• Tidak ada hasil yang ditemukan

KIMIA ORGANIK KEL 11

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KIMIA ORGANIK KEL 11"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH KIMIA ORGANIK II

SABUN, DETERGEN CAIR, BIOETANOL, PENGUJIAN

ANGKA ASETIL, REICHERT MEISSL

DAN ANGKA POLENSKE

Disusun Oleh :

Ainoel Yaqin 1314012

Andri Heri 1314017

Ninis Rahayu 1314021

Ardi Riyanto 1314029

Khusnul Chotimah 1314066

JURUSAN TEKNIK KIMIA

FAKULTAS TEKNIK INDUSTRI

(2)

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul SABUN, DETERGEN CAIR, BIOETANOL, PENGUJIAN ANGKA ASETIL, REICHERT MEISSL DAN ANGKA POLENSKE dengan baik. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas dalam Mata Kuliah Kimia Organik II.

Tersusunnya makalah ini karena ada dorongan dan bantuan yang diberikan oleh banyak pihak, oleh karena itu kami mengucapkan banyak terimakasih kepada teman-teman mahasiswa ITN Malang yang telah meluangkan waktunya untuk membantu terselesainya makalah ini.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih terdapat banyak kekurangannya, oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca.

Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi rekan-rekan mahasiswa, khususnya Mahasiswa Jurusan Teknik Kimia ITN Malang.

Malang, Oktober 2014

(3)

DAFTAR ISI

1.3. Sifat Kimia dan Fisika Sabun ... ...4 2.3. Sifat Kimia dan Fisika Deterjen Cair... ...7 2.4. Proses Pembuatan Detergen Cair...

8

(4)
(5)

BAB I

SABUN

1.1. Sejarah

Berdasarkan ukiran yang terdapat di bejana gerabah peninggalan Babilonia, bahan-bahan yang terkandung dalam sabun diduga telah dimanfaatkan sejak 2.800 SM. Dalam Papirus Eber, dokumen kesehatan Mesir Kuno tahun 1.500 SM, masyarakat Mesir Kuno menggunakan kombinasi minyak hewani atau nabati dengan garam alkali – dikenal dengan istilah saponifikasi–untuk menyembuhkan penyakit kulit dan membersihkan badan.

Istilah saponifikasi diambil dari bahasa latin “sapo” yang artinya soap atau sabun. Sapo merupakan nama sebuah gunung –ada juga yang menyebutnya bukit– dalam legenda Romawi Kuno, yang biasa menjadi tempat pemotongan hewan kurban dalam upacara. Ketika hujan, sisa-sisa lemak hewan itu tercampur abu kayu pembakaran dan mengalir ke Sungai Tiber di bawah gunung. Tak diduga, saat masyarakat sekitar sungai mencuci, mereka mendapati air mengeluarkan busa dan pakaian mereka menjadi lebih bersih.

Pada abad ke-1 masyarakat Romawi Kuno melakukan saponifikasi dengan cara mereaksikan ammonium karbonat yang terdapat dalam air seni (urine) dengan minyak tumbuhan dan lemak hewan. Ada pekerja khusus yang mengumpulkan air seni (fullones) untuk dijual ke para pembuat sabun. Tapi baru pada abad ke-2 dokter Galen (130-200 SM) menyebutkan penggunaan sabun untuk membersihkan tubuh.

Ahamad Y. al-Hassan dan Donald Hill dalam bukunya Islamic Technology: An Illustrated History, menyebut Abu Bakar Muhammad bin Zakaria al-Razi, kimiawan Persia, sebagai peracik pertama ramuan sabun modern. Orang Arab membuat sabun dari minyak nabati atau minyak atsiri, misalnya minyak thymus. Sentra industri sabun berada di Kufah, Basrah, dan Nablus di Palestina. Sabunnya sudah berbentuk padat dan cair.

(6)

dimuat di Pharmaceutical Journal, 1999, catatan Bristol Company of Soapmakers untuk tahun 1562-1642 menunjukkan lebih dari 180 orang terlibat dalam bisnis sabun. Bisnis sabun mendapat tempat yang istimewa di Inggris. Pada 1622 Raja James memberikan hak monopoli kepada seorang pembuat sabun dengan membayar imbalan $100.000 setahun.

Sekalipun sabun mulai dikenal, ia masih menjadi barang asing bagi sebagian masyarakat di Eropa Tengah. Menurut Alicia Alvrez dalam bukunya The Ladies′ Room Reader: The Ultimate Women′s Trivia Book, Di Jerman, Duchess of Juelich merasakan sensasi luar biasa ketika mendapat hadiah sekotak sabun dari sahabatnya pada 1549. Pada 1672, seorang Jerman bernama A. Leo harus menuliskan keterangan rinci cara penggunaannya ketika mengirimkan bingkisan hadiah berisi sabun kepada seorang puteri Prusia, Lady von Schleinitz.

Berbeda dengan Inggris, penguasa Perancis Raja Louis XIV justru bersikap keras kepada pembuat sabun. Sang raja pernah menghukum mati dengan pisau guillotin terhadap tiga orang pembuat sabun karena membuat kulit sang raja iritasi. Takut ditimpa hukuman yang sama, beberapa pembuat sabun berusaha lebih serius untuk menciptakan sabun berkualitas baik.

