• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan self concept dan adjustment dengan prestasi belajar remaja

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan self concept dan adjustment dengan prestasi belajar remaja"

Copied!
142
0
0

Teks penuh

(1)

ADALAH TOLERANSI

Karya sederhana ini ku persembahkan teruntuk:

Ayah dan Ibuku tercinta, melalui cucuran keringat, tangisan, do’a

dan air mata engkau membesarkanku (semoga ini bukan akhir dari

usaha ananda untuk dapat membahagiakan kalian, tetapi merupakan

awal dari usaha itu)

Kakakku tersayang (gapailah cita setinggi mungkin dan

bahagiakanlah orang tua kita selagi masih ada asa)

Orang terkasih dalam hidupku (terima kasih yang tak terhingga

untuk kebahagiaan yang telah kau berikan kepadaku karena kau

(2)

D) Hubungan self concept dan adjustment dengan prestasi belajar remaja. E) xii + 91 Halaman (belum termasuk lampiran)

Prestasi belajar adalah hasil yang dicapai atau ditunjukkan oleh siswa sebagai hasil belajarnya baik berupa angka atau huruf serta tindakan yang mencerminkan hasil belajar yang dicapai masing-masing siswa dalam periode tertentu. Dalam penelitian ini yaitu nilai rata-rata raport siswa kelas XI SMA Negeri 1 Tangsel tahun 2010-2011.

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi prestasi belajar antara lain self concept dan adjustment.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan yang signifikan antara self concept dan adjustment dengan prestasi belajar remaja.

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif dengan metode korelasional. Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri 1 Tangsel dengan jumlah sampel sebanyak 100 siswa yang diambil dengan simple random sampling. Instrument pengumpulan data yang digunakan adalah skala self concept dan adjustment dalam bentuk skala Likert. Teknik pengolahan dan analisa data dilakukan dengan regresi ganda (multiple regression) dengan menggunakan sofware SPSS 16.0.

Hasil penelitian menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara self concept dan adjustment dengan prestasi belajar remaja.

Berdasarkan hasil penelitian ini, maka penulis memberikan saran bahwa untuk penelitian selanjutnya diharapkan mengkaji variabel self concept secara spesifik, seperti konsep diri akademik; memilih sampel yang tepat yaitu kelas X untuk variabel adjustment. Kepada pihak atau lembaga yang bersangkutan, bahwasanya nilai raport yang dijadikan untuk mengukur prestasi belajar siswa ternyata tidak dapat mewakili prestasi belajar yang sesungguhnya. Oleh karena itu, hendaknya disertai dengan penilaian-penilaian prestasi belajar lainnya sebagai tolok ukur keberhasilan belajar.

(3)

Dengan mengucap rasa syukur Alhamdulillah, penulis panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan taufik, rahmat dan hidayah-NYA kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul “HUBUNGAN SELF CONCEPT DAN ADJUSTMENT DENGAN PRESTASI BELAJAR REMAJA”. Shalawat serta salam semoga tetap Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, atas segala perjuangannya sehingga kita dapat merasakan indahnya hidup di bawah naungan Islam.

Dalam hal ini penulis sangat menyadari akan keterbatasan kemampuan yang dimiliki, sehingga penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih sangat jauh dari sempurna. Alhamdulillah dengan keikhlasan dan bantuan dari berbagai pihak, sudah sepantasnya penulis ucapkan terima kasih kepada:

1. Jahja Umar, Ph.D, Dekan Fakultas Psikologi, beserta jajaranya di Fakultas Psikologi yang telah memberikan banyak hal untuk penulis jadikan sebagai bekal kehidupan.

2. Dra. Diana Mutiah, M. Si dan Natris Idriyani, M. Si, pembimbing 1 dan pembimbing II yang telah meluangkan waktu, membimbing dan membagi ilmunya kepada penulis selama belajar dan menyelesaikan penulisan skripsi ini di Fakultas psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Ayahanda dan Ibunda tercinta, bapak Abdul Muin dan Ibunda Rusnani yang senantiasa penulis hormati dan sayangi seta selalu kubanggakan dan yang selalu mencurahkan kasih sayangnya kepada ananda, memberikan bimbingan, arahan, nasehat dan do’a demi kesuksesan anaknya tercinta.

4. Seluruh Dosen Fakultas Psikologi, pimpinan dan seluruh karyawan perpustakaan dilingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Seluruh jajaran staf bidang akademik Fakultas Psikologi atas bantuannya kepada kami untuk mengurus nilai-nilai, surat izin, dan lain-lain, serta memberikan petunjuk prosedur penyelesaian persyaratan kelulusan.

6. Ibu Sri Supryantini yang telah meminjamkan alat ukur adjustment kepada peneliti.

7. Kak Dodo yang senantiasa mengarahkan, meluangkan waktu dan membagi ilmunya kepada peneliti sampai penelitian ini selesai

(4)

mendo’akan peneliti dalam menyelesaikan penelitian ini.

11. Teman-teman dan sahabat-sahabatku tercinta Mas Diana, Kartika Sari, Prima Retha, Mira Dewi Yani, Herly Novitasari, teman-teman kelas C yang tidak dapat disebutkan satu persatu serta semua teman angkatan 2006 tak terkecuali.

12. Teman-teman dan sahabat-sahabatku Shadiq At-Taqwa, Kak Mashdar, Kak Uus, Kak Jamal, Suherman, Rahim, Kak Burhan selaku ketua IKAMI Sul-Sel Cab. Ciputat, serta seluruh teman-teman IKAMI Cab Ciputat. 13. Adikku tersayang, Uyun yang telah menemani dan membantu peneliti saat

uji referensi. Semoga hafalan dan kuliahnya di IIQ (Institut Ilmu Al-Qur’an) lancar dan penuh barakah.

14. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Semoga amal baik mereka mendapat balasan yang melimpah dari Allah SWT dan senantiasa berada dalam lindungan-NYA. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak yang membaca khususnya dan bagi perkembangan ilmu psikologi pada umumnya. Amien.

Jakarta, 27 November 2010

(5)

HALAMAN PENGESAHAN …...……… iii

HALAMAN PERNYATAAN ………... iv

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ………... v

ABSTRAKSI ………... vi

KATA PENGANTAR ………... vii

DAFTAR ISI ……….………...… ix

DAFTAR TABEL ……….………...……….. xi

DAFTAR GAMBAR …...………….………... xii

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ………... 1

1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah Penelitian .……... 8

1.2.1 Pembatasan masalah ………... 8

1.2.2 Perumusan masalah ...………... 9

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ………... 9

1.3.1 Tujuan penelitian ....………... 9

1.3.2 Manfaat Penelitian ………...……… 9

1.4 Sistematika Penulisan ………... 10

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Definisi Prestasi Belajar ...………...………….. 12

2.1.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar ... 15

2.1.2Pengukuran prestasi belajar (hasil belajar) ...…... 18

2.2 Self Concept (Konsep Diri) ………..……… 21

2.2.1 Definisiself concept (konsep diri) ………. 21

2.2.2 Perkembangan dan proses pembentukan self concept ……. 24

2.2.3 Konsep diri positif dan konsep diri negatif …....…….……. 28

2.2.4 Karakteristik konsep diri remaja (SMP-SMA) ………….... 31

2.2.5 Dimensi-dimensi self concept .………... 35

(6)

2.5 Kerangka Berpikir ………... 57

(7)

Tabel 3.4 t-value Skala Adjustment ………. 73

Tabel 4.1 Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin ... 76

Tabel 4..2 Subjek Penelitian Berdasarkan Usia ... 77

Tabel 4.3 Correlations ………. 78

Tabel 4.4. Model Summary ... 79

Tabel 4.5 Anovab ... 80

(8)
(9)

Nama : Nur’Aini

NIM : 106070002280

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “HUBUNGAN SELF CONCEPT DAN ADJUSTMENT DENGAN PRESTASI BELAJAR REMAJA” adalah benar merupakan karya saya sendiri dan tidak melakukan tindakan plagiat dalam penyusunan karya tersebut. Adapun kutipan-kutipan yang ada dalam penyusunan karya ini telah saya cantumkan sumber pengutipannya dalam skripsi. Saya bersedia untuk melakukan proses yang semestinya sesuai dengan undang-undang jika ternyata skripsi ini secara prinsip merupakan plagiat atau ciplakan dari karya orang lain.

Demikian pernyataan ini dibuat untuk dipergunakan seperlunya.

Jakarta, 27 November 2010 Yang Menyatakan

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

Dalam bab ini mengemukakan bab pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

1.1. Latar Belakang Masalah

Pada saat ini pelaksanaan pendidikan di Indonesia diarahkan pada tercapainya tujuan pendidikan nasional serta pengembangan potensi anak didik secara optimal. Pengembangan potensi belajar siswa dapat dilihat pada sistem nilai yang ditekankan dalam dunia pendidikan yaitu pencapaian prestasi belajar. Dengan menetapkan prestasi belajar sebagai patokan perilaku, guru selalu berusaha agar siswa mencapai patokan perilaku tersebut.

Menurut Djamarah (1990), prestasi belajar adalah hasil penilaian pendidikan tentang perkembangan dan kemajuan murid yang berkenaan dengan penguasaan bahan pelajaran yang diajarkan pada mereka (Rusyan, 1994). Nashar (2004), mengatakan prestasi belajar adalah kemampuan yang diperoleh siswa setelah melalui kegiatan belajar. Sependapat dengan Nashar, Abdurrahman (1999), mengatakan bahwa prestasi belajar adalah kemampuan yang diperoleh setelah melalui kegiatan belajar. Jadi, prestasi belajar adalah hasil yang dicapai dari apa yang sudah dikerjakan atau apa yang sudah diusahakan sesudah belajar.

