• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran respon kebal terhadap newcastle disease (ND) pada ayam pedaging yang di vaksin IBD-Killed setenagh dosis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gambaran respon kebal terhadap newcastle disease (ND) pada ayam pedaging yang di vaksin IBD-Killed setenagh dosis"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN RESPON KEBAL TERHADAP NEWCASTLE

DISEASE (ND) PADA AYAM PEDAGING YANG DIVAICSIN

IBD-KILLED SETENGAH DOSIS

SHINTA PUSPITASARI

FAKULTAS MEDOKTERAN

HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

RINGKASAN

SHINTA PUSPITASARI. Gambaran respon lcebal terhadap Newcastle Disease (ND) pada ayam pedaging yang divaksin IBD-killed setengah dosis. Dibimbing ole11 RETNO DAMAYANTI SOEJOEDONO dan SRI MURTINI.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran respon tanggap kebal terhadap Newcastle Disease (ND) pada ayam pedaging yang divaksin IBD-ln'lled setengah dosis. Sebanyak 200 ekor ayam pedaging strain Cobb dibagi menjadi empat kelompok masing-masing 50 ekor. Sebelum dibagi, sebanyak 25 ekor diambil darahnya untuk mengetahui titer antibodi asal induk terhadap ND. Pada hari ke-4 kelompok ayam PI dan P2 divaksinasi dengan vaksin ND aktif dan ITA ND+IBD inaktif setengah dosis. Ayan kelompok P3 dan P4 divaksinasi dengan vaksin ND aktif dan vaksin ND inaktif pada hari yang sama. Vaksinasi ulang ND aktif diberikan kepada seluruh kelompok pada hari ke-28. Uji tantang terhadap IBD dilakukan pada hari ke-14 pada kelompok PI dan P3. Sampel darah diambil pada hari ke-14, 21, 28, dan 42. Pengarnatal titer antibodi terhadap ND dilakukan dengan uji haemaglutinasi inhibisi terhadap seluruh sampel serum. Hasil penelitian menunjukkaii bahwa terjadi efek imunosupresi pada kelompok yang ditantang virus IBD pada lninggu ke-1 dan ke-2 post-infeksi. Empat minggu setelah uji tantang titer antibodi pada kelompok yang divaksin ITA ND+IBD inaktif setengah dosis mampu meningkat, sedangkan pada kelompok yang tidak divaksin tetap rendah. Berdasarkan penelitian ini, inenunjukkan bahwa vaksinasi IBD-killed setengah dosis tidak marnpu melindungi ayam terhadap efek imunosupresi sampai dua minggu setelah infeksi.

(3)

ABSTRACT

SHINTA PUSPITASARI. The Immune Response of Againts Newcastle Disease (ND) on Broiler were Given Half Dose IBD-killed Vaccine. Under direction by RETNO DAMAYANTI SOEJOEDONO and SRI MURTINI.

This research aimed at learning immune response of againts Newcastle Disease (ND) on broiler were given half dose IBD-killed vaccine. Two hundred day-old broiler chicks where randomly divided into four groups of 50 chicks each. Before being divided, 25 chicks was taken their blood to know maternal antibodies titer against ND. On the 4'" day chicken groups P1 and P2 was vaccinated with ND active vaccine and ITA ND+IBD half dose inactive vaccine. The P3 and P4 chicken groups were vaccinated with ND active vaccine and ND inactive vaccine on the same day. The repeated ND active vaccination was given to all group on the 2Sth day. The against IBD challenge test was can-ied out on the 14"' day in the group PI and P3. Sample of blood was taken on the 1411', 21S', 2Sti', and 42"d day. Titer antibodies against ND observation were done with haemaglutination inhibition test against all the sample of senun. Results of the research showed that effect of iinuilosupresion happened to the group that was challenged by the IBD vims in the 1'' and 2"* week post infection. Four weeks after test, titer antibodies of groups that vaccinated ITA ND+IBD half dose inactive vaccine could increase, whereas the group that not vaccinated stayed low. Based on this research, showed that the vaccination of IBD-killed half dose could not protect the chicken towards effect immunosupresion up until two weeks after infection.

(4)

GAMBARAN RESPON KEBAL TERHADAP NEWCASTLE

DISEASE (ND) PADA AYAM PEDAGING YANG

DIVAICSIN IBD-KILLED SETENGAH DOSIS

SHINTA PUSPITASARI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSi

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi gambaran respon kebal terhadap Newcastle Disease (ND) pada ayam pedaging yang divaksin IBD-killed setengah dosis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pelnbimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Surnber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalaln telcs dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

(6)

0

Hak Cipta Milik IPB, tahun 2009

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau selurtllz lacarya tulis itzi tanpa mencaizttimlca~z atau menyebutlan sunzbernya. Pengutipan lzanya untulc kepentingan pendidilan, penelitian, penulisan kaiya ilnziah, penyusunan laporan, penulisan kitik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingatz yang wajar IPB

(7)

Judul Skripsi

Nama Penulis NIM

: Gambaran Respoil Kebal Terlladap Newcastle Disease

(ND) pada Ayam Pedagiilg yang Divaksill IBD-killed Setengah Dosis

: Shi~lta Puspitasari : B04051916

Disetujui

Prof. Dr. Drh. Retno D. Soeioedoilo, MS Pembimbing I

Dr. Drh. Sri Murtini. MSi

Pembimbing I1

Diketal~ui

a.n. Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

(8)

PRAKATA

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas semua

nikrnat yang telah diberilcan kepada penulis hingga dapat menyelesaikan studi dail

skripsi dengan baik di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertailiaml Bogor (FKH

IPB).

Proses pemlyusunan skripsi ini merupakau sebuah perjalanail panjang yang

tidak lepas dari dulcungan banyak pihak yang telah memberikan saran, masukan,

bimbingan, bantuan baik secara langsung atau tidak langsung sejak awal penulisan

sampai skripsi ini terselesaikan. Oleh karena itu, penulis mengucapkan

terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ibu Dr. Drh. Sri Murtini, MSi dan Ibu Prof. Dr. Drh. Retno D.

Soejoedono, MS selaku peinbimnbing sluipsi atas ilmu, keterampilan,

nasihat, saran, kritik, serta kesabarannya dalam melnbimbing penulis.

2. Drh. Surachmi Setiyaningsih, Ph.D sebagai doseu penilai dalam seminar

serta Dr. Drh. Hem Setijanto d m Dr. Drh. Wiwin Winarsih, MS sebagai

penguji dalam sidang atas semua masukan untuk perbaikan tulisan ini.

3. Dr. drh. Nurhidayat, MS selaku pembimbing akademik:

4. Seluruh staf Laboratorium Imunologi Departemen IPHK FICH IPB (Pak

Lukrnan, Mas Ivan, d a l Mas Wahyu).

5 . Seluruh dosen yang telal~ memberi ilmu kepada penulis dan kepada

seluruh staf yang telah membantu penulis dalam seminar dan sidang.

6. Rekan-rekan sepenelitian (Lia, Nisa, Acil, Deva, Charjo, serta Dilla) atas

kerjasama, semmgat, dan kebersamaan selama penelitian ini.

7. Iceluarga tercinta (Mama, Ade', Om, serta Nenek) atas segala dukungan,

doa, perhatian, dan kasih sayang yang sangat besar.

8. Sahabat-sahabat terbaik (Lia, Nizie, Tuty, Melda, Allent, dan Iga) atas

masa-masa terbaik selama 4 tahun terakhir dalain suka dan dulta yang

dijalani bersama.

9. Teinan-teman Satli atas semda pengalaman, petualangan, dan tantangan

(9)

10. Ternan-teman seperjuangan "Goblet" FKH 42 atas semangat dan

kebersa~naan yang dilalui bersama : Prista, Firda, Coro, Cipie, Mencit,

Cude, Lissa, Maryam, Reni, Uthe, Hage, Zeni, Ferdi, Jay, Dicky, Afu, 00,

Meka, Sari, Dine, Tiara, A s s , Meilan, Fatri, Pute, Fany, Nova, dan selnua

"Gobleters" FIW 42 lainnya.

11. Kakak-kakak Gynzlzolaemata dan Astervidea serta adik-adik Aesculapius dan Gianuzzi.

12. Mba' Rina yang telah sabar dalam mengajar penulis dalain mengolah data.

13. Adik-adikku tercinta : Deny dan Wulan (yang selalu membe~i sernangat)

seita Ila dm Tiara (yang rela menyisihkan waktunya demi terciptanya

karya ini).

14. Serta semua pihak yang tidak disebutkan satu persatu yang telah

membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Semoga karya kecil ini dapat bermanfaat.

(10)

Riwayat Hidup

Petlulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 16 April 1987. Pellulis merupakan putri pertarna dari dua bersaudara, putri pasangan ayah (alm.) Suyono dan ibu Sulastri.

Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan di TI< Anggrek 2 Kuta Bumi pada tahun 1993, lalu melanjutkan ke Sekolah Dasar Negeri 13 Tangerang yang kemudian berubah menjadi Sekolah Dasar Negeri 20 Tangerang. Pada tahun 1999, penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertalna Negeri 1 Tangerang dan ~nelanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Unlum Negeri 4 Tangerang. Pada tahun 2005, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima pada program studi Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB) pada tahun berikutnya.

(11)

DAFTAR IS1

DAFTAR TABEL

...

DAFTAR GAMBAR

...

DAFTAR LAMPIRAN

...

PENDAHULUAN

Latar Belakang

...

Tujuan

...

Manfaat

...

TINJAUAN PUSTAKA

Ayam Broiler

...

Sistem Kekebalan Ayam

...

