• Tidak ada hasil yang ditemukan

Land preparation practices with burning by communities in the area of Daops Manggala Agni, Muara Bulian, Jambi Province

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Land preparation practices with burning by communities in the area of Daops Manggala Agni, Muara Bulian, Jambi Province"

Copied!
147
0
0

Teks penuh

(1)

PRAKTEK PENYIAPAN LAHAN DENGAN MEMBAKAR

OLEH MASYARAKAT DI WILAYAH KERJA DAOPS

MANGGALA AGNI MUARA BULIAN, PROVINSI JAMBI

FERDIAN KRISNANTO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Praktek Penyiapan Lahan dengan Membakar oleh Masyarakat di Wilayah Kerja Daops Manggala Agni Muara Bulian, Provinsi Jambi adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Oktober 2012

(3)

FERDIAN KRISNANTO. Land preparation practices with burning by communities in the area of Daops Manggala Agni, Muara Bulian, Jambi Province. Under direction of ARZYANA SUNKAR, and LAILAN SYAUFINA.

Uncontrolled forest and land fires are mostly caused by land clearing practices. These practices were shaped by the attitudes of the community toward burning practice itself. The study was conducted to compare land clearing practices with burning by various community groups, to determine the attitudes and behaviour of community groups towards land preparation with burning and to determine the factors that influenced such attitudes and behaviour. Data were collected through interview and were analyzed using summated ranking method. Data were analyzed with regard to measurement of attitude and description of land clearing practices and factors that influenced attitude and behaviour of community groups. The research showed that ritual was used by the SAD community prior to burning, while all community groups applied various techniques in land preparation. The choice of technique was under the consideration for an efficient and effective method as well as safety factor. The majority of the people agreed to the practice of burning, negative impacts of burning, and they also agreed on rules related to forest and land fire control. The underlying factors that influenced the community’s attitudes and behaviour were belief that burning could enrich the soil and one of the cheapest land clearing method. The option not to burn was influenced by the fear of prohibiting the law, respect toward officers, and knowledge enhancement that burning could reduce soil fertility in the future.

(4)

FERDIAN KRISNANTO. Praktek Penyiapan Lahan dengan Membakar oleh Masyarakat di Wilayah Kerja Daops Manggala Agni Muara Bulian, Provinsi Jambi. Dibimbing oleh ARZYANA SUNKAR, dan LAILAN SYAUFINA

Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) merupakan kejadian yang setiap tahun terjadi di Indonesia. Karhutla berdampak pada berbagai segi kehidupan, mulai dari ekosistem, biodiversitas, ekonomi, kesehatan sampai politik. Karhutla di Indonesia disebabkan oleh aktivitas manusia terutama pada penyiapan lahan baik untuk pertanian maupun perkebunan. Praktek penyiapan lahan dengan membakar sebenarnya sudah dilakukan sejak ribuan tahun yang lalu dan saat ini masih dilakukan beberapa kelompok masyarakat tradisional. Praktek penyiapan lahan dengan membakar dilakukan dengan berbagai pertimbangan dan aturan sehingga menjadi praktek pembakaran yang terkendali. Praktek tersebut dapat berubah seiring dengan adanya pendatang yang menjalin komunikasi dan pembelajaran dua arah dengan masyarakat lokal.

Praktek penyiapan lahan dengan membakar berhubungan dengan sikap masyarakat yang membutuhkan pendekatan sosial untuk memahami sikap dan perilaku masyarakat terkait karhutla dan faktor yang mempengaruhi timbulnya sikap dan perilaku tersebut. Data tersebut dapat diperkaya dengan kajian perundangan dan proyeksi kejadian karhutla dalam program pemerintah untuk mempercepat pembangunan berbasis pembangunan perkebunan di wilayah Sumatera.

Metode wawancara dilakukan kepada 35 responden dari kelompok masyarakat lokal/tradisional dan pendatang, dan wawancara mendalam dengan 25 informan dari pihak terkait yang terdiri dari pemerintahan desa (Kepala Desa, Kaur), kecamatan (Camat), Dinas Kehutanan kabupaten (Kepala Seksi Perlindungan), Dinas Perkebunan kabupaten (Kepala Bidang), aktivis LSM (Warsi, Walhi), BKSDA Jambi (Kepala Balai KSDA, Kasubag tata usaha, Sekretaris Manggala Agni, Kepala Seksi Wilayah), Manggala Agni (Kepala Daops Muara Bulian, Ketua Regu, anggota Manggala Agni), dan tokoh – tokoh masyarakat (Ketua adat, mantan Kepala desa, masyarakat yang dituakan). Responden kelompok masyarakat terdiri dari masyarakat lokal/tradisional (Suku Melayu, Suku Anak Dalam) dan masyarakat pendatang transmigran (Suku Jawa, Melayu) serta pendatang Non-Transmigran (Suku Banjar, Sunda, Jawa). Studi literatur dilakukan dengan mengumpulkan informasi terkait karhutla mulai dari sejarah, praktek pembakaran terkendali dan aturan – aturan terkait karhutla. Dukungan data dari hasil observasi lapangan memperkuat deskripsi hasil wawancara dan penentuan sikap.

(5)

aspek efektifitas, efisiensi dan ekonomis.

Hasil analisa sikap menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat setuju untuk melakukan pembakaran dalam penyiapan lahan, setuju bahwa pembakaran dapat menimbulkan dampak negatif dan setuju terhadap aturan terkait pengendalian karhutla. Namun, perlu diperhatikan munculnya sikap – sikap tidak setuju dan ragu – ragu yang juga muncul dalam penilaian sikap. Pengetahuan yang terbatas, kepercayaan bahwa membakar dapat menyuburkan tanah dan keyakinan bahwa membakar adalah cara mucah, murah dan cepat, menjadi pendorong munculnya sikap setuju untuk membakar dan perilaku masyarakat untuk melakukan pembakaran. Perasaan segan terhadap petugas dan takut terhadap sangsi mendorong munculnya sikap tidak setuju membakar dan tidak melakukan praktek membakar dalam penyiapan lahan.

Kebijakan pemerintah untuk melakukan percepatan pembangunan dengan membangun perkebunan sawit dan karet di wilayah Sumatera khususnya Jambi, menambah peluang meningkatnya karhutla. Hal ini bisa terjadi apabila land clearing yang dilakukan masih menggunakan pembakaran. Masyarakat pekebun kecil melakukan pembakaran dengan pengendalian namun kecenderungan yang terjadi saat ini adalah pembakaran pada lahan – lahan dengan kepemilikan tidak jelas yang diupahkan kepada masyarakat dari luar desa yang tidak melakukan pembakaran terkendali.

Analisa terhadap aturan menunjukkan bahwa aturan yang ada saat ini baik undang – undang dan peraturan pemerintah melarang dilakukannnya pembakaran baik di hutan maupun lahan. Pembakaran terkendali masih memungkinkan dilaksanakan untuk tujuan manajemen kawasan, dengan kondisi tidak terelakkan dan harus dengan perijinan dan pengawasan yang ketat. Masyarakat hukum adat dengan kearifan lokal masih diperkenankan membakar namun dengan syarat tertentu, luasan kurang dari 2 Ha, wajib membuat sekat bakar dan setelah pembakaran harus ditanami varietas lokal.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, disarankan untuk secepatnya menemukan teknologi baru dalam penyiapan lahan tanpa membakar yang murah dan mudah dilakukan oleh masyarakat. Selama teknologi tersebut belum ditemukan, perlu dikaji aturan penyiapan lahan dengan membakar oleh masyarakat secara berjenjang. Pendekatan kepada masyarakat oleh petugas BKSDA maupun Manggala Agni harus ditingkatkan mengingat adanya pengaruh munculnya sikap dan perilaku masyarakat terhadap praktek penyiapan lahan dengan membakar. Semua pihak harus mengawal jalannya kebijakan pemerintah tentang percepatan pembangunan yang terkait dengan kemudahan perijinan pembangunan perkebunan yang kemungkinan dapat meningkatkan risiko terjainya karhutla dan terganggunya konservasi keanekaragaman hayati.

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang – Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

PRAKTEK PENYIAPAN LAHAN DENGAN MEMBAKAR

OLEH MASYARAKAT DI WILAYAH KERJA DAOPS

MANGGALA AGNI MUARA BULIAN, PROVINSI JAMBI

FERDIAN KRISNANTO

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Profesi pada

Program Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Nama : Ferdian Krisnanto

NIM : E 353100165

Program Studi : Konservasi Keanekaragaman Hayati

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Arzyana Sunkar, M.Sc. Ketua Komisi

Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc. Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi

Konservasi Keanekaragaman Hayati

Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si.

