian yang dilakukan oleh Mylapuram Rama et al pada tahun 2012, diketahui terjadi 474 interaksi obat pada 156 pasien ginjal kronis dengan 50,63% interaksi obat farmakodinamik dan 46,84% interaksi obat farmakokinetik (Rama et al., 2012).

Hasil sesuai dengan data yang diperoleh dari penelitian Mylapuram et al bahwa mekanisme farmakodinamik lebih besar terjadi interaksi obat daripada mekanisme farmakokinetik. Interaksi obat pada pasien gangguan ginjal kronis paling banyak terjadi pada mekanisme farmakodinamik karena sebagian besar obat gangguan ginjal kronis bekerja pada reseptor, tempat kerja maupun sistem fisiologis yang sama, sehingga menimbulkan efek aditif, sinergis maupun antagonis (Rahmiati and Supadmi, 2010).

2. Interaksi Obat Berdasarkan Tingkat Keparahan

Distribusi potensi interaksi obat berdasarkan tingkat keparahan pada pasien gangguan ginjal kronis di instalasi rawat inap RS “X” tahun 2014 dapat dilihat pada tabel 4.

(9)

(Lanjutan 1) Tabel 4. Distribusi potensi interaksi obat pada pasien gangguan ginjal kronis di instalasi rawat inap RS “X”

Pantoprazol Vitamin B12 1

Digoksin Klidinium 1

Ramipril CaCO3 1

Metronidazol Ciprofloksasin 1

Levofloksasin 1

Ciprofloksasin Furosemid 1

Moderat Captopril Furosemid 21 63,98

Digoksin Klordiazepoksid 1

(10)

(Lanjutan 2) Tabel 4. Distribusi potensi interaksi obat pada pasien gangguan ginjal kronis di instalasi rawat inap RS “X”

Omeprazol Klordiazepoksid 1

Alprazolam 2

Simvastatin 1

Atorvastatin 1

Metilprednisolon Klonidin 1

Amlodipin 2

Ketoprofen Candesartan 1

Ciprofloksasin Azitromisin 1

Diltiazem CaCO3 2

Metilprednisolon Bisakodil 1

Nifedipin 1

Klordiazepoksid Nitrogliserin 1

Bisoprolol CaCO3 1

Ketoprofen Fondapurinuks 1

Simvastatin Diltiazem 1

(11)

(Lanjutan 3) Tabel 4. Distribusi potensi interaksi obat pada pasien gangguan ginjal kronis di instalasi rawat inap RS “X” berdasarkan tingkat keparahan

Interaksi obat berdasarkan tingkat keparahan didapatkan hasil paling banyak terjadi pada interaksi obat moderat sebanyak 60,05%. Interaksi obat minor sebanyak 33,8% dan interaksi obat mayor sebanyak 6,06%. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian oleh Marquito et al tahun 2014 di Brazil yang didapatkan paling banyak terjadi pada interaksi obat moderat. Hasil penelitian oleh Marquito didapatkan kasus interaksi obat 0,4% kontraindikasi absolut, 16,8% kontraindikasi mayor, 76,9% moderat, dan 5,9% minor yang diambil dari resep kunjungan terakhir di klinik pada pasien gangguan ginjal kronis (Marquito et al., 2014). Interaksi obat mayor yang terjadi melibatkan obat kardiovaskuler sekitar 16%. Interaksi obat mayor dan absolut dapat menimbulkan risiko yang yang berarti untuk kesehatan pasien dan perlu adanya tindakan medis atau intervensi farmasi agar tehindar dari efek yang merugikan. Hasil yang didapat memperlihatkan sebagian besar obat mengalami interaksi moderat yang juga membutuhkan intervensi farmasi atau monitoring oleh farmasis agar tidak memperburuk kondisi pasien (Marquito et al., 2014).

3. Angka Kejadian Interaksi Obat

Angka kejadian interaksi obat pada pasien gangguan ginjal kronis di instalasi rawat inap RS “X” tahun 2014 dapat dilihat pada tabel 5.

Tabel 5. Angka kejadian interaksi obatpada pasien gangguan ginjal kronis di instalasi rawat inap RS “X” Tahun 2014 No. Interaksi Jumlah Pasien Persentase (%) n=100

1. Tidak interaksi 16 16

2. Terjadi interaksi 84 84

a. 1 macam interaksi 22 22

b. > 1 macam interaksi 62 62

Total 100 100

Angka kejadian interaksi obat pada 100 sampel populasi didapatkan 84% pasien berpotensi mengalami interaksi obat. Hal tersebut menandakan bahwa angka kejadian interaksi obat pada pasien gangguan ginjal kronis sangat tinggi, sehingga perlu adanya kerja sama antar dokter dan farmasis untuk menghindari terjadinya interaksi obat.

