(Studi Kasus di Lingkungan Rt 13/12 Kelurahan Sahabat
Kecamatan Cengkareng timur Jakarta Barat)
DisusunOleh :
Syahrul Mubarok 103011026655
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
iii
Dalam Penulisan skripsi ini penulis memilih judul “Peranan Majelis
Ta’lim Gabungan Kaum Ad-Da’watul Islami Dalam Membina Sikap Keagamaan
Jamaah” dikarenakan lembaga nonformal seperti majelis ta’lim diharapkan dapat memberikan kontribusi berupa sarana pemberdayaan masyarakat untuk menanamkan dan meningkatkan pengetahuan agama yang nantinya akan membina sikap keagamaan pada pribadi mereka. Menurut pengamatan penulis, majelis ta’lim Ad-Da’watul Islami merupakan salah satu lembaga nonformal yang dapat meningkatkan pendidikan agama Islam khusunya kaum ibu. Semenjak didirikannya hingga kini telah banyak memberikan kontribusi bagi masyarakat sekitar bahkan lebih luas lagi.
Pendidikan Islam merupakan kebutuhan, karena sebagai makhluk pedagogis manusia dilahirkan dengan membawa potensi dapat didik dan mendidik sehingga mampu menjadi khalifah di bumi serta pendukung dan pemegang kebudayaan
Secara strategis keberadaan majelis ta’lim sebagai salah satu sarana dakwah dan tabligh yang Islami coraknya yang berperan sentral pada pembinaan dan peningkatan kualitas hidup umat Islam sesuai dengan tuntunan ajaran Islam. Jadi peranan secara fungsional majelis ta’lim adalah mengokokohkan landasan hidup manusia khususnya di bidang mental dan spritual keagamaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pendidikan agama Islam yang diterapkan Peranan Majelis Ta’lim Gabungan Kaum Ibu (MTGKI) Ad-Da’watul Islami Dalam Membina Sikap Keagamaan para Jamaah di Lingkungan RT 13/12 Kelurahan Sahabat Kecamatan Cengkareng Timur Jakarta Barat.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif analisis, yaitu memaparkan secara mendalam dengan apa adanya secara obyektif sesuai dengan data yang dikumpulkan. Dalam pengolahan data, penulis mengambil pola perhitungan statistik dalam bentuk prosentase, artinya setiap data dipresentasikan setelah ditabulasikan dalam bentuk frekwensi jawaban dalam setiap jawaban.
iv
nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “PERANAN MAJLIS TAKLIM GABUNGAN KAUM IBU
AD-DA’WATUL ISLAMI DALAM MEMBINA SIKAP KEAGAMAAN
JAMAAH”
Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada baginda Nabi besar
Muhammad saw yang telah membawa umatnya dari zaman kebodohan ke
zaman yang penuh dengan ilmu dan teknologi ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan sebagaimana yang diharapkan walaupun waktu, tenaga, dan
pikiran telah diperjuangkan dengan segala keterbatasan kemampuan penulis
miliki demi terselesaikannya skripsi ini agar bermanfaat bagi penulis
khususnya dan pembaca pada umumnya.
Terselesaikan skripsi ini tidak lepas dari partisipasi beberapa pihak
yang telah membantu, motivasi serta arahan dari berbagai pihak, sehingga
patut kiranya penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Ketua dan Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Drs,Sapiuddin Shidiq, M.Ag selaku dosen pembimbing skripsi yang selalu
sabar dan teliti dalam mengoreksi dan membimbing penulis dalam
membuat skripsi ini.
4. Pimpinan dan seluruh Staff Perpustakaan Utama dan Perpustakaan
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Seluruh dosen dan karyawan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan pada
umumnya dan Jurusan Pendidikan Agama Islam khususnya yang telah
memberikan kontribusi pemikiran melalui pengajaran dan diskusi yang
v
yang telah merawat, membesarkan, mendidik, dan mencurahkan kasih
sayang serta tak bosan-bosannya memberikan bantuan secara moril, materil, semangat dan do’a buat penulis.
8. Buat kakakku yang tercinta Siti Masropah S.Sos.I serta adik-adikku
tersayang Kaffi, Nida Kamalia, Ibnu Abbas.
9. Terkhusus buat sahabatku Ade Irma Gunawan, S.Pd.I dan Syamsul Fuad,
S.Pd.I
10.Untuk kekasihku Echa Rianti, S.Pd.I, yang selalu mendampingi dan
mengarahkanku
11.Seluruh teman-teman Mahasiswa/i Angkatan 2003 Khususnya PAI kelas
A yang selalu bercanda tawa dan telah memberi warna warni kehidupan
penulis, khususnya Mahbub, Ahmad Furqon, Ki Agus Siswandi. Dan juga
kepada teman-temanku yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu,
sekali lagi terima kasih.
Penulis berharap dan berdo’a kepada Allah SWT, agar seluruh pengorbanan yang telah diberikan kepada penulis, akan mendapatkan balasan
yang setimpal disisinya, Jazakumullah Khairan Katsira.
Jakarta, Februari 2011
Penulis,
v
iv
v
vii
1
5
5
6
6
7
8
9
10
11
15
16
17
18
25 KATA PENGANTAR ... DAFTAR ISI ... DAFTAR TABEL ...
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ... B. Identifikasi Masalah ... C. Pembatasan Masalah ... D. Perumusan Masalah ... E. Tujuan dan Kegunaan Hasil Penelitian ...
BAB II : KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERFIKIR A. Peranan Majelis Ta’lim
1. Pengertian Peranan ...
2. Pengertian Majelis Ta’lim ...
3. Tujuan Majelis Ta’lim ...
4. Peranan Majelis Ta’lim ...
5. Materi dan Metode yang Diterapkan di Majelis Ta’lim ...
B. Membina Sikap Keagamaan
1. Pengertian Membina ...
2. Pengertian Sikap Keagamaan ...
3. Aspek-Aspek Sikap ...
4. Ciri-Ciri Sikap Keagamaan ...
5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap Keagamaan ...
vi
32
33
34
37
39
39
40
40
42
57
60
61 D. Instrumen Penelitian ...
E. Teknik Pengumpulan Data ...
F. Teknik Pengolahan dan Analisis Data ...
BAB IV : HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
1. Sejarah Berdirinya Majelis Ta’lim Ad-Da’watul Islami ...
2. Kondisi Tenaga Pengajar ...
3. Sarana dan Prasarana ...
4. Materi dan Metode ...
5. Struktur Organisasi dan Pengelolaan Majelis Ta’lim Ad-Da’watul
Islami ...
B. Deskripsi Data ...
C. Interpretasi Data ...
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ...
B. Saran ...
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia diciptakan oleh Allah SWT dalam bentuk yang
sebaik-baiknya, bahkan merupakan makhluk yang paling mulia jika dibandingkan
dengan makhluk-makhluk lainnya, oleh karena ia dibekali akal pikiran.
manusia yang merasa dirinya memiliki akal, tentunya berusaha untuk melihat
hakikat dirinya serta asal kejadiannya, sehingga hal tersebut dapat
menumbuhkan keyakinan dan melahirkan dorongan untuk mengabdikan diri
sepenuhnya hanya untuk menyembah sang Kholiq, yaitu Allah SWT.
Sebagai makhluk hidup, manusia tumbuh dan secara evolusi baik
selama kandungan maupun setelah lahir hingga menjadi dewasa dan mencapai
usia lanjut. Dengan demikian manusia dalam proses kejadiannya termasuk
makhluk tanpa daya dan eksploratif. Maksudnya manusia tidak mungkin dapat
bertumbuh dan berkembang sendiri (tanpa daya) hingga memerlukan bantuan.
Islam sebagai agama yang menjadi pedoman hidup bagi manusia
mencakup seluruh kehidupan manusia. Di samping sebagai way of life (pedoman hidup), Islam menurut para pemeluknya juga sebagai ajaran yang
harus didakwahkan dan memberikan pemahaman berbagai ajaran yang
terkandung di dalamnya. Sarana yang dapat dilakukan dalam
ArtinyaDan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung. (Q.S Ali Imron Ayat 104)1
Dari ayat diatas dijelaskan bahwa ada tanggung jawab yang harus
dilakukan oleh seorang muslim kepada muslim lainnya yakni mengajak kepada yang ma’ruf (segala perbuatan yang mendekatkan diri kepada Allah SWT, dan mencegah kepada yang munkar (segala perbuatan yang menjauhkan
diri kepada Allah SWT).