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(10)

PRAKATA

Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang hanya karena berkat dan anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar magister profesi konservasi keanekaragaman hayati dari Institut Pertanian Bogor. Tema penelitian ini adalah kebakaran hutan dan lahan yang merupakan bidang yang sering dihadapi oleh penulis dalam pekerjaan. Judul penelitian ini adalah Praktek Penyiapan Lahan dengan Membakar oleh Masyarakat di Wilayah Kerja Daops Manggala Agni Muara Bulian, Provinsi Jambi.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Direktur Jenderal PHKA, Sekretaris Ditjen PHKA, Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan, Kasubbag Kepegawaian dan Rumah Tangga Ditjen PHKA beserta jajarannya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melaksanakan karyasiswa;

2. Dr. Ir. Arzyana Sunkar, MSc. dan Dr. Ir. Lailan Syaufina, MSc. selaku Ketua komisi dan anggota komisi pembimbing, untuk semua curahan waktu, tenaga dan pengetahuan;

3. Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA dan Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, MSi. selaku Ketua Program Magister Profesi Konservasi Keanekaragaman Hayati (lama dan baru), yang terus memberikan motivasi;

4. Dosen – dosen mata kuliah di Program Magister Profesi KKH yang telah membagi ilmu;

5. Bapak Ir. Tri Siswo, MSi selaku Kepala Balai KSDA Jambi beserta staf yang telah memberikan fasilitas serta membagi pengalaman dan ilmu yang sangat berharga;

(11)

penelitian ini;

8. Kawan – kawan seperjuangan anggota KKH 2010, tim ular (Mas Parjoni, Mas Ucup, Septi), tim labi – labi (Mbak Mina, Mas Nyoto, Mirta), tim tumbuhan (Mbak Leni, Teguh), tim monyet (Cahyo, Mas Ndok), tim harimau, buaya, banteng (Mbak Via, Mbak Lusi, Mbak Imas), tim kebijakan (Mas Yarman, Mas Hendra, Mbak Desi) dan tentunya tim antropolog (Mbak Lintang, Mas Buday), untuk perjuangan dan persaudaraan;

9. Pak Sofwan dan Bunga untuk kerepotan yang dengan sangat telaten diselesaikan dengan luar biasa, Bi U’um dan Mang Udin untuk segala penunjang;

10. Kawan – kawan muda di Direktorat PKH (Mas Deni, Nurul, Jaya, Eni, Eva) yang terus memberi warna Direktorat PKH;

11. Istri dan anak tercinta (Wiwid dan Nathanael si “elang”) untuk doa dan pengorbanan;

12. Bapak, Alm. Ibu dan Bapak/Ibu mertua, serta keluarga besar yang terus memberikan doa;

13. Semua responden dan informan dalam penelitian ini; 14. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini tidak sempurna, namun penulis berharap agar karya ini dapat berguna terutama untuk kegiatan pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Indonesia dan konservasi keanekaragaman hayati.

(12)

Penulis dilahirkan di Sukoharjo pada tanggal 25 Februari 1982 dari pasangan Bapak Sumarno dan Ibu Westriningsih. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara.

Tahun 2000 penulis menamatkan jenjang SMU di SMU Negeri 1 Solo, pada tahun yang sama penulis menjadi mahasiswa jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjahmada Yogyakarta. Tahun 2005 penulis berhasil lulus dari jenjang S1 dengan penelitian pelepasliaran Elang laut perut putih di Karimunjawa.

(13)

i

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 2

Tujuan Penelitian ... 3

Manfaat Penelitian ... 3

LANDASAN TEORI ... 5

Kebakaran hutan dan lahan ... 5

Dampak kebakaran hutan dan lahan ... 6

Pembakaran terkendali dan zero burning ... 7

Sikap dan perilaku manusia ... 8

METODE PENELITIAN ... 9

Lokasi dan waktu penelitian ... 9

Bahan dan alat ... 10

Data yang diperlukan... 10

Metode penentuan unit contoh ... 11

Metode pengumpulan data ... 12

Metode analisa data ... 14

KONDISI UMUM LOKASI ... 19

Kabupaten Batanghari ... 19

Kabupaten Tanjung Jabung Barat ... 21

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 23

Karakteristik responden ... 23

Praktek – praktek pembakaran dalam penyiapan lahan ... 24

Sikap dan perilaku masyarakat terkait dengan karhutla ... 34

Praktek pembakaran, upaya pengendalian dan konservasi keanekaragaman hayati ... 40

Kebijakan pemerintah terkait karhutla ... 41

(14)

ii

(15)

iii

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Dampak kebakaran hutan dan lahan... 6

2 Dasar penentuan lokasi dan lokasi desa penelitian ... 9

3 Kebutuhan data dan metode pengambilan data... 10

4 Pemilihan hari dalam pembakaran... 30

5 Pemilihan waktu harian dalam pembakaran... 30

6 Sikap kelompok masyarakat pekebun... 35

(16)

iv

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Diagram kelompok responden... 11 2 Peta administratif Provinsi Jambi... 19 3 Curah hujan Kabupaten Batanghari tahun 2009... 20 4 Curah hujan dan jumlah hari hujan Kabupaten Tanjung Jabung

Barat tahun 2009...

22

5 Karakteristik responden menurut (a) umur dan (b) suku...

23

6 Karakteristik tingkat pendidikan responden... 24

7 Distribusi titik panas tahun 2009-2011 Kabupaten

Batanghari...

28

8 Distribusi titik panas tahun 2009–2011 Kabupaten Tanjung Jabung Barat...

29

9 Skema penumpukan bahan bakar... 31 10 Pembakaran searah arah angin (head firing)... 32

11 Pembakaran balik (back firing) 33

(17)

v

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Panduan wawancara biografi dan analisa pengetahuan... 50

2 Panduan wawancara praktek pembakaran... 52

3 Panduan wawancara pengukuran sikap... 53

(18)

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Indonesia mempunyai kekayaan keanekaragaman hayati terbesar setelah negara Brazil, meliputi 515 jenis mamalia, 511 jenis reptil, 1531 jenis burung, 270 jenis amphibi, 35 jenis primata, dan 38 000 jenis tumbuhan (Supriyatna 2008). Kekayaan biodiversitas tersebut mendapatkan banyak ancaman yang salah satunya dari kebakaran hutan. Kebakaran di Indonesia terjadi baik di dalam hutan maupun di luar kawasan hutan (lahan) sehingga disebut sebagai kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Karhutla merupakan peristiwa yang terjadi setiap tahun di Indonesia, terutama di wilayah Sumatera dan Kalimantan yang merupakan wilayah hutan hujan dengan kekayaan biodiversitas tinggi serta lahan bergambut yang menjadi penopang ekosistem.

Dampak kebakaran hutan tahun 1997/1998 telah mengakibatkan degradasi hutan dan deforestasi serta menelan biaya ekonomi sekitar USD 1.62–2.7 miliar. Asap tebal yang terjadi mengakibatkan lumpuhnya beberapa bandara, pelabuhan dan jalan raya di Sumatera dan Kalimantan sehingga mengakibatkan terganggunya transaksi ekonomi serta pariwisata. Biaya pencemaran asap menelan kerugian sekitar USD 674–799 juta dan terkait dengan emisi karbon kerugian terhitung sekitar USD 2.8 miliar (Tacconi 2003). Bencana asap juga mempengaruhi kesehatan penduduk di Sumatera dan Kalimantan, bahkan sampai ke negara tetangga dan mengganggu stabilitas politik (Boer 2002).

(19)

pada Bulan Mei 2006 (Anonim 2006). Dengan demikian, akar penyebab karhutla di Indonesia lebih banyak diakibatkan oleh pembakaran yang dilakukan masyarakat terutama petani. Sadjati (2012) menyebutkan bahwa masyarakat petani masih melakukan kebiasaan membakar dalam penyiapan lahan, karena adanya anggapan bahwa membakar dapat menyuburkan tanah, selain itu resiko dan dampak dari karhutla tidak akan dirasakan oleh masyarakat di pedesaan, karena metode ini adalah metode yang paling cepat, murah dan mudah.

Praktek penyiapan lahan yang lebih ramah lingkungan dapat dijumpai pada praktek–praktek penyiapan lahan dengan membakar secara tradisional. Masyarakat Petapahan Riau menerapkan aturan untuk melakukan penjagaan selama pembakaran, serta sanksi apabila api meluas ke lahan orang lain (Permana & Kurniawan 2001). Contoh lainnya adalah masyarakat Kantu di Kalimantan Barat yang melibatkan upacara ritual dalam tahapan – tahapan penyiapan lahan sehingga tercipta pengawasan secara adat dalam praktek membakar (Dove 1988). Permasalahan terjadi saat masyarakat pendatang berusaha meniru pola pembakaran dalam pembersihan lahan namun tidak mengetahui secara lengkap cara dan tahapan yang seharusnya dilakukan dalam penyiapan lahan. Pembakaran dilakukan dengan motivasi memperoleh keuntungan sebesar–besarnya tanpa mengerti aspek bahaya dari praktek tersebut (Sudaryanto et al. 1999).

Sears et al. (2004) menyebutkan bahwa perilaku seringkali dikaitkan dengan sikap. Praktek penyiapan lahan berkaitan dengan pilihan, sedangkan pilihan dapat berkaitan dengan sikap. Sikap masyarakat pendatang dan lokal terhadap praktek pembakaran yang berbeda akan mempengaruhi praktek yang berbeda juga antara kelompok masyarakat dalam penyiapan lahan.

1.2. Perumusan masalah

(20)

memungkinkan terjadinya pergeseran praktek penyiapan lahan dengan membakar secara tradisional yang dilakukan petani lokal. Penelitian terhadap tata cara praktek penyiapan lahan dengan membakar antara kelompok masyarakat lokal dan tradisional serta pendatang diperlukan untuk dapat melihat bentuk–bentuk praktek pembakaran yang dilakukan oleh masyarakat serta dampaknya terhadap kejadian karhutla.