4. Interaksi Obat Berdasarkan Mekanisme Farmakologi

Distribusi potensi interaksi obat berdasarkan mekanisme farmakologi pada pasien

gangguan ginjal kronis di instalasi rawat inap RS “X” tahun 2014 dapat dilihat pada tabel 6.

Mekanisme Obat A Obat B Jumlah kejadian

Presentase (%) n = 336

Metilprednisolon 1

Metilprednisolon Levofloksasin 2

(12)

Tabel 6. Distribusi interaksi obat pada pasien gangguan ginjal kronis di instalasi rawat inap RS “X” Tahun 2014 berdasarkan

Ranitidin Parasetamol 3

Seftriakson Kalsium glukonat 5

Fenitoin 1

Laktulosa CaCO3 3

Metronidazol Ciprofloksasin 1

Levofloksasin 1

Klordiazepoksid Nitrogliserin 1

Digoksin Metilprednisolon 1

CaCO3 1

Alprazolam ISDN 1

Levofloksasin Natrium bikarbonat 1

Ciprofloksasin Azitromisin 1

(13)

Mekanisme Obat A Obat B Jumlah kasus Persentase (%)

Simvastatin Fenofibrat 1

Farmakokinetik 29,76

Captopril Alumunium hidroksida 2

Magnesium hidroksida 2

Alprazolom Metilprednisolon 2

Captopril Diklofenak 1

Omeprazol Klordiazepoksid 1

Simvastatin 1

Alprazolam 2

Atorvastatin 1

Metilprednisolon Amlodipin 2

(14)

Mekanisme Obat A Obat B Jumlah kasus Persentase (%)

Siprofloksasin Deksametason 1

Metilprednisolon 1

Metilprednisolon Levofloksasin 2

Total 336

Interaksi obat berdasarkan mekanisme farmakologi menunjukkan interaksi farmakodinamik sebesar 44,94%, interaksi farmakokinetik fase absorbsi sebesar 15,48%, fase distribusi sebesar 0,59%, fase metabolisme sebesar 11,90%, dan fase ekskresi sebesar 1,78%, serta yang tidak diketahui mekanisme farmakologinya sebesar 25,29%.

5. Interaksi Obat pada Mekanisme Farmakokinetik Fase Absorbsi

Interaksi obat pada mekanisme farmakokinetik fase absorbsi dapat dilihat pada tabel 7.

Tabel 7. Interaksi obat pada mekanise farmakokinetik fase absorbsi

Mekanisme Obat A (Rute) Obat B (Rute) Jumlah kasus

Absorpsi Ranitidin (p.o) Kalsium karbonat (p.o) 10

Vitamin B12 (p.o) 1

Alumunium hidroksida (p.o) 2

Magnesium hidroksida (p.o) 2

Aspirin (p.o) Omeprazol (p.o) 2

Pantoprazol (p.o) Vitamin B12 (p.o) 1

Digoksin (p.o) Klidinium (p.o) 1

Sukralfat (p.o) 1

Omeprazol (p.o) 1

Captopril (p.o) Alumunium hidroksida (p.o) 2

Magnesium hidroksida (p.o) 2

Penelitian sudah mempertimbangkan rute penggunaa obat pada pasien. Jika terdapat interaksi obat fase absorbsi, sedangkan obat tidak melewati absorbsi obat maka interaksi obat

tidak terjadi. Interaksi obat lebih banyak terjadi pada fase absorbsi karena sebagian besar obat diberikan secara oral sehingga melewati membran mukosa pada saluran pencernaan yang

dapat mempengaruhi absorbsi obat. Interaksi fase absorbsi meliputi pengaruh perubahan pH gastrointestinal, absorbsi, khelasi dan mekanisme pengompleks lainnya, perubahan motilitas gastrointestinal, induksi dan inhibisi enzim, dan malabsorbsi disebabkan oleh obat-obatan (Baxter, 2008).