Majelis ta’lim adalah lembaga pendidikan non formal Islam yang
memiliki kurikulum tersendiri, diselenggarakan secara berkala dan teratur, dan
diikuti oleh jama’ah yang relatif banyak, dan bertujuan untuk membina dan
mengembangkan hubungan yang santun dan serasi antara manusia dengan
Allah SWT. Antara manusia sesamanya, dan antara manusia dan
lingkungannya; dalam rangka membina masyarakat yang bertaqwa kepada Allah SWT.”2
Majelis ta’lim adalah wadah pembentuk jiwa dan kepribadian yang agamis yang berfungsi sebagai stabilisator dalam seluruh gerak aktivitas
kehidupan umat Islam Indonesia, maka sudah selayaknya kegiatan-kegiatan
yang bernuansa Islami mendapat perhatian dan dukungan dari masyarakat,
sehingga tercipta insan-insan yang memiliki keseimbangan antara potensi
intelektual dan mental spiritual dalam upaya menghadapi perubahan zaman
yang semakin maju.
Perkembangan majelis ta’lim pertama-tama bersumber dari swakarsa
dan swapercaya masyarakat berkat motivasi agamanya kemudian berkembang
1
Departemen Agama, Al-Qur’an Dan Terjemahannya, (Surabaya: Al-Hidayah, 1998), h. 93
2
sesuai dengan tuntutan kebutuhan dan zaman. Majelis ta’lim juga telah banyak
memberikan pengetahuan di berbagai lapangan kehidupan seperti:
1. Lapangan hidup keagamaan: agar perkembangan pribadi manusia
sesuai dengan norma-norma ajaran Islam.
2. Lapangan hidup kemasyarakatan, agar terbina masyarakat yang adil
dan makmur di bawah ridha dan ampunan Allah swt.
3. Lapangan hidup ilmu pengetahuan; agar berkembang menjadi alat
untuk mencapai kesejahteraan hidup umat manusia yang dikendalikan
oleh iman.
4. Lapangan hidup berkeluarga; agar berkembang menjadi keluarga yang
sakinah.3
Majelis ta’lim merupakan salah satu wahana atau sarana dalam rangka transfer nilai-nilai agama. Oleh karena itu, sebagai salah satu wahana, semua
kegiatan majelis ta’lim hendaknya merupakan proses pendidikan yang
mengarah pada internalisasi nilai-nilai agama tersebut. Artinya, jamaah majelis ta’lim diharapkan mampu merefleksikan tatanan normatif yang mereka pelajari dalam realitas kehidupan sehari-hari.
Secara strategis majelis ta’lim menjadi sarana dakwah dan tabligh
yang Islami coraknya yang berperan sentral pada pembinaan dan peningkatan
kualitas hidup umat Islam sesuai tuntutan ajaran Islam. Disamping itu guna
menyadarkan umat Islam dalam rangka menghayati dan mengamalkan ajaran
agamanya yang kontekstual kepada lingkungan hidup sosial budaya dan alam
sekitar mereka, sehingga dapat menjadikan umat Islam sebagai Ummatan Washatan yang meneladani kelompok umat lain.
Jadi peranan secara fungsional majelis ta’lim adalah mengokohkan
landasan hidup manusia Indonesia pada khususnya di bidang mental spiritual
keagamaan Islam dalam rangka meningkatkan kualitas hidupnya secara
integral, lahiriah dan batiniahnya, duniawiah dan ukhrawiah secara
bersamaan, sesuai tuntutan ajaran agama Islam yaitu Iman dan Takwa yang
3
melandasi kehidupan duniawi dalam segala bidang kegiatannya, fungsi
demikian sesuai dengan pembangunan nasional kita.4
Pada umumnya pendidikan adalah tugas dan tanggung jawab bersama
yang dilaksanakan secara sadar baik dari pihak pendidik maupun pihak
terdidik. Kesadaran dalam melaksanakan pendidikan adalah dimaksudkan
untuk mencapai kedewasaan dan kematangan berfikir yang dapat diusahakan
melalui beberapa proses pendidikan, yaitu proses pendidikan formal, informal
dan nonformal.
Pendidikan agama merupakan usaha sadar dan terencana dalam
menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati hingga
mengimani, bertakwa dan berakhlak mulia dalam mengamalkan ajaran agama
Islam dari sumber utamanya yakni kitab suci Al-Qur’an dan Al-Hadist, melaui
kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan serta penggunaan pengalaman,
dibarengi tuntutan untuk menghormati penganut beragama dalam masyarakat
sehingga terwujud kesatuan dan persatuan bangsa.
Gambaran manusia yang diharapkan melalui proses pendidikan adalah
seorang muslim yang beriman kepada Allah SWT, bertakwa, berakhlak mulia
serta menguasai ilmu untuk dunia dan akhirat serta memikul tanggung jawab
dan amanat yang dibebankan kepadanya sesuai dengan kemampuan
masing-masing.
Keberhasilan seseorang dalam menyiarkan ajaran Islam sangat
tergantung kepada metode (manhaj) yang digunakan sebagai media dakwah.
Media dakwah dapat berupa pendidikan formal, non formal, informal maupun
forum-forum incidental seperti tabligh akbar, ceramah-ceramah agama
khususnya yang berkaitan dengan sosio-kultural masyarakat.
Oleh sebab itu, lembaga non formal seperti majelis ta’lim diharapkan
dapat memberikan kontribusi berupa sarana pemberdayaan masyarakat untuk
menanamkan dan meningkatkan pengetahuan agama yang nantinya dapat
membentuk sikap keagamaan pada pribadi mereka.
4
Menurut pengamatan penulis, majelis ta’lim Ad-Da’watul Islami
merupakan salah satu lembaga non formal yang dalam rangka meningkatkan
pedidikan agama Islam khususnya bagi kaum ibu. Semenjak didirikanya
hingga kini telah banyak memberikan kontribusi bagi masyarakat sekitar
bahkan lebih luas lagi.
Sesuai dengan latar belakang di atas maka penulis bermaksud untuk
mengadakan penelitian dengan judul “PERANAN MAJELIS TA’LIM
GABUNGAN KAUM IBU (MTGKI) AD-DA’WATUL ISLAMI DALAM MEMBINA SIKAP KEAGAMAAN JAMAAH ”. (Studi kasus di lingkungan RT 12/13 Kelurahan Sahabat kecamatan Cengkareng Timur Jakarta Barat).
B. Identifikasi masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka
identifikasi masalah yang dapat dirumuskan penulis antara lain :
a. Majelis ta’lim merupakan salah satu wahana atau sarana dalam rangka
transfer nilai-nilai agama
b. Peranan majelis ta’lim dalam membina sikap keagamaan jamaah
c. metode yang dikembangkan oleh para pengurus di majelis ta’lim Ad-Da’watul Islami
d. Fungsi dan Manfaat yang dirasakan oleh jamaah dan masyarakat
sekitarnya.
e. Pemahaman dan pengalaman peserta majelis ta’lim dalam memahami dan
mengamalkan nilai-nilai keagamaan tersebut.
C. Pembatasan Masalah
Agar dalam penulisan skripsi ini tidak melebar terlalu luas yang
nantinya akan sulit menemukan permasalahan yang dituju, maka masalah
penelitian ini dibatasi, yakni:
1. Majelis ta’lim yang dimaksud adalah kegiatan atau aktifitas yang
dilakukan di majelis ta’lim Gabungan Kaum Ibu (MTGKI) Ad Da’watul
2. Sikap keagamaan yang dimaksud adalah pelaksanaan nilai-nilai ibadah
serta sikap sosial yang dilakukan jama’ah dalam kehidupan sehari-hari
setelah mereka mendapatkan pendidikan agama Islam yang diperolehnya.
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka permasalahan
penelitian ini dapat dirumuskan yakni:" Bagaiman peranan majelis ta’lim
Gabungan Kaum Ibu (MTGKI) Ad Da'watul Islami dalam membina sikap
keagamaan para jamaahnya di lingkungan RT 12/13 Kelurahan Sahabat
kecamatan Cengkareng Timur Jakarta Barat.
E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan Penelitian : Untuk mengetahui bagaimana peranan majelis ta’lim
Islam Ad-Da’watul Islami dalam membina sikap
keagamaan jama’ah.
Kegunaan Penelitian:
1. Berguna bagi penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah sebagai tugas
akhir perkuliahan.
2. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan masukan serta
informasi agar lebih memperhatikan lagi kualitas serta kuantitas
peranan di MTGKI Ad-Da’watul Islami.
3. Dengan data ini diharapkan akan menjadi bahan informasi pula bagi
semuanya untuk dapat meningkatkan pengajaran pendidikan agama
7 BAB II
KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR
A. Peranan dan Majelis Ta’lim 1. Peranan
Peranan berasal dari kata peran yang mempunyai arti: seperangkat
tingkat yang diharapkan dapat dimiliki oleh orang yang berkedudukan di
masyarakat. Sumber lain mengartikan kata peran sebagai karakter yang
dimainkan oleh objek.1
Setelah mendapat akhiran an kata peran memiliki arti yang berbeda
diantaranya sebagai berikut:
a. Peranan adalah bagian dari tugas utama yang harus dilaksanakan.
b. Peranan adalah usaha-usaha yang dilakukan oleh indifidu atau suatu
lembaga.
c. Peranan adalah tindakan yang dilakukan seseorang dalam suatu
peristiwa.2
Dari pengertia-pengertian di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa
peranan adalah suatu kewajiban yang harus dilaksanakan baik oleh pribadi
1
WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), h. 33.