Revolusi industri yang berkembang di negeri-negeri Eropa pada abad ke-19 memperpesat industri sabun. Namun di beberapa negara, sabun masih dikenai pajak tinggi karena tergolong barang mewah. “Kombinasi monopoli dan pajak khusus telah menghalangi pembangungan industri sabun” tulis Patricia E. Malcolmson dalam English Laundresses: a Social History, 1850-1930. Pada 1852 Inggris dan Prancis menghilangkan pajak sabun untuk meningkatkan standar hidup bersih dan sehat masyarakat. Sabun pun menjadi komoditas sehari-hari yang bisa digunakan masyarakat biasa.

(7)

Salah satu perusahaan yang memperkenalkan sabun produksi industri adalah Unilever, merger antara perusahaan asal Inggris, Lever Brothers, dan perusahaan asal Belanda, Margarine Urine. Produk sabun Unilever adalah Lifebuoy, Lux, Sweetmay, dan Capitol. Unilever membuka anak perusahaan di Jakarta pada 1931. Pesaingnya, P&G, produksi perusahaan Jerman, Dralle yang pada 1940-an berubah nama menjadi Colibri dan diambil-alih Unilever.

Saat Perang Pasifik, Unilever diambil-alih militer Jepang untuk kepentingan perang. Ini membuat sabun jadi barang langka. Kalau pun ada, harganya melonjak. Untuk mengatasinya, pada 1943 otoritas Jepang mengeluarkan izin operasi kepada 94 perusahaan sabun: 11 untuk orang Indonesia, dan selebihnya Tionghoa. Tak satu pun izin untuk orang Eropa. Selain itu, militer Jepang memberikan latihan cara membuat sabun agar rakyat bisa hidup mandiri. Latihan itu diadakan di gudang Pusat Tenaga Rakyat (Putera) di Jalan Sunda 28 Jakarta. Selain untuk keperluan sehari-hari, rakyat yang telah mahir membuat sabun biasanya menjual sabun hasil buatan mereka.

“Sabun yang bahan dasarnya terbuat dari minyak kelapa, abu, kapur, dan garam itu memiliki kualitas yang baik dan membuka lapangan usaha baru bagi rakyat,” tulis harian Borneo Shimboen, 22 Oktober 1943.

Setelah perang berakhir, Unilever mencoba bangkit. Tapi Unilever kembali berada dalam posisi sulit ketika terjadi gejolak politik pada 1950-an menyangkut Papua Barat. Semua perusahaan Belanda dinasionalisasi. Staf Unilever diusir dan diganti oleh tenaga-tenaga Inggris dan Jerman. Operasinya di bawah pengawasan pemerintah tahun 1964. Produksi Unilever merosot.

Pada 1967 kendali Unilever dikembalikan. Sejak itu produk-produk Unilever kembali merajai pasar penjualan sabun di Indonesia. Pesaing bermunculan.

(8)

1.2. Klasifikasi Sabun Klasifikasi sabun menurut pH :

- pH 5 – 8: dianggap lembut untuk kulit - pH 8 – 10: pH optimal untuk sabun badan - pH 10 – 12: untuk laundry / mencuci baju

Sabun dapat dibedakan sesuai jenis dan fungsinya yaitu: - Sabun keras atau sabun cuci.

Dibuat dari lemak dengan NaOH, misalnya Na – Palmitat dan Na – Stearat. - Sabun lunak atau sabun mandi.

Dibuat dari lemak dengan KOH, misalnya K-Palmitat dan K-Stearat 1.3. Sifat Kimia dan Fisika Sabun

Sifat Fisika

Sabun memiliki kelarutan yang tinggi dalam air, tetapi sabun tidak larut menjadi partikel yang lebih kecil, melainkan larut dalam bentuk ion. Sabun dan detergen merupakan agen pengemulsi yang paling efektif, khususunya untuk emulsi minyak-air. Minyak dalam air merupakan emulsi dengan minyak sebagai fase terdispersi dan air sebagai fase pendispersi.

Sifat Kimia

a. Sabun adalah garam alkali dari asam lemak suku tinggi sehingga akan dihidrolisis parsial oleh air. Karena itu larutan sabun dalam air bersifat basa. CH3(CH2)16COONa + H2O CH3(CH2)16COOH + OH

-b. Jika larutan sabun dalam air diaduk maka akan menghasilkan buih, peristiwa ini tidak akan terjadi pada air sadah. Dalam hal ini sabun dapat menghasilkan buih setelah garam-garam Mg atau Ca dalam air mengendap.

CH3(CH2)16COONa + CaSO4 Na2SO4 + Ca(CH3(CH2)16COO)2

c. Sabun mempunyai sifat membersihkan. Sifat ini disebabkan proses kimia koloid, sabun (garam natrium dari asam lemak) digunakan untuk mencuci kotoran yang bersifat polar maupun non polar, karena sabun mempunyai gugus polar dan non polar. Molekul sabun mempunyai rantai hydrogen CH3(CH2)16 yang bertindak sebagai ekor yang bersifat hidrofobik (tidak suka air) dan larut dalam zat organik sedangkan COONa+ sebagai kepala yang bersifat hidrofilik (suka air) dan larut dalam air.

