(Studi di Kelurahan Kebon Sirih Kecamatan Menteng) Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (SSy)
Oleh :
Muh. Rizki Prasetya NIM : 104044101434
F A K U L T A S S Y A R I A H D A N H U K U M
PROGRAM STUDI PERADILAN AGAMA
U I N SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
SIRIH KECAMATAN MENTENG) telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Negeri Islam (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 31 Agustus 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu sayarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Peradilan Islam (Ahwal Syakhsyiyyah).
Jakarta, 31 Agustus 2010 Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 150 210 422
PANITIA UJIAN
1. Ketua : DRS. H. A. Basiq Djalil, SH, MA (………) 150 169 102
2. Sekretaris : Kamarusdiana, S.Ag, MH. (..………..) 197202241998031003
3. Pembimbing : DR. H. A. Muhaimin Zen, MA (……….) 010 178 068
4. Penguji I : Kamarusdiana, S.Ag, MH. (………..) 197202241998031003
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (SSy)
Oleh :
Muh. Rizki Prasetya NIM : 104044101434
Dibawah Bimbingan Pembimbing
Dr. H. A. Muhaimin Zen, MA NIP : 010.178.068
F A K U L T A S S Y A R I A H D A N H U K U M
PROGRAM STUDI PERADILAN AGAMA
U I N SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syaraif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 14 Juni 2010
semesta, Allah SWT., yang mana atas ridho dan rahmatnya yang diberiokan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam tak lupa penulis curahkan kepada baginda Rasulullah Muhammad SAW. Karena telah memberikan tauladan kepada penulis hingga dapat melewati masa-mas tersulit menyelesaikan skripsi ini.
Dalam masa perkuliahan hingga tahap penyelesaian skripsi ini, telah banyak pihak yang membantu memberikan motivasi bagi penulis. Oleh karenanya dalam tulisan ini penulis ingin mengungkapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang sedalam-dalamnya kepada :
1. Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM. selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum.
2. Drs. A. Basiq Djalil, SH. MA. Selaku ketua prodi Ahwal Al-syakhsiyyah serta Bapak Kamarusdiana, MA. Selaku sekretaris Prodi Ahwal Ah-Syakhsiyyah. 3. Drs. H. A. Muhaimin Zen, MA. selaku dosen pembimbing yang telah
membantu memberikan arahan, bimbingan serta saran kepada penulis.
4. Masyarakat serta perangkat Rw 010 Kelurahan Kebon Sirih termpat penulis mengadakan penelitian dan mendapat informasi.
5. Pimpinan perpustakaan yang telah memberikan fasilitas bagi penulis dalam menggali informasi pustaka.
ii
Serta keluarga besar H. Machdum di Tangerang.
7. Teman-teman seangkatan Kosentrasi Peradilan Agama B yang telah banyak membantu penulis semasa perkuliahan hingga akhir. Sahabat-sahabat Zulkarnaen, M. Indrawan, Farhan , Fajar, Evri, Ika Atikah dan yang lainnya, aku akan merindukan kalian, dan special buat Nurul Khotimah. Terima kasih, ku sulit membalas semua kebaikanmu.
8. Sahabat-sahabatku, Taufan, Vera, Dheby, Oscar, Arif, Astri, Agam, dan Seprina (Seven Adventure), terimakasih atas semua yang telah kita lewati bersama. Kau adalah yang terbaik yang kumiliki.
9. Dan terimakasih sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu melancarkan penyusunan skripsi ini yang tak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga kebaikan Allah SWT selalu bersamamu.
Jakarta, 31 Agustus 2010
KATA PENGANTAR……….. i
DAFTAR ISI ……… iii
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ……….. ……….. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ……….. 7
C. Tujuan dan Manfaat ………. 8
D. Metodologi Penelitian ……….. 8
E. Metode Pengumpulan Data ...………... 9
F. Sistematika Penulisan……….. 10
G. Review Studi Teredahulu ……… 11
BAB II : PERKAWINAN dan AKIBATNYA A. Pengertian, Dasar, Syarat, Rukun, dan Tujuan Pernikahan …… 13
B. Hukum Menikah ……… 15
C. Akibat Yang Timbul Dari Pernikahan ………. 18
D. Pengertian Pernikahan Bawah Tangan ………...………… 28
E. Faktor-Faktor Pendorong Nikah Bawah Tangan……..……...…. 31
BAB III : GAMBARAN UMUM KEHIDUPAN MASYARAKAT KELURAHAN KEBON SIRIH KECAMATAN MENTENG A. Gambaran Umum ……… 33
B. Penduduk ………. 34
iv
BAB IV : PEMBAHASAN SERTA ANALISA MASALAH
A. Pembahasan……… ……….……….. 39 B. Analisa Permasalahan ……….……….. 66 BAB V : PENUTUP
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan dan saling bergantung satu sama lain. Perekatan manusia berbeda jenis kelamin adalah suatu contoh bahwa manusia itu saling membutuhkan satu sama lain. Upaya melakukan perekatan itu dilakukan dengan cara perkawinan.
Indonesia adalah bangsa yang majemuk, bangsa dengan beribu pulau dengan ratusan suku bangsa terdapat di dalamnya. Kemajemukan yang ada banyak menimbulkan bermacam-macam perbedaan, khususnya dalam tatanan hukum, bahasa, kebiasaan dan banyak lainnya.
Indonesia sebagai negara yang sedang membangun mengupayakan untuk mencapai suatu taraf hidup yang lebih baik. Oleh karena itulah disusun suatu materi hukum yang diharapkan bisa mengatur kemajemukan itu sendiri ke dalam satu kesatuan. Hukum merupakan suatu alat pengendalian. Menurut H.F.A. Vollmar, hukum adalah suatu aturan yang sebanyak mungkin harus dipertahankan oleh atasan dan akan dikenakan sanksi apabila melanggarnya.1 Sanksi berarti bahwa jika aturan tersebut tidak terpenuhi, maka dengan sendirinya akan menimbulkan efek hukum.
Bangsa Indonesia sebagai Negara yang berkembang, sudah mempunyai kodifikasi sendiri dalam mengatur perkawinan yaitu dengan adanya Undang-undang No. 1
1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang berisikan sahnya perkawinan apabila dilakukan menurut hukum agamanya masing-masing dan kepercayaan dengan syarat pernikahan itu harus dicatatkan.
Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia, dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.2 Di dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan diatur bahwa perkawinan itu harus dicatatkan agar apabila terjadi sesuatu di dalam biduk rumah tangga itu dapat mengandung suatu kekuatan hukum.
Perkawinan juga menimbulkan hak dan kewajiban, serta hak orang lain yaitu anak. Hak dan kewaijiban itu harus dipenuhi karena manusia memiliki hak tersebut sejak mereka dilahirkan. Bahkan sejak masih dalam kandungan hak itu sudah terdapat (hak waris).
Hak itu dibedakan atas hak mutlak dan hak nisbi. Hak mutlak adalah hak absolut, yang melekat pada diri seseorang, disamping itu, ada juga kewajiban yang mengikutinya. Hak mutlak terbagi menjadi;3
1. hak kebendaan (eigendom).
2. hak kepribadian (hak individu atas hidupnya, atas badannya, kehormatan serta nama baiknya).
3. hak keluarga.
2
Lihat Undang-Undang No.1 Tahun 1974 pasal 1
3
Sedangkan hak nisbi adalah hak yang memberikan kewenangan terhadap seseorang yang berkewajiban mewujudkan kewenangan haknya, misalnya hak menagih piutang.
Keanekaragaman bangsa Indonesia membuat masyarakat indonesia mempunyai culture tersendiri yang bisa menjadi penghalang masyarakat Indonesia untuk membangun. Perubahan tidak langsung diterima dengan mudah sehingga hukum-hukum baru sulit untuk dijalankan. Contoh perkawinan harus dicatatkan. Namun kenyataaannya masih tetap saja ada perkawinan yang tidak dicatatkan (pernikahan bawah tangan) dengan berbagai alasan. Padahal akibat yang ditimbulkan dari tidak tercatatnya perkawinan itu sangat besar sekali. Akibat itu bukan hanya berpengaruh pada dirinya sendiri melainkan akan berpengaruh juga kepada anak-anak mereka. Disinilah permasalahan yang ingin diteliti langsung oleh peneliti. Hak-hak anak mulai dipertanyakan.
Manusia itu sudah mendapatkan haknya sejak masih dalam kandungan, yaitu hak mutlak. Hak mutlak adalah hak yang diperoleh/sudah melekat pada diri manusia.4 Disamping hak mutlak manusia juga mendapatkan hak nisbi, yaitu hak tidak melekat pada diri seseorang sehingga hak tersebut hanya menjadi kewenangan.
Dilihat dari berbagai aspek, anak-anak sebagai generasi penerus justru lebih banyak memerlukan perhatian dibandingkan kelompok umur dewasa. Laju pembangunan suatu Negara ditentukan oleh mereka. Tapi saat ini hak-hak mereka tidak didengar. Selama ini aspirasi mereka selalu dikebelakangkan, dianggap warga
4
Negara kelas dua yang tidak mengerti apa-apa. Padahal anak-anak usia sekolah sudah bisa membedakan mana baik dan mana buruk.
