• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Karakteristik Pertumbuhan Anak Usia Sekolah di Provinsi Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Karakteristik Pertumbuhan Anak Usia Sekolah di Provinsi Jawa Barat"

Copied!
139
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI KARAKTERISTIK PERTUMBUHAN ANAK USIA

SEKOLAH DI PROVINSI JAWA BARAT

SITI HAJAR

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

(2)

SITI HAJAR. Growth Characteristics Study of School Age Children in West Java Province. Under the guidance of Hidayat Syarief and Ikeu Ekayanti.

The problem of malnutrition in school age children is characterized by a condition of body weight and height which are below standard. This condition will have adverse effects in adulthood that is characterized by a stunted and low ability levels. The purpose of this research was to study analysis growth characteristic of school age children in West Java Province (limited to Garut, Bandung, and Cirebon district). A cross sectional study designed was implemented and a set of data of Riskesdas 2007 was used in the study. Data was analyzed using Microsoft Exel 2007 for windows and Statistical Program for Social Science (SPSS) 16.0. Data include the characteristics of the sample’s families (families size, parental education, parental employment, and household income); the characteristics of school age children (age, sex, weight, height, energy consumption, and protein consumption); the families of physical environment and infectious diseases. Weight for age (W/A), height for age (H/A) and body mass index for age (BMI/A) index were used to measure school age children nutritional status. Based on indicator of W/A, the result of this analysis were the factors that influence nutritional status in the Garut district the amount of income by 3.4%. As for H/A no factors affected. Based on BMI/A indicators, factor that were influential were the protein consumtion. The results of the analysis in Bandung district, based on indicators W/A and BMI/A were indicated that the number of families amounted to 1.5% and 1.1%. Based on indicators of H/A no factors effected. In the Cirebon district, based on W/A indicator, factors that were influential were the amount of income, protein consumption, and the head of the family’s education by 12.4%, and based on H/A and BMI/A that were influential were the amount of income by 3.2% and 2.8%.

(3)

RINGKASAN

SITI HAJAR. Studi Karakteristik Pertumbuhan Anak Usia Sekolah di Provinsi Jawa Barat.Dibimbing oleh HIDAYAT SYARIEF dan IKEU EKAYANTI.

Pembangunan nasional bertujuan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia secara berkesinambungan dan berkelanjutan sehingga memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat dan kesehatan yang prima disamping penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Kekurangan pangan dan gizi dapat merusak kualitas sumber daya manusia (SDM). Depkes (2000) menyatakan bahwa kualitas SDM ditentukan oleh keberhasilan tumbuh kembang pada masa anak-anak. Anak usia sekolah adalah generasi penerus bangsa, kualitas bangsa di masa depan ditentukan oleh kualitas anak-anak saat ini. Menurut Kodyat (1995) kekurangan gizi pada anak usia sekolah mempunyai dampak buruk pada masa dewasa yang dimanifestasikan pada bentuk fisik yang lebih kecil dan tingkat kemampuan yang rendah.

Masalah gizi yang paling sering ditemukan pada anak usia sekolah, tercermin dari keadaan berat badan dan tinggi badan yang berada di bawah nilai standar. Keadaan ini lebih sering terjadi di negara-negara berkembang (Jellief 1971). Penilaian status gizi anak sekolah dilakukan dengan pengukuran antropometri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tinggi badan anak sekolah mempunyai korelasi dengan keadaan sosial ekonomi penduduk, dan dapat memberikan gambaran umum mengenai keadaan dan gizi masyarakat (Abunain

et al. 1994). Hasil Riskesdas 2007 menunjukkan prevalensi anak usia sekolah laki-laki dan perempuan kurus berturut-turut adalah 13,3% dan 10,9%, sedangkan prevalensi anak usia sekolah laki-laki dan perempuan gemuk berturut-turut adalah 9,5% dan 6,4% (Depkes 2008). Berdasarkan data yang sudah dipaparkan diatas, maka terlihat adanya masalah pertumbuhan pada kelompok anak usia sekolah yang dilihat dari hasil pengukuran antropometri. Masalah yang terjadi tersebut dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang saling mempengaruhi satu sama lain, sehingga untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh terhadap status gizi anak usia sekolah dilakukan penelitian mengenai studi karakteristik pertumbuhan anak usia sekolah.

Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah cross sectional study yaitu pengamatan yang dilakukan sekaligus pada satu waktu,

dengan menggunakan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007. Pemilihan daerah dilakukan secara purposive, yaitu diambil tiga kabupaten di Provinsi Jawa Barat yang memiliki topologi daerah yang berbeda. Contoh yaitu semua anak berusia 6-12 tahun yang mempunyai kelengkapan data untuk diteliti. Jumlah contoh dalam penelitian ini sebanyak 1323 orang. Jumlah responden dari setiap kabupaten adalah: Kabupaten Garut 380 orang, Kabupaten Bandung 533 orang dan Kabupaten Cirebon 410 orang.

