• Tidak ada hasil yang ditemukan

UPAYA PENANGGULANGAN KONFLIK SOSIAL YANG TERJADI DI KECAMATAN WAY PANJI KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "UPAYA PENANGGULANGAN KONFLIK SOSIAL YANG TERJADI DI KECAMATAN WAY PANJI KABUPATEN LAMPUNG SELATAN"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

UPAYA PENANGGULANGAN KONFLIK SOSIAL YANG TERJADI DI KECAMATAN WAY PANJI KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

Oleh : Dedi Kurniawan

Kemajemukan suku dan budaya di Indonesia tidak jarang menjadi sumber konflik, hal ini menandakan betapa sulitnya menyatukan kemajemukan itu ke dalam kehidupan bermasyarakat. Konflik yang terjadi di kecamatan Way Panji Lampung Selatan timbul dikarenakan kemajemukan masyarakat, dimana ada masyarakat yang mudah terprovokasi, frustasi atau menderita stres lingkungan. Hal ini bisa menjadikan satu keyakinan kolektif, walaupun tidak serta merta menjadi perilaku massal, merekalah kelompok potensial untuk terlibat dalam konflik sosial. Untuk mengatasi tersebut bisa dilakukan dengan upaya penanggulangan dan upaya penataan sistem norma hukum dan penataan sistem kelembagaan hukum, baik yang berlaku dalam rangka upaya pembaruan hukum maupun dalam penegakan hukum. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah upaya penanggulangan konflik sosial di Lampung Selatan dan apakah faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam upaya penanggulangan konflik sosial di Lampung Selatan.

Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dan didukung denga pendekatan yuridis empiris. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder, pengumpulan data dengan wawancara, studi pustaka, dan studi dokumen. Sedangkan pengolahan data melalui tahap pemeriksaan data, penandaan data, rekonstruksi data, dan sistematisasi data. Data yang sudah diolah kemudian disajikan dalam bentuk uraian deskripsi , lalu dintreprestasikan untuk dilakukan pembahasan dan dianalisis secara kualitatif, kemudian untuk selanjutnya ditarik suatu kesimpulan.

(2)

Dedi Kurniawan

preventif, dan deteksi. Tetapi dari upaya-upaya tersebut pemerintah belum menerapkan kebijakan penanganan konflik yang efektif dalam strategi pencegahan pada saat konflik, dan setelah konflik, sehingga konflik masih sering terjadi. Faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam upaya penanggulangan konflik sosial di Lampung Selatan adalah faktor perundang-undangan, faktor aparatur penegak hukum, dan faktor masyarakatnya sendiri. Peraturan perundang-undangan penanganan konflik sosial yang ada pada saat ini belum bisa dilaksanakan dengan maksimal. Dari faktor aparatur penegak hukum masih kurang memiliki wibawa dalam menghadapi ini, sebagian besar kasus hanya dibiarkan begitu saja tanpa tindakan hukum apapun. Sedangkan dari faktor masyarakat kesadaran hukum masyarakat kita juga sangat rendah, peraturan perundang-undangan yang ada juga sering kali tidak mencerminkan realitas sistem nilai yang hidup dalam masyarakat.

Saran yang penulis sampaikan adalah kepada aparat pemerintah dalam menjalankan tugas agar selalu senantisa bersikap disiplin, jujur, adil dan bijaksana dalam penangan konflik yang terjadi di masyarakat sehingga peristiwa konflik antar warga ini tidak terjadi kembali dikemudian hari. Kepada masyarakat agar senantiasa berusaha untuk mengkoreksi diri, memperbaiki hubungan antar individu, antar kelompok, kelompok dengan pemerintah dan tidak selalu berpersepsi negatif terhadap pemerintah.

(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

Pe

Penulis dilahirkan di Desa Sridadi, Ka Komering Ulu Timur pada 4 Oktober 1990, pertama dari tiga bersaudara pasangan Hi. S Hj. Mutmainah, S.E., M.M. dan juga cucu per belah pihak keluarga besar kami.

rnah ditempuh oleh penulis :

sar Muhamadiah Sridadi di Buay Madang ka lu Timur yang diselesaikan pada tahun 2002. 3 di Buay Madang kabupaten Ogan Komering n pada tahun 2005.

osa Bhakti di Baturaja kabupaten Ogan Kom n pada tahun 2008.

nulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Hukum tahun 2009 penulis mengikuti SNM-PTN dan Universitas Lampung di Fakultas Ilmu Sosial da Dalam perjalanan menempuh pendidikan ini pe

di Banjit Kabupaten Way Kanan dan Praktik adan Narkotika Nasional) dan di Mahkamah Konst

(8)

MOTO

Laboratorium yang paling lengkap adalah masyarakat, saling menghargai adalah harga mati untuk mencapai kedamaian (penulis)

Ketika semua sahabat-sahabatmu pergi maka kembalilah kekampung halamanmu dan carilah teman kecilmu yang telah engkau lupakan karena

keadaan (penulis)

Kekayaan adalah racun, racun buat orang lain yang tidak pernah mengetahui apa arti kekayaan (penulis)

(9)

PERSEMBAHAN

Dengan mengucap Syukur Alhamdulilah

kupersembahkan karyaku ini untuk:

Kedua ornag tuaku

Ayahanda Hi. Sugiri, S.Pd & Ibunda Hj. Mutmainah, S.E., M.M.

Adek Devi Restu Rialita & Fatrka Prima Rialita (Dona)

Seluruh Keluarga Besarku

Hi. Abdul Majid & Hi. Sidiq (alm)

Sahabat dan teman-temanku serta semua pihak

yang membantu penulisan skripsi ini

Seorang perempuan berhati lembut yang kelak mendampingi

hidupku

Mantan kekasih yang memacu hidupku untuk menjadi lebih baik

Almamater tercinta Universitas Lampung

(10)

SANWACANA

Asalamualaikum, Wr. Wb.

Alhamdulilahirobil alamin, Puji syukur kehadirat ALLAH SWT atar berkah rahmat, hidayat dan mu’zizat-Nyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul UPAYA PENANGGULANGAN KONFLIK SOSIAL YANG TERJADI DI KECAMATAN WAY PANJI KABUPATEN LAMPUNG SELATAN”. Di dalam penulisan skripsi ini penulis tidak dapat menyelesaikan sendiri, namun banyak pihak yang memberikan bimbingan, motovasi serta dukungan agas skripsi ini bisa selesai tepat waktu. Atas segala bantuan yang diterima, penulis sampaikan terima kasih kepada:

1. Yang terhormat PR3Prof. Dr. Sunarto, S.H., M.Hum.

2. Bapak Drs. Heryandi, S.H., M.S. selaku dekan Fakultas Hukum Unila, PD1 Dr. Yuswanto, S.H., M.Hum. PD2 Yulia Neta, S.H., M.H. dan PD3. Dr. Hamzah, S.H., M.H.

3. Ibu Diah Gustiniati, S.H., M.H. selaku ketua Bagian Hukum Pidana, Ibu Hj. Firganefi, S.H., M.H. selaku dosen Kriminologi tercinta, Sekertaris Jurusan dan pembinbing utama skripsi yang telah memberikan arahan, ilmu dan waktunya dalam penyusunan skripsi ini. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H. selaku dosen pembimbing dua yang bijaksana dan pengertian. 4. Ibu Maya Shafira, S.H., M.H. dan ibu Dona Raisa M, S.H., M.H.. selaku

dosen pembahas yang senantiasa dengan teliti memberikan kritik, saran, masukan serta kebijaksanaan demi terselesaikannya skripsi ini dengan baik dan bisa selesai tepat waktu.

