• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bagian I. Praktek penyiapan lahan dengan membakar

TOTAL BELAHAN

1.4. Manfaat penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang bentuk- bentuk praktek pembakaran dan dampaknya terhadap kejadian karhutla. Informasi ini diharapkan dapat menjadi salah satu masukan untuk mencari solusi terbaik untuk mengatasi permasalahan kebakaran hutan dan lahan yang terjadi setiap tahun di Provinsi Jambi maupun di tempat lain.

II.

LANDASAN TEORI

2.1. Kebakaran Hutan dan Lahan

Kebakaran hutan dan lahan didefinisikan sebagai kejadian dimana api melahap bahan bakar bervegetasi, yang terjadi di kawasan hutan dan non-hutan yang menjalar secara bebas dan tidak terkendali (Syaufina 2008). Di Indonesia istilah inilah yang lebih sering didengar terkait dengan kejadian kebakaran hutan karena kebakaran tidak hanya terjadi di dalam hutan tapi juga di kawasan non- hutan. Saat ini, 70% kebakaran terjadi di lahan (non-hutan) dan 30% di kawasan hutan (Dit. PKH 2010).

Faktor penyebab terjadinya karhutla dibagi menjadi faktor alam dan manusia. Di Indonesia, 99% faktor penyebab kebakaran hutan dan lahan disebabkan oleh manusia baik disengaja maupun tidak disengaja (Sumantri 2007). Kesengajaan dilakukan terutama pada kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan dan alih fungsi lainnya. Dalam beberapa kasus, api juga digunakan dalam konflik lahan, misalnya api digunakan oleh perusahaan untuk mendesak petani pemilik lahan agar menerima ganti rugi dengan harga rendah atau digunakan oleh petani untuk membalas dendam terhadap perusahaan yang merugikan mereka dalam jual beli lahan.

Penyiapan lahan dengan membakar yang dilakukan oleh masyarakat dilakukan baik dalam sistem perladangan maupun perkebunan milik masyarakat. Dalam pertanian atau perladangan, kegiatan “sonor“ yang dilakukan masyarakat Sumatera Selatan dan Lampung, menggunakan api untuk membuka lahan yang akan ditanami padi rawa. Di Jambi, sebagian besar pembukaan perkebunan karet dimulai dengan kegiatan pembersihan lahan dengan cara membakar baik di hutan primer maupun di hutan sekunder yang awalnya digunakan untuk pertanian atau perladangan (Junaedi 2010). Kegiatan masyarakat lainnya yang menggunakan api adalah kegiatan perikanan, pencarian kayu dan sumberdaya lahan basah lainnya (Chokkalingam et al. 2004).

Faktor pemicu terjadinya kebakaran hutan dan lahan di Indonesia adalah penyimpangan iklim dan adanya sumber energi berupa kayu, gambut dan batubara (Sumantri 1997). Perubahan iklim yang menyebabkan musim kemarau yang lebih

panjang, adanya gelombang panas, serta adanya kegiatan manusia yang menyebabkan mengeringnya lahan gambut dan rawa–rawa, misalnya penebangan hutan, pembuatan kanal, serta pembangunan perkebunan dalam skala besar memicu terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Dengan demikian, kebakaran hutan dan lahan di Indonesia dipengaruhi oleh faktor manusia (kebiasaan dan ketergantungan) serta didorong juga kondisi alami berupa faktor iklim.

2.2. Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan

Kebakaran hutan dan lahan menimbulkan dampak pada berbagai aspek, mulai dari ekosistem, biodiversitas, kesehatan, sosial hingga politik. Beberapa sumber tulisan mengenai dampak disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1 Dampak kebakaran hutan dan lahan

Dampak kebakaran hutan dan lahan Sumber tulisan

1. Dampak biofisik berkaitan dengan (1) pelepasan asap, (2) pelepasan CO2, (3) suhu tinggi, (4) perusakan habitat flora dan

fauna.

Asap mengganggu pernafasan dan penglihatan, serta merusak organnya, menurunkan fotosintesis.

Setiap 1 kg bahan tumbuhan kering menghasilkan CO2 sebanyak

1.9 kg, apabila seluruh biomassa tegakan habis terbakar, CO2 yang

terlepas ke atmosfer setiap hektar : 855 000 kg. Kebakaran hutan menaikkan pelepasan CO2 sebesar lebih dari 16 %.