Sejak tahun 1954 hingga hari ini, jumlah negara yang menyelenggarakan peringatan hari anak sedunia telah meningkat dari 50 menjadi 150 negara. Melalui peringatan tersebut, masalah dan problem yang dihadapi anak-anak di dunia menjadi bahan perhatian negara-negara, organisasi dan lembaga-lembaga internasional. Melalui peringatan itu juga, berbagai sumber mengajukan laporan data statistik terbaru mengenai keadaan anak-anak, masalah dan kesulitan yang mereka hadapi serta kondisi kesehatan dan kesejahteraan mereka.
Sebagian dari data itu menyingkap realita pahit kehidupan jutaan anak di seluruh dunia yang hidup serba berkekurangan. Mereka bergelut dengan krisis makanan, kesehatan, pendidikan dan sebagainya. Anak-anak lebih memerlukan perhatian, dukungan dan keamanan di banding kelompok umur yang lain. Masa depan dunia yang lebih baik memerlukan dukungan kesehatan mental dan keamanan anak-anak, tanpa diskriminasi apapun, anak-anak di dunia harus diberi perlindungan khusus oleh seluruh negara di dunia.
Riset mengatakan bahwa 50 juta anak dan 41% bayi yang lahir diseluruh dunia tidak mempunyai akta kelahiran. Berarti para orang tua masih kurang menyadari pentingnya pencatatan peernikahan yang akan berdampak kepada hak-hak anak mereka5.
5
130 juta anak tidak memiliki kesempatan belajar di sekolah dasar, di mana 60 persen dari jumlah tersebut adalah anak-anak perempuan. Secara realitas, ia tidak termasuk anggota masyarakat dan tidak bisa mendapat hak seperti anak-anak lain seperti pendidikan dan kesehatan cuma-cuma. Dari sudut ini, ketika menginjak usia dewasa, dia tentu tidak akan mendapat hak-hak sosial. Anak-anak seperti ini yang tidak memiliki surat pengenal dengan mudah menjadi korban penyelundupan anak-anak atau jaringan mafia lainnya.
Organisasi buruh dunia dalam laporannya juga menyinggung, sebanyak 245 juta anak usia 5 hingga 17 tahun di seluruh dunia menjadi tenaga pekerja. Dari jumlah tersebut, sebanyak 8 juta 400 ribu anak lelaki dan perempuan menjadi korban aktivitas ilegal seperti perbudakan, penyelundupan manusia, eksploitasi seks dan dipaksa terjun ke medan militer. Perlu juga dicatat bahwa sebanyak 2 juta anak dari jumlah tersebut dimanfaatkan untuk keperluan seks dan pornografi.6
Setiap tahunnya lebih dari 700 anak menjadi korban penyeludupan manusia. Mereka diperdagangkan layaknya budak. Dalam hal ini PBB melaporkan bahwa permintaan akan tenaga kerja murah begitu banyak, dan kebutuhan akan anak-anak perempuan dan lelaki dalam perniagaan seks semakin meningkat.
Dalam agama Islam, anak-anak memiliki hak-hak khusus. Islam bahkan menggolongkan pendidikan anak yang benar sebagai ibadah. Tidak hanya itu,
6
pandangan kasih sayang juga terhitung sebagai amal kebajikan, menghormati kedudukan dan kemuliaan anak-anak dianggap perlu di setiap situasi dan kondisi.
Hak anak-anak, hak keluarga dan hak manusia, sudah dijelaskan dalam ajaran Islam. Islam telah menjelaskannya lebih lengkap dari apa yang dipaparkan oleh piagam hak Asasi Manusia atau Konvensi Hak Anak Sedunia. Salah satu kelebihan Islam ialah selain menyodorkan undang-undang dan metode, juga menyuguhkan teladan hidup. Nabi Muhammad SAW, beliau sangat menghormati hak-hak anak dan memperlakukan mereka dengan kasih sayang.
Setiap anak berhak untuk dianggap sebagai individu bebas yang mempunyai hak-hak. Anak-anak berhak untuk memilih keluarga, tempat tinggal dan juga berhak atas pendidikan yang diinginkannya.
Di Indonesia sendiri terdapat sekitar 1,8 juta pekerja anak, 2,7 juta anak yang terlantar, lebih dari 50 ribu anak yang berkeliaran di jalanan. Di Indonesia, telah terjadi kecenderungan bahwa anak-anak semakin banyak diperkerjakan di bidang pariwisata, terutama di pantai-pantai, dan sering mendapat pelecehan seksual.
Anak-anak memang selalu tidak dianggap penting. Apalagi hak-haknya. Tampaknya para wakil rakyat tidak begitu peka dengan masalah perlindungan terhadap anak dari kekerasan dan eksploitasi di media-media elektronik.
ajaran Islam secara serampangan. Mereka hanya berlindung di balik ayat-ayat yang ditafsirkan secara keliru.
Situasi dan kondisi diatas seharusnya membuat kita prihatin dan bertindak agar hal ini dapat segera berkurang, bahkan terhapuskan. Untuk mewujudkan hal itu harus dimulai dari diri kita sendiri, masyarakat, barulah menyebar ke Negara.
Dari pemaparan situasi dan kondisi diatas, maka penulis mencoba meneliti, “HILANGNYA HAK-HAK ANAK DAN ISTRI AKIBAT NIKAH DIBAWAH TANGAN (Studi di Kelurahan Kebon Sirih Kecamatan Menteng)”. Dimaksudkan untuk memberikan gambaran terhadap tingkat kesadaran masyarakat Indonesia.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah
Dengan memperhatikan perrmasalahan diatas maka peneliti mengkhususkan permasalahan yang akan dibahas mengenai kesadaran para pelaku pernikahan bawah tangan terhadap hilangnya hak-hak mereka. Yang dimaksud disini adalah hak para pelaku maupun hak anak-anak mereka.
2. Perumusan Masalah
a. Bagaimana tingkat kesadaran para pelaku pernikahan bawah tangan terhadap hak-hak anak mereka?
b. Bagaimana para pelaku nikah bawah tangan menuntut hak-hak mereka terutama anak-anak mereka?
C. Tujuan dan Manfaat
1. Penelitian ini ditujukan untuk;
a. Mengetahui bagaimana tingkat kesadaran pelaku nikah bawah tangan terhadap hak-hak mereka.
b. Mengetahui peluang para pelaku nikah bawah tangan memperjuangkan haknya khususnya anak-anak mereka
2. Manfaat
Agar penelitian ini bisa menjadi sumbangsih bagi pemerintah juga pelaku pernikahan bawah tangan untuk menuju kehidupan yang lebih baik. Juga agar hak-hak anak indonesia terpenuhi.
D. Metodologi Penelitian 1. Pendekatan Penelitian
sesungguhnya lebih bersifat kualitatif, mengingat alat yang digunakan dalam mengumpulkan data adalah melalui wawancara dengan nara sumber.
2. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian empiris, dimana peneliti mencari sumber-sumber data di lapangan untuk kemudian ditarik suatu kesimpulan yamg lebih khusus.
E. Metode Pengumpulan Data 1. Data Primer
Data yang diambil melakukan wawancara langsung terhadap objek dan sumber data yang ada dengan instrument pengumpul data berupa angket juga alat perekam.
2. Data Sekunder
Dengan menggunakan beberapa referensi, yaitu buku-buku yang terkait, artikel, makalah ataupun media elektronik juga internet untuk lebih memperdalam suatu pemahaman.
3. Teknik Analisa Data
4. Subyek-Obyek Penelitian
Sumber informasi data yang akan dikaji adalah masyarakat pelaku nikah bawah tangan. Dilakukan dengan sample random (acak) agar peneliti mudah menarik suatu kesimpulan
F. Sistematika Penulisan
Adapun metode penulisan ini berpedoman sepenuhnya kepada Buku Pedoman Penulisan Skripsi yang telah diperbaharui oleh Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakartya. Dengan disesuaikan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).
Penulisan skripsi ini mengacu pada sistem pembagian bab, dengan beberapa rincian sebagai sub bagian, yaitu:
Bab I pendahuluan, dimana disini penulis menjelaskan mengenai latar belakang penulis mengambil judul ini, pembatasan serta perumusan masalahnya, tujuan dan manfaat, serta metodologi penelitian penulis mengumpulkan data, sistematika penulisan, dan review studi terdahulu.
Bab III gambaran umum lokasi penelitian tempat penulis melakukan studi. Penulis memaparkan kondisi masyarakat yang menjadi objek penelitian dari segi pendidikan, ekonomi dan kondisi sosial.
Bab IV pembahasan dan analisis data, merupakan deskripsi tentang permasalahan yang termaktub di judul berikut analisis penulis mengenai penyebab permasalahan yang timbul di tempat penelitian.
Bab V penutup, berisikan kesimpulan dan saran, penarikan pembuktian dari uraian materi permasalahan yang telah terkupas di materi bab IV.