Penelitian ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut :

1. Bagaimana praktek–praktek penyiapan lahan dengan membakar yang dilakukan oleh kelompok masyarakat lokal/tradisional dan pendatang?

2. Bagaimana sikap dan perilaku kelompok masyarakat dalam penyiapan lahan dengan membakar?

3. Apa yang melatarbelakangi timbulnya sikap dan perilaku membakar tersebut?

1.3. Tujuan penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Membandingkan praktek–praktek penyiapan lahan dengan membakar oleh kelompok masyarakat pendatang dan tradisional/lokal ;

2. Menentukan sikap dan perilaku kelompok masyarakat pendatang dan tradisonal/lokal dalam penyiapan lahan dengan membakar;

3. Menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi sikap dan perilaku tersebut.

1.4. Manfaat penelitian

(21)
(22)

II.

LANDASAN TEORI

2.1. Kebakaran Hutan dan Lahan

Kebakaran hutan dan lahan didefinisikan sebagai kejadian dimana api melahap bahan bakar bervegetasi, yang terjadi di kawasan hutan dan non-hutan yang menjalar secara bebas dan tidak terkendali (Syaufina 2008). Di Indonesia istilah inilah yang lebih sering didengar terkait dengan kejadian kebakaran hutan karena kebakaran tidak hanya terjadi di dalam hutan tapi juga di kawasan non-hutan. Saat ini, 70% kebakaran terjadi di lahan (non-hutan) dan 30% di kawasan hutan (Dit. PKH 2010).

Faktor penyebab terjadinya karhutla dibagi menjadi faktor alam dan manusia. Di Indonesia, 99% faktor penyebab kebakaran hutan dan lahan disebabkan oleh manusia baik disengaja maupun tidak disengaja (Sumantri 2007). Kesengajaan dilakukan terutama pada kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan dan alih fungsi lainnya. Dalam beberapa kasus, api juga digunakan dalam konflik lahan, misalnya api digunakan oleh perusahaan untuk mendesak petani pemilik lahan agar menerima ganti rugi dengan harga rendah atau digunakan oleh petani untuk membalas dendam terhadap perusahaan yang merugikan mereka dalam jual beli lahan.

Penyiapan lahan dengan membakar yang dilakukan oleh masyarakat dilakukan baik dalam sistem perladangan maupun perkebunan milik masyarakat. Dalam pertanian atau perladangan, kegiatan “sonor“ yang dilakukan masyarakat Sumatera Selatan dan Lampung, menggunakan api untuk membuka lahan yang akan ditanami padi rawa. Di Jambi, sebagian besar pembukaan perkebunan karet dimulai dengan kegiatan pembersihan lahan dengan cara membakar baik di hutan primer maupun di hutan sekunder yang awalnya digunakan untuk pertanian atau perladangan (Junaedi 2010). Kegiatan masyarakat lainnya yang menggunakan api adalah kegiatan perikanan, pencarian kayu dan sumberdaya lahan basah lainnya (Chokkalingam et al. 2004).

(23)

panjang, adanya gelombang panas, serta adanya kegiatan manusia yang menyebabkan mengeringnya lahan gambut dan rawa–rawa, misalnya penebangan hutan, pembuatan kanal, serta pembangunan perkebunan dalam skala besar memicu terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Dengan demikian, kebakaran hutan dan lahan di Indonesia dipengaruhi oleh faktor manusia (kebiasaan dan ketergantungan) serta didorong juga kondisi alami berupa faktor iklim.

2.2. Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan

Kebakaran hutan dan lahan menimbulkan dampak pada berbagai aspek, mulai dari ekosistem, biodiversitas, kesehatan, sosial hingga politik. Beberapa sumber tulisan mengenai dampak disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1 Dampak kebakaran hutan dan lahan

Dampak kebakaran hutan dan lahan Sumber tulisan

1. Dampak biofisik berkaitan dengan (1) pelepasan asap, (2) pelepasan CO2, (3) suhu tinggi, (4) perusakan habitat flora dan

fauna.

Asap mengganggu pernafasan dan penglihatan, serta merusak organnya, menurunkan fotosintesis.

Setiap 1 kg bahan tumbuhan kering menghasilkan CO2 sebanyak

1.9 kg, apabila seluruh biomassa tegakan habis terbakar, CO2 yang

terlepas ke atmosfer setiap hektar : 855 000 kg. Kebakaran hutan menaikkan pelepasan CO2 sebesar lebih dari 16 %.

Kebakaran menyisakan abu, pengabuan bahan organik mempercepat pemiskinan tanah.

Kebakaran merusak daur hara alami, padahal daur hara antara vegetasi dan tanah merupakan mekanisme penting mempertahankan ekosistem.

Makin lama kebakaran berlangsung tanah akan semakin kering. Pemanasan tanah bersamaan dengan turunnya kelembaban nisbi udara mendorong penguapan air tanah yang dapat mengeringkan tanah.

Pada tanah gambut, pengeringan atau pemanasan berlebihan dapat memunculkan sifat hidrofobik yang takterbalikkan, berarti kemampuan tanah untuk menyerap dan menyimpan air hilang selamanya

Pada tanah mineral, karena terpanggang, koloid tanah mengalami dehidrasi kuat yang membangkitkan kakas besar sehingga memungkinkan terbentuk konsistensi tanah keras takterbalikkan yang tidak dapat melunak kembali karena pembasahan.

Perhitungan CO2 berdasarkan Donahue et al. 1977, Longman & Jenik 1974, diacu dalam Notohadinegoro (2006)

(24)

Tabel 1 Lanjutan

Dampak kebakaran hutan dan lahan Sumber tulisan

2. Bencana asap akibat kebakaran hutan dan lahan mengganggu kehidupan masyarakat lintas negara. Terganggunya transportasi, aktivitas ekonomi, kesehatan dan hubungan politik

ASEAN (2003)

3. Kualitas udara melampaui batas aman yang ditetapkan WHO hingga 3 kali lipat sepanjang 200 hari dalam setahun. Bisa menyebabkan kematian 15.000 orang, belum termasuk dampaknya terhadap anak–anak, bayi, orang lanjut usia serta manusia dengan tingkat kesehatan yang rentan

Marlier et al.

(2012)

2.3. Pembakaran terkendali (controlled burning) dan Zero burning

Syaufina (2008) menyatakan bahwa pembakaran terkendali (controlled burning) adalah penggunaan api secara bijaksana dengan menggunakan teknik tertentu, berdasarkan pengetahuan perilaku api di suatu tempat yang telah ditentukan pada kondisi cuaca yang cocok untuk mencapai hasil tertentu yang telah ditetapkan. Teknik yang dipilih disesuaikan dengan tujuan pembakaran, bahan bakar, topografi, dan kondisi cuaca agar kerusakan sumberdaya dapat dicegah atau dikurangi.

Praktek pembakaran terkendali sudah dilakukan oleh masyarakat tradisional sejak ribuan tahun yang lalu. Saat ini di Indonesia masih terdapat beberapa masyarakat tradisional yang masih melakukan praktek tersebut, misalnya masyarakat Dayak Kenayang (Syaufina 2008). Pembakaran terkendali digunakan dalam pemberantasan hama penyakit, membersihkan sampah penebasan dan penebangan, dan memperbaiki kesuburan tanah dengan persyaratan tertentu. Saharjo (1999) menyebutkan bahwa pembakaran terkendali dapat dijadikan alternatif dalam pencegahan kebakaran hutan di hutan Acacia mangium karena dapat digunakan untuk mengurangi bahan bakar. Pembakaran terkendali dapat mengurangi bahaya karhutla dan mengurangi risiko bencana asap.

(25)

membahas penanggulangan bencana asap pada Bulan April tahun 1999 (ASEAN 2003). Penerapan kebijakan ini dilakukan untuk usaha perkebunan, kehutanan serta sektor lainnya pada sektor usaha komersil, sedangkan untuk masyarakat kecil kemungkinan penggunaan teknik ini sulit dilakukan karena keterbatasan peralatan dan anggaran. Zero burning dilakukan dengan memanfaatkan teknologi mekanis serta perlakuan lainnya yang menggunakan obat–obatan.

2.4. Sikap dan perilaku manusia

(26)

III.

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan waktu penelitian

Untuk menjawab tujuan penelitian ini maka desa yang dipilih sebagai lokasi penelitian harus memenuhi kriteria berikut :

a. Desa yang berada dalam Kabupaten Batanghari dan Tanjung Jabung Barat yang merupakan wilayah Daerah Operasi Manggala Agni Muara Bulian Jambi;

b. Desa yang mempunyai sejarah kebakaran hutan dan lahan;

c. Desa yang mempunyai perkebunan yang dimiliki dan dikelola oleh masyarakat;

d. Desa yang mempunyai komposisi masyarakat lokal dan pendatang; e. Desa yang berada di sekitar kawasan konservasi.

Berdasarkan kriteria tersebut maka ditetapkan enam desa yang menjadi lokasi penelitian (Tabel 2). Penelitian dilaksanakan selama enam bulan, mulai dari bulan Februari sampai Juli 2012.

