i
TAHUN 2009-2011
SKRIPSI
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Pada Universitas Negeri Semarang
Oleh
Henggar Malika Purna Cahya
NIM 7211409017
JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
iv
hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain, baik sebagian atau seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah. Apabila dikemudian hari terbukti skripsi ini adalah hasil jiplakan dari karya tulis orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Semarang, Juni 2013
v
“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmu-lah hendaknya kamu berharap.” (QS. Al-Insyirah: 6-8)
“Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu ...”(QS. Al-Mu’min: 60)
PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan untuk:
Kedua orang tuaku Bapak Eko Setyo Budi dan Ibu Eny Setyo Wati tercinta yang selalu memberi kasih sayang, semangat, doa, dan dukungan.
Kakakku Inggri Santya Dewi, dan adikku (Alm) Conie Berthiara Fatma, Monica Putri Amelia Rizky tercinta yang memberikan semangat dan doa.
Adi Hendriawan yang selalu memberikan doa serta dukungan.
Sahabat dan teman terbaikku yang menjadi penyemangatku.
Teman-teman Akuntansi A 2009.
vi
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, karena penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul: “Determinan Luas Pengungkapan Modal Intelektual pada Perbankan Tahun 2009-2011”. Penulis menyadari dalam penyusunan skripsi ini telah mendapatkan bantuan, dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak, maka dengan rasa hormat penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. Fathur Rokhman, M.Hum, Rektor Universitas Negeri Semarang. 2. Dr. S. Martono, M.Si, Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Negeri
Semarang.
3. Drs. Fachrurrozie, M.Si, Ketua Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang
4. Drs. Heri Yanto, MBA, Ph.D, Dosen pembimbing I yang telah berkenan memberikan bimbingan, pengarahan, dan motivasi dalam penyelesaian skripsi ini.
5. Nanik Sri Utaminingsih, S.E., M.Si., Akt, Dosen pembimbing II yang telah berkenan memberikan bimbingan, pengarahan, dan motivasi dalam penyelesaian skripsi ini.
vii
8. Seluruh Bapak/ibu Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan bimbingan, pengarahan dan bantuan selama penulis menimba ilmu di Universitas Negeri Semarang.
9. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang yang telah membantu dalam proses perkuliahan.
10. Semua pihak-pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini.
Dalam penyusunan skripsi ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu penulis mengaharapkan segala kritik dan saran. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan.
Semarang, 3 Juni 2013
viii
Intelektual pada Perbankan Tahun 2009-2011”. Skripsi. Jurusan Akuntansi. Fakultas Ekonomi. Univesitas Negeri Semarang. Pembimbing I: Drs. Heri Yanto, MBA. Ph.D., Pembimbing II: Nanik Sri Utaminingsih, S.E,M.Si, Akt.
Kata Kunci: Pengungkapan Modal Intelektual, Kinerja Modal Intelektual, Tingkat Utang, Ukuran Dewan Komisaris, Jumlah Rapat Dewan Komisaris, Ukuran Komite Audit, Konsentrasi Kepemilikan Saham, UmurListing.
Pengungkapan modal intelektual merupakan informasi yang bernilai bagi investor untuk mengurangi ketidakpastian mengenai prospek ke depan dan memfasilitasi ketepatan penilaian terhadap perusahaan. Tingginya peran modal intelektual di era ekonomi masa kini ketika sumber daya manusia dan ilmu pengetahuan merupakan sumber keunggulan kompetitif perusahaan menjadi alasan atas pentingnya kepemilikan modal intelektual oleh suatu perusahaan.
Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pengaruh kinerja modal intelektual, tingkat utang, ukuran dewan komisaris, jumlah rapat dewan komisaris, ukuran komite audit, konsentrasi kepemilikan saham dan umur listing terhadap luas pengungkapan modal intelektual. Variabel independen dalam penelitian ini yaitu kinerja modal intelektual, tingkat utang, ukuran dewan komisaris, jumlah rapat dewan komisaris, konsentrasi kepemilikan saham. Umur listing merupakan variabel pengendali dalam penelitian ini, serta luas pengungkapan modal intelektual sebagai variabel dependen.
Sampel penelitian adalah perusahaan perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada periode penelitian tahun 2009 sampai 2011. Sampel dipilih menggunakan metode purposive sampling dan diperoleh 75 pengamatan yang menjadi sampel. Alat analisis yang digunakan adalah regresi berganda dengan pemenuhan uji asumsi klasik.
ix
Capital Disclosure on Banking 2009-2011”. Final Project. Accounting Department. Faculty of Economics. Semarang State University. Advisor I: Drs. Heri Yanto, MBA. Ph.D., Advisor II: Nanik Sri Utaminingsih , S.E, M.Si, Akt.
Keywords: Intellectual Capital Disclosure, Intellectual Capital Performance, Leverage, Board of Comissioners Size, Number of Board of Commissioners Meetings, Audit Committee Size, Concentrated Ownership and Listing age.
Intellectual capital disclosure is valuable information for lessening uncertainty of prospect. This information provides facilitation to decision makers in determining the price of entity. The roles of intellectual capital are very important in this economic era due to the use of human resources and knowledge as competitive advantage. In the other words, intellectual capital will be one of the main reasons for the existing of the company.
The objective of this study is to analyze the influence of intellectual capital performance, leverage, board of commissioner size, concentrated ownership and listing age on the width of intellectual capital disclosure. Independent variables in this research are performance intellectual capital, leverage, board of commissioner size, number of commissioner board meetings, audit committee size, and concentrated ownership. In addition, listing age becomes a control variable. The width of intellectual capital disclosure is a dependent variable.
The samples of this study were taken from banking companies listed on Indonesia Stock Exchange, with observation period of 2009 until 2011. By employing purposive sampling method, the study collected data from 75 companies listed in Indonesia Stock Exchange. The study uses multiple-regression analysis by testing classical assumptions.
x
HALAMAN JUDUL... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
PENGESAHAN KELULUSAN ... iii
PERNYATAAN... iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ...v
KATA PENGANTAR. ... vi
SARI... viii
ABSTRACT... ix
DAFTAR ISI...x
DAFTAR TABEL...xv
DAFTAR GAMBAR. ... xvii
DAFTAR LAMPIRAN... xviii
BAB 1 PENDAHULUAN. ...1
1.1 Latar Belakang ...1
1.2 Rumusan Masalah ...9
1.3 Tujuan Penelitian...9
1.4 Kegunaan Penelitian... 10
BAB II TELAAH TEORI...11
2.1 Teori Legetimasi...11
2.2Stakeholder Theory...12
xi
2.5.2 Komponen Modal Intelektual. ...17
2.6 Pengungkapan Sukarela Modal Intelektual. ...19
2.7 Kinerja Modal Intelektual...24
2.7.1 Model Pulic. ...25
2.7.1.1 Value Added Capital Employed (VACA). ...27
2.7.1.2 Value Added Human Capital (VAHU)...27
2.7.1.3 Structural Capital Value Added (STVA). ...28
2.8 Tingkat Utang. ...29
2.9 StrukturCorporate Governance....30
2.9.1 Ukuran Dewan Komisaris. ...32
2.9.2 Jumlah Rapat Dewan Komisaris. ...34
2.9.3 Ukuran Komite Audit...34
2.9.4 Jumlah Rapat Komite Audit...36
2.9.5 Konsentrasi Kepemilikan Saham. ...36
2.10 UmurListing. ...37
2.11 Penelitian Terdahulu. ...37
2.12 Kerangka Pemikiran Teoritis. ...40
2.13 Pengembangan Hipotesis...44
xii
Luas Pengungkapan Modal Intelektual...47
2.13.3.1 Pengaruh Ukuran Dewan Komisaris terhadap Luas Pengungkapan Modal Intelektual...47
2.13.3.2 Pengaruh Jumlah Rapat Dewan Komisaris terhadap Luas Pengungkapan Modal Intelektual....48
2.13.3.3 Pengaruh Ukuran Komite Audit terhadap Luas Pengungkapan Modal Intelektual...48
2.13.3.4 Pengaruh Jumlah Rapat Komite Audit terhadap Luas Pengungkapan Modal Intelektual...49
2.13.3.5 Pengaruh Konsentrasi Kepemilikan Saham terhadap Luas Pengungkapan Modal Intelektual....50
BAB III METODE PENELITIAN...52