2
maupun institusi. Kewajiban yang dilaksanakan dimaksudkan untuk mencapai
maksud dan tujuan.
2. Pengertian Majelis Ta’lim
Majelis ta’lim menurut bahasa terdiri dari dua kata yaitu “majelis” dan “ta’lim”, yang keduanya berasal dari bahasa Arab. Kata majelis ta’lim adalah bentuk isim makna dari akar kata “” Yang berarti “tempat duduk, tempat sidang atau dewan”.3
Tuti Alawiyah As dalam bukunya “strategi Dakwah di Lingkungan Majelis Ta’lim”, mengatakan bahwa salah satu arti dari majelis adalah “pertemuan atau perkumpulan orang banyak” sedangkan ta’lim berarti “pengajaran atau pengajian agama Islam”.4
Kini apabila kedua istilah tersebut disatukan maka yang akan muncul
kemudian gambaran sebuah suasana dimana para muslimin berkumpul untuk
melakukan kegiatan yang tidak hanya terikat pada makna pengajian belaka
melainkan kegiatan yang dapat menggali potensi dan bakat serta menambah pengetahuan dan wawasan para jama’ahnya.
Musyawarah majelis ta’lim se DKI Jakarta yang berlangsung tanggal 9-10 Juli 1980 memberikan batasan (ta’rif) majelis ta’lim.
“Yaitu lembaga pendidikan non formal Islam yang memiliki kurikulum tersendiri, diselenggarakan secara berkala dan teratur, dan diikuti oleh jama’ah yang relatif banyak, dan bertujuan untuk membina dan mengembangkan hubungan yang santun dan serasi antara manusia dengan Allah swt. Antara manusia sesamanya, dan antara mansuia dan lingkungannya; dalam rangka membina masyarakat yang bertaqwa kepada Allah SWT.”5
3
Ahmad Waeson Munawir, Kamus Al-Munawwir, (Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997), Cet. 14, h. 202
4
Tuti Alawiyah As, Strategi Dakwah di Lingkungan Majelis Ta’lim (Bandung: MIZAN, 1997), h.5
5
Dari beberapa definisi tersebut maka majelis ta’lim dapatlah ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Majelis ta’lim adalah tempat berlangsungnya kegiatan pengajian atau
pengajaran agama Islam. Waktunya berkala tetapi teratur tidak tiap
hari atau tidak seperti sekolah.
2. Majelis ta’lim merupakan lembaga pendidikan Islam non formal yang pengikutnya disebut jama’ah bukan pelajar atau murid. Hal ini didasarkan karena kehadiran di majelis ta’lim tidak merupakan suatu
kewajiban sebagaimana dengan kewajiban murid di sekolah.
Sedangkan pengertian majelis ta’lim menurut penulis dalam skripsi ini
adalah suatu wadah berkumpulnya orang muslim guna menuntut ilmu
agama Ialam, yang disertakan kegiatan yang dapat menggali potensi dan
mengembangkan bakat serta menambah pengetahuan dan wawasan para
jamaahnya.
3. Tujuan Majelis Ta’lim
Mengenai hal yang menjadi tujuan majelis ta’lim, mungkin rumusnya
bermacam-macam. Tuti Alawiyah merumuskan bahwa tujuan majelis ta’lim
dari segi fungsi, yaitu:
1. Berfungsi sebagai tempat belajar, maka tujuan majelis ta’lim adalah
menambah ilmu dan keyakinan agama yang akan mendorong
pengalaman ajaran agama.
2. Berfungsi sebagai tempat kontak sosial , maka tujuannya adalah
3. Berfungsi mewujudkan minat sosial, maka tujuannya adalah
meningkatkan kesadaran dan kesejahteraan rumah tangga dan
lingkungan jamaahnya.6
Secara sederhana tujuan majelis ta’lim dari apa yang diungkapkan di
atas adalah tempat berkumpulnya manusia yang didalamnya membahas
pengetahuan agama serta terwujudnya ikatan silaturahmi guna meningkatkan
kesadaran jamaah atau masyarakat sekitar tentang pentingnya peranan agama
dalam kehidupan sehari-hari.
Sedangkan di dalam ensiklopedia Islam, diungkapkan bahwa tujuan majelis ta’lim adalah:
a. Meningkatkan pengetahuan dan kesadaran beragama di kalangan
masyarakat khususnya bagi jamaah.
b. Meningkatkan amal ibadah masyarakat.
c. Mempererat silaturahmi antar jamaah.
d. Membina kader di kalangan umat Islam.7
4. Peranan Majelis Ta’lim
Majelis Ta’lim merupakan lembaga pendidikan tertua dalam Islam. Walaupun tidak disebut majelia ta’lim, namun pengajian Nabi Muhammad saw. Yang berlangsung secara sembunyi di rumah sahabat Arqam bin Abil Arqam r.a. di zaman makkah, dapat dianggap sebagai majelis ta’lim menurut pengertian sekarang. Setelah adanya perintah Allah swt. Untuk menyiarkan
Islam secara terang-terangan, pengajian seperti itu segera berkembang di
tempat-tempat lain yang diselenggarakan secara terbuka.
Majelis ta’lim adalah lembaga Islam non formal. Dengan demikian majelis ta’lim bukan lembaga pendidikan Islam formal seperti madrasah atau perguruan tinggi. Majelis ta’lim bukanlah merupakan wadah organisasi
masyarakat yang berbasis politik. Namun, majelis ta’lim mempunyai peranan
6
Tuti Alawiyah As, Strategi Dakwah..., h. 78
7
yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat. Peranan majelis ta’lim
sebagai berikut:
a. Sebagai wadah untuk membina dan mengembangkan kehidupan
beragama dalam rangka membentuk mayarakat yang bertaqwa kepada
Allah SWT.
b. Taman rekreasi rohaniah, karena penyelenggaraannya bersifat santai.
c. Wadah silatuhrahmi yang menghidup suburkan syiar Islam.
d. Media penyampaian gagasan yang bermanfaat bagi pembangunan
umat dan bangsa.8
Secara strategi majelis ta’lim menjadi sarana dakwah dan tabligh yang
Islami coraknya yang berperan sentral pada pembinaan dan peningkatkan
kualitas hidup umat Islam sesuai tuntunan ajaran Islam. Disamping itu guna
menyadarkan umat Islam dalam rangka menghayati dan mengamalkan ajaran
agamanya yang kontekstual kepada lingkungan hidup sosial budaya dan alam
sekitar mereka, sehingga dapat menjadikan umat Islam sebagai Ummatan Washatan yang meneladani kelompok umat lain. Untuk tujuan itu, maka pemimpinnya harus berperan sebagai petunjuk jalan kea rah kecerahan sikap
hidup Islami yang membawa kesehatan mental rohaniah dan kesadaran
fingsipnal selaku khalifah di buminya sendiri. Dalam kaitannya dengan hal ini,
M. Arifin mengatakan:
Jadi peranan secara fungsional majelis ta’lim adalah mengkokohkan landasan hidup manusia Indonesia pada khususnya di bidang mental spritual keagamaan Islam dalam rangka meningkatkan kualitas hidupnya secara integral, lahiriah dan batiniahnya, duniawi dan ukhrawiah secara bersamaan, seseuai tntutan ajaran agama Islam yaitu iman dan takwa yang melandasi kehidupan duniawi dalam segala bidang kegiatannya, fungsi sesuai dengan pembangunan nasional kita.9
5. Materi dan Metode Yang Dikaji Majelis Ta’lim 1). Materi
8
Dewan Redaksi, Majelis…, h. 120
9
Materi atau bahan ialah apa yang hendak diajarkan dalam majelis ta’lim. Dengan sendirinya materi itu adalah ajaran Islam dengan segala keluasannya. Islam memuat ajaran tentang tata hidup yang meliputi segala
aspek kehidupan, maka pengajaran Islam berarti pengajaran tentang tata hidup
yang berisi pedoman pokok yang digunakan oleh manusia dalam menjalani
kehidupannya di dunia dan untuk menyiapkan hidup yang sejahtera di akhirat
nanti. Dengan demikian materi pelajaran agama Islam luas sekali meliputi
segala aspek kehidupan.