Infectious Bursa1 Disease (IBD)

...

Newcastle Disease (ND)

...

Vaksin dan Vaksinasi

...

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

...

...

Hewan Percobaan

Bahan dan Alat Penelitian

...

Rancangan Percobaan

...

Evaluasi Titer Antibodi

...

HASIL DAN PEMBAHASAN

...

...

SIMPULAN DAN SARAN

...

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

...

V

(12)

DAFTAR TABEL

(13)

DAFTAR GAMBAR

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Virus tetelo (Newcastle Disease) merupakan penyakit viral yang

disebabkan oleh Avian Pal-amyxovir~is dan tergolong kedalam virus RNA serta

memiliki set target berupa sel epitel mukosa saluran pemafasan atau pencemaan.

Berdasarkan virulensinya, virus ND dapat dibedakan menjadi galur velogenik,

mesogenik dan lentogenik. Newcastle Disease merupakan penyakit yalg bersifat

kompleks, sehingga menunjukkan adanya variasi dalam bentuk dan keparahan

penyakit. Penyakit ini me~npunyai dampak ekonomi yang penting dalam industri

perunggasan karena menimbulkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi,

penurunan produksi telur dalam kuantitas maupun kualitas, gangguan

pertumbuhan, biaya penanggulangan penyakit yang tinggi dan mendukung

timbulnya penyakit pernafasan lainnya. Di Indonesia, ND masih menjadi salah

satu penyakit yang paling merugkan petenlakan ayam walaupun telah dilakukan

berbagai usaha penanggulangan yang ketat (PoultryIndonesia 2008).

Sampai saat ini, salah satu upaya pencegahan penyakit ND adalah dengan

vaksinasi. Vaksinasi adalah suatu tindakan dimana hewan dengan sengaja diberi

agen penyakit (antigen) yang telah dilemahkan dengan tujuan untuk merangsang

pembentukan daya tahan atau tanggap kebal tubuh terhadap suatu penyakit

tertentu dan aman sehingga tidak menimbulkan penyakit (Akoso 1998). Namun

vaksinasi dapat mengalami kegagalan karena berbagai sebab, diantaranya adalah

unggas yang mengalami imunosupresi akibat terinfeksi penyakit Gumboro,

penyakit Marek, atau pakan yang mengandung mikotoksin (Gillinghan 2006).

Imunosupresi merupakan suatu keadaan tertekannya respon kekebalan tubuh

sehingga dapat mempengaruhi respon vaksinasi. Beberapa ahli melaporkan bahwa

penekanan respon antibodi terhadap virus ND bersifat sangat berat pada hari

pertama pasca-infeksi virus Infectious Bursal Disease (selanjutnya disebut IBD).

Penekanan respon antibodi terhadap virus ND bersifat moderat pada hari ke-7

pasca-infeksi dan tidak menimbulkan efek imunosupresif pada hari ke-14 atau ke-

(16)

Infectious Bursa1 Disease (IBD) atau dinamakan juga Gu~nboro adalah

suatu penyakit viral yang bersifat akut dan sangat mudah menular, menyerang

ayam muda terutama umur 4-6 minggu. Penyakit ini merusak berbagai organ

limfoid, yaitu limpa, timus, caeca toizsil, dan terutama bursa Fabricius sehingga ayam yang terserang lebih peka terhadap berbagai penyakit. Penyakit ini

mempunyai arti ekonomis yang penting dalam industri perunggasan sehubungan

dengan adanya mortalitas yang dapat mencapai 20% atau lebih pada ayam muda

dan efek imunosupresif yang berkepanjangan jika ayam terinfeksi pada usia muda.

Ayam yang terserang Gumboro sering diikuti oleh infeksi sekunder seperti

Newcastle Disease, Chronic Respiratory Disease (CRD), Colibacillosis, snot

(infectious coryza), serta koksidiosis. Evaluasi lapangan menunjuldtan bahwa fiekuensi kejadian penyakit ini pada ayam pedaging hampir mencapai 100%.

Disamping itu, IBD juga akan menyebabkan respon yang suboptimal terhadap

berbagai program vaksinasi (Tabbu 2000).

Vaksinasi merupakan salah satu cara pengendalian penyakit IBD.

Vaksinasi IBD maupun infeksi virus Gumboro dapat merangsang respon antibodi

yang bersifat aktif. Walaupun mortalitas akibat Gumboro sulit diramalkan,

evaluasi lapangan menunjukkan bahwa mortalitas dan kemgian lain yang

ditimbulkan oleh Gumboro pada ayam yang tidak divaksinasi lebih tinggi

dibandingkan dengan ayam yang divaksinasi. Vaksinasi haus mempertimbangkan

saat vaksinasi yang tepat (bervariasi menurut titer antibodi asal induk), per

vaksinasi, dan virulensi virus vaksin. Vaksinasi Gumboro dapat dilakukan dengan

pernbe~ian vaksin lived atau gabungan vaksin lived dan vaksin killed, selain itu

vaksin killed dapat pula dilakukan bersamaan dengan vaksin ND secara subkutan

menggunakan virus IBD galur tidak virulen (mild). Petemakan unggas secara

umum biasa memberikan vaksin lived dibanding vaksin killed. Vaksin killed

umumnya lebih mahal, walaupun memiliki kemampuan memproteksi lebih lama

daripada vaksin lived. Vaksin ini biasanya hanya diberikan pada unggas-unggas yang hidup di daerah yang memiliki potensi terjadinya IBD cukup besar. Ayam

(17)

Infeksi virus IBD mei~yebabkan ayam dapat inembeutuk antibodi terhadap

IBD namun menyebabkan imunosupresi terhadap respon vaksinasi yailg lain

(Tabbu 2000). Berdasarkan penelitian Siregar (2009) penantangan virus IBD

terhadap kelompok ayam yang divaksinasi IBD-ln'lled setengah dosis mampu

mencegah kematian ayam namun tidak mencegah terjadinya infeksi IBD yang

ditandai dengan rendahnya titer aGibodi terhadap IBD. Pengaruh vaksinasi IBD-

killed setengah dosis terhadap program vaksinasi lain belum diketahui, untuk itu

perlu dilakukan penelitian terhadap gambaran respon kebal terhadap ND

(Newcastle Disease) pada ayam pedaging yang divaksin IBD-killed setengah dosis

dan ditantang dengan virus IBD.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran respon kebal terhadap

ND (Newcastle Disease) pada ayam pedaging yang divaksin IBD-killed setengah

dosis.

Manfaat PeneLitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang gambaran

respon kebal terhadap ND (Newcastle Disease) pada ayam pedaging yang

(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Ayam Broiler (Ayam Pedaging)

Salah satu komoditi usaha petemakan sebagai sumber daging yang dapat

memenuhi kebutuhan protein hewani masyarakat Indonesia adalah ayam

pedaging. Ayam pedaging baru populer di Indonesia sejak tahun 1980-an. Ayam

pedaging merupakan hasil rekayasa genetika, dihasilkan dengan cara

menyilangkan antar kerabatnya. Produk ayam ini memiliki segmen pasar yang

luas dan unit usaha yang hampir tersebar di seluruh pelosok Indonesia (FKH-

UGM 2008).

Bentuk tubuh ayam pedaging terlihat lebih geinuk dengan otot yang tebal

serta kompak terutarna dibagian paha dan dada. Usia produksinya singkat, hanya

4-5 minggu. Laju pertumbuhan ayan pedaging akan meningkat pada dua minggu

pertama setelah ayam menetas dan secara bertahap tubuh ayam akan tumbuh besar

sampai mencapai berat sekitar 1,7 kg. Di Indonesia umumnya ayam pedaging

sudah dipasarkan pada umur 5-6 minggu dengan berat 1,3-1,4 kg (Fadilah dan

Polana 2004).

Ayam pedaging meiupakan ayam yang mudah stress dan memerlukan

waktu yang lama untuk beradaptasi dengan lingkungannya, sehingga diperlukan

pemeliharaan yang khusus (Fadilah dan Polana 2004). Selain itu, ayam pedaging

sangat mudah terkena penyakit. Ayam pedaging yang dikembangkan dalam

berbagai petemakan di Indonesia dibedakan menjadi tiga strain, yaitu Strain

Cobb, Strain Hybro, dan Strain Ross. Namun strain yang biasa dibiakkan pada

berbagai petemakan Indonesia adalah strain Cobb. Strain ini memiliki berbagai

keunggulan antara lain titik tekan pada perbaikan FCR (Feed Comlersion Ratio),

pengembangan genetik diarahkan pada pembentukan daging dada, mudah

beradaptasi dengan lingkungan tropis (heat stress), serta produksi efisien dengan

bobot badan 1,8-2 kg dan FCR sebesar 1,65 (CJFeed 2009). Feed Convertion

Ratio atau angka konversi pakan adalah perbandingan (rasio) antara berat pakan

yang telah diberikan dalam satu siklus periode budidaya dengan berat total

(biomass) produksi yang dihasilkan pada saat itu. Nilai FCR yang optimal dapat

(19)

baik secara teknis budidaya lnaupun financial yang diperoleh melalui pengelolaa~l

program pakan sesuai dellgall tingkat kebutuhan dalam satu siklus periode

produksi (Marindro 2009). Semakin rendah angka FCR dan senlakin baik kualitas

pakan akan lebih efisien karena dengan pakan sedikit aka11 menghasilka~l bobot

badan yang besar (Prabowo 2009).