Tabel 2 Dasar penentuan lokasi dan Lokasi desa penelitian

No Dasar penentuan Lokasi

1. Lokasi kejadian kebakaran 2009–2011, lokasi

adanya perkebunan masyarakat, informasi

keberadaan masyarakat pendatang dan

masyarakat lokal, kemudahan akses

Desa Serdang Jaya, Kecamatan Betara, Kabupaten Tanjung Jabung Barat

2. Lokasi kejadian kebakaran 2009–2011, lokasi

adanya perkebunan masyarakat, informasi

keberadaan masyarakat pendatang dan

masyarakat lokal, kemudahan akses

Desa Pematang Lumut, Kecamatan Betara, Kabupaten Tanjung Jabung Barat

3. Keberadaan perkebunan masyarakat, keberadaan

masyarakat pendatang (transmigran), lokasi keberadaan Kawasan Konservasi (CA Durian Luncuk) yang merupakan tupoksi pengamanan Manggala Agni

Desa Jangga Baru, Kecamatan Batin XXIV, Kabupaten Batanghari

4. Keberadaan masyarakat lokal tradisional Suku

Anak Dalam (SAD), keberadaan perkebunan masyarakat, lokasi Kawasan Konservasi berupa Taman Hutan Raya (Tahura) Senami

Desa Jebak, Kecamatan Muara Tembesi, Kabupaten Batanghari

5. Keberadaan perkebunan masyarakat, informasi

keberadaan masyarakat lokal dan pendatang, lokasi yang dekat dengan Kantor Seksi II BKSDA Jambi

(27)

3.2 Bahan dan alat

Alat–alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : alat perekam suara, alat tulis, dan kamera. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah panduan wawancara dan peta rawan kebakaran.

3.3 Data yang diperlukan

Kebutuhan data penelitian ini disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3 Kebutuhan data serta metode pengambilan data

No Tujuan Parameter Variabel yang akan diukur

Sumber Metode 1. Membandingkan

praktek–praktek penyiapan lahan dengan membakar oleh kelompok masyarakat  Aturan adat  Aturan desa  Tahapan penyiapan lahan  Ritual  Pelaku  Sanksi  Pemilihan waktu pembakaran

 Bahan bakar

Pekebun, tokoh desa, perangkat desa, Kepala Daops Manggala Agni, LSM

Wawancara, dan studi literatur

2. Menentukan sikap dan perilaku kelompok masyarakat terhadap praktek penyiapan lahan dengan membakar

 Sikap  Sikap terhadap pelaksanaan praktek

 Sikap terhadap timbulnya dampak negatif akibat

pembakaran

 Sikap terhadap peraturan terkait dalkarhutla

Responden dari kelompok pekebun lokal dan pendatang Wawancara dengan quisioner menggunakan pernyataan yang dapat diskoring dengan metode Likert

 Perilaku  Perilaku mempersiapkan lahan

Responden dari kelompok pekebun lokal dan pendatang

Wawancara dan observasi lapangan

3. Menentukan faktor yang mempengaruhi timbulnya sikap dan perilaku tersebut

1. Fisiologis  Umur

 Suku

Responden dari kelompok pekebun lokal dan pendatang

Wawancara, Observasi lapangan

2. Ekonomi  Pendapatan

 Jumlah tanggungan

 Jenis komoditas

 Luas lahan

Responden dari kelompok pekebun lokal dan pendatang Wawancara, Observasi lapangan 3. Pengetahu an  Tingkat pendidikan

 Sumber media informasi

Responden dari kelompok pekebun lokal dan pendatang

(28)

3.4 Metode penentuan unit contoh

Responden dalam penelitian ini adalah pekebun dari beberapa kelompok masyarakat yang dipilih dengan menggunakan metode convenience sampling

yaitu dengan melakukan wawancara pada setiap masyarakat pekebun yang ditemui di lokasi desa yang telah ditetapkan. Perlakuan tersebut dilakukan karena adanya informasi awal bahwa hampir semua penduduk di lokasi mempunyai kebun yang diolah, sehingga kemungkinan perjumpaan dengan masyarakat pekebun sangat besar. Penentuan responden yang dilakukan melalui penelusuran di kebun-kebun garapan serta rumah–rumah penduduk, mendapatkan responden sebanyak 35 orang. Kelompok masyarakat pekebun yang diwawancarai terdiri dari :

Gambar 1 Diagram kelompok responden

Informan dalam penelitian ini sebanyak 25 orang berasal dari para pihak yang dianggap dapat memberikan informasi terkait dengan kejadian karhutla serta informasi mengenai masyarakat pekebun yang menjadi objek penelitian. Para pihak tersebut terdiri dari Balai KSDA Jambi (Kasubag Tata Usaha, Sekretaris Brigdalkar, Kepala Seksi Wilayah), Manggala Agni Daops Muara Bulian (Kepala Daops, Ketua Regu, anggota), Dinas Kehutanan Kabupaten (Kasie Perlindungan, staf lapangan), Dinas Perkebunan Kabupaten, LSM (aktivis Warsi, Walhi), Aparat kecamatan (Camat Betara) dan desa (Kepala Desa, Kaur), tokoh masyarakat, tokoh adat serta peneliti (mahasiswa, dosen, peneliti).

Melayu

Masyarakat Masyarakat lokal

Suku Anak Dalam

Transmigran Non-Transmigran

Melayu Jawa Jawa Kelompok Masyarakat Pekebun

(29)

3.5 Metode pengumpulan data

Pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan beberapa metode, yaitu : studi literatur, wawancara dan observasi lapangan.

3.5.1 Studi literatur

Studi literatur dengan berbagai sumber pustaka baik dalam bentuk jurnal, buku dan media online. Studi literatur dilakukan untuk memperoleh informasi tentang sejarah kebakaran hutan dan lahan di Indonesia, penggunaan api oleh masyarakat di berbagai daerah baik di Indonesia maupun negara lain, perilaku api, dampak kebakaran hutan dan lahan serta teori–teori tentang sikap dan perilaku manusia. Studi literatur juga dilakukan dengan mengumpulkan dan menganalisa aturan perundangan yang terkait dengan pengendalian kebakaran hutan dan lahan.

3.5.2 Wawancara

Wawancara dengan responden dilakukan untuk memperoleh informasi praktek – praktek pembakaran yang dilakukan oleh masyarakat, pengukuran sikap dan faktor – faktor yang melatar belakangi terbentuknya sikap, dilakukan di kebun dan rumah masyarakat. Wawancara dengan informan dilakukan di kantor informan secara langsung, menggunakan email dan telepon. Wawancara dengan informan dilakukan untuk memperoleh informasi tentang kejadian karhutla di lokasi penelitian, kecenderungan sikap dan perilaku masyarakat terhadap karhutla dan informasi tentang masyarakat SAD.

3.5.2.1Wawancara Semi Terstruktur

(30)

didapatkan lebih banyak dan masyarakat lebih terbuka dalam memberikan informasi.

3.5.2.2Wawancara terstruktur

Wawancara dengan panduan yang disiapkan dengan pilihan jawaban. Metode wawancara ini dilakukan dalam pengukuran sikap. Pengukuran sikap menggunakan metode rating yang dijumlahkan atau pengukuran sikap model Likert. Walgito (2003) mengelompokkan pengukuran sikap model Likert ini pada metode pengukuran sikap secara langsung yang terstruktur. Metode ini dilakukan dengan wawancara menggunakan model pernyataan yang didesain agar jawaban– jawaban dari responden dapat diskalakan dan dibuat skor. Pernyataan yang dibuat adalah pernyataan yang sudah dipilih berdasarkan tujuan sehingga mampu mengungkapkan sikap (Azwar 1995). Kategori persetujuan dibagi menjadi lima kategori, yaitu Sangat tidak setuju (STS), Tidak Setuju (TS), Ragu-ragu (R), Setuju (S), dan Sangat Setuju (SS).

Sikap positif menunjukkan sikap setuju (S) dan sangat setuju (SS), sikap negatif menunjukkan tidak setuju (TS) dan sangat tidak setuju (STS), sedangkan sikap ragu menunjukkan sikap keragu–raguan (R). Desain perhitungan sikap memodifikasi model perhitungan yang dilakukan dalam penelitian Isa (1986) dengan menggunakan persentase.

% �� �� ��� ��� � �

=� �ℎ + � �ℎ � �� ( )

� �ℎ ( ) 100%

% �� �� ��� ��� � �

=� �ℎ � + � �ℎ � �� � ( )

� �ℎ ( ) 100%

% �� �� ��� ��� � =� �ℎ �� ( )

(31)

3.5.3 Observasi lapangan

Observasi dilakukan dengan cara berkunjung ke kebun dan rumah responden, tinggal di rumah masyarakat, dan mengikuti kegiatan patroli serta kegiatan penyuluhan yang dilakukan petugas BKSDA Jambi. Kunjungan ke kebun masyarakat memberikan informasi tentang komoditas, rata–rata luas kebun yang dimiliki serta bekas–bekas perlakuan pembakaran yang dilakukan masyarakat di kebun milik mereka. Kunjungan dan kesempatan tinggal di rumah masyarakat dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perekonomian masyarakat serta kehidupan keseharian masyarakat. Keikutsertaan pada kegiatan patroli dimaksudkan untuk melihat kebun masyarakat yang berbatasan langsung dengan wilayah cagar alam dan mengumpulkan informasi tentang kemungkinan timbulnya masalah terkait perluasan lahan masyarakat. Keikutsertaan dalam kegiatan penyuluhan dilakukan untuk melihat respon masyarakat terhadap kegiatan BKSDA Jambi.