(9)

1.4. Proses Pembuatan Sabun

Sabun dibuat baik lewat proses batch maupun proses sinambung. Pada proses batch, lemak atau minyak dipanaskan dengan alkali (NaOH) sedikit berlebih dalam ketel terbuka. Bila penyabunan selesai, garam ditambahkan untuk mengendapkan sabun sebagai padatan. Lapisan air yang mengandung garam, gliserol, dan kelebihan alkali disingkirkan, dan gliserol dipulihkan lewat penyulingan. Padatan sabun kasar, yang mengandung sedikit garam, alkali, dan gliserol sebagai pengotor, dimurnikan lewat pendidihan dengan air dan pengendapan kembali dengan garam beberapa kali. Akhirnya, padatan dididihkan dengan air secukupnya untuk membentuk campuran lembut, yang jika dibiarkan menghasilkan lapisan sabun homogen di bagian atas. Sabun ini dapat dijual tanpa pengolahan lebih lanjut, yaitu sebagai sabun industri murahan. Berbagai bahan pengisi, seperti pasir atau batu apung dapat ditambahkan untuk membuat sabun gosok. Pengolahan lain mengubah sabun kasar menjadi sabun mandi, sabun bubuk atau sabun serpih, sabun obat atau sabun wangi, sabun cuci, sabun cair, atau sabun apung (dengan mengembuskan udara ke dalamnya).

Dalam proses sinambung, yang lebih umum dikerjakan sekarang, lemak atau minyak terhidrolisis oleh air pada suhu dan tekanan tinggi dengan bantuan katalis, biasanya suatu sabunk zink. Lemak atau minyak dan air dimasukkan terus menerus dari arah berlawanan dari suatu reaktor yang lebih besar, dan asam lemak dan gliserol diambil segera setelah terbentuk lewat penyulingan. Asam kemudian dinetralkan secara hati-hati dengan alkali yang jumlahnya tepat untuk menjadi sabun.

BAB II

DETERGEN CAIR

(10)

Deterjen sintetik yang pertama dikembangkan oleh Jerman pada waktu Perang Dunia II dengan tujuan agar lemak dan minyak dapat digunakan untuk keperluan lainnya. Pada saat ini ada lebih 1000 macam deterjen sintetik yang ada di pasaran. Fritz Gunther, ilmuwan Jerman, biasa disebut sebagai penemu surfactant sintetis dalam deterjen tahun 1916. Namun, baru tahun 1933 deterjen untuk rumah tangga diluncurkan pertama kali di AS. Sebelum tahun 1965, deterjen menghasilkan limbah busa di sungai dan danau. Ini karena umumnya deterjen mengandung alkylbenzene sulphonate yang sulit terurai.

Setelah 10 tahun dilakukan penelitian (1965), ditemukan linear alkylbenzene sulphonate (LAS) yang lebih ramah lingkungan. Bakteri dapat cepat menguraikan molekul LAS, sehingga tidak menghasilkan limbah busa. Sepanjang sejarah banyak usaha dilakukan untuk membantu kita mengerjakan pekerjaan mencuci. Pencucian dengan air saja, bahkan dengan penggosokan atau putaran mesin sekeras apapun, akan menghilangkan sebagian saja bercak, kotoran dan partikelpartikel tanah.

Air saja tidak dapat menghilangkan debu yang tak larut dalam air. Air juga tak mampu menahan debu yang telah lepas dari kain agar tetap tersuspensi (tetap berada di air, jadi tidak kembali menempel ke kain). Jadi diperlukan bahan yang dapat membantu mengangkat kotoran dari air dan kemudian menahan agar kotoran yang telah terangkat tadi, tetap tersuspensi. Sejak ratusan tahun lalu telah dikenal sabun, yakni persenyawaan antara minyak atau lemak dan basa. Awalnya orang-orang Arab secara tak sengaja menemukan bahwa campuran abu dan lemak hewan dapat membantu proses pencucian.

Walaupun berbagai usaha perbaikan pada kualitas dan proses pembuatan sabun telah dilakukan, semua sabun hingga kini mempunyai satu kekurangan utama yakni akan bergabung dengan mineral-mineral yang terlarut dalam air membentuk senyawa yang sering disebut lime soap (sabun-kapur), membentuk bercak kekuningan di kain atau mesin pencuci. Akibatnya kini orang mulai meninggalkan sabun untuk mencuci seiring dengan meningkatnya popularitas deterjen.

2.2. Klasifikasi Deterjen Cair

Menurut kandungan gugus aktifnya maka detergen diklasifikasikan sebagai berikut:

(11)

Detergen jenis keras sukar dirusak oleh mikroorganisme meskipun bahan tersebutdibuang akibatnya zat tersebut masih aktif. Jenis inilah yang menyebabkan pencemaran air. Contoh: Alkil Benzena Sulfonat (ABS). Proses pembuatan ABS ini adalah dengan mereaksikan Alkil Benzena dengan BelerangTrioksida, asam Sulfat pekat atau Oleum. Reaksi ini menghasilkan Alkil BenzenaSulfonat.

