PENGARUH SISTEM TANPA OLAH TANAH DAN PEMUPUKAN NITROGEN JANGKA PANJANG TERHADAP RESPIRASI RIZOSFER DAN
NON RIZOSFER PERTANAMAN JAGUNG (Zea mays L.) Oleh
ERWINDA MERIKO Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PERTANIAN
pada
Jurusan Agroteknologi
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG
ABSTRAK
PENGARUH SISTEM TANPA OLAH TANAH DAN PEMUPUKAN NITROGEN JANGKA PANJANG TERHADAP RESPIRASI RIZOSFER
DAN NON RIZOSFER PERTANAMAN JAGUNG (Zea mays L.)
Oleh Erwinda Meriko
Kehilangan karbon di sektor pertanian disebabkan oleh cara praktik budidaya
yang tidak berkelanjutan. Pertanian dengan olah tanah intensif di lahan kering
merusak agregat tanah sehingga partikel-partikel tanah menjadi lepas dan karbon
tanah hilang terbawa erosi, dan memacu oksidasi bahan organik tanah sehingga
menurunkan cadangan karbon tanah dan meningkatkan emisi gas CO2. Untuk itu
diperlukan upaya untuk menekan dampak negatif tersebut dengan menggunakan
sistem pertanian yang berkelanjutan. Penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dan disusun scara faktorial
dengan 4 ulangan. Faktor pertama adalah sistem olah olah tanah (T) yaitu T0=
tanpa olah tanah, T1= olah tanah intensif, faktor kedua adalah dosis pupuk
Nitrogen (N), yaitu N0= 0 kg N ha-1 urea, N1= 100 kg N ha-1. Pengamatan
dilakukan pada 2 tempat yaitu pada rizosfer dan tanah yang dibatasi oleh paralon
yang disebut sebagai non rizosfer yang dilakukan pada -7, 2, 9, 30, dan 83 HSO
(hari setelah olah tanah). Homogenitas ragam diuji dengan uji Bartlett dan
Erwinda Meriko dengan sidik ragam dan dilanjutkan uji perbedaan nilai tengah menggunakan Uji
Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf 5%.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum bahwa respirasi rizosfer dan
non rizosfer pada sistem tanpa olah tanah lebih rendah dari sistem olah tanah
intensif. Respirasi rizosfer dan non rizosfer pada pemupukan 100 kg N ha-1 lebih
tinggi dari pemupukan 0 kg N ha-1. Interaksi antara sistem pengolahan tanah dan
pemupukan N untuk respirasi rizosfer hanya terjadi pada -7 dan 2 HSO,
sedangkan pada non rizosfer terjadi pada 30 dan 83 HSO.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xx
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah. ... 1
1.2 Tujuan Penelitian. ... 2
1.4 Kerangka Pemikiran. ... 3
1.5 Hipotesis. ... 5
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Budidaya Tanaman Jagung. ... 6
2.2 Sistem Olah Tanah. ... 8
2.3 Pupuk Nitrogen. ... 11
2.4 Respirasi Tanah. ... 12
III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 14
3.2 Bahan dan Alat ... 14
3.3 Metode Penelitian ... 15
3.4 Pelaksanan Penelitian. ... 17
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Respirasi Tanah ... 21 4.1.1 Rizosfer. ... 21 4.1.2 Non Rizosfer. ... 21
4.2 Nilai uji T terhadap respirasi rizosfer dan non rizosfer pertanaman jagung ... 29
4.3 Hubungan respirasi tanah dan rizosfer dengan C-Organik, N-Total Tanah, Kelembaban, danSuhu tanah. ... 30
V. KESIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Ringkasan analisis ragam respirasi rizosfer akibat pengaruh sistem olah tanah dan pemupukan N jangka panjang pada pertanaman jagung. ... 22
2. Pengaruh sistem tanpa olah tanah dan pemupukan nitrogen jangka panjang terhadap respirasirizosfer pertanaman jagung 9 HSO. ... 22
3. Pengaruh interaksi sistem tanpa olah tanah dan pemupukan nitrogen jangka panjang terhadap respirasi rizosfer pertanaman jagung 30 HSO. ... 22
4. Pengaruh interaksi sistem tanpa olah tanah dan pemupukan nitrogen jangka panjang terhadap respirasi pada rizosferpertanaman jagung 83 HSO. ... 23
5. Ringkasan analisis ragam respirasi non rizosfer akibat pengaruh sistem olah tanah dan pemupukan N jangka panjang pada
pertanaman jagung. ... 27
6. Pengaruh interaksi sistem tanpa olah tanah dan pemupukan nitrogen jangka panjang terhadap respirasi non rizosfer pertanaman jagung -7 HSO. ... 27
7. Pengaruh interaksi sistem tanpa olah tanah dan pemupukan nitrogen jangka panjang terhadap respirasi non rizosfer pada pertanaman jagung 2 HSO. ... 28
8. Uji T respirasi rizosfer dan non rizosfer pertanaman jagung. ... 31
9. Uji korelasi respirasi rizosfer dengan C organik tanah, N total,
kelembaban dan suhu tanah pada pengamatan 83 HSO. ... 31
10. Uji korelasi respirasi non rizosfer dengan C organik tanah, N total, dan kelembaban pada pengamatan 83 HSO. ... 31
12. Pengaruh sistem olah tanah dan pemupukan nitrogen jangka panjang terhadap respirasi rizosfer (kg C-CO2 hari-1 ha-1) pada
pengamatan 9 HSO pada pertanaman jagung. ... 38
13. Hasil analisis ragam respirasi rizosfer (kg C-CO2 hari-1 ha-1) pada
pengamatan 9 HSO akibat pengaruh sistem olah tanah dan
