• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Kualitas Pellet Ransum Komplit yang Mengandung Limbah Udang Hidrolisat dan Pemanfaatannya pada Ternak Domba

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Evaluasi Kualitas Pellet Ransum Komplit yang Mengandung Limbah Udang Hidrolisat dan Pemanfaatannya pada Ternak Domba"

Copied!
154
0
0

Teks penuh

(1)

PEMANFAATANNYA PADA TERNAK DOMBA

ANDI SAENAB

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Evaluasi Kualitas Pellet Ransum Komplit yang Mengandung Limbah Udang Hidrolisat dan Pemanfaatannya pada Ternak Domba adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2010

(3)

ration pellets and its utilization on sheep. Under direction of ERIKA B. LACONI and YULI RETNANI

The research was evaluated the physical characteristic and chemical quality of the complete ration in form than containing shrimps by-product and to determine in vivo digestibility. The research was consisting two steps, i.e. evaluate physical characteristic form and determine the biological test (in vivo). Step one was evaluate the physical characteristic by observed several variables i.e. moisture, water activity, particle size, average a collision endurance, friction endurance and angle of repose. Sixteen males sheep (15 kg of body weight) were randomly assigned in to four biological test treatments, i.e. R0 (complete ration without shrimps by-product), R1 (complete ration with 10% shrimps by-product), R2 (complete ration with 20% shrimps by-product) and R3 (complete ration with 30% shrimps by-product). The variables of biological test (in vivo) were measured digestibility of dry matter and organic matter, NDF and ADF digestibility, average daily body weight gain, nitrogen retention and feed conversion ratio. The results showed that physical characteristic of the complete ration pellet that contain 20% shrimps by-product flour had the lowest moisture (13.07%), the water activity (0.45) and particle size (10.92 mm). However, it had the highest collision endurance (99.34%) and friction endurance (98.28%). Sheep is fed by the complete feed contained up to 20% shrimps by-product, had higher on body weight gain (P< 0.05) 1 007 g/head/day. Eventhough its digestibility decreased, the average body weight gain was affected significantly. Based on the research, it could be concluded that the best level of shrimp by-product in the complete ration was 20% level with for sheep.

(4)

Limbah Udang Hidrolisat dan Pemanfaatannya pada Ternak Domba. Dibimbing oleh ERIKA B. LACONI dan YULI RETNANI

Limbah udang merupakan limbah industri pengolahan udang beku berupa kepala, ekor, dan kulit udang, serta udang yang rusak atau afkir (Mirzah 2007). Bila ditinjau dari segi kuantitas dan kualitas, limbah udang sangat potensial dijadikan pakan ternak. Sebagai gambaran, pada Tahun 2008 produksi udang Indonesia sebesar 470.000 ton (DKP 2009), bila diolah menjadi udang beku maka limbah udang yang diperoleh sebesar 35 sampai dengan 70% dari bobot utuh (Mahata 2007) yaitu setara dengan 164.500 sampai dengan 329.000 ton basah atau 41.010 sampai dengan 82.020 ton kering karena rendemennya 24.93% (Batubara 2000). Jadi secara kuantitas, tersedia cukup banyak dan kesinambungannya cukup terjamin karena setiap tahun produksi udang Indonesia selalu mengalami peningkatan. Ditinjau dari segi kualitas, limbah udang mengandung protein kasar sebesar 36.75% (Mirzah 2006). Selain itu, juga mengandung kitin berupa senyawa polisakarida struktural (mirip selulosa) sebesar 30% dari bahan keringnya (Purwaningsih 2000) yang mengikat nitrogen dalam bentuk N-Acetylated -glucosamin-polysacharida sebanyak 6.6 sampai dengan 6.7% (Stelmoch et al. 1985). Penggunaan limbah udang sebagai pakan ternak sampai saat ini masih terbatas pada ternak non-ruminansia. Oleh karena itu perlu dicoba pada ternak ruminansia. Tujuan penelitian adalah mengevaluasi kualitas kimia dan fisik pellet ransum komplit yang mengandung hidrolisat limbah udang dan mengevaluasi pengaruh pemberian pellet ransum komplit yang mengandung limbah udang pada performa ternak domba.

Penelitian ini dilakukan mulai bulan Desember 2008 sampai dengan Mei 2009 di Laboratorium Industri Pakan, Laboratorium Pusat Studi Ilmu Hayati PAU dan kandang percobaan Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Tahap pertama adalah uji kualitas fisik pellet ransum komplit. Limbah udang berupa kepala, kulit keras, dan ekor yang digunakan sebagai bahan ransum merupakan jenis udang Windu (Penaeus monodon). Limbah udang sebelum digunakan terlebih dahulu dikeringkan dengan sinar matahari. Setelah beratnya relatif konstan, lalu digiling menjadi tepung. Selanjutnya diolah dengan cara pengukusan (121oC) disertai tekanan (1 Atm) menggunakan autoclave selama 6 jam. Kemudian bersama bahan pakan lain dicampur sesuai komposisi ransum penelitian (Tabel 1) yang disusun berdasarkan kebutuhan nutrisi domba (NRC 1985). Ransum tersebut selanjutnya dibentuk menjadi pellet dengan diameter 8 mm dan panjang 2.5 cm. Peubah yang diamati adalah kadar air, aktivitas air (Aw), ukuran partikel, sudut tumpukan, ketahanan benturan dan ketahanan gesekan. Hasil yang diperoleh adalah bahwa uji fisik pellet ransum komplit yang mengandung limbah udang hidrolisat sebesar 20% mempunyai kadar air (13.07%) rendah dibanding tanpa taraf penambahan limbah udang hidrolisat yang sesuai dengan SNI. Pada taraf tersebut aktivitas air sebesar 0.45, ukuran partikel sebesar 10.92 mm, ketahanan gesekan sebesar 98.28% dan ketahanan benturan sebesar 99.34%.

(5)

IPB). Pemeliharaan domba dilakukan dalam kandang individu selama 14 minggu yaitu dua minggu pertama untuk masa adaptasi (preliminary) terhadap ransum. Selanjutnya, selama 12 minggu digunakan untuk penerapan perlakuan (pengumpulan data). Ransum dan air minum diberikan secara ad libitum pada pagi (07.00) dan sore (16.00) hari. Formula ransum perlakuan kandungan nutrien disesuaikan dengan kebutuhkan protein untuk pertumbuhan domba yaitu 14.7% dan energi metabolisme yaitu 2 500 kkal/kg (NRC 1985). Data hasil penelitian dianalisis berdasarkan sidik ragam menggunakan rancangan acak lengkap (RAL). Perlakuan terdiri dari empat taraf penambahan limbah udang dalam ransum komplit yaitu R0 (0%), R1 (10%), R2 (20%), dan R3 (20%) masing-masing empat ulangan. Peubah yang amati adalah konsumsi, kecernaan bahan kering dan bahan organik, kecernaan ADF dan NDF, retensi nitrogen dan pertambahan bobot badan harian dan konversi. Peubah yang berpengaruh diuji lanjut dengan uji jarak berganda Duncan. Hasil evaluasi kualitas pellet ransum komplit yang mengandung limbah udang hidrolisat sebesar 20% pada ternak domba menghasilkan nilai konsumsi sebesar 1007 g/ekor/hari, kecernaan terdiri dari kecernaan bahan kering sebesar 56.76%, kecernaan bahan organik sebesar 54.95%, kecernaan NDF sebesar 59,73% dan kecernaan ADF sebesar 58.38%, nilai retensi nitrogen sebesar 8.41g/hari, pertambahan bobot badan harian sebesar 110.35 g/ekor/hari dan nilai konversi sebesar 9.17. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan limbah udang hidrolisat dalam pellet ransum komplit domba optimal sampai taraf 20%.

(6)

@ Hak Cipta milik IPB, Tahun 2010

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

(7)

PEMANFAATANNYA PADA TERNAK DOMBA

ANDI SAENAB

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Nutrisi dan Pakan

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Nama : Andi Saenab

NIM : D152070041

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Erika Budiarti Laconi, M.S. Dr.Ir. Yuli Retnani, M.Sc. Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Departemen Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan

Dr. Ir. Idat G. Permana, M.Sc.Agr Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S

(10)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2008 ini adalah ”Evaluasi Kualitas Pellet Ransum Komplit yang Mengandung Limbah Udang Hidrolisat dan Pemanfaatannya pada Ternak Domba.

Limbah udang merupakan limbah industri pengolahan udang beku berupa kepala, ekor, dan kulit udang, serta udang yang rusak atau afkir. Bila ditinjau dari segi kuantitas dan kualitas, limbah udang sangat potensial dijadikan pakan ternak. Penggunaan limbah udang sebagai pakan ternak sampai saat ini masih terbatas pada ternak non-ruminansia. Oleh karena itu perlu dicoba pada ternak ruminansia. Serangkaian penelitian telah dilakukan untuk mengevaluasi kualitas (kimia, fisik dan biologis) dari limbah udang. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan limbah udang hidrolisat dalam pellet ransum komplit domba optimal sampai taraf 20%.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang tulus dan terhingga setinggi-tingginya kepada yang terhormat kepada Ibu Dr. Ir. Erika B. Laconi, M.S. dan Ibu Yuli Retnani, M.Sc selaku pembimbing atas kesabaran, penyediaan waktu dan keikhlasan selama proses pembimbingan. Ucapan terimakasih kepada Dr. Ir. Ahmad Darobin Lubis, M.Sc selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan saran untuk kesempurnaan tesis ini. Selanjutnya terima kasih kepada teman-teman Program Pasca Sarjana Fakultas Peternakan angkatan 2007: Yenni Ilman Nafiah, S.Pt MSc, Oktovianus R. Nahak, S.Pt, Annisa Rahmawati, S.Pt, Andi Tarigan, S.Pt dan Imana Martaguri, S.Pt M.Sc, Muh. Sayuti Mas’ud, SPt. MSc, Muh. Hatta, SPt MSc dan Tesar Ramdhan SPt yang telah ikut membantu kelancaran penelitian ini dan teman-teman peserta tugas belajar dari LITBANG Pertanian atas segala dukungan dan semangatnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Amin….