Sistem ICeltebalan Ayam

Sistem kebal adalah bentuk adaptasi dari sistem pertahanan pada

vertebsata sebagai pelindung terhadap serangan mikroorganisme patogen dan

kanker. Sistem ini dapat membangkitkan beberapa macam sel dan molekul yang

secara spesifik mampu mengenali dan mengeliminasi benda asing (Decker 2000).

Menurut Tizard (2004), tanggap kebal merupakan respon biologis sehingga dapat

menyebabkan variasi tanggap kebal bagi setiap individu. Sistem kekebalan unggas

dibagi menjadi sistem kekebalan non-spesifik dan sistem kekebalan spesifik

(Carpenter 2004). Mekanisme kedua sistem kekebalan tersebut tidak dapat

dipisahkan satu sama lainnya, keduanya saling meningkatkan efektivitasnya dan

terjadi interaksi sehingga menghasilkan suatu aktivitas biologik yang seirama dan

serasi (Fenner dan Fransk 1995).

Sistem kekebalan non-spesifik merupakan sistem kekebalan yang secara

alami diperoleh tubuh dan proteksi yang diberikannya tidak terlalu h a t . Semua

agen penyakit yang masuk ke dalam tubuh akan dihancurkan oleh siste~n

kekebalan tersebut sehingga proteksi yang diberikannya tidak spesifik terhadap

penyakit tertentu (Butcher dan Miles 2003). Sistem ini berupa pertahanan fisik,

mekanik, dan kimiawi yang berespon pada awal paparan. Kekebalan fisik-

mekanik terdiri dari kulit dan selaput lendis yang ~ne~upakan bagian pennukaan

tubuh paling luar untuk mencegah masuknya bahan asing. Faktor lain yang

berperan dalan sistem pertahanan non-spesifik adalah makrofag dan mikrofag

~nelalui proses fagositosis dengall memnbunuh, mengha~lcurkan, dan

mengeli~ninasi antigen dari tubuh. Sel makrofag ini lneliputi sel Langerha~~s di

kulit, sel Kupffer di hati, sel debu di paru-paru, sel histiosit di jaringan, dan

astrosit di sel syaraf. Sel mikrofag meliputi sel neutrofil, basofil, dan eosinofil

(20)

Sistem kekebalan spesifik terdiri dari sistem beyerantara sel (Cell

Mediated Inzmzcnity) dan sistem kekebalan berperantara antibodi (Aiztibody

Mediated Immunity) atau yang lebih dikenal dengan sistern kekebalan humoral

(Butcher dan Miles 2003). Antigen yang berhasil masuk ke dalam tubuh dengan

illelewati sistem pertahanan tubuh non-spesifik aka1 berhadapan dengan

makrofag. Selain berfungsi melakukan fagositosis, makrofag juga berfungsi

sebagai Antigen Presenting Cells (APC) yang dikenal juga sebagai sel penyaji atau set penadah yang akan menghancurkan antigen sedemikian iupa sehingga

seluruh komponennya dapat berinteraksi dengan sistem imun spesifik atau

antibodi. Makrofag yang berfungsi sebagai APC ini akan memfragmentasikan dan

mempresentasikan antigen tersebut kepada sel limfosit T-helper (Th) melalui

molekul Major Histocompatibility Complex (MHC) yang terletak dipermukaan

makrofag (Wibawan et al. 2003).

Sel limfosit yang berperan penting dalam sistem kekebalan terbagi

menjadi dua, yaitu sel B dan sel T. Sel B di dalam tubuh mamalia secara umum

matang dan berdiferensiasi dalam sumsum tulang, sedangkan dalam tubuh unggas

sel B matang dan berdiferensiasi dalam bursa Fabricius. Sel T di dalam tubuh

mamalia dan unggas matang d a l berdiferensiasi pada kelenjw timus. Sel B

merupakan bagian dari antibody mediated immunity atau imunitas hunloral karena

sel B akan memproduksi antibodi yang bersirkulasi dalam saluran darah dan

lirnfe. Antibodi tersebut akan menempel pada antigen asing yang memberi tanda

agar dapat dihancurkan oleh sel sistem imun (Darmono 2006).

Sel B akan mengalami proses perkembangan melalui dua jalur setelah

terjadi rangsangan antigen, yaitu berdiferensiasi menjadi sel plasma dan sel

memori. Sel plasma akan membentuk immunoglobulin. Jumlah immunoglobulin

dalanl setiap sel B adalah sekitar lo4 sampai 10' (Tizard 1982). Sel plasma akan

mati setelah tiga sampai enam hari, sehingga kadar immunoglobulin akan

menulull secara perlahan-lahan melalui katabolisme. Sel memori hidup berbulan-

bulan atau tahunan setelah pemaparan antigen yang pertatna kali. Jika terjadi

pemaparan kedua kalinya dengan antigen yang sama, maka antigen akan

merangsang lebih banyak lagi sel peka antigen daripada pemaparan pertama.

(21)

kema~npuan untuk mengingat keterpaparan dengan suatu antigen sebelumnya.

Antibodi yang dihasilkan hanya bereaksi dengan antigeil yaug ada di pennukaan

sel. Tanggap kebal humoral unggas dicirikan dengan antibodi yang diproduksi

oleh sel B yang berada di bawah kontrol bursa Fabviciz~s. Bursa Fabricitls

merupakan organ limfoid primer yang terletak di bagian dorsal kloaka dan I~anya

ada pada unggas (Wibawan et al. 2003). Menurut Nunoya et al. (1992) dalam

Az~nijah (2005) bursa Fabricius mengalami perkembangan maksi~nurn ketika

be~wnur tiga sampai enam minggu.

Sel T yang bersirkulasi dalam darah dan limfe dapat secara langsung

menghancurkan antigen asing. Sel T bertanggung jawab atas cell mediated

immunity atau imunitas seluler. Sel T bergantung pada molekul permukaan yaitu

MHC nntuk mengenali fiagmen antigen (Dartnono 2006). Sel T terdiri dari

beberapa subpopulasi yang dapat distimulasi oleh tipe antigen yang berbeda.

Antigen virus yang terdapat pada sel yang terinfeksi akan dipresentasikan

bersama-sama dengan MHC kelas I dan akan menstimulasi sel T C D ~ +

(sitotoksik). Sedangkan antigen ~nikroba ekstraseluler akan diendositosis oleh

APC dan dipresentasikan dengan MHC kelas I1 dan akan mengaktivasi sel T

C D ~ ' (helper). Antigen yang menempel pada MHC kelas I1 dan sel T CD4+ akan

memacu produksi antibodi dan mengaktifkan makrofag (Putera 2001). Interaksi

antara sel Th dengan APC akan menginduksi pengeluaran sitokin atau interleukin

yang merupakan alat komunikasi antar sel sehingga akan menginduksi

pematangan sel B. Sitokin yang dikeluarkan oleh limfosit disebut limfokin

sedangkan sitokin yang dikeluarkan oleh makrofag disebut monokin. Selain alat

komunikasi, sitokin juga berfungsi dalam mengendalikan respon imun dan reaksi

inflamasi dengan cara ~nengatur pertumbuhan serta mobilitas dan diferensiasi

leukosit maupun sel lain.

Kekebalan humoral yang dihasilkan oleh sel B tidak dapat berespon

terhadap antigen yang terdapat didalam sel, sehingga mekanisme kekebalan

seluler yang berperan. Sel yang berperan dalam mekanisme kekebalan seluler

adalah sel limfosit Tcytotoxic (Tc). Sel ini akan mencari sel-sel yang mengalami

kelainan fisiologis untuk kemudian menghancurkan seluruh sel tersebut beserta

(22)

penyebaran antigen intraseluler ke sel-sel sehat lain yang ada di sekitarnya

(Wibawan et al. 2003).

Infectious Bursal Disease

Penyakit ini pertama kali dilaporkan oleh Cosgrove pada tahun 1962 di

daerah Gumboro, Delaware, USA. Sejak pertengahan tahun 1991, penyakit ini

telah mewabah di berbagai daerah di Indonesia, terutama daerah yang mempunyai

populasi peternakan ayam tinggi serta skala usaha besar. Virus penyebab

Gumboro me~npunyai kecenderungan untuk mengalami modifikasi genetik secara

cepat sehingga dapat muncul virus yang bersifat antigenic variant ataupun

pathogenic variant. Sejauh ini berbagai kasus Gumboro yang meletup di

Indonesia ~nasih dihubungkan dengan virus Gumboro bentuk klasik yang

mengalami modifikasi dalam patogenitasnya yang lazim disebut sebagai bentuk

pathogenic variant. Efek dari virus ini sangat mirip dengan virus Gumboro yang

ditemukan di Eropa, Afrika dan Asia Tenggara yang digolongkan sebagai veiy

virulent IBD (WIBD) (Tabbu 2000). Menurut Cereno 2007, IBD digolongkan

menjadi tiga strain, yaitu Classic Strain IBD (CIBD), Variant Strain IBD (VIBD),

serta Veiy Virulent Strain IBD (WIBD).

Infectious Bursal Disease (IBD) disebabkan oleh virus yang tergolong

genus Birnavirus dan famili Birnaviridae. Virus tersebut tidak mempunyai

envelope, berbentuk icosahedral dan mempunyai diameter 55-65 nm. Virus ini

sangat stabil pada berbagai kondisi fisik dan agen kimiawi. Beberapa peneliti

melaporkan adanya variasi antigenic isolate virus IBD dan dikenal dengan dua

serotype, yaitu serotype 1 dan 2. Virus IBD serotype 1 yang diisolasi dari ayam

mempunyai virulensi yang bervariasi dari rendah sampai sangat patogenik, yang

dapat menyebabkan mortalitas 50% jika menginfeksi ayam yang peka. Virus IBD

serotype 2 dapat diisolasi dari ayam dan kalkun dan sejauh ini tidak menimbulkan

penyakit pada kedua jenis unggas tersebut (Tabbu 2000).