(11)

disebut dengan prestasi belajar. Dengan demikian, prestasi belajar merupakan taraf hasil belajar yang ditunjukkan seseorang setelah mendapat pendidikan atau latihan.

Setiap siswa diharapkan dapat mencapai prestasi belajar yang memuaskan. Namun, pada kenyataannya tidak semua siswa dapat berhasil mencapai prestasi belajar yang ditetapkan.

Keberhasilan siswa dalam mencapai prestasi belajar dipengaruhi oleh bermacam-macam faktor. Menurut Medinus (1969), Winkel (1996), Wahyuni (Gunarsa, 1983) dan Slameto (1995), mengatakan bahwa prestasi belajar dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Faktor intern yaitu intelegensi (kemampuan intelektual), minat, bakat, kepribadian, sikap terhadap sekolah, keberhasilan dan kegagalan dimasa lalu. Dan faktor ekstern yaitu hubungan orang tua dan anak, status sosial ekonomi keluarga dan guru.

Dalam kehidupan sehari-sehari atau lingkungan di sekolah seorang siswa mempunyai standar yang harus dicapai yaitu prestasi belajar. Tetapi terkadang harapan atau standar sekolah tidak selamanya dapat dicapai oleh semua anak didik. Banyak di antara anak didik menghadapi kegagalan dalam belajar.

(12)

siswa lain. Sebaliknya, siswa yang tidak berhasil mencapai prestasi belajar yang ditetapkan, dipandang sebagai siswa yang tidak atau kurang mempunyai kemampuan dan usaha.

Pandangan yang diberikan oleh guru maupun siswa lain merupakan tanggapan-tanggapan yang sangat mempengaruhi pembentukan konsep diri siswa. Tanggapan positif, yaitu memandang siswa sebagai siswa yang mempunyai kemampuan dan usaha tinggi akan membantu siswa bersikap positif terhadap dirinya sendiri. Sikap ini akan mempengaruhi pendekatan siswa dalam menghadapi tugasnya, dan lebih jauh lagi mempengaruhi prestasi belajar (Pudjijogyanti, 1985).

Studi dari Bachman dan O’Malley, telah membuktikan adanya hubungan yang signifikan antara konsep diri dengan keberhasilan pendidikan yaitu prestasi belajar siswa (dalam Burns, 1993).

(13)

besar (dalam Burns, 1993). Jadi, konsep diri penting dalam memperkirakan pencapaian prestasi akademis.

Berdasarkan data-data di atas, terlihat bahwa konsep diri berhubungan dengan prestasi belajar dan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi prestasi belajar. Namun hasil penelitian seorang mahasiswi Universitas Indonesia yaitu Sintha Hapsari (2001), dengan judul skripsi “Hubungan konsep diri dengan prestasi belajar remaja akhir” bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara konsep diri dengan prestasi belajar remaja akhir. Oleh karena itu, penelitian terhadap hubungan konsep diri (self concept) dan prestasi belajar perlu dilakukan untuk membuktikan apakah ada atau tidak ada hubungan antara self concept dengan prestasi belajar remaja.

Hal ini disebabkan karena pada masa remaja keberhasilan prestasi belajar sangat penting untuk memasuki tahap perkembangan selanjutnya yaitu masa dewasa karena untuk dapat memasuki tahap perkembangan selanjutnya, remaja diharapkan mempunyai potensi-potensi akademis untuk dapat memasuki masa dewasa yang mempunyai konsep diri yang baik sehingga dapat menerima dirinya sebagaimana adanya dan akhirnya mempengaruhi tingkah laku penyesuaian dirinya dalam belajar.

(14)

sehingga dapat mempengaruhi perilaku individu dalam menyesuaikan diri agar dapat berprestasi dengan baik.

Konsep diri yang dimiliki seseorang mengarah pada hubungan tingkah laku sehari-hari dan keyakinan yang dianut mengenai diri individu itu sendiri. Berdasarkan penelitian Mussen, Conger dan Kagan (1974), diungkapkan bahwa konsep diri negatif dapat menghambat prestasi belajar anak. Fink mendapatkan hubungan yang signifikan antara konsep diri yang rendah dengan pencapaian akademis yang rendah (Burns, 1993).

Selain konsep diri, faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa adalah penyesuaian diri (adjustment). Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Tallent (1978), yang menyatakan bahwa penyesuaian diri akan meningkatkan prestasi belajar. Hal ini didukung juga dengan hasil penelitian Achyar (2001), yang menyatakan bahwa penyesuaian diri berkorelasi dengan prestasi belajar, di mana penyesuaian diri dapat meningkatkan efek positif terhadap prestasi belajar siswa. Selain itu, hasil penelitian Sapto Legowo (2005), menunjukkan bahwa ada pengaruh penyesuaian diri terhadap prestasi belajar siswa. Begitupun hasil penelitian Laily Safura & Sri Supriyantini (2006), memperlihatkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara penyesuaian diri dengan prestasi belajar siswa (Jurnal Psikologia, 2006).

(15)

dalam kehidupan di mana individu melakukan suatu reaksi untuk melakukan dan mengatasi setiap perubahan dalam lingkungannya.

Penyesuaian diri berlangsung secara terus-menerus antara memuaskan kebutuhan diri sendiri dengan tuntutan lingkungan, termasuk tuntutan orang lain secara kelompok maupun masyarakat. Menyesuaikan diri berarti mengubah dengan cara yang tepat untuk memenuhi syarat tertentu (Sukadji, 2000).

Seorang individu tidak dilahirkan dalam keadaan sudah mampu menyesuaikan diri atau tidak mampu menyesuaikan diri (Hartono & Sunarto, 2002). Banyak individu yang menderita dan merasa tidak mampu mencapai kebahagiaan dalam hidupnya, karena ketidakmampuannya menyesuaikan diri baik dalam kehidupan keluarga, sekolah, pekerjaan dan dalam masyarakat pada umumnya. Sehingga menghambat ia untuk mencapai prestasi yang tinggi.

Eddy Hendrarno (1987), mengemukakan bahwa proses penyesuaian diri tidaklah selalu dapat berlangsung secara efektif. Tidak jarang individu sering mengalami hambatan. Kecanggungan, atau bahkan salah dalam melakukan penyesuaian. Akibat dari keadaan semacam itu adalah timbulnya kelainan tingkah laku siswa.

(16)

adalah yang berhubungan dengan penyesuaian diri (Hurlock, 1980). Selain itu, peralihan dari SMP ke SMA di mana terjadi pergerakan dari posisi teratas (di sekolah SMP mereka adalah murid-murid yang paling tua, paling besar, dan siswa yang paling berkuasa di sekolah) ke posisi terendah (di sekolah SMA, menjadi murid-murid yang paling muda, paling kecil, dan paling lemah di sekolah). Hal tersebut seringkali menimbulkan masalah bagi banyak siswa yang kurang dapat menyesuaikan diri dengan situasi baru.

Hartono & Sunarto (2002), menambahkan bahwa bagi siswa yang baru memasuki sekolah lanjutan atas mungkin akan mangalami kesulitan dalam membagi waktu belajar, yakni adanya pertentangan antara belajar dan keinginan untuk ikut aktif dalam kegiatan ekstra kurikuler. Mereka juga mungkin akan mengalami permasalahan penyesuaian diri dengan guru-guru, teman-teman, dan mata pelajarannya. Sebagai akibat antara lain adalah prestasi belajar siswa menjadi menurun dibanding dengan prestasi di sekolah sebelumnya.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri sangat diperlukan bagi siswa yang menjalani seluruh aktivitasnya di sekolah dan penyesuaian diri ini akan berpengaruh terhadap prestasi belajarnya.

Dari uraian di atas, penulis tertarik melakukan penelitian untuk melihat hubungan self concept dan adjustment dengan prestasi belajar siswa SMA Negeri 1 Tangsel.

(17)

1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah 1.2.1. Pembatasan masalah

Pembatasan masalah yang berhubungan dengan self concept dan adjustment dengan prestasi belajar remaja yaitu:

1. Konsep diri (self concept) adalah pandangan keseluruhan yang dimiliki individu tentang dirinya sendiri dan terdiri dari kepercayaan, evaluasi, dan kecenderungan berperilaku (Burns, 1993).

2. Penyesuaian diri (adjustment) adalah suatu proses yang mencakup respon-respon mental dan tingkah laku, yang merupakan usaha individu agar berhasil memenuhi kebutuhan, ketegangan, konflik dan frustasi yang dialami dalam dirinya (Schneiders, 1964).

3. Prestasi belajar adalah hasil yang dicapai atau ditunjukkan oleh siswa sebagai hasil belajarnya baik berupa angka atau huruf serta tindakannya yang mencerminkan hasil belajar yang dicapai masing-masing anak dalam periode tertentu (Gunarso, 1982). Dalam hal ini yaitu nilai rata-rata raport semester genap pada kelas XI SMA Negeri 1 Tangsel tahun 2010-2011.

(18)

1.2.2. Perumusan masalah

Dari pembatasan masalah di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah ada hubungan yang signifikan antara self concept dan adjustment dengan prestasi belajar remaja?”

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1Tujuan penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang telah dirumuskan dan agar penelitian ini menjadi lebih terarah dan lebih jelas, maka tujuan penelitian ini adalah:

Untuk mengetahui hubungan yang signifikan antara self concept dan adjustment dengan prestasi belajar remaja?