G. Review Studi Terdahulu
1. “Perkawinan Nikah Bawah Tangan dan Pengaruhnya Terhadap Pembagian Harta Waris Akibat Perceraian” (Studi Kasus Pada PA Jakarta Barat)
Penyusun; hafiz (2005)
Skripsi ini menitikberatkan pada pandangan hukum islam dan juga UU No.1 tahun 1974, khususnya pernikahan bawah tangan. Disini juga dilhat bagaimana PA Jakarta Barat memutus pembagian harta waris.
2. “Mahalnya Biaya Perkawinan Sebagai Faktor Pemicu Nikah Bawah Tangan” (Studi Kasus di KUA Kecamatan Benda Tangerang)
Penyusun; Ahmad Syadzaly (2006)
3. “Tinjauan Hukum Islam dan UU No.1 tahun 1974 Tentang Perkawinan Bawah Tangan”. (Studi Kasus di Depok)
Penyusun; Ifi Rahmawati (2003)
Skripsi menguraikan faktor penyebab nikah bawah tangan dan akibat hukumnya serta bagaimana tinjauan hukum islam dan UU No.1 tahun 1974 tentang hal ini.
4. “Status Anak dari Pernikahan Sirri dan Dampaknya Terhadap Harta Warisan Yang Diperoleh Menurut Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif”
Penyusun; Azzah Rawi (2003)
BAB II
PERKAWINAN DAN AKIBATNYA
A. Pengertian, Dasar, Syarat, Rukun, dan Tujuan Pernikahan
Perkawinan menurut bahasa adalah al-jam’u dan al-dhomu yang artinya
berkumpul. Pengertian lainnya ialah zawaj, bisa diartikan aqdu al-tazwij yang artinya
akad nikah, atau wath’u al-zaujah yang bermakna menyetubuhi istri.1
Nikah berasal dari bahasa arab “nikahun“ yang merupakan masdar atau asal
kata dari kata kerja “nakaha”, sinonimnya “tazawwaja” yang diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia sebagai perkawinan.2
Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga (keluarga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa.3 Drs. Slamet Abidin
mengatakan, perkawinan adalah suatu akad antara seorang pria dengan seorang
wanita atas dasar kerelaan dan kesukaan kedua belah pihak, yang dilakukan oleh
pihak lain (wali) menurut sifat dan syarat yang telah ditetapkan syara’ untuk
menghalalkan percampuran antara keduanya, sehingga satu sama lain saling
membutuhkan menjadi sekutu sebagai teman hidup dalam rumah tangga.4
1
Sulaiman Al Mufarraj, Bekal Pernikahan : Hukum, Tradisi, Hikmah, Kisah, Syair, Kata Mutiara. Alih Bahasa, Kuais Mandiri Cipta Persada, Jakarta: Qithi Press, 2003, h.5
2
Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2000) h.4
3
Lihat Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 1
4
Bangsa Indonesia sebagai negara yang berkembang sudah mempunyai
kodifikasi sendiri dalam mengatur perkawinan yaitu dengan adanya Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang berisikan sahnya perkawinan apabila
dilakukan menurut hukum agamanya dan kepercayaan masing-masing dengan syarat
pernikahan itu harus dicatatkan. Pencatatan perkawinan ini dimaksudkan agar
pihak-pihak yang menuntut haknya apabila hak-haknya itu tidak terpenuhi dengan baik.
Selain daripada itu juga ada Kompilasi Hukum Islam yang menguatkannya.
Undang-Undang No.1 tahun 1974 menyebutkan syarat-syarat perkawinan itu :5
1. harus ada persetujuan dari calon mempelai
2. usia pria minimal 18 tahun dan wanita 16 tahun
3. harus mendapat izin orang tua/wali
Kompilasi Hukum Islam menambahkan selain daripada di atas dengan adanya 2
orang saksi dan adanya ijab kabul.6 Menurut hukum islam sendiri, mahar termasuk di
dalam syarat-syarat perkawinan.7
Para jumhur ulama sepakat bahwa rukun pernikahan yaitu :8 (1) adanya calon istri
dan suami (2) adanya wali dari pihak calon mempelai wanita (3) adanya 2 orang saksi
(4) sighat akad nikah. Sedangkan Imam Malik mengatakan selain 4 hal tersebut juga
diharuskan dengan adanya mahar.
5
Lihat Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 6 dan 7
6
Lihat Kompilasi Hukum Islam pasal 14
7
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Di Indonesia : Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta; Kencana, 2007) h.61
8
Adapun tujuan dari sebuah pernikahan itu adalah :9
1. melaksanakan dorongan hawa nafsu atau libido seksualitas
2. memperoleh keturunan
3. memperoleh kebahagian dan ketenangan
4. mengikuti sunnah Rasul
5. mengikuti perintah Allah (surah An Nisa ayat 13)
6. untuk berdakwah
B. Hukum Menikah
Pada dasarnya para fuqoha sepakat bahwa hukum menikah itu adalah sunnah.
Namun ulama zahiri mengatakan bahwa menikah itu hukumnya wajib. Penyebabnya
perselisihannya adalah syighot amar firman Allah, ءﺎﺴ ﻟا ﻜﻟبﺎﻃ ﺎ اﻮﺤﻜ ﺎﻓ , ayat ini
mengandung kemungkinan wajib, sunnah atau mubah tergantung kepada
kemaslahatannya.10 Para ulama Maliki muta’akhirin berpendapat bahwa menikah itu
wajib bagi sebagian orang yang takut terjerumus akan zina, tidak mampu berpuasa.
Sunnah bagi sebagian lainnya karena syahwatnya tidak terlalu bergejolak, ingin
keturunan dan ada kemampuan. Mubah untuk sebagian golongan dikarenakan
kekhawatiran terhadap kesulitan dirinya, tidak suka membujang, dan tidak ingin
mempunyai keturunan.
9
Ibid, h.12-18
10
1. Wajib
Nikah hukumnya wajib bagi orang yang mampu dan nafsunya mendesak,
serta takut terjerumus dalam perzinahan. Menjauhkan diri dari perbuatan haram
adalah wajib, maka menikah menjadi wajib untuk menghindari zina.
☺
☺
☺
⌦
⌧
Ulama Malikiyah memberikan beberapa kriteria tentang wajibnya menikah
bagi seseorang, yaitu :11
a. apabila takut dirinya akan terjerumus ke dalam lembah perzinahan.
b. untuk mengekangnya tidak mampu berpuasa, atau apabila mampu tetapi tidak
mampu mengekang nafsunya.
c. tidak mampu menyatukan kekayaan umat.
Sedangkan ulama Hanafiyah berpendapat, sama seperti ulama Malikiyah,
namun ditambahkan dengan mampu memberikan mahar dan memberi nafkah.12
2. Sunnah
Bagi orang yang mau menikah dan nafsunya kuat, namun masih bisa
mengendalikan diri dari perbuatan zina, maka hukum menikah bagi dia adalah
sunnah. Namun menikah lebih utama bagi dia karena menjalani hidup seperti pendeta
(tidak menikah) sama sekali tidak dibenarkan dalam Islam.13
ﺗ
Artinya ; “nikahlah kalian karena aku akan membanggakan jumlah kalian pada
umat-umat yang lain. Dan janganlah kalian seperti pendeta-pendeta nasrani.” (HR. Baihaqi)
Ulama-ulama Hanafiyah maupun ulama Hanbaliyah, sepakat bahwa menikah
itu sunnah bagi orang yang menyukainya, tetapi tidak takut terjerumus ke lembah
11
Abdurrahman, Perkawinan Dalam Syariat Islam. Penerjemah Bisri Ida, dkk, cet.1 (Jakarta: Rineka Cipta, 1992) h.8
12
Ibid., h.8
13
perzinahan. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa menikah itu sunnah bagi orang
yang kurang menyukainya, tetapi ingin memiliki keturunan. Sedangkan ulama
Syafi’iyah menganggap sunnah bagi orang yang ingin menjaga ketenangan jiwa dan
mendapatkan keturunan.14
3. Haram
Bagi orang yang tidak menginginkan menikah karena tidak mampu
memberi nafkah, baik nafkah bathin maupun lahir kepada istrinya serta mempunyai
penyakit yang cukup gawat yang ditakutkan akan menular pada istri dan anaknya,
maka hukum menikah adalah haram.15
4. Makruh
Menikah menjadi makruh bagi seseorang apabila dia lemah syahwat, tidak
mampu memberi nafkah lahir, dan tidak mempunyai nafsu yang kuat.
5. Mubah
Ulama Hambali mengatakan bahwa menikah hukumnya mubah apabila
orang tersebut tidak ingin menikah. Juga apabila tidak mempunyai alasan-alasan yang
mewajibkanya untuk menikah.16
14
Ibid., h.14
15
Abdurrahman, Perkawinan Dalam Syariat Islam. h.9
16
C. Akibat Yang Timbul Dari Pernikahan
Keluarga adalah unit terkecil didalam masyarakat yang terdiri dari ayah, ibu,
dan anak, atau keluarga sedarah lurus keatas maupun kebawah. Keluarga timbul
akibat adanya perkawinan.
