• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.5. Kebijakan terkait kebakaran hutan dan lahan

Kejadian kebakaran hutan dan lahan dalam skala besar pada tahun 1997/1998 mendapatkan banyak tanggapan berupa kebijakan baik dalam negeri maupun tingkat regional. Pada tingkat regional, pertemuan–pertemuan Menteri bidang Lingkungan Hidup di negara ASEAN, melahirkan perjanjian–perjanjian serta prosedur pelaksanaan (guidelines) terkait dengan penanggulangan bencana asap dan kebakaran hutan dan lahan. Perjanjian antara negara–negara ASEAN tentang penanggulangan bencana asap dituangkan dalam The ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution yang ditandatangani tanggal 10 Juni 2002, dalam perjanjian tersebut memberikan mandat kepada setiap negara untuk melakukan aksi dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan serta bencana asap dengan membentuk satuan tugas. Walaupun sampai saat ini pemerintah Indonesia belum meratifikasi perjanjian tersebut, namun beberapa pasal yang dimandatkan dalam perjanjian tersebut sudah dilaksanakan di Indonesia, misalnya tentang peningkatan upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan serta pembentukan satuan tugas.

Salah satu prosedur pelaksanaan yang disusun adalah Guideline for The Implementation of The ASEAN Policy on Zero Burning yang dikeluarkan tahun 2003. Dalam dokumen ini, dapat dilihat bahwa zero burning diwajibkan untuk perusahaan perkebunan dan kehutanan komersil, sedangkan pelaksanaannya untuk masyarakat pekebun kemungkinan besar tidak dapat dilakukan karena keterbatasan biaya dan teknologi. Untuk masyarakat pekebun skala rumah tangga, petani dan peladang berpindah disusun juga pedoman pelaksanaan untuk pembakaran terkendali dalam Guideline for The Implementation of The ASEAN Policy on Controlled Burning Practices. Dokumen ini disusun berdasarkan

penelitian dari beberapa praktek pembakaran terkendali yang dilakukan oleh masyarakat di Sumatera dan Kalimantan (ASEAN 2003). Kenyataan bahwa masih banyak masyarakat tradisional yang melakukan pembakaran terkendali dalam penyiapan lahan baik untuk pertanian maupun perkebunan, mendasari pembuatan pedoman tersebut di negara-negara ASEAN. Hal ini memperlihatkan pengakuan terhadap praktek pembakaran terkendali yang dilakukan oleh masyarakat yang didasari dengan pertimbangan-pertimbangan kearifan lokal.

Kebijakan pemerintah dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan diwujudkan juga dalam kerjasama dengan beberapa negara, misalnya Jepang (melalui JICA), Jerman (GTZ), Korea Selatan, Amerika, Kanada, Australia dan negara Uni Eropa (SSFFMP). Kerjasama tersebut dilakukan dalam bidang pendidikan, pelatihan, bantuan peralatan, bantuan teknik dan penelitian. Dari kerjasama tersebut, sudah banyak memberikan kontribusi terhadap upaya pengendalian karhutla, salah satunya dalam hal monitoring dini karhutla melalui teknologi satelit. Teknologi ini sangat bermanfaat untuk upaya monitoring, pencegahan dan penegakan hukum.

Kebijakan pemerintah dalam format peraturan berupa undang – undang dan peraturan pemerintah yang terkait dengan kebakaran hutan dan lahan antara lain: Undang–Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang–Undang No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan, Undang–Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan Pemerintah No. 4 tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan, dan Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan. Hasil analisis disajikan dalam Tabel 7.

Tabel 7. Content analysis perundangan

No Peraturan perundangan Intepretasi mandat Undang - undang

1 UU No 41 Tahun 1999

tentang kehutanan

Larangan pembakaran hutan diberlakukan kepada badan usaha maupun perseorangan (pasal 50). Pembakaran hutan secara terbatas diperkenankan hanya untuk tujuan khusus atau kondisi yang tidak dapat dielakkan, antara lain pengendalian kebakaran hutan, pembasmian hama dan penyakit, serta pembinaan habitat tumbuhan dan satwa. Pelaksanaan pembakaran secara terbatas tersebut harus mendapat izin dari pejabat yang berwenang. Sanksi diberlakukan kepada pihak yang membakar baik sengaja maupun tidak sengaja/kelalaian (pasal 78)