(4)

pada status gizi normal yaitu di Kabupaten Garut 73,7%, Kabupaten Bandung 83,5% dan Kabupaten Cirebon 77,1%.

Hasil analisis konsumsi energi contoh di ketiga kabupaten menunjukkan bahwa sebagian besar tingkat konsumsi mengalami defisit tingkat berat dengan nilai persentase masing-masing sebesar 35,7 (Kabupaten Garut), 41,4 (Kabupaten Bandung) dan 38,5 (Kabupaten Cirebon), sedangkan tingkat konsumsi protein/kapita contoh di ketiga kabupaten sebagian besar tergolong ke dalam tingkat kecukupan yang lebih. Penilaian terhadap kesehatan lingkungan keluarga di ketiga kabupaten, hasilnya menunjukkan bahwa kesehatan lingkungan keluarga contoh termasuk kedalam kondisi yang baik. Penilaian terhadap penyakit infeksi yaitu menunjukkan bahwa contoh yang terkena infeksi di Kabupaten Garut dan Kabupaten Bandung secara berturut-turut sebesar 19,2% dan 9,4% lebih sedikit dibandingkan dengan Kabupaten Cirebon yaitu sebesar 30,5%.

Analisis ragam berdasarkan indikator BB/U di ketiga kabupaten menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan (p>0,1). Hasil analisis ragam terhadap indikator TB/U menunjukkan bahwa terdapat perbedaan dua kabupaten (p<0,05), hasil uji lanjut menyatakan bahwa status gizi contoh di Kabupaten Garut berbeda dengan Kabupaten Bandung dan Cirebon, sedangkan hasil analisis ragam dan uji lanjut terhadap indikator IMT/U menunjukkan bahwa status gizi di tiga kabupaten berbeda nyata.

(5)

STUDI KARAKTERISTIK PERTUMBUHAN ANAK USIA

SEKOLAH DI PROVINSI JAWA BARAT

SITI HAJAR

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada

Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

(6)

Jawa Barat Nama : Siti Hajar

NIM : I14070034

Disetujui, Dosen Pembimbing I

Prof. Dr. Ir. Hidayat Syarief, MS NIP. 19480215 197412 1 001

Dosen Pembimbing II

Dr. Ir. Ikeu Ekayanti, M. Kes NIP. 19660725 199002 2 001

Diketahui,

Ketua Departemen Gizi Masyarakat

Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP. 19621218 198703 1 001

(7)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kemudahan dan kelancaran sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Studi Karakteristik Pertumbuhan Anak Usia Sekolah Di Provinsi Jawa Barat”. Penulis mengucapkan terima kasih kepada ibunda Aisyah, kakak dan adik tersayang, serta seluruh keluarga penulis atas kasih sayang, perhatian dan dukungan dalam bentuk materi maupun moral. Selain itu, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Hidayat Syarief, MS dan Dr. Ir. Ikeu Ekayanti, M.Kes sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu, memberikan bimbingan, saran arahan, dan dukungan kepada penulis.

2. Prof. Dr. Ir. Dadang Sukandar, M.Sc sebagai dosen pembimbing akademik. 3. Prof. Dr. Ir. Siti Madanijah, MS sebagai dosen pemandu seminar dan dosen

penguji yang telah mengevaluasi hasil penelitian penulis dan memberikan saran dalam penulisan skripsi ini.

4. Balitbangkes Depkes RI, yang memberikan izin penggunaan data Riskesdas. 5. Mayang, Nesyi Febi, Devi Nur, Devi Sandy, dan sahabat Luminaire (GM’44)

atas segala keceriaan, pengalaman dan persahabatan yang tidak terlupakan. 6. Sahabat seperjuangan: Yosepin dan Yudhistira atas kerjasamanya

7. Semua sahabat: Hani, Koly, Dewi, Syanti, Ade Y, Mia, Silvi, Richa, Adella, dan pondok Assalamah atas kasih sayang, dukungan dan semangat yang diberikan.

8. Keluarga besar Gizi Masyarakat: GM angkatan ’45, ’46, para pengajar, staf TU atas segala bantuannya.

9. Semua pihak yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu, terimakasih atas semua dukungan, bantuan dan doanya.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Penulis juga berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua.