3.5 Metode analisa data

Analisa data yang dilakukan meliputi analisa praktek pembakaran, analisa penilaian sikap dilengkapi dengan uji validitas dan realibilitas data, dan content analysis terhadap peraturan formal terkait karhutla. Analisa praktek pembakaran dan penilaian sikap dilakukan dari hasil wawancara, sedangkan content analysis

peraturan perundangan dilakukan setelah pengumpulan perundangan dari berbagai sumber literatur.

3.5.1 Analisa praktek pembakaran

(32)

tentang ada tidaknya aturan desa, norma adat serta dilakukan crosscheck dengan laporan kejadian kebakaran dari Manggala Agni.

3.5.2 Analisa pengukuran sikap

Pengukuran sikap diolah dari hasil skoring jawaban hasil wawancara. Pada skala Likert makin tinggi skor yang diperoleh seseorang menjadi indikasi bahwa orang tersebut sikapnya makin positif (pro) terhadap objek sikap demikian juga sebaliknya (Walgito 2003). Hasil pengukuran dituangkan dalam tabel dan dideskripsikan. Identifikasi faktor–faktor yang melatarbelakangi pemilihan sikap dianalisis secara deskriptif dari hasil wawancara dengan responden, observasi lapangan dan wawancara para pihak.

Uji validitas dan reliabilitas digunakan untuk melihat dan membuktikan data yang didapatkan tepat dan memiliki keterpercayaan tinggi.

(a) Validitas data diuji dengan menghitung korelasi skor setiap item intsrumen dengan total skor yang didapatkan. Item yang valid harus memenuhi kriteria

nilai korelasinya “positif” dan “lebih besar atau sama dengan nilai r tabel”. Uji

validitas menggunakan program Microsoft Office Excel 2007. Hasil uji validitas disajikan dalam lampiran 4.

(b) Reliabilitas data ditunjukkan dengan nilai koefisien reliabilitas. Pendekatan yang dilakukan menggunakan pendekatan konsistensi internal dengan formula Spearman-brown dan Alpha-cronbach (Azwar 1995).

Formula Spearman–brown digunakan untuk item pernyataan dengan jumlah yang dapat dibelah dua (ganjil–genap) secara seimbang, sedangkan untuk item yang tidak dapat dibelah secara seimbang digunakan formula Alpa-cronbach.

Formula Spearman-brown :

rxx =

2 (r 1 2) 1+r 1 2

rxx : koefisien reliabilitas

(33)

Formula Alpha-cronbach :

α =

−1(1-

� 2 2 )

α : koefisien reliabilitas Alpha-cronbach k : banyaknya item pernyataan

s2j : varian skor pernyataan

s2x : varian skor total

Perhitungan dalam uji reliabilitas menggunakan program Microsoft Office Excel 2007 dengan menguji reliabilitas tiga sikap yang diukur. Hasil uji ini menunjukkan bahwa ketiga sikap sudah reliable (r xx ≥ 0,6) yang berarti data

tersebut dapat dipercaya. Sikap 1 (sikap masyarakat tentang praktek penyiapan lahan dengan membakar) mempuyai nilai koefisien reliabilitas sebesar 0.836, sikap 2 (sikap masyarakat terhadap munculnya dampak negatif dari praktek penyiapan lahan dengan membakar) mempunyai nilai koefisien reliabilitas sebesar 0.872, dan sikap 3 (sikap masyarakat terhadap aturan terkait pengendalian kebakaran hutan dan lahan) mempunyai nilai koefisien reliabilitas sebesar 0.629, hasil perhitungan dalam lampiran 4.

3.5.3 Content analysis

Content analysis digunakan untuk menganalisa dokumen tertulis seperti laporan, surat, transkrip wawancara dan bentuk tertulis lainnya (Handerson 1991 dan Krippendorff 1980, diacu dalam Pratiwi 2008). Dalam metode ini, analisa dilakukan untuk mendapatkan pesan dari dokumen yang diteliti. Dokumen berupa peraturan perundangan formal yang dianalisis meliputi undang–undang dan peraturan pemerintah yang saat ini berlaku. Undang–undang dan peraturan pemerintah tersebut merupakan aturan formal yang berkaitan dengan karhutla. Walupun tidak secara khusus mengatur tentang karhutla, namun aturan–aturan tersebut sangat berhubungan dengan kejadian kebakaran yang terjadi di hutan maupun di lahan serta timbulnya pencemaran lingkungan akibat kejadian karhutla.

(34)
(35)
(36)

IV.

KONDISI UMUM LOKASI

Wilayah kerja Daops Manggala Agni Muara Bulian dalam tugas pokok dan fungsinya terdiri dari tiga wilayah kawasan konservasi yaitu Cagar Alam Durian Luncuk II seluas 41.37 Ha, Taman Hutan Raya (Tahura) Senami seluas 5 000 Ha serta sebagian wilayah Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD) di wilayah Kabupaten Batanghari. Namun demikian, dalam struktur kerja Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Provinsi Jambi, wilayah kerja tersebut ditambah dengan kawasan di luar kawasan konservasi yang meliputi dua kabupaten yaitu Kabupaten Batanghari dan Kabupaten Tanjung Jabung Barat.

Gambar 2 Peta administratif Provinsi Jambi (sumber: Bappeda Jambi 2012)

4.1. Kabupaten Batanghari

Kabupaten Batanghari terletak antara 1°15ˈ LS dan 2°2ˈ LS, antara 102° 30ˈ

BT dan 104°30ˈ BT. Kabupaten ini terdiri dari 8 kecamatan, 13 kelurahan dan 100 desa, dengan luas wilayah 5 800 m2. Batas wilayah kabupaten sebagai berikut :

Utara : Kabupaten Tebo dan Kabupaten Muaro Jambi

(37)

Timur : Kabupaten Muaro Jambi

Selatan : Provinsi Sumatera Selatan, Kabupaten Sarolangun dan Kabupaten Muaro Jambi

Barat : Kabupaten Tebo

Kawasan terluas berada pada dataran rendah dengan ketinggian 11–100 dpl (92.67%). Suhu rata – rata harian pada tahun 2009 antara 25.7°–27.2 º C dengan suhu paling tinggi pada bulan Juli setinggi 32.9 ºC. Curah hujan untuk tahun 2009, berkisar antara 56–431 mm (Gambar 3) dengan jumlah hari hujan antara 4-16 hari.

Gambar 3 Curah hujan (mm) Kabupaten Batanghari tahun 2009 (BPS Batanghari 2010)

Jumlah penduduk pada tahun 2009 sebesar 230 164 jiwa dan meningkat pada tahun 2010 menjadi 241 334 jiwa. Angkatan kerja pada tahun 2009 tercatat sebanyak 61.45% bergerak pada sektor pertanian (BPS Batanghari 2010). Selama tahun 2011 telah terdeteksi sebanyak 15 titik hotspot (Dit. PKH 2012).

Lokasi penelitian di wilayah Kabupaten Batanghari yang dipilih adalah Desa Jangga Baru, Jebak, Sungai Baung dan Bajubang Laut. Desa Jangga Baru memiliki luas wilayah 15 km2, luas perkebunan karet yang ada di Jangga Baru seluas 1 125 Ha, sedangkan luas perkebunan kelapa sawit hanya seluas 16 Ha. Masyarakat desa Jangga Baru merupakan transmigran yang mulai menempati daerah tersebut pada tahun 1982 sebagai transmigran untuk keperluan perkebunan

269 375

431

274

203

56 84

197

96 142

256 247

(38)

karet pemerintah. Komoditas yang diusahakan adalah karet yang awalnya merupakan pembagian jatah sebagai transmigran.

Keunikan Desa Jebak adalah adanya masyarakat SAD yang menghuni wilayah kampung Bor 6 dan 8. Di wilayah ini terdapat kurang lebih 75 KK masyarakat SAD yang sudah hidup menetap. Masyarakat hidup dalam rumah kayu sederhana dan belum ada fasilitas listrik. Desa Sungai Baung dan Bajubang Laut merupakan desa di sekitar ibu kota kabupaten (Muara Bulian), di pinggir Sungai Batanghari.