Kejadian Gumboro dapat dibagi menjadi dua bentuk, yaitu infeksi dini

(umur 1-21 hari) dan infeksi tertunda (>3-10 minggu). Umur yang sensitif

terhadap Gumboro adalah 3-6 minggu. Pada infeksi dini, akan timbul Gumboro

(23)

kegagalan berbagai program vaksinasi. Pada infeksi tertunda, akan timbul

Gu~nboro bentuk klinis dengan efek imunosupresif yang bersifat sementara,

infeksi kantung udara, kegagalan vaksinasi dan penurunan daya tahan tubuh

(Tabbu 2000).

Rute infeksi alami virus IBD tidak diketal~ui dengan pasti. Biasanya

infeksi melalui oral ataupun inhalasi udara. Ayam akan mengalami viremia dan

de~nam setelah masa inkubasi sekitar 18-36 jam. Lesi paling awal ditemukan

dalam bursa Fabricius yang selanjutnya akan diikuti diare encer keputihan, daerah kloaka kotor, anoreksia, depresi, bulu berdiri, tremor, lemah dan berakhir dengan

ke~natian. Mortalitas akibat Gumboro sangat bervariasi, biasanya dimulai pada

hari ketiga pasca-infeksi serta mencapai puncaknya dalam waktu 2-3 hari dan

selanjutnya mortalitas akan cepat menurun (Tabbu 2000).

Virus IBD me~npunyai sasaran utama pada sel-sel yang aktif

berproliferasi, virus tersebut mengalami replikasi terutama di dalam sel B. Infeksi

virus ini akan menyebabkan penurunan reaksi kekebalan berperantara huinoral

dan kekebalan lokal. Efek infeksi virus terhadap kedua siste~n tersebut akan lebih

berat jika ayam terinfeksi pada usia awal. Reaksi kekebalan berperantara selular

jnga mengalami p.enurunan tetapi efeknya bersifat sementara dan ringan (Tabbu

2000).

Newcastle Disense

Newcastle Disease (ND) biasa disebut juga sebagai Pseudo-Fowl Pest, Pseudovogel-Pest, Atypische Gefugelpest, Pseudo-Poultry Plague, Avian Pest, Avian Distemper, Ranilchet Disease, Tetelo Disease, Korean Fowl Plague, dan

Avian Pneumoencephalitis (Alexander 2003). Penyakit ini terjadi di Jawa pada 1926 dan menyebar pada musim gugur tahun itu ke Newcastle, Inggris dan

pertama kali diamati di Newcastle sehingga dinamakan sesuai dengan nama

daerah terjadinya (Fenner dan Fransk 1993).

Ayam yang terinfeksi mempunyai peranan penting dalam penyebaran

penyakit dan sebagai sumber infeksi. Pada mulanya virus bereplikasi pada epitel

mukosa dari saluran pernafasan bagian atas dan saluran pencernaan, segera setelah

(24)

menyebabkan viremia sekunder. Kesulitan bemafas dan sesak nafas timbul akibat

penyurnbatan pada paru-paru dan kerusakan pada pusat pemafasan di otak.

Perubahan pasca mati meliputi perdarahan ekimotik pada laring, trachea,

esophagus, dan di sepanjang usus (Fenner dan Fransk 1995). Lesi histologi yang

paling menonjol adalah adanya hemoragi dan nekrosis pada mukosa jaringan

limfoid di saluran pencemaan serta kongesti, edema dan hemoragi di banyak

organ (Alexander 2003).

Penyakit ini disebabkan oleh avian paranzyxovirus tipe-1 yang tergolong

kedalam genus Rubulavirus dan family pararnyxoviridae. Family ini tergolong

kedalam virus RNA yang memiliki envelope. Komponen envelope ini merupakan

bagian virus yang bersifat infeksius (Alexander 1991). Paramyxovirus berbentuk

pleomorfik. Secara umum, virus ini berbentuk bulat dengan diameter 100-500 nm

seperti terlihat pada Gambar 1, namun bentukan filament dapat terlihat dengan

panjang 100 nm (Alexander 2003). Virion terdiri dari susunan helix nukleokapsid

yang berisi asam inti RNA rantai tunggal (ssRNA), dikelilingi envelope atau

membrane tipis yang terdiri dari lipid bilayer, lapisan protein dan glikoprotein

[image:24.523.70.463.336.728.2]

yang berbentuk paku menonjol pada permukaan partikel (Alexander 1991).

Gambar 1 Skematis virus ND

(25)

Genom virus ND tnelnbawa sandi untuk 6 protein virus yaitu protein L,

protein HN (Hemaglutinin Neuraminidase), protein F (protein Fusi), protein NP

(Protein Nukleokapsid), protein P (Fosfoprotein), dan protein M (Matik) (Beard

dan Hanson 1984). Masa inkubasi penyakit ini antara 2-15 hari dengan rata-rata 5-

6 hari. Kejadian infeksi oleh virus ini terutama terjadi secara inhalasi (Alexander

1991). Sifat-sifat fisik virus ini antara lain mempunyai kemampuan untuk

mengaglutinasi dan melisikan eritrosit ayam. Selain eritrosit ayam, vims ND juga

mampu mengaglutinasi eritrosit mamalia dan unggas lain serta reptilia (Beard dan

Hanson 1984). Virus ND bila dipanaskan pada suhu 56" C akan kehilangan

ke~nampuan untuk mengaglutinasi eritrosit ayam karena hemaglutininnya rusak.

Selain itu juga akan merusak infektivitas dan imunogenesitas virus.

Wabah penyakit ND beragam dalam ha1 keganasan klinis dan kemampuan

menyebarnya. Pada sejumlah wabah khususnya pada ayam dewasa gejala klinis

minimum. Virus yang menyebabkan bentuk penyakit ini disebut lentogenik. Pada

wabah lain, penyakit ini dapat mempunyai angka mortalitas sampai 25%,

seringkali lebih tinggi pada unggas muda; virus yang demikian ini disebut

mesogenik. Pada wabah lainnya lagi terdapat angka kematian yang sangat tinggi

kadang-kadang mencapai 100% yang disebabkan oleh virus velogenik.

Kernampuan menyibak protein virus F merupakan faktor utama yang

mempengaruhi virulensi (Fenner dan Fransk 1995).

Gejala klinis ND dibedakan menjadi 5 patotipe menurut Beard dan Hanson

(1984), yakni bentuk Doyle, Beach, Baudette, Hitchner dan Enteric

Asimnptomatik. Bentuk Doyle merupakan bentuk akut, menimbulkan kematian

pada ayam segala umur dengan mortalitas 100%. Bentuk ini dicirikan dengan

adanya perdxahan pada saluran pencemaan. Bentuk ini disebut juga

Viscerotropic Velogenic Newcastle Disease (VVND). Penyakit ini terjadi secara tiba-tiba, ayam mati tanpa menunjukkan gejala klinis, ayam kelihatan lesu,

respirasi meningkat, jaringan seltitar mata bengkak, diare dengan feses hijau atau

putih dapat bercampur darah, tortikalis, tremor otot, serta paralisa kaki dan sayap

(Alexander 199 1).

Bentuk Beach atau Neurotropic Velogenic Newcastle disease (NVND)

(26)

kematian ayam segala umur dengan angka mortalitas 50 % pada ayam dewasa dan

90 % pada ayaln muda. Bentuk Beaudette kurang gallas dibandingkan dengall

bentuk Beach, hanya menyebabkan kematian pada ayaln muda. Bentuk ini

disebabkan oleh vilus galur mesogenik. Pada ayam dewasa ditandai dengall

pelnuman produksi telur yang terjadi selama 1-3 minggu (Beard dan Hanson

1984). Bentuk Hitchner disebabkan oleh virus ND galur lentogenik, gejala

klinisnya bersifat ringan atau tidak tarnpak jelas, tidak menimbulkan kematian

pada ayam dewasa dan biasanya dipakai sebagai vaksin. Bentuk enteric

asimptomatik merupakan bentuk yang tidak menunjukkan gejala klinis dan

gambaran patologis, tetapi ditandai dengan infeksi usus oleh virus-virus galur

lentogenik yang tidak menyebabkan penyakit (Alexander 1991).

Vaksin dan Vaksinasi

Vaksin adalah suatu produk biologis yang berisi mikroorganisme agen

penyakit yang telah dilemahkan atau diinaktifkan (atte~zuated). Vaksin secara umum adalah ballan yang berasal dari mikroorganisme atau parasit yang dapat

merangsang kekebalan terhadap penyakit yang bersangkutan (Malole 1988).

Bahan yang berisi organisme penyebab penyakit tersebut jika dimasukkan ke

.

dalam tubuh hewan tidak menimbulkan bahaya penyakit tetapi masih dapat

dikenal oleh sistem imun (Kayne dan Jepson 2004) serta dapat merangsang

pembentukan zat-zat kekebalan terhadap agen penyakit tersebut (Tizard 1988) dan

tindakan ini dikenal dengan istilah vaksinasi.