Bogor, Oktober 2011

(8)

ketiga dari empat bersaudara dari Bapak Drs. Kosasih Djunaedi (alm) dan Ibu Aisyah, BA. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SD Negeri Gentra Masekdas pada tahun 2001. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke SMP Negeri 1 Tarogong dan lulus pada tahun 2004. Pendidikan selanjutnya ditempuh di SMA Negeri 1 Garut dan lulus pada tahun 2007. Pada bulan Juli tahun 2007, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI IPB). Kemudian pada bulan Agustus 2008, penulis diterima sebagai mahasiswa Mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Selama penulis mengikuti pendidikan di IPB, penulis aktif di organisasi mahasiswa daerah (OMDA) Himpunan Mahasiswa Garut (HIMAGA), penulis pun mengikuti organisasi kemahasiswaan Himpunan Mahasiswa Ilmu Gizi (HIMAGIZI) di Club Peduli Pangan dan Gizi. Pada bulan Juli sampai dengan Agustus 2010, penulis melaksanakan Kuliah Kerja Profesi (KKP) di Desa Cisarua, Kabupaten Sukabumi. Selain itu, penulis juga melaksanakan kegiatan

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... ii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 3

Kegunaan ... 4

TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Konsep Ekologi ... 4

Anak Sekolah Dasar ... 4

Karakteristik Keluarga ... 5

Status Gizi ... 8

Konsumsi Pangan ... 10

Sanitasi Lingkungan ... 11

Penyakit Infeksi ... 13

KERANGKA PEMIKIRAN ... 15

METODE PENELITIAN ... 17

Waktu, Tempat, dan Desain Penelitian ... 17

Jumlah dan Cara Penarikan Contoh ... 17

Jenis dan Cara Pengumpulan Data ... 18

Pengolahan dan Analisis Data ... 19

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 23

Keadaan Umum Daerah Penelitian ... 23

Karakteristik Keluarga ... 26

Karakteristik Contoh ... 29

Analisis Varian terhadap status gizi di setiap daerah ... 43

Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi di Setiap Daerah ... 44

KESIMPULAN DAN SARAN ... 54

DAFTAR PUSTAKA ... 56

(10)

1 Jenis data, variabel dan cara pengumpulan data ... 18

2 Klasifikasi status gizi berdasarkan WHO 2007 ... 19

3 Klasifikasi tingkat kecukupan energi dan protein ... 20

4 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik keluarga ... 26

5 Sebaran pendapatan keluarga ... 28

6 Hubungan pendidikan kepala keluarga dengan penggolongan pendapatan di ketiga kabupaten ... 28

7 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin ... 29

8 Sebaran contoh berdasarkan umur ... 29

9 Hubungan status gizi dan umur contoh di ketiga kabupaten ... 30

10 Contoh status gizi anak usia sekolah berdasarkan 3 indikator status gizi. . 31

11 Status gizi anak usia sekolah berdasarkan indeks BB/U di kabupaten Garut, Bandung dan Cirebon. ... 32

12 Status gizi anak usia sekolah berdasarkan indeks TB/U di kabupaten Garut, Bandung dan Cirebon. ... 33

13 Status gizi anak usia sekolah berdasarkan indikator IMT/U di kabupaten Garut, Bandung dan Cirebon. ... 36

14 Gabungan status gizi berdasarkan indikator BB/U dan TB/U di ketiga kabupaten ... 37

15 Rata-rata konsumsi dan kecukupan energi/kapita dan protein/kapita pada setiap kelompok umur di Kabupaten Garut ... 40

16 Rata-rata konsumsi dan kecukupan energi/kapita dan protein/kapita pada setiap kelompok umur di Kabupaten Bandung ... 40

17 Rata-rata konsumsi dan kecukupan energi/kapita dan protein/kapita pada setiap kelompok umur di Kabupaten Cirebon ... 41

18 Klasifikasi persentase tingkat kecukupan energi dan protein di ketiga kabupaten ... 41

19 Hasil penilaian kesehatan lingkungan di Kabupaten Garut, Bandung dan Cirebon ... 42

20 Persentase sebaran penyakit infeksi di Kabupaten Garut, Bandung dan Cirebon ... 42

21 Rata-rata z-skor di ketiga kabupaten ... 43

22 Uji korelasi faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi berdasarkan indikator BB/U di Kabupaten Garut ... 44

23 Uji korelasi faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi berdasarkan indikator TB/U di Kabupaten Garut ... 45

(11)

iii

25 Uji korelasi faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi berdasarkan indikator BB/U di Kabupaten Bandung ... 46 26 Uji korelasi faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi berdasarkan

indikator TB/U di Kabupaten Bandung ... 47 27 Uji korelasi faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi berdasarkan

indikator IMT/U di Kabupaten Bandung ... 48 28 Uji korelasi faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi berdasarkan

indikator BB/U di Kabupaten Cirebon ... 49 29 Uji korelasi faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi berdasarkan

indikator TB/U di kabupaten Cirebon ... 51 30 Uji korelasi faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi beradasrkan