Dewasa ini, sekedar untuk memudahkan sering dilakukan pembagian
antara ilmu agama arti khusus dan ilmu umum yang dipandang dari segi
agama dengan demikian, maka secara garis besarnya, ada dua kelompok
pelajaran dalam majelis ta’lim, yakni kelompok pengetahuan agama dan
kelompok pengetahuan umum.
a. Kelompok pengetahuan agama
Bidang pengajaran yang termasuk kelompok ini antara lain adalah
Tauhid, Fiqh, Tafsir,Hadits, Akhlaq, Tarikh, dan Bahasa Arab.
b. Kelompok pengetahuan umum
Karena banyaknya pengetahuan umum, maka tema-tema atau maudlu’
yang disampaikan hendaknya hal-hal yang langsung ada kaitannya dengan
kehidupan masyarakat. Kesemuanya itu dikaitkan dengan agama, artinya
dalam menyampaikan uraian-uraian tersebut hendaklah jangan dilupakan
dalil-dalil agama baik berupa ayat-ayat al-Qur’an atau hadits-hadits atau
contoh-contoh dari kehidupan Rasullah saw.10
Menurut Tuti Alawiyah bahwa kategori pengajian itu diklasifikasikan
menjadi 5 bagian:
a) Majelis ta’lim tidak mengajarkan secara rutin tetapi hanya sebagai
tempat berkumpul, membaca shalawat, membaca surat yasin atau
10
b) Membaca shalawat nabi dan sebulan sekali pengurus majelis ta’lim
mengundang seorang guru untuk berceramah itulah merupakan isi
taklim.
c) Majelis ta’lim mengajarkan pengetahuan dan keterampilan dasar ajaran
agama seperti belajar mengaji al-Qur’an atau penerangan fiqh.
d) Majelis ta’lim mengajarkan pengetahuan agama tentang fiqh, tauhid
atau akhlak yang diajarkan dalam-dalam pidato-pidato mubaliq yang
kadang-kadang dilengkapi tanya jawab.
e) Majelis ta’lim seperti butir ke-3 dengan mengunakan kitab sebagi
pegangan, ditambah dengan pidato atau ceramah.
f) Majelis ta’lim dengan pidato-pidato dan dengan pelajaran pokok yang
diberikan teks tertulis. Materi pelajaran disesuaikan dengan situasi
hangat berdasarkan ajaran Islam.11
Penambahan dan pengembangan materi dapat saja terjadi di majelis ta’lim, melihat semakin majunya zaman dan semakin kompleks permasalahan yang perlu penanganan yang tepat. Wujud program yang tepat dan aktual
sesuai dengan kebutuhan jama’ah itu sendiri merupakan suatu langkah yang
baik agar majelis ta’lim tidak terkesan kolot dan terbelakang. Karena majelis ta’lim merupakan salah satu struktur kegiatan dakwah yang berperan penting dalam mencerdaskan umat, maka selain pelaksanaannya harus sesuai teratur
dan periodik juga harus mampu membawa jama’ah kearah yang lebih baik.
2). Metode
Metode adalah cara, dalam hal ini caara menyajikan bahwa pengajaran
dalam majelis ta’lim untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.makin baik
motode yang dipilih makin efektif pencapaian tujuan.
Metode mengajar banyak sekali macamnya. Namun bagi majelis ta’lim
tidak semua metode itu dapat dipakai. Ada metode mengajar di kelas yang
tidak dapat dipakai dalam majelis ta’lim. Hal ini disebabkan karena perbedaan
kondisi dan situasi antara sekolah dengan majelis ta’lim.
11
Ada beberapa metode yang di gunakan di majelis ta’lim, diantaranya :
a. Majelis ta’lim yang diselenggarakan dengan metode halaqah. Dalam hal ini pengajar atau ustadzah atau kiayi memberikan
pelajaran biasanya dengan memegang suatu kitab tertentu. Peserta
mendengarkan keterangan pengajar sambil menyimak kitab yang
sama atau melihat ke papan tulis dimana menuliskan apa-apa yang
hendak diterangkan.
b. Majelis ta’lim yang diselenggarakan dengan metode mudzakarah. Metode ini dilaksanakan dengan cara tukar menukar pendapat atau
diskusi mengenai suatu masalah yang disepakati untuk dibahas.
c. Majelis ta’lim yang diselenggarakan dengan metode ceramah.
Metode ini dilksanakan dengan dua cara. Pertama, ceramah umum,
dimana pengajar atau ustadzah atau kiayi bertindak aktif dengan
memberikan pelajaran atau ceramah, sedangkan peserta pasif, yaitu
tinggal mendengar atau menerima materi yang diceramahkan.
Kedua. Ceramah terbatas, dimana biasanya terdapat kesempatan
untuk bertanya jawab. Jadi baik pengajar atau ustadzah atau kiayi
maupun peserta atau jamaah sama-sama aktif.
d. Majelis ta’lim yang diselenggarakan dengan metode campuran.
Artinya satu majelis ta’lim menyelenggarakan kegiatan pendidikan
atau pengajian tidak dengan satu maacam metode saja, melainkan
dengan berbagai metode secara berselang-seling.12
Barangkali dalam majelis ta’lim dewasa ini (Majelis ta’lim umum)
metode ceramah telah sangat membudaya, seolah-olah hanya metode ini saja
yang dapat dipakai dalam majelis ta’lim. Dalam rangka pengembangan dan
peningkatan mutu majelis ta’lim ada baiknya metode yang lain mulai dipakai.
12
B. Membina Sikap Keagamaan 1. Pengertian Membina
Menurut kamus bahasa Indonesia Membina adalah membangun,
mendirikan atau mengusahakan supaya lebih baik atau lebih maju (maju,
sempurna).13
2. Pengertian Sikap Keagamaan
Sebelum sampai pada pengertian sikap keagamaan terlebih dahulu ada
baiknya penulis akan menguraikan tentang pengertian sikap dan pengertian
agama yang merupakan kata dasar dari keagamaan.
Menurut bahasa (etimologi), sikap adalah “Perbuatan dan sebagainya yang berdasarkan pada pendirian, pendapat atau keyakinan”.14 Sikap atau dalam bahasa Inggris disebut attitude menurut Ngalim purwanto adalah “Perbuatan atau tingkah laku sebagai respon atau reaksi terhadap suatu rangsangan atau stimulus”.15
G.W.Allport (1953) mengemukakan bahwa “sikap adalah keadaan mental dan syaraf dari kesiapan, yang diatur melalui pengalaman yang
memberikan pengaruh dinamik atau terarah terhadap respon individu pada
semua objek dan situasi yang berkaitan dengannya”.16
Jadi, sikap merupakan kesiapan merespon yang sifatnya positif atau
negatif terhadap obyek atau situasi secara konsisten. Apabila individu memiliki
sikap yang positif terhadap obyek ia akan siap membantu, memperhatikan,
berbuat sesuatu yang menguntungkan obyek itu. Sebaliknya bila ia memiliki
sikap yang negatif terhadap suatu obyek, maka ia akan mengecam, mencela,
menyerang bahkan membinasakan obyek itu.
13
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), Edisis III, 152.
14
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), Cet. I, h. 499
15
Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1995), Cet. 10, h. 141
16
Dari uraian di atas jelaslah bahwa sikap merupakan kesediaan
bertindak atau bertingkah laku seseorang individu yang berdasarkan pendirian
dan pendapat terhadap suatu hal atau objek tertentu . tidak ada satu sikappun
yang tanpa objek. Misalnya: sikap seseorang muslim terhadap gading babi
yang dianggapnya sebagai makanan yang haram dan kotor. Dengan demikian
sikap adalah konsep yang membantu kita untuk memahami tingkah laku.
Sejumlah perbedaan perbedaan tingkah laku dapat merupakan pencerminan
atau manifestasi dari sikap yang sama.
A. Aspek-aspek sikap
Bila kita membicarkan tentang sikap keagamaan seseorang berarti kita
secara langsung membicarakan pengalaman ajaaran agamanya, karena ajaran
agaama seseorang merupakan perwujudan dari sikap keagamaannya.
Sikap merupakan predisposisi unutk bertindak senang atau tidak terhadap
objek tertentu yang mencakup komponen kognisi, afektif, dan konasi yang
merupakan evaluasi yang bersifat personal, yang membentuk kecenderungan
untuk bertindak.17
Jika keagamaan adalah suatu keadaan yang ada dalam diri seseorang yang
mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya terhadap
agama. Merunjuk kepada rumusan di atas terlihat bahwa ada tiga aspek sikap
keagamaan, yaitu:
1. Aspek kognisi, adalah segala hal yang berhubungan dengan intelek jiwa
manusia, dimana akal pikiran merupakan potensi manusia yang dapat
dikembangkan untuk mendorong melakukan perbuatan yang baik dan
menghindarkan perbuatan yang buruk. Dengan adanya manusia berfikir
dan memahami perbuatan-perbuatan maka manusia membutuhkan
pegangan hidup yang disebut agama, sehingga dalam jiwa manusia
mengakui adanya zat yang maha kuasa tempat berlindung dan memohon
pertolongan.