2 UU No 18 Tahun 2004

tentang Perkebunan

Undang - undang ini menyatakan bahwa setiap pelaku usaha perkebunan baik pekebun maupun perusahaan perkebunan dilarang melakukan pembakaran dalam penyiapan lahan (pasal 26), bagi pelanggar dikenakan sanksi berupa pidana dan denda (pasal 48)

3 UU No 32 tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Pasal 69 menyebutkan bahwa setiap orang dilarang melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar, namun demikian masih ada ruang untuk masyarakat dengan kearifan lokal untuk melakukan pembakaran. Dalam penjelasan disebutkan bahwa kearifan lokal yang dimaksud adalah pembakaran maksimal 2 hektar per kepala keluarga, ditanami varietas lokal dan harus dilakukan sekat bakar.

Peraturan pemerintah

1 PP. No. 4 tahun 2001 Tentang

Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau lahan

Pasal 11 menyatakan bahwa setiap orang dilarang membakar hutan dan lahan. Pembakaran dapat digunakan untuk tujuan khusus dan kondisi yang tidak dapat dielakkan antara lain :

pengendalian karhut, pembasmian hama

penyakit,pembinaan habitat. Pelaksanaan harus

mendapatkan ijin dari pejabat berwenang. Dalam PP ini memberikan mandat tentang pengendalian kebakaran hutan dan lahan di setiap jenjang pemerintahan, badan usaha dan perorangan.

2 PP. No. 45 tahun 2004

tentang Perlindungan Hutan

Pasal 19 memberikan penguatan terhadap UU No. 41 tahun 1999 tentang pengecualian penggunaan pembakaran dengan kondisi tertentu dan ijin dari pihak berwenang

Undang–undang kehutanan dan perkebunan dengan tegas melarang melakukan pembakaran baik di hutan maupun di lahan perkebunan. Pembakaran dianggap sebagai ancaman terhadap kelestarian hutan dan fungsinya serta gangguan terhadap lingkungan. Kearifan lokal yang dimaksud dalam UU No. 32 tahun 2009 menjadi rancu karena di lokasi penelitian, masyarakat menanam komoditas kopi, karet dan sawit yang bukan varietas lokal, walaupun lahan yang

dibuka biasanya kurang dari 2 Ha dan membuat sekat bakar. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 10 tahun 2010 tentang Mekanisme Pencegahan Pencemaran dan atau Kerusakan Lingkungan Hidup yang berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan memberikan arahan untuk masyarakat hukum

adat yang menggunakan pembakaran dalam penyiapan lahan agar

memberitahukan kegiatannya kepada Kepala Desa dan melakukan pengendalian dengan cara melakukan pembakaran tidak pada musim kemarau yang panjang serta dengan luasan di bawah 2 Ha untuk setiap kepala keluarga.

Peraturan Pemerintah No.4 tahun 2001 dalam penjelasannya memberikan mandat kepada pemerintah daerah untuk melakukan pencegahan terhadap kebakaran hutan dan lahan yang diakibatkan oleh kebiasaan masyarakat adat atau tradisional yang membuka lahan dengan membakar. Berdasarkan peraturan ini, maka beberapa gubernur menyusun peraturan gubernur tentang pedoman pembukaan lahan bagi masyarakat, seperti yang dilakukan Gubernur Kalimantan Tengah melalui Pergub No.52 tahun 2008. Peraturan tersebut tetap memperhatikan pengendalian dengan batasan luasan, pengaturan jam, perizinan dan pengawasan. Peraturan tersebut juga hanya diberlakukan pada kondisi iklim yang memungkinkan (normal) tidak pada kondisi kemarau panjang. Provinsi Riau pernah merancang aturan serupa namun karena banyak pihak yang menentang, rancangan aturan tersebut batal demi hukum. Provinsi Jambi sampai saat ini belum pernah merancang aturan serupa untuk memberikan legalisasi kegiatan pembakaran oleh masyarakat dengan persyaratan–persyaratan tertentu yang memungkinkan pelaksanaan pengendalian karhutla.