Bogor, Januari 2010

(11)

Penulis dilahirkan di Makassar, Sulawesi Selatan pada tanggal 18 April 1968 dari Bapak H. Andi Baso DG Mabellah (Almarhum) dan Ibu Hj. Andi Aisyah. Penulis merupakan putri ke tujuh dari sepuluh bersaudara.

Tahun 1987 penulis lulus dari SMU Negeri 2 Makassar dan pada Tahun 1987 masuk Universitas Hasanuddin Makassar melalui jalur Umum. Penulis memilih Jurusan Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan dan lulus pada Tahun 1993. Tahun 1993 bekerja di Sub Balai Penelitian Ternak Gowa, Sulawesi Selatan sebagai tenaga honorer. Tahun 1996 penulis lulus PNS dan bekerja di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Ambon, Maluku. Kemudian pada Tahun 2000 penulis dimutasikan ke Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jakarta. Tahun 2007 diterima di Sekolah Pascasarjana Program Ilmu Nutrisi dan Pakan Institut Pertanian Bogor.

(12)

ii

4.1 Kandungan Nutrisi Pellet Ransum Komplit ... 27

Gambaran Umum Pellet Ransum Komplit ... 28

4.2 Penelitian Tahap Pertama (Uji Sifat Fisik) ... 29

Kadar Air ... 29

Aktivitas Air ... 30

(13)

iii

Hubungan Antara Ukuran Partikel dan Kadar Air ... 32

Sudut Tumpukan ... 33

Ketahanan Benturan ... 33

Ketahanan Gesekan ... 34

4.3 Penelitian Tahap Kedua (Uji Biologis) ... 35

Konsumsi ... 35

Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik ... 36

Kecernaan NDF dan ADF ... 37

Retensi Nitrogen ... 38

Pertambahan Bobot Badan Harian ... 38

Hubungan Antara Konsumsi, ADF, Retensi Nitrogen dan Pertambahan Bobot badan Harian………... 39

Konversi Ransum ... 40

5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 41

5.1 Kesimpulan ... 41

5.2 Saran ... 41

DAFTAR PUSAKA ... 42

(14)

iv DAFTAR TABEL

Tabel Halaman 1. Komposisi kimia tepung limbah udang, tepung ikan dan bungkil

kedelai ... 3

2. Populasi kambing dan domba 2006-2008 ... 8

3. Formula dan kandungan nutrien ransum komplit domba ... 16

4. Kandungan nutrisi tepung limbah udang ... 27

5. Rataan hasil analisa kitin dan kecernaan limbah udang ... 28

6. Pengaruh perlakuan terhadap sifat fisik pellet ransum komplit ... 29

(15)

v DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1 Limbah udang windu (Peneaus monodom) ... 3

2 Struktur kimia kitin ... 5

3 Sketsa proses denaturasi protein ... 6

4 Skema proses hidrolisis fisik tepung ... ... 17

5 Mesin autoclave... 17

6 Skema prosedur penelitian ... 18

7 Aw meter ... 20

8 Vibrator ball mill ... 20

9 Alat pengukur sudut tumpukan ... 21

10 Penampilan fisik pellet ransum komplit limbah udang ... 28

11 Grafik hubungan antara ukuran partikel dengan kadar air ... 32

(16)

vi DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1 Analisis ragam kadar air pellet ransum komplit ... 49

2 Analisis ragam aktifitas air pellet ransum komplit ... 50

3 Analisis ragam ukuran partikel pellet ransum komplit ... 51

4 Analisis ragam sudut tumpukan pellet ransum komplit ... 52

5 Analisis ragam ketahanan benturan pellet ransum komplit ... 53

6 Analisis ragam ketahanan gesekan pellet ransum komplit ... 54

7 Analisis ragam konsumsi pellet ransum komplit ... 55

8 Analisis ragam kecernaan bahan kering pellet ransum komplit ... 56

9 Analisis ragam kecernaan bahan organik pellet ransum komplit ... 57

10 Analisis ragam kecernaan NDF pellet ransum komplit ... 58

11 Analisis ragam kecernaan ADF pellet ransum komplit ... 59

12 Analisis ragam retensi nitrogen pellet ransum komplit ... 60

13 Analisis ragam pertambahan bobot badan pellet ransum komplit ... 61

14 Analisis ragam konversi pellet ransum komplit ... 62

(17)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kualitas dan kuantitas pakan ternak sering menjadi kendala yang harus dihadapi dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup pokok, pertumbuhan, produksi dan reproduksi ternak. Untuk itu perlu dicari sumber bahan pakan alternatif yang mempunyai nilai gizi yang cukup, harga murah, mudah didapat dan aman dikonsumsi ternak.

Limbah udang merupakan limbah industri pengolahan udang beku berupa kepala, ekor, dan kulit udang, serta udang yang rusak atau afkir. Bila ditinjau dari segi kuantitas dan kualitas, limbah udang sangat potensial dijadikan pakan ternak. Sebagai gambaran, pada Tahun 2008 produksi udang Indonesia sebesar 470.000 ton (DKP 2009), bila diolah menjadi udang beku maka limbah udang yang diperoleh sebesar 35 sampai dengan 70% dari bobot utuh (Mahata 2007) yaitu setara dengan 164.500 sampai dengan 329.000 ton basah atau 41.010 sampai dengan 82.020 ton kering karena rendemennya 24,93% (Batubara 2000). Jadi secara kuantitas, tersedia cukup banyak dan kesinambungannya cukup terjamin karena setiap tahun produksi udang Indonesia selalu mengalami peningkatan. Jika limbah udang tersebut tidak cepat ditangani secara tepat akan menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan yaitu akan menjadi kotor dan bau.

Penggunaan limbah udang sebagai pakan ternak sampai saat ini masih terbatas pada ternak non-ruminansia. Namun jumlah yang dimanfaatkan untuk pakan ternak non-ruminansia tidaklah banyak dibandingkan dengan jumlah yang ada. Berarti limbah ini masih tersedia cukup banyak dan sangat potensial untuk digunakan sebagai pakan ternak lain yaitu ternak domba.

(18)

dimanfaatkan oleh ternak secara optimal adalah dengan perlakuan hidrolisis secara fisik menggunakan suhu dan tekanan uap panas (autoclave) (Edi dan Resmi 2003). Hidrolisis dimaksudkan untuk merenggangkan ikatan peptida dan kitin yang dikandungnya agar bisa dicerna secara lebih sempurna oleh mikroorganisme rumen ternak ruminansia.

1.2 Tujuan Penelitian

• Mengevaluasi kualitas kimia dan fisik pellet ransum komplit yang mengandung hidrolisat limbah udang.

• Mengevaluasi pengaruh pemberian pellet ransum komplit yang mengandung limbah udang pada performa ternak domba.

Manfaat Penelitian

• Memanfaatkan limbah udang sebagai alternatif sumber protein hewani untuk ternak ruminansia sehingga meningkatkan daya guna atau nilai ekonominya, sebagai alternatif sumber pakan ternak.

(19)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Potensi Limbah Udang

Limbah udang adalah hasil samping industri pengolahan udang beku yaitu

berupa kepala, kulit keras dan ekor yang tidak digunakan pada industri

pembekuan udang (Mirzah 2007). Limbah udang sebagai hasil samping industri

pengolahan udang beku adalah salah satu sumber daya limbah perikanan yang

cukup potensial untuk dimanfaatkan sebagai sumber pakan ternak. Adapun jenis

udang yang digunakan dalam penelitian ini terlihat dalam Gambar 1.

Gambar 1 Limbah udang Windu (Penaeus monodon) (Mas’ud 2009)

Kualitas limbah udang terutama ditinjau dari kandungan nutrisi dan

komposisi kimianya cukup baik. Bila dilihat dari komposisi kimianya, maka

cukup layak dijadikan sebagai sumber protein pakan ternak. Perbandingan

komposisi kimia antara tepung limbah udang dengan tepung ikan dan bungkil

kedelai dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi kimia tepung limbah udang, tepung ikan, dan bungkil kedelai (berdasarkan 100% BK)

Nutrien Limbah Udang1 Tepung Ikan2 Bungkil Kedelai3 --- % ---

Protein kasar 41.58 52.60 45.60

Serat kasar 13.72 2.20 4.58

Lemak kasar 3.08 6.80 2.79

Abu 22.06 20.70 6.84

(20)

Hasil uji di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan IPB diperoleh bahwa

protein kasarnya 41.58%, hampir sama dengan bungkil kedelai (45.6%). Begitu

juga bahan keringnya (88.32% vs 88.0%). Akan tetapi terdapat perbedaan pada

serat kasarnya yaitu 13.72% dalam limbah udang sedangkan bungkil kedelai

4.58%, sehingga menjadi faktor pembatas karena kecernaannya yang rendah. Oleh

sebab itu, pemanfaatan limbah udang sebagai pakan ternak sebaiknya dilakukan

proses pengolahan terlebih dahulu.

Kualitas protein limbah udang sangat bagus karena mengandung semua

asam amino esensial. Asam amino metionin (yang sering menjadi faktor pembatas

pada protein nabati), kandungannya lebih tinggi bila dibandingkan dengan

bungkil kedelai dan hampir sama dengan tepung ikan dan mikroba rumen.

Kandungan mineral tepung limbah udang terutama kalsium (Ca) lebih tinggi dari

tepung ikan, perbandingan lebih dari 3 : 1. Tapi Phosfornya (P) lebih sedikit,

dengan perbandingan 1 : 2. Perbandingan antara Ca dan P dalam tepung limbah

udang sendiri jauh lebih besar yaitu hampir 10 : 1. Oleh sebab itu, bila digunakan

dalam pakan ayam perlu diperhatikan karena yang dapat ditolerir adalah dengan

perbandingannya sampai 7 : 1 (NRC 1985).