4.2. Kabupaten Tanjung Jabung Barat

Kabupaten Tanjung Jabung Barat terletak antara 0°53ˈ LS dan 1°41ˈ LS,

antara 103°23ˈ BT dan 104°21ˈ BT. Kabupaten ini mempunyai luas 5 009.82 km2. Batas administratif Kabupaten Tanjung Jabung Barat sebagai berikut :

Utara : Provinsi Riau

Selatan : Kabupaten Batanghari

Barat : Kabupaten Batanghari dan Kabupaten Tebo

Timur : Selat Berhala dan kabupaten Tanjung Jabung Timur

(39)
[image:39.595.55.485.61.793.2]

Gambar 4 Curah hujan (mm) dan jumlah hari hujan (hari) Kabupaten Tanjung Jabung Barat tahun 2009 (BPS Tanjung Jabung Barat 2010)

Lokasi penelitian di wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Barat yang dipilih adalah Desa Serdang Jaya dan Pematang Lumut. Wilayah Desa Serdang Jaya dengan luasan 210 km2, hanya memiliki wilayah yang diusahakan untuk persawahan dan perladangan seluas 4 Ha. Untuk areal perkebunan seluas 1 297.5 Ha dengan perkebunan sawit seluas areal 534 Ha dan kopi seluas 492 Ha. Penduduk Desa Serdang Jaya tahun 2010 berjumlah 5 891 jiwa. Wilayah Desa Pematang Lumut dengan luas wilayah 238 km2 memiliki areal perkebunan seluas 2 486 Ha dengan komoditas utama sawit dengan luas areal 1 271 Ha dan karet seluas 1 185 Ha . Penduduk Desa Pematang Lumut tahun 2010 berjumlah 8 646 jiwa (BPS Betara 2010).

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des

Jumlah hari hujan (hari) 7 5 11 8 10 7 8 11 9 10 9 10

Curah hujan (mm) 169 144 223 212 175 104 147 156,5 216 272 202 218

50 100 150 200 250 300

(40)

V.

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Karakteristik responden

Responden yang diwawancarai sejumlah 35 orang merupakan kepala keluarga dengan umur antara 21 tahun sampai 78 tahun (Gambar 5a). Responden merupakan masyarakat lokal/tradisional terdiri dari Suku Melayu dan Suku Anak Dalam (SAD) dan pendatang dari masyarakat suku Banjar, Jawa dan Sunda. Masyarakat pendatang terdiri dari masyarakat transmigran yang mengikuti program pemerintah dan masyarakat yang sengaja berpindah dari tempat asal baik lintas provinsi dalam satu pulau ataupun lintas pulau seperti dari Sulawesi dan Jawa dengan alasan mencari penghidupan yang lebih baik (Gambar 5b).

(a) (b)

Responden dari Kabupaten Tanjung Jabung Barat diambil dari Desa Serdang Jaya dan Pematang Lumut yang keduanya berada di wilayah Kecamatan Betara. Desa Serdang Jaya dan Pematang Lumut dipilih karena informasi dari Kepala Daops Manggala Agni Muara Bulian terkait dengan kegiatan pemadaman, patroli dan penyuluhan karhutla serta banyaknya perkebunan yang ada di kedua lokasi. Kedua lokasi juga banyak dihuni penduduk dari Jawa dan Banjar. Desa Serdang Jaya memiliki 60% lebih penduduk dari Suku Jawa, sedangkan Pematang Lumut lebih multi etnis dengan mayoritas Suku Banjar.

20 - 29 tahun

30- 39 tahun

40 - 49 tahun

50 tahun ke atas

5

8

11 11

Jawa Melayu SAD Banjar Sunda

15

7 4

8

1

(41)

Tingkat pendidikan masyarakat beragam mulai dari yang tidak sekolah sampai sarjana (S1). Responden dari Desa Jebak yang merupakan masyarakat SAD merupakan generasi tua yang tidak menikmati sekolah formal. Masyarakat transmigran generasi pertama di Desa Jangga Baru baik yang dari Jawa maupun transmigran lokal lebih banyak yang tidak tamat SD dengan kemampuan baca tulis yang minim. Menurut keterangan dari salah satu responden, pada saat awal, biasanya hanya pemimpin rombongan kecil (satu rombongan kecil 20 KK) yang mempunyai pendidikan setingkat SMA. Generasi setelah itu sudah dapat menikmati sekolah formal mulai SD bahkan ada yang lulusan universitas. Komposisi responden berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada Gambar 6.

5.2.Praktek – praktek pembakaran dalam penyiapan lahan

Hasil wawancara memperlihatkan bahwa pada praktek penyiapan lahan dengan membakar terdapat dua hal penting yang perlu diperhatikan. Hal tersebut adalah: (1) ritual–ritual yang dilakukan sebelum pembakaran dan (2) teknik– teknik yang digunakan dalam praktek pembakaran. Ritual yang dilakukan sebelum pembakaran berkaitan dengan penghormatan terhadap alam dan kepercayaan terhadap kekuatan di luar manusia, sedangkan teknik–teknik pembakaran terdiri dari pemilihan waktu serta tata urutan pembakaran.

tidak sekolah dan tidak tamat

SD

SD SMP/sederajat SLTA D3 S1 5

9 10 9

1 1

(42)

5.2.1. Ritual sebelum pembakaran

Menurut informasi dari Ketua Adat Desa Jangga Baru yang merupakan masyarakat Melayu, ritual pernah dilakukan sebelum membuka lahan namun lebih bersifat agamis berupa pengajian dan pembagian makanan, sedangkan bagi masyarakat pendatang dari Jawa, ritual sebelum membuka lahan lebih sebagai ucapan syukur dan permohonan doa melalui kegiatan bersih desa yang dilakukan masyarakat Desa Serdang Jaya, Kecamatan Betara, Kabupaten Tanjung Jabung Barat.

Masyarakat yang masih menggunakan ritual adat dalam penyiapan lahan adalah masyarakat SAD yang merupakan masyarakat yang bermukim di Bor 6 dan 8 di Desa Jebak, Kecamatan Batin XXIV, Kabupaten Batanghari. Ritual yang dilakukan berupa :

(1) Permohonan ijin kepada pencipta dan penunggu lokasi untuk membuka lahan. Ritual ini berupa persembahan bubur putih – kuning, ayam kampung dan pemanjatan doa di lokasi. Masyarakat SAD percaya bahwa di setiap tanah ada unsur lain yang menjaga dan menghuni, dengan demikian diperlukan permohonan ijin untuk membuka hutan tersebut menjadi lahan kebun. Permohonan ijin ini dipercaya dapat mendatangkan keselamatan dalam pekerjaan mulai dari menebang, membakar sampai memanen.

(2) Penebaran kaca di tengah lokasi yang akan dibakar. Pecahan kaca yang disebarkan biasanya merupakan pecahan kaca yang tidak sengaja ditemukan misalnya di jalan, kemudian dipecah–pecah dengan ukuran yang lebih kecil lagi. Perlakuan ini diyakini dapat menyebarkan api sehingga pembakaran dapat lebih cepat dan merata. Penyebaran kaca tidak wajib dilakukan dalam ritual ini.

(43)

di TNBD mengandalkan dukun untuk memberikan petunjuk melalui mimpi dalam pemilihan lokasi berladang dan boleh tidaknya memulai pembersihan lahan. Proses tersebut berlanjut pada penentuan pohon pertama yang direbahkan, pembuatan batas lahan, penebasan pohon dan dimulainya pembakaran. Pembakaran dipimpin langsung oleh dukun dengan alat dan bahan berupa obor (tunom), tatal kayu meranti, damar yang dihaluskan dan tempurung kelapa. Pembakaran diawali dengan penyalaan tunom kemudian penyalaan pertama pada tatal kayu, daun dan tumpukan pohon yang sudah kering. Bubuk damar ditebarkan pada api tersebut agar api dapat membesar, kemudian dukun akan mencari tunggul kayu di batas ladang untuk melakukan prosesi pemutaran tempurung kelapa yang dibalik. Tempurung ini diputar tujuh kali melambangkan api akan berputar di sekeliling lahan dan membakar dengan baik (Sasmita 2009).

Perbedaan ritual antara SAD di Desa Jebak dan SAD di TNBD tersebut kemungkinan terjadi karena adanya modernisasi yang lebih cepat terjadi pada masyarakat SAD di Desa Jebak sehingga ritual–ritual dipersingkat ataupun disederhanakan, atau di Desa Jebak, terjadi transfer informasi dari masyarakat suku lain di sekitarnya dan mengadaptasikannya dengan ritual aslinya. Hal ini kemungkinan bisa terjadi mengingat budaya berladang dan berkebun bukan merupakan budaya asli masyarakat SAD yang mempunyai kebiasaan mencari dan meramu hasil hutan (Sasmita 2009), sehingga banyak hal yang dipelajari dari masyarakat lain terkait dengan budaya berladang dan berkebun. Hal yang sama juga disampaikan oleh aktivis LSM Warsi dan Walhi yang mendampingi masyarakat SAD, yang menyebutkan bahwa masyarakat SAD yang melakukan kegiatan perladangan biasanya hanya menanam kebutuhan untuk keperluan makan sehari–hari tidak untuk komersil.

(44)

pelaksanaan mendatangkan keselamatan, berkah kesuburan dan keberhasilan panen.

5.2.2. Teknik–teknik pelaksanaan pembakaran

Pembakaran merupakan salah satu tahapan penting dalam penyiapan lahan

yang biasanya disebut dengan istilah “merun” yaitu proses pembersihan lahan

mulai dari merobohkan, membersihkan belukar, mencincang dan membakar. Istilah ini sudah umum di masyarakat Jambi dan dimengerti baik oleh masyarakat lokal maupun pendatang. Masyarakat melakukan pembakaran dengan menggunakan teknik–teknik dalam pemilihan waktu serta tata urutan pembakaran.

5.2.2.1. Penentuan waktu

Pemilihan waktu dalam melakukan pembakaran sangat menentukan keberhasilan dalam penyiapan lahan. Waktu yang dipilih, terkait dengan pemilihan musim membakar serta waktu harian yang digunakan dalam melaksanakan pembakaran.