17
2. Aspek afektif, adalah segala hal yang berhubungan dengan gejala perasaan
(emosional) seperti senang, tidak senang, setuju tidak setuju . bila
seseorang percaya bahwa agama itu adalah suatu yang baik dan benar
maka akan timbul perasaan suka terhadap agama sehingga menimbulkan
sikap batin yang seimbang dalam menghayati kebenaran ajaran agama.
3. Aspek konasi, adalah segala hal yang berhubungan dengan prilaku
keagamaan. Aspek ini berfungsi untuk mendorong timbulnya perasaan
doktrin suatu ajaran agama untuk mengamalkan ajaran agama dengan
penuh keikhlaasan dalam hidupnya.
Dengan demikian ketiga aspek ini saling berkaitan antara satu dengan
yang lainnya dalam pelaksanaan pengalaman ajaran agama. Aspek kognisi
berperan menentukan benar atau tidaknya ajaran berdasarkan pertimbangan
intelektual seseorang, aspek afektif berperan menimbulkan sikap batin yang
seimbang dan positif dalam menghayati kebenaran ajaran agama sedangkan aspek
konasi berperan menimbulkan amalan-amalan atau doktrin keagamaan yang
benar.
B. Ciri-Ciri Sikap Keagamaan
Membicarakan sikap keagamaan tidak terlepas dari ciri-ciri sikap
keagamaan. Hal ini dapat di lihat dari berbagai dimensi keberagamaan seseorang
menurut GLOCK & STARK, sebagaimana dikutip oleh Djamaludin Ancok di
mensi keagamaan yaitu:
1. Dimensi Keyakinan (Ideologis)
2. Dimensi Peribadatan (Praktek agama)
3. Dimensi Penghayatan (Eksperiensial)
4. Dimensi Pengetahuan
5. Dimensi Pengamalan (Konsekuensial)18
18
Pertama,dimensi keyakinan, dimensi ini berisi pengharapan-pengharapan
dimana seorang religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan
mengakui kebenaran doktrin-doktrin tersebut.
Setiap agama mempertahankan seperangkat kepercayaan di mana para
penganutnya diharapkan akan taat, seperti dalam ajaran Islam dikenal dengan
enam pokok keimanan atau arkanul iman. Kepercayaan tersebut adalah : iman
kepada Allah, iman kepada malaikat, iman kepada kitab –kitab, iman kepada
Rasul, iman kepada hari akhir dan iman kepada Qodho dan Qadar.
Kedua, dimensi peribadatan atau praktek agama. Dimensi ini mencakup
perilaku pemujaan, ketaatan dan perilaku yang dilakukan orang untuk
menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya.
Dalam agama Islam, umatnya diwajibkan untuk mengamalkan
ajaran-ajaran agamanya, seperti melakukan sholat, puasa, zakat, haji dan ibadah-ibadah
lainya yang diperintahkan oleh Allah SWT.
Ketiga, dimensi penghayatan yang berisikan dan berintikan fakta bahwa
semua agama ini mengandung pengharapan-pengharapan tertentu, walaupun
tidak tepat jika dikaatakan bahwa seseorang yang beragama dengan baik pada
suatu waktu akan mencapai pengetahuan subyektif dan langsung mengenai
kenyataan terakhir, yaitu bahwa dia akan mencapai suatu keadaan kontak
dengan perantara supernatural.
Dimensi ini berkaitan dengan pengalaman keagamaan, persepsi-persepsi,
perasaan-perasaan dan dimensi-dimensi yang dialami seorang pelaku atau suatu
kelompok keagamaan yang melihat komunikasi dengan suatu esensi ketuhanan,
yaitu dengan Tuhan.
Keempat, dimensi pengetahuan agama, dimensi ini mengacu kepada
bahwa harapan bahwa orang-orang yang beragama paling tidak memiliki
minimal pengetahuan tentang agama, yaitu pengetahuan mengenai dasar-dasar
keyakinan (keimanan), ibadah-ibadah yang diwajibkan oleh agama, kitab
Antara dimensi pengetahuan dan keyakinan mempunyai kaitan satu
sama lainnya, karena pengetahuan mengenai suatu keyakinan adalah syarat bagi
penerimanya.
Kelima, dimensi konsekuensi. Dimensi konsekuensi ini mengacu kepada
identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, pengamalan ajaran-ajaran
agama, pengalaman keagamaan, dan pengetahuan agama, berarti ia mempunyai
sikap keagamaan.
Mencerminkan sikap keagamaan seorang muslim dalam hal ini dasar-dasar ajaran Islam yang meliputi aqidah, syari’ah dan akhlaq
1. Aqidah
Pada dasarnya manusia membutuhkan kepercayaan, kepercayaan itu
akan membentuk sikap dan pandangan hidup seseorang. Kepercayaan
atau keimanan merupakan pondasi utama yang akan menentukan sikap
seseorang dengan keimanan yang tertanam dalam diri seseorang. Maka
segala amal perbuatannya ditunjukan untuk memenuhi perintah Tuhan
dan menjauhi segala larangan-Nya.
Objek keimanan yang tidak akan berubah manfaatnya dan tidak
akan pernah hilang adalah keimanan yang ditentukan oleh agama. Dalam
agama Islam ada macam pokok keimanan yang disebut rukun iman,
yaitu: iman kepada Allah, iman kepada malaikat, iman kepada
kitab-kitab, iman kepada Rasul, iman kepada hari akhir dan iman kepada
Qodho dan Qadar atau takdir.
2. Syari’ah
Menurut Prof. Dr. Mahmud Syaltout dalam bukunya Al-Islam
Aqidah wa Al-Syaari’ah, yang dikutip oleh Zuhairini dkk,
mengemukakan pengertian syariah sebagai berikut:
kepadanya didalam hubbungannya dengan Tuhan-Nya dengan
kehidupannya.19
Berdasarkan pada pengertian di atas, syari’ah berpusat pada dua segi yang mendasar, yaitu segi hubungannya dengan tuhan yang
disebut ibadah, dsn segi hubungan manusia dengan sesama yang di sebut
muamalah.
Antara ibadah dan muamalah mempunyai kaitan yang sangat
erat, tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya, dalam
arti keduanya harus bernilai ibadah sebagai proses, sesuai dengan
maksud dan tujuan manusia diciptakan Tuhan. Seperti dalam firman
Allah yang berbunyi:
Artinya: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya untuk mengabdi (ibadah) kepada-Ku” (Surat Adz-Dzariyat : 56)
3. Akhlak
Pengertian akhlak dari segi bahasa berasal dari bahasa Arab yang
berarti perangai, tabiat, watak dasar kebiasaan, sopan dan santun agama.
Secara linguistik (kebahasaan) kata akhlak merupakan isim jamid atau isim ghairu mustaq, yaitu isim yang tidak mempunyai akar kata, melainkan kata tersebut memang begitu adanya. Kata akhlak adalah jama dari kata khuluqun atau khuluq yang artinya sama dengan arti akhlaq sebagaimana telah disebutkan di atas.20
Prof. Dr. Ahmad Amin mengatakan bahwa akhlak ialah kebiasaan
kehendak, contohnya bila kehendak itu dibiasakan memberi, maka kebiasaan
itu ialah akhlak dermawan.
19
Zuhairini, et. All., Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), cet. 11, h. 36.
20
Di dalam ensiklopedi pendidikan dikatakan bahwa akhlak ialah budi
pekerti, watak, kesusilaan, (kesadaran etika dan moral) yaitu kelakuan baik
yang merupakan akibat dari sikap jiwa yang benar terhadap khaliknya dan
terhadap sesama manusia.
Al-Mu’jam al-wasit menyebutkan definisi akhlak sebagai berikut:
Akhlak ialah sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahir
macam-macam perbuatan baik dan buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan
pertimbangan.21
Akhlak dalam konsepsi Al-Ghazali, sebagaimana yang telah dikutip
oleh Muhammad Ardani, bahwa akhlak tidak hanya terbatas pada apa yang dikenal dengan “teori menengah” dalam keutamaan seperti yang disebut oleh Aristoteles, dan pada sejumlah sifat keutamaan yang bersifat pribadi, tapi juga
menjangkau sejumlah sifat keutamaan akali dan amali, perorangan dan
masyarakat. Semua sifat ini bekerja dalam suatu kerangka umum yang
mengarah kepada suatu sasaran dan tujuan yang telah ditentukan.