Kitin dalam Limbah Udang

Selain potensi di atas, limbah udang mengandung kitin antara 20–30%

(Wanasuria 1990) yang di dalamnya terkandung nitrogen (N) antara 6.6 sampai

dengan 6.7% (Stelmoch et al. 1995). Apabila digunakan dalam pakan ternak

ruminansia, N tersebut berpotensi sebagai sumber N bukan protein (NPN) bagi

mikroba rumen.

Kitin merupakan biopolimer kedua yang banyak ditemukan di alam, selain

selulosa. Kitin juga memiliki susunan kimia yang hampir menyerupai selulosa,

yaitu 2-asetamida-2-deoksi-β-D-glukosa yang dihubungkan dengan jembatan

β(1,4) atau biasa disebut dengan N-asetil-glukosamin (Shahidi et al. 1999). Struktur kimia kitin dapat dilihat pada Gambar 2. Kitin bersifat tidak larut dalam

air, asam, basa, alkohol atau pelarut organik lainnya. Polisakarida ini dapat larut

di dalam HCl pekat, asam sulfat pekat, asam format anhidrat atau asam fosfat

(21)

Gambar 2 Struktur kimia kitin

Pada ternak ruminansia, apabila kitin lolos dari rumen atau tidak

dimanfaatkan oleh mikroba rumen maka di pascarumen akan mengikat asam

empedu karena dapat dianalogikan sebagai serat. Dengan demikian asam lemak

yang diemulsi oleh asam empedu ikut terikat. Serat (kitin) tidak dapat diabsorpsi

pada usus halus sebagaimana yang dikemukakan (Piliang dan Djojosubagio 1990)

sehingga bersama asam empedu dan asam lemak dikeluarkan melalui feses.

2.2 Teknologi Hidrolisis dan Pemanasan pada Protein Limbah Udang

Hidrolisis protein diartikan sebagai pemecahan banyak ikatan menjadi satu

ikatan atau putusnya ikatan peptida yang menghubungkan asam-asam amino.

Reaksi hidrolisis dapat dilakukan dengan asam, basa dan enzim (Girindra 1986).

Hidrolisis protein yang terbaik adalah dengan konsentrasi HCI 6 M pada

suhu 110 oC selama 24 jam (Davidex et al. 1990). Selain itu dapat pula dilakukan

dengan konsentrasi HCI yang lebih rendah yaitu 4 M HCI pada suhu 110 oC

selama 24 jam dan 3 M HCI pada suhu 100 oC selama 18 jam (Conrad dan

Galanos 1995). Pada limbah udang hidrolisis yang baik adalah dengan HCl 6%

disertai pemanasan tekanan tinggi menggunakan pressure cooker selama 45 menit

untuk meningkatkan kecernaannya (Sudibya 1998).

Pemanasan mengakibatkan terjadinya perubahan pada suatu protein yang

dikenal sebagai denaturasi (Lehninger 1992). Denaturasi dapat diartikan suatu

perubahan atau modifikasi terhadap struktur sekunder, tersier, dan kuartener

terhadap molekul protein, tanpa terjadinya pemecahan ikatan-ikatan kovalen.

(22)

hidrogen, interaksi hidrofobik, ikatan garam, dan terbukanya lipatan atau wiru

molekul (Winarno 1991).

Ada dua macam denaturasi, yaitu (1) pengembangan rantai peptida dan (2)

pemecahan protein menjadi unit yang lebih kecil tanpa disertai pengembangan

molekul. Terjadinya kedua jenis denaturasi ini tergantung pada keadaan molekul.

Pertama terjadi pada rantai polipeptida, sedangkan yang kedua terjadi pada

bagian-bagian molekul yang tergabung dalam ikatan sekunder (Winarno 1991).

Jadi proses denaturasi tidak merusak ikatan peptida yang terdapat antara asam

amino dalam struktur primer (Girindra 1986).

Lehninger (1992) mengemukakan bahwa jika protein mengalami

denaturasi, tidak ada ikatan kovalen pada kerangka rantai polipeptida yang rusak.

Jadi deret asam amino khas protein tersebut tetap utuh setelah denaturasi.

Selanjutnya dikemukakan bahwa rantai polipeptida yang berikatan kovalen pada

protein asli (natif) melipat dalam tiga dimensi dengan suatu pola yang khas bagi

tiap jenis protein. Jika suatu protein terdenaturasi, susunan tiga dimensi khas dari

rantai polipeptida terganggu dan molekul ini terbuka menjadi struktur acak, tanpa

adanya kerusakan pada struktur kerangka kovalen (Gambar 3).

Gambar 3 Sketsa proses denaturasi protein (Brandts 1967 dalam Winarno 1991)

Denaturasi dan koagulasi protein yang terjadi selama pemanasan

mengakibatkan menurunnya kelarutan protein (Cheftel et al. 1985 dalam Sudibya

1998). Besarnya tingkat kelarutan protein setelah pemanasan dipengaruhi oleh

suhu dan lama pemanasan yang digunakan (Hultin 1985 dalam Sudibya 1998).

Proses pemanasan protein yang tidak sampai merusak kandungan nutrisinya

dilakukan dengan maksud agar kurang soluble dalam rumen. Cara ini biasa

(23)

dapat dipenuhi dari mikroba rumen (terutama pada ternak yang berproduksi

tinggi) maka tambahan asam-asam amino akan dapat dipenuhi dengan pemberian

HTP yang langsung dapat digunakan pada pascarumen (Prawirokusumo 1994).

2.3 Pellet

Pellet adalah bahan pakan atau ransum yang dibentuk dengan cara menekan

dan memadatkannya melalui lubang cetakan secara mekanis. Proses pembentukan

pakan, campuran konsentrat atau ransum komplit menjadi bentuk silender disebut

pelleting (Pathak 1997). Proses pembuatan pellet terbagi menjadi tiga tahap, yaitu

: 1) pengolahan pendahuluan meliputi pencacahan, pengeringan dan penggilingan,

2) pembuatan pellet meliputi pencetakan pendinginan dan pengeringan, dan 3)

perlakuan akhir meliputi sortasi, pengepakan dan penggudangan

(Tjokroadikoesoemo 1996). Menurut Pathak (1997) tujuan dari pembuatan pellet

adalah untuk mencegah ternak memilih pakan yang diberikan, mengurangi sifat

berdebu pakan, meningkatkan palatabilitas pakan, mengurangi pakan yang

terbuang, mengurangi sifat voluminous pakan dan untuk mempermudah

penanganan pada saat penyimpanan dan transportasi.

Pellet terdiri dari 2 tipe, yaitu pellet keras (hard pellets) dan pellet lunak

(soft pellets). Pellet keras adalah pellet yang tidak menggunakan molases atau

menggunakan molases sebagai perekat kurang dari 10%. Sedang pellet lunak

adalah pellet yang menggunakan molases sebagai perekat sebanyak 30–40%.

Pellet yang terbuat dari konsentrat memiliki diameter 5–15 mm dengan panjang

pellet 7–10 mm, sedangkan pellet yang terbuat dari hijauan atau makanan kasar

memiliki diameter 10–20 mm dengan panjang pellet yang sama. Pellet untuk anak

domba memiliki garis tengah 5 mm dengan panjang pellet 8 mm, sedangkan pellet

untuk domba yang sedang tumbuh memiliki garis tengah 8 mm dengan panjang

pellet 11 mm (Pathak 1997).

2.4 Domba

Domba termasuk ternak penghasil daging yang potensial (Hudallah et al.

2007). Domba lokal merupakan domba asli Indonesia yang mempunyai daya

adaptasi yang baik pada iklim tropis dan dapat beranak sepanjang tahun. Domba

(24)

panjangnya sedang. Domba jantan memiliki tanduk kecil dan melengkung ke

belakang dengan bobot hidup dewasa berkisar 30-40 kg sedangkan yang betina

tidak bertanduk dengan bobot hidup berkisar 15-20 kg. Domba lokal juga

mempunyai perdagingan sedikit dan disebut juga domba kampung atau domba

negeri (Sumoprastowo 1993).

Menurut data dari Buku Statistik Peternakan (Dirjen Peternakan), populasi

domba di Indonesia pada tahun 2007 adalah 223 253 ekor. Pada tahun 2008

adalah sekitar 221 149 ekor. Dari data tersebut terjadi penurunan populasi sebesar

2 104 ekor. Sedangkan populasi kambing dan domba di seluruh Indonesia tahun

2006-2008 disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 3 Populasi Domba dan Kambing 2006-2008

Komoditas Populasi (ekor)

2006 2007 2008

Domba 229 012 223 253 221 149

Kambing 122 064 117 386 106 787

Sumber : Statistik Peternakan (2008)

Menurut NRC (1985) kebutuhan zat makanan untuk hidup pokok pada

domba dengan bobot badan 10-20 kg adalah BK 380 g/ek/hari, DE 940

kkal/ek/hari, ME 765 kkal/ek/hari, PK 30 g/ek/hari, Ca 1 g/ek/hari dan P 0,7

g/ek/hari. Domba memiliki kegunaan dan nilai ekonomi yang beragam yaitu

memiliki adaptasi yang tinggi terhadap kondisi lingkungan (terhadap pakan yang

sangat jelek), memiliki kemampuan mengkonversi bahan pakan berkualitas

rendah, seperti limbah pertanian menjadi produk bergizi tinggi (daging),

menyukai hidup berkoloni, memiliki bentuk tubuh kecil, sehingga bisa dipelihara

di lahan yang sempit, dan bisa dipelihara sebagai tabungan yang dapat dijual jika

ada keperluan mendesak (Sodiq dan Abidin 2002). Menurut Ensminger (2002),

ada tiga bangsa domba asli yang terdapat di pulau Jawa yaitu domba lokal Ekor

Tipis, domba Priangan dan domba Ekor Gemuk. Domba Ekor Tipis adalah

domba yang umum terdapat di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Di Jawa Barat

diperkirakan 80-85% adalah domba lokal, sedangkan sisanya adalah domba

(25)

2.5 a. Parameter Uji Sifat Fisik Kadar Air

Kadar air adalah persentase kandungan air suatu bahan yang dapat

dinyatakan berdasarkan berat basah atau berat kering. Pada kadar air ini aktivitas

mikroorganisme dan enzim dapat ditekan, tidak mudah berjamur dan busuk

(Sutardi 1990). Kerusakan bahan pakan dapat disebabkan oleh faktor-faktor

sebagai berikut: pertumbuhan dan aktifitas mikroba terutama bakteri, ragi dan

kapang; aktifitas-aktifitas enzim di dalam pakan; serangga, parasit dan tikus; suhu

termasuk suhu pemanasan dan pendinginan; kadar air, udara; dan jangka waktu

penyimpanan. Kadar air pada permukaan bahan pakan dipengaruhi oleh

kelembaban nisbi (RH) udara disekitarnya. Bila kadar air bahan rendah sedangkan

RH sekitarnya tinggi, maka akan terjadi penyerapan uap air dari udara sehingga

bahan menjadi lembab atau kadar airnya menjadi lebih tinggi (Williamson dan

Payne 1993). Secara alami komoditas pertanian, baik sebelum maupun sesudah

diolah bersifat higroskopis, yaitu dapat mengabsorbsi air dari udara sekeliling dan

juga sebaliknya dapat melepaskan sebagian air yang terkandung ke udara (Syarief

dan Halid 1993).

Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) bahwa kadar air

maksimum untuk ransum memiliki persyaratan mutu standar sebesar 14%

(Direktorat Bina Produksi, 1997).

Aktivitas Air (Aw)

Aktivitas air adalah jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh

mikroorganisme untuk pertumbuhannya dan pada umumnya bila aktivitas air

dikurangi sampai batas tertentu akan menekan pertumbuhan dan perkembangan

mikroorganisme (Syarief dan Halid 1993). Pertumbuhan mikkroba tidak pernah

terjadi tanpa adanya air, mikroba hanya dapat tumbuh pada kisaran air tertentu,

bahan yang mempunyai aktivitas air 0.7 atau pada kelembaban relatif dibawah

70% sudah dianggap cukup baik dan tahan selama penyimpanan (Winarno 1991).

Ditambahkan pula bahwa suhu bahan yang lebih rendah (dingin) dari pada

sekitarnya akan menyebabkan penurunan kualitas bahan ataupun pangan akibat

(26)

tambahan yang dinamakan humektan berupa poliol, gula dan garam,

kadang-kadang dipakai juga asam dan basa.

Ukuran Partikel

Pengukuran ukuran partikel adalah proses penentuan rata-rata ukuran

partikel dalam sampel pakan atau bahan pakan. Ukuran partikel adalah faktor

penentu penumpukan bahan pakan/pakan dalam bin dan berperan dalam

menentukan konversi pakan (Fogo 1994). Ukuran partikel berpengaruh terhadap

homogenitas penyebaran partikel dan stabilitasnya dalam suatu campuran pakan.

Menurut Behneke (2001), bahwa ukuran partikel dan tekstur bahan yang halus

dapat menghasilkan pellet yang kompak dan padat karena memiliki permukaan

yang halus sehingga mudah menyerap dan menerima panas. Waldroup (2005)

menyarankan bahwa ukuran partikel bahan mempengaruhi keutuhan dan

ketahanan pellet. Semakin kecil ukuran partikel bahan maka bahan akan memiliki

luas permukaan partikel yang tinggi sehingga dapat meningkatkan proses

pematangan dan gelatinisasi.

Sudut Tumpukan (ST)

Sudut tumpukan merupakan sudut yang dibentuk jika bahan dicurahkan

dari suatu tempat pada bidang datar yang akan bertumpukan dan terbentuk suatu

gundukan menyerupai kerucut antara bidang datar dan kemiringan tumpukan yang

terbentuk jika bahan dicurahkan serta menunjukkan kebebasan bergerak suatu

partikel dari suatu tumpukan bahan. Bentuk kerucut akan menandakan mudah

tidaknya bahan meluncur pada bidang masing–masing karena pengaruh gaya

gravitasi. Kegunaan praktis dari sifat sudut tumpukan adalah dalam pemindahan

dan pengangkutan bahan karena akan mempengaruhi kapasitas belt conveyor dan

alat material handling lainnya. Sifat tersebut juga penting untuk menentukan

derajat kemiringan dari suatu gudang penyimpanan bahan untuk keperluan

pengosongannya oleh gaya gravitasi.

Khalil (1999b) menyatakan bahwa pergerakan partikel yang ideal

ditunjukkan oleh pakan bentuk cair, dengan sudut tumpukan sama dengan nol,

sedangkan ransum dalam bentuk padat mempunyai sudut tumpukan berkisar

(27)

mengalir memiliki sudut tumpukan berkisar antara 20-300, bahan yang memiliki

sudut tumpukan berkisar antara 30-380 memiliki laju alir yang mudah mengalir,

bahan yang memiliki sudut tumpukan 38-450 laju alirnya medium atau sedang

dan bahan yang memiliki sudut tumpukan berkisar antara 45-550 laju alirnya sulit

mengalir dengan bebas. Besarnya sudut tumpukan sangat dipengaruhi oleh

ukuran, bentuk, dan karakteristik permukaan partikel, kandungan air, berat jenis

dan kerapatan tumpukan (Khalil 1999b).

Uji Ketahanan Pellet terhadap Benturan

Ketahanan pellet terhadap benturan dapat diuji dengan shatter test, yaitu

dengan cara menjatuhkan pellet yang telah diketahui beratnya ke atas sebuah

lempeng besi. Ketahanan pellet terhadap benturan dapat dirumuskan sebagai

persentase banyaknya pellet yang utuh setelah dijatuhkan ke atas sebuah

lempengan besi terhadap jumlah pellet semula sebelum dijatuhkan. Ketahanan

pellet terhadap benturan dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu komponen

penyusun bahan baku dan kondisi bahan (Balagopalan et al. 1988).

Komponen bahan baku yang mempengaruhi ketahanan pellet terhadap

benturan adalah pati, serat, lemak dan kotoran. Bahan-bahan yang mengandung

pati akan mengalami gelatinasi dan berfungsi sebagai perekat untuk menghasilkan

pellet yang kuat. Lemak berfungsi sebagai pelicin (pelumas), sehingga pencetakan

pellet menjadi lebih mudah. Serat yang ada dalam bahan baku sulit untuk dicetak,

tetapi dalam jumlah yang cukup, serat dapat menjadi bahan penguat pellet.

Adanya kotoran seperti pasir dan grit akan mengurangi kualitas fisik pellet dan

akan mempengaruhi die dan roller pada mesin pellet (Balagopalan el al. 1988).

Ditambahkan pula bahwa kondisi bahan yang mempengaruhi ketahanan pellet

terhadap benturan adalah kandungan air, ukuran partikel dan suhu. Kandungan air

yang ada dalam bahan membantu terjadinya gelatinisasi pati menjadi bahan

perekat pellet selama proses pencetakan berlangsung. Pellet akan memiliki

kualitas fisik yang baik apabila bahan yang akan dipellet merupakan campuran

(28)

Uji Ketahanan Pellet terhadap Gesekan

Ketahanan pellet terhadap gesekan dapat diuji dengan melakukan

cochrane test yaitu dengan cara memasukkan pellet yang telah diketahui beratnya

ke dalam sebuah drum logam yang kemudian diputar dengan kecepatan tetap

selama satuan waktu (Balagopalan el al. 1988). Menurut Fairfield (1994)

ketahanan pellet terhadap gesekan atau durabilitas pellet dapat diketahui dengan

cara memasukkan pellet ke dalam sebuah kotak yang berpetar selama 10 menit

dengan kecepatan 50 rpm. Menurut Thomas dan van der Poel (1996) durabilitas

pellet adalah ketahanan pellet terhadap gesekan yang dirumuskan sebagai

persentase benyaknya pellet utuh setelah melalui perlakuan fisik dalam durability

pellet tester terhadap jumlah pellet semula sebelum dimasukkan ke dalam alat.

Kualitas pellet untuk pakan beberapa jenis ternak berbeda, perbedaan ini

berkaitan erat dengan daya tahan pellet terhadap proses penanganan dan

transportasi (Dozier 2001). Daya tahan pellet diukur dengan durability pellet

tester yaitu uji ketahanan standar pellet. Pellet yang baik adalah pellet yang

kompak, kokoh dan tidak rapuh (Murdinah 1998). Pellet harus memiliki indeks

ketahanan (PDI) yang baik sehingga pellet memiliki kekuatan dan ketahanan

tinggi selama proses penanganan dan tranportasi. Standar spesifikasi durability

indeks yang digunakan adalah minimum 80% (Dozier 2001).

Menurut Angulo et al. (1995) durabilitas pellet dipengaruhi oleh

kandungan dan jumlah bahan yang digunakan, ukuran partikel, penggunaan

perekat, pendinginan (conditioning), dan jarak antara roller dan die. Thomas et al.

(1998) menyatakan bahwa kandungan bahan yang mempengaruhi durabilitas

pellet adalah pati, gula, protein, serat dan lemak. Ditambahkan pula bahwa adanya

kandungan serat yang tinggi dalam bahan dapat menyebabkan pellet yang

dihasilkan mudah patah. Faktor lain yang mempengaruhi durabilitas pellet adalah

diameter pellet. Pellet yang memiliki diameter 3 mm lebih mudah patah

(29)

b. Parameter Uji Sifat Biologis (in vivo) Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik

Usaha untuk meningkatkan kualitas pakan dilakukan dengan

meningkatkan kecernaan melalui pengolahan. Tentang kecernaan, ternyata adanya

suatu hubungan antara kecernaan suatu ransum dengan tingkat konsumsi pakan

pada ternak ruminansia. Makin tinggi kecernaan suatu pakan maka semakin tinggi

pula tingkat konsumsi pakannya (Davies et al. 1992). Kecernaan adalah sebagian

zat makanan yang tidak dieksresikan dalam feses atau bagian yang hilang dari

makanan setelah proses pencernaan, penyerapan dan metabolisme. Apabila

dinyatakan dalam persentase makan disebut koefisien cerna (Tillman et al. 1991).