1.3.2. Manfaat penelitian 1.3.2.1. Manfaat teoritis

Penelitian ini dapat memberikan konstribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan self concept, adjustment dan prestasi belajar dan dapat menambah khasanah serta menjadi literatur tambahan dalam ilmu psikologi pendidikan, dan perkembangan.

1.3.2.2. Manfaat praktis

(19)

positif. Selain itu, dapat digunakan untuk mengembangkan wawasan, menambah pengalaman, dan memperluas pengetahuan dalam melakukan kegiatan pendidikan, bagi orangtua dapat dijadikan sebagai informasi awal dalam membimbing putra-putrinya sebagai kerjasama antara orangtua dan sekolah, bagi guru kelas dapat dimanfaatkan dalam mendukung proses pembelajaran di kelas, dan bagi kepala sekolah dapat digunakan untuk mengembangkan pengetahuan dan memotivasi guru di sekolah.

1.4 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: Bab I PENDAHULUAN

Dalam bab ini mengemukakan bab pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II KAJIAN TEORI

(20)

aspek penyesuaian diri, karakteristik penyesuaian diri remaja, faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri, definisi remaja akhir dan kerangka berpikir serta hipotesis penelitian.

Bab III METODE PENELITIAN

Dalam bab ini berisi tentang pendekatan dan metode penelitian, definisi konseptual dan definisi operasional, variabel penelitian, subjek penelitian yang terdiri dari populasi dan sampel, teknik pengambilan sampel, teknik pengumpulan data yang terdiri dari metode dan instrument penelitian, teknik analisa data yang terdiri dari reliabilitas dan validitas alat ukur. Bab IV ANALISA HASIL PENELITIAN

Bab ini berisi tentang hasil penelitian dan daftar pustaka. Bab V PENUTUP

(21)

BAB II

KAJIAN TEORI

Dalam bab ini akan diuraikan beberapa teori tentang variabel-variabel yang berkaitan dengan hal yang akan diteliti. Pertama akan dipaparkan teori tentang prestasi belajar, konsep diri, adjustment, dan masa remaja. Bahasan berikutnya adalah kerangka berpikir dan hipotesis penelitian.

2.1. Definisi Prestasi Belajar

Proses belajar mengajar pada dasarnya diarahkan agar terjadinya perubahan pada diri siswa baik dalam pengetahuan, keterampilan maupun dalam sikapnya. Indikator dari perubahan itu biasanya akan tampak pada prestasi belajarnya.

Kemampuan intelektual siswa sangat menentukan keberhasilan siswa dalam memperoleh prestasi. Untuk mengetahui berhasil tidaknya seseorang dalam belajar maka perlu dilakukan suatu evaluasi, tujuannya untuk mengetahui prestasi yang diperoleh siswa setelah belajar mengajar berlangsung.

Istilah prestasi belajar kerap kali diungkapkan atau digunakan dalam dunia pendidikan untuk mengungkapkan kondisi hasil belajar siswa atau peserta didik yang telah melalui proses pembelajarannya dalam suatu masa tertentu.

(22)

Indonesia (1988), prestasi belajar adalah penguasaan, pengetahuan, atau keterampilan yang dikembangkan oleh mata pembelajaran, yang ditunjukkan dengan tes atau angka. Serta dalam Kamus Bahasa Indonesia karangan W. J. S. Koewadarminta (1976), arti prestasi menurut bahasa adalah hasil yang telah dicapai (dikerjakan, dilaksanakan). Sedangkan menurut istilah prestasi adalah bukti keberhasilan yang dicapai. Jadi prestasi bisa diartikan sebagai hasil dari berbagai proses dengan membuahkan tujuan yang diharapkan.

Sunarto (1985), mengatakan prestasi belajar adalah kemampuan seseorang dalam menguasai sejumlah program setelah program selesai dan prestasi ini bisa dilambangkan dalam bentuk nilai (angka) sehingga mencerminkan keberhasilan belajar atau prestasi belajar siswa dalam periode tertentu. Oleh karena itu, prestasi belajar siswa dapat dilihat dari nilai raport pada setiap caturwulan. Poerwanto (1986), memberikan definisi prestasi belajar yaitu hasil yang dicapai oleh seseorang dalam usaha belajar sebagaimana yang dinyatakan dalam raport. Demikian juga Utami Munandar (1999), menyatakan bahwa prestasi belajar dapat dinilai dari angka raport.

(23)

Prestasi belajar menurut Nawawi (1981), adalah tingkat keberhasilan siswa mempelajari materi pembelajaran yang dinyatakan dalam bentuk skor yang diperoleh dari hasil tes mengenai sejumlah pembelajaran tertentu.

(24)

angka-angka atau huruf, seperti angka 0-10 pada pendidikan dasar dan menengah dan huruf A, B, C, D pada pendidikan tinggi.

Dari beberapa definisi prestasi belajar di atas, maka penulis dapat simpulkan bahwa prestasi belajar adalah tingkat keberhasilan siswa dalam mempelajari materi pelajaran yang dinyatakan dalam bentuk nilai atau raport setiap bidang studi setelah mengalami proses belajar mengajar yang dilambangkan dengan angka-angka atau huruf-huruf.

2.1.1. Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar

Faktor- faktor yang dapat mempengaruhi prestasi belajar siswa (Gunarsa, 2006) terbagi dua yaitu internal dan eksternal.

1. Dimensi internal a. Kecerdasan

Tidak dapat disangkal bahwa prestasi yang ditampilkan anak di sekolah mempunyai kaitan yang erat dengan tingkat kecerdasan yang relatif lebih tinggi tentu lebih mudah menangkap dan mencerna pelajaran-pelajaran yang diberikan di sekolah daripada anak-anak yang memiliki kecerdasan yang lebih rendah.

b. Kepribadian si anak

(25)

juga tampak kurang ada rasa aman dalam dirinya untuk dapat berprestasi dengan baik.

Dengan demikian, kita melihat bahwa siswa yang memiliki konsep diri yang kurang (negatif) dapat menghambat anak dalam menampilkan prestasi yang diharapkan.

c. Motivasi atau hasrat untuk berprestasi

Kurangnya hasrat untuk berprestasi pada anak dapat disebabkan oleh berbagai hal, antara lain: ketidakpuasan terhadap prestasi yang diperoleh, kurangnya rangsangan dari pihak sekolah ataupun orangtua.

2. Dimensi eksternal A. Lingkungan si anak

Faktor lingkungan ini dapat berupa: 1. Lingkungan sekolah

a. Guru: Tidak jarang kita mendengar bahwa seorang anak menampilkan prestasi yang rendah karena ia tidak senang dengan sikap ataupun tingkah laku gurunya.

(26)

c. Situasi belajar: Lindgren mengemukakan bahwa situasi belajar dapat mempengaruhi prestasi sekolah anak.

A. Lingkungan rumah

Di sini termasuk bagaimana hubungan yang terjalin antara anak dengan orangtuanya ataupun dengan saudara-saudaranya. Bagaimana sikap, perhatian, serta minat orangtua terhadap sekolah. Begitu juga bagaimana status sosial ekonomi orangtua.

B. Sikap masyarakat sekitar terhadap sekolah

Apabila masyarakat di sekitar anak itu tidak menganggap bahwa sekolah adalah merupakan suatu hal yang penting, maka hal ini akan mempengaruhi keinginan anak untuk menampilkan prestasi yang baik di sekolah.

Faktor-faktor tersebut di atas saling berkaitan dalam mempengaruhi prestasi belajar. Oleh karena itu, sering kita jumpai anak-anak yang sebenarnya cerdas tetapi prestasi sekolahnya buruk. Dengan perkataan lain, anak-anak tersebut tidak menampilkan prestasi sesuai dengan potensi yang dimiliki. (Gunarsa, 2006). Karena memiliki konsep diri negatif atau memandang dirinya tidak mampu.

(27)

(Tallent, 1978). Oleh karena itu, Rendahnya prestasi belajar siswa di kelas banyak disebabkan oleh pandangan dan sikap negatif siswa terhadap diri sendiri serta penyesuaian diri yang dimiliki siswa.

Dari faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep diri dan penyesuaian diri mempunyai peranan dalam meningkatkan prestasi belajar siswa.

2.1.2. Pengukuran prestasi belajar (hasil belajar)

Dalam bukunya Nana Syaodih Sukmadinata (2007), yang berjudul “landasan psikologi proses belajar” mengatakan bahwa alat untuk mengukur hasil belajar disebut dengan tes belajar atau tes prestasi belajar atau achievement test. Kemudian Nana (2007), mengemukakan bahwa tes hasil belajar disusun oleh guru-guru untuk setiap mata pelajaran pada setiap semester atau caturwulan minimal dapat disusun satu tes hasil belajar.

Prestasi belajar merupakan hasil dari pengukuran terhadap peserta didik yang meliputi ranah kognitif, afektif dan psikomotor setelah mengikuti proses pembelajaran yang diukur dengan menggunkaan instrumen tes dan non tes. Pelaksanaan pengukuran berlangsung selama proses belajar mengajar sampai pada akhir belajar.

(28)

informasi yang dapat digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan. Tes prestasi belajar berupa tes yang disusun secara terencana untuk mengungkap performasi maksimal subyek dalam menguasai bahan-bahan atau materi yang telah diajarkan. Dalam kegiatan pendidikan formal, tes prestasi belajar dapat berbentuk ulangan.

Prestasi belajar siswa dapat diketahui setelah diadakan evaluasi. Hasil dari evaluasi dapat memperlihatkan tinggi atau rendahnya prestasi belajar siswa. Keberhasilan siswa setelah mengikuti kegiatan belajar di sekolah yang dinyatakan dalam bentuk skor yang diperoleh dengan hasil tes mengenai sejumlah materi pelajaran yang tercantum dalam kurikulum dan akan disampaikan dalam laporan pendidikan berupa raport.