Akhlak menurut Al-Ghazali, sebagaimana yang telah dikutip
Muhammad Ardani, bahwa akhlak mempunyai tiga dimensi:
a. Dimensi diri, yakni orang dengan dirinya dan tuhannnya, seperti
ibadah dan shalat.
b. Dimensi sosial, yakni masyarakat, pemerintah dan pergaulannya
dengan sesamanya.
c. Dimensi metafisis, yakni akidah dan pegangan dasarnya.22
Dalam konsep akhlak adalah suatu sikap mental (halun lin nafs) yang mendorong untuk berbuat tanpa piker dan pertimbangan. Keadaan atau sikap
jiwa ini terbagi dua: ada yang berasal dari watak (tempramen)dan ada yang berasal dari kebiasaan dan latihan. Dengan kata lain tingkah laku manusia
21
Asmaran, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), cet. Ke-11, h. 2.
22
mengandung dua unsur-unsur watak naluri dan unsure usaha lewat kebiasaan
dan latihan.
Sedangkan menurut al-Farabi, sebagaimana yang telah dikutip oleh
Muhamad Ardani, ia menjelaskan bahwa akhlak itu bertujuan untuk
memperoleh kebahagian yang merupakan tujuan tertinggi yang dirindui dan
diusahakan oleh setiap orang.23
Jadi, pada hakikatnya khuluk (budi pekerti) atau akhlak ialah suatu kondisi atau sifat yang telah meresap dalam jiwa dan menjadi kepribadian
hingga dari situ timbullah berbagai macam perbuatan dengan cara spontan dan
mudah tanpa dibuat-buat dan tanpa memerlukan pemikiran.24
Dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa akhlak ialah sifat-sifat
yang dibawa manusia sejak lahir yang tertanam dalam jiwanya yang selalu ada
padanya, sifat itu dapat terlahir berupa perbuatan baik disebut akhlak yang
mulia atau perbuatan buruk yang disebut akhlak yang tercela sesuai dengan
pembinaannya.
Ruang lingkup akhlak mencakup hal-hal sebagai berikut:
a. Pola hubungan dengan Allah, seperti mentauhidkan Allah dan
menghindari syirik, bertaqwa kepada-Nya, memohon pertolongan
kepada-Nya dan lain-lain
b. Pola hubungan manusia dengan Rasullah, yaitu menegakkan sunah
rasul, menziarahi makamnya di madinah dan membacakan
shalawat.
c. Pola hubungan manusia dengan dirinya, seperti menjaga kesucian
diri dari sifat rakus dan mengumbar nafsu, mengembangkan
keberanian dalam menyampaikan yang hak dan membrantas
kedzaliman.
Pola hubungan dengan masyarakat, dalam konteks kepemimpinan,
seperti menegakkan keadalian, berbuat ihsan, menjungjung tinggi
23
Moh. Ardani, Akhlak Tasawuf..., h. 29
24
musyawarah, memandang kesederajatan manusia dan membela orang-orang
yang lemah, mentaati pemimpin, dan berperan serta dalam kegiatan-kegiatan
kepemimpinan.25
Asal kata Agama menurut bahasa Arab, agama berasal dari kata
Ad-Din bahasa Belanda adalah religie, dalam bahasa Inggris religion, yang mempunyai arti “hubungan antara manusia dengan suatu kekuasaan luar yang lain dan lebih daripada apa yang dilami oleh manusia”.
Menurut Quraish Shihab agama adalah “sebagai hubungan antara makhluk dengan khaliqnya. Hubungan ini terwujud dalam sikap batinnya serta
tampak dalam ibadah yang dilakukannya dan tercermin pula dalam sikap
kesehariannya.26
Prof Muzayyin Arifin dalam bukunya “Pedoman pelaksanaan bimbingan dan penyuluhan Agama”, mengatakan:
”Dari aspek subjektif (pribadi manusia), agama mengandung pengertian tentang tingkah laku manusia yang dijiwa oleh nilai-nilai keagamaan yang berupa getaran batin yang dapat mengatur dan mengarahkan tingakah laku tersebut kepada pola hubungan antara manusia dengan Tuhan-Nya dan pola hubungan antara manusia dengan masyarakat sserta alam sekitar”.27
Dari beberapa definisi agama yang telah dipaparkan di atas, dapat
disimpulkan bahwa secara garis besar agama adalah tuntunan Tuhan untuk
diikuti,dipatuhi dan diamalkan oleh manusia untuk memperoleh kebahagian di
dunia dan akhirat. Sedangkan kata agamis itu sendiri maksudnya adalah “sifat
-sifat yang terdapat dalam agama, dapat juga dikatakan segala sesuatu
mengenai agama.
Jadi yang dimaksud dengan membina sikap keagamaan adalah suatu
keadaan dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk bertingkah laku
sesuai kadar ketaatannya terhadap agama supaya lebih baik. Sikap keagamaan
25
Muslim Nurdin dkk.., Moral Dan Kognisi Islam, (Bandung: CV ALVABETA, 1993), h. 205
26
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1994), Cet. 17, h. 210
27
tersebut terwujud oleh adanya konsistensi antara kepercayaan terhadap agama
sebagai unsur kognitif, perasaan terhadap agama sebagai unsur afektif, dan
perilaku keagamaan sebagai unsur konatif. Jadi sikap keagamaan merupakan
integrasi secara kompleks antara pengetahuan agama, perasaan agama serta
tindak keagamaan dalam diri seseorang.28
Islam sebagai suatu sistem yang menyeluruh, maka keagamaan dalam
Islam bukan hanya diwujudan dalam bentuk ibadah ritual saja, tapi juga dalam
bentuk aktifitas lainnya. Oleh karena itu Islam mendorong pemeluknya untuk
beragama secara menyeluruh pula. Firman Allah:
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan
3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Sikap Keagamaan
Bentuk sikap keagamaan seseorang dapat dilihat seberapa jauh
keterikatan komponen kognisi, afektif, dan konasi seseorang dengan
masalah-masalah yang menyangkut agama. Hubungan tersebut jelasnya tidak
ditentukan oleh hubungan sesaat melainkan sebagai hubungan proses, sebab
pembentukan sikap melalui hasil belajar dan interaksi dan pengalaman. Dan
pembentukan sikap itu sendiri ternyata tidak semata-mata tergantung pada
satu faktor saja, tetapi antara faktor internal dan faktor eksternal keduanya
saling berkaitan. Dalam kajian psikologi agama disebutkan adanya potensi
beragama pada diri manusia. Manusia adalah homo religious (makhluk
beragama). Namun untuk menjadikan manusia yang memiliki sikap
keagamaan, maka potensi tersebut memerlukan bimbingan, pengembangan
dari lingkunganya. Dari lingkungannya pulalah seseorang mengenal nilai-nilai
dan norma-norma yang harus dipatuhi dan dilaksanakan.
Sikap keagamaan terbentuk oleh dua faktor yakni faktor intern dan
faktor ekstern.
28
i. Faktor Intern
Manusia adalah makhluk beragama (homo religius) karena manusia
sudah memiliki potensi beragama. Potensi tersebut bersumber dari faktor
intern manusia yang termuat dalam aspek kejiwaan manusia seperti naluri,
akal, perasaan maupun kehendak dan sebagainya.
Pada prinsipnya potensi-potensi manusia menurut pandangan Islam
tersimpul pada sifat-sifat Allah SWT (Asma’ul Husna) artinya–sebagai misal–
jika Allah bersifat Al-Ilmu (Maha Mengetahui) maka manusia pun memiliki sifat-sifat tersebut. Dengan sifat tersebut manusia senantiasa berupaya untuk
mengetahui sesuatu, setelah manusia mendapat pengetahuan akan sesuatu,
maka barulah ia merasa puas. Jika tidak ia akan berusaha terus sampai pada
tujuan yang diinginkannya
ii. Faktor Ekstern
Manusia terdorong untuk beragama karena pengaruh ekstern atau luar
dirinya. Seperti rasa takut, rasa ketergantungan ataupun rasa bersalah.
Manusia juga dilengkapi potensi berupa kesiapan untuk menerima pengaruh
luar sehingga dirinya dapat dibentuk menjadi manusia yang memiliki perilaku
keagamaan. Pengaruh itu bisa didapatkan dari lingkungan keluarga, institusi
dan masyarakat.
C. Kerangka Berpikir
Manusia lahir tidak mengetahui sesuatu apapun, tetapi ia dianugerahi
oleh Allah SWT berupa panca indera, fikiran dan rasa sebagai modal untuk
menerima ilmu penetahuan, memiliki keterampilan dan memiliki sikap
tertentu melalui proses belajar.