pemupukan nitrogen jangka panjang pada pertanaman jagung. ... 38
14. Pengaruh sistem olah tanah dan pemupukan nitrogen jangka panjang terhadap respirasi rizosfer (kg C-CO2 hari-1 ha-1) pada
pengamatan 30 HSO pada pertanaman jagung. ... 39
15. Hasil analisis ragam respirasi rizosfer (kg C-CO2 hari-1 ha-1) pada
pengamatan 30 HSO akibat pengaruh sistem olah tanah dan
pemupukan nitrogen jangka panjang pada pertanaman jagung. ... 39
16. Pengaruh sistem olah tanah dan pemupukan nitrogen jangka panjang terhadap respirasi rizosfer (kg C-CO2 hari-1 ha-1) pada
pengamatan 83 HSO pada pertanaman jagung. ... 40
17. Hasil analisis ragam respirasi rizosfer (kg C-CO2 hari-1 ha-1) pada
pengamatan 83 HSO akibat pengaruh sistem olah tanah dan pemupukan nitrogen jangka panjang pada pertanaman jagung. ... 40
18. Pengaruh sistem olah tanah dan pemupukan nitrogen jangka panjang terhadap respirasi non rizosfer (kg C-CO2 hari-1 ha-1)
pada pengamatan -7 HSO. ... 41
19. Data transfromasi(√(x+0,5)) pengaruh sistem olah tanah dan
pemupukan nitrogen jangka panjang terhadap respirasi non rizosfer (kg C-CO2 hari-1 ha-1) pada pengamatan -7 HSO. ... 41
20. Hasil analisis ragam respirasi non rizosfer (kg C-CO2 hari-1 ha-1)
pada pengamatan hari -7 HSO akibat pengaruh sistem olah tanah dan pemupukan nitrogen jangka panjang pada pertanaman jagung. 42
21. Pengaruh sistem olah tanah dan pemupukan nitrogen jangka panjang terhadap respirasi non rizosfer (kg C-CO2 hari-1 ha-1)
pada pengamatan 2 HSO. ... 42
22. Hasil analisis ragam respirasi non rizosfer (kg C-CO2 hari-1 ha-1)
pada pengamatan 2 HSO akibat pengaruh sistem olah tanah dan
pemupukan nitrogen jangka panjang pada pertanaman jagung. ... 43
23. Pengaruh sistem olah tanah dan pemupukan nitrogen jangka panjang terhadap respirasi non rizosfer (kg C-CO2 hari-1 ha-1)
24. Hasil analisis ragam respirasi non rizosfer (kg C-CO2 hari-1 ha-1)
pada pengamatan 9 HSO akibat pengaruh sistem olah tanah dan pemupukan nitrogen jangka panjang pada pertanaman jagung. ... 44
25. Pengaruh sistem olah tanah dan pemupukan nitrogen jangka panjang terhadap respirasi non rizosfer (kg C-CO2 hari-1 ha-1)
pada pengamatan 30 HSO pada pertanaman jagung. ... 44
26. Hasil analisis ragam respirasi non rizosfer (kg C-CO2 hari-1 ha-1)
pada pengamatan 30 HSO akibat pengaruh sistem olahtanah dan pemupukan nitrogen jangka panjang pada pertanaman jagung. ... 45
27. Pengaruh sistem olah tanah dan pemupukan nitrogen jangka panjang
terhadap respirasi non rizosfer (kg C-CO2 hari-1 ha-1) pada 83 HSO
pada pertanaman jagung. ... 45
28. Hasil analisis ragam respirasi non rizosfer (kg C-CO2 hari-1 ha-1)
pada pengamatan 83 HSO akibat pengaruh sistem olah tanah dan pemupukan nitrogen jangka panjang pada pertanaman jagung. ... 46
29. Pengaruh sistem olah tanah dan pemupukan N jangka panjang terhadap C-Organik tanah pada kedalaman 0-20 cm pada pertanaman jagung. ... 46
30. Ringkasan analisis ragam uji korelasi C-Organik tanah pada kedalaman 0-20 cm dengan respirasi non rizosfer 83 HSO pada
pertanaman jagung. ... 46
31. Ringkasan analisis ragam uji korelasi C-Organik tanah pada kedalaman 0-20 cm dengan respirasi pada rizosfer 83 HSO pada pertanaman jagung. ... 47
32. Pengaruh sistem olah tanah dan pemupukan N jangka panjang terhadap N-Total tanah pada kedalaman 0-20 cm pada pertanaman jagung. ... 47
33. Ringkasan analisis ragam uji korelasi N-Total tanah pada kedalaman 0-20 cm dengan respirasi non rizosfer 83 HSO pada pertanaman jagung. ... 47
34. Ringkasan analisis ragam uji korelasi N-Total tanah pada kedalaman 0-20 cm dengan respirasi pada rizosfer pertanaman jagung 83 HSO. ... 48
35. Pengaruh sistem olah tanah dan pemupukan N jangka panjang terhadap kelembaban tanah pada kedalaman 0-20 cm pada
36. Ringkasan analisis ragam uji korelasi kelembaban tanah pada kedalaman 0-20 cm dengan respirasi non rizosfer pertanaman jagung 83 HSO. ... 48
37. Ringkasan analisis ragam uji korelasi kelembaban tanah pada kedalaman 0-20 cm dengan respirasi pada rizosfer pertanaman jagung 83 HSO. ... 49
38. Pengaruh sistem olah tanah dan pemupukan N jangka panjang terhadap suhu tanah pertanaman jagung -7 HSO. ... 49
39. Ringkasan analisis ragam uji korelasi suhu tanah- 7 HSO dengan
respirasi non rizosfer pertanaman jagung-7 HSO. ... 49
40. Pengaruh sistem olah tanah dan pemupukan N jangka panjang terhadap suhu tanah pertanaman jagung 2 HSO. ... 50
41. Ringkasan analisis ragam uji korelasi suhu tanah 2 HSO dengan respirasi non rizosfer pertanaman jagung 2 HSO. ... 50
42. Pengaruh sistem olah tanah dan pemupukan N jangka panjang terhadap suhu tanah pertanaman jagung 9 HSO. ... 50
43. Ringkasan analisis ragam uji korelasi suhu tanah 9 HSO dengan respirasi non rizosfer pertanaman jagung 9 HSO. ... 51