Dalam setiap perbuatan pasti terbentuk sebab dan akibat, hal ini pun tak
terlepas dari perbuatan perkawinan. Oleh karenanya pihak-pihak yang akan
melangsungkan pernikahan harusnya mengetahui hal-hal yang akan timbul setelah
akad.
Akibat yang timbul dalam perkawinan hanya bisa dipertanggung jawabkan
setelah terjadinya akad. Setelah akad terlaksana maka secara otomatis, apa yang
menjadi kewajiban orang tua terhadap anak perempuannya beralih kepada suaminya.
Peralihan ini meliputi segala hal termasuk hak-haknya.
Hak itu dibedakan atas hak mutlak dan hak nisbi. Hak mutlak adalah hak absolut,
yang melekat pada diri seseorang, disamping itu, ada juga kewajiban yang
mengikutinya. Hak mutlak terbagi menjadi;17
1. hak kebendaan (eigendom).
2. hak kepribadian (hak individu atas hidupnya, atas badannya, kehormatan serta
nama baiknya).
3. hak keluarga.
17
Sedangkan hak nisbi adalah hak yang memberikan kewenangan terhadap
seseorang yang berkewajiban mewujudkan kewenangan haknya, misalnya hak
menagih piutang.
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 mengemukakan hak dan kewajiban suami
istri dalam pasal 30 sampai dengan pasal 34.18
Pasal 30
Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga
yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat.
Pasal 31
(1) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan
suami dalam kehidupan rumah tanggadan pergaulan hidup bersama
masyarakat.
(2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
(3) Suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga.
Pasal 32
(1) Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
(2) Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini
ditentukan oleh suami istri bersama.
Pasal 33
18
Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat-menghormati, setia dan
memberi bantuan lahir batin yang satu pada yang lainnya.
Pasal 34
(1) Suami wajib melindungi isatrinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
(2) Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
(3) Jika suami dan istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat
mengajukan gugatan kepada pengadilan.
Dari pemaparan diatas dapat kita ketahui apa yang menjadi hak istri menjadi
kewajiban suami, begitu pula sebaliknya apa yang menjadi hak suami menjadi
kewajiban istri.
Ringkasnya dapat penulis simpulkan apa yang menjadi hak istri dan menjadi
kewajiban suami adalah;
1. Nafkah
Segala sesuatu yang menjadi kebutuhan sang istri harus dipenuhi oleh suami
dengan batas kemampuannya. Baik disini adalah nafkah lahir maupun nafkah batin,
suami wajib memenuhinya. Karena setelah akad terjadi beban nafkah lahir yang
tadinya adalah kewajiban orang tua, otomatos beralih kepada suami. Jadi tak ada alas
an bagi suami untuk memungkirinya.
Hal ini penting dikarenakan seperti yang kita ketahui bersama bahwa kaum adam
adalah pengayom kaum hawa. Maka dari itu wajib bagi suami untuk melindungi
istrinya dari segala sesuatunya.
Dalam agama islam, bentuk perlidungan terhadap istri digambarkan sebagaimana
firman Allah SWT dalam Surah An Nisa ayat 19
⌧
Artinya; Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (An Nisa ayat 19)
Ayat ini tidak menunjukkan bahwa mewariskan wanita tidak dengan jalan paksa
dibolehkan. Menurut adat sebahagian Arab Jahiliyah apabila seorang meninggal
dunia, maka anaknya yang tertua atau anggota keluarganya yang lain mewarisi janda
itu. janda tersebut boleh dikawini sendiri atau dikawinkan dengan orang lain yang
Keterangan lain dari ayat ini menyebutkan bahwa suami patut melindunginya
dengan patut walau suami kurang menyukainya.
Adapun perlindungan lain dari seorang suami terhadap istrinya adalah
menyediakan tempat tinggal yang layak. Hal ini bertujuan agar si istri dapat
menjalankan tugasnya dengan baik sebagai ibu rumah tangga.
3. Waris
Kewarisan akan jatuh kepada sang istri secara otomatis apabila suaminya
meninggal dunia apabila tidak ada perkara yang menghalanginya. Apa yang menjadi
harta waris adalah harta bawaan maupun harta bersama yang telah dikumpulkan
dalam masa biduk rumah tangganya berjalan. Harta ini akan dibagikan setelah
dipotong untuk keperluan si mayit.
Adapun hal lain yang ditimbulkan dari pernikahan adalah dam hal pengasuhan
dan pendidikan anak. Keluarga meliputi suami, istri, dan anak. Satu sama lain saling
berkaitan dan tak dapat terlepas.
Perkawinan juga menimbulkan hak terhadap orang lain yaitu anak. Manusia itu
sudah mendapatkan haknya sejak masih dalam kandungan, yaitu hak mutlak. Hak
mutlak adalah hak yang diperoleh/sudah melekat pada diri manusia.19 Disamping hak
19
mutlak manusia juga mendapatkan hak nisbi, yaitu hak tidak melekat pada diri
seseorang sehingga hak tersebut hanya menjadi kewenangan.
Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi,
dan dipenuhi oleh orang tuanya, keluarga, masyarakat, pemerintah dan Negara. Jadi
disini orang tua mempunyai kewajiban terhadap anaknya. Diantara hak-hak itu
meliputi;
1. Ekonomi
Orang tua wajib memberikan nafkah pada anak-anaknya. Dalam segala hal dan
bentuk, orang tua mempunyai kewajiban untuk memenuhi segala yang dibutuhkan
oleh anaknya dalam hal materiil.
Meliputi sandang dan pangannya, teampat tinggal, serta kebutuhan ekonomi
lainnya. Hal ini akan menjadi tanggung jawab orang tua hingga sang anak dewasa
atau telah menikah. Batas umur dewasa dimaksud adalah 18 tahun sebagaimana
termaktub dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 pasal 47 ayat 1.
Ekonomi sangat berperan penting bagi perkembangan anak. Karena pendidikan
dan segala sesuatunya di dunia ini membutuhkan biaya yang cukup besar. Oleh
karena itu menurut penulis, dijaman sekarang yang serba modern ini memerlukan
perekonomian yang bagus agar anak pun bisa mengikuti perkembangannya dengan
Peran ekonomi juga menjadi penunjang bagi kesejahteraan dan kesehatan sang
anak sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual dan social.
2. Pendidikan
Kewajiban orang tua yang lain terhadap anaknya adalah pendidikan. Sebagai
mana mungkin seorang tua harus mendidik anak-anaknya sebagai bekal masa
depannya nanti. Pendidikan yang harus diterima anak bukan hanya di sekolah, tapi
yang lebih penting dirumah. Perilaku seorang anak dapat tercermin dari pendidikan
yang didapat dari orang tuanya dirumah.
Dengan kata lain orang tua berperan penting dalam penunjang masa depan
anaknya. Orang tuanya lah yang mengajarkan perbuatan baik dan buruk. Orang tua
adalah teladan bagi sang anak.
Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, menyebutkan bahwa dalam mendidik anak, orang
tua harus lebih dulu menanamkan pohon-pohon keimanan dalam diri si anak.20 Hal
ini dimaksudkan agar anak-anak kita sudah mempunyai bekal yang kuat sebelum
terjun ke masyarakat. Ini menunjukan pentingnya ilmu bagi umat manusia.
Setiap anak juga berhak menentukan pendidikannya sendiri demi pengembangan
tingkat kecerdesannya dengan pengawasan dari orang tuanya. Pendidikan ini tak bisa
dipaksakan. Biarkan sang anak berekspresi sendiri. Karena kita tidak bisa membatasi
daya fikir anak.
3. Perlindungan
20
Setiap manusia pastinya butuh perlindungan, tak terlepas pula dengan seorang
anak. Anak akan membutuhkan perlindungan dari orang tuanya. Karena siapa lagi
yang bisa melindungi dan menjaganya selain orang tuanya. Kewajiban orang tua pula
untuk melindunginya dari api neraka dengan bekal pendidikan agama. Maka dari itu
diperlukan kesiapan yang khusus dari seseorang sebelum melangsungkan pernikahan.
Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar
dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan
harkat dan martabat manusia, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan
sejahtera.21
Anak juga behak mendapat istirahat, bermain sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan
dan kepatutan dengan perlindungan dan pengawasan dari kedua orang tuanya. Anak
mjuga berhak mendapat kasih saying dari kedua orang tuanya sebagai wujud rasa
perlindungan orang tua terhadap anaknya.
4. Nama
Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas dan status kewarganegaraan.
Selain itu seaorang anak juga berhak mengetahui siapa orang tuanya dan mendapat
pengasuhan dari orang tuanya sendiri.
5. Berpendapat
21
Kita wajib menghargai pendapat siapapun termasuk pendapat anak. Jangan hanya
beranggapan dia masih kecil sehingga kita menyepelekan pendapatnya. Mereka
berhak menyatakan pendapat, mencari dan menerima informasi sesuai dengan tingkat
kecerdasannya.
6. Waris
Setiap anak didunia ini pastilah mewarisi kekayaan dari orang tuanya. Hal ini
telah diatur oleh Undang-Undang maupun Al Quran dengan sangat baik. Waris akan
langsung jatuh ketangan si anak bila tidak ada perkara yang menghalanginya.