Sebagaimana yang telah penulis kemukakan pada pembahasan
sebelumnya, bahwa pengertian majelis ta’lim adalah suatu wadah
berkumpulnya orang muslim guna menuntut ilmu agama Islam, yang
disertakan kegiatan yang dapat menggali potensi dan mengembangkan bakat
melekat pada diri jamaah sikap keagamaan yang baik. Walaupun majelis ta’lim hanyalah lembaga nonformal akan tetapi peranan majelis ta’lim dalam kehidupan masyarakat sangatlah penting, terutama bagi mereka yang
semenjak kecil hingga dewasa belum mendapatkan pengetahuan keagamaan
yang baik.
Dalam pelaksanaan pendidikan agama Islam di majelis ta’lim sering
kali tidak hanya terfokus kepada penyampaian materi, bahkan dapat berupa
sarana pembiasaan pengajaran agama seperti mengadakan santunan bagi kaum
dhuafa, yatim piatu, menjenguk orang sakit serta banyak hal lain. Jika jamaah
senantiasa mengikuti kegiatan-kegiatan keagaamaan tersebut maka bukan
mustahil sikap keagamaan akan melekat pada diri mereka.
Pengajaran yang dilakukan oleh para ustad/ustadzah senantiasa
mengarahkan jamaah kepada aspek aqidah, ibadah yang diharapkan dapat
diaplikasi dalam kehidupan sehari-hari. Walau tidak dapat dipungkiri bahwa
dalam kehidupan sehari-hari berbagai fenomena kehidupan yang seringkali
dapat membuat manusia melupakan hakikat akan keberadaanya di muka bumi
yaitu sebagai hamba yang harus taat terhadap perintah dan aturan dari Allah
SWT.
Pendidikan Islam merupakan kebutuhan manusia, karena sebagai
makhluk pedagogis manusia dilahirkan dengan membawa potensi dapat
dididik dan mendidik sehingga mampu menjadi khalifah di bumi, serta pendukung dan pemegang kebudayaan
Pendidikan agama Islam diartikan sebagai suatu kegiatan yang
bertujuan membentuk manusia agamis dengan menanamkan akidah,
keimanan, amaliah dan budi pekerti atau akhlak yang terpuji untuk
menjadikan manusia yang bertakwa kepada Allah SWT dan dengan harapan
agar setiap manusia (anak didik) dapat berperilaku, berfikir dan bersikap
sehari-hari dalam kehidupan sosial yang didasari dan dijiwai oleh agama.
Sikap keagamaan adalah suatu keadaan dalam diri seseorang yang
agama. Maka sikap keagamaan tersebut akan terwujud oleh adanya
konsistensi antara kepercayaan terhadap agama sebagai unsur kognitif,
perasaan terhadap agama sebagai unsur afektif, dan perilaku keagamaan
sebagai unsur konatif. Jadi sikap keagamaan merupakan integrasi secara
kompleks antara pengetahuan agama, perasaan agama serta tindak keagamaan
dalam diri seseorang. Sehingga penanaman pendidikan agama Islam menjadi
keharusan bagi lembaga-lembaga kegamaan baik formal maupun non formal
seperti majelis ta’lim
Sikap timbul karena adanya stimulus, terbentuknya sikap banyak
dipengaruhi perangsang oleh lingkungan sosial dan kebudayaan seperti
keluarga, norma, golongan, agama dan adat istiadat. Sikap seseorang tidak
selamanya tetap, ia dapat berkembang manakala mendapat pengaruh baik dari
dalam maupun dari luar yang bersifat positif dan mengesankan.
Sikap yang dihasilkan oleh seseorang dalam menerima suatu hal dapat
berupa sikap yang positif dalam arti menerima, dan sikap negatif dalam arti ia
menolak. Jika peranan majelis ta’lim dalam membentuk sikap keagamaan
dapat dilaksankan dengan baik dan maksimal, maka akan menghasilkan suatu
sikap yang baik pula, namun sebaliknya jika peranan majelis ta’lim dalam
membentuk sikap keagamaan belum dapat berjalan dengan baik dan
maksimal, maka sikap keagamaan yang diharapkan tidak dapat tertanam
dengan baik pada diri jamaah.
Keberadaan majelis ta’lim sebagai salah satu lembaga pendidikan non formal yang merupakan salah satu alternatif untuk menangkal pengaruh negatif terhadap keagamaan. Disamping itu majelis ta’lim sebagai tempat pendidikan agama berlangsung, yang merupakan sarana efektif untuk
membina dan mengembangkan ajaran agama Islam dalam upaya membentuk
manusia yang bertakwa kepada Allah SWT
28 BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksankan di Jl. Daan mogot KM 12,8 Gang Sahabat RT
12/13 Cengkateng Timur. Majelis ta’lim ini penulis pilih karena majelis ta’lim
Ad-Dawatul Islami merupakan majelis ta’lim ibu-ibu pertama yang ada di
daerah Cengkareng Timur serta pelopor berdirinya majelis ta’lim gabungan
sebanyak 30 majelis ta’lim, yang pasti memberikan kontribusi yang sangat
banyak terhadap sikap keagamaan jamaah bahkan lebih luas lagi.
Adapun waktu yang diperlukan dalam kegiatan penelitian ini dimulai
dari 13 September sampai dengan 20 Oktober 2010.
B. Metode Penelitian
Untuk memudahkan pengumpulan data, fakta, serta informasi yang
akan mengungkapkan dan menjelaskan permasalahan dalam penelitian ini,
tentang bagaimana pendidikan agama Islam yang diterapkan majelis ta’lim
gabungan kaum ibu (MTGKI) ad Da'watul Islami dalam membentukan sikap
keagamaan para jamaahnya di lingkungan RT 13/12 Kelurahan Sahabat
“Deskriptif Analisis”, melalui penelitian lapangan (field reseach) dan penelitian kepustakaan (library reaseach).1
1. Jenis penelitian lapangan dimaksud agar dapat diperoleh fakta, data, dan
informasi yang lebih obyektif dan akurat mengenai bagaimana peranan
majelis ta’lim Ad-Da’watul Islami dalam membina sikap keagamaan
jamaah di lingkungan RT 13/12 Kelurahan Sahabat kecamatan
Cengkareng Barat Jakarta Barat.
2. Penelitian kepustakaan penulis lakukan dengan mempelajari atau
menelaah dan mengkaji buku yang erat kaitannya dengan masalah yang
akan dibahas, yaitu bagaimana pendidikan agama Islam majelis ta’lim
ad-Da’watul Islami dalam membina sikap keagamaan jamaah di lingkungan
RT 13/12 Kelurahan Sahabat kecamatan Cengkareng Timur Jakarta Barat.
C. Populasi dan Sampel 1.Populasi
Populasi adalah keseluruhan subyek penelitian.2 Populasi dalam penelitian ini populasinya adalah seluruh jamaah yang tergabung kedalam
pengajian majelis ta’lim ad-da-watul Islami yang dilaksanakan setiap satu
bulan sekali yang berjumlah 160 jamaah.
2. Sampel
Sampel adalah sebagian atau wakil yang diambil dari populasi.3 Karena populasinya berjumlah berjumlah 160 Jamaah, maka penulis
mengambil sample sebanyak 25 % yaitu sebanyak 40 jama’ah. Teknik yang
penulis gunakan adalah teknik random sampling.
1
Muhamad Nasir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), h. 99
2
Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rinike Cipta, 1998), Cet. 11, h. 55
3
D. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat ukur yang digunakan dalam penelitian
sebagai alat pengumpulan data. Instrumen penelitian yang digunakan untuk
memperoleh data mengenai permasalahan yang dihadapi majelis ta’lim
ad-dawatul Islami dalam menanamkan sikap keagamaan pada penelitian kali ini
dibuat dalam bentuk non-test yaitu dengan menggunakan angket. Angket ini
dibuat dalam bentuk quisioner yang diperuntukan kepada orang tua.
Kemudian instrument non-test dalam bentuk wawancara diperuntukan
kepada ketua majelis ta’lim Ad-Da’watul Islami untuk mendapatkan informasi
[image:39.595.122.515.140.732.2]mengenai keadaan jama’ah.