Jika dipakai Dodekil Benzena maka persamaan reaksinya adalah: C6H5C12H25 + SO3C6H4C12H25SO3H (Dodekil Benzena Sulfonat)

Reaksi selanjutnya adalah netralisasi dengan NaOH sehingga dihasilkan Natrium Dodekil Benzena Sulfonat

- Detergen jenis lunak

Detergen jenis lunak, bahan penurun tegangan permukaannya mudah dirusak oleh mikroorganisme, sehingga tidak aktif lagi setelah dipakai. Contoh: Lauril Sulfat atau Lauril Alkil Sulfonat (LAS). Proses pembuatan (LAS) adalah dengan mereaksikan Lauril Alkohol dengan asam Sulfat pekat menghasilkan asam Lauril Sulfat dengan

reaksi: C12H25OH + H2SO4C12H25OSO3H + H2O.

Asam Lauril Sulfat yang terjadi dinetralisasikan dengan larutan NaOH sehingga dihasilkan Natrium Lauril Sulfat.

2.3. Sifat Kimia dan Fisika Deterjen Cair Sifat Fisika

- Kelarutan dan daya melarutkan, murray dan Hartly dalam pernyataanya menunjukkan bahwa partikel-partikel tunggal relatif tidak larut, sedangkan misel mempunyai kelarutan tinggi. Makin panjang rantai hidrokarbonnya, makin tinggi temperatur kritik larutan.

- Karakteristik deterjen cair adalah sebagai berikut yaitu larutan agak kental, busanya sedikit. Warnanya putih keruh jika tidak ditambahkan pewarna.

- Daya emulsi-emulsi adalah suspensi partikel cairan dalam fasa cairan yang lain, yang tidak saling melarutkan. Sama hanya dengan pembasahan, maka surfaktant akan menurunkan tegangan antarmuka, sehingga terjadi emulsi yang stabil.

- Pembasahan perubahan dalam tegangan permukaan yang menyertai proses pembasahan dinyatakan oleh Hukum Dupre.

Sifat kimia

Pada umumnya, deterjen mengandung bahan-bahan berikut: - Surfactant

(12)

aktif ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan air sehingga dapat melepaskan kotoran yang menempel pada permukaan bahan.

- Filler

Filler (pengisi) adalah bahan tambahan deterjen yang tidak mempunyai kemampuanmeningkatkan daya cuci, tetapi menambah kuantitas. Contoh Sodium sulfat.

- Additive

Additive adalah bahan suplemen/tambahan untuk membuat produk lebih menarik,misalnya pewangi, pelarut, pemutih, pewarna dst, tidak berhubungan langsung dengandaya cuci deterjen. Additives ditambahkan lebih untuk maksud komersialisasi produk. Contoh: Enzim, Boraks, Sodium klorida, Carboxy Methyl Cellulose (CMC).

- Suds Regulator (pengatur busa)

Untuk membantu surfactant dalam proses pencucian. contoh: asam lemak Abrasive. - Water softener

Untuk menetralkan efek dari “kekerasan “ ion-ion pada bahan lain. - Oxidants

Untuk pemutihan dan disinfeksi

- Bahan Non-surfactant yang dapat mempertahankan kotoran di skorsing Enzymes. 2.4. Proses Pembuatan Detergen Cair

Metode pembuatan deterjen cair adalah: Mencampur 10 % SLS – DG, 20 % soda abu, CMC lokal 5 %, pewarna secukupnya dan air 64.5% ke dalam reaktor, memanaskan campuran bahan di atas kemudian diaduk, setelah tercampur homogen api dimatikan, lalu didinginkan, setelah dingin ditambah parfum sebanyak 1 %, mengalirkan larutan ke bak filter, mengalirkan larutan ke bak penampung.

BAB III

PENGUJIAN ANGKA ASETIL, REICHERT MEISSL

DAN ANGKA POLENSKE

3.1. Pengujian Angka Asetil

(13)

KA (%) = [(D-C)Na + (A-B)Nb] × (F/W) dimana:

A = volume NaOH yang dibutuhkan untuk titrasi contoh B = volume NaOH yang dibutuhkan untuk titrasi blanko C = volume HCl yang dibutuhkan untuk titrasi contoh D = volume HCl yang dibutuhkan untuk titrasi blanko Na = Normalitas HCl

Nb = Normalitas NaOH F = 4.305 untuk kadar asetil Peralatan

(14)

Prosedur Pengujian

1. Masukkan 10 sampai 20 mg sampel ke dalam tabung reaksi (180 mm × 18 mm) 2. Tambahkan 0,15 ml asam format kemudian tutup tabung reaksi dengan stopper. 3. Pasangkan tabung kecil (sekitar 100 mm × 10 mm) yang berisi air. Alat ini

bertindak sebagai kondensor, sehingga larutan nitrat lantanum bisa mengalir dari luar tabung reaksi kecil. Kecuali zat yang sukar terhidrolisa, akan tetap dalam labu selama 5 menit.