Sebab-sebab mewarisi dalam islam;22
1. Al Qarabah
Atau kita menyebutrnya hubungan pertalian darah. Yaitu ahli waris yang ada
pertalian darah, baik laki-laki maupun perempuan, anak-anak, diberi hak untuk
menerima bagian menurut jauh dekatnya pertalian darah.
☺
Artinya; Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan
22
bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah
ditetapkan. (Q.S. An Nisa Ayat 7)
2. Al Musaharah
Atau hubungan perkawinan. Perkawinan secara tak langsung menimbulkan waris,
perkawinan yang dimaksud disini adalah perkawinan yang sah menurut agama dan
Negara.
3. Al Wala’
Adalah hubungan kewarisan yang timbul akibat memerdekakan hamba sahaya
atau melalui perjanjian tolong menolong.
D. Pengertian Nikah Bawah Tangan
Di dalam masyarakat Indonesia mengenal beberapa jenis perkawinan.
Diantaranya pernikahan bawah tangan. Nikah bawah tangan adalah perkawinan yang
dilakukan tanpa pencatatan pernikahan tetapi dianggap sah menurut agama karena
sudah memenuhi syarat-syarat untuk melakukan pernikahan itu sendiri menurut
hukum agama. Walau agama menyatakan perkawinan ini sah namun menurut hukum
perdata (BW) belum dianggap sah karena belum dicatatkan di catatan sipil.
Masyarakat indonesia umumnya masih mengikuti adat kebiasaan yang berlaku
dahulu, yaitu dengan menganggap bahwa perkawinan itu sudah cukup dilakukan
dalam bahwa itu semua belumlah cukup. Kita ingin maju, oleh karena itu kita perlu
peraturan.
Pencatatan pernikahan itu sebenarnya sangatlah penting untuk mendapatkan
hak-hak kita sebagai warga Negara Indonesia. Selain hak-hak kita itu juga
berpengaruh terhadap hak-hak keturunan kita. Bisa bayangkan apabila perkawinan
yang tidak dicatatkan dianggap tidak sah menurut Negara berarti anak hasil
perkawinan kita tidak akan dipandang oleh Negara.
Nikah bawah tangan atau islam menyebutnya nikah sirri yang dalam fiqih
kontemporer dikenal dengan istilah zawaj ‘urfi yaitu suatu pernikahan yang
memenuhi syarat-syarat pernikahan tetapi tidak tercatat secara resmi oleh pegawai
pemerintah yang menangani pernikahan (KUA). Disebut nikah ‘urfi (adat) karena
pernikahan ini merupakan adat dan kebiasaan yang berjalan dalam masyarakat
muslim sejak masa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan para sahabat yang mulia,
dimana mereka tidak perlu untuk mencatat akad pernikahan mereka tanpa ada
permasalahan dalam hati mereka.23
Dan definisi tersebut dapat kita pahami bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan
yang menonjol antara pernikahan syar’I dengan pernikahan ‘urfi, perbedaannya
hanyalah antara resmi dan tidak resmi, karena pernikahan ‘urfi adalah sah dalam
pandangan syar’I disebabkan terpenuhinya semua persyaratan nikah seperti wali dan
saksi, hanya saja belum dianggap resmi oleh pemerintah karena belum tercatat oleh
23
pegawai KUA setempat sehingga mudah digugat. DR. Abdul Fattah Amr berkata:
“Nikah ‘urfi mudah untuk dipalsu dan digugat, berbeda dengan pernikahan resmi
yang sulit digugat”.24
Dalam pendapat lain pernikahan siri diartikan oleh masyarakat umum dengan;
Pertama; pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (siri) dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju; atau karena menganggap absah
pernikahan tanpa wali; atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka
tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat; kedua, pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara. Banyak
faktor yang menyebabkan seseorang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga
pencatatan sipil negara. Ada yang karena faktor biaya, alias tidak mampu membayar
administrasi pencatatan; ada pula yang disebabkan karena takut ketahuan melanggar
aturan yang melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu; dan lain sebagainya.
Ketiga, pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu; misalnya karena takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur
menganggap tabu pernikahan siri; atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit
yang memaksa seseorang untuk merahasiakan pernikahannya.25
Namun yang lebih tepat disini adalah pernikahan sirri, yakni pernikahan yang
sah menurut ketentuan syariat namun tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil;
24
Ibid., h.22 25
sesungguhnya ada dua hukum yang harus dikaji secara berbeda; yakni (1) hukum
pernikahannya; dan (2) hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan
Negara.26
Dari aspek pernikahannya, nikah siri tetap sah menurut ketentuan syariat, dan
pelakunya tidak boleh dianggap melakukan tindak kemaksiyatan, sehingga tidak
berhak dijatuhi sanksi hukum. Pasalnya, suatu perbuatan baru dianggap kemaksiyatan
dan berhak dijatuhi sanksi di dunia dan di akhirat, ketika perbuatan tersebut
terkategori ”mengerjakan yang haram” dan ”meninggalkan yang wajib”. Seseorang
baru absah dinyatakan melakukan kemaksiyatan ketika ia telah mengerjakan
perbuatan yang haram, atau meninggalkan kewajiban yang telah ditetapkan oleh
syariat.
Begitu pula orang yang meninggalkan atau mengerjakan perbuatan-perbuatan
yang berhukum sunnah, mubah, dan makruh, maka orang tersebut tidak boleh
dinyatakan telah melakukan kemaksiyatan; sehingga berhak mendapatkan sanksi di
dunia maupun di akhirat. Untuk itu, seorang qadhi tidak boleh menjatuhkan sanksi
kepada orang-orang yang meninggalkan perbuatan sunnah, dan mubah; atau
mengerjakan perbuatan mubah atau makruh.27
E. Faktor-faktor Pendorong Nikah Sirri
26
Ibid.,
27
Ada beberapa faktor yang menyebabkan seorang memilih pernikahan tanpa
dicatat di KUA. Diantaranya adalah:
1.Faktor Sosial
a. Problem Poligami.
Syariat Islam membolehkan bagi laki-laki yang mampu untuk menikah lebih
dari satu istri. Sebagian kaum lelaki pun ingin mempraktikkan hal ini, namun ada
hambatan sosial yang menghalanginya, sebab poligami dipandang negatif oleh
masyarakat atau undang-undang negara mempersulit atau bahkan melarangnya.
b. Undang-undang usia.
Dalam suatu Negara biasanya ada peraturan tentang usia layak menikah. Di
saat ada seorang pemuda atau pemudi yang sudah siap menikah tetapi belum
terpenuhi usia dalam undang-undang, maka akhirnya dia memilih jalan ini.
c. Tempat tinggal yang tidak menetap.
Sebagian orang tidak menetap tempat tinggalnya karena terikat dengan
pekerjaannya atau selainnya. Terkadang dia harus tinggal beberapa waktu yang cukup
lama sedangkan istrinya tidak bisa mendampinginya. Dari situlah dia memilih
pernikahan model ini guna menjaga kehormatannya.
2. Faktor Harta
Dalam sebagian suku atau Negara masih mengakar adat jual mahar sehingga
dengan dengan mahar yang relative murah, mereka menempuh pernikahan model ini
karena khawatir akan diejek oleh masyarakatnya.
3. Faktor Agama
Termasuk faktor juga adalah lemahnya iman, dimana sebagian orang lebih
menempuh jalan ini untuk memenuhi hasratnya bersama kekasihnya dan tidak ingin
terikat dalam suatu pernikahan resmi.28
28
BAB III
GAMBARAN UMUM KEHIDUPAN MASYARAKAT RW.010 KELURAHAN KEBON SIRIH KECAMATAN MENTENG
A. Gambaran Umum
Kelurahan Kebon Sirih terletak di bagian barat wilayah kecamatan Menteng Pusat kota Jakarta. Dengan luas wilayah yang hanya 83,40 Ha terbagi menjadi 10 Rukun Warga (RW). Menjadikan daerah ini padat penduduk. Menurut peruntukan tanah lahan utama yang digunakan untuk perumahan penduduk hanya 64,60 Ha, sisanya digunakan untuk fasilitas umum dan lain-lain.
Daerah RW.010 sendiri hanya seluas 5,13 Ha, dengan luas hanya sedikit ini namun memiliki kepadatan penduduk 2556 jiwa. Keadaan rumah disini berdempet-dempetan dan berlorong-lorong menjadikan daerah ini terpadat nomor dua di kelurahan kebon sirih. Berisikan tidak sampai seperempat bangunan yang permanen karena rumah yang berdempet dan sulit menemukan tanah kosong sehingga warga disini hanya membangun rumah yang semi permanen sebagai tempat tinggal, termasuk pula bangunan masjid, MCK, dan tempat-tempat umum lainnya. Bangunan-bangunan disini pun rata-rata menjulang keatas (bertingkat) karena terbatasnya lahan tempat tingal. Dan daerah ini pun menjadi daerah yang rawan banjir karena dilalui oleh kali ciliwung.