(12)

1 Skema kerangka pemikiran studi karakteristik pertumbuhan anak usia sekolah di Kabupaten Garut, Bandung dan Cirebon. ... 16 2 Sebaran contoh berdasarkan status gizi (BB/U) di Kabupaten Garut,

Bandung, dan Cirebon ... 33 3 Sebaran contoh berdasarkan status gizi (TB/U) di Kabupaten Garut,

Bandung, dan Cirebon ... 35 4 Sebaran contoh berdasarkan status gizi (IMT/U) di Kabupaten Garut,

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

(14)

Pembangunan nasional bertujuan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia secara berkesinambungan dan berkelanjutan. Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat dan kesehatan yang prima disamping penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Kekurangan pangan dan gizi dapat merusak kualitas SDM.

Menurut Sukandar (2007), Aspek penting untuk mendapatkan kesejahteraan individu berasal dari keluarga. Kesejahteraan keluarga adalah kualitas fisik penduduk yang dapat dilihat dari keadaan sosial ekonomi, derajat kesehatan dan status gizi masyarakat, selain itu perlu adanya upaya peningkatan dan status kesehatan masyarakat yang dapat dilihat dari ketersediaan sarana kesehatan, jenis pengobatan yang dilakukan, konsumsi yang mencukupi kebutuhan, sanitasi lingkungan dan prilaku hidup bersih masyarakat.

Departemen Kesehatan (2000) menyatakan bahwa kualitas sumberdaya manusia ditentukan oleh keberhasilan tumbuh kembang pada masa anak-anak. Pertumbuhan dan perkembangan adalah dua peristiwa yang sifatnya berbeda tetapi saling berkaitan dan sulit dipisahkan. Anak membutuhkan tipe rangsangan dan interaksi yang berbeda untuk melatih keahliannya dan mengembangkan hal yang baru. Kebutuhan dasar yang dibutuhkan untuk dapat tumbuh dan berkembang optimal adalah keadaan kesehatan dan gizi. Kekurangan zat gizi berpengaruh terhadap pertumbuhan anak. Anak tidak dapat tumbuh optimal bila kekurangan zat gizi. Selain itu kekurangan konsumsi pangan dan morbiditas sangat menentukan perkembangan anak. Anak-anak yang mendapatkan makanan yang cukup menunjukkan perkembangan yang sesuai dengan garis perkembangan normal (Yuliana 2004).

(15)

2

kekurangan gizi pada anak usia sekolah mempunyai dampak buruk pada masa dewasa yang dimanifestasikan pada bentuk fisik yang lebih kecil dan tingkat kemampuan yang rendah.

Perubahan gaya hidup meningkatkan masalah gizi lebih dan penyakit degeneratif. Keadaan ini menyebabkan Indonesia mengalami beban ganda masalah gizi yaitu gizi kurang dan gizi lebih. Masalah gizi yang paling sering ditemukan pada anak usia sekolah, tercermin dari keadaan berat badan dan tinggi badan yang berada di bawah nilai standar. Keadaan ini lebih sering terjadi di negara-negara berkembang (Jellief 1971).

Berat badan merupakan salah satu antropometri yang memberikan gambaran tentang massa tubuh (tulang, otot, dan lemak). Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan mendadak, misalnya akibat penyakit yang diderita, nafsu makan seseorang menurun, konsumsi makan berkurang sehingga berakibat terhadap berkurangnya berat badan. Tinggi badan merupakan parameter yang penting bagi keadaan gizi masa lalu terutama yang berkaitan dengan keadaan berat badan lahir rendah dan kurang gizi pada masa balita, selain itu tinggi badan anak dapat digunakan sebagai indeks yang sensitif untuk mendeteksi adanya perubahan status sosial ekonomi keluarga (Supariasa 2001).

Penilaian status gizi anak sekolah dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya dengan pengukuran antropometri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tinggi badan anak usia sekolah mempunyai korelasi dengan keadaan sosial ekonomi penduduk, dan dapat memberikan gambaran umum mengenai keadaan dan gizi masyarakat (Abunain et al. 1994).

Hasil Riskesdas 2007 menunjukkan tingginya masalah gizi pada anak usia sekolah di Indonesia, baik itu masalah kurang gizi maupun kelebihan gizi. Prevalensi anak usia sekolah laki-laki kurus adalah 13,3% di 16 provinsi diatas perevalensi nasional, dan sebanyak 19 provinsi anak usia sekolah perempuan mempunyai prevalensi kurus diatas prevalensi nasional sebanyak 10,9%. Prevalensi anak usia sekolah laki-laki gemuk sebesar 9,5% di 16 provinsi di atas prevalensi nasional, dan di 17 provinsi ditemukan angka prevalensi anak usia sekolah perempuan di atas prevalensi nasional sebesar 6,4% (Depkes 2008).

