• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.3. Sikap dan perilaku masyarakat terkait dengan kebakaran hutan dan lahan

5.3.1. Sikap masyarakat terkait dengan kebakaran hutan dan lahan

Sikap masyarakat yang diukur meliputi sikap terhadap praktek penyiapan lahan dengan membakar, dampak negatif terkait dengan praktek tersebut serta aturan–aturan yang terkait dengan pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Sikap positif terhadap praktek pembakaran diartikan sebagai sikap yang setuju terhadap praktek penyiapan lahan dengan membakar begitu juga sebaliknya dengan sikap negatif. Sikap positif terhadap munculnya dampak negatif akibat pembakaran

: pembakaran

: tumpukan bahan bakar : sekat bakar

diartikan sebagai sikap yang setuju bahwa pembakaran dapat menimbulkan dampak negatif terhadap ekologi, kesehatan dan ekonomi. Sikap positif terhadap aturan terkait pengendalian karhutla diartikan sebagai sikap yang mendukung adanya aturan–aturan tersebut. Hasil pengukuran disajikan dalam Tabel 6.

Tabel 6 Sikap kelompok masyarakat pekebun

Sikap

Kelompok masyarakat

Lokal Pendatang

Transmigran Non- transmigran

SAD Melayu Jawa Melayu Jawa -

Sunda Banjar

Sikap terhadap praktek penyiapan lahan dengan membakar

Positif 85.7 100 69.4 80.9 87.3 67.8

Ragu 14.3 0 18.4 19.1 6.35 23.2

Negatif 0 0 12,2 0 6.35 8.9

Sikap terhadap timbulnya dampak negatif akibat pembakaran

Positif 29.2 66.7 76.2 44.5 66.7 58.3

Ragu 45.8 20.8 4.8 33.3 13 20.8

Negatif 25 12.5 19 22.2 20.3 20.8

Sikap terhadap aturan terkait pengendlian karhutla

Positif 37.5 50 61.1 50 59.2 43.7

Ragu 45.8 37.5 27 16.7 24.1 37.5

Negatif 16.7 12.5 11.9 33.3 16.7 18.8

Mayoritas masyarakat baik lokal maupun pendatang, menyatakan sikap positif terhadap praktek pembakaran dalam penyiapan lahan. Namun demikian terdapat keragu – raguan dan sikap negatif pada beberapa responden. Walaupun sebagian besar menyetujui praktek pembakaran sebagai alternatif yang mudah, murah dan praktis, namun sebagian masyarakat ada yang tidak setuju serta ragu – ragu terutama terkait biaya dan kesuburan tanah. Faktor biaya dipertimbangkan terutama pada komoditas sawit, sedangkan faktor kesuburan terutama dipertimbangkan pada komoditas karet. Untuk komoditas sawit, penelitian Hasyim et al. (1993) menyimpulkan bahwa biaya untuk penyiapan lahan pada kebun sawit komersil lebih besar terutama pada tahun awal, sedangkan hasil penelitian Gouyon dan Simorangkir (2002) menunjukkan perbandingan selisih yang tidak terlalu besar antara biaya untuk lahan yang disiapkan dengan membakar dan tidak dibakar. Besarnya biaya akan berbeda pada setiap daerah, hal ini terkait dengan perbedaan upah buruh serta biaya sewa alat berat. Untuk komoditas karet, walaupun sebagian masyarakat sudah mempergunakan teknik penyulaman dalam peremajaan, namun sebagaian besar masyarakat lebih memilih membakar untuk peremajaan karena dianggap akan mengurangi risiko serangan jamur akar putih.

Sikap positif (setuju–sangat setuju) terhadap timbulnya dampak negatif akibat praktek pembakaran diyakini sebagian besar masyarakat walaupun masih terdapat keragu–raguan pada masyarakat mengenai dampak kebakaran terhadap kesuburan tanah. Informasi tentang dampak negatif pembakaran yang disebarkan melalui penyuluhan serta pengetahuan formal, bersinggungan dengan pengalaman pribadi sehingga muncul keragu–raguan dalam masyarakat. Secara ilmiah, hasil penelitian Notohadinegoro (2006) dan Darwiati dan Nurhaedah (2010) mencatat bahwa pembakaran memudahkan terjadinya erosi, pemiskinan bahan organik, serta matinya flora fauna tanah yang disebabkan oleh tingginya suhu dan pengeringan tanah. Selain itu, kebakaran dapat menyebabkan ancaman kematian terhadap 15.000 jiwa karena kualitas udara yang menurun berdasarkan penelitian Marlier et al. (2012). Di sisi lain, Syaufina (2008) menyatakan bahwa kebakaran tidak selamanya berdampak negatif bagi lingkungan terutama pada sistem pembakaran terkendali.

Hal serupa juga ditemukan pada sikap terhadap aturan, walaupun sebagian besar masyarakat terutama pendatang menyetujui adanya aturan dan penegakan aturan, namun sikap ragu dan negatif juga muncul. Aturan formal yang saat ini berlaku, dianggap memberikan sanksi yang terlalu berat bagi pelaku pembakaran sehingga perlu dikaji ulang. Keinginan untuk menyusun aturan desa terkait dengan pelaksanaan pembakaran dianggap dapat menjawab persoalan, dimana masyarakat boleh membakar dengan syarat tertentu terkait dengan pembagian waktu, pengamanan dan sanksi sosial.