Vaksin terdiri atas vaksin lived dan vaksin killed. Agen penyakit dalam

vaksin lived atau vaksin hidup berada dalam keadaan hidup namun telah

dilemahkan. Agen penyakit pada vaksin killed berada dalam keadaan mati dan

biasanya ditambahkan dengan adjuvant (Akoso 1988). Adjuvan merupakan bahan

kimia yang memperlambat proses penghancuran antigen dalam tubuh serta

merangsang pembentukan kekebalan sehingga menghasilkan antibodi sedikit demi

sedikit (Malole 1988). Umumnya vaksin lived lebih baik daripada vaksin killed,

karena vaksin lived dapat memberikan respon kekebalan yang lebih kuat, dapat diberi tanpa penambahan adjuvan dan dapat merangsang produksi interferon

(27)

yang kuraug baik seperti gangguan pemafasan yang ringan dan meilurunnya

produksi telur (Wetsbury et al. 1984).

Keberhasilan vaksinasi dipengaruhi oleh mutu vaksin. Vaksin yang ideal

hams mempunyai mutu yang baik, mutu vaksin akan menurun jika tidak disimpan

dengan baik setelah diterima oleh pengguna. ICondisi yang dapat merusak

keanlpuhan vaksin antara lain penyimpanan yang tidak sempurna, pengenceran

yang berlebihan saat akan digunakan, serta air pencalnpur yang menganduilg

chloiin atau bahan sanitasi. Menurut Malole (1988) vaksin yang baik hams

meinenuhi beberapa persyaratan, yaitu kemuinian, keamanan, serta vaksin hams

dapat menimbulkan kekebalan terhadap penyakit pada hewan. Suatu vaksin dapat

dikatakan memenuhi ketiga persyaratan diatas jika dua minggu setelah vaksinasi

telah terbentuk antibodi dengan titer protektif. Proteksi vaksin dapat diuji dengan

penantanga~dinfeksi virus ganas. Vaksin yang baik hams memberikan proteksi

lebih dari 95% terhadap hewan coba atau tidak lebih dari 5% hewan yang terinfeksi atau sakit atau mati. Menurut Akoso (1998) selain mutu vaksin,

keberhasilan vaksinasi juga dipengaruhi oleh status kesehatan unggas, keadaan

nutrisi unggas, sanitasi lingkungan dan sistem perkandangan, serta program

vaksinasi yang baik.

Vaksin ND dapat berasal dari virus tipe lentogenik, mesogenik, maupun

velogenik. Tipe lentogenik merupakan strain virus ND yang virulensi dan

mortalitasnya rendah yaitu strain B1 (Hitcher), strain La Sota, dan strain F (FA0

2004). Strain F memiliki tingkat virulensi paling rendah dibandingkan dengan

strain lain pada tipe lentogenik. Vaksin dengan strain ini paling efektif dilakukan

secara individu. Strain B1 rnemiliki tingkat virulensi lebih tinggi dibandingkan

dengan strain F. Aplikasi vaksin strain B1 dilakukan melalui air minum atau

penyemprotan. Pemberian vaksinasi dilakukan pada DOC (Day Old Chick)

kemudian diikuti dengan strain La Sota pada umur 10-14 hari (Fadilah dan Polana

2004).

Tipe mesogenik memberikan kekebalan yang lebih lama dibanding

kekebalan yang dihasilkan oleh tipe lentogenik. Namun pemberian vaksin tipe

mesogenik pada ayam yang belum mempunyai kekebalan dasar dapat

(28)

1981). Tipe mesogenik yang dipakai sebagai vaksin diantaranya adalah strain

Rokain, strain Mukteshwar, strain ICominarov, dan strain Bankowski (Sudrarjat

1991). Strain Mukteshwar bersifat patogenik dan digunakan secara terbatas pada

ayam yang sebelumnya telah divaksin dengan salah satu jenis vaksin tipe

lentogenik. Vaksin ini telah diterima secara luas pada iklim tropis di Asia

Tenggara. Strain Kommarov memiliki tingkat virulensi lebih rendah dibandingkan

dengan strain Mukteshwar. Strain Rokain dan strain Bankowski (Tissue Cultuue

Vaccine) sering disebut dengan wing-web vaccine. Vaksin dengan strain ini tidak

bisa digunakan pada ayam inuda yang inasih memiliki maternal inzmunity

(Fadilah dan Polana 2004).

Tipe velogenik dibuat sebagai bahan vaksin dalam bentuk vaksin killed

(Nugroho 1981). Karena tipe velogenik melupakan virus dengan tingkat virulensi

yang sangat tinggi (FA0 2004). Tipe asiinptomatik yang inempunyai kemampuan

menimbulkan kekebalan tubuh dikenal dengan strain V4 dan Vister 2C. Strain ini

sangat potensial digunakan sebagai vaksin di daerah tropis karena merupakan

vaksin yang mengandung virus tahan panas (Darminto 2002).

Dewasa ini banyak dipasarkan vaksin lived yang mengandung virus IBD

dengan virulensi yang tergolong intermediate dan highly attenuated, selain itu juga terdapat galur varian yang diadaptasikan pada kultur jaringan. Virus IBD

galur intermediate mempunyai virulensi yang bervariasi, meliputi rendah, sedang,

dan tinggi. Virus IBD galur intermediate yang mempunyai virulensi sedang dan

tinggi dapat menyebabkan atrofi dan imunosupresi pada DOC dan ayam spesiJic

pathogen free (SPF) umur tiga minggu. Vaksin killed dalam pelarut minyak

digunakan sebagai vaksinasi ulangilanjutan dan banyak digunakan pada parent

stock dan ayam petelur komersial. Vaksin lrilled paling efektif jika diberikan pada ayain yang telah digertak dengan virus IBD hidup. Vaksin lrilled dalam pelarut ininyak dapat mengandung virus IBD galur standar dan varian. Vaksinasi dengan

virus hidup yang dilemahkan dilakukan pada hari ke-7 sampai m i n g y ke-2 atau

ke-3 (Tabbu 2000).

Vaksinasi Gumboro pada DOC dapat dilakukan bersamaan dengan vaksin

(29)
(30)

METODE

PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaknltan di Unit Pelayanan Mikrobiologi Terpadu

Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner,

Laboratorium Imunologi Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan

Masyarakat Veteriner, serta Kandang Hewan Percobaan Fakultas Kedokteran

Hewan Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan April 2008

sampai bulan Juli 2009.

Hewan Percobaan

Ayam pedaging komersial strain Cobb sebanyak 200 ekor umur satu hari

digunakan dalam penelitian ini. Semua ayam tersebut dipelihara dalam kandang

hewan percobaan dan diberi pakan komersial serta minum ad libitum.

Bahan dan Alat Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah serum darah ayarn,

NaCl fisiologis 0,85%, RBC I%, virus standar ND, antikoagulan n a t ~ u m sitrat

3,8%, serta vaksin ND dan IBD. Vaksin yang digunakan dalam penelitian ini

adalah vaksin ND lived per tetes matahidung untuk DOC dan per air minum

untuk booster, vaksin ITA ND+IBD-killed parenteral melalui subkutan, serta vaksin ND killed parenteral melalui subkutan. Virus IBD yang digunakan sebagai

antigen untuk uji tantang adalah virus IBD Lukert dengan dosis lo6 TCID per ekor ayam.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah spuit dengan volume 1

ml, 3 ml dan 10 ml, nampan, tabung mikro, pipet mikro 10-100 p1, plat mikro U, kertas tissue, refrigerator, alat sentrifugasi serta label.

Rancangan Percobaan

Sebanyak 25 ekor DOC dari 200 ekor ayam pedaging komersial strain

Cobb diambil darah untuk mengukur antibodi asal induk terhadap ND. Ayam

(31)

P2, P3, dan P4 dengan jumlah ayam pada masing-masing kelompok sebesar 50

ekor. Ayam divaksinasi ketika ayatn berumur 4 hari. Ayam keloinpok PI dan P2

divaksinasi dengan vaksin ND lived per tetes mataihidung dan vaksin ITA

ND+IBD killed setengah dosis. Ayam kelompok P3 dan P4 divaksinasi dengan

vaksin ND lived per tetes mataihidung dan vaksin ND In'Jled. Setelah berumur dua

minggu, sebanyak 25 ekor dari setiap kelompok diambil darah untuk mengukur

titer antibodi terhadap ND. Ayam pada kelompok PI dan P3 ditantang dengan

virus IBD Luckert, sedangkan ayam pada kelompok P2 dan P4 tidak diberikan

paparan virus. Sebanyak 25 ekor dari setiap kelompok diambil darah untuk

mengukur titer antibodi terhadap ND pada hari ke-7 dan 14 setelah penantangan.

Hari ke-14 setelah penantangan dilakukan vaksinasi ulang (booster) ND dengan

vaksin Jived per air minum terhadap seluruh kelompok. Dua minggu setelah

booster dilakukan pengambilan darah untuk melihat titer antibodi terhadap ND. Uji Haemaglutinasi Inhibisi (HI) dilakukan kepada serum yang didapat dari setiap

(32)

Tabel 1 Rancangan Percobaan

Perlakuan

Kelompok (hari ke-)

Vaksinasi - - . . Pengambil Pengambilan Pengambila

ND dan "Jl

P 1 an serum serum darah dan n serum

tantang

IBD darah booster ND darah

Vaksinasi Tidak Pengambil Pengambilan Pengambila

ND dan uj i an serum serum darah dan n serum

IBD tantang darah booster ND darah

Tidak Pengambil Pengambilan Pengambila

P3 divaksina an serum serum darah dan n serum

tantang

si IBD darah booster ND darah

Tidak Tidak Pengambil Pengambilan Pengambila

P4 divaksina uji an serum serum darah dan n serum

si IBD tantang darah booster ND darah

Evaluasi Titer Antibodi

Sampel darah yang telah diambil menggunakan spuit disimpan dalam posisi

miring kemudian didiamkan dalam lemari pendingin 4OC selama 24 jam. Setelah

itu serum yang didapat dipisahkan dan disimpan dalam tabung mikro. Kemudian

disiinpan dalam lemari es dengan suhu -20°C sampai siap dilakukan uji HI.