44. Ringkasan analisis ragam uji korelasi suhu tanah 9 HSO dengan respirasi rizosfer pertanaman jagung 9 HSO. ... 51
45. Pengaruh sistem olah tanah dan pemupukan N jangka panjang terhadap suhu tanah pertanaman jagung 30 HSO. ... 51
46. Ringkasan analisis ragam uji korelasi suhu 83 HSO dengan respirasi pada tanah pertanaman jagung 83 HSO. ... 52
47. Ringkasan analisis ragam uji korelasi suhu tanah 30 HSO dengan respirasi rizosfer pertanaman jagung 30 HSO. ... 52
48. Pengaruh sistem olah tanah dan pemupukan N jangka panjang terhadap suhu tanah pertanaman jagung 83 HSO. ... 52
49. Ringkasan analisis ragam uji korelasi suhu tanah 83 HSO dengan respirasi non rizosfer pertanaman jagung 83 HSO. ... 53
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Tata letak percobaan . ... 16
2. Kurva hasil pengamatan respirasi rizosfer pengamtaan 9 HSO sampai 83 HSO akibat pengaruh sistem olah tanah dan pemupukan nitrogen jangka panjang. ... 25
I. PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang dan Masalah
Kehilangan karbon di sektor pertanian disebabkan oleh cara praktik budidaya yang
tidak berkelanjutan. Pertanian dengan olah tanah intensif di lahan kering merusak
agregat tanah sehingga partikel-partikel tanah menjadi lepas dan karbon tanah hilang
terbawa erosi, dan memacu oksidasi bahan organik tanah sehingga menurunkan
cadangan karbon tanah dan meningkatkan emisi gas CO2 ( Utomo, 2004 ).
Aktivitas sektor pertanian menyumbang emisi gas rumah kaca (GRK) anthropogenik
dalam pemanasan global sebesar 23%, dan 90% nya berasal dari pertanian daerah
tropik (Houghtoun, 1995). Jika keadaan ini terus berlanjut, dikhawatirkan bukan
hanya akan meningkatkan pemanasan global, tetapi juga akan menurunkan ketahanan
pangan nasional. Hal ini berdampak negatif terutama pada bidang pertanian.
Diantaranya penurunan produksi tanaman pangan yang berakibat peningkatan resiko
kekurangan pangan. Serta perubahan pola distribusi hewan dan serangga sebagai agen
pembawa penyakit tanaman. Oleh karena itu, diperlukan pertanian alternatif yang
mampu menjawab permasalahan tersebut. Dengan memanfaatkan residu tanaman
2
untuk mengurangi pemanasan global melalui penyerapan C ke dalam tanah dan
pengurangan emisi CO2 (Tjitrosemito, 2005)
Hasil penelitian tahun sebelumnya (tahun ke-22), sistem OTK mampu secara
konsisten mengurangi emisi gas CO2 secara signifikan dan meningkatkan penyerapan
C pada tanaman dan gulma lebih tinggi dibanding OTI, tetapi belum nyata dalam
meningkatkan C tanah(Utomo, Henri dan Banuwa, 2010).
1.2Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh sistem tanpa olah tanah dan
pemupukan N terhadap respirasi rizosfer dan non rizosfer pada lahan pertanaman
jagung.
1.3Kerangka Pemikiran
Jagung (Zea mays L.) adalah komoditas pangan yang penting dan menempati urutan
kedua setelah padi di Indonesia. Jagung mengandung 8 g protein dan 73 g karbohidrat
dalam setiap 100 g. Kebutuhan masyarakat akan tanaman ini semakin meningkat
setiap tahunnya seimbang dengan pertumbuhan penduduk dan kemajuan sektor
industri yang memanfaatkan jagung sebagai bahan baku utama.
Pengolahan tanah yang berlebihan (intensif) dalam jangka panjang dapat menjadikan
suatu lahan terdegradasi yang berpengaruh juga terhadap sifat fisik, kimia, dan
3
intensif menyebabkan kepadatan tanah yang tinggi, terutama pada lapisan bawah
bajak (kedalaman 30 cm), menurunkan jumlah pori makro dan pori aerasi, serta
lapisan atas sangat peka terhadap erosi, terutama erosi percik. Sistem olah tanah
seperti ini akan mempercepat degradasi tingkat kesuburan tanah akibat pencucian
hara dan erosi, yang selanjutnya dapat menurunkan produktivitas lahan. Pengolahan
tanah secara konvensional dapat mempengaruhi struktur tanah karena tanah yang
sering diolah akan padat.
Widiyono (2005) mengatakan bahwa sistem olah tanah intensif juga dapat
meningkatkan emisi gas CO2 ke udara. Hal ini terjadi karena tanah yang diolah
secara intensif memiliki bongkahan yang kecil sehingga luas permukaan tanah
menjadi lebih tinggi dan pori-pori makro lebih banyak. Keadaan tanah tersebut dapat
meningkatkan oksigen dalam tanah, sehingga oksidasi bahan organik menjadi lebih
tinggi, akibatnya pelepasan CO2ke udara semakin meningkat. Sistem olah tanah
intensif tidak sesuai dengan keberlanjutan usaha pertanian, oleh karena itu perlu
dilakukan olah tanah konservasi untuk melaksanakan pertanian berkelanjutan.
Sarno dkk. (1998) melaporkan bahwa kadar c-total pada lahan tanpa olah tanah
sangat nyata lebih tinggi daripada olah tanah intensif dan minimum, tetapi kadar
C-total antara olah tanah minimum dan tanpa olah tanah tidak berbeda nyata.