3.1 Jenis Dan Desain Penelitian ...52
3.2 Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel ...52
3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ...52
3.3.1 Variabel Terikat atauDependen Variable ...53
3.3.2 Variabel Bebas atauIndependen Variable...56
3.3.3 Variabel Pengendali. ...61
3.4 Metode Pengumpulan Data ...63
xiii
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. ...70
4.1 Data Penelitian. ...70
4.1.1 Deskripsi Obyek Penelitian. ...70
4.2 Hasil Penelitian. ...71
4.2.1 Analisis Statistik Deskriptif...71
4.2.2 Hasil Uji Asumsi Klasik...82
4.2.3 Analisis Regresi Berganda. ...91
4.2.4 Uji Hipotesis...93
4.3 Pembahasan...99
4.3.1 Pengaruh Kinerja Modal Intelektual terhadap Luas Pengungkapan Modal Intelektual. ...99
4.3.2 Pengaruh Tingkat Utang terhadap Luas Pengungkapan Modal Intelektual. ...101
4.3.3 Pengaruh Ukuran Dewan Komisaris terhadap Luas Pengungkapan Modal Intelektual. ...103
4.3.4 Pengaruh Jumlah Rapat Dewan Komisaris terhadap Luas Pengungkapan Modal Intelektual. ...103
xiv
Luas Pengungkapan Modal Intelektual. ...106
BAB V PENUTUP...107
5.1 Simpulan...107
5.2 Saran...109
DAFTAR PUSTAKA ...111
xv
Tabel 3.1 Prosedur dan Hasil Pemilihan Sampel Perusahaan...53
Tabel 3.2 Indeks Pengungkapan Modal Intelektual...55
Tabel 3.3 Definisi Operasional Variabel. ...62
Tabel 3.4 Nilai Durbin Watson. ...65
Tabel 4.1 Ikhtisar Pemilihan Sampel. ...71
Tabel 4.2 Hasil Uji Statistik Deskriptif ICD...72
Tabel 4.3 Hasil Analisis Frekuensi Pengungkapan Modal Intelektual pada Perbankan Tahun 2009-2011. ...72
Tabel 4.4 Hasil Analisis Deskriptif Kinerja Modal Intelektual ...73
Tabe; 4.5 Hasil Analisis Frekuensi Kinerja Modal Intelektual pada Perbankan Tahun 2009-2011. ...73
Tabel 4.6 Hasil Analisis Tingkat Utang...74
Tabel 4.7 Hasil Analisis Frekuensi Tingkat Utang pada Perbankan Tahun 2009-2011. ...75
Tabel 4.8 Hasil Analisis Deskriptif Ukuran Dewan Komisaris ...75
Tabel 4.9 Hasil Analisis Frekuensi Ukuran Dewan Komisaris pada Perbankan Tahun 2009-2011. ...76
Tabel 4.10 Hasil Analisis Deskriptif Jumlah Rapat Dewan Komisaris. ...76
Tabel 4.11 Hasil Analisis Frekuensi Jumlah Rapat Dewan Komisaris pada Perbankan Tahun 2009-2011. ...77
Tabel 4.12 Hasil Analisis Deskriptif Ukuran Komite Audit...77
Tabel 4.13 Hasil Analisis Frekuensi Ukuran Komite Audit pada Perbankan Tahun 2009-2011. ...78
Tabel 4.14 Hasil Analisis Deskriptif Jumlah Rapat Komite Audit...78
Tabel 4.15 Hasil Analisis Frekuensi Jumlah Rapat Komite Audit pada Perbankan Tahun 2009-2011. ...79
xvi
Tabel 4.19 Hasil Analisis Frekuensi UmurListingpada Perbankan
Tahun 2009-2011. ...81
Tabel 4.20 Hasil Uji Normalitas dengan RasioSkerwnessdanKurtosis. ...84
Tabel 4.21 Hasil Uji Normalitas dengan UjiKolmogorov Smirnov(K-S). ...84
Tabel 4.22 Hasil Uji Autokolerasi. ...85
Tabel 4.23 Uji Multikolinieritas dengan Matriks Korelasi. ...87
Tabel 4.24 Uji Multikolinieritas dengan VIF. ...87
Tabel 4.25 Uji Multikolinieritas dengan Matriks Korelasi tanpa RADIT. ...88
Tabel 4.26 Uji Multikolinieritas dengan VIF tanpa RADIT...89
Tabel 4.27 Ringkasan Hasil Uji Multikolinieritas. ...89
Tabel 4.28 Hasil Persamaan Regresi Berganda. ...91
Tabel 4.29 Hasil Uji Koefisien Determinasi...94
Tabel 4.30 Hasil Uji Pengaruh Simultan. ...95
xvii
Gambar 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ...43
Gambar 4.1 Uji Normalitas dengan Histogram. ...82
Gambar 4.2 Hasil Uji Normal Probability Plot. ...83
xviii
Lampiran 2 Pengungkapan Modal Intelektual. ...120
Lampiran 3 Kinerja Modal Intelektual...135
Lampiran 4 Tingkat Utang. ...138
Lampiran 5 StrukturCorporate Governance...141
Lampiran 6 UmurListing...144
1
1.1 Latar Belakang Masalah
Perkembangan ekonomi global ditandai dengan munculnya berbagai industri baru berbasis pengetahuan (Salehet al., 2009). Seiring dengan perubahan ekonomi yang berkarakteristik ekonomi berbasis ilmu pengetahuan dengan penerapan manajemen pengetahuan (knowledge management), kemakmuran suatu perusahaan akan bergantung pada suatu penciptaan transformasi dan kapitalisasi dari pengetahuan itu sendiri (Sawarjuwono, 2003). Proses menciptakan nilai (value creation) fokusnya bergeser dari pemanfaatan aset-aset individual menjadi aset sekelompok yang sebagian utamanya adalah aktiva tidak berwujud, yaitu modal intelektual (intellectual capital) atau modal pengetahuan (knowledge capital) yang melekat dalam keterampilan, pengetahuan, dan pengalaman, serta dalam sistem dan prosedur organisasional (Purnomosidhi, 2006).
Pengakuan terhadap kemampuan intellectual capital dalam menciptakan dan mempertahankan keuntungan kompetitif dan shareholder value, juga naik secara signifikan (Tayles et al., 2007). Intellectual capital diakui dapat meningkatkan keuntungan perusahaan yang labanya dipengaruhi oleh inovasi dan
Modal intelektual perusahaan dapat dianggap sebagai bentuk
unaccounted capital dalam sistem akuntansi tradisional meskipun beberapa di antaranya, misalnya goodwill, patent, copy right, dan trade mark diakui sebagai aktiva tidak berwujud (Purnomosidhi, 2006). Timbulnya unaccounted capital
tersebut dikarenakan sangat ketatnya kriteria akuntansi bagi pengakuan dan penilaian aktiva, yaitu keteridentifikasian, adanya pengendalian sumber daya, dan adanya manfaat ekonomis di masa depan (PSAK NO.19: 19.5). Lev dan Zarowin (1999) menemukan banyak penelitian yang menunjukkan bahwa model akuntansi yang ada sekarang tidak bisa menangkap faktor kunci dari company’s long term value, yaitu intangible resources. Kegagalan akuntansi untuk mengakui secara penuh atasintangible (yang meliputihuman resources, customer relationship dan sebagainya). Hal ini sebagai tanda bahwa laporan keuangan tradisional telah kehilangan relevansinya sebagai instrumen pengambilan keputusan (Oliveira et al., 2008).
Akibat dari ketidakpuasan financial reporting tradisional karena tidak mampu menyediakan informasi yang cukup bagi investor akan menimbulkan adanya asimetri informasi antara stakeholders dan shareholders. Canibano et al., (2000) menyebutkan bahwa pendekatan yang pantas digunakan untuk meningkatkan kualitas laporan keuangan adalah dengan mendorong peningkatan informasiintellectual capital disclosure.
citra dan merek dari lingkungan luar (relational capital) dapat mengurangi asimetri informasi. Hal ini dikarenakan human capital sebagai penggerak modal intelektual, sedangkanstructural capitalmenyediakan fungsi pendukung sehingga
customer capital atau relational capital dapat menikmati benefit dari human capitaldanstructural capital.
Pengungkapan modal intelektual dalam laporan keuangan sangat penting untuk menyediakan informasi secara lengkap dan membantu investor dalam memprediksi kinerja suatu perusahaan. Menurut Bukh (2003), beberapa bentuk
intellectual capital disclosure merupakan informasi yang bernilai bagi investor, yang dapat membantu mengurangi ketidakpastian mengenai prospek ke depan dan memfasilitasi ketepatan penilaian terhadap perusahaan. Intellectual capital disclosurejuga dapat menunjukkan kinerja keuangan yang lebih baik (Salehet al., 2009). Investor dapat keliru dalam pengambilan keputusan terkait alokasi modal dimiliki tanpa adanya informasi tersebut sehingga investor tidak dapat memperoleh return yang sepantasnya. Hal ini mengakibatkan investor tidak mengalokasikan dananya kepada perusahaan sehingga cost of equity capital
perusahaan menjadi lebih besar (Burgman & Roos, 2007). Tingginya peran modal intelektual di era ekonomi masa kini ketika sumber daya manusia dan ilmu pengetahuan merupakan sumber keunggulan kompetitif perusahaan juga menjadi alasan atas pentingnya kepemilikan modal intelektual oleh suatu perusahaan (Chen, 2005).
Panin Tbk yang merupakan perusahaan yang bergerak dibidang industri perbankan. PT Bank Panin Tbk dituntut untuk membayarkan uang pesangon kepada dua karyawan Bank Panin yang di PHK. Kasus serupa juga terjadi pada bulan Maret 2013 yang menimpa PT BRI (Persero) Tbk. Perusahaan ini dituntut untuk menyelesaikan kewajibannya kepada pensiunan seperti uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak.