Menurut Mathius et al. (2001) kecernaan bahan makanan dapat dipengaruhi oleh

umur ternak, level pemberian pakan, cara pengolahan dan pemberian pakan,

komposisi pakan, dan kadar zat makanan yang dikandungnya. Faktor lain yang

dapat mempengaruhi kecernaan pakan adalah populasi mikroba dan laju alir

makanan (Tomaszewska et al. 1993).

Kecernaan NDF (Neutral Detergent Fiber) dan ADF (Acid Detergent Fiber)

Dalam sistem analisa Van Soest (USDA), komponen hijauan pakan dibagi

menjadi beberapa fraksi berdasarkan kelarutannya dalam deterjen. Secara garis

besar, bahan hijauan dibagi menjadi isi sel dan dinding sel (NDF). Isi sel terdiri

dari fraksi –fraksi protein, karbohidrat non strukturat, mineral dan lemak yang

mudah larut dalam pelarut deterjen netral. Dinding sel yang tidak larut dalam

pelarut deterjen netral (NDF) dibagi menjadi beberapa fraksi berdasarkan

kelarutannya dalam pelarut deterjen asam. Fraksi yang larut terdiri dari

hemiselulose dan protein dinding sel (N dinding sel), sedangkan yang tidak larut

adalah selulosa, lignin, lignoselulosa, dan bahan silica atau dikenal dengan serat

deterjen asam (Acid Detergent Fiber/ADF). Selain bahan organic, dinding sel juga

mengandung silica (SiO2). Dinding sel (NDF) biasanya erat hubungannya dengan

konsumsi, sedangkan ADF erat hubungannya dengan kecernaan (Parakassi 1999).

NDF (Neutral Detergent Fibre) yaitu fraksi yang tidak terlarut di dalam larutan

(30)

Fibre) merupakan fraksi dinding sel yang paling tidak mudah dicerna dan terdiri

(31)

3 BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan mulai bulan Desember 2008 sampai Mei 2009 di

Laboratorium Industri Pakan Ternak, Laboratorium Pusat Studi Ilmu Hayati PAU

dan kandang percobaan Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Bahan dan Alat Penelitian

Penelitian ini menggunakan ternak domba lokal yang berasal dari Unit

Pendidikan dan Penelitian Peternakan Jonggol Institut Pertanian Bogor

(UP3J-IPB). Domba jantan berumur ± 8 bulan dengan bobot badan 15± 0,48kg sebanyak

16 ekor. Jenis domba yang digunakan adalah domba lokal yang berasal dari

sekitar kandang percobaan. Bahan-bahan yang dipergunakan: Limbah udang

Windu (Penaeus monodon) dan rumput lapang. Sedang konsentrat yang

digunakan: jagung kuning, onggok, bungkil kedelai, bungkil kelapa, pollard,

crude palm oil, urea, garam (NaCl), kapur (CaCO3), premix. Bahan lain yang

digunakan adalah BaCl2 untuk mengukur kalibrasi aw meter. Alat-alat yang

dipergunakan: timbangan analitik, timbangan 1.2 dan 5 kg, mesin chopper, mesin

giling (hammer mill), mesin pencetak pellet (farm pelletermachine), oven 105OC,

Aw meter (Aw-wert Master), vibrator ball mill, durability pellet tester dan

autoclave.

3.3 Metode Penelitian

3.3.1 Tahap Pertama : Kualitas Kimia dan Fisik Pellet Ransum Komplit

a. Preparasi Limbah Udang

Limbah udang diambil dari perusahaan pembekuan udang di Muara Baru,

Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara dengan menggunakan boks pendingin yang

berisi es supaya limbah udang tidak rusak atau berbau. Setelah sampai di

laboratorium dikeringkan dengan oven pada suhu 60oC sampai beratnya tetap,

kemudian digiling untuk dijadikan tepung. Tepung limbah udang dihidrolisis fisik

dengan autoclave pada suhu 121oC dengan tekanan 1atm selama 6 jam (Mas’ud

(32)

Ransum tersebut kemudian dibuat menjadi pellet dengan cara seperti terlihat pada

Gambar 4.

Formula Ransum

Kandungan nut ransum disesuaikan dengan kebutuhkan protein untuk

pertumbuhan domba yaitu 14.7% dan energi metabolisme yaitu 2 500 kkal/kg

(NRC 1985). Adapun komposisi bahan dan nutrien ransum komplit penelitian

diperlihatkan pada Tabel 3.

Tabel 3 Komposisi bahan dan nutrien ransum komplit penelitian (Berdasarkan 100% BK)

Nama Bahan P a k a n

o R0 = Ransum komplit tanpa penambahan limbah udang o R1 = Ransum komplit dengan penambahan limbah udang 10 % o R2 = Ransum komplit dengan penambahan limbah udang 20 % o R3 = Ransum komplit dengan penambahan limbah udang 30 % • Hasil Laboratorium

(33)

600C

Gambar 4 Skema proses hidrolisis fisik tepung limbah udang

Adapun Gambar 5 memperlihatkan mesin autoclave yang digunakan dalam

penelitian ini. Mesin autoclave ini berkapasitas 40 kg. Tepung limbah udang

dihidrolisis dengan menggunakan autoclave dilakukan pada Laboratorium Pusat

Studi Ilmu Hayati PAU, Institut Pertanian Bogor.

Gambar 5 Mesin autoclave

b. Pembuatan Pellet Ransum Komplit Limbah Udang

Tepung limbah udang yang telah dihidrolisis dicampur dengan tepung

rumput lapang, kemudian dicampur dengan konsentrat dan molases lalu digiling

halus hingga homogen sebelum dimasukkan ke dalam mesin pellet. Ukuran pellet Limbah udang

Hidrolisis fisik pada 121OC dan tekanan 1 atm selama 6 jam

(34)

yang dibuat berukuran panjang 2.5 cm dengan diameter 8 mm. Pellet yang

dihasilkan diangin-anginkan sampai kering dan dimasukkan ke dalam karung

(Gambar 4). Adapun skema prosedur penelitian dapat dilihat pada Gambar 6.

Tahap I Tahap II

Gambar 6 Skema prosedur penelitian

3.3.2 Tahap kedua : Uji Biologis (In Vivo)

Pemeliharaan domba penelitian berlangsung selama 12 minggu dalam

kandang individu berukuran 1.0m x 1.2m x 0.75m yang dilengkapi tempat makan

dan minum. Satu minggu pertama merupakan masa adaptasi bagi domba terhadap

kandang dan pakan yang digunakan (preliminary). Pakan disesuaikan dengan Tepung limbah udang dibagi sesuai level perlakuan (0, 10, 20 dan 30) % Tepung limbah udang hidrolisis 6 jam pada suhu 121 OC dan tekanan 1 atm

Uji in vivo (domba):

Konsumsi BK, Kecernaan (BK, BO, NDF, ADF) Retensi Nitrogen, Pertambahan bobot badan dan Uji Fisik Ransum Komplit:

Kadar Air, Aktivitas air, Ukuran partikel, Sudut Tumpukan, Ketahanan benturan dan gesekan (durability)

Molasses dan bahan konsentrat yang lain, sesuai dengan formula ransum

Pellet Ransum Komplit (R0,R1,R2 dan R3)

Analisa: Abu, Protein kasar, Serat kasar, lemak kasar

Mixing

(35)

kebutuhan ternak yaitu 3% dari bobot badan dan air minum diberikan secara tidak

terbatas (ad libitum).

3.4Peubah yang diamati :

3.4.1. Uji Fisik Ransum Komplit Limbah Udang

Kadar Air (AOAC 1999)

Kadar air di ukur dengan menggunakan metode pemanasan. Cawan

alumunium ditimbang (x g). Sampel sebanyak 5 g (y g) dimasukkan ke dalam

cawan alumunium, kemudian dimasukkan ke dalam oven 1050C selama 4-5 jam.

Setelah itu sampel dalam cawan ditimbang (z g).

Kadar air dihitung dengan menggunakan rumus:

x + y - z

Kadar Air (KA) = x 100% Y

Pengukuran Aktivitas Air (Aw)(Khalil 1999a)

Alat yang digunakan untuk mengukur aktivitas air (Aw) adalah Aw meter

(Gambar 7). Cara kerja alat yaiti sebagai berikut; Aw meter dikalibrasikan dengan

memasukan cairan BaCl2.2H2O, kemudian ditutup dibiarkan 3 jam sampai angka

pada skala pembacaan Aw menjadi 0.9. Aw meter dibuka dan tempat sampel

dibersihkan. Sampel dimasukkan dan alat ditiup, ditunggu hingga 3 jam. Setelah 3

jam, skala Aw dibaca dan dicatat. Perhatikan skala temperature untuk faktor

koreksi. Nilai aktivitas air dihitung dengan menggunakan rumus:

Aw = Pembacaan skala Aw + (Pembacaan skala temperatur-20) x 0,002

(36)

Ukuran Partikel (Syarief dan Halid 1993)

Teknik yang digunakan untuk mengukur ukuran partikel adalah dengan

menggunakan alat Vibrator Ballmill German The Sieve Analysis nomor mesh /

sieve 4, 8, 16, 30, 50, 100, 400 (Gambar 8). Bahan ditimbang sebanyak 500 gram

dan diletakkan pada bagian paling atas dari sieve, kemudian bahan disaring dan

bahan yang tertinggal pada tiap–tiap sieve ditimbang.