Sektor pertanian mempunyai potensi dalam menyerap karbon (C-sink) dalam tanah
dan dapat mengurangi emisi karbon adalah sektor pertanian yang menerapkan
4
mekanisme sistem pertanian dalam mengurangi emisi karbon yaitu (a) meningkatkan
penyerapan karbon dalam bahan organik tanah dan biomasa di atas tanah, (b)
mengurangi penggunaan energi langsung maupun tidak langsung untuk mengurangi
emisi gas rumah kaca, dan (c) meningkatkan emisi terbarukan untuk mengurangi
emisi karbon.
Dalam dokumen Protokol Kyoto tahun 1997 menyebutkan bahwa, walaupun tanaman
mempunyai keterbatasan dalam menyerap karbon karena siklus panennya singkat dan
produksi biomasanya lebih rendah dibandingkan dengan ekosistem hutan, tetapi
sektor ini mempunyai peran besar dalam menyerap karbon dalam tanah seperti pada
pertanian olah tanah konservasi (Sedjo dkk., 1998).
1.4Hipotesis
Hipotesis pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Respirasi rizosfer pada sistem tanpa olah tanah lebih rendah daripada respirasi
rizosfer pada sistem olah tanah intensif.
b. Respirasi rizosfer pada pemupukan 100 kg N ha-1 lebih tinggi dibandingkan
dengan tanpa pemupukan N.
c. Terdapat pengaruh interaksi antara sistem olah tanah dan pemupukan N pada
respirasi rizosfer.
d. Respirasi non rizosfer pada sistem tanpa olah tanah lebih rendah daripada respirasi
5
e. Respirasi non rizosfer pada pemupukan 100 kg N ha-1 lebih tinggi dibandingkan
dengan tanpa pemupukan N.
f. Terdapat pengaruh interaksi antara sistem olah tanah dan pemupukan N pada
respirasi non rizosfer.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Budidaya Tanaman Jagung
Jagung (Zea mays L.) merupakan tanaman berumah satu (monoecious) yaitu letak
bunga jantan terpisah dengan bunga betina pada satu tanaman. Jagung termasuk
tanaman C4 yang mampu berdaptasi baik pada faktor-faktor pembatas seperti
intensitas radiasi surya tinggi dengan suhu siang dan malam tinggi, curah hujan
rendah dengan cahaya musiman tinggi disertai suhu tinggi serta kesuburan tanah yang
relatif rendah. Sifat-sifat yang menguntungkan dari jagung sebagai tanaman C4 antara
lain aktivitas fotosintesis pada keadaan normal relatif tinggi, fotorespirasi sangat
rendah, transpirasi rendah, serta efisien dalam penggunaan air (Muhadjir, 1986).
Akar jagung adalah akar serabut yang kedalamannya dapat mencapai 8 m meskipun
sebagian besar hanya pada kisaran 2 m. Sistem perakaran jagung terdiri atas akar
primer, akar lateral, akar horizontal, dan akar udara (Danarti dan Najiyati, 2000).
Pada tanaman yang sudah cukup dewasa akar adventif akan muncul daari buku-buku
batang bagian bawah yang berperan dalam membantu tegaknya tanaman.
Batang berwarna hijau sampai keunguan, bentuknya bulat pipih. Tingginya 125-250
7
pelepah daun yang muncul dari buku. Jumlah ruas tanaman jagung bervariasi yaitu
10-14. Batang jagung cukup kokoh namun kandungan ligninnya tidak banyak. Daun
jagung tumbuh pada setiap ruas batang. Daunnya berbentuk pipa, mempunyai lebar
4-15 cm dan panjangnya kira-kira 30-4-150 cm, serta didukung oleh pelepah daun yang
menyelubungi batang. Pemukaan daun ada yang licin dan ada yang berambut.
Jagung memiliki bunga jantan dan bunga betina yang terpisah dalam satu tanaman.
Bunga jantan tumbuh di ujung batang dan tersusun dalam malai, sedangkan bunga
betina tersusun dalam tongkol dan tertutup oleh klobot. Bunga ini muncul pada ketiak
daun yang treletak di pertengahan batang. Pada umumnya, satu tanaman hanya dapat
menghasilkan satu tongkol produktif meskipun memiliki sejumlah bunga betina.
Bunga jantan akan siap melakukan penyerbukan 2-5 hari lebih dini daripada bunga
betinanya.
Tanaman jagung menghendaki daerah yang beriklim sedang hingga subtropics atau
tropis yang basah dan di daerah yang terletak antara 0-500LU hingga 0-400 LS.
Tanaman jagung juga menghendaki penyinaran matahari yang penuh. Suhu optimum
yang dikehendaki adalah 21-340 C. Curah hujan yang ideal untuk tanaman jagung
adalah 85-200 mm/bulan dan harus merata.
Tanaman jagung menghendaki tanah yang gembur, subur, berdrainase yang baik, ph
tanah 5,6-7,2. Jenis tanah yang dapat ditanami jagung antara lain andosol, latosol,
grumosol, dan tanah berpasir. Pada tanah-tanah yang bertekstur berat, jika akan
8
kondisi tanahnya gembur, dalam budidaya jagung tanah tidak perlu diolah (sistem
tanpa olah tanah).
Tanaman jagung ditanam di Indonesia mulai dari dataran rendah sampai didaerah
pegunungan yang memiliki ketinggian antara 1000-1800 m dpl. Sedangkan daerah
yang optimum untuk pertumbuhan jagung adalah antara 0-600 m dpl.