Masalah terkait demo buruh pada PT Bank Panin Tbk dan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk mengindikasikan kurangnya pengungkapan informasi tambahan yang bersifat sukarela mengenai perusahaan. Informasi-informasi mengenai peristiwa tersebut bisa diungkapkan di luar Informasi-informasi laporan keuangan, yaitu berupa informasi pendukung mengenai kondisi perusahaan seperti penjelasan rincian jumlah biaya yang dibelanjakan untuk karyawan.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Suhardjanto dan Wardhani (2010), tingkat intellectual capital disclosuredi Indonesia masih rendah (rata-rata hanya sebanyak 34,5% dari total 25 item intellectual capital). Hasil survey global menunjukkan bahwaintellectual capitalmerupakan salah satu tipe informasi yang paling banyak dipertimbangkan oleh investor. Dengan demikian, masih ada “information gap” (Bozzolanet al., 2003).
harus dilaporkan baik secara mandatory atau voluntary, sehingga tidak ada kewajiban bagi perusahaan-perusahaan yang terdaftar di BEI untuk mengungkapkan informasi yang berkaitan dengan modal intelektual.
Semakin tinggi tingkat pengungkapan informasi yang dilakukan perusahaan, maka cost of debt dan cost of equity yang ditanggung perusahaan tersebut akan semakin rendah (Francis & Pereira dalam Putri, 2011). Pengungkapan informasi juga akan mengurangiagency problem yang merupakan penyebab dari kesalahan estimasi nilai perusahaan pada pasar modal, sehingga manajer dapat memperoleh insentif atas pengungkapan sukarela yang dilakukannya (Healy & Palepu, 2001). Pengaruh yang ditimbulkan dari pengungkapan modal intelektual telah menarik perhatian para peneliti untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi luas pengungkapan modal intelektual perusahaan.
Selain faktor-faktor yang berhubungan dengan kinerja finansial perusahaan, karakteristik perusahaan juga diprediksi memiliki pengaruh terhadap luas pengungkapan modal intelektual perusahaan. Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Woodcock dan Whiting (2009) terhadap 70 perusahaan Australia yang terdaftar di pasar modal telah melakukan investigasi pengaruh karakteristik perusahaan yang terdiri dari tipe industri, konsentrasi kepemilikan, usia listing, tingkat utang, dan jenis auditor terhadap luas pengungkapan modal intelektual dan berhasil membuktikan bahwa tipe industri dan jenis auditor berpengaruh terhadap luas pengungkapan modal intelektual perusahaan. Penelitian sejenis juga dilakukan oleh White et al. (2007) terhadap perusahaan-perusahaan bioteknologi di Australia dengan memperluas investigasi faktor determinan luas pengungkapan hingga mencakup mekanisme corporate governance perusahaan. White et al. (2007) menginvestigasikan hubungan independensi dewan, usia perusahaan, tingkat utang, dan ukuran perusahaan terhadap tingkat pengungkapan modal intelektual.
Studi di atas menemukan bahwa independensi dewan komisaris, tingkat utang, dan ukuran perusahaan berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat pengungkapan modal intelektual perusahaan. Penelitian terdahulu telah membuktikan adanya hubungan antara penerapan corporate governance dengan tingkat pengungkapan modal intelektual perusahaan. Teori corporate governance
informasi lebih optimal. Hal ini juga didukung dengan adanya prinsip transparansi atau keterbukaan pada salah satu dari prinsipcorporate governance.
Beberapa penelitian sebelumnya terkait pengungkapan modal intelektual telah dilakukan, namun menunjukkan hasil yang tidak konsisten. Penelitian yang dilakukan Williams (2001) yang meneliti pengungkapan modal intelektual terkait dengan kinerja modal intelektual menghasilkan simpulan bahwa variabel kinerja modal intelektual, yang diukur dengan VAICTM tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat pengungkapan, tetapi memiliki arah hubungan yang bertentangan dengan yang diharapkan. Temuan ini menunjukkan bahwa untuk mempertahankan keunggulan kompetitif yang dimiliki, perusahaan dapat mengurangi tingkat pengungkapan modal intelektual sebagai usaha untuk tidak memberi sinyal bagi pesaing dan pihak-pihak lain tentang keberadaan potensi peluang bisnis.
Perusahaan dengan tingkat utang yang tinggi menanggung monitoring cost yang tinggi juga (Jensen & Meckling, 1976) serta dituntut untuk memiliki tingkat transparansi yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan kreditur (Khanna et al., 2004). Namun, studi yang dilakukan Cormier dan Magnan (2005) menghasilkan temuan bahwa tingkat utang suatu perusahaan berbanding terbalik dengan tingkat pengungkapan modal intelektual.
Penelitian ini berusaha mengukur pengaruh kinerja modal intelektual, tingkat utang, dan struktur corporate governance terhadap luas pengungkapan modal intelektual perusahaan sektor perbankan di Indonesia. Pemilihan sektor perbankan sebagai sampel mengacu pada penelitian Firer dan William (2003). Sektor perbankan dipilih karena menurut Firer dan William (2003) industri perbankan adalah salah satu sektor yang paling insentif modal intelektualnya. Hal ini dikarenakan perbankan memiliki kekayaan modal intelektual yang tinggi Perbankan lebih banyak menggunakan sumber daya intelektualnya dibandingkan sektor perusahaan lainnya. Selain itu, dari aspek intelektual, secara keseluruhan karyawan di sektor perbankan lebih homogen dibandingkan dengan sektor ekonomi lainnya (Kubo dan Saka, 2002).
Berdasarkan latar belakang tersebut maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian kembali, dengan judul “DETERMINAN LUAS
PENGUNGKAPAN MODAL INTELEKTUAL PADA PERBANKAN
TAHUN 2009-2011”. Variabel-variabel yang akan diteliti terdiri dari kinerja modal intelektual yang diukur dengan VAICTM, tingkat utang dan struktur
corporate governance yang diukur dari ukuran dewan komisaris, jumlah rapat dewan komisaris, ukuran komite audit, jumlah rapat komite audit, dan konsentrasi kepemilikan, dengan memasukkan variabel usia listing sebagai variabel pengendali.
Perbedaaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada model penelitian. Sebagian besar peneliti hanya meneliti pengaruh dari struktur
memasukkan variabel lain seperti kinerja modal intelektual. Penelitian ini mengkombinasikan kedua variabel tersebut (kinerja modal intelektual dan struktur
corporate governance) dengan penambahan satu variabel bebas lainnya yaitu tingkat utang.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Apakah terdapat pengaruh kinerja modal intelektual terhadap luas pengungkapan modal intelektual perbankan di Indonesia?
2. Apakah terdapat pengaruh tingkat utang terhadap luas pengungkapan modal intelektual perbankan di Indonesia?
3. Apakah terdapat pengaruh struktur corporate governance terhadap luas pengungkapan modal intelektual perbankan di Indonesia?
1.3 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan perumusan masalah, penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut:
1. Memperoleh bukti empiris tentang pengaruh kinerja modal intelektual terhadap luas pengungkapan modal intelektual perbankan di Indonesia. 2. Memperoleh bukti empiris tentang pengaruh tingkat utang terhadap luas
3. Memperoleh bukti empiris tentang pengaruh struktur corporate governance terhadap luas pengungkapan modal intelektual perbankan di Indonesia.
1.4 Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan kontirbusi: 1. Manfaat Teoritis
a. Dapat digunakan sebagai referensi khususnya untuk pengkajian topik-topik pengungkapan modal intelektual.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada pengembangan teori, terutama yang berkaitan akuntansi manajemen. 2. Manfaat Praktis
a. Memberikan masukan bagi perusahaan terkait dengan modal intelektual untuk meningkatkan pengungkapan modal intelektual, sehingga tidak terjadi adanya asimetri informasi.
11
2.1 Teori Legitimasi
Teori legitimasi berasal dari kontrak sosial antara perusahaan dan masyarakat yang menyatakan bahwa perusahaan akan mencari jalan atau melakukan suatu tindakan agar perilakunya dipandang baik oleh publik sehingga kelangsungan perusahaan dapat terjaga. Guthrie et al. (2006) menyatakan bahwa berdasarkan teori ini, perusahaan akan mengungkapkan secara sukarela segala pencapaiannya yang dipandang sesuai dengan ekspektasi masyarakat, baik yang bersifat eksplisit maupun implisit, berdasarkan kontrak sosial yang terjalin antara perusahaan dan masyarakat. Pengungkapan ini juga bertujuan untuk membentuk citra yang baik di hadapan publik.
2.2 Stakeholder Theory
Stakeholder Theoryberasumsi bahwa perusahaan tidak hanya bertanggung jawab pada shareholder atau pemilik saham, tetapi juga kepada Stakeholder. Menurut Freeman (1984) dalam Oliveira et al. (2010) stakeholder adalah kelompok atau individu yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh proses pencapaian tujuan suatu perusahaan. Pihak-pihak yang masuk ke dalam kelompok
stakeholder adalah pemegang saham, karyawan, pelanggan, pemasok, kreditor, pemerintah, dan masyarakat (Riahi-Belkaoui, 2003). Berdasarkan stakeholder theory, perusahaan memiliki insentif yang tinggi untuk meyakinkan stakeholder
bahwa aktivitasnya sesuai dengan ekspektasi stakeholder(Branco dan Rodrigues, 2006). Untuk meyakinkan para stakeholder, pengungkapan dipilih sebagai suatu strategi untuk mengelola atau bahkan memanipulasi pemenuhan tuntutan dari berbagai kelompok (Deegan dan Blomquist, 2006).