(16)

lebih tinggi dibandingkan dengan provinsi lain yang ada di Indonesia yaitu Bali dan Sulawesi Utara (Badan Litbangkes 2008). Berdasarkan data yang sudah dipaparkan tersebut, terlihat adanya masalah pertumbuhan pada kelompok anak usia sekolah di Provinsi Jawa Barat.

Untuk melihat masalah pertumbuhan yang terjadi di Provinsi Jawa Barat, dapat dilihat dengan menganalisis karakteristik pertumbuhan di kabupaten yang memiliki karakteristik daerah yang berbeda-beda. Hal ini dilakukan untuk melihat perbedaan pertumbuhan anak usia sekolah dengan kondisi wilayah yang berbeda. Masalah pertumbuhan di kabupaten yang berbeda tersebut dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang saling mempengaruhi satu sama lain sehingga untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh terhadap status gizi anak usia sekolah dilakukan penelitian mengenai studi karakteristik pertumbuhan anak usia sekolah di kabupaten yang ada di Provinsi Jawa Barat.

Tujuan Tujuan Umum

Menganalisis perbedaan karakteristik pertumbuhan (BB/U, TB/U, IMT/U) pada kelompok umur anak usia sekolah (6-12 tahun) di Provinsi Jawa Barat. Tujuan Khusus

1. Mengetahui karakteristik keluarga contoh (besar keluarga, pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan rumah tangga) di Kabupaten Garut, Bandung, dan Cirebon.

2. Mengetahui karakteristik anak usia sekolah (umur, jenis kelamin, berat badan, dan tinggi badan) di Kabupaten Garut, Bandung dan Cirebon. 3. Mengidentifikasi status gizi contoh berdasarkan indikator BB/U, TB/U dan

IMT/U di Kabupaten Garut, Bandung, dan Cirebon.

4. Mengetahui konsumsi zat gizi (energi dan protein) per kapita, lingkungan fisik keluarga dan penyakit infeksi pada contoh.

(17)

4

Kegunaan

(18)

Mata pencaharian dapat dilihat dari corak kehidupan penduduk setempat berdasarkan lingkungan tempat tinggalnya. Kehidupan penduduk dapat dibedakan menjadi dua corak yaitu corak kehidupan tradisional (sederhana) dan corak kehidupan modern (kompleks). Mata pencaharian penduduk Indonesia yang memiliki corak modern sederhana biasanya sangat berhubungan dengan pemanfaatan lahan dan sumber daya alam seperti pertanian, perkebunan dan peternakan juga perikanan. Sementara, mata pencaharian penduduk yang memiliki corak modern biasanya lebih mendekati sektor-sektor yang tidak terlalu berhubungan dengan pemanfaatan lahan dan sumber daya alam biasanya mencakup sektor di bidang jasa, perindustrian, transportasi dan pariwisata.

Mata pencaharian sebagian besar penduduk Indonesia mengarah ke sektor bercocok tanam seperti pertanian dan perkebunan. Selain bercocok tanam, sebagian besar penduduk Indonesia yang tinggal di dataran rendah (daerah pantai) mata pencaharian mereka mengarah ke sektor kelautan. Para nelayan memanfaatkan kekayaan bawah laut Indonesia sebagai sumber mata pencahariannya. Sedangkan, mata pencaharian penduduk di perkotaan mengarah kepada sektor pembangunan, perindustrian transportasi dan pariwisata (Purnama 2010).

Anak Sekolah Dasar

Anak sekolah dasar pada umumnya berusia antara 6-12 tahun. Hurlock (1980) mengelompokkan anak usia sekolah berdasarkan perkembangan psikologis yang disebut sebagai Late Childhood. Usia sekolah dimulai pada usia 6 tahun dan berakhir saat individu menunjukkan kematangan seksualnya antara usia 13 sampai 14 tahun. Pada masa ini anak dalam masa pertumbuhan yang cepat dan kegiatan fisik yang aktif. Tetapi semenjak umur 6 tahun laju pertumbuhan anak mulai melambat. Pada mulanya perbedaan laju pertumbuhan anak laki-laki dan perempuan sedikit sekali berbeda. Namun pada umur 9 tahun rata-rata berat badan wanita umumnya lebih tinggi dibandingkan berat badan pria pada usia yang sama. Tinggi badan pada usia ini relatif sama. Pada usia 10 tahun, rata-rata tinggi badan wanita lebih tinggi 1 cm dibanding dengan rata-rata tinggi badan pria (Hardinsyah & Martianto 1992).