2.2 Sistem Olah Tanah
Pengolahan tanah dilakukan untuk menciptakan kondisi lingkungan yang sesuai
untuk pertumbuhan tanaman. Namun pada kenyataannya pengolahan tanah yang
dilakukan secara terus-menerus dapat menimbulkan dampak negatif terhadap
produktivitas lahan. LIPTAN (1995) menyatakan bahwa pengolahan tanah dapat
mempercepat kerusakan sumber daya tanah seperti meningkatkan laju erosi dan
kepadatan tanah. Untuk mengatasi kerusakan karena pengolahan tanah, maka
diperkenalkan sistem oalah tanah konservasi yang diikuti oleh pemberian mulsa yang
diharapkan dapat meningkatkan produksi pertanian.
Menurut Utomo (1995), sistem olah tanah konservasi (OTK) merupakan suatu sistem
olah tanah yang berwawasan lingkungan. Hal ini dibuktikan dari hasil percobaan
jangka panjang pada tanah ultisol di Lampung yang menunjukkan bahwa sistem OTK
mampu memperbaiki kesuburan tanah lebih baik daripada sistem olah tanah intensif.
Sedangkan menurut Agus dan Widianto (2004) OTK adalah suatu sistem pengolahan
9
permukaan tanah. Keuntungan dari penggunaan sistem olah tanah ini adalah
menghemat tenaga kerja dan biaya serta dapat memperbaiki struktur tanah melalui
peningkatan pori makro.
Pengolahan tanah secara temporer dapat memperbaiki sifat fisik tanah, tetapi
pengolahan tanah yang dilakukan berulang kali dalam setiap tahun dalam jangka
panjang dapat menimbulkan kerusakan tanah karena (a) pelapukan bahan organik dan
aktifitas tanah (mikroorganisme tanah) menjadi rusak (b) pengolahan tanah sewaktu
penyiangan banyak memutuskan akar-akar tanaman yang dangkal, (c) mempercepat
penurunan kandungan bahan organik tanah, (d) meningkatkan kepadatan tanah pada
kedalaman 15-25 cm akibat pengolahan tanah dengan alat-alat berat yang berlebihan
yang dapat menghambat perkembanagn akar tanaman serta menurunkan laju
infiltrasi, dan (e) lebih memungkinkan terjadinya erosi (Hakim dkk., 1986).
Arsjad ( 2000 ) mendefinisikan pengolahan tanah sebagai setiap manipulasi mekanik
terhadap tanah yang diperlukan untuk menciptakan keadaan tanah yang baik bagi
pertumbuhan tanaman. Tujuan pengolahan tanah adalah untuk menyiapkan tempat
pesemaian, tempat bertanam, menciptakan daerah perakaran yang baik,
membenamkan sisa tanaman, dan memberantas gulma. Soepardi ( 1979 ) mengatakan
bahwa mengolah tanah adalah untuk menciptakan sifat olah yang baik, dan sifat ini
mencerminkan keadaan fisik tanah yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman. Cara
pengolahan tanah sangat mempengaruhi struktur tanah alami yang baik yang
10
intensif selain memakan biaya yang tinggi juga akan menyebabkan struktur tanah
akan rusak.
Sistem OTK adalah sistem olah tanah yang berwawasan lingkungan. Pada percobaan
jangka panjang pada tanah ultisol di Lampung menunjukkan bahwa sistem OTK
(olah tanah minimum dan tanpa olah tanah) mampu memperbaiki kesuburan tanah
lebih baik daripada sistem olah tanah intensif. Pada sistem olah tanah konservasi,
tanah diolah seperlunya saja, atau tidak perlu diolah sama sekali, dan mulsa dari
residu tanaman sebelumnya dibiarkan menutupi permukaan lahan minimal 30%.
Sistem olah tanah yang masuk dalam rumpun OTK antara lain olah tanah bermulsa
(OTB), olah tanah minimum (OTM), dan tanpa olah tanah (TOT) (Utomo, 1990).
Walaupun potensi penyerapan karbon dalam biomasa pertanian tanaman pangan lebih
rendah dibandingkan dengan kehutanan, tetapi dengan penerapan sistem olah tanah
konservasi jangka panjang, penyerapan dan penyimpanan karbon dalam tanah lebih
besar. Karbon yang tersimpan di dalam tanah merupakan bagian dari siklus karbon,
yaitu hasil bersih dari penambahan tanah hasil dekomposisi residu tanaman dan
pengurangan karbon tanah akibat emisi gas CO2 akibat dekomposisi bahan organik
tanah atau akibat erosi (Ball dan Pretty, 2002;FAO, 2007)
Biomasa tanaman yang dikembalikan ke lahan sebagai mulsa akan segera
didekomposisi oleh biota tanah yang dalam prosesnya akan melepas CO2 ke udara.
Tidak semua CO2 hilang ke udara, masih ada yang tinggal di dalam tanah terkonversi
11
manipulasi permukaan tanah pada OTK akan menghasilkan akumulasi bersih karbon
dalam tanah lebih tinggi dari OTI (USDE, 2005).
2.3 Pupuk Nitrogen
Nitrogen merupakan salah satu unsur yang paling luas penyebarannya di alam. Di
atmosfer terdapat sekitar 3,8 x 1015 ton N2- molekuler, sedangkan pada lithosfer
terdapat 4,74 kalinya (Hanafiah, 2007). Unsur N juga paling banyak dibutuhkan oleh
tanaman sebagai komponen produksi, kecuali untuk tanaman yang produksinya
berupa buah berair atau umbi/akar. Menurut Hakim dkk. (1986) nitrogen merupakan
penyusun setiap sel hidup, karenanya terdapat pada seluruh bagian tanaman.