(11)

6. Kepada pegawai dekanat dan jurusan, dari Mbak Sri, Mbak Dian, Mas Pendi, Mas Narto, Mas Yahya.

7. Kepada masyarakat Balinuraga terutama Bli Putu Wirya, ibuk dan adek serta anak-anak gaul warung pertigaan. Warga Agom, bapaknya Inayah, Pak kades Muchsin, sekdes Suraji, Deka, Nurdiana, Kabupaten Lampung Selatan yang membantu penulis dalam melakukan penelitian.

8. Ayah trimakasih atas wawasan dan contoh hidup sederhananya, Bunda trimakasih atas dukungan dan cintanya, Adek Devi, Adek Dona.

9. Keluarga besar Mbah H. Sidik. (alm) dan Mbah H. Abdul Majid.

10. Teman-teman Hukum Exstensi 08 (Lulu, Lira, Fega, Te Evita, Bunda Elvina, Te Ismi, Tiara, Mb Kiki, Wira, Ajee, Gagan, Redo, Said, Indra dan Imam) walaupun sedikit tetapi banyak konflik batin yang menjadikanku bisa bersikap dewasa, trimakasih kawan atas semua pelajaranya. Tak ada beda antara kalian dimataku dan kuharap pertemuan dalam waktu yang sebentar ini bisa kita ambil maknanya, kelak jadi cerita untuk anak cucu kita bahwa kehidupan ini selalu berbeda dan tidak akan pernah sama, yang bisa menpersatukan hanyalah kerendahan hati dan empati. Bang Novri yang pindah tempat studi tetapi ternyata lebih duluan kami wisudanya (haha) dan Indra (propesor) trimaksih atas cerita cinta dan pengalamanya.

11. Sahabat-sahabat sosiologi yang telah terabadikan sebagai Puari Sembilan Sungkai, kk Pertama Dodi, kk Kedua Wan Mares, adx-adx puari,, May, Dirga, Ferdi, Deni, Odik dan Rizki.

12. Dan semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, pokoknya mathur thankyou.. (Hanya Allah lah yang bisa membalas kebaikan kalian semua).

(12)

kearah yang lebih baik. Harapan penulis semoga skripsi ini bisa bermanfaat bagi seluruh umat manusia yang mendambakan sebuah ketentraman dalam hidup. Aminn..

Banadar Lampung, 16 Oktober 2014 Penulis,

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

i. Lembar Judul ……….. i

ii. Daftar Isi ………. ii

iii. Daftar Tabel ……… iv

iv. Abstrak ……… v

v. Riwayat Hidup Penulis ………... vii

vi. Lembar Persetujuan ……… viii

vii. Lembar Pengesahan ………... ix

viii. Surat Pernyataan ……… x

ix. Persembahan-Persembahan ……….. xi

x. Moto ……… xii

xi. Sanwacana ………. xiii

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang……… 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup………. 5

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian………. 6

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ………. 7

E. Sistematika Prnrlitisn Hukum………. 10

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penanggulangan Kejahatan Dengan Hukum Pidana………... 12

B. Tinjauan Tentang Konflik Sosial ………..…………... 21

C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum ……...….... 27

1. Faktor Undang-Undang ... 28

2. Faktor Penegak Hukum ... 28

(14)

4. Faktor Masyarakat ... 31 5. Faktor Kebudayaan ... 31

III.METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah……….…………..……….. 32 B. Sumber dan Jenis Data……….…………..……….. 32 C. Penetuan Populasi dan Sampel……… 33 D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data….…..…….……… 34 E. Analisis Data……….…….…..………. 35

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden……….……….. 36 B. Gambaran Umum Konflik Sosial ... 38 C. Upaya Penanggulangan Konflik Sosial ... 43

1. Kebijakan Penanggulangan Konflik Sosial Dengan Hukum

Pidana (Penal Policy)………. 44 2. Kebijakan Penanggulangan Konflik Sosial Dengan Sarana

Diluar Hukum Pidana (Non Penal)………. 49 D. Faktor-Faktor Penghambat Dalam Upaya Penanggulangan Konflik

Sosial………... 62

V. PENUTUP

A. Simpulan………....…..………. 70

B. Saran……….……… 71

(15)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

(16)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Fenomena kemajemukan suku dan budaya yang ada di Indonesia begitu mudah disatukan dalam cerita-cerita dan ikrar. Namun dalam realitasnya kemajemukan itu menjadi sesuatu yang peka dan tidak jarang menjadi sumber konflik yang berkepari-jangan dan penyebab disintegrasi bangsa. Ini menandakan betapa sulitnya menyatukan kemajemukan itu ke dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga muncul suatu kesimpulan bahwa semakin tinggi tingkat keanekaragaman dan kemajemukan masyarakat dalam suatu negara, ekuivalen dengan tingkat kualitas kesulitan yang bakal dihadapi untuk melakukan pengelolaan administrasi negara secara efektif dan efisien.1

Perubahan-perubahan yang terjadi begitu cepat dalam era reformasi di Indonesia, diikuti oleh terjadinya berbagai krisis sosial yang menimbulkan gejolak-gejolak di tengah masyarakat. Gejolak masyarakat tersebut seringkali berkembang menjadi tindakan kolektif berupa konflik massa dan penjarahan-penjarahan. Hal tersebut menjadi semacam konsekwensi atas perubahan-perubahan yang terjadi.

1

(17)

2

Dalam era sebelumnya kerusuhan massa dan penjarahan sangat jarang terjadi, bahkan dapat dikatakan hampir tidak pernah terjadi, karena situasi nasional khususnya situasi politik tidak memberikan kesempatan untuk terjadinya kerusuhan massa dan penjarahan.

Kerusuhan atau Konflik Sosial adalah suatu kondisi dimana terjadi huru-hara/kerusuhan atau perang atau keadaan yang tidak aman di suatu daerah tertentu yang melibatkan lapisan masyarakat,2golongan, suku, ataupun organisasi tertentu. Indonesia sebagai negara kesatuan pada dasarnya dapat mengandung potensi kerawanan akibat keanekaragaman suku bangsa, bahasa, agama, ras dan etnis golongan, hal tersebut merupakan faktor yang berpengaruh terhadap potensi timbulnya konflik. Dengan semakin marak dan meluasnya konflik akhir-akhir ini, merupakan suatu pertanda menurunnya rasa nasionalisme di dalam masyarakat.

Munculnya gerakan massa berupa konflik sosial dewasa ini dapat merupakan suatu bukti kebenaran bahwa gerakan massa atau konflik sosial yang kerap muncul itu sudah saatnya tidak diamati dan dipandang sebagai gerakan yang bernuansa Sara, kedaerahan, sukuisme dan agama semata, akan tetapi dipandang sebagai suatu permasalahan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. yang kompleks, Tidak hanya sekedar persoalan budaya, tetapi lebih dari itu menyangkut persoalan sosial, ekonomi dan politik terlebih bila dikaitkan dengan proses pembangunan dan pemerataan hasil-hasilnya.3

2 Ibid. 3

(18)

3

Salah satu konflik sosial yang menarik perhatian peneliti adalah konflik antar etnis yang kerap timbul di beberapa daerah khususnya di kabupaten Lampung Selatan. konflik sosial antar etnis terutama etnis Lampung dan Bali selalu berawal dari persoalan-persoalan yang bersifat pribadi namun karena beberapa faktor akhirnya meluas menjadi persoalan antar kelompok.