Kebakaran menyisakan abu, pengabuan bahan organik mempercepat pemiskinan tanah.

Kebakaran merusak daur hara alami, padahal daur hara antara vegetasi dan tanah merupakan mekanisme penting mempertahankan ekosistem.

Makin lama kebakaran berlangsung tanah akan semakin kering. Pemanasan tanah bersamaan dengan turunnya kelembaban nisbi udara mendorong penguapan air tanah yang dapat mengeringkan tanah.

Pada tanah gambut, pengeringan atau pemanasan berlebihan dapat memunculkan sifat hidrofobik yang takterbalikkan, berarti kemampuan tanah untuk menyerap dan menyimpan air hilang selamanya

Pada tanah mineral, karena terpanggang, koloid tanah mengalami dehidrasi kuat yang membangkitkan kakas besar sehingga memungkinkan terbentuk konsistensi tanah keras takterbalikkan yang tidak dapat melunak kembali karena pembasahan.

Perhitungan CO2 berdasarkan Donahue et al. 1977, Longman & Jenik 1974, diacu dalam Notohadinegoro (2006)

Tabel 1 Lanjutan

Dampak kebakaran hutan dan lahan Sumber tulisan

2. Bencana asap akibat kebakaran hutan dan lahan mengganggu kehidupan masyarakat lintas negara. Terganggunya transportasi, aktivitas ekonomi, kesehatan dan hubungan politik

ASEAN (2003)

3. Kualitas udara melampaui batas aman yang ditetapkan WHO hingga 3 kali lipat sepanjang 200 hari dalam setahun. Bisa menyebabkan kematian 15.000 orang, belum termasuk dampaknya terhadap anak–anak, bayi, orang lanjut usia serta manusia dengan tingkat kesehatan yang rentan

Marlier et al.

(2012)

2.3. Pembakaran terkendali (controlled burning) dan Zero burning

Syaufina (2008) menyatakan bahwa pembakaran terkendali (controlled burning) adalah penggunaan api secara bijaksana dengan menggunakan teknik tertentu, berdasarkan pengetahuan perilaku api di suatu tempat yang telah ditentukan pada kondisi cuaca yang cocok untuk mencapai hasil tertentu yang telah ditetapkan. Teknik yang dipilih disesuaikan dengan tujuan pembakaran, bahan bakar, topografi, dan kondisi cuaca agar kerusakan sumberdaya dapat dicegah atau dikurangi.

Praktek pembakaran terkendali sudah dilakukan oleh masyarakat tradisional sejak ribuan tahun yang lalu. Saat ini di Indonesia masih terdapat beberapa masyarakat tradisional yang masih melakukan praktek tersebut, misalnya masyarakat Dayak Kenayang (Syaufina 2008). Pembakaran terkendali digunakan dalam pemberantasan hama penyakit, membersihkan sampah penebasan dan penebangan, dan memperbaiki kesuburan tanah dengan persyaratan tertentu. Saharjo (1999) menyebutkan bahwa pembakaran terkendali dapat dijadikan alternatif dalam pencegahan kebakaran hutan di hutan Acacia mangium karena dapat digunakan untuk mengurangi bahan bakar. Pembakaran terkendali dapat mengurangi bahaya karhutla dan mengurangi risiko bencana asap.

Kebijakan penerapan zero burning merupakan respon terhadap kebakaran besar tahun 1997/1998. Zero burning didefinisikan sebagai teknik pembersihan lahan dengan membiarkan sisa vegetasi terdekomposisi di dalam lokasi lahan (in- situ) pembersihan tanpa perlakuan pembakaran. Kebijakan pemberlakuan teknik ini disepakati oleh Menteri Lingkungan Hidup se-ASEAN pada pertemuan yang

membahas penanggulangan bencana asap pada Bulan April tahun 1999 (ASEAN 2003). Penerapan kebijakan ini dilakukan untuk usaha perkebunan, kehutanan serta sektor lainnya pada sektor usaha komersil, sedangkan untuk masyarakat kecil kemungkinan penggunaan teknik ini sulit dilakukan karena keterbatasan peralatan dan anggaran. Zero burning dilakukan dengan memanfaatkan teknologi mekanis serta perlakuan lainnya yang menggunakan obat–obatan.