Indikator prestasi belajar sampai saat ini masih menjadi masalah yang paling mendasar dalam sistem pendidikan perlu dievaluasi secara terus menerus dalam waktu yang teratur. Dalam skripsi ini indikator disimpulkan dalam bentuk raport. Raport diberikan kepada siswa setiap akhir semester. Dalam raport dijelaskan hasil nilai belajar siswa dari semua mata pelajaran yang telah diterima. Baik nilai harian maupun nilai ulangan-ulangan semester/THB semua hasil belajar tersebut tertuang dalam bentuk nilai dan tertulis di buku raport tersebut. Jadi raport harus dimiliki oleh setiap siswa.

(29)

1. Tes Formatif

Dari arti kata form yang merupakan dasar dari istilah formatif. Tes formatif dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana siswa telah terbentuk setelah mengikuti sesuatu program tertentu. Dalam kedudukannya seperti ini tes formatif dapat juga dipandang sebagai tes diagnostik pada akhir pelajaran. Tes ini adalah diberikan pada akhir setiap program. Dalam pengalaman sekolah, tes formatif dapat disamakan dengan ulangan harian (Suharsimi Arikunto, 2005).

2. Tes Sumatif

Tes sumatif adalah tes yang dilaksanakan setelah berakhirnya pemberian sekelompok program atau sebuah program yang lebih besar. Dalam pengalaman sekolah, tes sumatif dapat disamakan dengan ulangan umum yang biasanya dilaksanakan pada tiap akhir caturwulan atau akhir semester (Suharsimi Arikunto, 2005).

Menentukan batas minimum keberhasilan belajar siswa selalu berkaitan dengan pengungkapan hasil belajar. Ada beberpa alternatif norma pengukuran tingkat keberhasilan siswa setelah mengikuti proses belajar mengajar, diantaranya yaitu:

a. Norma skala angka 1-10 b. Norma skala angka 1-100

(30)

Banyak cara untuk menentukan prestasi belajar, diantaranya yaitu dengan evaluasi dari guru. Setelah siswa melakukan proses belajar secara rutin, maka untuk mengetahui apakah hasil belajar yang dilakukan oleh siswa tersebut berhasil atau tidak maka guru melakukan evaluasi dengan berbagai cara di antarnya:

1. Tes lisan 2. Tulisan

3. Pilihan ganda, dan 4. Esai

Prestasi belajar siswa yang digunakan di SMA Negeri 1 Tangsel diperoleh dari data primer berupa laporan hasil ujian semester (Nilai Raport) siswa/i SMAN 1 Tangsel pada semester genap tahun pelajaran 2010/2011 yang mencerminkan hasil belajar, kepribadian, prakarsa atau inisiatif, bertanya dan disiplin.

2.2. SelfConcept (Konsep Diri)

2.2.1 Definisi self concept (konsep diri)

Self concept adalah evaluasi individu mengenai diri sendiri; penilaian atau penaksiran mengenai diri sendiri oleh individu yang bersangkutan (Chaplin, 2006).

(31)

pandangan dan keyakinan individu dalam memandang dirinya akan tampak dalam setiap tingkah lakunya. Menurut Slameto (2010), konsep diri merupakan suatu kepercayaan mengenai keadaan diri sendiri yang relatif sulit diubah. Konsep diri tumbuh dan interaksi seseorang dengan orang-orang lain yang berpengaruh dalam kehidupannya.

Perkins (1958), menyatakan bahwa konsep diri adalah semua persepsi, kepercayaan, perilaku dan nilai-nilai yang digunakan diri seseorang untuk mendeskripsikan dirinya sendiri, dan konsep diri seorang anak berubah seiring dengan cara pandang dirinya pada suatu periode waktu. Sementara itu, Calhoun dan Acocella (1995), mendefinisikan konsep diri sebagai gambaran mental diri seseorang.

(32)

dan dengan demikian kehilangan kesempatan yang dapat mengubah gambaran diri negatif. (Amaryllia Puspasari, 2004).

Fitts (1971), mengatakan persepsi terhadap diri sendiri merupakan aspek yang sangat penting yaitu diri sebagaimana dilihat, dihayati dan dialami. Inilah yang disebut sebagai konsep diri seseorang. Jadi konsep diri seseorang merupakan persepsi seseorang terhadap dirinya secara menyeluruh. Fitts juga mengatakan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk menilai dirinya sendiri sebagaimana ia lakukan terhadap hal-hal lain. Dengan kemampuan ini ia dapat mengatakan bahwa dirinya pintar atau tidak, berharga atau tidak, dan sebagainya.

Jika manusia mempersepsikan dirinya, bereaksi terhadap dirinya, memberi arti dan penilaian serta membentuk abstraksi pada dirinya sendiri, hal ini menunjukkan suatu kesadaran diri dan kemampuan untuk keluar dari dirinya untuk melihat dirinya sebagaimana ia lakukan terhadap objek-objek lain. Diri yang dilihat, dihayati, dialami. Ini disebut sebagai konsep diri (Fitts, 1971). Konsep diri adalah struktur mental atau totalitas dari pikiran, perasaan dalam hubungan dengan diri sendiri (Rosenberg, 1965).

Konsep diri (self concept) adalah pandangan keseluruhan yang dimiliki individu tentang dirinya sendiri dan terdiri dari kepercayaan, evaluasi, dan kecenderungan berperilaku (Burns, 1993). Konsep diri juga merupakan pandangan dan sikap individu terhadap kesadaran dirinya (Pudjijogyanti, 1988).

(33)

2.2.2Perkembangan dan proses pembentukan self concept

Tidak dapat disangkal bahwa konsep diri mempunyai peranan penting dalam menentukan perilaku individu. Tetapi dalam perkembangan dan pembentukannya konsep diri dipelajari dan terbentuk dari pengalaman individu dalam hubungannya dengan individu lain yang berarti bagi individu tersebut (significant others), karena konsep diri bukan merupakan faktor yang dibawa sejak lahir. Dengan demikian perlu dijelaskan perkembangan dan pembentukan konsep diri individu mulai dari bayi hingga konsep diri menetap pada masa remaja.

Para ahli sependapat bahwa konsep diri bukan bawaan sejak lahir. Seorang anak ketika lahir belumlah menyadari dirinya dan lingkungannya. Hal ini ditekankan oleh beberapa ahli, salah satunya adalah Allport menyatakan: “....the infent is not aware of himself as a self” (Hall & Lindzey, 1985).

Menurut Allport, bayi yang baru lahir merupakan ciptaan hereditas dan bertingkah laku hanya berdasarkan refleks dan dorongan primitif. Bayi belum menyadari dirinya sebagai self. Namun sesudah masa kelahiran tersebut bayi mulai belajar secara perlahan-lahan melalui pengalaman dengan tubuh dan lingkungannya, dan mulai berkembangan kesadaran tentang dirinya yang timbul seiring dengan meningkatnya kemampuan persepsi.

(34)

Pada masa kanak-kanak (2-6 tahun), keluarga memegang peranan penting dalam mengembangkan konsep diri anak karena keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yang dikenal oleh seorang anak. Melalui keluarga anak mengalami proses sosialisasi primer (Hoffman & Hall, 1994), dan anak mengembangakan aspek kesadaran diri (self awareness) serta berkembangnya self image yang ditandai dengan cita-cita anak (Allport dalam Hall & Lindzey, 1985).

Pada akhir masa kanak-kanak (6 tahun-pubertas) lingkungan sosial anak semakin meluas yang berarti pengaruh sosial di luar keluarga terhadap anak semakin besar. Dalam hubungnnya dengan lingkungan di luar rumah, anak menemukan tuntutan baru dan membingungkan dari kelompok yang berbeda dengan orangtuanya (Allport dalam Hall & Lindzey, 1985). Pengaruh teman sebaya dan reference group mulai memegang peranan penting dalam pembentukan konsep diri anak. Anak semakin mengidentifikasi diri dengan kelompok usianya dan mengadopsi tingkah laku peer group-nya. Namun demikian, hubungan keluarga masih sangat mempengaruhi perkembangan kepribadiannya.

(35)

Menignjak usia remaja, dalam memandang lebih detail dari anak-anak. Anak-anak biasanya hanya mempunyai penerimaan atau pandangan yang sempit tentang diri mereka seperti apakah saya?. Apakah saya baik atau buruk. Sedangkan remaja memiliki kepekaan yang lebih jauh tentang diri mereka (Jersild, 1978), seperti saya baik hampir di setiap waktu, saat ayah saya tidak mengizinkan saya memiliki mobil, dan ketika saya harus belajar untuk ujian biologi (Hart, Maloney dan Demon, 1987).

Pada masa remaja, anak tumbuh menjadi individu yang sadar akan dirinya sendiri dan melakukan introspeksi terhadap dirinya. Dari sinilah mereka kemudian mulai memandang dirinya dengan lebih realistik dan spesifik. Ini menandakan bahwa pada masa remaja, anak mulai membentuk dan memiliki konsep diri yang akurat daripada masa-masa sebelumnya (Rice, 1990).

(36)

Jadi, walaupun konsep diri mengalami proses perkembangan namun pada masa-masa tertentu yaitu pada masa remaja akhir, konsep diri seseorang relatif sudah menetap dan stabil.

Pada masa anak-anak konsep diri yang dimiliki seseorang biasanya berlainan dengan konsep diri yang dimiliki ketika memasuki usia remajanya. Konsep diri seorang anak masih bersifat tidak realistis, hanya didasarkan atas imajinasi-imajinasi tertentu dalam dirinya.