Suspensi sel darah merah dan virus standar disiapkan untuk pengujian HI.

Vilus standar 4 HAU/0,025 ml diperoleh dari pengenceran stok virus yang telah

dititrasi sehelumya. Darah dia~nbil dari vena brachialis ayam, ke~nudian ditambah dengan antikoagulan Natrium Sitrat 3,8% dan disentrifugasi pada 1500 rpm

selama 10 menit. Supematan dibuang sedangkan endapan dibilas dengan NaCl

[image:32.527.36.467.72.480.2]
(33)

kali. Aka11 didapatkan sel darah merah dengall konsentrasi 100%. Kemudian

dilakukan pengenceran dengan menambahkan NaCl fisiologis secara bertingkat

hingga didapatkan suspensi sel darah merah 1%.

Uji haemaglutinasi inhibisi dilakukan dengan metode

P

mikrotitrasi. NaCl

fisiologis steril sebanyak 25 p1 dimasukkan kedalam 8 sumur plat mikro

U

menggunakan pipet mikro kapasitas 200 p1. Pada sumur pertama ditambahkan 25

p1 serum yang akan diuji dan kemudian lakukan pencampuran serum dengan

NaCL fisiologis pada sumur tersebut dengan mengambil dan mengeluarkan

cairan tersebut dengan pipet mikro. Sebanyak 25 p1 campuran dari sumur pertama

diambil kemudian dipindahka~ ke sumur kedua dan dilakukan pencampuran

keinbali. Proses ini berlanjut sampai dengan sumur ke-8. Dari sumur ke-8 diambil

25 p1 dan dibuang. Suspensi virus standar (4 HAU) sebanyak 25 p1 ditambahkan

kedalam sumur. Plat mikro dikocok dengan menggoyang-goyangkannya

kemudian diinkubasikan pada suhu ruang selama 30 menit. Suspensi sel darah

merah 1% sebanyak 25 pl ditambahkan ke dalam sumur. Plat rnikro dikocok

dengan menggoyangkan kemudian diinkubasikan pada suhu ruang selama kurang

lebih 40 menit. Hasil dapat dibaca melalui perbandingan antara hasil dengan

kontrol positif dan negatif (OIE 2008).

Kontrol positif disiapkan dengan menambahkan 50 p1 NaCl fisiologis dan 25

p1 suspensi sel darah merah 1% kedalam sumur, kemudian plat mikro dikocok

dengan menggoyangkan kemudian diinkubasikan pada suhu ruang selama kurang

lebih 40 menit. Kontrol negatif disiapkan dengan menambahkan 25 pl NaCl

fisiologis, 25 p1 suspensi virus standar (4 HAU) kedalam sumur. Plat mikro dikocok dengan menggoyang-goyangkannya kemudian diinkubasikan pada suhu

ruang selama 30 menit. Suspensi sel darah merah 1% sebanyak 25 pl

dita~nbahkan ke dalam surnur. Plat mikro dikocok dengan menggoyangkan

kemudia~l diinkubasikan pada suhu ruang selama kurang lebih 40 menit (OIE

(34)

Rataan titer antibodi dihitung dengall mellggunakan rumus :

Log2 GMT = (log2 t I ) ( S L W Z ) f S 2 ] +

...

+

(log2 t i $ & )

N

Dimana :

N = jumlah contoh s e w n yang diamati

t = tinggi titer antibodi pada pengenceran tertinggi

S = jumlah contoh serum yang bertiter t

n = titer antibodi yang ke-

Data yang diperoleh dianalisis inenggunakan uji one-way ANOVA untuk

(35)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil uji dan analisis titer antibodi terhadap ND pada kelon~pok perlakuan

PI, P2, P3, dan P4 serta perbandingannya dapat dilihat pada Tabel 2 dan Gambar

2. Berdasarkan data yang telah diperoleh menunjukkan bahwa pada hari ke-4 titer

antibodi terhadap ND pada masing-masing kelompok tidak berbeda nyata

(p>0,05) yaitu sebesar 23,24 d m bersifat protektif. Berdasarkan Wa~nbura et al.

(2000) dalam Nahamya et al. (2006), titer antibodi protektif terhadap kematian

akibat uji tantang ND berkisar

z3

atau lebih. Antibodi yang terukur rnerupakan

antibodi asal induk (maternal antibody). Menurut Putra (2005), antibodi asal

induk adalah antibodi yang diperoleh dari induk secara pasif lnelalui kuning telur.

Kuning telur mendapatkan antibodi dari sennn induk ayam ketika proses

pembentukan telur berlangsung di ovarium. Antibodi asal induk dapat melindungi

anak ayam selama beberapa minggu, tergantung pada tinggi rendahnya derajat

kebal induk. Antibodi asal induk ini akan menurun dengan cepat seiring

meningkatnya umur ayam (Allan et al. 1978) dan menjadi tidak berarti pada

umur 4-5 minggu (Ronohardjo 1980 dalam Putra 2005). Menurut Shorhige et al

(1982) dalam Putra (2005), titer antibodi asal induk akan berkurang setengahnya

setiap empat setengah hari sampai habis. Menurut Gillingham (2006) waktu paruh

untuk antibodi asal induk adalah sekitar 3-5 hari dengan level imunitas protektif

hingga 3 minggu. Vaksinasi diperlukan untuk meningkatkan titer antibodi melalui

induksi kekebalan aktif tubuh.

Empat belas hari setelah vaksinasi perta~na terlihat titer antibodi terhadap

ND pada masing-masing kelompok tidak berbeda nyata (pz0,05) serta tidak

mengalanli perubahan yang signifikan dibandingkan dengan hari ke-4 namun

masih bersifat protektif. Hal ini dikarenakan antibodi yang terukur merupakan

antibodi asal induk yang berada dalam sisteln kekebalan humoral, bukan

merupakan antibodi hasil vaksinasi. Vaksinasi ND lived per tetes mathidung

hanya akan menginduksi kekebalan di daerah masuknya vaksin atau disebut juga

kekebalan lokal. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Siregar (2009), titer

(36)

kelompok juga tidak berbeda nyata (p>0,05) nalnun mengalami penurunan

dibandingkan hari ke-4. Ayam yang memiliki titer antibodi asal induk terhadap

IBD yang tinggi akan mampu mencegah infeksi dini virus IBD, tetapi tidak akan

memberi respon terhadap vaksinasi IBD karena adanya netralisasi virus vaksin

oleh antibodi asal induk. Vaksin IBD-killed yang diberikan belum manpu

merangsang tanggap kebal primer terhadap IBD pada dua ininggu pasca vaksinasi.

Menuut Putra (2005), antibodi asal induk akan menutup determinan antigen

sehingga reseptor sel limfosit B tidak dapat inengikat antigen pada vaksin yang

masuk, akibatnya sel B tidak dapat berproliferasi menjadi sel plasma untuk

me~nbentuk antibodi.

Titer antibodi terhadap ND tertinggi terjadi pada kelompok P3 dan P4

yaitu kelo~npok yang diberi kombinasi vaksin ND lived-killed saja dibandingkan

dengan kelompok PI dan P2 yaitu kelompok yang diberikan vaksin ND+IBD

killed kombinasi dengan vaksin ND lived. Menurut Putra (2005), reaksi pasca

vaksinasi IBD mengakibatkan ayam mengalami imunosupresi, sehingga titer

antibodi terhadap ND sedikit lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak

divaksinasi. Efek imunosupresif dapat dihubungkan dengan adanya nekrosis sel B

(bentuk limfoblas lebih utama) terutama di dalam bursa Fabvicius. Sel B

merupakan calon pembentuk sel plasma yang berfungsi untuk menghasilkan

antibodi. Kerusakan sel limfoblas yang merupakail stem cells akan mengalubatkan

penuman populasi sel B dan selanjutnya akan terjadi penurunan reaksi

pembentukan antibodi terhadap vaksinasi dan penurunan reaksi kekebalan

berperantara selular (Tabbu 2000).

Berdasarkan pemeriksaan patologi-anatomi bursa 10 ekor ayam pada

masing-masing kelompok hanya sebanyak 50% sa~npel bursa pada kelompok PI

dan P2 yang inenunjukka~l keadaan normal, sedangkan 50% lainnya menunjukkan

kelainan seperti bengkak, ptecl~iae, serta terdapat eksudat. Icelainan ini

diakibatkan oleh reaksi post-vaksinasi terhadap IBD. Menurut Tabbu (2000) virus

IBD akan menyerang organ li~nfoid d m menyebabkan kerusakan pada sel B di

dalam bursa Fabn'cius. Organ ini &an mengalami edema dan kongesti sel~ingga ukurannya lebih besar dan tampak bengkak. Sebanyak 90% bursa pada kelompok

(37)

keadaail bengkak. I<ebengkalcan pada bursa yang terjadi pada kelompok ini tidak

diakibatkan ole11 adanya virus IBD, karena tidak tampak kelainan lainnya yang

~nengindikasikan terjadinya kerusakan bursa akibat virus IBD.

Uji tantang dilakukan pada hari ke-14 setelah sebelumnya diadakan

pengainbilan serum, ha1 ini dilakukan dengan asumsi penantangan akan berjalan

maksiinal. Antibodi asal induk diharapkan telah mencapai titik minimal pada hari

ke-14 sehingga tidak inenghambat uji tantang yang dilakukan, selain itu

diharapkan pula dapat menginduksi terjadinya infeksi dini yang bersifat

imunosupresif.