Pengungkapan informasi pada laporan keuangan merupakan salah satu bentuk dari tanggung jawab manajemen dalam memenuhi hak stakeholder untuk memperoleh informasi mengenai kebijakan dan kegiatan operasional perusahaan serta dampak bagi mereka. Woodcock & Whiting (2009) menyatakan bahwa perusahaan akan mengungkapkan informasi mengenai modal intelektual mereka secara sukarela untuk dapat memenuhi kebutuhan informasi para stakeholder. Perusahaan yang berkomitmen untuk melaporkan aktivitasnya termasuk
semua stakeholder (Ernst dan Young, 1999 dalam Suhardjanto dan Wardhani 2010).
2.3 Teori Agensi
Teori agensi menjelaskan adanya hubungan keagenan atau kontrak kerja yang melibatkan antara dua pihak. Kontrak kerja terjalin antara pihak prinsipal dengan pihak agen. Kontrak kerja ini berdampak pada pemisahan fungsi. Hal ini dikarenakan investor atau prinsipal yang menanamkan modalnya dalam bentuk saham tidak dapat berkecimpung secara aktif di dalam aktivitas operasional perusahaan yang mereka miliki, prinsipal menunjuk manajemen perusahaan yang bertindak sebagai agen dan mendelegasikan otoritas pengambilan keputusan yang dimilikinya sebagai pemilik perusahaan kepada manajemen.
Teori agensi berpandangan bahwa pendelegasian otoritas pengambilan keputusan memungkinkan pihak manajemen yang bertindak sebagai agen untuk melakukan suatu tindakan penyalahgunaan sumber daya perusahaan demi kepentingan pribadi sehingga terjadi konflik antara pihak manajemen sebagai pengendali dan pemegang saham sebagai pemilik perusahaan (Fama dan Jensen, 1983 dalam Abeysekera, 2010). Menurut Jensen dan Meckling (1976), dalam suatu hubungan keagenan, investor sebagai prinsipal dan manajemen sebagai agen diasumsikan sebagai dua belah pihak yang akan memaksimalkan utilitas mereka, sehingga agen tidak selalu bertindak sesuai harapan prinsipal.
internal suatu perusahaan dibandingkan dengan pihak prinsipal yang akan memicu adanya kecurangan pihak agen untuk memenuhi kepentingan pribadinya. Salah satu bentuk kecurangan yang dilakukan yaitu menyajikan informasi yang tidak sesuai dengan kondisi perusahaan sebenarnya.
Menurut Bruggen, et al. (2009) menyatakan bahwa asimetri informasi dapat mengakibatkan misalokasi modal yang mengarah pada biaya sosial seperti pengangguran dan penurunan produktivitas. Selain itu risiko yang akan muncul yaitu munculnya biaya pengawasan. Untuk mengurangi risiko yang muncul, teori agensi menempatkan pengungkapan sebagai mekanisme yang dapat mengurangi biaya yang dihasilkan dari konflik antara manajer dengan pemegang saham (compensation contracts) dan dari konflik antara perusahaan dan krediturnya (debt contracts). Oleh karena itu, pengungkapan merupakan mekanisme untuk mengontrol kinerja manajer. Sebagai konsekuensinya, manajer didorong untuk mengungkapkanvoluntary informationsepertiintellectual capital disclosure.
2.4 Signalling Theory
Menurut Jogiyanto (2003), informasi yang dipublikasikan sebagai suatu pengumuman akan memberikan signal bagi investor dalam pengambilan keputusan investasi. Jika pengumuman tersebut mengandung nilai positif, maka diharapkan pasar akan bereaksi pada waktu pengumuman tersebut diterima oleh pasar.
Teori ini juga menyatakan bahwa perusahaan akan selalu berusaha untuk mengirim sinyal berupa informasi positif atau kabar baik kepada investor dan pemegang saham dengan menggunakan mekanisme pengungkapan, salah satunya melalui media laporan tahunan (Oliveira 2006 dalam Putri 2011). Informasi yang diungkapkan oleh manajemen dapat meningkatkan kredibilitas manajemen di mata publik. Insentif yang diperoleh pihak manajemen dari pengiriman sinyal positif melalui mekanisme pelaporan tahunan perusahaan ini mendorong manajemen untuk tetap melakukan pengungkapan informasi positif meskipun pengungkapan tersebut tidak diwajibkan berdasarkan standar yang berlaku.
Berdasarkan kerangka signaling theory, manajer diprediksi akan menggunakan mekanisme pengungkapan mengenai modal intelektual untuk menyelaraskan ekspektasi pasar mengenai pendapatan perusahaan di masa yang akan datang dengan ekspektasi manajer perusahaan tersebut. Perusahaan juga akan menggunakan mekanisme pengungkapan tertentu untuk mengoreksi nilai perusahaan apabila pasar menilai perusahaan terlalu rendah.
2.5 Modal Intelektual
2.5.1 Definisi Modal Intelektual
Istilah modal intelektual pertama kali dikemukakan oleh John Kenneth Galbraith pada tahun 1969 yang menulis surat yang ditujukan kepada temannya, Michael Kalecki. Galbraith mengemukakan: ”I wonder if you realize how much those us the world around have owed to the intellectual capital you have provided
over the last decades” (Hudson, 1993 dalam Bontis, 2000). Pada tahun 1993 modal intelektual dijelaskan secara rinci oleh Peter Drucker dalam bukunya “Post-Capitalist Society.” Akhir tahun 1990, referensi mengenai modal intelektual dalam publikasi bisnis kontemporer menjadi hal yang lazim. Manajemen modal intelektual menjadi wewenang Chief Knowledge Officer (CKO). Bahkan Stewart telah diakui sebagai pencetus kelahiran dunia baru intelektual kapitalis (Bontis, 2000). Definisi modal intelektual dikemukakan oleh Klein dan Prusak, yang kemudian dipopulerkan Stewart dalam Sawarjuwono dan Kadir (2003): “. . .we can define intellectual capital operationally as intellectual material that has been
Sampai sekarang belum terdapat definisi modal intelektual yang konklusif dan masih terjadi perdebatan di antara para pakar. Modal intelektual merupakan sesuatu yang kompleks dan sulit untuk didefinisikan. Hal tersebut terbukti dari definisi yang berbeda dari para ahli di berbagai literatur. Menurut Williams (2001) modal intelektual adalah informasi dan pengetahuan yang diaplikasikan dalam pekerjaan untuk menciptakan nilai. Definisi ini menekankan bahwa kemampuan modal intelektual dalam menciptakan nilai. Hunter et al (dalam Woodcock dan Whiting, 2009) menjelaskan bahwa modal intelektual adalah perbedaan nilai pasar dengan nilau buku perusahaan.
Menurut Mouritsen (1998) dalam Purnomosidhi (2006) berpendapat bahwa modal intelektual merupakan masalah pengetahuan organisasi yang luas dan bersifat unik bagi perusahaan sehingga memungkinkan perusahaan secara terus-menerus beradaptasi dengan kondisi yang selalu berubah. Namun, dari banyaknya definisi yang berbeda tersebut terdapat salah satu definisi yang paling komprehensif mengenai modal intelektual (Li et al., 2008 dalam Putri 2011) adalah “…the possession of knowledge and experience, professional knowledge and skill, good relationship, and technological capacities, which when applied
will give organizations competitive advantage.”
2.5.2 Komponen Modal Intelektual
2002 dalam Oliveira et al., 2008), yaitu: human capital, structural capital atau
organizational capital, danrelational capital. 1. Human Capital(modal manusia)
Human capital merupakan lifeblood dalam modal intelektual. Disinilah sumber innovation dan improvement, tetapi merupakan komponen yang sulit untuk diukur.Human capital mencerminkan kemampuan kolektif perusahaan untuk menghasilkan solusi terbaik berdasarkan pengetahuan yang dimiliki oleh orang-orang yang ada dalam perusahaan tersebut. Human capital akan meningkat jika perusahaan mampu menggunakan pengetahuan yang dimiliki oleh karyawannya (Sawarjuwono, 2003). Contoh dari human capital adalah kapasitas kerja kelompok, kreatifitas, fleksibilitas, toleransi terhadap ambiguitas, motivasi, kepuasan kerja, dan kapasitas pembelajaran dari karyawan.
2. Structural CapitalatauOrganizational Capital(modal organisasi)
dimanfaatkan secara maksimal (Sawarjuwono, 2003). Contohnya adalah struktur, proses, rutinitas, sistem, dan kebudayaan yang terdapat di suatu perusahaan, mencakup database, perangkat manajemen, sistem teknologi informasi, rancangan structural, mekanisme koordinasi, kebijakan, prosedur, kapasitas pembelajran organisasional, dan sistem jaringan.