Peraturan perundangan yang berlaku terkait dengan karhutla lebih banyak menyebutkan tentang larangan membakar beserta sanksi yang dikenakan bagi pelaku pembakaran. Pembakaran terbatas hanya dilakukan pada kondisi yang mendesak terutama untuk keperluan manajemen kawasan. Masyarakat yang masih diperbolehkan melakukan pembakaran adalah masyarakat adat dengan kearifan lokal dengan pengawasan dan perijinan yang ketat. Peran pemerintahan desa sebagai struktur pemerintahan terendah sangat diperlukan untuk melakukan pengawasan terhadap kegiatan pembakaran yang dilakukan oleh masyarakat. Namun demikian, aturan yang ada secara implisit menyatakan bahwa pembakaran

dalam penyiapan lahan harus dihindari dan menuntut agar segera diciptakan teknologi penyiapan lahan yang lebih efisien, efektif dan ekonomis yang dapat dilakukan oleh masyarakat agar tidak lagi melakukan pembakaran dalam penyiapan lahan.

VI.

KESIMPULAN

1. Perbedaan praktek pembakaran dalam penyiapan lahan oleh masyarakat adalah pada kegiatan ritual yang dilakukan sebelum pembakaran, perhitungan waktu yang ditentukan secara tradisional, serta tata urutan pembakaran. Pilihan teknik dilatarbelakangi oleh pilihan yang lebih efisien, efektif, ekonomis serta faktor keamanan.

2. Mayoritas masyarakat baik lokal/tradisional maupun pendatang setuju terhadap praktek pembakaran dan terhadap munculnya dampak negatif akibat pembakaran. Mayoritas masyarakat menyatakan sikap setuju terhadap aturan pengendalian kebakaran hutan dan lahan.

3. Faktor yang melatar belakangi munculnya sikap setuju terhadap pembakaran dan perilaku membakar dalam penyiapan lahan antara lain kepercayaan bahwa membakar dapat menyuburkan tanah serta lebih murah. Pilihan untuk tidak membakar dilatarbelakangi perasaan takut terhadap sanksi hukum, perasaan segan terhadap petugas, serta munculnya pengetahuan bahwa membakar dapat mengurangi kesuburan tanah di masa datang.

VII.

SARAN

1. Perlunya meningkatkan akses terhadap informasi terutama pada dampak kebakaran dan teknologi alternatif.

2. Kajian terhadap dampak pembakaran terutama terhadap kesuburan tanah sangat diperlukan untuk memberikan informasi yang benar kepada masyarakat.

3. Kajian lanjut diperlukan untuk merancang peraturan pelaksanaan penyiapan lahan dengan pembakaran oleh masyarakat di tingkat desa dengan persyaratan tertentu selama belum ditemukan teknologi alternatif bagi masyarakat dalam penyiapan lahan selain dengan membakar.

4. Adanya pengaruh pendekatan Manggala Agni dan petugas BKSDA Jambi terhadap sikap dan perilaku masyarakat perlu diarahkan agar sikap dan perilaku masyarakat lebih mengarah kepada pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Untuk menunjang hal tersebut, disarankan untuk meningkatkan frekuensi pendekatan sosial secara formal melalui kegiatan pembentukan dan

pembinaan MPA dan penyuluhan, serta pendekatan informal melalui kunjungan ke masyarakat.

5. Pembekalan pengetahuan mengenai komunikasi massa perlu ditambahkan kepada anggota Manggala Agni untuk menunjang kegiatan pendekatan sosial terhadap masyarakat.

6. Peningkatan porsi anggaran untuk pencegahan karhutla sangat diperlukan agar kegiatan pengendalian karhutla lebih berhasil.

7. Pengawalan kebijakan terkait dengan perizinan alih fungsi lahan dan pembangunan perekonomian oleh para pihak sangat diperlukan agar pembangunan yang berlangsung tidak berdampak negatif terhadap konservasi.

8. Kerjasama di semua sektor antar instansi pemerintah, swasta, masyarakat, LSM, peneliti dan pihak penegak hukum perlu terus ditingkatkan untuk pengendalian kebakaran hutan dan lahan yang lebih optimal.