Meskipun kandungan N di atmosfer tinggi akan tetapi tanaman tidak dapat
memanfaatkan N langsung dari udara. Tanaman umumnya menyerap unsur N dalam
bentuk NO3- dan NH4+ dari dalam tanah. Sumber N utama tanah adalah bahan
organic yang melalui proses dekomposisi menghasilkan NH4+ dan NO3-. Selain itu,
N dapat juga bersumber dari atmosfer 78% N, masuk ke dalam tanah melalui curah
hujan (8-10% N tanah), penambahan (fiksasi) oleh mikroorganisme tanah baik secara
simbiosis dengan tanaman maupun yang hidup bebas (Nyakpa dkk., 1988).
Walaupun unsur N tanah dapat tersedia secara alami, akan tetapi tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan tanaman. Oleh karena itu perlu penambahan unsur N dari luar
dalam bentuk pupuk seperti Urea, ZA dan dalam bentuk pupuk kandang ataupun
12
dan produksi tanaman. Hasil penelitian Hartoyo, Isnaini, dan Maryati (1997)
menunjukkan bahwa pemberian pupuk urea dalam bentuk prill dan tablet dapat
meningkatkan tinggi tanaman, jumlah anakan maksimum, dan bobot kering pupus
serta bobot kering tanaman saat panen, banyaknya malai per tanaman, banyaknya
gabah per malai, persentasi gabah isi, dan bobot 1000, dan hasil padi IR64 kering
giling. Begitu juga penelitian Banuwa, Utomo, dan Damai (1993) pemupukan N
memberikan tanggapan tanaman yang semakin baik, dengan semakin tinggi dosis
yang digunakan, pertumbuhan dan hasil serta serapan N total tanaman jagung
semakin meningkat secara konsisten.
2.4 Respirasi Tanah
Respirasi mikroorganisme tanah mencerminkan tingkat aktivitas mikrorganisme
tanah. Pengukuran respirasi (mikroorganisme) tanah merupakan cara yang pertama
kali digunakan untuk menentukan tingkat aktivitas mikroorganisme tanah.
Pengukuran respirasi telah mempunyai korelasi yang baik dengan parameter lain
yang berkaitan dengan aktivitasmikroorganisme tanah seperti bahan organik tanah
transformasi N, hasil antara, pH dan rata-rata jumlah mikroorganisme (Anas, 1998).
Mikroorganisme tanah bekerja dalam proses dekomposisi sisa tanaman (bahan
organik). Dekomposisi sisa tanaman oleh serangga dan cacing tanah yang
selanjutnya dirombak oleh bakteri, fungi, dan aktinomisetes merubah hara dari bentuk
anorganik. Proses dekomposisi menghasilkan unsur hara dan akan melepaskan
13
dengan menghitung jumlah CO2 yang dilepaskan dalam proses dekomposisi (Foth,
1994).
Pengukuran respirasi tanah merupakan cara yang digunakan untuk menentukan
aktivitas mikroorganisme tanah. Penetapan respirasi tanah adalah berdasarkan
penetapan jumlah CO2 yang dihasilkan oleh mikroorganisme tanah, dan jumlah O2
yang dihasilkan oleh mikroorganisme tanah (Anas, 1989).
Respirasi tanah merupakan kombinasi dari proses biotik, kimia, dan fisika. Respirasi
tanah adalah produksi CO2 yang dihasilkan dari aktivitas biologi oleh
mikroorganisme, akar tanaman, cacing tanah, dan serangga lainnya. Respirasi tanah
yang tinggi menunjukkan bahwa aktivitas biologi tinggi dan dekomposisi bahan
organik berjalan dengan baik dalam menyediakan unsur tersedia bagi tanaman
(Gomes, 2001). Respirasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu temperatur tanah,
kelembapan tanah, konsentrasi, nitrogen akar, tekstur tanah, dan kualitas dan
III. BAHAN DAN METODE
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2012 musim ke 43 sampai dengan
bulan April 2013 di lahan Politeknik Negeri Lampung. Analisis tanah dilakukan
di Laboratorium Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Lampung.
3.2 Bahan dan Alat
Alat yang digunakan adalah cangkul, bor tanah, kantung plastik, alat tulis, ayakan
2 mm, timbangan, lakban, toples, Botol Film, stopwatch, jarum suntik, botol vial
ukuran 20 cc, alat ukur soil moisture, alat ukur soil temperature, Oven, gelas ukur,
erlen mayer, statip, dan drigen.
Bahan yang digunakan yaitu Aquades, pupuk kimia (Urea, SP18 dan KCl), benih
jagung P21, herbisida glifosat, bahan-bahan kimia untuk analisis C-organik tanah
(metode Walkey & Black) dan Respirasi non rizosfer (Produksi CO2) metode
Verstraete, dan Respirasi non rizosfer (Produksi CO2) metode Gas
15
3.3 Metode Penelitian
Penelitian dirancang dalam Rancangan Acak Kelompok (RAK) dan disusun
secara faktorial 4 ulangan. Faktor pertama dalam penelitian ini adalah perlakuan
sistem olah tanah (T) yaitu T0 = tanpa olah tanah, dan T1 = olah tanah intensif dan
faktor kedua dalam penelitian ini adalah pemupukan nitrogen (N) yaitu N0 = 0 kg
N ha-1 dan N1 = 100 kg N ha-1. Sampel tanah diambil dari daerah perakaran
tanaman jagung yang disebut sebagai respirasi rizosfer dan tanah yang dibatasi
paralon yang disebut sebagai daerah non rizosfer. Respirasi rizosfer diambil di
sekitar perakaran tanaman jagung atau disela-sela barisan. Data yang diperoleh
diuji homogenitasnya dengan uji Barlett dan aditifitasnya dengan Uji Tukey.
Apabila asusmsi terpenuhi, data dianalisis dengan sidik ragam dan dilanjutkan
16
--->>Jalan Aspal Poltek (Utara) Ulangan IV
N1T0 N0T0
N1T1 N0T1
Ulangan III N0T1
N1T0 N0T0
N1T1
Ulangan II N1T0 N0T1
N0T0 N1T1
Ulangan I N1T0
[image:28.595.110.460.92.553.2]N1T1 N0T0 N0T1
Gambar 1. Tata letak percobaan
Keterangan :
N0= 0 kg N ha-1, N1= 100 kg N ha-1.