Konflik sosial ini dampak yang ditimbulkannya sangat luas, tidak hanya pada kerugian dibidang fisik, ekonomi, sosial dan budaya saja namun juga mengancam integritas persatuan dan kesatuan bangsa. Data konflik sosial yang menyangkut antara etnis Lampung dan Bali ini adalah sebagai berikut:

Tabel. Peristiwa kejadian konflik yang dilakukan warga Bali di kabupaten Lampung Selatan terhadap masyarakat Lampung

No Peristiwa Lokasi Waktu

1 Warga Bali Agung kecamatan Palas membakar beberapa rumah penduduk.

Desa Pasemah kec. Palas

2005

2 Warga Bali kecamatan Ketapang menyerang (melempari) masjid.

Desa Ruguk kec. Ketapang

2009 3 Warga Bali Agung menyerang dengan

melakukan pembakaran beberapa rumah penduduk yang menyebabkan korban 1 (satu) orang warga.

Desa Pasmah kec. Palas

2010

4 Warga Bali dari kecamatan Ketapang

menghancurkan gardu ronda serta pangkalan 6 Warga Bali Napal melakukan penyerangan

terhadap desa Kota Dalam menyebabkan beberapa warga Kot a Dalam luka-luka dan beberapa rumah warga rusak.

kerusuhan di depan masjid saat umat muslim sedang takbiran di masjid

Sidoharjo kec. Way Panji

Agustus 2012

(19)

4

Dari data tabel peristiwa diketahui kejadiankejadian konflik sosial yang ada di Kabupaten Lampung Selatan. Melihat fenomena ini peneliti tertarik untuk meneliti permasalahan konflik sosial yang terjadi pada bulan Oktober 2012 silam.

Konflik sosial yang melibatkan antara warga etnis Lampung dengan Etnis Bali ini menarik diteliti, hal ini karena adanya sebuah fenomena dimana kurangnya upaya penanggulangan konflik sosial oleh aparat penegak hukum yang ada dan kurangnya peran dari pemerintah setempat untuk menanggulangi konflik sosial ini. Adanya fenomena pembiaran oleh aparat penegak hukum inilah yang merupakan permasalahan utama yang menyebabkan konflik-konflik sosial ini berlangsung secara berkesinambungan dan berbalas dari waktu ke waktu.

Catatan Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (KOMNAS HAM) mengenai konflik sosial ini bahwa telah terjadi pelanggaran terhadap hak untuk hidup (Right to life), hak untuk bebas dari rasa takut (Freedom from fear) dan hak atas kepemilikan (Right to property). Disamping itu peran hukum menjadi dan tertinggal jauh ke belakang. Konflik antar etnis diselesaikan dengan hukum mereka sendiri, yaitu dengan cara kekerasan dan menggunakan senjata tajam.4

Pihak-pihak terkait seperti pemerintah dan aparat kepolisian seakan tidak dapat merumuskan kebijakan yang dapat mencegah dan meredam perilaku kekerasan di masyarakat. Aparat kepolisian pun terkesan hanya membiarkan tanpa adanya suatu strategi terstrukur dan terarah untuk mencegah dan menghadapi konflik sosial. Penegakan hukum hanya dilakukan bila terjadi konflik.

4

(20)

5

Melihat fenomena nyata yang ada apabila hal ini terus dibiarkan hukum akan menjadi kehilangan kewibawaannya, padahal hukum bertujuan untuk mengatur ketertiban masyarakat agar masyarakat tertib, tidak sampai jatuh korban kejahatan dan tidak terjadi kejahatan kembali. Menghadapi masalah ini jelas pencarian akar permasalahan dan penyelesaiannya menjadi agenda penting yang harus ditemukan untuk mengantisipasi konflik di masa mendatang. Pencarian latar permasalahan, harusnya tidak hanya diarahkan pada aspek kultur etnis, tetapi juga pada aspek struktural yang bisa jadi mempunyai pengaruh lebih besar, termasuk kajian terhadap eksistensi hukum dalam melakukan kontrol terhadap kelompok-kelompok etnis.

Berdasarkan gambaran dan kenyataan yang telah diuraikan di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Upaya Penanggulangan Konflik Sosial Yang Terjadi di Kecamatan Way Panji Kabupaten Lampung Selatan” dan mencoba menguak latar belakang timbul dan meluasnya konflik antar etnis di Kecamatan Way Panji Kabupaten Lampung Selatan.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian-uraian yang telah dikemukakan didalam latar belakang maka yang menjadi permalasahan dalam penelitian ini adalah :

(21)

6

b. Apakah faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam Upaya penanggulangan konflik sosial yang terjadi Di kecamatan Way Panji kabupaten Lampung Selatan?

2. Ruang Lingkup

Adapun ruang penelitian ini :

Dalam bidang keilmuan hukum, yakni merupakan bagian dari ilmu hukum pidana, khususnya dalam bidang substansi hukum, yakni mengenai bagaimana peran hukum pidana dalam upaya penanggulangan konflik sosial dan penelitian ini mengambil tempat di wilayah hukum Kabupaten Lampung Selatan.

C. Tujuan dan kegunaan penelitian

1. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang akan di bahas maka, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui upaya penanggulangan konflik sosial yang terjadi di kecamatan Way Panji kabupaten Lampung Selatan.

(22)

7

2. Kegunanaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan praktis, yaitu: a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu hukum pidana yang menyangkut kebijakan hukum pidana dalam upaya penanggulangan konflik sosial.

b. Kegunaan Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan kepada Praktisi Hukum dan masyarakat mengenai faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam upaya penanggulangan konflik sosial.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi social yang dianggap relevan oleh peneliti.5

Penerapan hukum pidana (criminal law application) tidak terlepas dari adanya peraturan perundang-undangan pidana, menurut Sudarto usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang berarti melaksanakan politik hukum pidana. Politik hukum pidana dalam kepustakaan asing sering dikenal dengan kebijakan hukum pidana.

5

(23)

8

Kebijakan hukum pidana adalah upaya menanggulangi kejahatan dengan pemberian sanksi pidana atau sebagai suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan positif dirumuskan secara lebih baik.6

Kebijakan hukum dengan sarana pidana merupakan serangkaian proses yang terdiri atas tiga tahap yakni:

a. Tahap kebijakan legislatif/formulatif; b. Tahap kebijakan yudikatif/aplikatif; c. Tahap kebijakan eksekutif/administrative.7

Upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dibagi 2 (dua), yaitu lewat jalur ”penal” (hukum pidana) dan lewat jalur ”non-penal” (bukan/diluar

hukum pidana).8

Menjawab permasalah faktor penghambat dalam upaya penegakan hukum, maka dapat menggunakan teori mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penegakan hukum. Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum adalah: a. Faktor hukumnya sendiri (Undang-Undang)

b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan hukum

c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan

e. Faktor kebudayaan.9

6

Sudarto, Hukum Pidana Dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung.1984, hlm. 38

7

Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung. 2003, hlm. 78

8

(24)

9

Kelima faktor tesebut diatas saling berkaitan erat karena merupakan esensi dari penegakan hukum, serta juga merupakan tolak ukur daripada efektfitas penegakan hukum. Dengan demikian, maka kelima faktor tersebut diatas sangat tepat digunakan sebagai faktor yang mempengaruhi penegakan hukum.

2. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti yang berkaitan dengan istilah yang diteliti.10 Agar tidak terjadi kesalahpahaman pada pokok permasalahan, maka dibawah ini penulis memberikan beberapa konsep yang dapat dijadikan pegangan dalam memahami tulisan ini. Berdasarkan judul akan diuraikan berbagai istilah sebagai berikut :

a. Kebijakan hukum pidana adalah suatu usaha untuk mengadakan pemilihan atau mewujudkan perundang-undangan pidana yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan di masa yang akan datang, melalui badan-badan yang berwenang menetapkan peraturan-peraturan yang dapat mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat.11

b. Penanggulangan adalah upaya yang dilaksanakan untuk mencegah, menghadapi, atau mengatasi suatu keadaan.12

9

Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 5

10

Soerjono Soekanto,Op. Cit.,hlm. 132 11

Barda Nawawi Arief,Op. Cit.,hlm. 4 12

(25)

10

c. Konflik Sosial adalah suatu proses sosial dimana individu atau kelompok berusaha mencapai tujuan dengan jalan menentang pihak lawan dengan ancaman atau kekerasan.13

d. Kabupaten Lampung Selatan adalah salah satu kabupaten di Provinsi Lampung. Ibu kota kabupaten ini terletak di Kalianda. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 2.109,74 km² dan berpenduduk sebanyak kurang lebih 923.002 jiwa (LSDA 2007). Wilayah Kabupaten Lampung Selatan terletak antara 1050 sampai dengan 1050450 Bujur Timur dan 50150 sampai dengan 60 Lintang Selatan.14

E. Sistematika Penelitian Hukum

Untuk mempermudah pemahaman mengenai pembahasan dan memberikan gambaran mengenai sistematika penelitian hukum yang sesuai dengan aturan dalam penelitian hukum, maka penulis menjabarkannya dalam bentuk sistematika penelitian hukum yang terdiri dari 5 (lima) bab dimana tiap-tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian. Adapun penulis menyususn sistematika penelitian hukum sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Pada bab ini memuat latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.

13

Soerjono SoekantoOp. Cit.,hlm. 99 14

(26)

11

II. TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini penulis akan menguraikan kerangka teori yang meliputi tinjauan tentang sinkronisasi peraturan perundang-undangan, tinjauan tentang penyadapan, tinjauan tentang pengaturan penyadapan dalam beberapa produk undang-undang.

III. METODE PENELITIAN

Pada bab ini memuat metode yang digunakan dalam penulisan yang menjelaskan mengenai langkah-langkah yang digunakan dalam pendekatan masalah, yaitu dalam memperoleh dan megklasifikasikan sumber dan jenis data, serta prosedur pengumpulan data dan pengolahan data, kemudian dari data yang telah terkumpul dilakukan analisis data dengan bentuk uraian.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini berisi hasil penelitian dan pembahasan tentang analisis tahapan dan kebijakan hukum pidana dalam upaya penanggulangan konflik sosial dan faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam upaya penanggulangan konflik sosial.

V. PENUTUP

(27)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Penanggulangan Kejahatan Dengan Hukum Pidana.

Membicarakan penegakan hukum selalu akan melibatkan manusia di dalamnya dan dengan demikian akan melibatkan tingkah laku manusia juga. Hukum tidak bisa tegak dengan sendirinya, artinya ia tidak mampu untuk mewujudkan sendiri janji-janji serta kehendak-kehendak yang tercantum dalam (peraturan-peraturan) hukum itu. Janji dan kehendak seperti itu, misalnya adalah untuk memberikan hak kepada seseorang untuk memberikan perlindungan kepada seseorang untuk mengenakan pidana kepada seseorang yang memenuhi persyaratan tertentu dan sebagainya17. Jadi penegakan hukum dapat dilakukan oleh manusia, dimana karena penegakan hukum ini dilakukan dan ditujukan pada tingkah laku manusia maka perlu diketahui bagaimanakah tingkah laku manusia tersebut.

Tingkah laku manusia itu terikat pada berbagai hal, patokan yang terdapat di luar seseorang itu. Ikatan tersebut sedemikian juga sehingga ia tidak dapat mengabaikannya dengan kata lain dalam tingkah lakunya di masyarakat seseorang itu akan berorientasi kepada berbagai hal dan patokan tersebut di atas.

17

(28)

13

Sulit diterima bahwa tingkah laku orang dalam masyarakat itu adalah bebas, melainkan sebaliknya yaitu didisiplinkan oleh pembatasan-pembatasan tersebut di atas. Jadi manusia berbuat bisa dikatakan karena adanya ikatan dan respon dari lingkungannya18.

Manusia yang melakukan perbuatan pidana dikarenakan dirinya sendiri dan konsep ini yang dianut oleh aliran teori pemidanaan absolut atau teori pembalasan, atau seseorang melakukan perbuatan pidana dikarenakan dari dirinya yang dipengaruhi oleh di luar dirinya juga dan konsep ini dianut oleh aliran teori pemidanaan relatif atau teori tujuan.

Dapat dilihat dalam perbuatan pidana massal, bahwa perbuatan pidana yang dilakukan disebabkan berbagai macam fakta yang mempengaruhi diantara ekonomi, politik, hukum, sosial budaya, dan lain-lain. Maka tidak dapat kita pungkiri bahwa massa melakukan perbuatan pidana dikarenakan adanya pengaruh yang ada di luar dirinya yaitu karena lingkungan. Sehingga dalam penanganannya tidak dilihat hanya sebatas apa yang dilanggar dan kenapa ia melanggar tetapi juga bagaimana upaya pencegahannya baik secara umum atau secara khusus.

Upaya penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum (sanksi) pidana merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri, sampai saat ini pun hukum pidana masih digunakan dan “diandalkan” sebagai salah satu

sarana politik kriminal.19 Sebagaimana realita yang terjadi bahwa perbuatan pidana yang dilakukan secara massal juga menggunakan hukum pidana dalam upaya penanggulangannya.

18Ibid

., hlm. 12 19

(29)

14

Masalah yang menjadi kewenangannya selama hukum pidana digunakan selama ini juga hukum pidana tidak/kurang dapat menanggulanginya sendiri karena memang hukum pidana mempunyai keterbatasan kemampuan untuk menanggulangi kejahatan. Hal tersebut diantaranya juga diungkapkan oleh20: 1) Wolf Middendorf menyatakan bahwa sangatlah sulit untuk melakukan

evaluasi terhadap efektivitas dan “general deterrence” itu tidak diketahui. Kita

tidak dapat mengetahui hubungan yang sesungguhnya antara sebab dan akibat. Orang mungkin melakukan kejahatan/mungkin mengulanginya lagi tanpa hubungan dengan ada tidaknya Undang-Undang/Pidana yang dijatuhkan. Sarana-sarana kontrol sosial lainnya, seperti kekuasaan orang tua, kebiasaan-kebiasaan atau agama mungkin dapat mencegah perbuatan-perbuatan yang sama kuatnya dengan ketakutan orang pada pidana.

Kadang dalam prakteknya sulit menetapkan jumlah (lamanya) pidana yang sangat cocok dengan kejahatan dan kepribadian si pelanggar karena tidak ada hubungan logis antara kejahatan dan jumlah lamanya pidana. Sehingga menurut middendorf bahwa “kita masih sangat sedikit mengetahui tentang apa

yang membuat seseorang terpidana kembali melakukan/tidak melakukan aktivitas kejahatan.

2) Danal R. Taft dan Ralph W. England pernah juga menyatakan bahwa efektivitas hukum pidana tidak dapat diukur secara akurat. Hukum merupakan salah satu sarana kontrol sosial, kebiasaan, keyakinan agama, dukungan dan pencelaan kelompok.

20Ibid

(30)

15

Penekanan dari kelompok-kelompok inkres dan pengaruh dari pendapat umum merupakan sarana-sarana yang lebih efisien dalam mengatur tingkah laku manusia dari pada sanksi hukum.