4. Campurkan larutan dengan iodium 0,01 m sebanyak 0,05 ml pada ubin porselen atau silica kaca dan kemudian menambahkan 1 tetes ammonia 2m di tepi larutan. 5. Biarkan hingga berubah warna menjadi warna biru (sekitar 1-2 menit) di

persimpangan larutan yang berlangsung secara cepat.

6. Untuk zat yang terhidrolisa, panaskan dengan perlahan larutan dengan cara membuka tutup kondensat.

3.2. Pengujian Reichert Meissl

Bilangan yang menyatakan berapa mL KOH 0,1 N untuk menetralkan asam lemak yang dapat didestilasi dengan uap H2O dan larutdalam H2O yang berasal dari 5 gram lemak.

Jumlah (mL) dari NaOH 0,1N yagn dipergunakan untuk menetralkan asam lemak yang menguap dan larut dalam air yang diperoleh dari penyulingan 5gr minyak atau lemak.

Perhitungan :

Bilangan Reichert-Meissl = 1,1 x (A-B)

A = jumlah ml NaOH 0,1N untuk titrasi contoh B = jumlah ml NaOH 0,1N untuk titrasi blanko

Fungsi: mengukur jumlah asam lemak yang tersusun dari 2–6 atom C. P r o s e d u r

1. 5 gr minyak cair yang sudah disaring dimasukkan ke dalam labu suling 300 mL 2. Tambahkan 20mL soda gliserol (dibuat dari 20 mL NaOH 50% dalam180 mL

gliserol pekat)

(15)

4. Tambahkan 135 mL air mendidih setetes demi tetes untuk menghindari terbentuknya busa

5. Tambahkan 5 mL H2SO4 20% dan batu didih

6. Lakukan penyulingan selama 30 menit dengan suhu tidak terlalu tinggi sehingga asam lemak tidak mendidih. Maka diperoleh 120 mL destilat yang suhunya tidak boleh lebih dari 20°C

7. Setelah diperoleh 110 mL destilat api dimatikan. Destilat yang masih keluar ditampung dengan tabung yang berbeda

8. Destilat dari kedua tabung dicampur sambil dokocok perlahan-lahan. Kemudian direndam dalam air 15°C selama 15 menit.

9. Saring dengan kertas saring 100 mL destilat, dititrasi dengan larutan NaOH 1,0 N dengan indikator pp sampai terbentuk warna merah jambu, kemudian catat volume NaOH yangkeluar sebagai V1.

10. Sebagai pembanding buat titrasi blanko, dan catat volume NaOH yangdigunakan pada saat titrasi sebagai V2.

Bilangan Reicht Meissl = 1,1 ( V1V2 )

3.3. Pengujian Angka Polenske

Bilangan yang menyatakan berapa mL KOH 0,1 N untuk menetralkan asam lemak yang dapat didestilasi dengan uap H2O dan tak larut dalam H2O yang berasal dari 5 g lemak Fungsi: mengukur jumlah asam lemak yang tersusun dari6-12 atamC

1. Lemak yang tinggal dan tidak larut dalam air dari penentuan bilangan Reichert Meissl dipisahkan dengan kertas saring.

2. Cuci dengan 15 mL air di dalam botol penampung110 mL sebanyak 3 kali

3. Bagian yang tidak larut diekstraksi dengan pencucian seperti di atas dengan menambahkan 15 mL alkohol 95% yang netral sebanyak 3 kali

(16)

5. Titrasi larutan sampai berubah warna menjadi merah jambu 6. Bilangan Polenske=jumlah mL NaOH 0.1 N untuk titrasi.

BAB IV

BIODIESEL

4.1. Sejarah

(17)

Biodiesel didefinisikan sebagai metil/etil ester yang diproduksi dari minyak tumbuhan atau hewan dan memenuhi kualitas untuk digunakan sebagai bahan bakar di dalam mesin diesel. Sedangkan minyak yang didapatkan langsung dari pemerahan atau pengempaan biji sumber minyak (oilseed), yang kemudian disaring dan dikeringkan (untuk mengurangi kadar air), disebut sebagai minyak lemak mentah. Minyak lemak mentah yang diproses lanjut guna menghilangkan kadar fosfor (degumming) dan asam-asam lemak bebas (dengan netralisasi dan steam refining) disebut dengan refined fatty oil atau straight vegetableoil (SVO). SVO didominasi oleh trigliserida sehingga memiliki viskositas dinamik yang sangat tinggi dibandingkan dengan solar (bisa mencapai 100 kali lipat, misalkan pada Castor Oil. Oleh karena itu, penggunaan SVO secara langsung di dalam mesin diesel umumnya memerlukan modifikasi/tambahan peralatan khusus pada mesin, misalnya penambahan pemanas bahan bakar sebelum sistem pompa dan injektor bahan bakar untuk menurunkan harga viskositas.

Viskositas (atau kekentalan) bahan bakar yang sangat tinggi akan menyulitkan pompa bahan bakar dalam mengalirkan bahan bakar ke ruang bakar. Aliran bahan bakar yang rendah akan menyulitkan terjadinya atomisasi bahan bakar yang baik. Buruknya atomisasi berkorelasi langsung dengan kualitas pembakaran, daya mesin, dan emisi gas buang.