Tabel 1
Kisi-Kisi Instrumen Penelitian
Peranan Majelis Ta’lim Gabungan Kaum Ibu (MTGKI) Ad-dawatul Islami Dalam Membina Sikap Keagamaan Jama'ah
No Variabel Dimensi Indikator No. Soal
1 Peranan
majelis ta’lim
Ad-dawatul
Islami
Motivasi
dalam
mengikuti
pengajian
Frekuensi mengikuti
kegiatan
pengajian
Dorongan
untuk
mengikuti
pengajian
majelis ta’lim
Ad-Da’watul
Islami
Keaktifan
mengikuti
pengajian
majelis ta’lim
Ad-Da’watul
Islami
1,3,4,
2 Membina
Sikap
Keagamaan
Akidah
Ibadah
Aktivitas sosial
Mengimani
rukun iman
Menanamkan
kewajiban
menjalankan
perintah Allah
seperti shalat,
Puasa dan
menunaikan
zakat, membaca
al-Qur’an
Mengucapkan
salam
Menanamkan
sikap minta
maaf
Menanamkan
prilaku jujur
setiap
perkataan dan
perbuatan
9,10,11,12,13
,14,15,16,17
17,
18
19
20
E. Tekhnik Pengumpulan Data
Metode adalah cara yang digunakan untuk mencapai tujuan. Untuk
mencapai tujuan maka dalam penelitian ini penulis menggunakan riset
Riset kepustakaan (library research) adalah penelitian dengan
membaca, dan menelaah buku-buku, tulisan-tulisan yang ada kaitannya
dengan variabel yang diteliti, dan riset lapangan (field research) adalah
penelitian dengan mencari dan menyimpulkan informasi dan data tentang
masalah yang diteliti ke objek penelitian yaitu ke pengurus MTGKI
Ad-Da’watul Islami.
Untuk memperoleh data dari penelitian lapangan, peneliti
menggunakan tekhnik-tekhnik pengumpulan data berupa observasi,
wawancara, dokumentasi dan penyebaran angket.
1. Observasi, adalah pengamatan dan pencatatan yang sistematik terhadap fenomena-fenomena yang diselidiki atau yang sedang dijadikan sasaran.
Tekhnik ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang sarana dan
prasarana yang berkaitan dengan kegiatan pengajaran pendidikan agama
Islam di MTGKI Ad-Da’watul Islami.
2. Wawancara, yakni tanya jawab lisan antara dua orang atau lebih secara langsung. Wawancara yang dilakukan oleh peneliti adalah untuk
memperoleh data yang lebih mendalam.
3. Dokumentasi, yakni penulis memperoleh data-data yang diperlukan
dalam penelitian ini yang didapatkan dari pengurus MTGKI Ad-Da’watul
Islami.
4. Angket, yakni sejumlah pertanyaan yang disusun secara tertulis mengenai sesuatu yang berkaitan dengan penelitian. Pertanyaan yang terdapat di
dalam angket adalah mengenai sikap keagamaan
F. Teknik Pengolahan dan Analisis Data. 1 Teknik Pengolahan data
Untuk mengolah data-data yang terkumpul dalam penelitian ini,
penulis melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
Dalam pengolahan data, yang pertama kali dilakukan adalah
melakukan edit data sehingga hanya data yang tepakai saja yang ada. Langkah
editing ini bermaksud merapikan data agar bersih, rapi dan langsung
melakukan langkah selanjutnya.
b. Skoring
Untuk menentukan skorsing semua pertanyaan angket akan
ditabulasikan dengan skor nilai setiap itemnya, dengan cara jawaban yang
[image:42.595.126.522.134.451.2]berupa huruf akan dirubah menjadi nilai angka, yaitu sebagai berikut :
Tabel.2
Pengukuran Instrumen
Pilihan Jawaban A B C D
Pertanyaan + 4 3 2 1
- 1 2 3 4
c. Tabulating
Yaitu mentabulasi data jawaban yang telah diberikan kedalam bentuk
tabel, untuk kemudian diketahui hasil perhitungannya.
2. Teknik Analisis Data
Data yang berasal dari kepustakaan digunakan sebagai rumusan teori
yang dijadikan pedoman penulis untuk penelitian lapangan. Adapun data yang
berasal dari obsevasi, wawancara, angket dan skala sikap dianalisis dengan
menggunakan tekhnik deskriptif analisis. Deskriptif analisis yakni
menggambarkan apa adanya, kemudian dianalisis. Untuk mempermudah
menganalisis data, maka terlebih dahulu ditabulasikan dalam bentuk tabel
distribusi frekuensi relatif. Secara operasional teknik analisis data ini
1). Memperoleh nilai frekuensi atas jawaban responden terhadap angket
dengan menggunakan rumus:
P=F X 100% N Keterengan:
P : Angka prosentase
F : Adalah Frekwensi yang dicari prosentasenya
N= Number of cases 4
Dalam hal ini, jenis distribusi frekuensi yang digunakan adalah jenis
[image:43.595.117.523.97.616.2]distribusi frekuensi prosentase 5
Tabel 3
Penafsiran Prosentasi
No Prosentase Penafsiran
1 2 3 4 5 6 7 8 9 100% 90-99% 60-89% 51-59% 50% 40-49% 10-39% 1-9% 0% Seluruhnya Hampir seluruhnya Sebagian besar
Lebih dari setengah
Setengahnya
Hampir setengahnya
Sebagian kecil
Sedikit sekali
Tidak sama sekali
4
Anas Sudijono, Pengantar Statistik Pendidikan ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), h. 43
5
35 BAB IV
PENYAJIAN DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Data
1. Sejarah berdirinya Majelis Ta’lim Gabungan Dan Tujuan Majlis Taklim
Ad-Da’watul Islami
Pada awalnya majelis ta’lim Ad-Da’watul Islami hanyalah sebuah
pengajian biasa yang mulai dirintis pada tahun 1982. pada saat itu pengajian
tersebut belum memiliki nama, pelaksanaannya pun masih dilakukan di ruang
belakang rumah bapak H.Muhammad Nur. beliaulah yang pertama merintis
pengajian tersebut. gagasan bapak H.Muhammad Nur untuk mendirikan majelis
ta’lim dikarenakan beliau ingin membimbing masyarakat disekitarnya dalam
pendidikan dan pengajaran di bidang agama Islam dengan cara mengajarkan
kepada mereka dan menjelaskan tentang hukum-hukum Islam.
Majelis ta’lim Ad-Da’watul Islami yang didirikan oleh H.Muhammad Nur
dalam rangka melaksanakan pendidikan agama Islam atau biasa dikenal dengan
istilah pengajian, memang dikhususkan untuk kaum bapak. Namun dalam
perkembangannya banyak sekali yang berminat dan bukan dari kaum bapak saja
tapi juga dari kalangan ibu-ibu. Akhirnya bapak H.Muhammad Nur mewariskan
kepemimpinannya kepada anaknya yaitu ibu Hj. Hasanah Nur, untuk memimpin
pengajian khususnya kaum ibu.
Menyadari akan tanggung jawab yang besar dan untuk meningkatkan
36
“Majelis Ta’lim Gabungan Kaum Ibu” pada tanggal 10 januari 2002,
disingkat (MTGKI).
Adapun maksud dan tujuan didirikannya majelis ta’lim gabungan kaum
ibu Ad-Da’watul Islami adalah untuk memajukan dan mengembangkan syiar
agama Islam baik ubudiyah maupun amaliyah, turut serta mencerdaskan
kehidupan umat Islam dalam menghadapi era globalisasi dan perdagangan bebas
baik di tingkat Asean dan tingkat dunia, memelihara dan mengembangkan
semangat jiwa persatuan dan kesatuan diantara majelis ta’lim yang ada,
mempererat tali sillaturahmi dan mempertebal semangat kekeluargaan dengan
meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT., dalam rangka
memajukan kesejahteraan majelis ta’lim, meningkatkan kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) para pengurus dan anggota majelis ta’lim untuk tampil dan
berperan dalam pembangunan bangsa negara dan agama.38
Tabel 4
Daftar Nama Majelis Ta’lim Gabungan Kaum Ibu (MTGKI) Ad-Da’watul Islami
No Nama Majlis Taklim Ketua Alamat
1 Saadatud Darwin Hj.Siti Maimunah Pegadungan
2 Baitul Ghoni Sa’diyah Pedongkelan
3 Al Mu’awanah Hj.Azizah Dharmawanita
4 Nurul Islam Hj. Nafisah Pedongkelan
5 Nurul Ibad Mahdah Jembatan
Gantung
6 Uswatun Hasanah Hj. Muzainah Basmol
7 Hidayatul Khoiriah Hj. Titin M Cengkareng
8 As-Sidiqiyah Hj. Siti Maja
9 Al- Barokah Hj. Sarmanih Pedongkelan
10 Raudhatul Jannah Hj. Nurlaelah Pedongkelan
11 Nurul Huda Hj. Fatimah Cengkareng
12 Al-Ma’mur Mudriah Kalideres
13 Al- Nursyalin Hj. Komariah Kampung Bali
14 Al-Istiqomah Hj. Neneng Pejagalan
38
37
15 Al-Fitroh Hj. Dahlia Tanjung Pura
16 At-Taqwa Aslamiah Pedongkelan
17 Khairun Nisa 1 Hasunah Pegadungan
18 Khairun Nisa 2 Hj. Maesaroh Cengkareng
19 Da’watul Islami Hj. Hasanah Nur Sahabat
20 Al-Munawaroh Siti Fatimah Maja
21 Al-Mansuriyah Nur Hidayah Kalideres