3) Karl O. Christiansen menyatakan bahwa : “pengaruh pidana terhadap masyarakat luas sulit diukur, pengaruh tersebut (maksudnya pengaruh dalam arti “general prevention”) terdiri dari sejumlah bentuk aksi dan reaksi yang berbeda misalnya pencegahan (deterrence), pencegahan umum (general prevention), memperkuat kembali nilai-nilai moral (reinforcement of moral values), memperkuat kesadaran kolektif (Strengthening the colective solidarity), menegaskan kembali/memperkuat rasa aman dari masyarakat (reaffirmation of the public feeling of security), mengurangi/meredakan ketakutan (alleviation of fears), melepaskan ketegangan agresif (release of aggressive tensions) dan sebagainya.

(31)

16

Dengan adanya hukum pidana saja orang-orang bukan takut untuk melakukan perbuatan pidana tapi malah semakin marak terjadi dimana-mana seolah-olah perbuatan tersebut legal untuk dilakukan. Jadi karena keterbatasan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan maka dibutuhkan pendekatan lain, hal tersebut wajar karena kejahatan bukan saja masalah kemanusiaan tetapi juga sebagai permasalahan sosial dan banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya kejahatan.

Menurut Sudarto karena terjadinya kejahatan disebabkan penyebab yang sangat kompleks dan berada di luar jangkauan hukum pidana, maka wajar hukum pidana mempunyai keterbatasan kemampuan untuk menanggulanginya dan menurutnya penggunaan hukum pidana merupakan penanggulangan satu gejala (“kurieren am

symptom”) dan bukan penyelesaian dengan menghilangkan sebab-sebabnya. Jadi keterbatasan hukum pidana selama ini juga disebabkan oleh sifat/hakikat dan fungsi dari hukum pidana itu sendiri, karena sanksi hukum pidana bukanlah obat (remedium) untuk mengatasi sebab-sebab (sumber) penyakit, melainkan sekedar untuk mengatasi gejala/ akibat dari penyakit. Dengan kata lain sanksi hukum pidana bukanlah merupakan pengobatan kausatif “melainkan hanya sekedar

“pengobatan simptomatik” dan dengan pengobatan simptomatik berupa “sanksi

pidana” ini masih mengandung banyak kelemahan sehingga masih selalu dipersoalkan keefektifannya21.

21Ibid

(32)

17

Jadi karena diperlukan upaya penanggulangan kejahatan secara integral baik dari sisi kemanusiaan maupun dari sisi sosial maka menurut G.P. Hoefnadels upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan22:

a. Penerapan hukum pidana (criminal law application)

b. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment) dan

c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat media massa (influencing, Views of society on crime and punishment/mass media).

Upaya penanggulangan kejahatan dapat dibagi menjadi 2 yaitu : lewat jalur “penal” (hukum pidana) dan lewat jalur “non penal” (bukan/di luar hukum pidana)

dimana point b dan c masuk/dikelompokkan pada upaya non penal23. Upaya penanggulangan dengan “penal” lebih menitik beratkan pidana sifat “refressive

(penindasan/pemberantasan/penumpasan) sesudah kejahatan terjadi.24 Dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) ialah masalah penentuan, “Perbuatan

apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana dan Sanksi apa saja sebaiknya digunakan/dikenakan kepada si pelanggar”.

Masalah sentral ini tidak dapat dilepaskan dari konsepsi integral antara kebijakan kriminal dengan kebijakan sosial/kebijakan pembangunan nasional. Dengan pemikiran kebijakan hukum pidana harus pula dilakukan dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan yang integral tidak hanya dalam hukum pidana tetapi juga pada pembangunan hukum pada umumnya.25

22

(33)

18

Usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatan Undang-Undang (hukum) pidana pada hakekatnya merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat. Sehingga wajar apabila kebijakan/politik hukum pidana yang merupakan bagian integral dari kebijakan/politik sosial (social policy).26

Secara konkrit kebijakan dengan menggunakan hukum pidana berkorelasi erat dengan aspek kriminalisasi yang pada asasnya kriminalitas merupakan proses penetapan suatu perbuatan sebagai yang dilarang dan diancam pidana bagi yang melanggar.27 Menurut Sudarto dalam menghadapi masalah kriminalisasi harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut28:

1. Tujuan hukum pidana harus memperlihatkan tujuan pembangunan nasional yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur yang merata materiil spirituil berdasarkan Pancasila, maka penggunaan hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan penggagasan terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.

2. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiildan/spirituil) atas warga masyarakat. 3. Harus memperhatikan dan memperhitungkan prinsip-prinsip biaya dan hasil

(Cost and benefit principle).

26

Lilik Mulyadi,Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi dan Victimologi, Djambatan, Jakarta, 2004, hlm. 30

27Ibid

., hlm. 37 28

(34)

19

4. Memperhatikan kapasitas dan kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum jangan sampai kelampauan beban tugas.

Penggunaan sarana penal seharusnya lebih hati-hati, cermat, hemat, selektif dan limitatif, dengan kata lain sarana penal tidak harus dipanggil/digunakan dalam setiap produk legislatif. Dalam menggunakan penal, Nigel Walker pernah mengingatkan adanya “prinsip-prinsip pembatas” (the limiting principles) yang sepatutnya mendapat perhatian antara lain29:

1. Jangan hukum pidana digunakan semata-mata untuk tujuan pembalasan

2. Jangan menggunakan hukum pidana untuk memidana perbuatan yang tidak merugikan/membahayakan.

3. Jangan menggunakan hukum pidana untuk mencapai satu tujuan yang dapat dicapai lebih efektif dengan sarana-sarana lain yang lebih ringan.

4. Jangan menggunakan hukum pidana apabila kerugian/bahaya yang timbul dari pidana lebih besar daripada kerugian/bahaya dari perbuatan pidana itu sendiri. 5. Larangan-larangan hukum pidana jangan mengundang sifat lebih berbahaya

daripada perbuatan-perbuatan yang akan dicegah.

6. Hukum pidana jangan memuat larangan-larangan yang tidak mendapat dukungan kuat dari publik.

Masalah sentral yang kedua dari penanggulangan dengan penal adalah masalah penjatuhan sanksi/pemidanaan. Konsep pemidanaan yang berorientasi pada orang (konsep pemidanaan individual/personal) lebih mengutamakan filsafat pembinaan/perawatan.

29

(35)

20

Pelaku kejahatan (the treatment of effenders) yang melahirkan pendekatan humanistik, ide individualisasi. Pidana dan tujuan pemidanaan yang berorientasi pada perbaikan si pembuat (yaitu tujuan regabilitasi, rekomendasi, reeduksi, resosialisasi, readaptasi, sosial, reintegrasi sosial, dan sebagainya)30.

Penanggulangan kejahatan dengan jalur “non penal” lebih menitikberatkan pada

sifat-sifat “preventive” (pencegahan/penangkalan/ pengendalian) sebelum kejahatan terjadi namun walaupun demikian sebenarnya penanggulangan dengan “penal” juga merupakan tindakan represif pada hakikatnya juga dapat dilihat

sebagai tindakan preventif dalam arti luas. Sasaran utama dari penanggulangan “non penal” adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif tersebut antara lain berpusat pada masalah-masalah/kondisi-kondisi sosial secara langsung/tidak langsung dapat menimbulkan/menumbuh suburkan kejahatan. Dengan demikian dilihat dari sudut politik kriminal secara makro dan global, maka upaya non-penal menduduki posisi kunci dan strategis dari keseluruhan upaya politik kriminal31.

Sebab-sebab dan kondisi yang menimbulkan kejahatan, ditegaskan pula dalam berbagai kongres PBB mengenaiThe Prevention Of Crime And The Treatment Of Offenders, salah satu hasil kongres tersebut menyebutkan32:

a. Bahwa masalah kejahatan merintangi kemajuan untuk pencapaian kualitas lingkungan hidup yang layak/pantas bagi semua orang.