T0= Tanpa Olah tanah, T1= Olah tanah Intensif.
= Lahan yang ditanami
17
3.4 Pelaksanaan Penelitian
Pada saat 2 minggu sebelum tanam lahan disemprot menggunakan herbisida
glifosat dengan dosis 4 liter ha-1 untuk mengendalikan gulma yang tumbuh, dan
kemudian gulma tersebut digunakan sebagai mulsa untuk perlakuan tanpa olah
tanah (TOT). Pada petak olah tanah intensif (OTI) tanah dicangkul dua kali
hingga kedalaman 20 cm dan sisa tanaman gulma dibuang dari petak percobaan.
Lahan dibagi menjadi 16 petak percobaan sesuai dengan perlakuan dan dengan
ukuran tiap petaknya 4m x 6m dengan jarak antar petak yaitu 1 meter. Dibuat
lubang tanam dengan jarak 25 x 75 cm, setelah itu ditanami benih jagung varietas
P-21 dengan 1 biji perlubang tanam. Aplikasi pupuk N dilakukan secara bertahap
yaitu pada 1 minggu setelah tanam. Dosis pupuk yang diterapkan adalah 0 kg N
ha-1 dan 100 kg N ha-1. Selain itu pupuk KCl dan SP 18 juga diberikan pada 1
minggu setelah tanam dengan dosis KCl 50 kg N ha-1 dan SP 18 sebanyak 100 kg
N ha-1. Pupuk urea diberikan secara 2 tahap yaitu pada saat tanaman jagung
berumur 1 minggu dan pada saat pertumbuhan vegetative maksimum.
Pemeliharaan tanaman dilakukan dengan penyulaman dan penyiangan gulma.
Pengambilan sampel dilakukan secara acak pada dua titik, yaitu pada tanah yang
akan diberi paralon yang kemudian hasilnya yaitu respirasi non rizosfer dan tanah
yang ada disekitar rizosfer yang kemudian hasilnya yaitu respirasi rizosfer.
Pengambilan sampel pada rizosfer dilakukan sebanyak 3 kali yaitu 9, 30, dan 83
18
3.4 Pengamatan
Variabel Utama 1. Respirasi Rizosfer
Respirasi rizosfer diambil di sekitar perakaran tanaman jagung atau disela-sela
barisan. Pada akhir masa inkubasi kuantitas C-CO2 yang dihasilkan ditentukan
dengan cara dititrasi. Dua tetes fonolptalin ditambahkan ke dalam gelas beaker
yang berisi KOH sampel, kemudian dititrasi dengan HCl sampai warna merah
menjadi hilang (volume yang diperlukan dicatat). Kemudian ditambahkan 2 tetes
metal orange dan dititrasi kembali dengan HCl sampai warna kuning (orange)
berubah menjadi merah muda pink (pink). Jumlah HCl yang digunakan pada
tahap kedua titrasi berhubungan langsung dengan jumlah CO2 yang difiksasi.
19
Jumlah CO2 total dapat dihitung dengan menggunakan formula:
C-CO2 = (a-c) x t x 12
T x π x r2
Jumlah CO2 dari non rizosfer dapat dihitung dengan menggunakan formula:
C-CO2 = (b-c) x t x 12
T x π x r2
Untuk jumlah CO2 dari rizosfer dapat dihitung dari respirasi total – respirasi non
rizosfer.
Keterangan :
C-CO2 = mg jam-1 m-2
a = ml HCl untuk respirasi total (setelah ditambahkan metil orange )
b = ml HCl untuk respirasi non rizosfer (setelah ditambahkan metil orange )
c = ml HCl untuk control (setelah ditambahkan metil orange )
t = normalitas HCl
T = waktu pengukuran (jam)
R = jari jari tabung toples (m)
Reaksi yang terjadi:
1. Reaksi pengikatan CO2
CO2 + 2 KOH K2CO3 + H2O
2. Perubahan warna menjadi tidak berwarna (fenolftalein)
K2CO3 + HCl KCl + KHCO3
3. Perubahan warna kuning menjadi merah muda (metil orange)
20
2. Respirasi Non Rizosfer
Respirasi non rizosfer diukur langsung dilapangan dengan metode Verstraete
(Anas, 1989; Stotzky, 1965 dalam A.L, Page dkk., 1982). Pengambilan sampel
dilakukan pada saat sebelum perlakuan dan 3 jam setelah pengolahan tanah
selama 7 hari pengamatan. Respirasi non rizosfer diukur dengan cara
membenamkan paralon sekitar 20-30 cm kedalam tanah kemudian menutup
permukaan tanah dengan toples yang telah diketahui volumenya yang didalamnya
berisikan botol film berisikan 10 ml 0,1 N KOH. Agar tidak terjadi kebocoran,
toples dibenam kedalam tanah 2-3 cm. seperti yang pertama, toples kedua sebagai
blanko dimana botol film berisikan 10 ml 0,1 N KOH juga dibenamkan, akan
tetapi permukaan tanah dilapisi plastik terlebih dahulu sehingga tidak menangkap
CO2 dari tanah. Perlakuan tersebut dilakukan pagi dan sore selama 2 jam pada
tiap-tiap plot perlakuan.
Variabel Pendukung
1. C organik
2. N total
33
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
Rizosfer
1. Respirasi rizosfer pada sistem tanpa olah tanah lebih rendah dari sistem
olah tanah intensif.
2. Respirasi rizosfer pada pemupukan 100 kg N ha-1 lebih tinggi dari
pemupukan 0 kg N ha-1.