2.4. Sikap dan perilaku manusia

Sikap dalam psikologi sosial seringkali dikaitkan dengan proses terjadinya perilaku. Pengertian mengenai sikap sendiri terus berkembang mulai dari penekanan terhadap pentingnya proses belajar (aspek kognitif) dari masa lalu, motivasi dan emosional masa sekarang, serta teori tiga komponen sikap (kognitif, afektif dan perilaku (Sears et al. 2004). Azwar (1995) mengemukakan tiga kerangka pemikiran besar dari pengertian sikap yang dibangun mulai tahun 1928, meliputi kerangka pengertian pertama yang diwakili Louis Thorstone, Rensis Likert dan Charles Osgood yang memberikan pengertian bahwa sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Pengertian ini menjelaskan bahwa sikap merupakan hal yang mendukung atau memihak maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak. Pemikiran ke dua diwakili oleh Chave, Bogardus, LaPierre, Mead dan Allport yang memberikan pengertian tentang sikap yang lebih komplek yang merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara–cara tertentu. Pemikiran ketiga, melalui tokoh Secord dan Backman, yang berorientasi kepada skema triadik (triadic scheme) yang memberikan pengertian bahwa sikap merupakan konstelasi komponen kognitif, afektif dan konatif yang saling berinteraksi dalam memahami, merasakan dan berperilaku terhadap suatu objek. Hal senada disampaikan Walgito (2003) yang menyimpulkan tentang pengertian sikap sebagai organisasi pendapat, keyakinan seseorang mengenai objek atau situasi yang relatif ajeg, yang disertai adanya perasaan tertentu, dan memberikan dasar kepada orang tersebut untuk membuat respon dan berperilaku dalam cara tertentu yang dipilihnya. Beberapa pengertian tersebut, menjadi dasar berpikir dalam penelitian ini bahwa sikap dibangun dari tiga komponen yaitu kognitif, afektif dan konatif.

III.

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan waktu penelitian

Untuk menjawab tujuan penelitian ini maka desa yang dipilih sebagai lokasi penelitian harus memenuhi kriteria berikut :

a. Desa yang berada dalam Kabupaten Batanghari dan Tanjung Jabung Barat yang merupakan wilayah Daerah Operasi Manggala Agni Muara Bulian Jambi;

b. Desa yang mempunyai sejarah kebakaran hutan dan lahan;

c. Desa yang mempunyai perkebunan yang dimiliki dan dikelola oleh masyarakat;

d. Desa yang mempunyai komposisi masyarakat lokal dan pendatang; e. Desa yang berada di sekitar kawasan konservasi.

Berdasarkan kriteria tersebut maka ditetapkan enam desa yang menjadi lokasi penelitian (Tabel 2). Penelitian dilaksanakan selama enam bulan, mulai dari bulan Februari sampai Juli 2012.

Tabel 2 Dasar penentuan lokasi dan Lokasi desa penelitian

No Dasar penentuan Lokasi

1. Lokasi kejadian kebakaran 2009–2011, lokasi

adanya perkebunan masyarakat, informasi

keberadaan masyarakat pendatang dan

masyarakat lokal, kemudahan akses

Desa Serdang Jaya, Kecamatan Betara, Kabupaten Tanjung Jabung Barat

2. Lokasi kejadian kebakaran 2009–2011, lokasi

adanya perkebunan masyarakat, informasi

keberadaan masyarakat pendatang dan

masyarakat lokal, kemudahan akses

Desa Pematang Lumut, Kecamatan Betara, Kabupaten Tanjung Jabung Barat

3. Keberadaan perkebunan masyarakat, keberadaan

masyarakat pendatang (transmigran), lokasi keberadaan Kawasan Konservasi (CA Durian Luncuk) yang merupakan tupoksi pengamanan Manggala Agni

Desa Jangga Baru, Kecamatan Batin XXIV, Kabupaten Batanghari

4. Keberadaan masyarakat lokal tradisional Suku

Anak Dalam (SAD), keberadaan perkebunan masyarakat, lokasi Kawasan Konservasi berupa Taman Hutan Raya (Tahura) Senami