- timur : RW.008
- barat : jalan menteng raya - selatan : kelurahan cikini
Kepadatan penduduk menjadikan daerah ini rawan akan segala tindak kejahatan. Menjadikan daerah ini disegani dibanding daerah lain di kawasan kelurahan kebon sirih. Obat-obatan terlarang, perkelahian massa, seperti sudah menjadi keseharian di daerah ini.
B. Penduduk
Wilayah RW 010 adalah wilayah dengan penduduk yang paling padat bila dibandingkan dengan RW lain yang terdapat di wilayah kelurahan kebon sirih. Jumlah kepala keluarga yang tercatat dikelurahan adalah sebanyak 619 kepala keluarga WNI dan tambahan 1 kepala keluarga WNA. Jumlah keseluruhan adalah 620 kepala keluarga, yang terbagi atas 507 laki-laki dan 113 perempuan.1
Jumlah penduduk keseluruhan mencapai 2556 jiwa. Dengan perincian, jenis kelamin laki-laki sebanyak 1294 jiwa, dan jenis kelamin wanita sebanyak 1261 jiwa. Ditambah warga asing perempuan 1 jiwa.
C. Pendidikan
Dengan kepadatan yang telah dipaparkan diatas, harusnya menjadikan daerah ini sebagai penghasil bibit-bibit penerus bangsa yang banyak. Namun sangat disayangkan, faktor pendidikan anak-anak yang ada disini kurang darikata cukup. Hal ini dikarenakan pendidikan bukan prioritas bagi para orang tua dengan alasan
1
mahalnya biaya pendidikan. Perbandingan anak-anak yang sekolah hingga SLTA hanyalah seperempat dari jumlah anak yang ada. Lainnya adalah lulusan SD dan SLTP ataupun tidak tamat sekolah. Dan parahnya anak-anak yang menginjak bangku perkuliahan bisa terhitung dengan jari.
Ekonomi yang sangat pas-pasan menjadikan anak-anak disini harus bisa mencari biaya sendiri untuk membantu keluarga. Kerja serabutan atau berjualan menjadi andalan mereka. Tak jarang mereka melakukan perbuatan melawan hukum untuk menghidupi keluarga. Obat-obatan terlarang sangat terkenal disini. Tak terhitung sudah anak-anak yang mati karena memakai obat-obatan terlarang, tapi tidak membuat warga sadar karena itu bagi sebagian warga adalah sumber mata pencaharian mereka.
D. Perekonomian Masyarakat RW. 010 Kelurahan Kebon Sirih Kecamatan Menteng
Kepadatan penduduk yang terjadi menandakan bahwa penghasilan masyarakat disini rendah. Pekerjaan sebagian penduduk adalah buruh ataupun berdagang. Ditambah lagi dengan minimnya pendidikan yang dianyomi oleh pemuda-pemuda yang ada menjadikan mereka sulit berkembang dan mendapat pekerjaan yang layak.
dikatakan begitu. Tidak mempunyai keinginan untuk keluar dan mencoba untuk maju. Berfikiran pendek.
Mereka sama sekali tidak mempunyai keinginan untuk keluar. Bahkan setelah berkeluarga pun mereka tetap tinggal disini. Dengan alasan daerah ini sangat dekat kemana-mana. Dengan demikian menjadikan wilayah ini semakin sempit karena luas wilayah yang tidak juga bertambah namun penduduknya terus bertambah dan sesak.
Perniagaan menjadi agak lumayan di daerah ini. Tidak akan sulit mencari warung ataupun rumah makan karena hampir di tiap-tiap gang ada yang berjualan. Namun ada beberapa kegiatan perniagaan yang meresahkan di daerah ini. Penjualan obat-obatan terlarang marak disini. Dari dulu daerah ini terkenal dengan hal tersebut. Masyarakat yang ada terlalu masa bodoh dengan keadaan sekitar apalagi bila menyangkut urusan perut. Beberapa masyarakat yang ada dan tahu akan hal ini tidak ada yang berani melapor ke pihak berwajib dengan alasan tidak enak hati dengan orang tersebut karena merupakan warga asli.
Masalah perekonomian yang rendah ini menjadi faktor pembentuk jati diri para anak-anak di lingkungan ini. Perhatian yang kurang menjadikan mereka sering salah pergaulan. Ditambah dengan maraknya kenakalan remaja yang sudah sangat memprihatinkan membuat mereka semakin tak terkendali. Di usia yang masih tergolong muda, mereka sudah mengenal rokok, minuman keras, obat-obatan terlarang, bahkan seks bebas. Maka tidaklah mengherankan apabila di umur sekitar 17-an mereka sudah ada yang menikah.
Seiring dengan berjalannya waktu, beberapa kebiasaan buruk sudah mulai ditinggalkan. Saat ini beberapa orang tua sudah tersadar akan pentingnya pendidikan. Beberapa pemuda pun tergerak untuk berubah ke taraf hidup yang lebih baik. Sudah ada yang berani keluar untuk maju. Ketaatan dalam hal beribadah pun sudah mulai berkembang. Beberapa pengajian terbentuk disini. Membuka peluang untuk belajar melalui taklim-taklim baik ibu maupun bapak.
Ada beberapa fasilitas umum di daerah ini, diantaranya; rumah sakit, hotel, museum, tempat beribadah dan MCK yang bisa dikatakan lumayan terawat. MCK disini menjadi kebutuhan pokok warga karena dengan bangunan rumah yang semi permanent, sempit, dan berisikan beberapa kepala keluarga mustahil untuk membangun kamar mandi yang baik.
BAB IV
PEMBAHASAN SERTA ANALISA DATA A. Pembahasan
Dalam masyarakat perkotaan, segalanya mudah didapatkan. Informasi cetak
maupun elektronik begitu cepat tersebar. Apalagi di era digital ini, tidak ada satupun
berita yang tidak teraktual. Oleh karenanya sangatlah tidak mungkin apabila
masyarakat perkotaan ketinggalan berita.
Mulai dari berita yang tak lazim untuk diberitakan atau memang berita yang
layak untuk diberitakan tersaji jelas di masyarakat perkotaan. Media elektronik dapat
ditemukan disini. Bisa dikatakan 1 : 1000 masyarakat yang tidak mempunyai alat
elektronik. Karena alat elektronik di masyarat perkotaan adalah kebutuhan primer
bagi masyarakat perkotaan.
Selain itu media cetak pun dapat dengan mudah didapatkan. Mustahil di
ibukota sulit untuk mendapatkan media cetak. Dipinggir-pinggir jalan banyak sekali
pedagang asongan menjajakan Koran. Biasanya dihalaman pertama pasti terpampang
berita terbaru dan terpanas di negeri ini.
Oleh karenanya dapat dipastikan adanya perundang-undangan baru
penyempurnaan pada undang-undang terdahulu tentunya akan mudah di dapatkan.
Tinggal kita mencari cara yang tepat untuk mengaplikasikannya kepada masyarakat.
Tidak dapat kita pungkiri, di masyarakat kita, walaupun sudah maju cuma sulit untuk
menerima hal-hal baru yang menuju kearah positif. Sangat berbalik dengan hal-hal
Pernikahan adalah sebuah akad yang agung. Dibangun di atas dasar hak dan
kewajiban pasangan suami istri kepada sang Kholiq dan kepada sesama. Islam pun
mengaturnya sejak awal proses pemilihan pasangan hidup, prosesi pernikahan itu
sendiri, saat-saat bersama mengayuh biduk maupun ketika terselimuti kabut fitnah.
Bahkan ketika porak poranda sekalipun Islam mengaturnya.
Islam mensyaratkan akad dari seorang wali wanita dengan disaksikan dua
orang saksi, serta mensyariatkan agar diumumkan kepada masyarakat adanya ikatan
agung ini. Dan berlayarnya bahtera ini dibarengi dengan keridhoan dan kebahagiaan,
tanpa ada keresahan sosial dan pandangan curiga dari masyarakat sekitar.
Namun seiring dengan semakin jauhnya manusia dari cahaya nubuwwah,
bermunculanlah manusia yang melalaikan kewajiban. Suami pura-pura lupa tugasnya
atau istri terlalu berani pegang kendali. Di luar rumahpun ada orang-orang yang mau
bersaksi palsu, muncullah problematika baru yang mungkin belum pernah ada
sebelumnya. Untuk menghindari hal itu dan untuk kebutuhan-kebutuhan penting
lainnya maka dibutuhkanlah sebuah bukti akurat berupa pencatatan akad pernikahan
oleh sebuah lembaga resmi. Pemerintah muslim di seluruh dunia pun mewajibkan
pencatatan pernikahan pada lembaga resmi tersebut. Banyak maslahat yang diperoleh
dan banyak mafsadah yang dihilangkan atau setidak-tidaknya diminimalkan dengan
hal baru ini, pencatatan akad nikah.1
1
Meski bukan syarat sah sebuah pernikahan, dan pernikahan tetap sah selama
terpenuhi syarat rukun secara syar’i, namun karena pencatatan akad nikah diwajibkan
oleh pemerintah maka wajib bagi setiap insan beriman untuk menaati ketetapan ini.
