V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.2. Praktek – praktek pembakaran dalam penyiapan lahan
5.2.2. Teknik – teknik pelaksanaan pembakaran
Pembakaran merupakan salah satu tahapan penting dalam penyiapan lahan
yang biasanya disebut dengan istilah “merun” yaitu proses pembersihan lahan
mulai dari merobohkan, membersihkan belukar, mencincang dan membakar. Istilah ini sudah umum di masyarakat Jambi dan dimengerti baik oleh masyarakat lokal maupun pendatang. Masyarakat melakukan pembakaran dengan menggunakan teknik–teknik dalam pemilihan waktu serta tata urutan pembakaran. 5.2.2.1. Penentuan waktu
Pemilihan waktu dalam melakukan pembakaran sangat menentukan keberhasilan dalam penyiapan lahan. Waktu yang dipilih, terkait dengan pemilihan musim membakar serta waktu harian yang digunakan dalam melaksanakan pembakaran.
Pemilihan musim
Pembakaran pada umumnya mulai dilakukan pada bulan kering sebelum penghujan yaitu pada bulan Agustus sampai Oktober dengan pertimbangan bahan bakar lebih cepat kering karena panas matahari yang optimal. Musim pembakaran yang sama juga terjadi di beberapa daerah lain di Indonesia seperti di Kalimantan Barat, Bengkulu, Sumatera Selatan (Syaufina 2008). Suku Aborigin di Australia memulai pembakaran pada awal musim kering dan menghentikannya pada akhir musim kering pada saat bertiup angin dengan gelombang panas dengan pertimbangan besarnya risiko terjadinya kebakaran (Smith et al. 2009).
Beberapa tahun terakhir, ternyata mulainya musim pembakaran bergeser lebih awal, hal ini terkait dengan tidak menentunya musim kemarau dan musim penghujan. Pada saat observasi lapangan, kegiatan pembakaran sudah dilakukan pada bulan April. Data curah hujan untuk wilayah Jambi, selama tiga tahun terakhir memperlihatkan adanya hujan di setiap bulan dengan rata–rata hari hujan diatas 15 hari/bulan, yang menyulitkan untuk penentuan musim kemarau dan penghujan. Masyarakat memanfaatkan hari tanpa hujan untuk mengeringkan
bahan bakar dan mulai membakar. Pada saat terjadi tiga hari tidak turun hujan, maka masyarakat menganggap bahan bakar cukup kering dan dapat dibakar.
Pengamatan titik panas (hotspot) sebagai salah satu alat untuk memprediksi kejadian kebakaran hutan dan lahan untuk tiga tahun terakhir (2009–2011) (Gambar 7 dan 8) memperlihatkan bahwa sepanjang tahun muncul titik panas walaupun dengan intensitas berbeda (Dit. PKH 2012). Hal ini menunjukkan adanya kemungkinan terjadi pembakaran dalam penyiapan lahan sepanjang tahun.
Gambar 7 Distribusi titik panas tahun 2009 – 2011 Kabupaten Batanghari (sumber: Dit. PKH 2012)
Pada Gambar 7 dapat dilihat bahwa kecenderungan peningkatan titik panas terjadi mulai bulan Juni dan mencapai puncak pada bulan Agustus, namun demikian dapat dilihat juga bahwa titik panas sudah mulai muncul pada bulan Januari sampai Desember yang mengindikasikan kemungkinan adanya praktek penyiapan lahan dengan membakar sepanjang tahun.
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des
2009 0 0 2 3 3 21 22 26 5 7 0 1 2010 1 0 5 0 6 1 7 4 9 7 0 11 2011 3 6 7 7 9 8 12 49 39 4 0 7 Ju m lah h o tsp o t
Gambar 8 Distribusi titik panas tahun 2009 – 2011 Kabupaten Tanjung Jabung Barat (sumber : Dit PKH 2012)
Gambar 8 memperlihatkan kecenderungan yang hampir sama untuk wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Barat walaupun terlihat titik panas meningkat mulai pada bulan Juli namun titik panas sudah mulai ada pada bulan Januari sampai dengan Desember. Pada periode bulan Juli–Oktober, menurut hasil pengamatan cuaca di Stasiun Sulthan Thaha Jambi, memperlihatkan bahwa curah hujan untuk tahun 2009–2011 mulai dari 58 mm sampai 325 mm dengan kejadian hujan di setiap bulan (sumber data: Stasiun Klimatologi Sulthan Thaha Jambi 2012). Hal ini menunjukkan bahwa, masyarakat beradaptasi dengan iklim, dengan memanfaatkan hari tanpa hujan untuk melakukan pembakaran dan tidak terlalu kaku dalam penentuan bulan mulai membakar.