(19)

5

membutuhkan energi lebih banyak, sedangkan anak perempuan biasanya sudah mulai menstruasi, sehingga memerlukan protein dan zat besi yang lebih banyak. Golongan anak ini disebut juga golongan anak sekolah, yang biasanya mempunyai banyak perhatian dan aktivitas di luar rumah, sehingga sering melupakan waktu makan.

Menurut Harper, Deaton, dan Driskel (1986), meskipun laju pertumbuhan anak usia sekolah sebagian besar lebih kecil dibandingkan dengan selama masa sebelumnya, tetapi anak sekolah masih membutuhkan makanan yang lebih banyak daripada orang dewasa. Hal ini diperlukan untuk pertumbuhan dan aktivitas fisik anak sekolah, selain itu juga untuk melindungi anak dari penyakit infeksi dan penyakit menular.

Karakteristik Keluarga Besar Keluarga

Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, anak dan anggota keluarga lain yang hidup dari pengelolaan sumberdaya yang sama. Besar keluarga akan mempengaruhi pengeluaran rumah tangga. Selain itu besar keluarga mempengaruhi jumlah pangan yang dikonsumsi dan pembagian ragam yang dikonsumsi dalam keluarga. Kualitas maupun kuantitas pangan secara langsung akan menentukan status gizi keluarga dan individu. Besar keluarga mempengaruhi pengeluaran pangan. Beberapa penelitian menunjukan bahwa pendapatan per kapita dan pengeluaran pangan menurun dengan peningkatan besar keluarga (Sanjur 1982).

Besar keluarga akan mempengaruhi kesehatan seseorang atau keluarga. Hal ini disebabkan oleh besar keluarga akan mempengaruhi konsumsi zat gizi di dalam satu keluarga. Anak-anak yang tumbuh dalam suatu keluarga miskin, adalah yang paling rawan terhadap gizi kurang diantara semua anggota keluarga, anak yang paling kecil biasanya yang paling terpengaruh oleh kekurangan pangan. Situasi semacam ini sering terjadi sebab seandainya besar keluarga bertambah, maka pangan untuk setiap anak berkurang dan banyak orangtua tidak menyadari bahwa anak-anak yang sedang tumbuh memerlukan pangan yang relatif lebih tinggi daripada golongan yang lebih tua (Suhardjo 1989). Dengan kata lain anak yang tinggal dengan jumlah anggota keluarga yang besar, mempunyai risiko yang tinggi mengalami gizi buruk.

(20)

(Tjokrowinoto et al. 1984 dalam Muldiana 2003). Kondisi keluarga ini berupa karakteristik sosial ekonomi keluarga yang terdiri dari pendidikan, besar keluarga, pekerjaan dan pendapatan.

Menurut Mokoginta (2001) besar keluarga dihipotesiskan mempengaruhi status gizi dari keluarga melalui: a) meningkatkan persaingan untuk sumberdaya keluarga yang terbatas, terutama yang berhubungan dengan pangan, b) meningkatnya penularan penyakit yang dapat ditularkan karena kondisi tidur dan hidup padat, dan c) keterbatasan waktu dan energi yang dimiliki ibu untuk merawat tiap anggota keluarga tersebut.

Pendidikan

Pendidikan orangtua merupakan salah satu hal yang berpengaruh terhadap status gizi. Tingkat pendidikan orangtua merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola asuh anak termasuk pemberian makan, pola konsumsi pangan dan status gizi (Suhardjo 1996). Umumnya pendidikan seseorang akan mempengaruhi sikap dan prilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Orangtua yang memiliki tingkat pendidikan tinggi akan lebih mudah menerima pesan dan informasi mengenai gizi dan kesehatan (Rahmawati 2006). Berg (1986) menambahkan tingkat pendidikan merupakan faktor yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas makanan, karena dengan tingkat pendidikan tinggi diharapkan pengetahuan dan informasi yang dimiliki tentang gizi menjadi lebih baik. Hasil penelitian Padmiari dan Hadi (2001), di Denpasar menyatakan bahwa anak sekolah yang memiliki ayah berpendidikan SMA dan pendidikan tinggi, berisiko 1,3 kali untuk menjadi obes dibandingkan dengan anak yang memiliki ayah berpendidikan dengan pendapatan yang rendah. Semakin tinggi pendidikan ayah, maka semakin tinggi pendapatan dan konsumsi pangan.

(21)

7

yang lebih tinggi terhadap suatu hal. Tingkat pendidikan orang tua merupakan korelasi positif dengan cara mendidik dan mengasuh anak.