Desa Jebak, Kecamatan Muara Tembesi, Kabupaten Batanghari

5. Keberadaan perkebunan masyarakat, informasi

keberadaan masyarakat lokal dan pendatang, lokasi yang dekat dengan Kantor Seksi II BKSDA Jambi

Desa Bajubang Laut dan Sungai Baung, Kecamatan Muara Bulian, Kabupaten Batanghari

3.2 Bahan dan alat

Alat–alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : alat perekam suara, alat tulis, dan kamera. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah panduan wawancara dan peta rawan kebakaran.

3.3 Data yang diperlukan

Kebutuhan data penelitian ini disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3 Kebutuhan data serta metode pengambilan data

No Tujuan Parameter Variabel yang akan diukur

Sumber Metode 1. Membandingkan

praktek–praktek penyiapan lahan dengan membakar oleh kelompok masyarakat  Aturan adat  Aturan desa  Tahapan penyiapan lahan  Ritual  Pelaku  Sanksi  Pemilihan waktu pembakaran  Bahan bakar Pekebun, tokoh desa, perangkat desa, Kepala Daops Manggala Agni, LSM Wawancara, dan studi literatur

2. Menentukan sikap dan perilaku kelompok masyarakat terhadap praktek penyiapan lahan dengan membakar

 Sikap  Sikap terhadap pelaksanaan praktek  Sikap terhadap timbulnya dampak negatif akibat pembakaran  Sikap terhadap peraturan terkait dalkarhutla Responden dari kelompok pekebun lokal dan pendatang Wawancara dengan quisioner menggunakan pernyataan yang dapat diskoring dengan metode Likert  Perilaku  Perilaku mempersiapkan lahan Responden dari kelompok pekebun lokal dan pendatang Wawancara dan observasi lapangan 3. Menentukan faktor yang mempengaruhi timbulnya sikap dan perilaku tersebut 1. Fisiologis  Umur  Suku Responden dari kelompok pekebun lokal dan pendatang Wawancara, Observasi lapangan 2. Ekonomi  Pendapatan  Jumlah tanggungan  Jenis komoditas  Luas lahan Responden dari kelompok pekebun lokal dan pendatang Wawancara, Observasi lapangan 3. Pengetahu an  Tingkat pendidikan  Sumber media informasi Responden dari kelompok pekebun lokal dan pendatang Wawancara, Observasi lapangan

3.4 Metode penentuan unit contoh

Responden dalam penelitian ini adalah pekebun dari beberapa kelompok masyarakat yang dipilih dengan menggunakan metode convenience sampling

yaitu dengan melakukan wawancara pada setiap masyarakat pekebun yang ditemui di lokasi desa yang telah ditetapkan. Perlakuan tersebut dilakukan karena adanya informasi awal bahwa hampir semua penduduk di lokasi mempunyai kebun yang diolah, sehingga kemungkinan perjumpaan dengan masyarakat pekebun sangat besar. Penentuan responden yang dilakukan melalui penelusuran di kebun-kebun garapan serta rumah–rumah penduduk, mendapatkan responden sebanyak 35 orang. Kelompok masyarakat pekebun yang diwawancarai terdiri dari :

Gambar 1 Diagram kelompok responden

Informan dalam penelitian ini sebanyak 25 orang berasal dari para pihak yang dianggap dapat memberikan informasi terkait dengan kejadian karhutla serta informasi mengenai masyarakat pekebun yang menjadi objek penelitian. Para pihak tersebut terdiri dari Balai KSDA Jambi (Kasubag Tata Usaha, Sekretaris Brigdalkar, Kepala Seksi Wilayah), Manggala Agni Daops Muara Bulian (Kepala Daops, Ketua Regu, anggota), Dinas Kehutanan Kabupaten (Kasie Perlindungan, staf lapangan), Dinas Perkebunan Kabupaten, LSM (aktivis Warsi, Walhi), Aparat kecamatan (Camat Betara) dan desa (Kepala Desa, Kaur), tokoh masyarakat, tokoh adat serta peneliti (mahasiswa, dosen, peneliti).