Tetapi apabila perkembangan seorang anak tergolong normal, maka konsep diri yang lama berganti dengan konsep diri yang baru dan sejalan dengan berbagai penemuan-penemuan ataupun pengalaman-pengalaman yang ia peroleh pada usia-usia selanjutnya. Jadi, konsep diri yang tidak realistis berubah menjadi konsep diri yang lebih realistis.

Menurut Gunarsa (2006), konsep diri tersusun atas tahapan-tahapan, yaitu: a) Konsep diri primer

(37)

b) Konsep diri sekunder

Konsep diri sekunder terbentuk banyak ditentukan oleh bagaimana konsep diri primernya. Ketika seseorang memasuki jenjang keremajaannya, maka ia mengalami begitu banyak perubahan dalam dirinya. Sikap-sikap atau tingkahlaku yang ditampilkannya juga akan mengalami perubahan-perubahan (Gunarsa, 2006). Oleh karena itu, dapat dimengerti bahwa konsep diri pada seorang remaja cenderung tidak konsisten. Menurut Gunarsa (2006), melalui cara ini, si remaja mengalami suatu perkembangan konsep diri sampai akhirnya ia memiliki suatu konsep diri yang konsisten yaitu pada masa remaja akhir.

2.2.3 Konsep diri positif dan konsep diri negatif

Berdasarkan perkembangan konsep diri yang telah dijelaskan dapat terlihat bahwa konsep diri terbentuk karena hasil interaksi individu dengan lingkungannya, terutama hubungan dengan orang lain (Zurcher & Deux, et.al, 1977, 1982). Dalam pembentukannya konsep diri melalui interaksi sosial, hal yang terpenting bahwa hubungan interpersonal akan mempengaruhi konsep diri yang dominan yaitu hubungan dengan “significant others” sehingga dapat terbentuk konsep diri positif atau konsep diri negatif pada setiap individu.

b. Konsep diri positif

(38)

dapat mengembangkan diri secara optimal sesuai dengan bakat dan kemampuannya, dan akan merasa puas dengan diri dan hidupnya.

Montana (2001), memberikan ciri-ciri tingkah laku individu yang mempunyai konsep diri positif yaitu:

1. Bercita-cita menjadi pemimpin (menginginkan kepemimpinan). 2. Mau menerima kritikan yang bersifat membangun.

3. Mau mengambil resiko secara lebih sering. 4. Bersifat mandiri terhadap orang lain.

5. Yakin bahwa keberhasilan dan kegagalan tergantung pada usaha, tindakan dan kemampuan yang dimiliki.

6. Bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukannya.

7. Percaya bahwa ia mempunyai kontrol dan pengaruh terhadap peristiwa atau kejadian dalam kehidupannya.

8. Menerima tanggung jawab atas tindakannya sendiri.

9. Sabar menghadapi kegagalan atau frustasi, tahu bagaimana cara menangani kerugian secara positif.

10.Dapat menangani pekerjaan yang ambisius.

11.Merasa mampu menangani atau mempengaruhi lingkungannya dan bangga terhadap perilaku dan tindakannya.

12.Menangani persoalan dengan keyakinan dan kepercayaan.

(39)

berbagai pengalaman dan situasi, merasa dapat menyelesaikan tugas dengan baik dan memandang keberhasilan yang diperoleh merupakan hasil dari usahanya dan karena kemampuan yang dimilikinya serta menerima kritikan sebagai hal yang membangun sehingga ia dapat meraih prestasi yang tinggi.

c. Konsep diri negatif

Selain konsep diri positif, individu dapat membentuk konsep diri negatif. Montana (2001), memberikan ciri tingkah laku individu yang mempunyai konsep diri negatif. Individu yang mempunyai konsep diri negatif mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

1. Menghindari peran-peran kepemimpinan.

2. Menghindari kritikan dan tidak mau mengambil resiko.

3. Tidak mempunyai atau kurang mempunyai kemampuan untuk bertahan terhadap tekanan.

4. Kurang memiliki motivasi belajar, bekerja dan umumnya mereka mempunyai kesehatan emosi dan psikologis kurang baik.

5. Mudah terpengaruh pada penyalahgunaan obat-obatan terlarang, hamil di luar nikah, keluar dari sekolah atau terlibat kejahatan.

6. Lebih merasa perlu untuk dicintai dan diperhatikan sehingga mereka lebih mudah untuk dipengaruhi oleh orang lain.

(40)

keperluan untuk menyenangkan orang lain dapat menimbulkan masalah bagi mereka.

8. Ia mudah frustasi, menyalahkan orang lain atas kekurangannya.

9. Menghindar dari keadaan-keadaan sulit untuk tidak “gagal” dan bergantung pada orang lain.

Dari ciri-ciri tingkah laku individu yang menggambarkan konsep diri negatif, dapat diambil kesimpulan bahwa anak yang mengembangkan konsep diri negatif mempunyai kesulitan dalam menerima dirinya sendiri, bahkan sering menolak dirinya, merasa tidak dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik, dan menganggap keberhasilan yang diperoleh bukan karena hasil usahanya dan karena kemampuannya.

2.2.4Karakteristik konsep diri remaja (SMP-SMA)

Ketika anak-anak memasuki masa remaja, konsep diri mereka mengalami perkembangan yang sangat kompleks dan melibatkan sejumlah aspek dalam diri mereka. Santrock (1998), menyebutkan sejumlah karakteristik penting perkembangan konsep diri pada masa remaja, yaitu:

a) Abstrac and idealistic

(41)

b) Differentiated

Dibandingkan dengan anak yang lebih muda, remaja lebih mungkin untuk menggambarkan dirinya sesuai dengan konteks atau situasi yang semakin terdiferensiasi. singkatnya, dibandingkan dengan anak-anak, remaja lebih mungkin memahami bahwa dirinya memiliki diri-diri yang berbeda-beda (differentiated selves), sesuai dengan peran atau konteks tertentu.

c) Contradictions within the self

Setelah remaja mendeferensiasikan dirinya ke dalam sejumlah peran dan dalam konteks yang berbeda-beda, maka muncullah kontradiksi antara diri-diri yang terdiferensiasi ini.

d) The fluctiating self

Seorang peneliti menjelaskan sifat fluktuasi dari diri remaja tersebut dengan metafora “the barometric self” (diri barometrik). Diri remaja akan terus memiliki ciri ketidakstabilan hingga masa di mana remaja berhasil membentuk teori mengenai dirinya yang lebih utuh, dan biasanya tidak terjadi hingga masa remaja akhir bahkan hingga masa dewasa awal.

e) Real and ideal, true and false selves

(42)

f) Social comparison

Sejumlah ahli perkembangan percaya bahwa, dibandingkan dengan anak-anak, remaja lebih sering menggunakan social comparison (perbandingan sosial) untuk mengevaluasi diri mereka sendiri

g) Self-conscious

Karakteristik lain dari konsep diri remaja adalah bahwa remaja lebih sadar akan dirinya (self-conscious) dibandingkan dengan anak-anak dan lebih memikirkan tentang pemahaman diri mereka.

h) Self-protective

Mekanisme untuk mempertahankan diri merupakan salah satu aspek dari konsep diri remaja. Meskipun remaja sering menunjukkan adanya kebingungan dan konflik yang muncul akibat adanya usaha-usaha introspeksi untuk memahami dirinya, remaja ternyata juga memiliki mekanisme untuk melindungi dan mengembangkan dirinya.

i) Unconcious

Konsep diri remaja melibatkan adanya pengenalan bahwa komponen yang tidak disadari termasuk dalam dirinya, sama seperti komponen yang disadari.

j) Self-integration

(43)

Dari karakteristik konsep diri remaja SMP-SMA di atas, dapat disimpulkan bahwa pada awal masa remaja, remaja membuat gambaran tentang dirinya dengan kata-kata yang abstrak dan idealistik, remaja berusaha menggambarkan dirinya menggunakan sejumlah karakteristik dalam hubungan dengan teman sebaya, bahkan dalam hubungan dengan lawan jenisnya. Konsep diri remaja terus berubah hingga pada saat remaja akhir konsep diri mulai menetap dan stabil, remaja mulai mampu membedakan diri yang nyata dan diri yang ideal, serta remaja memiliki mekanisme untuk melindungi dan mengembangkan dirinya. Selain itu, pada masa remaja akhir konsep diri mulai terintegrasi.

2.2.5 Dimensi-dimensi self concept

Fitts (1971), melihat bahwa pengamatan seseorang terhadap dirinya dapat dilihat dari dua dimensi, yaitu dimensi internal dan dimensi eksternal.

1) Dimensi Internal

Pada dimensi internal, individu melihat dirinya sebagai suatu kesatuan unik dan dinamis ketika ia melakukan pengamatan dan penilaian terhadap identitas dirinya, tingkah lakunya dan kepuasan dirinya. Berdasarkan dimensi internal, Fitts melihat ada 3 bagian dari diri yaitu identitas diri, diri sebagai pelaku dan diri sebagai penilai.

(44)

bertumbuh dan meluasnya kemampuan seseorang dalam segala bidang. Diri identitas ini adalah aspek yang paling mendasar dari konsep diri. b. Diri pelaku (The behavioral self), yaitu pandangan individu terhadap

tingkah lakunya atau caranya bertindak. Dalam melakukan sesuatu seseorang didorong oleh stimulus eksternal dan internal. Konsekuensi dari tingkah laku dipertahankan atau tidak suatu tingkah laku. Di samping itu juga menentukan apakah suatu tingkah laku akan diabstraksikan, disimbolisasikan, dan digabungkan dalam diri identitas.

c. Diri penilai (The judging self), manusia cenderung menilai sejauh mana hal-hal yang dipersepsikan memuaskan dirinya. Interaksi antara diri identitas, diri pelaku dan intergrasi dari dalam keseluruhan konsep diri meliputi bagian diri yang ketiga yaitu diri sebagai penilai. Diri penilai berfungsi sebagai pengamat, penentu standar, penghayal, pembanding, dan terutama sebagai penilai diri. Di samping fungsinya sebagai mediator yang menghubungkan kedua diri sebelumnya.