Berbagai rincian interaksi obat yang paling banyak terjadi berdasarkan tingkat keparahan adalah sebagai berikut :

a. Interaksi Minor

Captopril – Kalsium Karbonat (CaCO3)

Penggunaan bersamaan antasida dapat menurunkan bioavailabilitas captopril atau obat ACE Inhibitors lainnya, karena penundaan pengosongan lambung atau pH lambung

(15)

meningkat. Pada penelitian oleh Mantyla et al tahun 1984, dosis oral captopril yang diberikan kepada 10 relawan sehat setelah diberikan dengan suspensi antasida mengakibatkan penurunan biovaibilitas, sehingga aktivitas efek hipotensi dari captopril tertunda. Interaksi obat minor dapat dicegah dengan mempertimbangan pemisahan selang waktu satu hingga dua

jam pemberia ACE Inhibitors dengan antasida (Mantyla et al., 1984).

b. Interaksi Moderat Furosemid – Seftriakson

Penggunaan furosemid atau mungkin golongan obat loop diuretic lain seperti bumetanid dan torsemid dengan beberapa antibiotik golongan sefalosporin berpotensi menyebabkan nefrotoksik. Pada penelitian dari 36 pasien terdapat 9 pasien yang mengalami gagal ginjal akut saat sefaloridin diberikan dengan furosemid. Meskipun data terbatas pada antibiotik sefaloridin, penggunaan obat golongan sefalosporin lain seperti seftriakson dengan furosemid harus hati-hati dan direkomendasikan untuk monitoring fungsi ginjal dengan menghitung nilai laju filtrasi glomerulus terutama pada dosis tinggi, pasien geriatrik, maupun

pasien dengan gangguan ginjal. Untuk menghindari terjadinya interaksi obat, disarankan untuk memberi jeda pemberian furosemid 3 hingga 4 jam sebelum obat golongan

sefalosporin (Baxter, 2008). c. Interaksi Mayor

Seftriakson – Kalsium Glukonat

Penggunaan seftriakson dengan kalsium glukonat secara bersamaan bahkan melalui jalur infus berbeda dapat menyebabkan pengendapan seftriakson-garam kalsium. Pada jurnal

The Food and Drug Administration Adverse Event terdapat sembilan kasus pelaporan pada

penggunaan seftriakson intravena dengan kalsium yang menyebabkan masalah efek samping yang merugikan. Tingkat terjadinya interaksi obat yang merugikan tidak dapat ditentukan secara akurat dari data yang tersedia, namun pencegahan perlu dilakukan untuk menghindari efek samping yang merugikan. Seftriakson tidak boleh dicampur atau diberikan bersamaan dengan kalsium pada pasien tanpa memandang usia (Bradley et al., 2009).

(16)

diberikan. Farmasis perlu follow-up pasien agar efek samping yang ditimbulkan dapat diminimalkan, sehingga tujuan terapi dapat tercapai.

D. Kelemahan Penelitian

Kelemahan penelitian ini adalah penelitian dilakukan secara retrospektif yang hanya bisa melihat potensi interaksi obat tanpa bisa melihat apakah potensi interaksi obat tersebut benar-benar terjadi pada pasien atau tidak. Dengan demikian perlu adanya penelitian secara prospektif untuk melihat efek yang ditimbulkan pada pasien akibat interaksi obat.Penelitian tidak mempertimbangkan T ½ obat. Penelitian hanya melihat potensi interaksi obat pada obat yang digunakan secara bersama. Sebagai contoh obat A memiliki T ½ panjang berinteraksi pada fase ekskresi dengan obat B yang tidak digunakan secara bersama, maka interaksi obat yang terjadi tidak dipertimbangkan. Selain itu penulisan rekam medis yang tidak lengkap pada profil penggunaan obat seperti rute pemberian, waktu pemberian, frekuensi dan dosis, menyulitkan peneliti untuk mengidentifikasi obat yang digunakan pasien. Peneliti hanya menulis data sesuai dengan yang ada di dalam rekam medis pasien.

KESIMPULAN

Penelitian dari 100 pasien gangguan ginjal kronis di instalasi rawat inap RS “X”

selama periode bulan Januari hingga Desember tahun 2014 dapat disimpulkan bahwa pasien yang memiliki potensi interaksi obat sebanyak 84 pasien (84%) dengan 336 kasus interaksi obat. Potensi interaksi obat berdasarkan mekanisme didapatkan hasil 44,94% mekanisme farmakodinamik, 29,76% mekanisme farmakokinetik dan 25,29% yang tidak diketahui mekanismenya. Potensi interaksi obat berdasarkan tingkat keparahan didapatkan hasil 63,98% terjadi pada interaksi obat moderat, 29,46% minor dan 6,55% mayor. Interaksi obat yang paling banyak terjadi adalah furosemid dan seftriakson sebanyak 27 kasus untuk interaksi moderat.