Pemanasan bahan bakar sebelum memasuki sistem pompa dan injeksi bahan bakar merupakan satu solusi yang paling dominan untuk mengatasi permasalahan yang mungkin timbul pada penggunaan SVO secara langsung pada mesin diesel. Pada umumnya, orang lebih memilih untuk melakukan proses kimiawi pada minyak mentah atau refined fatty oil/SVO untuk menghasilkan metil ester asam lemak (fatty acid methyl ester - FAME) yang memiliki 73 berat molekul lebih kecil dan viskositas setara dengan solar sehingga bisa langsung digunakan dalam mesin diesel konvensional.

Biodiesel umumnya diproduksi dari refined vegetable oil menggunakan proses transesterifikasi. Proses ini pada dasarnya bertujuan mengubah [tri, di, mono] gliserida berberat molekul dan berviskositas tinggi yang mendominasi komposisi refinedfatty oil menjadi asam lemak methil ester (FAME).

(18)

kapas, kacang tanah. Selain itu ,biodiesel juga bisa dihasilkan dari lemak hewan dan minyak ikan.

4.2. Sifat Fisika Dan Kimia

Biodiesel dihasilkan dari minyak nabati, seperti kelapa sawit, jarak pagar, kacang tanah, kelapa, dan lain sebagainya. Indonesia, sebagai negara agraria, mempunyai peluangsangat besar untuk mengembangkanBiofuel sebagai energi alternatif pengganti minyak diesel (solar).

Sifat fisika dan kimia biodiesel:

Sifat fisik / kimia Biodiesel

Komposisi Ester alkil

Densitas, g/ml 0,8624

Viskositas, cst 5,55

Titik kilat, oc 172

Angka setana 62,4

Perbandingan sifat fisik dan kimia biodiesel dan solar

Sifat fisik / kimia Biodiesel Solar

Komposisi Ester alkil Hidrokarbon

Densitas, g/ml 0,8624 0,8750

Viskositas, cSt 5,55 4,6

Titik kilat, oC 172 98

Angka setana 62,4 53

Energi yang dihasilkan 40,1 MJ/kg 45,3 MJ/kg

(19)

mudah diserap kembali oleh tumbuhan dan tidak mengandung SOx. Perbandingan emisi pembakaran biodiesel dengan minyak solar disajikan dalam Tabel 3.

Perbandingan emisi pembakaran biodiesel dengan solar

Senyawa emisi Biodiesel Solar

SO2, ppm 0 78

NO, ppm 37 64

NO2, ppm 1 1

CO, ppm 10 40

Partikulat, mg/Nm3 0,25 5,6

Benzen, mg/Nm3 0,3 5,01

Toluen, mg/Nm3 0,57 2,31

Xilen, mg/Nm3 0,73 1,57

Etil benzen, mg/Nm3 0,3 0,73

Bahan- bahan yang digunakan dalam pembuatan biodiesel sebagai berikut: 1. Metanol.

Metanol juga dikenal sebagai metil alkohol atau spritus. Metanol adalah bentuk alkohol yang paling sederhana. Metanol diproduksi secara alami oleh bekteri diudara.

Sifat fisika dan kimia metanol sebagai berikut:

Sifat kimia dan fisika

(20)

massa molar 32.04 g/mol densitas 0.7918 g/cm³, liquid

2. Minyak jelantah

Minyak jelantah adalah minyak limbah yang berasal dari jenis-jenis minyak seperti minya jagung, minyak sayur, minyak samin dan sebagainya, yang telah dipakai sebelumnya. Minyak jelantah yang digunakan berulang-ulang dapat merusak kesehatan manusia yang menimbulkan penyakit kangker, dan menguangi kecerdasan generasi berikutnya karena terdapat senyawa-senyawa yang bersifat karsinoginetik yang terjadi saat pengorengan. Minyak jelantah yang digunakan dalam pembuatan biodiesel adalah minyak jelantah yang sekali pemakaian.

3. Katalis

Seperti reaksi kimia pada umumnya, pada reaksi esterifikasi dan transesterifikasi ditambahkan katalis untuk mempercepat laju reaksi dan meningkatkan perolehan. Katalis dapat menurunkan energi aktifitasi pada suatu zat. Zat yang memiliki energi aktifitasi akan sulit meregangkan gugus senyawanya sehingga reaksi akan lama terjadi dan untuk mempercepatnya dibutuhkan katalis untuk mempercepat reaksi. Untuk pembuatan biodiesel mengunakan katalis NaOH (natrium hidroksida) juga dikenal sebagai soda kaustik atau sodium hidroksida adalah sejenis basa logam basa logam kaustik. Natrium hiroksida membentuk larutan alkalin yang kuat ketika dilarutkan ke dalam air. NaOH juga digunakn dalam pembuatan biodiesel dari minyak jelantah sebagai katalis.