Tabel 2 Rataan titer antibodi terhadap ND

Rataa~i Titer Antibodi ND (log 2) Hari ke-

P1 P2 P3 P4

42 , 4,79 rt 1,56",00

*

1 , 6 8 ~ 1,96 rt 1,23' 2,33 rt l , S C

Keterangan : Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan nilai yang

berbeda nyata pada taraf uji (p>0,05)

Tujuh hari setelah uji tantang (hari ke-21) sudah mulai terlihat perbedaan

yang cukup signifikan antar kelompok, walaupun titer antibodi menunjukkan sifat

protektif terhadap penyakit. Kelompok P2 dan P4 mengalami peningkatan titer

antibodi terhadap ND dibandingkan dengan minggu sebelumnya seita berbeda

nyata lebih tinggi dibandingkan dengan P1 dan P3. Hal ini dikarenakan pada

kelo~npok P2 dan P4 tidak dilakukan uji tantang virus IBD. Beberapa ahli

melaporkan bahwa meskipun respon antibodi terhadap sejumlah viruslantigen

mengalami penurunan, respon antibodi terhadap virus IBD bersifat nonnal,

teimasuk infeksi pada anak ayam umur sehari. Hal ini bertentangan dengan hasil

penelitian Siregar (2009) yang menyatakan bahwa kelompok yang diberi uji

tantang memiliki titer antibodi terhadap IBD lebih rendah daripada kelompok

(38)

reaksi irnunosupresif terl~adap vaksinasi. Menurut Siregar (2009) penurunan titer

ai~tibodi terhadap IBD setelah uji tantang terjadi karena adanya proses netralisasi

virus tantang ole11 antibodi hasil vaksinasi. Proses netralisasi virus ini

mengakibatkan jumlah antibodi yang bersirkulasi dalam darah menjadi menurun.

Kejadian Gu~nboro dapat dibagi menjadi dua bentuk, yaitu infeksi dini (umur 1-21

hari) dan infeksi tertunda (23 minggu-10 minggu). Pada infeksi dini, akan timbul

Gumboro bentuk subklinis yang mempunyai efek sangat imunosupresif dan

menyebabkan kegagalan berbagai program vaksinasi. Beberapa ahli inelaporkan

bahwa penekanan respon antibodi terhadap virus ND bersifat sangat berat pada

haii pertama pasca-infeksi virus IBD dan bersifat moderat pada hari ke-7 pasca-

infeksi virus IBD (Tabbu 2000). Tujuh hari pasca-infeksi IBD titer antibodi

terhadap ND tetap ada, walaupun tidak setinggi kelompok yang tidak diinfeksi.

Titer antibodi terhadap ND pada kelompok PI dan P3 tidak berbeda nyata

(P>0,05) walaupun titer kelompok PI sedikit lebih tinggi daipada kelompok P3.

Kelornpok PI menerima vaksinasi ND+IBD-Idled setengah dosis. Hasil

pemeriksaan patologi-anatomi bursa kelompok P1 menunjukkan adanya ptechiae

dan kebengkakan pada 20% sampel bursa. Semeiltara pada kelompok P3

menunjukkan adanya kemerahan pada

bums.

Menurut Tabbu (2000) ha1 ini

diakibatkan oleh adanya reaksi radang yang berat akibat infeksi akut. Penggunaan

vaksin Gumboro killed dalam einulsi minyak dapat merangsang pembentukan

antibodi asal induk yang dapat memberikan perlindungan pada anak ayam selarna

4-5 minggu. Rendahnya titer antibodi terhadap ND serta hasil uji yang tidak

berbeda nyata antara P1 dan P3 menunjukkan bahwa vaksinasi ND+IBD-killed

setengab dosis tidak mampu menahan efek imunosupresi dari infeksi dini virus

IBD pada tujuh hari pasca infeksi namuil titer antibodi terhadap ND masih

menu~ljukkan sifat protektif.

Titer antibodi terhadap ND pada kelompok P2 dan P4 tidak berbeda nyata

(P>0,05) walaupun titer kelompok P4 sedikit lebih tinggi daripada kelompok P2.

Kelo~npok P2 meneiima vaksinasi ND+IBD-ln'lled setengah dosis. Reaksi pasca

vaksinasi IBD mengakibatkan ayam mengalami imunosupresi, sehingga titer

antibodi terhadap ND sedikit lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak

(39)

pada kelompok P4 yang menunjukkan adanya kelainan seperti ptechiae dan

adanya eksudat pada Iumen bursa. Sementara bursa pada keIompok P2 sama

[image:39.523.60.483.64.671.2]

sekali tidak menunjukkan adanya kelainan.

Gambar 2 Rataan titer antibodi terhadap ND

. - . . - - . - - - . . . - - - . . -- -. - - - - -. . . . - . . . . - . . . .. . . - - . . - . . - . . - .. - . . -. -. - -.

Rataan Titer Antibodi Terhadap ND

Empat belas hari setelah uji tantang (hari ke-28), semua kelompok

Inengalami penunman titer antibodi terhadap ND dibandingkan dengan minggu

sebelumnya. Titer antibodi akan menurun seiring dengan pertambahan umur

ayam. Titer antibodi terhadap ND pada kelompok PI, P2, dan P3 yang bersifat

non-protektif berbeda nyata lebih rendah dengan kelompok P4 yang bersifat

protektif. Hal ini dikarenakan kelompok PI, P2, dan P3 telah pernah terpapar

sebelumnya oleh antigenlvims IBD, baik melalui vaksinasi maupun uji tantang.

Menurut Tabbu (2000), jika infeksi terjadi pada usia dini (1-21 hari), efek

imunosupresif akan berlangsung selama beberapa minggu dan tidak diketahui

dengan pasti waktu efek ini berakhir. Laporan dari beberapa ahli mengatakan

(40)

ke-14 atau ke-21 pasca-infeksi virus IBD. Siregar (2009) dalam penelitiannya

~nenyatakan bahwa kelompok yang telah terpapar virus IBD baik melalui

vaksinasi maupun uji tantang memiliki titer antibodi terhadap IBD yang cukup

tinggi berbeda nyata dengan kelompok yang beluln pemah terpapar virus IBD.

Hal ini sesuai dengan pernyataan Tabbu (2000) bahwa kontak dengan virus IBD

atau dengan vaksin IBD killed dapat merangsang respon antibodi sehingga titer

antibodi terhadap IBD pada kelompok yang pemah teiyapar virus menjadi

meningkat. Titer antibodi terhadap ND yang rendah menunjukkan bahwa

vaksinasi ND+IBD-killed setengah dosis tidak mampu menahan efek

imunosupresi dari infeksi dini virus IBD pada empat belas hari pasca infeksi

walaupun titer antibodi terhadap IBD sendiri cukup tinggi.

Dua puluh delapan hari setelah uji tantang (hari ke-42) terjadi peningkatan

titer antibodi terhadap ND pada kelompok PI, P2, dan P3 walaupun terjadi

penunlnan titer pada kelompok P4. Peningkatan ini diakibatkan oleh adanya

vaksinasi ulang (booster) ND pada hari ke-28. Titer antibodi terhadap ND pada

kelompok P4 mengalami penurunan dikarenakan belum optimalnya titer antibodi

post-vaksinasi ulang pada saat pengambilan darah dilakukan, walaupun titer

antibodi maksimum akan dicapai dua minggu pasca-vaksinasi. Hal ini d i d m n g

pula oleh pemeriksaan patologi-anatomi yang dilakukan terhadap sampel bursa

kelompok tersebut yang menunjukkan tidak adanya kelainan pada bursa

Fabricius. Titer antibodi terhadap ND pada kelompok P1 dan P2 yang

menunjukkan sifat protektif berbeda nyata lebih tinggi dengan kelompok P3 dan

P4 yang menunjukkan sifat non-protektif. Hal ini dikarenakan kelompok P1 dan

P2 menerima vaksinasi IBD pada hari ke-4, sehingga efek imunosupresif hanya

bertahan sementara dibandingkan dengan yang tidak divaksinasi. Pemeriksaan

patologi-atlatomi bursa pada kelompok P1 dan P2 menunjukkan bahwa tidak

terdapatnya kelainan yang cukup berarti pada bursa, berbeda dengan pada

kelompok P3 yang menunjukkan adanya kebengkakan dan eksudat pada hampir

seluruh sampel. Siregar (2009) dalam penelitiannya menyatakan bahwa kelompok

yang diberi vaksinasi IBD memiliki titer IBD yang Iebih tinggi dibandingkan

dengan kelompok yang tidak divaksinasi. Hal ini menunjukkan bahwa ayam yang

(41)

terhadap ND lebih tinggi (p>0,05) dibandingkan dengan ayaln yang divaksinasi

ND saja pada enain minggu post-vaksinasi ineskipun diuji tantang dengall virus

IBD. Hal ini sejalan dengan pernyataan Tabbu (2000) bahwa ayam yang seinbuh

ataupun tidak mati setelah terpapar virus IBD dapat mengalami

(42)

SIMPULAN DAN SARAN

SIMPULAN

Penekanan titer antibodi terhadap ND terjadi pada semua kelompok yang

ditantang virus IBD pada minggu ke-1 dan ke-2 post-infeksi. Empat minggu

setelah uji talitang titer antibodi pada kelompok yang divaksin ITA ND+IBD

killed setengah dosis mampu meningkat, sedangkan pada kelompok yang tidak

divaksin tetap rendah. Vaksinasi IBD-killed setengah dosis yang dilakukan tidak

mampu melindungi ayam terhadap efek imunosupresi akibat uji tantang virus IBD

sarnpai dua minggu setelah infeksi.