Gambar 8 Vibrator Ball mill

Derajat kehalusan (Modulus of Finenes/MF) dihitung dengan cara:

∑ (% bahan x No Perjanjian) Derajat Kehalusan =

100

Ukuran Partikel rata–rata = 0.0041 x 2MF inchi x 2.54 cm x 10 mm

Berdasarkan rumus tersebut maka dapat diperoleh nilai ukuran partikel sebagai

berikut:

Kategori bahan kasar : MF = 4,1 – 7 maka UP > 1,79 – 13,33 mm

Kategori bahan sedang : MF = 2,1 – 4,1 maka UP > 0,78 – 1,79 mm

Kategori bahan halus : MF = 0 – 2,1 maka UP = 0,10 – 0,78 mm

Sudut Tumpukan (Khalil 1999a)

Pengukuran sudut tumpukan dilakukan dengan menjatuhkan bahan

sebanyak 500 g pada ketinggian tertentu melalui corong pada bidang datar. Alas

yang digunakan kertas karton berwarna putih.

Sudut tumpukan bahan ditentukan dengan mengukur diameter dasar (d)

dan tinggi tumpukan (t). Tinggi bahan diukur dengan menggunakan jangka

sorong, panjang dan lebar bahan diukur dengan menggunakan mistar. Besarnya

sudut tumpukan dihitung dengan menggunakan rumus:

(37)

t tg = 0,5d

Keterangan : t = tinggi tumpukan d = diameter tumpukan α = sudut tumpukan α = tan-1α

Gambar 9 Alat pengukur sudut tumpukan

Uji Ketahanan Pellet terhadap Benturan (Balagopalan et al. 1988)

Ketahanan pellet terhadap benturan dapat diuji dengan melalukan shatter

test, yaitu dengan cara menjatuhkan pellet yang telah diketahui beratnya ke atas

sebuah lempeng besi. Ketahanan pellet terhadap benturan dapat dirumuskan

sebagai persentase banyaknya pellet yang utuh setelah dijatuhkan ke atas sebuah

lempengan besi terhadap jumlah pellet semula sebelum dijatuhkan. Ketahanan

pellet terhadap benturan dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu komponen

penyusun bahan baku dan kondisi bahan (Balagopalan et al. 1988).

Komponen bahan baku yang mempengaruhi ketahanan pellet terhadap

benturan adalah pati, serat, lemak dan kotoran. Bahan-bahan yang mengandung

pati akan mengalami gelatinasi dan berfungsi sebagai perekat untuk menghasilkan

pellet yang kuat. Lemak berfungsi sebagai pelicin (pelumas), sehingga pencetakan

pellet menjadi lebih mudah. Serat yang ada dalam bahan baku sulit untuk dicetak,

tetapi dalam jumlah yang cukup, serat dapat menjadi bahan penguat pellet.

Adanya kotoran seperti pasir dan grit akan mengurangi kualitas fisik pellet dan

akan mempengaruhi die dan roller pada mesin pellet (Balagopalan et al. 1988).

Ditambahkan pula bahwa kondisi bahan yang mempengaruhi ketahanan pellet

terhadap benturan adalah kandungan air, ukuran partikel dan suhu. Kandungan air

yang ada dalam bahan membantu terjadinya gelatinisasi pati menjadi bahan

(38)

kualitas fisik yang baik apabila bahan yang akan dipellet merupakan campuran

bahan yang memiliki ukuran partikel halus dan sedang.

Uji Ketahanan Pellet terhadap Gesekan (Fairfield 1994)

Ketahanan pellet terhadap gesekan atau durability pellet dapat dilakukan

dengan menggunakan metode pfost tumbling, yaitu dengan cara memasukkan

sampel bahan sebanyak 500 gram ke dalam sebuah drum yang berpetar selama 10

menit dengan kecepatan 50 rpm, kemudian disaring dan pellet yang tertinggalpada

saringan ditimbang. Penentuan durability pellet dilakukan dengan

membandingkan berat pellet setelah diputar dalam tumbler dengan berat pellet

awal dikalikan 100% (Thomas dan van der Poel 1996).

3.4.2 Uji Biologis Ransum Komplit Limbah Udang

Konsumsi Ransum

Uji konsumsi dilakukan dengan cara memberikan pellet secara ad libitum

selama 7 hari, setelah terlebih dahulu dilakukan masa adaptasi selama 21 hari.

Pada tahap akhir dari uji ini dengan cara mengurangi jumlah ransum yang

diberikan dengan sisanya yang tidak dikonsumsi per-hari. Ransum terlebih

dahulu ditimbang sebelum diberikan ke ternak.

Konsumsi bahan kering dihitung dengan menggunakan rumus :

Konsumsi bahan kering (g/ekor/hari) = % bahan kering x konsumsi ransum

Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik

Adapun kecernaan yang diamati adalah kecernaan bahan kering dan bahan

organik (AOAC 1999). Kecernaan ditentukan dengan mengurangi nutrient yang

dikonsumsi dengan nutrient feses yang dianalisa secara proksimat. Pengukuran

koleksi feses dilakukan selama seminggu. Selanjutnya masing-masing sampel

diambil 10% setiap hari, kemudian dikomposit setiap minggu untuk dianalisa

kandungan nutrisinya. Koefisien cerna nutrient dihitung dengan persamaan :

(%) Kec BK = {∑Konsumsi (BK)x BK pakan) –(∑Feses(BK)xBK feses}x 100 %

(39)

(%) Kec BO = {∑Konsumsi (BO)x BO pakan) –(∑Feses(BO)xBO feses}x 100 % Konsumsi(BO) x BO pakan}

Kecernaan ADF dan NDF(Van Soest 1995).

Sampel feses maupun ransum berukuran 20-30 mesh (1mm) sebanyak 1 g

dimasukkan ke dalam labu reflux dan ditambahkan 10 ml larutan deterjen netral

(larutan NDS). Sampel yang ada dalam labu reflux dipanaskan 5-10 menit hingga

mendidih, setelah mendidih dilanjutkan pemanasan diatas reflux tersebut selama

60 menit. Untuk mencegah buih yang berlebihan maka panas pada reflux dapat

dikurangi atau dengan menambah decalin. Setelah 60 menit labu reflux yang

berisi sampel didinginkan selama 5-10 menit dan disaring dengan menggunakan

alat penghisap (pompa vacuum) yang dilengkapi dengan kertas saring dan

cawang. Sampel dibilas dengan menggunakan air hangat dan aceton. Hasil

penyaringan dan kertas saring dimasukkan ke dalam cawan porselin dan

dipanaskan dalam oven bersuhu 1050C sampai beratnya konstan. Kertas saring

(Whatman No.41) dan cawan porselin yang digunakan ditimbang terlebih dahulu

sebelum digunakan. Sampel yang telah dikeringkan di dalam oven didinginkan

dalam eksikator dan ditimbang berat akhirnya.

Perhitungan :

(%) NDF =( Berat cawan + residu kering) – berat cawan kering x 100 % Berat kering contoh

Larutan NDS, terdiri dari (untuk 1 liter) :

o Aquadest 1 liter

o Sodium Lauryl Sulfate = 30 g

o Disodium Ethilene Diamine Tetra Acetate (EDTA) = 18,61 g

o Sodium Hydrogen Phosphate Anhydrous (Na2HPO4) = 4,56 g

o 2-ethoxyethanol = 10 ml

o Decalin

o pH larutan = 6,9 – 7,1 (netral)

Konsumsi NDF = Konsumsi Bahan kering ransum (g) x (%) NDF ransum

(40)

Koefisien cerna NDF = Konsumsi NDF- NDF feses x 100 % Konsumsi NDF

Pada prinsipnya analisa ADF hampir sama dengan analisa NDF. Pada

analisa ADF larutan yang digunakan adalah larutan deterjen asam. Sampel yang

telah disaring dan di oven pada suhu 1050C didinginkan dengan eksikator,

kemudian ditimbang beratnya.

Perhitungan :

(%)ADF =( Berat cawan + residu kering) – berat cawan kering x 100 % Berat kering contoh

Larutan ADS, terdiri dari (untuk 1 liter) :

o Cetyl Trimethyl Ammonium Bromide (CTAB) = 20 g

o H2SO4 1 N = 27,74 ml

o Decalin dan pH larutan = 2 – 3 (asam)

Konsumsi ADF = Konsumsi Bahan kering ransum (g) x (%) ADF ransum

ADF feses = Feses yang keluar (g) x (%) ADFfeses

Koefisien cerna ADF = Konsumsi ADF- ADF feses x 100 % Konsumsi ADF

Retensi Nitrogen

Dihitung dari besarnya konsumsi nitrogen dikurangi dengan jumlah

nitrogen yang keluar bersama feses dan urin. Besarnya retensi nitrogen dapat

dinyatakan dengan rumus

Retensi Nitrogen (g/ hari) = Konsumsi Nitrogen-(Nitrogen Feses+Nitrogen Urin)

Konsumsi nitrogen = konsumsi bahan kering ransum x % nitrogen ransum

Nitrogen feses = ∑ feses x % BK feses x % nitrogen

Nitrogen urin = ∑ urin x % BK feses x % nitrogen

Pertambahan Berat Badan Harian

Penimbangan bobot badan dilakukan setiap dua minggu masa

pengumpulan data.

(41)

Konversi Ransum

Perhitungan konversi ransum didapatkan dari jumlah ransum yang

dikonsumsi setiap minggu selama penelitian dibagi dengan pertambahan bobot

badan.

3.5Rancangan Percobaan dan Analisa Data

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian tahap I dan II

adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan empat taraf perlakuan pellet

ransum komplit limbah udang yaitu kontrol R0 (Ransum komplit tanpa

penambahan limbah udang), R1(Ransum komplit dengan penambahan limbah

udang 10%), R2 (Ransum komplit dengan penambahan limbah udang 20%) dan

R3 (Ransum komplit dengan penambahan limbah udang 30%). Masing-masing

perlakuan diulang empat kali (4 x 4) sehingga terdapat 16 unit percobaan. Model

matematis rancangan tersebut sebagai berikut:

Yij = µ + τi + εij

Keterangan :

Yij = Respon percobaan dari perlakuan ke-i dan ulangan ke –j

µ = Rataan umum

i = Pengaruh perlakuan limbah udang ke-i (1,2,3,4)

εij = Pengaruh galat perlakuan ke-i dan ulangan ke-j (1,2,3,4)

Data yang diperoleh dianalisis menggunakan sidik ragam (Anova). Bila

hasil yang diperoleh terdapat perbedaan, maka dilanjutkan dengan uji jarak

Duncan menggunakan Paket Program SPSS 16.