3. Terjadi interaksi antara sistem olah tanah dan pemupukan N pada 30 dan
83 HSO.
Non Rizosfer
1. Respirasi non rizosfer pada sistem tanpa olah tanah lebih rendah dari
sistem olah tanah intensif.
2. Respirasi non rizosfer pada pemupukan 100 kg N ha-1 lebih tinggi dari
pemupukan 0 kg N ha-1.
3. Terjadi interaksi antara sistem olah tanah dan pemupukan N hanya pada -7
dan 2 HSO.
Respirasi rizosfer lebih tinggi dibandingkan dengan respirasi non rizosfer pada 30
34
5.2 Saran
Saran yang dapat diberikan penulis adalah:
Perlu dilakukan pengolahan tanah secara konservasi dalam sistem pertanaman
jagung untuk mengurangi emisi gas CO2 ke udara yang dapat meningkatkan
PUSTAKA ACUAN
Anas, I. 1989. Biologi Tanah dalam Praktek. Departemen Pendidikan danKebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor. 161 hlm.
Agus, F., dan Widianto. 2004. Petunjuk Praktis Konservasi Tanah Pertanian Lahan Kering. Bogor. World Agroforestry Centre ICRAF Southeast Asia. Hal 59-60
Ball, A.S., J.N., Pretty. 2002. Agricultural Influences on Carbon Emissions and Sequestration. University of Essex. Wivenpark, Colchester, UK.
Banuwa,I.S., M. Utomo, dan A.A.Damai.1993. Efektivitas Sistem Olah Tanah Minimum dan Pengaruh Pupuk N Terhadap Pertumbuhan, Hasil, dan Serapan N pada Tanaman Jagung di Rawa Pasang Surut Mesuji-Tulang Bawang. Prosiding Seminar Nasional IV. Bandar Lampung. Hal:122-131.
Danarti dan S. Najiyati. 1992. Palawija. Penebar Swadaya. Jakarta.
Foth, H.D. 1994. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Diterjemahkan oleh Adasumarto, S. Erlangga. Jakarta.374 hlm.
Gomes, S. 2001. Soil Quality Field Results. The Online Newsletter. Cedar Basin Crop Consulting, Inc. October 2001.
Soils.usda.gov/sqi/assessment/files/chpt2.pdf.diakses tgl 15 oktober 2012 Hakim, N., Y. Nyakpa, A.M. Lubis, S.G Nugroho, M.R Saul, M.A Diha, B.H Godan
H.H Bailey. 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 490 hlm.
Hanafiah, K.A. 2007. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Grafindo Prasada. Jakarta. 360 hlm. Hartoyo, H.S. Isnaini, dan Maryati. 1997. Pertumbuhan dan Hasil Padi serta N Tanah
36
Houghton, R.A. 1995. Change in the storage of terrestrial carbon since 1850. In R. Lal, J. Kimbal, E. Levine and B.A.Stewart(eds) p. 45-65. Soils and Global Change.CRC Press.Boca Raton,FL.
Lembar Informasi Pertanian (LIPTAN). 1995. Budidaya Padi Sawah Tanpa Olah Tanah . Balai Informasi Pertanian Irian Jaya. Sentani : Jayapura.
Makalew, Afra D.N. 2001. Keanekaragaman Biota Tanah pada Agroekosistem Tanpa Olah Tanah (TOT). Makalah Falsafah Sains. IPB. 19 hlm.
Manik, K.E.S, Afandi, dan Soekarno. 1998. Karakteristik Tanah pada Perkebunan Nanas yang Diolah sangat Intensif di Lampung tengah. J. Tanah Tropika. 7 :1-6
Muhadjir, F. 1986. Jagung. Balai Penelitian Tanaman Pangan. Bogor. 437 hlm.
Nyakpa, M.Y., M.A. Pulung, A.G. Amrah, A. Munawar, G.B. Hong, dan N. Hakim. 1988. Kesuburan Tanah. Universitas Lampung, Bandar Lampung. 258 hlm. Sanchez, P.A. 1992. Sifat dan Pengelolaan Tanah Tropika. Diterjemahkan oleh
Johara T. Jayadinata. Penerbit ITB. Bandung. 397 hlm.
Sarief, E. S. 1985. Ilmu Tanah Pertanian. Pustaka Buana. Bandung. 157 hlm. Sarno, S. Yusnaini, Dermiyati dan M. Utomo. 1998. Pengaruh Sistem Olah Tanah
dan Pemupukan Nitrogen Jangka Panjang Terhadap Kandungan Asam Humik dan Fulvik. Tanah Trop. 7 : 35-42.
Sedjo, R., B. Sohngen, P. Jagger. 1998. Carbon Sinks in Post-Kyoto World. Internet Edition. Resources for the Future. Washington DC.
Tjitrosesemito, S. 2005. Olah Tanah Konservasi. Prospek dan Tantangan Pertanian Indonesia di Era Globalisasi. 35 Tahun PT Agrocon. PT Agricon.
USDE. 2005. Less in More : No-Till Agriculture Helps Mitigate Global Warming. Us Department of Research News. Office of Science of US Department of Energy.
37
Utomo, M.1995. Sistem Olah Tanah konservasi dan Pertanian Berkelanjutan. Sarasehan tentang Kebijakan Pertanian Berkelanjutan. Jakarta. 9 Maret 1995.
Utomo, M. 2004. Olah Tanah Konservasi untuk Budidaya jagung Berkelanjutan. Prosiding Seminar Nasional IX Budidaya Pertanian Olah Tanah Konservasi. Gorontalo.
Utomo, M., H. Buchari dan I. S. Banuwa. 2010. Peran olah tanah konservasi jangka panjang dalam mitigasi pemanasan global: penyerapan karbon, pengurangan gas rumah kaca dan peningkatan produktivitas lahan. Draf Laporan.
Universitas Lampung. Maret 2010.