Bukankah merupakan salah satu pokok aqidah Ahlussunnah yang sudah
mapan bahwa wajib menaati pemerintah selagi bukan untuk maksiat kepada Allah.
Jika peraturan semacam ini dianggap tidak wajib, lalu peraturan pemerintah macam
apa lagi yang akan menjadi wajib.
Seseorang baru berhak dijatuhi sanksi hukum di dunia ketika orang tersebut;
pertama, meninggalkan kewajiban, seperti meninggalkan sholat, jihad, dan lain sebagainya; kedua, mengerjakan tindak haram, seperti minum khamar dan mencaci Rasul saw, dan lain sebagainya; ketiga, melanggar aturan-aturan administrasi negara,
seperti melanggar peraturan lalu lintas, perijinan mendirikan bangunan, dan
aturan-aturan lain yang telah ditetapkan oleh negara. 2
Berdasarkan keterangan diatas, masyarakat yang pro terhadap nikah sirri
menyimpulkan; pernikahan yang tidak dicatatkan di lembaga pencatatan negara tidak
boleh dianggap sebagai tindakan kriminal sehingga pelakunya berhak mendapatkan
dosa dan sanksi di dunia. Pasalnya, pernikahan yang ia lakukan telah memenuhi
rukun-rukun pernikahan yang digariskan oleh Allah swt. Adapun rukun-rukun
pernikahan adalah sebagai berikut; (1) wali, (2) dua orang saksi, dan (3) ijab qabul.
2
Jika tiga hal ini telah dipenuhi, maka pernikahan seseorang dianggap sah secara
syariat walaupun tidak dicatatkan dalam pencatatan sipil.3
Adapun berkaitan hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga
pencatatan negara, maka kasus ini dapat dirinci sebagai berikut.
Pertama, pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil adalah agar seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk
membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang
lain. Sebab, salah bukti yang dianggap absah sebagai bukti syar’iy (bayyinah
syar’iyyah) adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara. Ketika pernikahan
dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, tentunya seseorang telah memiliki sebuah
dokumen resmi yang bisa ia dijadikan sebagai alat bukti (bayyinah) di hadapan
majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan dengan pernikahan, maupun
sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti waris, hak asuh anak, perceraian,
nafkah, dan lain sebagainya. Hanya saja, dokumen resmi yang dikeluarkan oleh
negara, bukanlah satu-satunya alat bukti syar’iy. Kesaksian dari saksi-saksi
pernikahan atau orang-orang yang menyaksikan pernikahan, juga absah dan harus
diakui oleh negara sebagai alat bukti syar’iy. Negara tidak boleh menetapkan bahwa
satu-satunya alat bukti untuk membuktikan keabsahan pernikahan seseorang adalah
dokumen tertulis. Pasalnya, syariat telah menetapkan keabsahan alat bukti lain selain
dokumen tertulis, seperti kesaksian saksi, sumpah, pengakuan (iqrar), dan lain
3
sebagainya. Berdasarkan penjelasan ini dapatlah disimpulkan bahwa, orang yang
menikah siri tetap memiliki hubungan pewarisan yang sah, dan hubungan-hubungan
lain yang lahir dari pernikahan. Selain itu, kesaksian dari saksi-saksi yang menghadiri
pernikahan siri tersebut sah dan harus diakui sebagai alat bukti syar’iy. Negara tidak
boleh menolak kesaksian mereka hanya karena pernikahan tersebut tidak dicatatkan
pada lembaga pencatatan sipil; atau tidak mengakui hubungan pewarisan, nasab, dan
hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan siri tersebut.4
Kedua, pada era keemasan Islam, di mana sistem pencatatan telah berkembang dengan pesat dan maju, tidak pernah kita jumpai satupun pemerintahan
Islam yang mempidanakan orang-orang yang melakukan pernikahan yang tidak
dicatatkan pada lembaga pencatatan resmi negara. Lebih dari itu, kebanyakan
masyarakat pada saat itu, melakukan pernikahan tanpa dicatat di lembaga pencatatan
sipil. Tidak bisa dinyatakan bahwa pada saat itu lembaga pencatatan belum
berkembang, dan keadaan masyarakat saat itu belumnya sekompleks keadaan
masyarakat sekarang. Pasalnya, para penguasa dan ulama-ulama kaum Muslim saat
itu memahami bahwa hukum asal pencatatan pernikahan bukanlah wajib, akan tetapi
mubah. Mereka juga memahami bahwa pembuktian syar’iy bukan hanya dokumen
tertulis.
Ketiga, dalam khazanah peradilan Islam, memang benar, negara berhak menjatuhkan sanksi hukum kepada orang yang melakukan tindakan melanggar
4
hukum.5 Pasalnya, negara (dalam hal ini seorang Khalifah dan orang yang
diangkatnya) mempunyai hak untuk menetapkan aturan-aturan tertentu untuk
mengatur urusan-urusan rakyat yang belum ditetapkan ketentuan dan tata cara
pengaturannya oleh syariat; seperti urusan lalu lintas, pembangunan rumah,
eksplorasi, dan lain sebagainya. Khalifah memiliki hak dan berwenang mengatur
urusan-urusan semacam ini berdasarkan ijtihadnya. Aturan yang ditetapkan oleh
khalifah atau qadhi dalam perkara-perkara semacam ini wajib ditaati dan
dilaksanakan oleh rakyat. Siapa saja yang melanggar ketetapan khalifah dalam
urusan-urusan tersebut, maka ia telah terjatuh dalam tindakan melanggar hukum dan
dapat dikenakan sanksi akibat pelanggaran hukum yang telah ditetapkan oleh
khalifah. Misalnya, seorang khalifah berhak menetapkan jarak halaman rumah dan
jalan-jalan umum, dan melarang masyarakat untuk membangun atau menanam di
sampingnya pada jarak sekian meter. Jika seseorang melanggar ketentuan tersebut,
khalifah boleh memberi sanksi kepadanya dengan denda, cambuk, penjara, dan lain
sebagainya.
Demikian juga dalam hal pengaturan urusan pernikahan. Khalifah boleh saja
menetapkan aturan-aturan administrasi tertentu untuk mengatur urusan pernikahan;
misalnya, aturan yang mengharuskan orang-orang yang menikah untuk mencatatkan
pernikahannya di lembaga pencatatan resmi negara, dan lain sebagainya. Aturan
semacam ini wajib ditaati dan dilaksanakan oleh rakyat. Untuk itu, negara berhak
5
memberikan sanksi bagi orang yang tidak mencatatkan pernikahannya ke lembaga
pencatatan negara. Pasalnya, orang yang tidak mencatatkan pernikahannya di
lembaga pencatatan negara padahal negara telah menetapkan aturan tersebut telah
terjatuh pada tindakan mukhalafat. Bentuk dan kadar sanksi mukhalafat diserahkan
sepenuhnya kepada khalifah dan orang yang diberinya kewenangan.
Keempat, jika pernikahan siri dilakukan karena faktor biaya; maka pada
kasus semacam ini negara tidak boleh mempidanakan dan menjatuhkan sanksi
mukhalafat kepada pelakunya. Pasalnya, orang tersebut tidak mencatatkan
pernikahannya dikarenakan ketidakmampuannya; sedangkan syariat tidak membebani
seseorang di luar batas kemampuannya. Oleh karena itu, Negara tidak boleh
mempidanakan orang tersebut, bahkan wajib memberikan pelayanan pencatatan gratis
kepada orang-orang yang tidak mampu mencatatkan pernikahannya di lembaga
pencatatan Negara.6
Kelima, pada dasarnya, Nabi saw telah mendorong umatnya untuk menyebarluaskan pernikahan dengan menyelenggarakan walimatul ‘ursy. Anjuran
untuk melakukan walimah, walaupun tidak sampai berhukum wajib akan tetapi nabi
sangat menganjurkan (sunnah muakkadah)7. Nabi saw bersabda;
ﻮﻋ ﺣﺮﻟا ﺪ ﻋنأ ﻚﻟﺎ أ ﻋ
Syamsuddin Ramadhan An Nawiy, “Hukum Islam Tentang Nikah Siri”, artikel diakses pada 3 Maret 2010 dari (http://hizbut-tahrir.or.id/2009/03/14/hukum-islam-tentang-nikah-siri/)
7
Artinya : “Adakan walimah walaupun dengan seekor kambing”.[HR. Imam
Bukhari dan Muslim]8
Banyak hal-hal positif yang dapat diraih seseorang dari penyiaran pernikahan;
di antaranya adalah ; (1) untuk mencegah munculnya fitnah di tengah-tengah
masyarakat; (2) memudahkan masyarakat untuk memberikan kesaksiannya, jika kelak
ada persoalan-persoalan yang menyangkut kedua mempelai; (3) memudahkan untuk
mengidentifikasi apakah seseorang sudah menikah atau belum.9
Hal semacam ini tentunya berbeda dengan pernikahan yang tidak disiarkan,
atau dirahasiakan (siri). Selain akan menyebabkan munculnya fitnah; misalnya jika
perempuan yang dinikahi siri hamil, maka akan muncul dugaan-dugaan negatif dari
masyarakat terhadap perempuan tersebut; pernikahan siri juga akan menyulitkan
pelakunya ketika dimintai persaksian mengenai pernikahannya. Jika ia tidak memiliki
dokumen resmi, maka dalam semua kasus yang membutuhkan persaksian, ia harus
menghadirkan saksi-saksi pernikahan sirinya; dan hal ini tentunya akan sangat
menyulitkan dirinya. Atas dasar itu, anjuran untuk mencatatkan pernikahan di
lembaga pencatatan negara menjadi relevan, demi mewujudkan
kemudahan-kemudahan bagi suami isteri dan masyarakat serta untuk mencegah adanya fitnah.10
8
A. Razak dan Rais Lathief, Terjemah Hadis Shahih Muslim, Cet.2 (Jakarta; Pustaka Al Husna, 1980) h.177
9
Syamsuddin Ramadhan An Nawiy, “Hukum Islam Tentang Nikah Siri”, artikel diakses pada 3 Maret 2010 dari (http://hizbut-tahrir.or.id/2009/03/14/hukum-islam-tentang-nikah-siri/)
10
Masyarakat Indonesia ini adalah masyarakat yang konsumtif, tapi sayang
dalam hal negatif. Bila hal itu mengarah ke perbaikan maka ada saja alasan
masyarakat menolak hal ini. Seperti baru-baru ini pemerintah hendak mengeluarkan
peraturan baru, yakni menjatuhkan sanksi pidana terhadap pernikahan sirri,
masyarakat dengan lantang menolak ini.