SARAN

Diharapkan dapat dilakukan penelitian lanjutan mengenai dosis vaksinasi

(43)

DAFTAR PUSTAKA

Akoso, BT. 1998. Kesehatan Utzggas Paizdtlarz Bagi Pettrgas Telnzis, Penytllulz darz Peterrzak. Yogyaka~ta. ICanisius.

Alexander, DJ. 1991. Newcastle Disease and Other Paramyxovirtls Infection in

Disease ofPoultry, 9' ed. Edited by Calnek, B. J., et al. Iowa. Iowa State University Press.

Alexander, DJ. 2003. Newcastle Disease, otlzer Avian Paramyxovirtls, and

Pneunzovirus Infections, p. 63-81. In :

YM

Saif et al. Diseases of Poultry 11"' Edition. Iowa. Blackwell Publishing.

Allan WH, Lancaster JE, dan Thoth B. 1978. Newcastle Disease Vaccirzes: 27zeir

Production and Use. Rome. FA0 Animal Product and Health Series No. 10.

Azinijal~ A. 2005. Perzgarnatarz Junzlalz Sel Apoptotik pada Bursa Fabricizrs Alcibat Inzfelcsi Virus Avibirrza. Dalam Media Kedokteran Hewan Vol. 21

No.2 Mei 2005. www.ioumal.unair.ac.id/filerPDF/MKH-21-2-14.pdf - [5

September 20091

Beard CW dan Hanson HP. 1984. Newcastle Disease. In: MS Hopstad et al. (Ed).

Disease of Poultry, Edition. Iowa. Iowa State University Press.

Butcher, GD dan RD 'Miles. 2003. e Avian Immune System.

http://edis.ifas.ufl.edu. [21 Februari 20091

Cereno, TN. 2007. Infectious Bursa1 Disease: Causative Agent, Diagnosis And

Prevention. www.canadianpoultry.cdnew pane 2.htmI [27 Februari 20091

Carpenter, S. 2004. Avian Immune System.

http://www.l1olisticbird.com/hbn04/sprinn04/immunesvstem.htm. [2 1

Februari 20091.

[CJFeed]. 2009. Karalteristik Str-airz Broiler dun Layer. http://cifeed.co.id/. [19 Februari 20091.

Danninto, 2002. Yal~sinasi ND, kepada Ayarn dun Titer yang Cocok. Infovet

Veteriner Edisi 092. Jakaita.

Darmono, 2006. Sistenz Kekebalaiz tubuh.

http://www.~eocities.com/kulial~fadimunolo~/Sistem-kekebalan.doc.

[2 1 Februari 20091

(44)

Fadilal~ R darl Polana A. 2004. Arzelca Penyalcit pado Ayar~z da~z Cara Meizgatasinya. Depok. PT. Agrolnedia Pustaka.

l'FAO1. a 2004. Newcastle Disease Vaccines : an Overview.

http:llwww.fao.ore/DOCREP1005lACSO2E/acX [27 Februari 20091.

Fenner J d m Fransk. 1993. Veterinary Virology. California. Academic Press Inc.

Fenner J d m Fransk. 1995. Virologi Veteriner. Edisi kedua. P Harya, Peuerjemah. Semarang. IKIP Semarang Press. Terjemahan dari: Veterinary Virology.

[FKH-UGM]. 2008b. Cara Mei~zilih Daging Ayam Broiler dan Cara Menurunka~z

Kandungan Kolesterolnya. http://hst~.fkh.u~.ac.id/w~l?~=l6. [19 Februari 20091.

Gallwarin, 2008. Newcastle Disease Virus.

11ttp://mikrobia.wordpress.com/2008/05116/newcastle-disease-virus/. [I9 Februari 20091

Gillingham, S. 2006. General Principles of Vaccination.

http://www.canadianpoultn/.ca~principles of vaccination.htm. [I9 Februari 20091.

Kayne SB dan Jepson MH. 2004. Veteriizauy Pharnzacy. London. Pharmaceutical

Press.

Malole, MB. 1988. Vivologi. Bogor. PAU-IPB.

Marindro. 2009. Bagaimana Mencapai Nilai FCR (Food Conversion Ratio)

Secara Optinzal. htt~:l/www.blo~catalo~.com/blo~informasi-budida~a-

udand8702b9da615521a41740S8a03e69bbb3 [5 September 20091

Nahamya F H, G Mukiibi-Muka, G W Nasinyama dan J D Kabasa. 2006.

Assessment of the cost efectiveness of vaccinating p e e range potrltiy against Newcastle disease in Busedde sub-county, Jiitja district, Uganda.

In Livestock Research for Rural Development 18 (11) 2006.

http://www.ci~av.org.collrrd/lrrdlS/l lIcontlSl 1 .htm. [26 Maret 20091 Nugroho. 1981. Peizyakit Ayain di Indoizesia. Semarang. Eka Offset.

[OIE]. 2008. Newcastle Disease.

http:llwww.oie.int~frinormes/mmanuallA 00038.htm. [7 Maret 20091.

[PoultryIndonesia]. 2008. Problematik Newcastle Disease (Bagian I).

(45)

Prabowo AY. 2009. Budidaya Ayarn Broiler.

http://www.n~ustang89.com/literatur/74-literatur--avai~d133-broiler [ 5

September 20091

Putera, HD. 2001. Peran Sel T Helper 3 (Th3) dalam Sistetn Pertahanan Tzlbtlh.

http://www.tempo.co.id/medika~arsi~/04200l/vus-l.htm. [21 Febiuari 20091.

Putra, LN. 2005. Perbandingan Daya Protelcsi Program Valcsinasi Turzggal dun Ganda dengan Vahin Newcastle Disease Alctij" dun Inalctif pada Ayunl Broiler. [Skripsi]. Bogor. FIM-IPB.

Siregar, CJ. 2009. Garnbaran Respon Kebal terhadap Infectious Bursa1 Disease

(IBD) pada Ayam Pedaging yang Divalisin IBD Killed Setertgah Dosis dun Ditantang dengan Virus IBD. [Skripsi]. Bogor. FKH-IPB. (belum dipublikasikan)

Sudrardjat S. 1991. Epidemiologi Penyaln't Hewan. Catatan ke-2. Jakarta.

Direktorat Kesehatan Hewan.

Tabbu, CR. 2000. Penyakit Ayam dun Penanggulangannya. Yogyakarta.

Kanisius.

Tizard, IR. 1982. An Introduction to Veterinary Immunology. 2nd Edition. U S A .

W. B. Saunders Conlpany.

Tizard, IR. 1988. Pengantar Imunologi Veteriner. Soehardjo H d m Masduki P, Penerjemah. Surabaya. Airlangga Press. Terjemahan dari: Veterinary Immunology.

Tizard, IR. 2004. Veterinary Immunology. China. W. B. Saunders Company.

Wetsbury HA, Parson G, dan Allan WH. 1984. Comparison of the

Irnmunogenicity of the Newcastle Disease Virus Strain V4, Hitchner BI, and La Sofa in Chickens. Test in Chickens with Maternal Antibody to Virus. Journal Australian Veterinary. 61 : 10-13.

Wibawan, IWT, Retno DS, CS Damayanti, TB Tauffani. 2003. Diktat Imunologi.

Bogor. FKH-IPB.

[Wikipedia]. 2009. Newcastle Disease.

(46)
(47)

Hari I

The GLM Procedure

n

Class Level Information

(48)

The GLM Procedure

The GLM Procedure

(49)

The GLM Procedure

The GLM Procedure

(50)

The GLM Procedure

Level of respon

perlakuan

The GLM Procedure

Error Degrees of Freedom

(51)

The GLM Procedure

1

Class Level information

The GLM Procedure

Dependent Variable: respon

Source

/IqmlvmI

~r

s

F

1

(52)

The GLM Procedure

perlakuan

The GLM Procedure

Duncan's Multiple Range Test for respon

Note: This test controls the Type I c

Gambar

Gambar 1 Skematis virus ND
Tabel 1 Rancangan Percobaan
Gambar 2 Rataan titer antibodi terhadap ND

Referensi

Dokumen terkait

Terbentuknya batu bisa terjadi karena air kemih jenuh dengan garam-garam yang dapat membentuk batu atau karena air kemih kekurangan penghambat pembentukan batu yang normal.Sekitar

Diketahui pula bahwa buah yang belum mencapai ketuaan tertentu (21 minggu) kandungan karotenoidnya terus meningkat lebih cepat selama pemasakannya dibandingkan dengan buah yang

Perilaku manusia yang bisa menyebabkan banjir antara lain membuang sampah ke sungai dan menebang hutan secara

Analisa contoh tanah dilakukan sesuai dengan kebutuhan klasifikasi kesesuaian lahan untuk tanaman bawang putih yang meliputi analisa fisik dan kimia tanah

maltosa menjadi glukosa yang kemudian masuk ke lambung. 2) Di lambung, makanan akan dilembutkan dengan gerakan. mekanik lambung, sedangkan pencernaan

Skripsi dengan judul “ Perbandingan Jumlah Total Bakteri Feses Sapi Bali Menurut Tingkat Kedewasaan Dan Tipe Pemeliharaannya ” diajukan sebagai salah satu syarat

Sedangkan gejala yang berhubungan dengan siringomielia (nyeri, skoliosis dan kehilangan sensitifitas) mulai mereda. Jika siringomielia masih terjadi, dekompresi yang

1 Birleflmifl Milletler ‹flkence Ma¤durlar› Gönüllü Fonu Mütevelli Heyeti taraf›ndan, BM’in iflkence ma¤durlar›na yard›m› ile ilgili olarak, her- kes için