Tingkat pendidikan baik langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi pola komunikasi antar anggota keluarga. Pendidikan akan sangat mempengaruhi cara, pola, kerangka berfikir, persepsi, pemahaman, dan kepribadian yang nantinya merupakan bekal dalam berkomunikasi (Gunarsa & Gunarsa 1995). Pendidikan orang tua akan mempengaruhi status gizi anaknya, semakin tinggi tingkat pendidikan orangtua, maka cenderung mempunyai anak dengan status gizi yang baik. Tingkat pendidikan biasanya sejalan dengan pengetahuan, semakin tinggi pengetahuan gizi, maka semakin baik dalam pemilihan bahan makanan.

Pendapatan

Pendapatan merupakan faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi. Semakin tinggi pendapatan maka semakin besar peluang untuk memilih pangan yang baik. Meningkatnya pendapatan perorangan maka terjadi perubahan-perubahan dalam susunan makanan. Jumlah pendapatan keluarga dapat mempengaruhi ketersediaan pangan di keluarga, karena dengan pendapatan akan memenuhi kebutuhan pangan sesuai dengan daya belinya (Suhardjo 1989). Pendapatan seseorang identik dengan mutu sumberdaya manusia, sehingga orang yang berpendidikan tinggi umumnya memiliki pendapatan yang relatif tinggi pula (Guhardja et al. 1992).

Pendapatan keluarga adalah besarnya rata-rata penghasilan yang diperoleh dari seluruh anggota keluarga. Pendapatan keluarga juga tergantung pada jenis pekerjaan suami dan anggota keluarga lainnya. Pendapatan keluarga akan relatif lebih besar jika suami dan istri bekerja di luar rumah (Susanti 1999). Secara teoritis terdapat hubungan positif antara pendapatan dengan jumlah permintaan pangan. Makin tinggi tingkat pendapatan akan semakin tinggi daya beli keluarga terhadap pangan, sehingga akan membawa pangan semakin beragam dan banyaknya pangan yang dikonsumsi. Konsumsi makanan baik jumlah maupun mutunya dipengaruhi oleh faktor pendapatan keluarga (Soekirman 1994).

(22)

Status Gizi

Khumaidi (1994) mengatakan bahwa status gizi masyarakat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya: faktor kemiskinan, faktor sosial budaya, faktor pengetahuan dan pengertian gizi, serta pengadaan dan distribusi pangan. Unicef (1998) membagi faktor yang berpengaruh terhadap status gizi meliputi faktor langsung dan tidak langsung. Faktor langsung terdiri dari konsumsi pangan dan status kesehatan dan infeksi. Sementara faktor tidak langsung meliputi ketersediaan pangan, higiene dan sanitasi lingkungan dan pengetahuan gizi ibu. Selanjutnya, Sediaoetama (1996) menyatakan bahwa status gizi dipengaruhi oleh konsumsi pangan bukan hanya dilihat dari segi kuantitas semata melainkan juga dari segi kualitas hidangan yang dikonsumsi.

Penilaian status gizi digunakan untuk mengetahui apakah seseorang atau sekelompok orang mempunyai gizi yang baik atau tidak. Beberapa cara yang dapat digunakan untuk menilai status gizi antara lain adalah konsumsi makanan, antropometri, biokimia dan klinis. Pengukuran status gizi secara antropometri adalah pengukuran keadaan sebagai hasil penggunaan bahan makanan di dalam tubuh. Menurut Supariasa (2001) menyatakan bahwa antropomeri sebagai indikator status gizi dapat dilakukan dengan mengukur beberapa parameter. Parameter adalah ukuran tunggal dari tubuh manusia, antara lain: umur, berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, lingkar kepala, lingkar dada, lingkar pinggul, dan tebal lemak di bawah kulit. Parameter antropometri tersebut digunakan sebagai dasar dari penilaian status gizi. Kombinasi antara beberapa parameter disebut indeks antropometri. Menurut Riyadi (2003), secara umum penilaian status gizi dengan cara antropometri memiliki beberapa kelebihan, yaitu:

1. Cara penggunaan sederhana, aman dan dapat digunakan pada ukuran sampel yang besar,

2. Peralatan yang digunakan tidak mahal, mudah dibawa (portable), tahan lama dan dapat dibuat atau dibeli secara lokal,

3. Cara pengukuran dapat dilakukan oleh petugas yang relatif tidak ahli, 4. Dapat mengidentifikasi keadaan gizi ringan, sedang dan buruk,

5. Dapat digunakan untuk melakukan pemantauan status gizi dari waktu ke waktu.

(23)