Pilihan sikap masyarakat ditentukan dari beberapa komponen yang oleh Azwar (1995) dibagi menjadi kognitif, afektif dan konatif. Komponen kognitif berkaitan dengan pengetahuan dan kepercayaan, komponen afektif terkait dengan emosi dan perasaan, dan komponen konatif lebih kepada kecenderungan berperilaku yang berkaitan dengan kepercayaan dan perasaan masyarakat.

Masyarakat lokal memperoleh pengetahuan tentang tatacara berkebun termasuk membakar dari orang tua mereka, sedangkan masyarakat pendatang memperoleh pengetahuan mereka dari pergaulan serta pengalaman. Masyarakat transmigran di Desa Jangga Baru, menyatakan bahwa praktek membakar dalam penyiapan lahan pada awalnya dipelajari dari mandor–mandor perkebunan pada

awal pembangunan perkebunan sekitar tahun 1980-an. Pengetahuan masyarakat lokal/tradisional baik yang diturunkan oleh orang tua mereka ataupun dari pengalaman akan membentuk pemahaman bahwa membakar merupakan cara yang praktis, mudah serta murah. Begitu juga dengan pendatang, pertukaran pengetahuan yang didapat dari pergaulan dengan penduduk lokal/tradisonal maupun yang dipelajari dari mandor perkebunan, membentuk pemikiran bahwa pembakaran merupakan cara yang efektif dalam penyiapan lahan, sedangkan cara–cara lain misalnya mekanis dengan penggunaan traktor dianggap lebih mahal. Pengetahuan inilah yang banyak membentuk sikap positif (setuju-sangat setuju) dengan praktek penyiapan lahan dengan membakar.

Proses pembentukan pengetahuan salah satunya adalah dari pendekatan belajar. Pendekatan belajar dalam teori pembentukan sikap mengungkapkan bahwa sikap terbentuk melalui proses asosiasi, penguatan dan imitasi (Sears et al. 2004). Dalam proses asosiasi, pengetahuan dan perasaan dapat timbul karena adanya asosiasi, pergaulan dengan masyarakat desa, pertukaran informasi antara penduduk lokal dengan pendatang yang dapat menjadi proses belajar yang sangat efektif terutama pada masyarakat desa yang tidak banyak keluar dari desanya karena akses yang tidak mudah seperti Desa Jangga Baru yang memerlukan waktu sekitar 2–3 jam (dalam kondisi jalan baik) untuk keluar dari desanya menuju kota. Pergaulan dengan tetangga lebih banyak dilakukan sehingga peluang terjadinya proses saling belajarpun lebih besar.

Proses penguatan kognisi terutama terjadi pada saat suatu pengetahuan timbul dari pengalaman. Pengalaman dari pelaksanaan pembakaran yang terbukti menyebabkan meningkatnya kesuburan tanah akan semakin kuat setelah terjadi pengulangan atau pengalaman serupa dari beberapa orang. Pengetahuan ini akan terus diturunkan dan ditularkan mulai dari keluarga serta orang–orang terdekat. Proses imitasi tersebut akan semakin kuat ketika seorang yang dipandang dalam masyarakat desa melakukan hal tersebut, misalnya ketua atau tokoh adat. Masyarakat SAD yang masih sangat kuat lembaga adatnya, akan lebih mencontoh apa yang dilakukan oleh tokoh adatnya.

Sumber pengetahuan berupa media massa dan fasilitas elektronik seperti TV dan radio di beberapa desa masih sulit didapatkan. Jarak dengan kota yang jauh

serta belum adanya listrik PLN menjadi salah satu kendala kurangnya pengetahuan yang bisa didapatkan dari media massa. Masyarakat yang sudah menikmati fasilitas listrik, lebih banyak menikmati acara–acara hiburan dengan alasan sebagai hiburan setelah satu hari bekerja di kebun, sedangkan media seperti surat kabar hanya bisa dinikmati masyarakat yang dekat dengan kota.

Komponen afektif seperti perasaan iba terhadap pelaku pembakaran yang terkena sanksi berat, akan menimbulkan sikap negatif terhadap aturan hukum. Media massa (televisi, radio, surat kabar) mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan opini dan kepercayaan orang, media massa juga membawa pesan– pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang. Pesan–pesan sugestif yang dibawa oleh informasi tersebut apabila cukup kuat akan memberikan dasar afektif dalam menilai sesuatu hal sehingga terbentuklah sikap tertentu. Selain dari media massa, informasi di masyarakat cepat berkembang dari mulut ke mulut melalui pergaulan. Hal ini akan sangat kuat berpengaruh karena seringkali penutur informasi memasukkan emosi ke dalam informasi tersebut sehingga lebih bersifat sugestif.

Komponen konatif lebih mengacu kepada kecenderungan berperilaku yang berkaitan dengan kepercayaan dan perasaan masyarakat. Kepercayaan yang kuat bahwa membakar lebih murah, mudah serta menyuburkan tanah akan terus mempengaruhi perilaku masyarakat untuk tetap melakukan praktek membakar. Namun demikian pilihan untuk tidak membakar ternyata dipengaruhi oleh perasaan takut terhadap sanksi hukum baik hukum positif maupun sosial, perasaan segan terhadap petugas, serta pengetahuan bahwa membakar dapat mengurangi kesuburan tanah di masa datang.