Hal ini bahkan didukung oleh para pemuka masyarakat untuk menolak
peraturan ini. Mereka beralasan bahwa nikah sirri itu sah secara agama. Penulis setuju
dengan hal ini, tapi seharusnya masyarakat itu juga sadar bahwa pemerintah
mengeluarkan peraturan ini semata-mata untuk kebaikan masyarakat itu sendiri.
Sepertinya masyarakat itu masih ingin melaksanakan pernikahan sirri. Padahal
apa susahnya menikah resmi. Tinggal datang ke pejabat terkait, lalu daftarkan diri.
Tidak repot dan prosesnya juga cepat.
Bila alasan masyarakat adalah biaya, toh nikah sirri juga memerlukan biaya.
Bahkan tidak beda jauh dengan nikah resmi. Atau kita usul saja ke pemerintah agar
ada pengurangan biaya nikah untuk masyarakat tidak mampu. Jadi tidak perlu ada pro
dan kontra dalam permasalahan nikah sirri. Dan baiknya pula, para pemuka
masyarakat mendukung pemerintah menerapkan hal ini. Agar tidak ada jarak antara
pemerintah dengan masyarakat.
Sebagai warga yang baik dan ingin menuju ke perubahan yang lebih baik lagi,
kita wajib mendukung gerakan pemerintah yang mengarahkan kita kearah perbaikan.
Jangan kita cemooh. Harusnya kita senang karena pemerintah masih mau memikirkan
Jadi segala peraturan yang baru itu harus bisa di aplikasikan di dalam
kehidupan bermasyarakat. Apalagi undang-undang yang telah berjalan lama seperti
undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang telah memasuki usia
lebih dari 35 tahun. Harusnya telah mendarah daging dan tidak ada lagi persoalan
terlebih di kota besar.
Pernikahan sebagai sesuatu yang sangat sakral dan telah diatur oleh
pemerintah hendaklah dipatuhi. Tidak ada alasan sebagai masyarakat yang sadar
hukum untuk mengesampingkan aturan yang telah dibuat oleh pemerintah. Meskipun
dengan berbagai alasan yang dapat di mengerti oleh nalar. Karena pemerintah pun
pasti punya solusi akan masalah atau kendala terhadap semua peraturan yang telah
dibuat.
Sejarah pencatatan akad nikah dimulai ketika kaum muslimin pada zaman
dahulu mencukupkan diri untuk melangsungkan nikah dengan lafadz dan saksi, tanpa
memandang perlu untuk dicatat dalam catatan resmi. Namun, dengan berkembangnya
kehidupan dan berubahnya keadaan, dimana dimungkinkan para saksi itu lupa, lalai,
meninggal dunia, dan sebagainya, maka diperlukan adanya pencatatan akad nikah
secara tertulis.11
Awal pencatatan akad nikah adalah ketika kaum muslimin mulai
mengakhirkan mahar atau sebagain mahar, lalu catatan pengakhiran mahar tersebut
dijadikan bukti pernikahan. Syaikhul Islam rahimahullah mengatakan: “Para sahabat
11
tidak menulis mahar karena mereka tidak mengakhirkannya, bahkan memberikannya
secara langsung, seandainya diantara mereka ada yang mengakhirkan tetapi dengan
cara yang baik. Tatkala manusia mengakhirkan mahar padahal waktunya lama dan
terkadang lupa maka mereka menulis mahar yang diakhirkan tersebut, sehingga
catatan itu merupakan bukti kuat tentang mahar dan bahwasanya wanita tersebut
adalah istrinya”.12
Pencatatan akad nikah secara resmi memiliki beberapa manfaat yang banyak
sekali, diantaranya:
1. Menjaga hak dari kesia-siaan, baik hak suami istri atau hak anak berupa
nasab, nafkah, warisan dan sebagainya. Catatan resmi ini merupakan bukti otentik
yang tidak bisa digugat untuk mendapatkan hak tersebut.
2. Menyelesaikan persengketaan antara suami istri atau para walinya ketika mereka berselisih, karena bisa jadi salah satu diantara mereka akan mengingkari suatu
hak untuk kepentingan pribadi dan pihak lainnya tidak memiliki bukti karena saksi
telah tidak ada. Maka dengan adanya catatan ini, hal itu tidak bisa diingkari.
3. Catatan dan tulisan akan bertahan lama, sehingga sekalipun yang bertanda
tangan telah meninggal dunia namun catatan masih berlaku. Oleh karena itu, para
ulama menjadikan tulisan merupakan salah satu cara penentuan hukum.
12
4. Catatan nikah akan menjaga suatu pernikahan dari pernikahan yang tidak
sah, karena akan diteliti terlebih dahulu beberapa syarat dan rukun pernikahan serta
penghalang-penghalangnya sebelum melakukan pernikahan.
5. Menutup pintu pengakuan dusta dalam pengadilan. Karena bisa saja sebagian orang yang hatinya rusak telah mengaku telah menikahi seorang wanita
secara dusta untuk menjatuhkan lawannya dan mencemarkan kehormatan hanya
karena mudahnya suatu pernikahan dengan saksi palsu.13
Dalam, kiprahnya di masyarakat selama 35 tahun sepertinya Undang-Undang
No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, sepertinya tidak mengena langsung di
masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari penemuan penulis disini dimana masih
ditemukan pelanggaran-pelanggaran terhadap Undang-Undang ini.
Untuk dewasa ini sepertinya diperlukan revisi terhadap Undang-undang No. 1
Tahun 1974, mengingat adanya pro kontra mengenai pemidanaan pelaku nikah sirri.
Sebagian masyarakat yang kontra merasa keberatan dengan hal ini, karena
menurutnya hal ini tidak dilarang dalam agama.
Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) menilai berlebihan jika kemudian
nanti orang yang menikah siri dihukum pidana. Menurutnya lebih baik pemerintah
mengurusi saja masalah perzinahan. Maraknya perzinahan di negeri ini. Jangan
kemudian orang yang sudah sah menikah secara agama Islam kemudian
dibayang-bayangi dengan pidana.
13
Sebaiknya pemerintah melakukan pendekatan dengan pembinaan secara baik.
Ini bisa dilakukan melalui para tokoh-tokoh dan pemuka agama Islam di negeri ini.
Karena sebenarnya kesadaran umat untuk mencatatkan pernikahannya ke KUA juga
sudah sangat tinggi. Jangan kemudian pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan
hukum pidana.14
Di satu sisi, bisa saja mereka yang menikah siri adalah karena terkendala
masalah dana, jika pernikahannya dicatatkan di KUA. Dikatakan dalam
Undang-undang biaya untuk menikah di KUA murah. Tapi menurut masyarakat kenyataannya
di lapangan tidak demikian. Mereka yang tidak memiliki dana cukup untuk ke KUA,
lebih memilih nikah siri. Nikah siri dalam artian nikah yang sah secara agama Islam.
Masih menurut kelompok yang kontra terhadap pemidanaan pelaku nikah
sirri, pasangan yang menikah siri tentunya juga harus mengetahui konsekuensi yang
harus dihadapi. Dalam artian, mereka tentu juga sudah siap menanggung resikonya.
Jika kelak dikemudian hari ada sengketa hukum, tentunya tidak bisa diproses secara
hukum nasional.
Jadi sekali lagi, peran negara tidak bisa mencampuri terlalu jauh. Daripada
mengurusi orang yang sudah nikah secara sah namun sirri, urus saja masalah
maraknya perzinahan, aksi pornografi dan pornoaksi yang marak di negeri ini dan
sangat merusak.
14