SARAN

(17)

DAFTAR PUSTAKA

Baxter, K. (Ed.), 2008. Stockley’s Drug Interactions 8th edition. Pharmaceutical Press, London UK, pp. 1–3.

JS., Bradley, RT., Wassel, L., Lee, S., Nambiar, 2009. Intravenous Ceftriaxone and Calcium in the Neonate: Assessing the Risk for Cardiopulmonary Adverse Events. Pediatrics 123.

K/DOQI, N.K.F., 2002. Clinical Practice Guideline for Cardiovaskular Disease in Dialysis Patients. Am. J. Kidney 51–53.

Lee-Koo, C., Henry, E., Mathur, S., 2014. Cardiovascular disease, diabetes and chronic kidney disease Australian Fact Prevalence and incidence. Aust. Institue Heal. Welf.

783–787. URL :

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2476236/pdf/bullwho00608-0130.pdf[Diakses tanggal 10 Nopember 2015]

Marquito, A.B., Fernandes, N.M.D.S., Colugnati, F.A.B., Paula, R.B. De, 2014. Identifying Potential Drug Interactions in Chronic Kidney Disease Patients. J. Bras. Nefrol. ʹorgão Of. Soc. Bras. e Latino-Americana Nefrol. 36, 28. URL:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24676611[Diakses tanggal 2 Juni 2015]

National Kidney Foundation, 2012. KDIGO Clinical Practice Guideline for the Management of Blood Pressure in Chronic Kidney Disease. Kidney Int. 2, 337–414.

PERNEFRI, 2011. 4 th Report Of Indonesian Renal Registry 2011 4 th Report Of Indonesian Renal Registry 2011.

R., Mantyla, PT., Mannisto, A., Vourela, .S, Sundberg, P., Ottoila, 1984. Impairment of Captopril Bioavailability by Concomitant Food and Antacid Intake. Int. J. Clin. Pharmacol. 22, 626–9.URL : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/6389377[Diakses tanggal 16 Januari 2016]

Rahmiati, S., Supadmi, W., 2010. Kajian Interaksi Obat Antihipertensu Pada Pasien Hemodialisis di Bangsal Rawat Inap RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta Periode Tahun 2010. J. Ilm. Kefarmasian 2, 97–110.

Rama, M., Visnawathan, G., Achary, L.D., Attur, R.P., Reddy, P.N., 2012. Assesment of Drug-Drug Interaction among Renal Failure Patients of Nephrology Ward in a South Indian Tertiary Care Hospital. Indian J. Pharm. Sci. 4. URL :

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23204624[Diakses tanggal 25 April 2015]

Gambar

Tabel 2. Distribusi penggunaan obat pasien gangguan ginjal kronis di instalasi rawat inap RS “X” Tahun  2014
Tabel 3. Distribusi interaksi obat pada pasien gangguan ginjal kronis di instalasi rawat inap RS “X” berdasarkan mekanisme
Tabel 6. Distribusi interaksi obat pada pasien gangguan ginjal kronis di instalasi rawat inap RS “X” Tahun  2014 berdasarkan mekanisme farmakologi
Tabel 7. Interaksi obat pada mekanise farmakokinetik fase absorbsi

Referensi

Dokumen terkait

Subyek penelitian adalah seluruh pasien yang terdiagnosa demam tifoid tanpa penyakit infeksi lain di instalasi rawat inap RSUD Dr. Analisis data melalui catatan rekam medik

Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengidentifikasi kejadian potensial interaksi obat pada pasien demam tifoid di Instalasi Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi di Surakarta

Dari data rekam medik pada pengobatan pasien dengan terdiagnosa utama penyakit stroke di instalasi rawat inap RSUD “B” pada tahun 2010 dan 2011, didapatkan data meliputi nomor

Pengobatan dari gangguan ginjal kronis memiliki tujuan untuk memperlambat dan mencegah perkembangan dari gangguan ginjal kronis. Hal tersebut memerlukan identifikasi

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui potensi interaksi obat pada pasien rawat inap penderita asma di RSUD Dr.. Jenis penelitian ini adalah non-eksperimental dengan

IDENTIFIKASI POTENSI INTERAKSI OBAT PADA PASIEN RAWAT INAP PENYAKIT DALAM.. DI

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui ketepatan obat, dosis dan pasien dalam penatalaksanaan terapi hipertensi pada pasien penyakit ginjal kronisdi Instalasi Rawat Inap RSUD

Berapa banyak interaksi obat yang terjadi pada pasien gagal jantung kongestif di.. Instalasi Rawat Inap RSUI Kustati Surakarta Periode