(42)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kandungan Nutrisi Pellet Ransum Komplit

Berdasarkan hasil analisa (Tabel 3) terlihat bahwa kandungan abu, serat kasar, lemak kasar, Ca, P dan gross energi pada perlakuan taraf penambahan limbah udang dalam ransum meningkat dibandingkan perlakuan tanpa penambahan limbah udang. Meningkatnya kandungan serat kasar disebabkan adanya kitin pada limbah udang yang juga ikut meningkat. Salah satu keunggulan dari limbah udang dibanding bahan pakan lainnya adalah limbah udang mengandungan Ca dan P yang tinggi. Menurut Okaye et al. (2005) dan Khempaka et al. (2006), bahwa limbah udang sangat potensial dijadikan bahan pakan sumber protein hewani karena ketersediaanya cukup banyak dan mengandung zat-zat gizi yang tinggi, terutama protein dan mineralnya. Adapun kandungan nutrisi bahan baku tepung limbah udang dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Kandungan Nutrisi Tepung Limbah Udang (Berdasarkan 100% BK)

Bahan Abu Protein

Tepung Limbah Udang 25.05 28.83 23.67 8.75

Tepung Limbah Udang (hidrolisis fisik 6 jam)

25.03 29.61 23.66 8.72

Sumber : Hasil analisa Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. 2008 Berdasarkan hasil analisa (Tabel 4) terlihat bahwa tepung limbah udang

(43)

Tabel 5 Rataan Hasil Analisa Kitin dan Kecernaan Kitin pada Limbah Udang (Berdasarkan 100 % BK)

Bahan Perlakuan

Kitin (%) Kecernaan kitin(%)

Limbah Udang 25.71 10.46

Limbah Udang hidrolisat 3 jam 24.83 10.68 Limbah Udang hidrolisat 6 jam 24.16 11.93 Limbah Udanghidrolisat 9 jam 24.73 11.41

Sumber : Hasil analisa Laboratorium Nutrisi Ruminansia Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, 2006

Gambaran Umum Pellet Ransum Komplit

Pellet ransum komplit limbah udang adalah suatu produk pengolahan pakan yang terdiri dari limbah udang. hijauan dan konsentrat yang disusun berdasarkan kebutuhan nutrisi ternak. Proses pembentukan pakan, campuran konsentrat atau ransum komplit menjadi bentuk silinder disebut pelleting (Thomas 1997). Tujuan pembuatan pellet adalah untuk mengurangi sifat debu pakan, meningkatkan palatabilitas pakan. mengurangi pakan yang terbuang, mengurangi sifat voluminous pakan dan untuk mempermudah penanganan pada saat penyimpanan dan transportasi. Adapun penampilan fisik pellet ransum komplit limbah udang dapat dilihat pada Gambar 10.

Keterangan : R0 (kontrol). R1 (ransum komplit dengan penambahan limbah udang 10%). R2 (ransum komplit dengan penambahan limbah udang 20%) dan R3 (ransum komplit dengan penambahan limbah udang 30%). Gambar 10 Penampilan fisik pellet ransum komplit limbah udang

(44)

pellet ransum komplit tanpa limbah udang. Semakin besar persentase penambahan tepung limbah udang dalam ransum komplit memperlihatkan tekstur pellet yang halus dan kompak. Warna dan aroma merupakan hasil dari panca indra (mata dan hidung) ternak yang bisa menjadi pertimbangan dalam pemilihan pakan. Pellet ransum komplit limbah udang yang dihasilkan berwarna kecoklatan. Hal ini disebabkan adanya reaksi kecoklatan secara non enzimatis yaitu reaksi antar asam organik dengan gula pereduksi dan antara asam–asam amino dengan gula pereduksi. Adapun aroma yang dihasilkan dari pellet ransum komplit secara keseluruhan memberikan aroma khas limbah udang. Namun aroma ini akan berkurang dengan adanya proses hidrolisis dan penambahan molases dalam ransum.

4.2 Penelitian Tahap Pertama (Uji Sifat Fisik )

Adapun tujuan dari penelitian tahap pertama adalah untuk mengevaluasi kualitas uji fisik ransum komplit limbah udang. Pengujian sifat fisik pellet meliputi kadar air, aktivitas air, ukuran partikel, sudut tumpukan, ketahanan benturan dan ketahanan gesekan. Adapun pengaruh perlakuan terhadap sifat fisik pellet ransum komplit limbah udang yang diukur ditampilkan pada Tabel 6.

Tabel 6 Pengaruh Perlakuan terhadap Sifat Fisik Pellet Ransum Komplit Limbah Udang

Peubah Perlakuan R0 R1 R2 R3

Kadar Air (%) 14.14±0.13c 13.13±1.05a 13.07±0.07a 13.57±0.10b

Aktifitas Air 0.73±0.08c 0.58±0.01b 0.45±0.00a 0.68±0.00bc

Ukuran Partikel (mm) 13.09±0.16d 12.20±0.50c 10.92±0.07a 12.03±0.29b Sudut Tumpukan (0) 26.42±0.61d 21.10±0.22a 22.63±0.65b 24.31±0.46c Ketahanan Benturan (%) 92.25±0.18a 96.87±0.21b 99.34±0.31c 97.94±0.49b

Ketahanan Gesekan (%) 94.00±0.37a 95.60±0.76b 98.28±0.42d 96.78±0.50c Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukan pengaruh yang berbeda nyata (P<0.05). R0

(kontrol). R1 (ransum komplit dengan penambahan limbah udang 10%). R2 (ransum komplit dengan penambahan limbah udang 20%) dan R3 (ransum komplit dengan penambahan limbah udang 30%).

Kadar Air

(45)

rendah tidak dapat terkontaminasi oleh mikroorganisme. Dimana diketahui bahwa limbah udang mengandung protein NPN yang menghasilkan amonia yang tinggi. Bila terjadi reaksi dengan kadar air yang rendah, tidak akan menyebabkan bau yang busuk dan daya simpannya akan menjadi lebih tinggi. Faktor lain yang mempengaruhi rendahnya kadar air adalah pengaruh hidrolisis menyebabkan terjadinya proses denaturasi yang mengakibatkan air bahan mengalami penguapan, sehingga ikatan N-acetylated-glukosamin-polysacharida dari kitin mengalami perubahan struktur (perenggangan). Selanjutnya akan meningkatkan proses metabolisme zat-zat makanan dalam tubuh ternak. Bahkan dengan adanya pengaruh hidrolisis dengan autoclave tersebut menghasilkan bau khas limbah udang yang sangat disukai oleh ternak, sehingga konsumsi dan pertambahan bobot badan harian ternak meningkat pula.

Rendahnya kadar air pada ransum yang mengandung limbah udang hidrolisat, berarti bahwa kualitas fisik limbah udang hidrolisat cukup baik digunakan sebagai bahan pakan dalam ransum komplit. Karena kadar air merupakan satu tolak ukur untuk mengevaluasi kualitas bahan pakan ternak. Dengan kadar air yang rendah, kualitas bahan pakan tersebut meningkat. Dalam industri pakan ternak dibutuhkan bahan pakan yang berkadar air rendah yaitu dibawah 15% karena berhubungan penyimpanan (Thomas et al. 1997). Retnani (2009) menyatakan bahwa besarnya kandungan air pada ransum selain berkaitan dengan mutu dan pengolahan bahan juga akan menentukan keawetan ransum. Aktivitas Air

(46)

aktivitas air yang rendah maka pertumbuhan mikroba tidak pernah terjadi. Mikroba hanya dapat tumbuh pada kisaran air tertentu, bahan yang mempunyai aktivitas air 0.7 atau pada kelembaban relatif dibawah 70% sudah dianggap cukup baik dan tahan selama penyimpanan (Winarno 1991).

Rendahnya aktivitas air pada ransum yang mengandung limbah udang hidrolisat menunjukkan bahwa kualitas fisik limbah udang hidrolisat cukup potensial digunakan sebagai bahan pakan yang berkualitas dalam ransum komplit. Karena dengan aktivitas air rendah, maka air bebas yang dihasilkan juga rendah sehingga kelembaban relatifnya rendah. Hal ini berarti mikroorganisme tidak mudah berkembang, sehingga bahan pakan limbah udang tersebut aman disimpan dan dikonsumsi oleh ternak. Ayu (2003) menyatakan bahwa pengukuran Aw mencerminkan air bebas yang terdapat dalam bahan pakan atau kelembaban relatif kesetimbangan ruang penyimpanan bahan.

Ukuran Partikel

Hasil analisa (Tabel 6) terlihat bahwa perlakuan taraf penambahan limbah udang dalam ransum komplit domba sampai taraf 30% menunjukkan pengaruh yang nyata (P<0.05) lebih rendah terhadap ukuran partikel. Namun taraf yang terbaik adalah penambahan limbah udang 20%, karena pada taraf tersebut ukuran partikel dari ransum tersebut kecil. Hal ini disebabkan adanya proses hidrolisis pada bahan pakan limbah udang sehingga dapat menghasilkan proses pematangan. Proses pematangan ini menyebabkan ukuran partikel semakin halus, karena partikel-partikel yang ada akan mengecil. Rataan yang terbesar adalah pada perlakuan tanpa penambahan limbah udang dan terkecil adalah perlakuan penambahan limbah udang 20%. Ukuran partikel pellet dipengaruhi oleh ukuran partikel bahan–bahan baku penyusun ransum. Semakin halus ukuran partikel bahan penyusun pellet maka ukuran partikel pellet yang dihasilkan semakin kecil.