3. Relational CapitalatauCostumer Capital(modal pelanggan)
Elemen ini merupakan komponen modal intelektual yang memberikan nilai secara nyata. Relational capital merupakan hubungan yang harmonis/association network yang dimiliki oleh perusahaan dengan para mitranya, baik yang berasal dari para pemasok yang andal dan berkualitas, berasal dari pelanggan loyal dan merasa puas akan pelayanan perusahaan yang bersangkutan berasal dari hubungan perusahaan dengan pemerintah maupun dengan masyarakat sekitar. Relational capital dapat muncul dari berbagai bagian diluar lingkungan perusahaan yang dapat menambah nilai bagi perusahaan tersebut (Sawarjuwono, 2003). Contohnya adalah citra perusahaan, reputasi, loyalitas pelanggan, kepuasan pelanggan, jaringan distribusi,goodwill, kontrak lisensi, dan perjanjianfranchise.
2.6 Pengungkapan Sukarela Modal Intelektual
meningkatkan nilai relevansi laporan keuangan. Peningkatan nilai relevansi laporan keuangan dapat mencegah perusahaan pada kondisi sebagai berikut:
1. Kegagalan dalam menyampaikan informasi secara relevan sehingga mengakibatkan kemrosotan posisi keuangan perusahaan dan dapat menghilangkan daya saing jangka panjang.
2. Investor sulit menilai secara akurat nilai perusahaan untuk alokasi sumber daya dengan menggunakan laporan keuangan yang tidak melaporkan modal intelektual.
3. Manajer sulit untuk menentukan relevansi aset tidak berwujud yang diperlukan untuk operasi perusahaan.
Pengungkapan modal intelektual dapat menciptakan kepercayaan dengan karyawan dan stakeholder, serta mencegah kerugian dan rumor gosip yang mempengaruhi reputasi perusahaan. Kepercayaan penting dalam jangka panjang bagi perusahaan sebagai suatu strategi dalam menciptakan komitmen stakeholder
yang lebih tinggi untuk masa depan perusahaan (Bruggen, et al., 2009). Pengungkapan informasi mengenai modal intelektual dapat juga dijadikan perusahaan sebagai alat pemasaran. Pengungkapan modal intelektual, perusahaan dapat memberikan bukti tentang nilai-nilai sejati yang diterapkan dalam perusahaan serta kemampuan perusahaan dalam menciptakan kekayaan sehingga dapat meningkatkan reputasi.
sesuai dengan perkembangan jaman, maka terjadi perubahan-perubahan yang terjadi dalam hal penyajian dan penilaian aset tak berwujud terutama modal intelektual. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Bruggen, et al. (2009) yang menjelaskan standar sukarela lebih tepat dan fleksibel dibandingkan dengan standar wajib karena adanya perubahan yang cepat pada modal intelektual.
Dari literatur-literatur yang berhasilkan dikumpulkan, kebanyakan para penulis membahas tentang pengukuran modal inetelektual. Sedangkan bagaimana pelaporan modal intelektual dibuat masih jarang dibahas. Disamping itu publikasi terhadap modal intelektual masih sangat jarang dilakukan. Seperti halnya dengan pengukuran modal intelektual, pelaporan aset ini belum dibuatkan sebuah standard tertentu. Beberapa penulis (Bontis 2000; Sveiby 1998; Mouritsen et al. 2000) menyarankan untuk melakukan pelaporan keuangan kedalam dua bentuk, yaitu laporan keuangan yang lama dalam ukuran moneter ditambah dengan laporan khusus tentang modal intelektual dengan ukuran non moneter, Bontis (dalam Sawarjuwono 2003) menyatakan bahwa:
“Adding a flow perspective to the stock perspective is akin to adding a
profit and loss statement to a balance sheet in accounting. The two
perspectives combined (or the two reporting tools, in the case of
accounting) provide much more information than any single one alone. At
the same time, intellectual capital flow reporting presents some additional
challenges in terms of complexity.”
diterima oleh berbagai kalangan dan secara umum pelaporan terhadap modal intelektual perusahaan biasa disebutstatement of intellectual capital.
Di Indonesia, pengungkapan modal intelektual masih bersifat voluntary. Sampai saat ini belum ada pengelompokkan komponen modal intelektual yang dapat diterima bersama dan belum ada pola khusus pengungkapan modal intelektual (Yunanto, 2010). Namun demikian, terdapat perkembangan konsep modal intelektual di Indonesia dengan adanya regulasi yaitu PSAK No. 19 Revisi 2009 tentang aset tak berwujud. Menurut PSAK No. 19 Revisi 2009 aset tak berwujud merupakan aset non moneter yang dapat diidentifikasi tanpa wujud fisik, dimiliki dan dibawah kontrol suatu perusahaan, dapat dijual, disewakan, dan dipertukarkan kepada pihak lainnya atau untuk tujuan administratif.
Sawarjuwono (2003) menyatakan penelitian terhadap pelaporan modal intelektual ini juga dilakukan oleh Guthrie dan Petty (2000) yang melakukan penelitian terhadap 20 perusahaan di Australia yang telah terdaftar pad bursa efek (Satyo 2000; Mouritsen et al. 2000). Hasil penelitian ini menunjukkan porsi pengungkapan setiap elemen modal intelektual, dimana 30% indikator yang digunakan mengungkapkan human capital, 30% organizational capital (internal structure) dan 40% customer capital (external structure). Disamping hal-hal di atas, riset Guthrie dan Petty (2000) menunjukkan bahwa:
2. Pengungkapan mengenai modal eksternal lebih banyak dilakukan oleh perusahaan. Tidak terdapat pola tertentu dalam laporan-laporan tersebut. Hal-hal yang banyak diungkapkan menyebar di antara ketiga elemen modal intelektual.
3. Pelaporan dan pengungkapan modal intelektual dilakukan masih secara sebagian dan belum menyeluruh.
4. Secara keseluruhan perusahaan menekankan bahwa modal intelektual merupakan hal penting untuk menuju sukses dalam menghadapi persaingan masa depan. Namun hal itu belum dapat diterjemahkan dalam suatu pesan yang solid dan koheren dalam laporan tahunan.
Pengungkapan modal intelektual tidak disajikan dalam neraca. Hal tersebut disebabkan pengungkapan modal intelektual sulit untuk diukur dan dikuantifikasikan. Menurut Bruggen, et al. (2009) kerangka kerja akuntansi dan standar akuntansi yang berlaku tidak memungkinkan untuk melakukan pengakuan dan pengungkapan penuh pada komponen modal intelektual. Oleh karena itu, metode pengukuran baru dan model pelaporan IC seperti IC Index dapat membantu mengatasi masalah standar akuntansi keuangan tradisional dalam pengukuran modal intelektual.
mengungkapkan informasi secara sukarela yaitu informasi modal intelektual untuk mengurangi biaya agensi tersebut.
2.7 Kinerja Modal Intelektual
Pengukuran modal intelektual menjadi suatu hal yang penting seiring dengan peningkatan peran modal intelektual dewasa ini. Terdapat empat metode pengukuran modal intelektual. Metode yang pertama dikenal dengan pengukuran berbasis nilai (value-based measurement) yang mengukur nilai modal intelektual diukur berdasarkan selisih antara nilai pasar dan nilai buku perusahaan (Brennan, 2001). Metode ini tergolong metode yang paling mudah untuk diterapkan karena data yang dibutuhkan dalam kalkulasi dapat dengan mudah diakses publik.
Metode yang kedua adalah Skandia Navigator. Metode ini dikembangkan pada tahun 1994 oleh Skandia, sebuah perusahaan yang berbasis di Swedia. Metode ini mengukur nilai modal intelektual dengan mengidentifikasi dan mengkuantifikasi faktor kunci penentu kesuksesan dalam bisnis.
Metode yang ketiga menilai modal intelektual dengan menggunakan suatu indeks. Indeks modal intelektual ini tidak digunakan untuk mengukur nilai modal intelektual secara langsung, melainkan untuk mengukur efisiensi dari modal intelektual dengan cara mengidentifikasi dan memberi bobot pada indikator kunci kesuksesan perusahaan (Rooset al.,1997 dalam Putri 2011).
secara langsung mengukur besar modal intelektual yang dimiliki suatu perusahaan.
Studi yang dilakukan Chen et al. (2005) terhadap perusahaan-perusahaan publik di Taiwan menghasilkan temuan empiris bahwa investor mengevaluasi lebih tinggi perusahaan-perusahaan dengan tingkat efisiensi modal intelektual yang lebih tinggi. Chen et al. (2005) menyimpulkan bahwa modal intelektual merupakan suatu aset yang bersifat stratejik karena hubungannya dengan nilai pasar perusahaan dan kinerja keuangan perusahaan. Pengukuran efisiensi modal intelektual menggunakan metode yang dikembangkan oleh Pulic (1998), Chen et al. (2005) membuktikan bahwa perusahaan dengan tingkat profit dan pertumbuhan pendapatan yang juga lebih tinggi pada tahun berjalan dan tahun setelahnya.