Adapun sifat fisika dan kimia NaOH sebagai berikut:

3.3. Standar Kualitas

Standard Eropa untuk biodiesel

adalah nomor EN 14214, yang mana

dapat diartikan ke dalam standard nasional masing-masing negara yang dibentuk oleh CEN area (Committee for European Standardization) sebagai contoh, untuk United Kingdom, BS EN 14214 dan untuk Jerman DIN EN 14214.Terdapat spesifikasi standard lain. ASTM D6751 adalah referensi standard yang umum digunakan di United

(21)

States dan Kanada.Selain itu, terdapat juga penamaan DIN standard untuk 3 jenis biodiesel, yang mana dibuat sesuai dengan jenis sumber bahan baku:

- RME (rapeseed methyl ester, sesuai dengan DIN E 51606)

- PME (vegetable methyl ester, minyak sayur murni, sesuai dengan DIN E 51606) - FME (fat methyl ester, produk minyak sayur dan lemak, sesuai dengan DIN V

51606)

Tabel persyaratan biodiesel yang ditetapkan oleh SNI

No. Parameter Satuan Nilai

1. Massa jenis pada 40 ˚C kg/m3 840-890

2. Viskositas kinematik pada 40 ˚C mm2/s 2,3-6,0

3. Angka setana min. 51

4. Titik nyala (mangkok tertutup) (cSt) maks. 100

5. Titik kabut ˚C maks.18

4.4. Proses Pembuatan Biodisel

Proses pembuatan biodiesel dari minyak dengan kandungan FFA rendah secara keseluruhan terdiri dari reaksi transesterifikasi, pemisahan gliserol dari metil ester, pemurnian metil ester (netralisasi, pemisahan methanol, pencucian dan pengeringan/dehidrasi), pengambilan gliserol sebagai produk samping (asidulasi dan pemisahan metanol) dan pemurnian metanol tak bereaksi secara destilasi/rectification. Proses esterifikasi dengan katalis asam diperlukan jika minyak nabati mengandung FFA di atas 5%. Jika minyak berkadar FFA tinggi (>5%) langsung ditransesterifikasi dengan katalis basa maka FFA akan bereaksi dengan katalis membentuk sabun. Terbentuknya sabun dalam jumlah yang cukup besar dapat menghambat pemisahan gliserol dari metil ester dan berakibat terbentuknya emulsi selama proses pencucian. Jadi esterifikasi digunakan sebagai proses pendahuluan untuk mengkonversikan FFA menjadi metil ester sehingga mengurangi kadar FFA dalam minyak nabati dan selanjutnya ditransesterifikasi dengan katalis basa untuk mengkonversikan trigliserida menjadi metil ester.

(22)

lemak bebas tinggi dilakukan dua jenis proses, yaitu esterifikasi dan transesterifikasi, sedangkan untuk minyak tanaman yang kandungan asam lemak rendah dilakukan proses transesterifikasi. Proses esterifikasi dan transesterifikasi bertujuan untuk mengubah asam lemak bebas dan trigliserida dalam minyak menjadi metil ester (biodiesel) dan gliserol.

Esterifikasi adalah tahap konversi dari asam lemak bebas menjadi ester. Esterifikasi mereaksikan minyak lemak dengan alkohol. Katalis-katalis yang cocok adalah zat berkarakter asam kuat. biasanya asam sulfat (H2SO4) atau asam fosfat (H2PO4) .

Proses esterifikasi dengan katalis asam diperlukan jika minyak nabati mengandung FFA di atas 2%. Jika minyak berkadar FFA tinggi (>2%) langsung ditransesterifikasi dengan katalis basa maka FFA akan bereaksi dengan katalis membentuk sabun. Terbentuknya sabun dalam jumlah yang cukup besar dapat menghambat pemisahan gliserol dari metil ester dan berakibat terbentuknya emulsi selama proses pencucian. Jadi esterifikasi digunakan sebagai proses pendahuluan untuk mengkonversikan FFA menjadi metil ester sehingga mengurangi kadar FFA dalam minyak nabati dan selanjutnya ditransesterifikasi dengan katalis basa untuk mengkonversikan trigliserida menjadi metil ester.

Reaksi esterifikasi dari asam lemak menjadi metil ester adalah :

Faktor-faktor yang berpengaruh pada reaksi esterifikasi antara lain: a. Waktu Reaksi

Semakin lama waktu reaksi maka kemungkinan kontak antar zat semakin besar sehingga akan menghasilkan konversi yang besar. Jika kesetimbangan reaksi sudah tercapai maka dengan bertambahnya waktu reaksi tidak akan menguntungkan karena tidak memperbesar hasil.

b. Pengadukan

(23)

pula harga konstanta kecepatan reaksi. Sehingga dalam hal ini pengadukan sangat penting mengingat larutan minyak-katalis metanol merupakan larutan yang immiscible.

c. Katalisator

Katalisator berfungsi untuk mengurangi tenaga aktivasi pada suatu reaksi sehingga pada suhu tertentu harga konstanta kecepatan reaksi semakin besar.

d. Suhu Reaksi

Semakin tinggi suhu yang dioperasikan maka semakin banyak konversi yang dihasilkan, hal ini sesuai dengan persamaan Archenius. Bila suhu naik maka harga k makin besar sehingga reaksi berjalan cepat dan hasil konversi makin besar.