Pemilihan waktu harian
Masyarakat yang melakukan pemilihan hari secara tradisional untuk pembakaran adalah masyarakat SAD di Desa Jebak dan masyarakat pendatang Melayu di Desa Jangga Baru. Perhitungan hari berdasarkan fenomena alam tersebut disebut sebagai hari angin, api, air, tanah dan gajah. Pemilihan hari, pertimbangan dan penjelasannya, disajikan dalam Tabel 4.
0 10 20 30 40 50 60 70 80
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des
2009 0 0 2 3 4 4 22 72 10 0 1 0 2010 3 3 1 2 6 2 5 4 8 7 1 2 2011 1 5 1 2 4 3 7 36 34 2 0 3 Ju m lah h o tsp o t
Tabel 4 Pemilihan hari dalam pembakaran
No Nama hari Pertimbangan Masyarakat Penjelasan ilmiah
1. Hari api Dipilih karena panas optimal, bahan bakar lebih kering, angin bertiup kencang, api lebih cepat besar dan cepat menyebar sehingga pekerjaan lebih cepat selesai
Penjalaran api cepat, nyala lebih panjang, memerlukan penjagaan lebih untuk mengurangi risiko api loncat
2. Hari angin Tidak dipilih karena faktor keamanan, angin besar, tidak aman terhadap pembakar maupun rawan api meloncat ke arah kebun tetangga
Zona nyala api lebar karena angin, kemungkinan terjadi api loncat besar
3. Hari air Tidak dipilih karena adanya hujan dan angin sehingga api tidak dapat membakar bahan bakar
Api tidak bisa menyala karena bahan bakar basah, apabila dipaksakan akan menimbulkan asap yang tebal
4. Hari gajah Dipilih karena faktor keamanan, angin bertiup agak kencang, api tidak terlalu besar
Penjalaran api lebih mudah dikendalikan sehingga lebih aman 5. Hari tanah Tidak dipilih karena api tidak akan
menyebar, bahan bakar basah, mendung
Kelembaban tinggi, api tidak dapat menyala optimal sehingga dapat menimbulkan asap yang berbahaya
Saat ini, masyarakat SAD mempunyai pemilihan hari yang berbeda, dengan pertimbangan masing – masing. Masyarakat SAD dari generasi tua dan muda memberikan keterangan yang berbeda dalam menyebutkan urutan hari. Perbedaan pernyataan ini mengindikasikan terjadinya pemahaman yang berbeda atau kemungkinan juga pemahaman lintas generasi yang mulai hilang. Di sisi lain, perbedaan pemilihan hari menyebabkan pembakaran tidak dilakukan serentak sehingga meburangi peluang terjadinya kebakaran hutan dan lahan serta bencana asap dalam skala besar akan semakin berkurang.
Masyarakat Melayu di Desa Jangga Baru yang mengetahui, memahami perhitungan hari tersebut dan menerapkannya, berasal dari generasi tua (generasi transmigran awal). Terkait dengan budaya perhitungan hari secara tradisional, pertukaran informasi dan adopsi antara masyarakat Melayu dengan SAD sangat mungkin terjadi.
Pemilihan waktu harian dalam pembakaran dilakukan dengan beberapa pertimbangan (Tabel 5) :
Tabel 5 Pilihan waktu harian dalam pembakaran
No Pilihan waktu Pertimbangan Penjelasan
1. Jam 12.00 – 15.00 Api cepat membesar dan menyebar sehingga pekerjaan lebih cepat selesai. Bahan bakar yang kering mengurangi asap
Penyinaran matahari maksimal, suhu meningkat, kelembaban menurun, kadar air bahan bakar menurun 2. Jam 15.00 – 18.00 Keamanan karena api lebih mudah dikontrol angin tidak terlalu besar
sehingga api, suhu tidak terlalu panas
Tabel 5 Lanjutan
No Pilihan waktu Pertimbangan Penjelasan
3. Pagi hari (dibawah jam 10.00)
Tidak dipilih karena bahan bakar masih basah karena terkena embun, sulit menyalakan dan menimbulkan asap
Kelembaban tinggi, kadar air bahan bakar tinggi
4. Malam hari Pernah dipilih karena faktor keamanan dari patroli petugas, tidak dipilih lagi karena tidak aman dari serangan satwa liar dan api lebih mudah dideteksi petugas di pos jaga karena nyala api terlihat dari jarak jauh
Biasanya patroli tidak dilakukan pada malam hari
Fakta menunjukkan bahwa saat ini masyarakat lebih fleksibel dalam pemilihan waktu baik bulan, hari maupun jam. Tabel 5 menunjukkan bahwa pemilihan waktu pembakaran ditetapkan berdasarkan kondisi pada saat bahan bakar sudah dianggap kering, tidak ada hujan dalam beberapa hari terakhir dan dianggap aman dari patroli.