Melayu Masyarakat Masyarakat lokal Suku Anak Dalam Transmigran Non-Transmigran

Melayu Jawa Jawa Kelompok Masyarakat Pekebun

3.5 Metode pengumpulan data

Pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan beberapa metode, yaitu : studi literatur, wawancara dan observasi lapangan.

3.5.1 Studi literatur

Studi literatur dengan berbagai sumber pustaka baik dalam bentuk jurnal, buku dan media online. Studi literatur dilakukan untuk memperoleh informasi tentang sejarah kebakaran hutan dan lahan di Indonesia, penggunaan api oleh masyarakat di berbagai daerah baik di Indonesia maupun negara lain, perilaku api, dampak kebakaran hutan dan lahan serta teori–teori tentang sikap dan perilaku manusia. Studi literatur juga dilakukan dengan mengumpulkan dan menganalisa aturan perundangan yang terkait dengan pengendalian kebakaran hutan dan lahan.

3.5.2 Wawancara

Wawancara dengan responden dilakukan untuk memperoleh informasi praktek – praktek pembakaran yang dilakukan oleh masyarakat, pengukuran sikap dan faktor – faktor yang melatar belakangi terbentuknya sikap, dilakukan di kebun dan rumah masyarakat. Wawancara dengan informan dilakukan di kantor informan secara langsung, menggunakan email dan telepon. Wawancara dengan informan dilakukan untuk memperoleh informasi tentang kejadian karhutla di lokasi penelitian, kecenderungan sikap dan perilaku masyarakat terhadap karhutla dan informasi tentang masyarakat SAD.

3.5.2.1Wawancara Semi Terstruktur

Wawancara dilakukan dengan dibantu dengan panduan pertanyaan yang telah disusun dengan jawaban terbuka. Wawancara ini ditujukan untuk menggali sebanyak mungkin informasi praktek penyiapan lahan dengan pembakaran yang dilakukan oleh masyarakat. Panduan wawancara pada lampiran 1 dan 2, hanya digunakan untuk memberikan panduan tentang butir–butir pertanyaan yang dapat digunakan untuk menggali informasi yang dibutuhkan. Wawancara lebih banyak dilakukan hanya menggunakan alat perekam suara, hal ini dilakukan agar responden lebih nyaman dalam sesi wawancara sehingga informasi yang

didapatkan lebih banyak dan masyarakat lebih terbuka dalam memberikan informasi.

3.5.2.2Wawancara terstruktur

Wawancara dengan panduan yang disiapkan dengan pilihan jawaban. Metode wawancara ini dilakukan dalam pengukuran sikap. Pengukuran sikap menggunakan metode rating yang dijumlahkan atau pengukuran sikap model Likert. Walgito (2003) mengelompokkan pengukuran sikap model Likert ini pada metode pengukuran sikap secara langsung yang terstruktur. Metode ini dilakukan dengan wawancara menggunakan model pernyataan yang didesain agar jawaban– jawaban dari responden dapat diskalakan dan dibuat skor. Pernyataan yang dibuat adalah pernyataan yang sudah dipilih berdasarkan tujuan sehingga mampu mengungkapkan sikap (Azwar 1995). Kategori persetujuan dibagi menjadi lima kategori, yaitu Sangat tidak setuju (STS), Tidak Setuju (TS), Ragu-ragu (R), Setuju (S), dan Sangat Setuju (SS).

Sikap positif menunjukkan sikap setuju (S) dan sangat setuju (SS), sikap negatif menunjukkan tidak setuju (TS) dan sangat tidak setuju (STS), sedangkan sikap ragu menunjukkan sikap keragu–raguan (R). Desain perhitungan sikap memodifikasi model perhitungan yang dilakukan dalam penelitian Isa (1986) dengan menggunakan persentase.