Pemilihan musim

Pembakaran pada umumnya mulai dilakukan pada bulan kering sebelum penghujan yaitu pada bulan Agustus sampai Oktober dengan pertimbangan bahan bakar lebih cepat kering karena panas matahari yang optimal. Musim pembakaran yang sama juga terjadi di beberapa daerah lain di Indonesia seperti di Kalimantan Barat, Bengkulu, Sumatera Selatan (Syaufina 2008). Suku Aborigin di Australia memulai pembakaran pada awal musim kering dan menghentikannya pada akhir musim kering pada saat bertiup angin dengan gelombang panas dengan pertimbangan besarnya risiko terjadinya kebakaran (Smith et al. 2009).

(45)

bahan bakar dan mulai membakar. Pada saat terjadi tiga hari tidak turun hujan, maka masyarakat menganggap bahan bakar cukup kering dan dapat dibakar.

[image:45.595.88.479.88.607.2]

Pengamatan titik panas (hotspot) sebagai salah satu alat untuk memprediksi kejadian kebakaran hutan dan lahan untuk tiga tahun terakhir (2009–2011) (Gambar 7 dan 8) memperlihatkan bahwa sepanjang tahun muncul titik panas walaupun dengan intensitas berbeda (Dit. PKH 2012). Hal ini menunjukkan adanya kemungkinan terjadi pembakaran dalam penyiapan lahan sepanjang tahun.

Gambar 7 Distribusi titik panas tahun 2009 – 2011 Kabupaten Batanghari (sumber: Dit. PKH 2012)

Pada Gambar 7 dapat dilihat bahwa kecenderungan peningkatan titik panas terjadi mulai bulan Juni dan mencapai puncak pada bulan Agustus, namun demikian dapat dilihat juga bahwa titik panas sudah mulai muncul pada bulan Januari sampai Desember yang mengindikasikan kemungkinan adanya praktek penyiapan lahan dengan membakar sepanjang tahun.

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des

2009 0 0 2 3 3 21 22 26 5 7 0 1

2010 1 0 5 0 6 1 7 4 9 7 0 11

2011 3 6 7 7 9 8 12 49 39 4 0 7

Ju

m

lah

h

o

tsp

o

(46)
[image:46.595.102.512.56.843.2] [image:46.595.111.506.87.355.2]

Gambar 8 Distribusi titik panas tahun 2009 – 2011 Kabupaten Tanjung Jabung Barat (sumber : Dit PKH 2012)

Gambar 8 memperlihatkan kecenderungan yang hampir sama untuk wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Barat walaupun terlihat titik panas meningkat mulai pada bulan Juli namun titik panas sudah mulai ada pada bulan Januari sampai dengan Desember. Pada periode bulan Juli–Oktober, menurut hasil pengamatan cuaca di Stasiun Sulthan Thaha Jambi, memperlihatkan bahwa curah hujan untuk tahun 2009–2011 mulai dari 58 mm sampai 325 mm dengan kejadian hujan di setiap bulan (sumber data: Stasiun Klimatologi Sulthan Thaha Jambi 2012). Hal ini menunjukkan bahwa, masyarakat beradaptasi dengan iklim, dengan memanfaatkan hari tanpa hujan untuk melakukan pembakaran dan tidak terlalu kaku dalam penentuan bulan mulai membakar.

Pemilihan waktu harian

Masyarakat yang melakukan pemilihan hari secara tradisional untuk pembakaran adalah masyarakat SAD di Desa Jebak dan masyarakat pendatang Melayu di Desa Jangga Baru. Perhitungan hari berdasarkan fenomena alam tersebut disebut sebagai hari angin, api, air, tanah dan gajah. Pemilihan hari, pertimbangan dan penjelasannya, disajikan dalam Tabel 4.

0 10 20 30 40 50 60 70 80

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des

2009 0 0 2 3 4 4 22 72 10 0 1 0

2010 3 3 1 2 6 2 5 4 8 7 1 2

2011 1 5 1 2 4 3 7 36 34 2 0 3

Ju

m

lah

h

o

tsp

o

(47)

Tabel 4 Pemilihan hari dalam pembakaran

No Nama hari Pertimbangan Masyarakat Penjelasan ilmiah

1. Hari api Dipilih karena panas optimal, bahan bakar lebih kering, angin bertiup kencang, api lebih cepat besar dan cepat menyebar sehingga pekerjaan lebih cepat selesai

Penjalaran api cepat, nyala lebih panjang, memerlukan penjagaan lebih untuk mengurangi risiko api loncat

2. Hari angin Tidak dipilih karena faktor keamanan, angin besar, tidak aman terhadap pembakar maupun rawan api meloncat ke arah kebun tetangga

Zona nyala api lebar karena angin, kemungkinan terjadi api loncat besar

3. Hari air Tidak dipilih karena adanya hujan dan angin sehingga api tidak dapat membakar bahan bakar

Api tidak bisa menyala karena bahan bakar basah, apabila dipaksakan akan menimbulkan asap yang tebal

4. Hari gajah Dipilih karena faktor keamanan, angin bertiup agak kencang, api tidak terlalu besar

Penjalaran api lebih mudah dikendalikan sehingga lebih aman 5. Hari tanah Tidak dipilih karena api tidak akan

menyebar, bahan bakar basah, mendung

Kelembaban tinggi, api tidak dapat menyala optimal sehingga dapat menimbulkan asap yang berbahaya

Saat ini, masyarakat SAD mempunyai pemilihan hari yang berbeda, dengan pertimbangan masing – masing. Masyarakat SAD dari generasi tua dan muda memberikan keterangan yang berbeda dalam menyebutkan urutan hari. Perbedaan pernyataan ini mengindikasikan terjadinya pemahaman yang berbeda atau kemungkinan juga pemahaman lintas generasi yang mulai hilang. Di sisi lain, perbedaan pemilihan hari menyebabkan pembakaran tidak dilakukan serentak sehingga meburangi peluang terjadinya kebakaran hutan dan lahan serta bencana asap dalam skala besar akan semakin berkurang.

Masyarakat Melayu di Desa Jangga Baru yang mengetahui, memahami perhitungan hari tersebut dan menerapkannya, berasal dari generasi tua (generasi transmigran awal). Terkait dengan budaya perhitungan hari secara tradisional, pertukaran informasi dan adopsi antara masyarakat Melayu dengan SAD sangat mungkin terjadi.

[image:47.595.67.488.102.824.2]

Pemilihan waktu harian dalam pembakaran dilakukan dengan beberapa pertimbangan (Tabel 5) :

Tabel 5 Pilihan waktu harian dalam pembakaran

No Pilihan waktu Pertimbangan Penjelasan

1. Jam 12.00 – 15.00 Api cepat membesar dan menyebar sehingga pekerjaan lebih cepat selesai. Bahan bakar yang kering mengurangi asap

Penyinaran matahari maksimal, suhu meningkat, kelembaban menurun, kadar air bahan bakar menurun 2. Jam 15.00 – 18.00 Keamanan karena api lebih mudah dikontrol angin tidak terlalu besar

(48)
[image:48.595.107.511.55.843.2]

Tabel 5 Lanjutan

No Pilihan waktu Pertimbangan Penjelasan

3. Pagi hari (dibawah jam 10.00)

Tidak dipilih karena bahan bakar masih basah karena terkena embun, sulit menyalakan dan menimbulkan asap

Kelembaban tinggi, kadar air bahan bakar tinggi

4. Malam hari Pernah dipilih karena faktor keamanan dari patroli petugas, tidak dipilih lagi karena tidak aman dari serangan satwa liar dan api lebih mudah dideteksi petugas di pos jaga karena nyala api terlihat dari jarak jauh

Biasanya patroli tidak dilakukan pada malam hari

Fakta menunjukkan bahwa saat ini masyarakat lebih fleksibel dalam pemilihan waktu baik bulan, hari maupun jam. Tabel 5 menunjukkan bahwa pemilihan waktu pembakaran ditetapkan berdasarkan kondisi pada saat bahan bakar sudah dianggap kering, tidak ada hujan dalam beberapa hari terakhir dan dianggap aman dari patroli.

5.2.3. Tata urutan pembakaran

Tata urutan pembakaran dimulai dengan pembersihan semak, penebangan, pencacahan, penumpukkan, pembuatan sekat isolasi api dan penyalaan. Penebangan dan pembersihan semak dilakukan untuk mengurangi bahan bakar. Pencacahan dilakukan agar ukuran bahan bakar lebih kecil sehingga lebih cepat kering dan memudahkan pembakaran. Penumpukkan bahan bakar dilakukan dalam jalur atau membuat tumpukan–tumpukan kecil yang tersebar di dalam calon kebun seperti diperlihatkan pada Gambar 9, meskipun tidak semua masyarakat melakukan teknik ini.

Gambar 9 Skema penumpukan bahan bakar (a) sistem jalur, (b) penumpukan titik/spot, (c) tanpa penumpukan

(49)

Penumpukkan bahan bakar dengan sistem jalur seperti pada Gambar 9 (a) memudahkan pembakaran serta memberikan kemudahan untuk akses pengamanan, namun sistem ini memakan waktu dan tenaga yang lebih besar yang berimplikasi terhadap biaya. Sisa cacahan harus diangkut ke jalur yang lokasinya bisa lebih jauh sehingga membutuhkan tenaga yang lebih banyak, waktu yang lebih panjang dan menambah biaya buruh.