2) Dimensi Eksternal

Pengamatan diri dimensi eksternal timbul dalam pertemuan dengan dunia luar, secara khusus hubungan interpersonal. Ada lima bagian diri yang tercakup dalam dimensi eksternal, yaitu diri fisik, diri personal, diri sosial, diri etika moral dan diri keluarga.

(45)

yang positif terhadap kondisi fisiknya, penampilannya, kondisi kesehatannya, kulitnya, tampan atau cantiknya, serta ukuran tubuh yang ideal. Dianggap sebagai Konsep diri yang negatif apabila ia memandang rendah atau memandang sebelah mata kondisi yang melekat pada fisiknya, penampilannya, kondisi kesehatannya, kulitnya, tampan atau cantiknya, serta ukuran tubuh yang ideal.

b. Diri personal, yaitu cara seseorang dalam menilai kemampuan yang ada pada dirinya dan menggambarkan identitas dirinya. Konsep diri seseorang dapat dianggap positif apabila ia memandang dirinya sebagai pribadi yang penuh kebahagiaan, memiliki optimisme dalam menjalani hidup, mampu mengontrol diri sendiri, dan sarat akan potensi. Dapat dianggap sebagai konsep diri yang negatif apabila ia memandang dirinya sebagai individu yang tidak pernah (jarang) merasakan kebahagiaan, pesimis dalam menjalani kehidupan, kurang memiliki kontrol terhadap dirinya sendiri, dan potensi diri yang tidak ditumbuhkembangkan secara optimal.

(46)

lingkungannya. Dapat dianggap sebagai konsep diri yang negatif apabila ia merasa tidak berminat dengan keberadaan orang lain, acuh tak acuh, tidak memiliki empati pada orang lain, tidak (kurang) ramah, kurang peduli terhadap perasaan dan nasib orang lain, dan jarang atau bahkan tidak pernah melibatkan diri dalam aktivitas-aktivitas sosial.

d. Diri etika moral, berkaitan dengan persepsi, pikiran, perasaan, serta penilaian seseorang terhadap moralitas dirinya terkait dengan relasi personalnya dengan Tuhan, dan segala hal yang bersifat normatif, baik nilai maupun prinsip yang memberi arti dan arah bagi kehidupan seseorang. Konsep diri seseorang dapat dianggap positif apabila ia mampu memandang untuk kemudian mengarahkan dirinya untuk menjadi pribadi yang percaya dan berpegang teguh pada nilai-nilai moral etik, baik yang dikandung oleh agama yang dianutnya, maupun oleh tatanan atau norma sosial tempat di mana dia tinggal. Sebaliknya, konsep diri individu dapat dikategorikan sebagai konsep diri yang negatif bila ia menyimpang dan tidak mengindahkan nilai-nilai moral etika yang berlaku baik nilai-nilai agama maupun tatanan sosial yang seharusnya dia patuhi.

(47)

bantuan serta dukungan dari keluarganya. Dianggap negatif apabila ia merasa tidak mencintai sekaligus tidak dicintai oleh keluarganya, tidak merasa bahagia berada di tengah-tengah keluarganya, tidak memiliki kebanggaan pada keluarganya, serta tidak banyak memperoleh bantuan dari keluarganya.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam setiap konsep diri individu terdapat dua dimensi yang mempengaruhi konsep diri dan saling berhubungan dalam membentuk suatu kepribadian yang akhirnya mempengaruhi perilaku dan performa individu dalam kelas atau interaksi siswa terhadap lingkungannya.

2.2.6Implikasi perkembangan self concept diri peserta didik terhadap pendidikan

(48)

Dalam mengembangkan konsep diri yang positif, siswa perlu mendapat dukungan dari guru. Dukungan guru ini dapat ditunjukkan dalam bentuk dukungan emosional (emotional support), seperti ungkapan empati, kepedulian, perhatian, dan umpan balik, dan dapat pula berupa dukungan penghargaan (esteem support), seperti melalui ungkapan hormat (penghargaan) positif terhadap siswa, dorongan untuk maju atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan siswa dan perbandingan positif antara satu siswa dengan siswa lain. Bentuk dukungan ini memungkinkan siswa untuk membangun perasaan memiliki harga diri, memiliki kemampuan atau kompeten dan berarti. 2. Membuat siswa merasa bertanggung jawab.

Memberi kesempatan kepada siswa untuk membuat keputusan sendiri atas perilakunya dapat diartikan sebagai upaya guru untuk memberi tanggung jawab kepada siswa.

3. Membuat siswa merasa mampu.

Membuat siswa merasa mampu dapat dilakukan dengan cara menunjukkan sikap dan pandangan yang positif terhadap kemampuan yang dimiliki siswa. Guru harus berpandangan bahwa semua siswa pada dasarnya memiliki kemampuan, hanya saja mungkin belum dikembangkan. Dengan sikap dan pandangan positif terhadap kemampuan siswa ini, maka siswa juga akan berpandangan positif terhadap kemampuan dirinya.

(49)

Dalam upaya meningkatkan konsep diri siswa, guru harus membentuk siswa untuk menetapkan tujuan yang hendak dicapai serealistis mungkin, yakni tujuan yang realistis ini dapat dilakukan dengan mengacu pada pencapaian prestasi di masa lampau.

5. Membantu siswa menilai diri mereka secara realistis.

Pada saat mengalami kegagalan, adakalanya siswa menilainya secara negatif, dengan memandang dirinya sebagai orang yang tidak mampu. Untuk menghindari penilaian yang negatif dari siswa tersebut, guru perlu membantu siswa menilai prestasi mereka secara reaslistis, yang membantu rasa percaya akan kemampuan mereka dalam menghadapi tugas-tugas sekolah dan meningkatkan prestasi belajar dikemudian hari.

6. Mendorong siswa agar bangga dengan diriya secara realistis.

Upaya lain yang harus dilakukan guru dalam membantu mengembangkan konsep diri peserta didik adalah dengan memberikan dorongan kepada siswa agar bangga dengan prestasi yang dicapai merupakan salah satu kunci untuk menjadi lebih positif dalam memandang kemampuan yang dimiliki.

(50)

2.3 Adjustment (Penyesuaian Diri)

2.3.1. Definisi adjustment (penyesuaian diri)

Individu adalah makhluk yang unik dan dinamik, tumbuh dan berkembang, serta memiliki keragaman kebutuhan, baik dalam jenis, tataran (level), maupun intensitasnya. Keragamana cara individu dalam memenuhi kebutuhannya menunjukkan adanya keragaman pola penyesuaian diri individu. Bagaimana individu memenuhi kebutuhannya akan menggambarkan pola penyesuaian dirinya. Proses pemenuhan kebutuhan ini pada hakikatnya merupakan proses penyesuaian diri. Dalam hal ini Mustafa Fahmi (1977), menulis:

”Pengertian luas tentang proses penyesuaian terbentuk sesuai dengan hubungan individu dengan lingkungan sosialnya, yang dituntut dari inidividu tidak hanya mengubah kelakuannya dalam menghadapi kebutuhan-kebutuhan dirinya dari dalam dan keadaan di luar, dalam lingkungan di mana dia hidup, akan tetapi juga dituntut untuk menyesuaikan diri dengan adanya orang lain dan macam-macam kegiatan mereka.... jika mereka ingin penyesuaian, maka hal itu menuntut adanya penyesuaian antara keinginan masing-masingnya dengan suasana lingkungan sosial tempat mereka berada.”

(51)

Penyesuaian diri mencakup belajar untuk menghadapi keadaan baru melalui perubahan dalam tindakan atau sikap. Sepanjang hidupnya individu akan mengadakan perubahan perilaku, karena memang dia dihadapakan pada kenyataan dirinya dan lingkungannya yang terus berubah. Ini berarti bahwa ”adjustmnet is a lifelong proccess, and people must continue to meet and deal with the stresses and challenges of life in order to achieve a healthy personality” (Derlega & Janda, 1978).

Menurut Desmita (2009), Adjustment (penyesuaian diri) merupakan suatu konsturk psikologis yang luas dan kompleks, serta melibatkan semua reaksi individu terhadap tuntutan baik lingkungan dari luar maupun dari dalam diri individu itu sendiri. Menurut Grasha dan Kirschenbaum (1980), ”adjustment is concerned with matching our current abilities to the demands of living.” penyesuaian diri merupakan usaha mencocokkan antara kemampuan yang ada dengan tuntutan hidup. Sedangkan menurut Lazarus (1976), ”adjustment consists of the psychological processes by means of which the individual managers or copes with various demands or pressures.” penyesuaian diri terdiri dari proses-proses psikologis individu yang berusaha untuk mengatasi berbagai tuntutan atau tekanan.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri: a. Merupakan tingkah laku

b. Terdiri dari proses psikologis

(52)

Schneiders (1964), juga menyebut penyesuaian diri (adjustment) sebagai: ”A process involving both mental and behavioral responsses, by which an individual strives to cope succesfully with inner needs, tensions, frustations and conflicts, and to effect a degree of harmony between these inner demands and those impossed on him by the objective world in which he lives.”