% �� �� ��� ��� � � =� �ℎ + � �ℎ � �� ( ) � �ℎ ( ) 100% % �� �� ��� ��� � � =� �ℎ � + � �ℎ � �� � ( ) � �ℎ ( ) 100% % �� �� ��� ��� � =� �ℎ �� ( ) � �ℎ ( ) 100%

3.5.3 Observasi lapangan

Observasi dilakukan dengan cara berkunjung ke kebun dan rumah responden, tinggal di rumah masyarakat, dan mengikuti kegiatan patroli serta kegiatan penyuluhan yang dilakukan petugas BKSDA Jambi. Kunjungan ke kebun masyarakat memberikan informasi tentang komoditas, rata–rata luas kebun yang dimiliki serta bekas–bekas perlakuan pembakaran yang dilakukan masyarakat di kebun milik mereka. Kunjungan dan kesempatan tinggal di rumah masyarakat dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perekonomian masyarakat serta kehidupan keseharian masyarakat. Keikutsertaan pada kegiatan patroli dimaksudkan untuk melihat kebun masyarakat yang berbatasan langsung dengan wilayah cagar alam dan mengumpulkan informasi tentang kemungkinan timbulnya masalah terkait perluasan lahan masyarakat. Keikutsertaan dalam kegiatan penyuluhan dilakukan untuk melihat respon masyarakat terhadap kegiatan BKSDA Jambi.

3.5 Metode analisa data

Analisa data yang dilakukan meliputi analisa praktek pembakaran, analisa penilaian sikap dilengkapi dengan uji validitas dan realibilitas data, dan content analysis terhadap peraturan formal terkait karhutla. Analisa praktek pembakaran dan penilaian sikap dilakukan dari hasil wawancara, sedangkan content analysis

peraturan perundangan dilakukan setelah pengumpulan perundangan dari berbagai sumber literatur.

3.5.1 Analisa praktek pembakaran

Analisa yang dilakukan dalam menganalisa praktek penyiapan lahan dengan membakar adalah analisa deskriptif dengan menerangkan langkah–langkah, aturan yang ada serta tinjauan ilmiah dari praktek–praktek tersebut. Analisa ini juga diharapkan dapat menjawab apakah ada perbedaan tata cara yang dilakukan oleh masyarakat lokal dan pendatang dalam pembakaran lahan. Pembahasan dilakukan juga dengan membandingkan beberapa praktek–praktek penyiapan lahan dengan membakar yang ada di tempat lain sebagai pengayaan. Informasi yang didapatkan dari tokoh desa, perangkat desa dan Manggala Agni dijadikan bahan pembahasan

tentang ada tidaknya aturan desa, norma adat serta dilakukan crosscheck dengan laporan kejadian kebakaran dari Manggala Agni.

3.5.2 Analisa pengukuran sikap

Pengukuran sikap diolah dari hasil skoring jawaban hasil wawancara. Pada skala Likert makin tinggi skor yang diperoleh seseorang menjadi indikasi bahwa orang tersebut sikapnya makin positif (pro) terhadap objek sikap demikian juga sebaliknya (Walgito 2003). Hasil pengukuran dituangkan dalam tabel dan dideskripsikan. Identifikasi faktor–faktor yang melatarbelakangi pemilihan sikap dianalisis secara deskriptif dari hasil wawancara dengan responden, observasi lapangan dan wawancara para pihak.

Uji validitas dan reliabilitas digunakan untuk melihat dan membuktikan data yang didapatkan tepat dan memiliki keterpercayaan tinggi.

(a) Validitas data diuji dengan menghitung korelasi skor setiap item intsrumen dengan total skor yang didapatkan. Item yang valid harus memenuhi kriteria

nilai korelasinya “positif” dan “lebih besar atau sama dengan nilai r tabel”. Uji

validitas menggunakan program Microsoft Office Excel 2007. Hasil uji validitas disajikan dalam lampiran 4.

(b) Reliabilitas data ditunjukkan dengan nilai koefisien reliabilitas. Pendekatan yang dilakukan menggunakan pendekatan konsistensi internal dengan formula Spearman-brown dan Alpha-cronbach (Azwar 1995).