Penumpukkan titik seperti pada Gambar 9 (b) menjadi pilihan sebagian besar masyarakat karena tidak terlalu menyita tenaga sehingga lebih ekonomis, sedangkan perlakuan tanpa penumpukkan dilakukan dengan pembagian seperti pada Gambar 9 (c). Pilihan ini menjadi pilihan yang berisiko karena bahan bakar menjadi lebih banyak, mengandalkan penjalaran api sehingga membutuhkan pengawasan lebih walaupun lebih praktis. Pilihan perlakuan terhadap bahan bakar terkait dengan faktor–faktor efisiensi, efektifitas dan ekonomis.

Pembuatan sekat bakar sebelum pembakaran merupakan aktivitas yang dilakukan sebagai upaya untuk mencegah api meloncat ke lahan tetangga ataupun ke kebun kosong. Lebar sekat bakar yang dibuat bervariasi tergantung faktor keamanan. Beberapa responden menyatakan bahwa lebar sekat bakar yang biasa dibuat adalah 2–3 meter, selain itu ada juga yang menyatakan lebarnya dilihat dari perkiraan pohon tertinggi yang dapat tumbang atau perkiraan sampai dimana api dapat meloncat.

Hasil wawancara mengungkapkan ada tiga teknik pembakaran yang biasa dipakai oleh masyarakat dalam pelaksanaan pembakaran, yaitu: (1) teknik pembakaran searah arah angin (head firing) (Gambar 10); (2) pembakaran membelakangi arah angin (back firing) (Gambar 11); dan (3) pembakaran dalam tumpukan (pile burning) (Gambar 12). Skema pembakarannya adalah sebagai berikut :

Gambar 10 Pembakaran searah angin/ pembakaran muka (head firing)

: arah pembakaran

: arah angin

(50)

Pembakaran searah dengan arah angin dipilih dengan alasan mempercepat pembakaran dan alasan faktor keamanan bagi pembakar. Syaufina (2008) menyatakan bahwa penjalaran api yang searah angin adalah paling cepat, zona nyalanya paling lebar, dan nyalanya paling panjang. Untuk mencegah terjadinya api loncat atau tidak terkendalinya api, diperlukan perhitungan arah angin yang tepat serta pembuatan sekat bakar yang dinilai aman dari api loncat. Masyarakat biasanya menempatkan penjaga di sekitar lahan yang dibakar dengan membawa air dan peralatan lain sebagai upaya untuk mencegah tidak terkendalinya api.

Gambar 11 Skema pembakaran balik (back firing)

Pada pola pembakaran balik, pembakaran dilakukan berlawanan dengan arah angin. Pola ini dipilih dengan alasan agar api terkendali, tidak terlalu besar sehingga tidak membahayakan lahan tetangga. Selain itu, masyarakat beralasan bahwa pembakaran yang berlawanan dengan arah angin dapat menghasilkan pembakaran yang lebih sempurna dan lebih bersih dari serasah sehingga mempermudah penanaman. Api yang berlawanan dengan arah angin penjalarannya lambat, zona nyalanya sempit, dan pendek (Syaufina 2008). Namun pola pembakaran ini harus memperhitungkan kekuatan angin yang bertiup agar api tidak berbalik ke arah pelaksana pembakaran.

: arah pembakaran

: arah angin

(51)

Gambar 12 Skema pembakaran tumpukan (Pile burning)

Pada pola pembakaran tumpukan, api disulut dari tumpukan yang telah disusun dari sisa cacahan semak dan kayu yang telah dianggap kering. Satu luasan lahan dibagi menjadi beberapa bagian dengan tujuan pembakaran tidak dilakukan secara bersamaan dalam suatu luasan lahan. Pola ini dianggap yang paling aman karena api dapat diawasi dengan baik sehingga tidak terlalu berisiko terhadap lahan tetangga. Namun demikian, pola ini membutuhkan waktu yang lebih lama dan membutuhkan tenaga yang banyak terutama pada saat kegiatan penumpukan bahan bakar. Faktor keamanan dan faktor keekonomisan menjadi pertimbangan dari masyarakat dalam memilih teknik pembakaran.

5.3. Sikap dan perilaku masyarakat terkait dengan kebakaran hutan dan lahan

Informasi dari pihak Manggala Agni dan aparat desa menjadi bahan penting sebagai informasi pembanding dalam melihat perilaku masyarakat. Teori psikologi sosial mengungkapkan adanya hubungan antara sikap dan perilaku.

5.3.1. Sikap masyarakat terkait dengan kebakaran hutan dan lahan

Sikap masyarakat yang diukur meliputi sikap terhadap praktek penyiapan lahan dengan membakar, dampak negatif terkait dengan praktek tersebut serta aturan–aturan yang terkait dengan pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Sikap positif terhadap praktek pembakaran diartikan sebagai sikap yang setuju terhadap praktek penyiapan lahan dengan membakar begitu juga sebaliknya dengan sikap negatif. Sikap positif terhadap munculnya dampak negatif akibat pembakaran

: pembakaran

: tumpukan bahan bakar

(52)

diartikan sebagai sikap yang setuju bahwa pembakaran dapat menimbulkan dampak negatif terhadap ekologi, kesehatan dan ekonomi. Sikap positif terhadap aturan terkait pengendalian karhutla diartikan sebagai sikap yang mendukung adanya aturan–aturan tersebut. Hasil pengukuran disajikan dalam Tabel 6.

Tabel 6 Sikap kelompok masyarakat pekebun

Sikap

Kelompok masyarakat

Lokal Pendatang

Transmigran Non- transmigran

SAD Melayu Jawa Melayu Jawa -

Sunda Banjar

Sikap terhadap praktek penyiapan lahan dengan membakar

Positif 85.7 100 69.4 80.9 87.3 67.8

Ragu 14.3 0 18.4 19.1 6.35 23.2

Negatif 0 0 12,2 0 6.35 8.9

Sikap terhadap timbulnya dampak negatif akibat pembakaran

Positif 29.2 66.7 76.2 44.5 66.7 58.3

Ragu 45.8 20.8 4.8 33.3 13 20.8

Negatif 25 12.5 19 22.2 20.3 20.8

Sikap terhadap aturan terkait pengendlian karhutla

Positif 37.5 50 61.1 50 59.2 43.7

Ragu 45.8 37.5 27 16.7 24.1 37.5

Negatif 16.7 12.5 11.9 33.3 16.7 18.8

(53)

Sikap positif (setuju–sangat setuju) terhadap timbulnya dampak negatif akibat praktek pembakaran diyakini sebagian besar masyarakat walaupun masih terdapat keragu–raguan pada masyarakat mengenai dampak kebakaran terhadap kesuburan tanah. Informasi tentang dampak negatif pembakaran yang disebarkan melalui penyuluhan serta pengetahuan formal, bersinggungan dengan pengalaman pribadi sehingga muncul keragu–raguan dalam masyarakat. Secara ilmiah, hasil penelitian Notohadinegoro (2006) dan Darwiati dan Nurhaedah (2010) mencatat bahwa pembakaran memudahkan terjadinya erosi, pemiskinan bahan organik, serta matinya flora fauna tanah yang disebabkan oleh tingginya suhu dan pengeringan tanah. Selain itu, kebakaran dapat menyebabkan ancaman kematian terhadap 15.000 jiwa karena kualitas udara yang menurun berdasarkan penelitian Marlier et al. (2012). Di sisi lain, Syaufina (2008) menyatakan bahwa kebakaran tidak selamanya berdampak negatif bagi lingkungan terutama pada sistem pembakaran terkendali.

Hal serupa juga ditemukan pada sikap terhadap aturan, walaupun sebagian besar masyarakat terutama pendatang menyetujui adanya aturan dan penegakan aturan, namun sikap ragu dan negatif juga muncul. Aturan formal yang saat ini berlaku, dianggap memberikan sanksi yang terlalu berat bagi pelaku pembakaran sehingga perlu dikaji ulang. Keinginan untuk menyusun aturan desa terkait dengan pelaksanaan pembakaran dianggap dapat menjawab persoalan, dimana masyarakat boleh membakar dengan syarat tertentu terkait dengan pembagian waktu, pengamanan dan sanksi sosial.

Pilihan sikap masyarakat ditentukan dari beberapa komponen yang oleh Azwar (1995) dibagi menjadi kognitif, afektif dan konatif. Komponen kognitif berkaitan dengan pengetahuan dan kepercayaan, komponen afektif terkait dengan emosi dan perasaan, dan komponen konatif lebih kepada kecenderungan berperilaku yang berkaitan dengan kepercayaan dan perasaan masyarakat.

(54)

Gambar

Tabel 1  Dampak kebakaran hutan dan lahan
Tabel 3  Kebutuhan data serta metode pengambilan data
Gambar 4  Curah hujan (mm) dan jumlah hari hujan (hari) Kabupaten Tanjung
Gambar 7  Distribusi titik panas tahun 2009 – 2011 Kabupaten
+7

Referensi

Dokumen terkait