30Ibid

., hlm. 76 31

Barda Nawawi Arief,Op.Cit.,hlm. 42-54 32Ibid

(36)

21

b. Bahwa strategis pencegahan kejahatan harus didasarkan pada penghapusan sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan kejahatan.

c. Penyebab utama dari kejahatan dibanyak negara ialah ketimpangan sosial, diskriminasi ras dan diskriminasi nasional, standard hidup yang rendah pengangguran dan kebutahurufan (kebodohan) diantara golongan besar penduduk.

Salah satu aspek kebijakan sosial yang tidak kalah patut mendapat perhatian ialah penggarapan masalah kesehatan jiwa masyarakat (social hygiene), baik secara individu sebagai anggota masyarakat maupun kesehatan/kesejahteraan keluarga (termasuk masalah kesejahteraan anak dan remaja).33 Jadi beberapa masalah kesehatan dan kondisi sosial yang dapat merupakan faktor kondusif penyebab timbulnya kejahatan, jelas merupakan masalah yang tidak dapat diatasi semata-mata dengan penal dan disiniah keterbatasan jalur penal, dan oleh karena itu harus ditunjang oleh jalur non penal. Jadi dalam mewujudkan suatu kebijakan kriminal yang integral dibutuh upaya penanggulangan kejahatan baik dari jalur penal maupun non penal.

B. Tinjauan Tentang Konflik Sosial

Menurut Soerjono Soekanto, konflik sosial adalah suatu proses social dimana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai dengan ancaman atau kekerasan Menurut teori konflik.

33Ibid

(37)

22

Masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang di tandai oleh pertentangan yang terus menerus diantara unsure-unsurnya. Teori konflik melihat bahwa setiap elemen memberikan sumbangan terhdapa disintegrasi sosial. Teori konflik melihat bahwa keteraturan yang terdapat dalam masyarakat itu hanyalah disebabkan karena adanya tekanan atau pemaksaan kekuasaan dari atas golongan yang berkuasa.34

Konflik sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Ketika orang memperebutkan sebuah area, mereka tidak hanya memperebutkan sebidang tanah saja, namun juga sumber daya alam seperti air dan hutan yang terkandung di dalamnya. Pada umunya orang berkompetisi untuk memperebutkan sumber daya alam karena empat alasan utama. Pertama, karena sumber daya alam merupakan “interconnected space” yang memungkinkan perilaku seseorang mampu

mempengaruhi perilaku orang lain. Sumber daya alam juga memiliki aspek “social space” yang menghasilkan hubungan-hubungan tertentu diantara para pelaku. Selain itu sumber daya alam bisa menjadi langka atau hilang sama sekali terkait dengan perubahan lingkungan, permintaan pasar dan distribusi yang tidak merata. Sumber daya alam pada derajat tertentu juga menjadi sebagai simbol bagi orang atau kelompok tertentu.

Konflik merupakan kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan sering bersifat kreatif. Konflik terjadi ketika tujuan masyarakat tidak sejalan, berbagai perbedaan pendapat dan biasanya diselesaikan tanpa kekerasaan, dan sering menghasilkan situasi yang lebih baik. bagi sebagian besar atau semua pihak yang terlibat.35

34

Soerjono Soekanto,Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Grafindo Persada. 2002, hlm.47 35

(38)

23

Dalam setiap kelompok social selalu ada benih-benih pertentangan antara individudan individu, kelompok dan kelompok, individu atau kelompok dengan pemerintah. Pertentangan ini biasanya berbentuk non fisik. Tetapi dapat berkembang menjadi benturan fisik, kekerasaan dan tidak berbentuk kekerasaan. Konflik berasal dari kata kerja Latin, yaituconfigureyang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkan atau membuatnya tidak berdaya.

Timbulnya konflik menurut Fisher disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, serta tidak adanya saling percaya dalam masyarakat yang melahirkan permusuhan diantara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat. selain itu, penyebab konflik dalam masyarakat juga dapat disebabkan oleh kebutuhan-kebutuhan dasar manusia. Dalam teori kebutuhan manusia, Fisher mengatakan bahwa konflik yang berakar dalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia (fisik), mental dan social yang tidak terpenuhi atau dihargai.36

Pendapat Hoult mengenai konflik itu merupakan proes interaksi antara dua orang atau kelompok yang masing-masing memperjuangkan kepentingannya atas obyek yang sama, yaitu tanah dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah, seperti air dan perairan, tanaman, tambang , dan juga udara yang berada di atas tanah yang bersangkutan. Konflik yang terjadi dapat berupa konflik vertical, yaitu antar pemerintah, masyarakat dan swasta, antar pemerintah pusat, pemerintah kota dan desa, serta konflik horizontal yaitu konflik antar masyarakat.37

36

(39)

24

Menurut teori konflik, unsur-unsur yang terdapat di dalam masyarakat cenderung bersifat dinamis atau sering kali mengalami perubahan. Setiap elemen-elemen yang terdapat pada masyarakat dianggap mempunyai potensi terhadap disintegrasi sosial. Menurut teori ini keteraturan yang terdapat dalam masyarakat hanyalah karena ada tekanan atau pemaksaan kekuasaan dari golongan yang berkuasa. Adanya perbedaan peran dan status di dalam masyarakat menyebabkan adanya golongan penguasa dan yang dikuasi. Distribusi kekuasaan dan wewenang yang tidak merata menjadi faktor terjadinya konflik sosial secara sistematis.38

Dahrendrof membedakan golongan yang terlibat konflik atas tiga tipe kelompok, yaitu kelompok semu (Quasi Group) atau sejumlah pemegang posisi dengan kepentingan yang sama atau merupakan kumpulan dari para pemegang kekuasaan atau jabatan dengan kepentingan yang terbentuk karena munculnya kelompok kepentingan . kelompok yang kedua adalah kelompok kepentingan. Kelompok kepentingan terbentuk dari kelompok semu yang lebih luas, mempunyai struktur, organisasi program, tujuan, serta anggota yang jelas. Kelompok kepentingan ini lah yang menjadi sumber nyata timbulnya konflik.39

Berbagai jenis kelompok kepentingan yang ada inilah akan muncul kelompok konflik atau kelompok yang terlibat dalam konflik kelompok aktual. Konflik yang terjadi menyebabkan perubahan –perubahan dalam masyarakat. segera setelah kelompok konflik muncul, kelompok tersebut akan melakukan tindakan yang menyebabkan perubahan-perubahan dalam struktur sosial.

38

Abu Ahmadi.Op, Cit.,hlm. 26 39

(40)

25

Bila konflik itu hebat, perubahan yang terjadi adalah perubahan yang radikal, bila konflik itu disertai dengan tindakan kekerasan, akan terjadi perubahan struktur secara tiba-tiba.40Secara akademis, konflik tidak harus berarti kekerasan. Konflik juga bisa berupa kompetisi untuk perebutan sumber daya alam yang yang ketersediaanya terbatas.41 Konflik muncul ketika individu saling berhadapan dan bertentangan denganm kepentingan, tujuandan nilai yang di pegang oleh masing-masing individu. Demikian juga halnya pada masyarakat Karo, mula konflik terjadi karena adanya perebutan tanah di antara dua pihak yang masih merupakan satu bagian keluarga besar. Mereka berkompetisi memperebutkan tanah warisan dan masing-masing mereka mempertahankan tanah tersebut.