Formula Spearman–brown digunakan untuk item pernyataan dengan jumlah yang dapat dibelah dua (ganjil–genap) secara seimbang, sedangkan untuk item yang tidak dapat dibelah secara seimbang digunakan formula Alpa- cronbach. Formula Spearman-brown : rxx = 2 (r 1 2) 1+r 1 2 rxx : koefisien reliabilitas

Formula Alpha-cronbach :

α =

−1(1-

� 2 2 )

α : koefisien reliabilitas Alpha-cronbach k : banyaknya item pernyataan

s2j : varian skor pernyataan

s2x : varian skor total

Perhitungan dalam uji reliabilitas menggunakan program Microsoft Office Excel 2007 dengan menguji reliabilitas tiga sikap yang diukur. Hasil uji ini menunjukkan bahwa ketiga sikap sudah reliable (r xx ≥ 0,6) yang berarti data

tersebut dapat dipercaya. Sikap 1 (sikap masyarakat tentang praktek penyiapan lahan dengan membakar) mempuyai nilai koefisien reliabilitas sebesar 0.836, sikap 2 (sikap masyarakat terhadap munculnya dampak negatif dari praktek penyiapan lahan dengan membakar) mempunyai nilai koefisien reliabilitas sebesar 0.872, dan sikap 3 (sikap masyarakat terhadap aturan terkait pengendalian kebakaran hutan dan lahan) mempunyai nilai koefisien reliabilitas sebesar 0.629, hasil perhitungan dalam lampiran 4.

3.5.3 Content analysis

Content analysis digunakan untuk menganalisa dokumen tertulis seperti laporan, surat, transkrip wawancara dan bentuk tertulis lainnya (Handerson 1991 dan Krippendorff 1980, diacu dalam Pratiwi 2008). Dalam metode ini, analisa dilakukan untuk mendapatkan pesan dari dokumen yang diteliti. Dokumen berupa peraturan perundangan formal yang dianalisis meliputi undang–undang dan peraturan pemerintah yang saat ini berlaku. Undang–undang dan peraturan pemerintah tersebut merupakan aturan formal yang berkaitan dengan karhutla. Walupun tidak secara khusus mengatur tentang karhutla, namun aturan–aturan tersebut sangat berhubungan dengan kejadian kebakaran yang terjadi di hutan maupun di lahan serta timbulnya pencemaran lingkungan akibat kejadian karhutla.

Content analysis yang dilakukan bertujuan untuk melihat sejauh mana peraturan perundangan memberikan aturan terkait kebakaran hutan dan lahan dan seberapa besar kaitannya dengan masyarakat terutama peluang bagi masyarakat untuk melakukan pembakaran terkendali. Kalimat yang ada dalam aturan–aturan

baik dalam pasal isi maupun penjelasan terkait dengan karhutla dikumpulkan dalam tabel, diteliti dan dideskripsikan sesuai tujuan.

IV.

KONDISI UMUM LOKASI

Wilayah kerja Daops Manggala Agni Muara Bulian dalam tugas pokok dan fungsinya terdiri dari tiga wilayah kawasan konservasi yaitu Cagar Alam Durian Luncuk II seluas 41.37 Ha, Taman Hutan Raya (Tahura) Senami seluas 5 000 Ha serta sebagian wilayah Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD) di wilayah Kabupaten Batanghari. Namun demikian, dalam struktur kerja Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Provinsi Jambi, wilayah kerja tersebut ditambah dengan kawasan di luar kawasan konservasi yang meliputi dua kabupaten yaitu Kabupaten Batanghari dan Kabupaten Tanjung Jabung Barat.

Gambar 2 Peta administratif Provinsi Jambi (sumber: Bappeda Jambi 2012)

4.1. Kabupaten Batanghari

Kabupaten Batanghari terletak antara 1°15ˈ LS dan 2°2ˈ LS, antara 102° 30ˈ

BT dan 104°30ˈ BT. Kabupaten ini terdiri dari 8 kecamatan, 13 kelurahan dan 100 desa, dengan luas wilayah 5 800 m2. Batas wilayah kabupaten sebagai berikut :

Utara : Kabupaten Tebo dan Kabupaten Muaro Jambi

Timur : Kabupaten Muaro Jambi

Selatan : Provinsi Sumatera Selatan, Kabupaten Sarolangun dan Kabupaten Muaro Jambi

Barat : Kabupaten Tebo

Kawasan terluas berada pada dataran rendah dengan ketinggian 11–100 dpl (92.67%). Suhu rata – rata harian pada tahun 2009 antara 25.7°–27.2 º C dengan suhu paling tinggi pada bulan Juli setinggi 32.9 ºC. Curah hujan untuk tahun