2.7.1 Model Pulic
(Kammath, 2007 dalam Saleh et al., 2008). VA dihitung sebagai selisih antara output dan input (Pulic, 1998). VA secara teknik merupakan penjumlahan,
retained profit, interest expense, salaries dan wages, depreciation, dividend, minority share, dan tax untuk pemerintah. Oleh karena itu, VA didefinisikan sebagai peningkatan pada nilai bersih perusahaan dikarenakan kegiatan operasi perusahaan.
Menurut Tan et al., (2007) dalam Ulum dkk (2008), menyatakan bahwa
output (OUT) mempresentasikan revenue dan mencakup seluruh produk dan jasa yang dijual di pasar, sedangkan input (IN) mencakup seluruh beban yang digunakan dalam memperolehrevenue. Menurut Tanet al., (2007), hal penting di dalam model ini adalah bahwa beban karyawan (labour expense) tidak termasuk dalam IN dikarenakan peran aktifnya di dalam kegiatan value creation, sehingga tidak dihitung sebagai biaya (cost).
2.7.1.1 Value Added Capital Employed (VACA)
VACA adalah indikator atau nilai tambah yang diciptakan oleh suatu unit dari physical capital. VACA adalah perbandingan antara value added (VA) dengan model fisik yang bekerja (Capital Employed/CA). Capital employed ini menunjukkan hubungan harmonis yang dimiliki perusahaan dengan mitranya, baik yang berasal dari pemasok yang andal dan berkualitas, pelanggan yang loyal, dan merasa puas dengan pelayanan perusahaan yang bersangkutan, serta hubungan perusahaan dengan pemerintah maupun dengan masyarakat sekitar (Belkaoui, 2003). Dalam proses penciptaan nilai, intelektual potensial yang direpresentasikan dalam biaya karyawan tidak dihitung sebagai biaya (input) (Tan
et al., 2007).
Pulic (1998) mengasumsikan bahwa jika satu unit CA menghasilkan
return yang lebih besar pada sebuah perusahaan, maka perusahaan tersebut mampu memanfaatkan CA dengan lebih baik. Pemanfaatan lebih CA adalah bagian dari intellectual capital perusahaan. Ketika membandingkan lebih dari sebuah kelompok perusahaan VACA menjadi sebuah indikator kemampuan intelektual perusahaan dalam memanfaatkan modal fisiknya (Tanet al., 2007).
2.7.1.2 Value Added Human Capital(VAHU)
tidak akan berpaling pada pesaing.Human capitalmempresentasikan kemampuan perusahaan dalam mengelola sumber daya manusia dan menganggap manusia atau karyawan sebagai aset strategic perusahaan karena pengetahuan yang mereka miliki. VAHU dihitung dengan membagivalue addedyang diciptakan perusahaan dengan total salaries dan wages. Perhitungan ini mengasumsikan bahwa HC sebagai suatu investasi daripada sebagai expense dan akan diakui sebagai aset pada neraca (Pulic, 2000 dalam Salehet al., 2008).
Hubungan antara VA dan human capital (HC) mengindikasikan bahwa kemampuan HC adalah menciptakan nilai pada sebuah perusahaan. Pulic (1998) berpendapat bahwa biaya gaji dan upah merupakan indikator bagi HC. Ketika VAHU dibandingkan antar perusahaan. VAHU menjadi sebuah indikator kualitas sumber daya perusahaan. VAHU juga sebagai kemampuan perusahaan menghasilkan nilai tambah untuk setiap rupiah yang dikeluarkan pada HC (Kuryanto dan Syafruddin, 2008).
2.7.1.3 Structural Capital Value Added(STVA)
yang bersangkutan meninggalkan perusahaan karena pengetahuannya telah dirangkum dalamdata base, sehingga perusahaan tidak akan kehilangan nilainya.
Dalam model yang dikembangkan Pulic ini, STVA dihitung dengan membagi structural capital (SC) dengan value added (VA). Dalam model Pulic, SC diperoleh dari VA dikurangi dengan HC. STVA menunjukkan kontribusi modal struktural dalam penciptaan nilai semakin kecil kontribusi SC (Tan et al., 2007). Pulic (1998) dalam Saleh et al., (2008) menyatakan terdapat hubungan proporsi yang berkebalikan antara HC dan SC.
2.8 Tingkat Utang
Tingkat utang merupakan perbandingan besarnya dana yang disediakan pemiliknya dengan dana yang dipinjam dari kreditur. Rasio ini menunjukkan kemampuan modal sendiri untuk memenuhi seluruh kewajiban perusahaan. Jensen dan Meckling (1976) mengemukakan bahwa terdapat suatu potensi untuk mentransfer kekayaan dari debtholders kepada pemegang saham dan manajer pada perusahaan-perusahaan yang tingkat ketergantungannya kepada utang sangat tinggi sehingga menimbulkan biaya keagenan (agency cost) yang tinggi.
tingkat utang yang lebih tinggi akan mengungkapkan lebih banyak informasi, karena biaya keagenan perusahaan dengan struktur modal yang seperti itu lebih tinggi (Jensen dan Meckling, 1976).
Fenomena tingginya tingkat utang suatu perusahaan akan meningkatkan pengungkapan sukarela didukung oleh beberapa hasil penelitian empiris, misalnya Williams (2001) yang menguji pengaruh tingkat utang terhadap pengungkapan modal intelektual. Hasil-hasil penelitian tersebut belum konklusif karena ada beberapa penelitian (misalnya Khanna et al., 2004) yang justru tidak dapat membuktikan adanya pengaruh tingkat utang terhadap luas pengungkapan.
2.9 StrukturCorporate Governance
Menurut Forum for Corporate Governance in Indonesia (dalam Hastuti, 2011), corporate governanceadalah seperangkat aturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengelola perusahaan, kreditur, pemerintah, karyawan, dan para pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewjiban mereka. Menurut World Bank (2000) corporate governance merupakan suatu kerangka yang menekankan efisiensi dalam pemanfaatan sumber daya perusahaan, serta akuntabilitas dalam pengelolaannya yang memperhatikan seluruh kepentingan, baik individu, perusahaan, maupun masyarakat luas.
perbedaan tujuan. Untuk meminimalisasi potensi timbulnya konflik tersebut, suatu mekanisme kontrol yang secara efektif dapat mengarahkan kegiatan operasional perusahaan serta kemampuan untuk mengidentifikasi pihak-pihak dengan kepentingan yang berbeda amat diperlukan (Syakhroza, 2003 dalam Putri 2011).
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka perusahaan harus menerapkan prinsip-prinsipcorporate governance. Menurut Pedoman UmumGood Corporate GovernanceIndonesia yang disusun oleh Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) tahun 2004, prinsip-prinsip tersebut meliputi lima aspek, yaitu:
1. Transparansi (Transparancy)
Transparansi adalah adanya pengungkapan informasi yang bersifat terbuka, jelas, tepat waktu dan dapat dibandingkan dengan keadaan yang menyangkut tentang keuangan, pengelolaan perusahaan, dan kepemilikan perusahaan. Untuk menjaga objektivitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus menyediakan informasi yang materil dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan.
2. Akuntabilitas (Accountability)
3. Responsibilitas (Responsibility)
Perusahaan harus mematuhi peraturan perundangan serta melaksanakan tanggung jawab kepada masyarakat dan lingkungan sehingga terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang.
4. Independensi (Independency)
Perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi.
5. Kewajaran dan Kesetaraan (Fairness)
Perusahaan menjamin adanya perlakuan adil dan setara di dalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan yang berlaku. Perusahaan harus senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan atas kewajaran dan kesetaraan.
Untuk mewujudkan terciptanya corporate governance yang baik, prinsip-prinsip tersebut harus dicapai dengan baik. RUPS atau pemegang saham, dewan direksi, dewan komisaris, dan karyawan merupakan kunci dalam mewujudkan pelaksanaancorporate governance yang baik.
2.9.1 Ukuran Dewan Komisaris
Menurut Undang-undang Perseroan terbatas Nomor 40 tahun 2007 pada pasal 108 ayat (5) perusahaan perseroan terbatas wajib memiliki paling setidaknya dua anggota dewan komisaris. Menurut Pedoman Umum GCG Indonesia (KNKG, 2006), jumlah anggota dewan komisaris harus disesuaikan dengan kompleksitas perusahaan dengan tetap memperhatikan efektivitas dalam pengambilan keputusan.
Menurut Pedoman Umum GCG Indonesia (KNKG, 2006), agar pelaksanaan tugas dewan komisaris dapat berjalan efektif, maka perlu dipenuhi prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Komposisi dewan komisaris harus memungkinkan pengambilan keputusan secara efektif, tepat dan cepat, serta dapat bertindak independen.
2. Anggota dewan komisaris harus profesional, yaitu berintegritas dan memiliki kemampuan sehingga dapat menjalankan fungsinya dengan baik termasuk memastikan bahwa direksi telah memperhatikan kepentingan sesama pemangku kepentingan.
3. Fungsi pengawasan dan pemberian nasihat dewan komisaris mencakup tindakan pencegahan, perbaikan, sampai kepada pemberhentian sementara.