Secara teoritis, konflik yang terjadi dalam masyarakat dapat dibedakan kedalam dua bentuk, yaitu konflik sosial vertikal dan horizontal. Konflik sosial vertikal adalah konflik yang terjadi antara masyarakat dan Negara dan dapat dikatakan konflik laten, sebab benih-benih konflik sudah ada dan telah terpendam pada masa sebelumnya. Konflik sosial horizontal, disebabkan karena konflik antar etnis, suku, golongan, agama, atau antar kelompok masyarakat yang dilatar belakangi oleh kecemburuan sosial yang memang sudah terbentuk dan eksis sejak masa kolonial. Pola konflik dibagi kedalam tiga bentuk,; pertama, konflik laten sifatnya tersembunyi dan perlu diangkat ke permukaan sehingga dapat ditangani secara efektif. Kedua, konflik terbuka adalah konflik yang berakar dalam dan sangat nyata, dan memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai macam efeknya.

40 Ibid. 41

(41)

26

Dan yang ketiga adalah, konflik di permukaan memiliki akar yang dangkal atau tidak berakar dan muncul hanya karena kesalahpahaman mengenai sesuatu yang dapat diatasi dengan menggunakan komunikasi

Untuk menyelesaikan konflik yang terjadi dalam masyarakat, tentu kita harus mengetahui apa yang menjadi penyebab suatu konfik itu dapat terjadi. Dalam pandangan sosiologis, masyarakat itu selalu dalam perubahan dan setiap elemen dalam masyarakat selalu memberikan sumbangan bagi terjadinya konflik. Collins mengatakan bahwa konflik berakar pada masalah individual karena akar teoritisnya lebih pada fenomenologis. Menurut Collins, konflik sebagai fokus berdasarkan landasan yang realistik dan konflik adalah proses sentral dalam kehidupan sosial.

Salah satu penyebab terjadinya konflik adalah karena ketidakseimbangan antara hubungan-hubungan manusia ,seperti aspek sosial, ekonomi, dan kekuasaan. Konflik dapat juga terjadi karena adanya mobilisasi social yang memupuk keinginan yang sama. Menurut perspektif sosiologi,42 konflik di dalam masyarakat terjadi karena pribadi maupun kelompok menyadari adanya perbedaan-perbedaan badaniah, emosi, unsure-unsur kebudayaan, pola perilaku dengan pihak lain. Konflik atau pertentangan adalah suatu proses sosial dimana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan menantang pihak lawan yang disertai dengan ancaman dan/ atau kekerasan.

42

(42)

27

C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

Secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk meniptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.43

Pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut.

Faktor-faktor tersebut adalah, sebagai berikut:

a. Faktor hukumnya sendiri, dalam hal ini dibatasi pada undang-undang saja. b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun

menerapkan hukum.

c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.

e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.44

Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas penegakan hukum.

43

Soerjono Soekanto,Op., Cit.,hlm. 9. 44

(43)

28

Dari kelima faktor tersebut akan dibahas lebih lanjut dengan mengetengahkan contoh-contoh yang diambil dari kehidupan masyarakat Indonesia.

1. Faktor Undang-undang

Undang-undang dalam arti material adalah peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh Penguasa Pusat maupun Daerah yang sah. Mengenai berlakunya undang-undang tersebut, terdapat beberapa asas yang tujuannya adalah agar undang-undang tersebut mempunyai dampak yang positif. Asas-asas tersebut antara lain:

a. Undang-undang tidak berlaku surut.

b. Undang-undang yng dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, c. mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula.

d. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang bersifat umum, apabila pembuatnya sama.

e. Undang-undang yang berlaku belakangan, membatalkan undang-undang yan berlaku terdahulu.

f. Undang-undang tidak dapat diganggu guat.

g. Undang-undang merupakan suatu sarana untuk mencapai kesejahteraan spiritual dan materiel bagi masyarakat maupun pribadi, melalui pelestaian ataupun pembaharuan (inovasi).45

2. Faktor Penegak Hukum

Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat, yang hendaknya mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu sesuai dengan aspirasi masyarakat.

45

(44)

29

Mereka harus dapat berkomunikasi dan mendapat pengertian dari golongan sasaran, disamping mampu menjalankan atau membawakan peranan yang dapat diterima oleh mereka. Ada beberapa halangan yang mungkin dijumpai pada penerapan peranan yang seharusnya dari golngan sasaran atau penegak hukum, Halangan-halangan tersebut, adalah:

a. Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain dengan siapa dia berinteraksi.

b. Tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi.

c. Kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit sekali untuk membuat proyeksi.

d. Belum ada kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan material.

e. Kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan konservatisme.

Halangan-halangan tersebut dapat diatasi dengan membiasakan diri dengan sikap-sikap, sebagai berikut:

a. Sikap yang terbuka terhadap pengalaman maupun penemuan baru.

b. Senantiasa siap untuk menerima perubahan setelah menilai kekurangan yang ada pada saat itu.

c. Peka terhadap masalah-masalah yang terjadi di sekitarnya.

d. Senantiasa mempunyai informasi yang selengkap mungkin mengenai pendiriannya.

(45)

30

f. Menyadari akan potensi yang ada dalam dirinya.

g. Berpegang pada suatu perencanaan dan tidak pasrah pada nasib.

h. Percaya pada kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi di dalam meningkatkan kesejahteraan umat manusia.

i. Menyadari dan menghormati hak, kewajiban, maupun kehormatan diri sendiri dan ihak lain.

j. Berpegang teguh pada keputusan-keputusan yang diambil atas dasar penalaran dan perhitingan yang mantap.

3. Faktor Sarana atau Fasilitas

Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berjalan dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain, mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan trampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya. Sarana atau fasilitas mempunyai peran yang sangat penting dalam penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut, tidak akan mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang aktual. Khususnya untuk sarana atau fasilitas tesebut, sebaiknya dianut jalan pikiran, sebagai berikut : a. Yang tidak ada-diadakan yang baru betul.

b. Yang rusak atau salah-diperbaiki atau dibetulkan. c. Yang kurang-ditambah.

d. Yang macet-dilancarkan.

e. Yang mundur atau merosot-dimajukan atau ditingkatkan.46

46

(46)

31

4. Faktor Masyarakat

Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk mencapai kedamaian dalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu, maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut. Masyarakat Indonesia mempunyai kecendrungan yang besar untuk mengartikan hukum dan bahkan mengidentifikasikannya dengan petugas (dalam hal ini penegak hukum sebagai pribadi). Salah satu akibatnya adalah, bahwa baik buruknya hukum senantiasa dikaitkan dengan pola prilaku penegak hukum tersebut.

5. Faktor Kebudayaan

Kebudayaan(system) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari). Pasanagn nilai yang berperan dalam hukum, adalah sebagai berikut: a. Nilai ketertiban dan nilai ketentraman.

b. Nilai jasmani/kebendaan dan nilai rohani/keakhlakan.

c. Nilai kelanggengan/konservatisme dan nilai kebaruan/inovatisme.

(47)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah dalam penelitian ini yang berdasarkan pokok permasalahan dilakukan dengan pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan secara yuridis normatif dilakukan dengan cara menelaah dan menelusuri berbagai peraturan perundang-undangan, teori-teori, kaidah hukum dan konsep-konsep yang ada hubungannya dengan permasalah yang akan dibahas. Sedangkan pendekatan yuridis empiris yaitu dengan melakukan pengkajian dan pengolahan terhadap data primer sebagai data utama yaitu fakta-fakta dan perilaku empiris di lapangan.47

B. Sumber dan Jenis data

Sumber dan jenis data dalam penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari bahan literatur kepustakaan dengan melakukan studi dokumen, arsip yang bersifat teoritis, konsep-konsep, doktrin dan asas-asas hukum yang berkaitan dengan pokok cara membaca.

47

(48)

33

Mengutip dan menelaah peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan permasalahan yang akan di bahas,48 yang terdiri antara lain:

1. Bahan hukum primer yaitu :

1) Undang-undang No 1 Tahun 1946 jo Undang-undang No 73 Tahun 1958 tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Undang-Undang Hukum Pidana.