Transesterifikasi (biasa disebut dengan alkoholisis) adalah tahap konversi dari trigliserida (minyak nabati) menjadi alkyl ester, melalui reaksi dengan alkohol, dan menghasilkan produk samping yaitu gliserol. Di antara alkohol-alkohol monohidrik yang menjadi kandidat sumber/pemasok gugus alkil, metanol adalah yang paling umum digunakan, karena harganya murah dan reaktifitasnya paling tinggi (sehingga reaksi disebut metanolisis). Jadi, di sebagian besar dunia ini, biodiesel praktis identik dengan ester metil asam-asam lemak (Fatty Acids Metil Ester, FAME). Reaksi transesterifikasi trigliserida menjadi metil ester sebagai berikut:

(24)

Tahapan reaksi transesterifikasi pembuatan biodiesel selalu menginginkan agar didapatkan produk biodiesel dengan jumlah yang maksimum.

Faktor-faktor yang mempengaruhi transesterifikasi : a. Pengaruh air dan asam lemak bebas

Minyak nabati yang akan ditransesterifikasi harus memiliki angka asam yang lebih kecil dari 1. Banyak peneliti yang menyarankan agar kandungan asam lemak bebas lebih kecil dari 0.5% (<0.5%). Selain itu, semua bahan yang akan digunakan harus bebas dari air. Karena air akan bereaksi dengan katalis, sehingga jumlah katalis menjadi berkurang. Katalis harus terhindar dari kontak dengan udara agar tidak mengalami reaksi dengan uap air dan karbon dioksida.

b. Pengaruh perbandingan molar alkohol dengan bahan mentah

Secara stoikiometri, jumlah alkohol yang dibutuhkan untuk reaksi adalah 3 mol untuk setiap 1 mol trigliserida untuk memperoleh 3 mol alkil ester dan 1 mol gliserol. Secara umum ditunjukkan bahwa semakin banyak jumlah alkohol yang digunakan, maka konversi yang diperoleh juga akan semakin bertambah. Pada rasio molar 6:1, setelah 1 jam konversi yang dihasilkan adalah 98-99%, sedangkan pada 3:1 adalah 74-89%. Nilai perbandingan yang terbaik adalah 6:1 karena dapat memberikan konversi yang maksimum.

c. Pengaruh jenis alkohol

Pada rasio 6:1, metanol akan memberikan perolehan ester yang tertinggi dibandingkan dengaan menggunakan etanol atau butanol.

d. Pengaruh jenis katalis

Alkali katalis (katalis basa) akan mempercepat reaksi transesterifikasi bila dibandingkan dengan katalis asam. Katalis basa yang paling populer untuk reaksi transesterifikasi adalah natrium hidroksida (NaOH), kalium hidroksida (KOH), natrium metoksida (NaOCH3), dan kalium metoksida (KOCH3).

e. Pengaruh temperatur

(25)

DAFTAR PUSTAKA

1. Hart, Harold. 2013. Kimia Organik Suatu Kuliah Singkat. Jakarta: Erlangga. 2.

http://ocw.usu.ac.id/course/download/4140000062-teknologi-oleokimia/tkk-322_handout_deterjen.pdf

3. https://www.scribd.com/doc/111411537/aaa

4. http://directory.umm.ac.id/penelitian/PKMI/pdf/INDUSTRI%20KECIL %20DETERJEN%20CAIR.pdf

5. https://www.scribd.com/doc/67060407/Lipid-Dan-Deterjen#

6. https://www.scribd.com/doc/30631776/Makalah-Kimia-Organik-tengik1

7. http://edukasi.kompasiana.com/2011/12/19/biodiesel-423260.html

8. https://www.google.co.id/search?

Gambar

Tabel persyaratan biodiesel yang ditetapkan oleh SNI

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Sintesis Surfaktan Metil Ester Sulfonat dari Sulfonasi Metil Ester Asam Lemak Minyak Kastor (Ricinus communis

Kapang Mucor circinelloides dengan media yang ditambah prekursor metil ester minyak kedelai menghasilkan berat miselium kering, kadar minyak dan kandungan asam lemak

Transesterifikasi minyak kedelai pada penelitian ini menghasilkan ester-ester metil palmitat, metil stearat, metil oleat, dan metil linoleat sehingga asam-asam lemak yang

Asam ini diubah menjadi metil ester asam lemak (misalnya, biodiesel), dengan reaksi transesterifikasi dengan metanol, yang membuat minyak sawit bahan baku yang sangat

Dan analisis bilangan hidroksi dari senyawa metil ester asam lemak campuran dari minyak jarak yaitu sebesar 221,51 dan senyawa 9,10,12-trihidroksi metil stearat yaitu sebesar 347,33

Transesterifikasi minyak kedelai pada penelitian ini menghasilkan ester-ester metil palmitat, metil stearat, metil oleat, dan metil linoleat sehingga asam-asam lemak yang

Penelitian bertujuan untuk menghasilkan gliserol, metil ester asam lemak rantai sedang dan rantai panjang dari minyak kelapa murni, melalui reaksi metanolisis yang dilanjutkan

Pada penelitian ini dipelajari pengaruh molar ratio minyak mentah dedak padi terhadap methanol, jumlah katalis dan kandungan asam lemak minyak terhadap konversi ester yang