Fungsi kontrol yang dilakukan oleh dewan komisaris dapat mengurangi biaya agensi. Dewan komisaris merupakan mekanisme pengendalian internal yang dapat digunakan untuk menyelaraskan perbedaan kepentingan yang terjadi antara pihak agen dengan pihak prinsipal dengan melakukan pengungkapan informasi modal intelektual.
2.9.2 Jumlah Rapat Dewan Komisaris
Menurut Waryanto (2010), rapat dewan komisaris merupakan suatu proses yang dilakukan dewan komisaris dalam pengambilan suatu keputusan mengenai kebijakan perusahaan. Proses pengambilan keputusan penting dalam menentukan efektivitas dewan komisaris dalam melakukan mekanisme pengawasan dan pengendalian.
2.9.3 Ukuran Komite Audit
Komite audit adalah komite yang dibentuk oleh dewan komisaris dalam rangka membantu melaksanakan tugas dan fungsinya. Menurut peraturan BAPEPAM Kep 29/PM/2004 tentang peraturan nomor IX.1.5 menyatakan bahwa komite audit terdiri dari sekurang-kurangnya satu orang komisaris independen dan 2 (dua) anggota lainnya berasal dari luar perusahaan.
harus ditentukan oleh perusahaan. Jumlah anggota komite audit harus disesuaikan dengan perusahaan dan peraturan yang berlaku.
Komite audit harus terdiri dari individu-individu yang mandiri agar terpelihara integritas dan pandangan obyektif dalam penyusunan rekomendasi. Oleh karena itu, individu yang mandiri akan lebih adil dalam menangani suatu masalah.
Struktur komite audit telah diatur oleh peraturan BAPEPAM Kep 29/PM/2004 tentang peraturan nomor IX.1.5 mengenai pembentukan dan pedoman pelaksanaan kerja komite audit sebagai berikut:
1. Anggota Komite Audit diangkat dan diberhentikan oleh Dewan Komisaris dan dilaporkan kepada Rapat Umum Pemegang Saham.
2. Anggota Komite Audit yang merupakan Komisaris Independen bertindak sebagai Ketua Komite Audit. Dalam hal ini Komisaris Independen yang menjadi anggota Komite Audit lebih dari satu orang maka salah satunya bertindak sebagai Ketua Komite Audit.
Dalam pedoman GCG Indonesia (KNKG, 2006) dijelaskan bahwa komite audit bertugas membantu dewan komisaris untuk memastikan bahwa:
1. Laporan keuangan disajikan secara wajar sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum.
2. Struktur pengendalian internal perusahaan dilaksanakan dengan baik. 3. Pelaksanaan audit internal perusahaan dilaksanakan dengan baik.
5. Tindak lanjut temuan hasil audit dilaksanakan oleh manajemen.
Kewenangan komite audit sebagai alat bantu dewan komisaris. Komite audit tidak memiliki otoritas apapun dan hanya bertindak sebagai rekomendasi dewan komisaris, kecuali untuk hal spesifik yang memperoleh hak kuasa eksplisit dari dewan komisaris. Hak kuasa tersebut yaitu menentukan dan mengevaluasi komposisi auditor eksternal, memimpin suatu investigasi, dan sebagainya.
2.9.4 Jumlah Rapat Komite Audit
Berdasarkan keputusan Ketua Bapepam Nomor Kep-24/PM/2004 dalam peraturan Nomor IX.1.5 menjelaskan bahwa komite audit mengadakan pertemuan sekurang-kurangnya sama dengan ketentuan minimal rapat dewan komisaris yang ditetapkan dalam anggaran dasar perusahaan. Menurut pernyataan Ikatan Komite Audit Indonesia (IKAI) menyatakan bahwa frekuensi rapat komite audit dilakukan minimal 2 kali dalam 1 bulan sehingga minimal diperlukan 24 kali pertemuan dalam setahun. Rapat komite audit digunakan sebagai media dalam melakukan koordinasi dengan komite audit untuk melakukan tugas pelaksanaan dalam membantu dewan komisaris melakukan pengawasan yang meliputi laporan keuangan, tata kelola perusahaan, dan pengendalian internal.
2.9.5 Konsentrasi Kepemilikan Saham
tentu memiliki proporsi yang berbeda-beda. Kondisi tersebut akan menunjukkan pemilik saham mana yang memiliki jumlah saham terbesar di antara struktur kepemilikan saham yang lain hal ini dapat dikatakan konsentrasi kepemilikan saham.
Teori agensi telah menjadi landasan pemikiran dalam menjelaskan konsentrasi kepemilikan saham. Struktur kepemilikan saham yang terkonsentrasi akan menyebabkan adanya kekuasaan dan memberikan pengaruh bagi operasi perusahaan. Adanya tekanan dari konsentrasi kepemilikan saham tersebut akan dapat menghindari tindakan pihak agen untuk melakukan kecurangan. Kondisi tersebut merupakan tindakan pengawasan yang dapat digunakan untuk mengurangi biaya agensi.
2.10 UmurListing
Umur listingperusahaan menunjukkan perusahaan tetap eksis dan mampu bersaing dan memanfaatkan peluang bisnis dalam suatu perekonomian (Istanti, 2009). Dengan mengetahui umur listingperusahaan, maka akan diketahui sejauh mana perusahaan tersebut dapat survive. Semakin panjang umur listing
perusahaan akan memberikan pengungkapan informasi keuangan yang lebih luas dibanding perusahaan lain yang umur listingnya lebih pendek dengan alasan perusahaan tersebut memiliki pengalaman lebih dalam pengungkapan laporan tahunan.
2.11 Penelitian Terdahulu
Penelitian Variabel Obyek
a. Jenis dan tipe auditor
Penelitian Variabel Obyek Sumber: Data sekunder yang diolah, 2013
2.12 Kerangka Pemikiran Teoritis
Dalam penelitian ini Luas Pengungkapan Modal Intelektual (ICD) diperlakukan sebagai variabel dependen yaitu variabel yang menjadi pusat perhatian peneliti, yang keragamannya dijelaskan oleh variabel-variabel independen yaitu Kinerja Modal Intelektual (KMI), Tingkat Utang (LEV), dan StrukturCorporate Governance(SCG).
Laporan tahunan merupakan salah satu proxy yang menggambarkan mengenai kebijakan perusahaan terkait pengungkapan. Laporan tahunan yang didalamnya mencakup pengungkapan modal intelektual, digunakan perusahaan untuk membuktikan kredibilitasnya dalam menyusun strategi penciptaan nilai dan keunggulan kompetitif dengan melibatkan modal intelektual yang dimilikinya (Steenkamp, 2007 dalam Putri 2011).
rendah. Kemampuan dalam value creation yang tinggi, dapat menurunkan risiko bisnis dan biaya modal suatu perusahaan. Dengan demikian, semakin tinggi kinerja modal intelektual, semakin besar pula tuntutan untuk mengungkapkan informasi yang lebih luas karena perusahaan dipandang mampu menanggung “biaya” pengungkapan informasi.
Karakteristik perusahaan, selain dari kinerja modal intelektual juga diprediksi memiliki pengaruh terhadap pengaruh terhadap luas pengungkapan. Salah satunya adalah tingkat utang. Biaya keagenan dapat diminimalisasi dengan cara meningkatkan tingkat utang. Oleh karena itu, semakin besar perusahaan, semakin tinggi tingkat utang, semakin tinggi pula tuntutan pada perusahaan untuk mengungkapkan informasi yang lebih luas dibandingkan dengan perusahaan yang tingkat utangnya lebih rendah.
Selain tingkat utang, mekanisme tata kelola perusahaan juga berperan dalam menurunkan biaya keagenan yang harus ditanggung perusahaan. Adanya mekanismecorporate governancedi suatu perusahaan akan meningkatkan tingkat pengungkapan mengenai penciptaan dan pengelolaan modal intelektual yang mencakup informasi yang relevan dengan nilai perusahan. Oleh karena itu, variabel independen tingkat utang dan struktur corporate governance juga akan diteliti pengaruhnya terhadap luas pengungkapan modal intelektual pada penelitian ini.
Dalam penelitian ini peneliti juga memasukkan variabel pengendali ke dalam model penelitian yang akan diuji, yaitu umur listing. Umur listing
perusahaan dengan umurlistingyang lebih tua akan lebih banyak mengungkapkan informasi mengenai modal intelektual, karena perusahaan yang lebih lama beroperasi pada umumnya memiliki lebih banyak pengalaman, keahlian, dan sumber daya untuk memproduksi laporan yang lebih kompleks sehingga tingkat pengungkapannya menjadi lebih tinggi (Hossain dan Hammami dalam Putri, 2011).
Variabel Independen
Variabel Dependen
Variabel Pengendali
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Teoritis
Kinerja Modal Intelektual
Tingkat Utang
Luas
Pengungkapan Modal Intelektual
UmurListing
Ukuran Dewan Komisaris
Ukuran Komite Audit
Jumlah Rapat Komite Audit
Konsentrasi Kepemilikan Saham Jumlah Rapat Dewan
2.13 Pengembangan Hipotesis
2.13.1 Pengaruh Kinerja Modal Intelektual terhadap Luas Pengungkapan
Modal Intelektual.