2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 Penanganan Konflik Sosial

2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan-batentangan yang memberikan penjelasan bahan hukum primer dalam hal ini teori-teori yang dikemukakan para ahli dan peraturan-peraturan pelaksana dari Undang-Undang.

3. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang terdiri dari Literatur, Kamus, Internet, surat kabar dan lain-lain.

C. Penetuan Populasi dan Sampel

Populasi yaitu jumlah keseluruhan dari unit analisa yang dapat diduga-duga. Populasi adalah sejumlah maanusia atau unit yang mempunyai ciri-ciri dan karakteristik yang sama. Sampel merupakan sejumlah objek yang jumlahnya kurang dari populasi. Pada sampel penelitiannya diambil dari beberapa orang populasi secara “purposive sampling” atau penarikan sample.

48

(49)

34

Penarikan sample itu yang bertujuan dilakukan dengan cara mengambil subjek berdasarkan pada tujuan tertentu.49 Adapun responden dalam penelitian ini adalah sebgai berikut:

1. Anggota Kepolisian Resort Lampung Selatan. : 1 Orang 2. Tokoh Masyarakat suku Bali di Desa Balinuraga : 2 Orang 3. Tokoh Masyarakat Suku Lampung di Desa Agom : 3 Orang 4. Dosen Fakultas Hukum Bagian Hukum Pidana : 2 Orang

Jumlah 8 Orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Pengumpulan Data

Proses dalam melakukan pengumpulan data, baik data primer maupun data sekunder dipergunakan alat-alat pengumpulan data sebagai berikut :

a. Studi Pustaka

Terlebih dahulu mencari dan mengumpulkan buku-buku dan literatur yang erat hubungannya dengan permasalahan yang sedang dibahas sehingga dapat mengumpulkan data sekunder dengan membaca, mencatat, merangkum, untuk dianalisa lebih lanjut.

b. Studi Dokumen

Mempelajari berkas-berkas dokumen yang berkaitan dengan pokok bahasan dengan cara membaca, mencatat, merangkum untuk dianalisa lebih lanjut.

49

(50)

35

c. Studi lapangan

Studi lapangan dilakukan melalui wawancara dengan responden yang telah direncanakan sebelumnya. Metode yang dipakai adalah pengamatan langsung dilapangan serta mengajukan pertanyaan yang disusun secara teratur dan mengarah pada terjawabnya permasalahan dalam penulisan skripsi ini.

2. Pengolahan Data

Tahapan pengolahan data dalam penelitian ini meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut:

a. Identifikasi data, yaitu mencari data yang diperoleh untuk disesuaikan dengan pembahasan yang akan dilakukan dengan menelaah peraturan, buku atau artikel yang berkaitan dengan judul dan permasalahan.

b. Klasifikasi data, yaitu hasil identifikasi data yang selanjutnya diklasifikasi atau dikelompokkan sehingga diperoleh data yang benar-benar objektif.

c. Penyusunan data, yaitu menyusun data menurut sistematika yang telah ditetapkan dalam penelitian sehingga memudahkan peneliti dalam menginterprestasikan data.

E. Analisis Data

(51)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat di tarik kesimpulan sebagai berikut :

(52)

71

2. Faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam upaya penanggulangan konflik sosial yang terjadi di kecamatan Way Panji kabupaten Lampung Selatan adalah faktor perundang-undangan, faktor aparatur penegak hukum, dan faktor masyarakatnta sendiri. Peraturan perundang-undangan penanganan konflik sosial yang ada pada saat ini masih tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan sehingga penangangan konflik ini masih sulit untuk diselesaikan. Dari faktor aparatur penegak hukum masih kurang memiliki wibawa dalam menghadapi ini, sebagian besar kasus hanya dibiarkan begitu saja dan tindakan hukum yang ada kurang membuat para pelanggar peraturan ini tidak merasakan jera. Disamping itu kurangnya personil dalam penegakan peraturan hukum ini turut menambah kurang efisienya dalam proses penegakan hukum itu sendiri. Sedangakan dari faktor masyarakat adalah dimana kesadaran hukum masyarakat yang sangat rendah, peraturan perundang-undangan yang ada juga seringkali tidak mencerminkan realitas sistem nilai yang hidup dalam masyarakat sehingga rasa memiliki masyarakat terhadap peraturan hukum yang ada masih sangat kurang.

B. Saran

1. Sebagai warga masyarakat penulis menghimbau kepada aparat pemerintah dalam menjalankan tugas agar selalu senantisa bersikap disiplin, jujur, adil dan bijaksana dalam penangan konflik yang terjadi di masyarakat sehingga peristiwa konflik antar warga ini tidak terjadi kembali dikemudian hari.

(53)

72

(54)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi , Abu, 2001,Pengantar Sosiologi. Ramdani, Solo.

Arief, Barda Nawawi, 2003, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung.

__________________, 2006, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana,Citra Aditya Bhakti, Bandung.

Departemen pendidikan dan kebudayaan, 2001. Kamus besar bahasa Indonesia.

Balai pustaka, Jakarta.

Mertokusumo, Sudikno, Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Liberty Yogyakarta, 1996,

Mulyadi. Lilik. 2004,Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi dan Victimologi, Djambatan, Jakarta.

Rahardjo, Satjipto, 2001, Masalah Penegakan Hukum (Suatu Tinjauan Sosiologis), Sinar Baru, Bandung,

Soekanto, Soerjono, 2010.Pengantar Penelitian Hukum. UI Press. Jakarta.

________________. 2005, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

________________, 2002,Sosiologi Suatu Pengantar. Grafindo Persada. Jakarta.

Sudarto, 1984, Hukum Pidana Dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981).

(55)

Kurniawan, Dedi, 2013,Faktor Penyebab, Dampak dan Strategi Penyelesaian Konflik Antar Warga (skripsi), Universitas Lampung, Lampung.

jurnalsrigunting.wordpress.com,diakses 20 Januari 213

http://catatansangpengadil.blogspot.com, diakses 20 Januari 213

Gambar

Tabel. Peristiwa kejadian konflik yang dilakukan warga Bali di kabupatenLampung Selatan terhadap masyarakat Lampung

Referensi

Dokumen terkait

memegang peranan sangat penting dalam menjaga keseimbangan terhad': I perubahan iklim yang terjadi selama ini. Perubahan fimgsi dan peruntukaa lahan hutan telah

Pada saat film cerita masuk ke Hindia Belanda dengan menampilkan aktor serta serangkaian cerita menarik yang mampu membawa penonton ke dunia impian, maka hal tersebut

The king of the Silver River stood at the edge of the Gardens that had been his domain since the dawn of the age of faerie and looked out over the world of mortal men.. What he saw

Kelas X Teknik Komputer dan Jaringan, Tingkat X.

Berdasarkan Penetapan Pemenang Nomor : 28.13/POKJA II-ULP/2015 Tanggal 13 Agustus 2015 Pekerjaan Pembangunan dan Pengadaan RMU Desa Lubuk Ruso Kecamatan Pemayung pada Badan

Modul ini berisi implementasi guru BK atau Konselor secara konseptual memahami tentang pengertian, tujuan, tahapan pelaksanaan, metode/teknik, materi/topik, dan

Hasil uji lanjut Beda Jarak Nyata Duncan (BJND) dari efektivitas ekstrak daun jambu biji terhadap penyembuhan luka bakar pada m encit menunjukkan bahwa TPO sebagai kontrol

Indonesia merupakan salah satu negara multikultural terbesar di dunia.Hal ini dapat dilihat dari kondisi sosio-kultural, agama maupun geografis yang begitu beragam