(47)

tinggi. Ukuran partikel pellet dipengaruhi oleh ukuran partikel bahan-bahan baku penyusun ransum. Semakin halus ukuran partikel bahan penyusun pellet maka ukuran partikel pellet yang dihasilkan semakin kecil. Hal ini disebabkan adanya proses hidrolisis pada bahan ransum limbah udang, sehingga dapat menghasilkan proses pematangan dan gelatinisasi. Hal tersebut juga menyebabkan semakin luas permukaan kontak antar partikel di dalam pellet, sehingga semakin kuat ikatan antar partikel penyusun pellet yang menyebabkan pellet tidak mudah hancur. Ukuran partikel yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa bahan penyusun pellet termasuk dalam kategori kasar karena memiliki ukuran partikel > 1,79 – 13,33 mm (Suryani 2005).

Hubungan Antara Ukuran Partikel dengan Kadar Air

Hasil analisis regresi antara kadar air dengan ukuran partikel (0, 5,10, 15 dan 20 mm), menunjukkan adanya hubungan yang linear (P<0.01). Persamaan regresi linearnya adalah: Y = 1.754x – 11.71 dengan nilai koefisien korelasi R2 = 0.824, Y adalah kadar air (%) dan X adalah ukuran partikel (mm) (Gambar 11).

.

Gambar 11 Grafik Hubungan Antara Kadar Air dengan Ukuran Partikel

(48)

untuk meningkatkan rata-rata satu % kadar air dibutuhkan ukuran partikel hampir 1 mm. Nilai koefisien korelasi (R2 = 0.824) menunjukkan hubungan yang cukup erat antara kadar air dengan ukuran partikel.

Penentuan ukuran partikel ransum sangat penting, karena berpengaruh terhadap pertumbuhan ternak dan efisiensi pakan. Ensminger et al. (1990), pengecilan ukuran partikel dilakukan untuk mempermudah konsumsi dan meningkatkan kecernaan pakan, sedangkan pembesaran ukuran partikel dilakukan untuk pakan sapi atau domba di lapang. Ukuran pellet dari bahan-bahan penyusun ransum berperan penting bagi ahli nutrisi dalam memilih bahan yang akan digunakan dan menentukan apa yang diperlukan untuk mempercepat waktu saat memproduksi ransum komplit. Ukuran partikel akan mempengaruhi kecernaan nutrisi, efisiensi waktu pencampuran, kualitas pellet, banyaknya kerusakan yang terjadi saat transportasi dan pengangkutan, palatabilitas dan konsumsi ransum dan timbulnya luka di perut (Knorr et al. 1997)

Sudut Tumpukan

(49)

Ketahanan Benturan

Ketahanan pelet terhadap benturan adalah peubah yang digunakan untuk menguji daya tahan pellet terhadap benturan. Hasil analisa (Tabel 6) terlihat bahwa perlakuan taraf penambahan limbah udang dalam ransum komplit domba sampai taraf 20% menunjukkan pengaruh yang nyata (P<0.05) lebih rendah terhadap ukuran partikel, tetapi perlakuan dengan penambahan 10% dan penambahan 30% limbah udang tidak berbeda nyata. Tingginya nilai rataan taraf perlakuan yang mengandung limbah udang disebabkan adanya pengaruh pengolahan hidrolisis, sehingga terjadi proses pemanasan dan gelatinisasi pati pada saat pembentukan pellet. Namun nilai rataan yang tertinggi adalah pada perlakuan penambahan limbah udang sebesar 20% yaitu 99,34%. Menurut Cheeke (1999) pada saat proses pembentukan pellet terjadi gelatinisasi pati yang membantu terjadinya ikatan kuat atau perekat antar partikel bahan, sehingga terbentuk pellet yang kompak dan tidak mudah hancur.

Bila taraf perlakuan limbah udang ditingkatkan sebesar 30%, maka nilai ketahanan benturannya akan menurun. Hal ini disebabkan karena adanya penambahan serat yaitu kitin pada limbah udang. Sehingga bila penambahan bahan pakan tersebut ditingkatkan maka kandungan seratnya juga meningkat. Karena serat merupakan salah satu faktor yang menyebabkan pellet susah dicetak, sehingga menjadi rapuh dan mudah hancur.

Ketahanan Gesekan (durability)

(50)

pembentuk gel yang sangat baik sebagai pengikat, penstabil dan pembentuk struktur.

Nilai rataan yang tertinggi (98.28%) adalah pada taraf perlakuan penambahan limbah udang 20%. Hal ini sudah sesuai dengan standar spesifikasi durability indeks yang digunakan adalah minimum 80% (Dozier 2001). Tingginya taraf perlakuan penambahan limbah udang 20% di pengaruhi rendahnya kadar air dan ukuran partikel, sehingga menghasilkan pellet yang kompak dan tidak mudah hancur.

4.3 Penelitian Tahap Kedua (Uji Biologis/ in vivo)

Tujuan dari penelitian tahap kedua ini adalah untuk menguji konsumsi, daya cerna, retensi nitrogen pertambahan bobot badan harian, dan konversi ternak domba yang diberi pellet ransum komplit yang mengandung limbah udang. Adapun pengaruh perlakuan terhadap uji biologis pellet ransum komplit limbah udang dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Pengaruh Perlakuan terhadap Uji Biologis Pellet Ransum Komplit Limbah Udang

Peubah Perlakuan R0 R1 R2 R3

Konsumsi Bahan Kering

(g/ekor/hari) 901.79±60.27 934.44±61.96 1007.47±59.80 977.79±76.85 Kecernaan Bahan Kering (%) 65.95±0.74c 63.72±2.28c 56.76±1.75b 50.60±5.91a

Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukan pengaruh yang berbeda nyata (P<0.05). R0 (kontrol). R1 (ransum komplit dengan penambahan limbah udang 10%). R2 (ransum komplit dengan penambahan limbah udang 20%) dan R3 (ransum komplit dengan penambahan limbah udang 30%).

Konsumsi

(51)

tertinggi adalah taraf penambahan limbah udang 20% yaitu 1 007 g/ekor/hari. Hal tersebut mengindikasikan bahwa keempat model ransum tersebut memiliki tingkat palatabilitas yang sama dan berarti pula ransum yang digunakan mempunyai palatabilitas tinggi sampai pada taraf 30% limbah udang. Hal ini dikarenakan limbah udang yang telah mengalami hidrolisis secara fisik sehingga membuat rasa lezat pada ransum atau suatu zat yang larut dalam air atau air liur setelah ditelan. Jika dilihat dari jumlah konsumsi ransum termasuk cukup tinggi, bila dibandingkan dengan hasil penelitian Lestari et al (2005) hanya berkisar antara 852.43 – 967.17 g/ekor/hari. Sedangkan konsumsi bahan kering dalam penelitian ini berkisaran antara 901.8–1 007 g/ekor/hari.

Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik

Rendahnya kecernaan bahan kering dan bahan organik pada perlakuan yang menggunakan limbah udang disebabkan adanya zat anti nurtisi (kitin). Kitin adalah serat hewani, mempunyai ikatan N-acetylated-glukosamin-polysacharida yang sulit didegradasi oleh mikroba rumen, sehingga tidak dapat diabsorpsi pada usus halus. Struktur kitin yang ada pada limbah udang tidak dapat berubah akibat hidrolisis secara fisik dengan autoclave pada suhu 1210C selama 6 jam. Struktur kitin tersebut mungkin dapat berubah bila suhu dan waktu ditingkatkan atau dengan penambahan bahan kimia. Karena kitin memiliki ikatan kuat sehingga dengan pemanasan saja belum dapat merubah struktur kitin tersebut. Sesuai dengan pendapat Sara (2005) bahwa dengan penambahan tepung kepala udang dalam ransum akan menyebabkan peningkatan kadar kitin dalam ransum, sehingga ransum tersebut sukar untuk dicerna yang menyebabkan menurunnya tingkat kecernaan bahan kering dan bahan organik.

Gambar

Tabel 1 Komposisi kimia tepung limbah udang, tepung ikan, dan bungkil kedelai (berdasarkan  100% BK)
Gambar 2  Struktur kimia kitin
Gambar 3  Sketsa proses denaturasi protein (Brandts 1967 dalam Winarno 1991)
Tabel 3  Komposisi bahan dan nutrien ransum komplit penelitian (Berdasarkan 100%  BK)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sebagai bahan masukan dan evaluasi bagi pihak manajemen Sekolah Dasar High/Scope Indonesia Medan, untuk mengetahui pengaruh variabel lokasi, harga, kualitas pendidikan, dan

Pada pemeriksaan RT-PCR untuk deteksi virus Dengue-3 pada nyamuk yang diin- feksi secara intrathorakal, terdapat variasi dalam volume RNA virus yang digunakan dan juga

Perbandingan Pengguna Media Alat bantu dan Tanpa Penggunaan Media Alat Bantu Terhadap Hasil Belajar Senam.. Universitas Pendidikan Indonesia |

Menganalisis proses yang ada bertujuan untuk mengetahui lebih jelas bagaimana cara kerja system dan masalah yang ada pada web info kegiatan kota semarang, untuk dapat

Fasilitas kredit kepada bank lain yang belum ditarik 2813. Posisi penjualan spot dan derivatif yang masih berjalan

(pengargaan dan hukuman), Pemberian nasehat, dan Melalui kegiatan ekstrakulikuler. Adapun faktor pendukung dan penghambatdalam proses pembinaan mental keagamaan santri Pondok

Sehingga karyawati yang ludah berkeluarga dapat bekerja dengan baik dan dapat memenuhi tuntutan pekerjaan dari perulahaan dan memberikan waktu kerja yang lebih fleklibel

2 yang diberikan dalam menjawab permasalahan-permasalahan yang ditemui.Untuk kasus Bapak I Nyoman Sumerta solusi yang diberikan penulis kepada KK dampingan terkait