Investasi perusahaan dalam bentuk modal intelektual, terutama pada perusahaan yang berbasis pengetahuan seperti bank, dipercaya dapat memaksimalkan penciptaan nilai perusahaan. Kepemilikan modal intelektual akan menciptakan keunggulan kompetitif perusahaan yang dipercaya akan mendatangkan imbal hasil yang tinggi di masa yang akan datang. Berdasarkan
stakeholder theory, suatu perusahaan akan mengungkapkan informasi mengenai kinerja intelektual, sosial, dan lingkungan secara sukarela atau melebihi ketentuan yang dimandatkan agar dapat memenuhi ekspektasi stakeholder (Guthrie et al., 2006).
Dalam konteks modal intelektual, pengungkapan yang dilakukan perusahaan secara sukarela akan membantu investor, calon investor, dan
stakeholders lainnya dalam proses penilaian kemampuan perusahaan terkait dengan kemampuannya dalam menciptakan kemakmuran di masa depan (Williams, 2001). Informasi modal intelektual ini digunakan untuk investor dalam menganalisis risiko investasi yang akan dilakukan pada suatu perusahaan, sehingga biaya modal yang ditanggung perusahaan akan berkurang.
laporan tahunan juga dapat dijelaskan dengan teori legitimasi. Berdasarkan teori legitimasi suatu perusahaan dengan kepemilikan modal intelektual dan mengungkapkan modal intelektual digunakan pihak manajemen untuk melegetimasi posisinya di hadapan stakeholder dalam usahanya mencapai tujuan perusahaan.
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Sihotang dan Winata (2008) untuk mengetahui tingkat pengungkapan modal intelektual yang dilakukan perusahaan-perusahaan dari berbagai sektor industri yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2002 hingga 2004, perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor perbankan umumnya memiliki tingkat pengungkapan modal intelektual rata-rata yang relatif tinggi dibandingkan dengan perusahaan dari sektor industri lainnya. Hal ini sejalan dengan temuan Williams (2001), yaitu efisiensi modal intelektual memberikan pengaruh positif pada tingkat pengungkapan modal intelektual perusahaan.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka hipotesis pertama yang akan diuji dalam penelitian ini yaitu:
H1: Kinerja modal intelektual berpengaruh positif dengan luas
2.13.2 Pengaruh Tingkat Utang Terhadap Luas Pengungkapan Modal
Intelektual
Tingkat utang merupakan perbandingan besarnya dana yang disediakan pemiliknya dengan dana yang dipinjam dari kreditur. Rasio ini menunjukkan kemampuan modal sendiri untuk memenuhi seluruh kewajiban perusahaan. Teori agensi juga digunakan untuk menjelaskan hubungan antara tingkat utang perusahaan dengan pengungkapan laporan tahunan perusahaan. Jensen dan Meckling (1976) mengemukakan bahwa terdapat suatu potensi untuk mentransfer kekayaan dari debtholders kepada pemegang saham dan manajer pada perusahaan-perusahaan yang tingkat utangnya sangat tinggi sehingga menimbulkan biaya keagenan yang tinggi. Untuk mengurangi biaya keagenan yang tinggi akibat dari tingkat utang yang tinggi, maka pengungkapan informasi secara sukarela dijalankan oleh pihak manajemen dalam usaha mengurangi biaya keagenan yang timbul.
Bank dengan karakteristik memiliki tingkat yang tinggi dituntut untuk lebih transparan dalam hal pengungkapan informasi. Bruggen et al. (2009) menyatakan bahwa tuntutan untuk mengungkapkan informasi lebih dari yang dimandatkan dari pemegang saham dan kreditur terhadap perusahaan yang berbasis ilmu pengetahuan akan semakin besar. Hal ini dikarenakan oleh besarnya jumlah uang yang diinvestasikan dalam bentuk harta tak berwujud dan modal intelektual yang tidak sepenuhnya diungkapkan dalam laporan keuangan.
H2: Tingkat utang perusahaan berpengaruh positif terhadap luas
pengungkapan modal intelektual.
2.13.3 Pengaruh Struktur Corporate Governance Terhadap Luas
Pengungkapan Modal Intelektual.
2.13.3.1 Pengaruh Ukuran Dewan Komisaris Terhadap Luas Pengungkapan Modal Intelektual
Berdasarkan teori agensi, dewan komisaris dapat berfungsi sebagai alat pengendalian tertinggi bagi perusahaan. Dewan komisaris bertugas untuk melakukan monitoring terhadap tindakan manajer sehingga kejadian seperti kecurangan dapat dicegah. Tindakan monitoring yang dilakukan dapat mengurangi biaya agensi melalui penekanan bagi manajer untuk melakukan pengungkapan informasi mengenai modal intelektual secara relevan dan akurat. Hal tersebut bertujuan untuk menyelaraskan kepentingan antara pihak agen dengan pihak prinsipal. Dengan semakin besarnya ukuran dewan komisaris suatu perusahaan, maka kinerja pengawasan dan pengendalian menjadi lebih baik dan efektif sehingga akan meningkatkan pengungkapan modal intelektual. Dengan demikian, hipotesis yang akan dikembangkan yaitu sebagai berikut:
H3.1: Ukuran dewan komisaris bepengaruh positif terhadap luas
2.13.3.2 Pengaruh Jumlah Rapat Dewan Komisaris Terhadap Luas Pengungkapan Modal Intelektual
Rapat dewan komisaris merupakan media untuk melakukan koordinasi dengan berbagai dewan komisaris untuk menentukan pengambilan keputusan mengenai kebijakan perusahaan. Dalam rapat akan ditetapkan mengenai efektifitas mekanisme pengawasan yang telah dilaksanakan maupun yang akan dilaksanakan.
Dengan seiring diadakannya rapat dewan komisaris, diharapkan dapat meningkatkan mekanisme pengawasan dan pengendalian menjadi lebih baik dan lebih efektif. Mekanisme tersebut tentu akan memberi dorongan dan tekanan bagi manajer untuk mengungkapkan informasi mengenai modal inetelektual dengan baik dan relevan sehingga akan meningkatkan pengungkapan modal intelektual. Dengan demikian, hipotesis yang akan dikembangkan sebagai berikut:
H3.2: Jumlah rapat dewan komisaris berpengaruh positif terhadap
pengungkapan modal intelektual.
2.13.3.3 Pengaruh Ukuran Komite Audit Terhadap Luas Pengungkapan Modal Intelektual
Dengan demikian, semakin besar ukuran komite audit suatu perusahaan maka dapat mempengaruhi pengungkapan informasi yang dilakukan, seperti informasi modal intelektual semakin luas dan berkualitas. Penelitian Sani (2010) menemukan adanya hubungan antara ukuran komite audit yang berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan modal intelektual. Berdasarkan asumsi tersebut, maka peneliti akan mengembangkan hipotesis sebagai berikut:
H3.3: Ukuran komite audit berpengaruh positif terhadap pengungkapan
modal intelektual.
2.13.3.4 Pengaruh Jumlah Rapat Komite Audit Terhadap Luas Pengungkapan Modal Intelektual
Rapat komite audit mengadakan pertemuan dengan berbagai komite audit yang memiliki berbagai macam keahlian. Koordinasi dalam rapat komite audit membahas mengenai strategi dan evaluasi pelaksanaan tugas seperti pengawasan laporan keuangan, pengendalian internal, serta pengawasan terhadap tata kelola perusahaan yang baik.
H3.4: Jumlah rapat komite audit berpengaruh positif terhadap luas
pengungkapan modal intelektual.
2.13.3.5 Pengaruh Konsentrasi Kepemilikan Saham Terhadap Luas Pengungkapan Modal Intelektual
Pemegang saham tersebut tentu memiliki tujuan yang ingin dicapai oleh perusahaan. Pemegang saham menerapkan strategi yang selanjutnya akan diimplementasikan dengan mengalokasikan sumber daya yang dimiliki perusahaan. Tahapan-tahapan tersebut tidak lepas dari peran pemegang saham atau pemilik kekayaan perusahaan. Dengan demikian, dengan adanya peran dan kuasa oleh kepemilikan saham yang terkonsentrasi memberi pengaruh terhadap aktivitas operasi perusahaan, salah satunya tekanan terhadap manajer untuk melakukan pengungkapan modal intelektual.
Penelitian yang dilakukan oleh Woodcock dan Whiting (2009) menyatakan bahwa kepemilikan saham yang besar akan menimbulkan biaya agensi. Tindakan pengawasan yang dilakukan oleh pemegang saham akan mengurangi informasi, yaitu salah satunya informasi modal intelektual. Selain itu terdapat tindakan pengawasan untuk mencegah kecurangan yang dilakukan manajer serta untuk mencegah konflik dan asimetri informasi seperti pengurangan informasi dan member informasi yang tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya.
yang dilakukan Wahyu (2009) menemukan bahwa konsentrasi kepemilikan saham memiliki pengaruh terhadap pengungkapan modal intelektual. Berdasarkan asumsi tersebut, maka peneliti akan mengembangkan hipotesis sebagai berikut:
H3.5: Konsentrasi kepemilikan saham berpengaruh positif terhadap