Jadi, penyesuaian diri (adjustment) pada prinsipnya adalah suatu proses yang mencakup respon mental dan tingkah laku, dengan mana individu berusaha untuk dapat berhasil mengatasi kebutuhan-kebutuhan dalam dirinya, ketegangan-ketegangan konflik-konflik dan frustasi yang dialaminya, sehingga terwujud tingkat keselarasan atau harmoni antara tuntutan dari dalam diri dengan apa yang diharapkan oleh lingkungan di mana ia tinggal.

(53)

Menurut Heber dan Runyon (1984), penyesuaian diri yang baik adalah bila seseorang dapat menerima keterbatasan yang tidak dapat diubah, namun ia tetap berusaha memodifikasi keterbatasan itu semaksimal mungkin. Sedangkan penyesuaian diri yang buruk adalah yang menerima kenyataan secara pasif dan tidak memiliki usaha apapun untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.

Dengan demikian, orang yang dipandang mempunyai penyesuaian diri yang baik adalah individu yang telah belajar bereaksi terhadap dirinya dan lingkungannya dengan cara-cara yang matang, efisien, memuaskan dan sehat, serta dapat mengatasi konflik mental, frustasi, kesulitan pribadi dan sosial sehingga siswa mampu mewujudkan tingkat keselarasan atau harmoni antara tuntutan dari dalam diri dengan tuntutan lingkungan sekolah baik dengan para guru maupun dengan teman-teman di sekolah.

Menurut Bernand (1982), terdapat tiga masalah yang berhubungan dengan penyesuaian diri di sekolah, yaitu penyesuaian diri dengan kelompok teman sebaya (peer group), penyesuaian diri dengan para guru, dan penyesuaian diri dalam hubungan dengan orangtua, guru dan murid (Mappiare, 1982).

Pertama, penyesuaian diri dengan kelompok teman sebaya muncul akibat adanya keinginan bergaul dengan teman sebaya. Menurut Hurlock (1980), bahwa penyesuaian diri dengan teman sebaya merupakan hal utama yang dihadapi remaja.

(54)

orangtua, ingin mendapatkan orang dewasa lain yang dapat dijadikannya sahabat dan sebagai pembimbing.

Ketiga, penyesuaian diri dalam hubungan dengan orangtua, guru dan murid. Kebutuhan ini dilatar belakangi antara lain, remaja ingin berkembang tanpa bergantung pada orangtua, ingin diakui sebagai individu yang mempunyai hak-hak sendiri, dan orang yang mampu memecahkan persoalannya sendiri.

2.3.2 Aspek-aspek penyesuaian diri

Penyesuaian diri dapat dilihat dari empat aspek kepribadian, yaitu: kematangan emosional, kematangan intelektual, kematangan sosial, dan tanggung jawab (Desmita, 2009).

1. Kematangan emosional mencakup aspek-aspek: a. Kemantapan suasana kehidupan emosional

b. Kemantapan suasana kehidupan kebersamaan dengan orang lain. c. Kemantapan untuk santai, gembira dan menyatakan kejengkelan d. Sikap dan perasaan terhadap kemampuan dan kenyataan diri sendiri.

2. Kematangan intelektual mencakup aspek-aspek: a. Kemampuan mencapai wawasan diri sendiri

b. Kemampuan memahami orang lain dan keragamannya c. Kemampuan mengambil keputusan

(55)

3. Kematangan sosial mencakup aspek-aspek: a. Keterlibatan dalam partisipasi sosial b. Kesediaan kerjasama

c. Kemampuan kepemimpinan d. Sikap toleransi

e. Keakraban dalam pergaulan.

4. Tanggung jawab mencakup aspek-aspek: a. Sikap produktif dalam mengembangkan diri

b. Melakukan perencanaan dan melaksanakannya secara fleksibel c. Sikap altruisme, empati, bersahabat dalam hubungan interpersonal d. Kesadaran akan etika dan hidup jujur

e. Melihat perilaku dari segi konsekuensi atas dasar sistem nilai. f. Kemampuan bertindak independen.

2.3.3Karakteristik penyesuaian diri remaja

Menurut Haber dan Runyon (1984), ada lima karakteristik individu yang dapat menyesuaikan diri dengan baik, yaitu:

1. Memiliki persepsi yang akurat terhadap realitas

(56)

2. Mampu mengatasi atau menangani stres dan kecemasan

Kecemasan, stres, dan rasa tidak bahagia sering mengganggu kehidupan, karena untuk menyesuaikan diri, individu cenderung untuk membandingkan antara tuntutan lingkungan yang dihadapi dengan kemampuan yang dimiliki. Perbandingan-perbandingan ini membuat individu menetapkan suatu target dan sering bersifat muluk. Bila target ini tercapai, maka biasanya individu akan puas, dan bila tidak tercapai maka individu akan kecewa dan cemas.

Penyesuaian diri yang efektif tercapai bila siswa mampu mengatasi kecemasan dan stres yang dihadapinya, yaitu dengan cara membuat tujuan hidup yang realistis atau dengan cara membuat tujuan-tujuan jangka pendek yang lebih mudah dicapai, sehingga timbul perasaan puas dan bahagia.

3. Memiliki citra diri (self image) yang positif

Psikolog sepakat bahwa persepsi diri seseorang itu merupakan indikator dan kualitas penyesuaian dirinya. Siswa kelas XI SMA dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan secara efektif bila ia dapat memandang atau menilai dirinya secara positif dan sesuai dengan kenyataan yang ada.

4. Mampu mengekspresikan perasaan

(57)

hati-hati dalam mengekspresikannya agar jangan sampai menyakiti orang lain, baik secara fisik maupun psikis. Oleh sebab itu, untuk mengekspresikan emosi perlu dipikirkan terlebih dahulu cara yang sebaik-baiknya sebelum bertindak.

5. Memiliki hubungan interpersonal yang baik

Selain mampu mengekspresikan emosi dan perasaannya, siswa juga harus memiliki penyesuaian diri yang baik, mampu mencapai tingkat keakraban (intimacy) dalam hubungan sosialnya. Mereka biasanya kompeten dan disukai oleh orang lain. Begitu juga seabliknya, mereka suka untuk menghormati dan menyukai orang lain. Mereka senang membuat orang lain nyaman akan kehadirannya dan menyadari bahwa dalam hubungan baik, ada saat suka maupun duka.

Selain karakteristik penyesuaian diri remaja di atas, Schneiders (1964), juga mengemukakan karakteristik penyesuaian diri (adjustment) yang baik yaitu:

a. Tidak terdapat emosionalitas yang berlebihan (absence of excessive emotionality).

Karakteristik pertama menekankan adanya kontrol dan ketenangan emosi

individu yang memungkinkannya untuk menghadapi permasalahan secara

inteligen dan dapat menentukan berbagai kemungkinan pemecahan masalah

ketika muncul hambatan. Bukan berarti tidak ada emosi sama sekali, tetapi

(58)

b. Tidak terdapat mekanisme psikologis (absence of psychological mechanisms)

Menjelaskan pendekatan terhadap permasalahan yang lebih mengindikasikan

respon yang normal dari pada penyelesaian masalah yang memutar melalui

serangkaian mekanisme pertahanan diri yang disertai tindakan nyata untuk

mengubah suatu kondisi. Individu dikategorikan memiliki penyesuaian diri

yang baik jika bersedia mengakui kegagalan yang dialami dan berusaha

kembali untuk mencapai tujuan yang ditetapkan.

c. Tidak terdapat perasaan frustasi pribadi (absence of the sense of personal frustration)

Individu yang mengalami frustrasi ditandai dengan perasaan tidak berdaya

dan tanpa harapan, maka akan sulit bagi individu untuk mengorganisir

kemampuan berpikir, perasaan, motivasi dan tingkah laku dalam menghadapi

situasi yang menuntut penyelesaian.

d. Pertimbangan rasional dan pengarahan diri (rational deliberation and self direction)

Individu memiliki kemampuan berpikir dan melakukan pertimbangan

terhadap masalah atau konflik serta kemampuan mengorganisasi pikiran,

tingkah laku dan perasaan untuk memecahkan masalah, dalam kondisi sulit

sekalipun menunjukkan penyesuaian yang normal. Individu tidak mampu

melakukan penyesuaian diri yang baik apabila individu dikuasai oleh emosi

(59)

e. Kemampuan untuk belajar (ability to learn)

Penyesuaian diri yang baik akan ditunjukkan oleh individu di mana proses

belajar berkesinambungan dari perkembangan individu sebagai hasil dari

kemampuannya mengatasi situasi konflik dan stres.

f. Pemanfaatan pengalaman (utilization of past experience)

Individu dapat menggunakan pengalamannya maupun pengalaman orang lain

melalui proses belajar. Individu dapat melakukan analisis mengenai faktor-

faktor apa saja yang dapat membantu dan mengganggu penyesuaian dirinya.

g. Sikap-sikap yang realistis dan objektif (realistic and objective attitude).

Sikap yang realistik dan objektif bersumber pada pemikiran yang rasional,

kemampuan menilai situasi, masalah dan keterbatasan individu sesuai dengan

kenyataan sebenarnya.

Dari uraian karakteristik penyesuaian diri di atas, dapat disimpulkan bahwa siswa yang memiliki karakteristik penyesuaian diri yang positif adalah siswa yang memiliki pertimbangan rasional dan mengarahkan diri untuk belajar dan bersikap realistis dan objektif terhadap tuntutan dari dalam diri begitupun terhadap tuntutan lingkungan sekitar sehingga mereka mampu berprestasi dengan baik.

2.3.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri

(60)

khusus ini lebih banyak berkaitan dengan latar belakang kehidupan keluarga, terutama menyangkut aspek-aspek:

1. Hubungan orangtua-anak, yang merujuk pada iklim hubungan sosial dalam keluarga, apakah hubungan tersebut bersifat demokratis atau otoriter yang mencakup:

a. Penerimaan-penolakan orangtua terhadap anak

b. Perlindungan dan kebebasan yang diberikan kepada anak c. Sikap dominatif-integratif (permisif atau sharing)

d. Pengembangan sikap mandiri-ketergantungan.

2. Iklim intelektual keluarga, yang merujuk pada sejauhmana iklim keluarga memberikan kemudahan bagi perkembangan intelektual anak, pengembangan berpikir logis atau irrasional, yang mencakup:

a. Kesempatan untuk berdialog logis, tukar pendapat dan gagasan b. Kegemaran membaca dan minat kultural

c. Pengembangan kemampuan memecahkan masalah d. Pengembangan hobi

e. Perhatian orangtua terhadap kegiatan belajar anak.

3. Iklim emosional keluarga, yang merujuk pada sejauhmana stabilitas hubungan dan komunikasi di dalam keluarga terjadi, yang mencakup:

(61)

Sementara itu, dilihat dari konsep sosiopsikogenik, penyesuaian diri dipengaruhi oleh faktor iklim lembaga sosial di mana individu terlibat di dalamnya. Bagi peserta didik, faktor sosiopsikogenik yang dominan mempengaruhi penyesuaian dirinya adalah sekolah, yang mencakup:

1. Hubungan guru-siswa, yang merujuk pada iklim hubungan sosial dalam sekolah, apakah hubungan tersebut bersifat demokratis atau otoriter, yang mencakup:

a. Penerimaan-penolakan guru terhadap siswa

b. Sikap dominatif (otoriter, kaku, banyak tuntutan) atau integratif (permisif, sharing, menghargai dan mengenal perbedaan individu)

c. Hubungan yang bebas ketegangan atau penuh ketegangan.

2. Iklim intelektual sekolah, yang merujuk pada sejauhmana perlakuan guru terhadap siswa dalam memberikan kemudahan bagi perkembangan intelektual siswa sehingga tumbuh perasaan kompeten, yang mencakup:

a. Perhatian terhadap perbedaan individual siswa b. Intensitas tugas-tugas belajar

c. Kecenderungan untuk mandiri atau berkonformitas pada siswa d. Sistem penilaian

e. Kegiatan ekstrakurikuler

f. Pengembangan inisiatif siswa (Desmita, 2009).

(62)

yang akhirnya mempengaruhi interaksi individu terhadap lingkungannya baik di lingkungan ia tinggal maupun di lingkungan baru.

2.4 Remaja

Dalam perkembangan kepribadian seseorang, remaja mempunyai arti khusus, namun begitu masa remaja mempunyai tempat yang tidak jelas dalam rangkaian proses perkembangan seseorang. Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata latin adolescere (kata bendanya, adolescentia yang berarti remaja) yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa.” (Hurlock, 1980). Menjelaskan istilah adolescence seperti yang dipergunakan saat ini, mempunyai arti yang lebih luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik. Hal ini sejalan dengan Santrock (2002), yang mengatakan bahwa usia remaja ditandai oleh terjadinya perubahan yang besar dalam aspek fisik yaitu terjadinya pubertas, perubahan kognitif, maupun perubahan psikososial.

Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa anak ke masa dewasa, meliputi semua perkembangan yang dialami sebagai persiapan memasuki masa dewasa (Singgih & Ny. S., 2003).

Erikson mengemukakan bahwa adolesensia merupakan masa di mana terbentuk suatu perasaan baru mengenai identitas. Identitas mencakup cara hidup pribadi yang dialami sendiri dan sulit dikenal oleh orang lain. Secara hakiki ia tetap sama meskipun telah mengalami berbagai macam perubahan.

(63)

psikis. Terjadinya banyak perubahan tersebut sering menimbulkan kebingungan-kebingungan atau kegoncangan-kegoncangan jiwa remaja, sehingga ada orang yang menyebutnya sebagai periode “strum und drang” atau pubertas. Mereka bingung karena pikiran dan emosinya berjuang untuk menemukan diri, memahami dan menyeleksi serta melaksankan nilai-nilai yang ditemui di masyarakatnya, di samping perasaan ingin bebas dari segala ikatan pun muncul dengan kuatnya. Sementara fisiknya sudah cukup besar, sehingga disebut anak tidak mau dan disebut dewasa tidak mampu. Tepatlah kiranya kalau ada ahli yang menyebutnya sebagai “masa peralihan” sebagaimana diungkapkan: “a priod during which growing person makes the transition from childhood to adulthood”. (Jersild, 1960).

Di lain pihak, Hurlock (1980), menyebutnya dengan dua istilah terpisah tapi berdekatan, yaitu puberty dan adolescence. Menurutnya: puberty is the period in the developmental span when the child change from an asexual to sexual being”. (Hurlock, 1980). Sedangkan adolescence adalah: The term adolescence comes from the latin word “adolescence”, meaning, “to grow”, or to grow to maturity…….. As it is used today, the term “adolescence” has a broader meaning it includes mental, emotional, and sosial maturity as well as physical maturity. (Hurlock, 1980).

(64)

Masa remaja tidak seluruhnya berada dalam kegoncangan, tapi pada bagian akhir dari masa ini kebanyakan individu sudah berada dalam kondisi yang stabil (apa yang disebut Hurlock dengan adolescence).

WHO memberikan definisi remaja, dikemukakan menjadi tiga kriteria, yaitu: kriteria biologis, kriteria psikologis, dan kriteria sosial ekonomi (Sarwono, 2004). Secara lengkap definisi dari WHO tersebut berisikan sebagai berikut: 1. Kriteria biologis

Remaja adalah individu yang berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual.

2. Kriteria psikologis

Remaja adalah individu yang mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa.

3. Kriteria sosial ekonomi

Remaja adalah masa di mana terjadinya peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri.

(65)

masyarakat Indonesia mendefinisikan remaja dengan batasan usia remaja adalah antara usia 11-24 tahun dan belum menikah (Sarwono, 2004).

Dari beberapa definisi di atas penulis menyimpulkan bahwa remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju dewasa, yang ditandai dengan adanya perkembangan dan pertumbuhan yang pesat, baik secara fisik maupun psikis, dan batasan usianya berkisar 15-20 tahun yaitu memasuki remaja akhir.

2.5. Kerangka Berpikir

(66)

Berdasarkan pernyataan-pernyataan yang didukung dengan hasil penelitian di atas, peneliti mengasumsikan bahwa self concept dan adjustment berhubungan dengan prestasi belajar siswa. Maka dari itu, dapat dilihat hubungan antara konsep diri (self concept) dan penyesuaian diri (adjustment) dengan prestasi belajar siswa kelas XI SMAN 1 Tangsel pada bagan di bawah ini.

Bagan 2.1. Hubungan self concept dan adjustment dengan prestasi belajar remaja

Adjustment Self Concept

Prestasi belajar

2.6. Hipotesis

(67)

Hipotesis alternatif (Ha)

Ha1: Ada hubungan yang signifikan antara self concept dengan prestasi belajar remaja.

Ha2: Ada hubungan yang signifikan antara adjustment dengan prestasi belajar remaja.

Ha3: Ada hubungan yang signifikan antara self concept dan adjustment dengan prestasi belajar remaja.

Hipotesis nihil (Ho)

Ho1: Tidak ada hubungan yang signifikan antara self concept dengan prestasi belajar remaja.

Ho2: Tidak ada hubungan yang signifikan antara adjustment dengan prestasi belajar remaja.

Ho3: Tidak ada hubungan yang signifikan antara self concept dan adjustment dengan prestasi belajar remaja.

BAB III

METODE PENELITIAN

Gambar

Tabel 3.1 Blue Print Try Out Skala Self Concept       ……………………….      70
Gambar 2.1. Bagan Kerangka Berpikir      …….…………………………... .       58
Tabel 3.2. Blue Print Try Out Skala Self Concept
Tabel 3.3.  t-value skala Self Concept
+7

Referensi

Dokumen terkait

Analisis indeks kemiskinan material terhadap rumah tangga mustahik dilakukan tanpa dan dengan adanya bantuan dana zakat yang diberikan oleh BAZNAS Provinsi Jawa

Meskipun demikian, hasil yang diperoleh sepadan dimana dalam menggunakan KKC-PSO diperoleh hasil yang optimum di setiap perulangan yang telah dilakukan

Pengukuran kecepatan arus pada saat air laut sedang surut dilakukan untuk melihat aliran air yang keluar dari hilir menuju ke muara sungai yang membawa partikel -

Setelah melakukan studi literatur, tinjauan langsung ke lapangan dan sejumlah studi pada aspek-aspek pendukung, disimpulkan bahwa produk yang akan dirancang

Wireless Fidelity, teknologi ini pada awalnya untuk menghilangkan keruwetan kabel dalam membangun sebuah jaringan computer, Wi-Fi bekerja pada frekuensi sama dengan Bluetooth

Tidak sesuai untuk penggunaan: Material ini tidak diperuntukkan untuk digunakan dalam produk yang kontak dalam jangka waktu lama dengan selaput lendir, cairan tubuh atau

Berdasarkan pengujian hipotesis yang telah dilakukan dengan menggunakan alat uji statistik One-Way Anova dan Paired Sample (T-rest) return dan Abnormal return , bahwa

Dengan dilatarbelakangi oleh masalah tersebut, maka dilakukan penelitian untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat membeli di toserba dan swalayan Laris