9

2. Tidak dapat mendeteksi defisiensi zat gizi khusus,

3. Faktor-faktor non gizi, seperti penyakit dan genetik dapat mengurangi spesifisitas dan sensitivitas pengukuran.

Antropometri sudah digunakan pada penilaian status gizi anak sekolah dan remaja dalam konteks yang berhubungan dengan status gizi dan kesehatan. Tetapi sampai saat ini belum ada kriteria atau titik batas yang pasti yang berhubungan dengan aspek-aspek kesehatan atau risiko tertentu pada seseorang. Hanya ada beberapa informasi yang tersedia tentang hubungan antara antropometri remaja dengan risiko-risiko kesehatan masa lampau, sekarang atau masa mendatang (Riyadi 2001). Untuk mengukur status gizi anak di bawah lima tahun dan anak umur lima sampai sembilan belas tahun menggunakan z-skor. Tiga indeks yang dihitung dengan z-skor adalah Berat Badan menurut Umur (BB/U), Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) dan Indeks Masa Tubuh menurut Umur (IMT/U).

Berat Badan (BB) merupakan salah satu ukuran antropometri yang memberi gambaran massa tubuh (otot dan lemak). Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan keadaan yang mendadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi, penurunan nafsu makan atau penurunan makanan yang dikonsumsi sehingga berat badan merupakan ukuran antropometri yang sangat labil. Sifat berat badan yang sangat labil tersebut sehingga indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi pada saat ini. Indeks ini dapat digunakan untuk mendeteksi underweight dan overweight.

Penggunaan indeks BB/U sebagai indeks status gizi memiliki kelebihan dan kekurangan yang perlu mendapatkan perhatian. Menurut Riyadi (2003) kelebihan indeks ini adalah:

1. Dapat lebih mudah dan lebih cepat dimengerti oleh masyarakat umum, 2. Sensitif untuk melihat perubahan status gizi jangka pendek

3. Dapat mendeteksi kelebihan berat badan (overweight),

4. Pengukuran objektif dan kalau diulang memberikan hasil yang sama, peralatan dapat dibawa kemana-mana dan relatif murah,

5. Pengukuran mudah dilaksanakan dan teliti, 6. Pengukuran tidak memakan banyak waktu. Kekurangan indeks BB/U adalah:

(24)

2. Memerlukan data umur yang akurat, terutama untuk kelompok umur dibawah lima tahun (balita),

3. Sering terjadi kesalahan dalam pengukuran, misalnya pengaruh pakaian atau gerakan anak saat penimbangan,

4. Secara operasional sering mengalami hambatan karena masalah sosial budaya setempat (misal orang tuanya tidak mau menimbangkan anaknya).

Defisit TB/U menunjukkan ketidakcukupan gizi dan kesehatan secara kumulatif dalam jangka panjang. BB/U dipengaruhi oleh TB/U dan IMT/U. Kecukupan zat gizi pada anak usia sekolah tidak dibedakan menurut jenis kelamin, sedangkan kecukupan anak remaja dibedakan menurut jenis kelamin dan golongan umur (Riyadi 2003).

BB/U dianggap tidak informatif bila tidak disertai dengan informasi TB/U. Faktor umur sangat penting dalam penentuan status gizi. Kesalahan penentuan umur akan menyebabkan interpretasi status gizi menjadi salah. Hasil pengukuran tinggi badan dan berat badan yang akurat dapat menjadi tidak berarti jika penentu umur tidak tepat (Riyadi 2003). Tinggi badan merupakan parameter yang penting bagi keadaan yang telah lalu dan keadaan sekarang, jika umur tidak diketahui dengan tepat (Supariasa et al. 2001).

Menurut Riyadi (2001) IMT direkomendasikan sebagai dasar indikator antropometri untuk kekurusan (thinness) dan overweight pada masa usia sekolah maupun remaja. BB/U dianggap tidak informatif atau menyesatkan bila tidak ada informasi tentang TB/U. Pendekatan konvensional terhadap kombinasi penggunaan BB/U dan TB/U untuk menilai massa tubuh dianggap aneh dan memberikan hasil yang bias. IMT/U direkomendasikan sebagai indikator terbaik untuk anak usia sekolah dan remaja. Indikator ini memerlukan informasi tentang umur. IMT/U sudah divalidasi sebagai indikator lemak tubuh total pada persentil atas. IMT merupakan indeks masa tubuh tunggal yang dapat diterapkan untuk mengukur kondisi kekurangan dan kelebihan gizi (Riyadi 2001). Penilaian status gizi dengan kombinasi dari ketiga indeks, yaitu berat badan menurut umur, tinggi badan menurut umur, dan indeks masa tubuh menurut umur, akan memperoleh hasil dengan tingkat validitas lebih baik.

Konsumsi Pangan

(25)

11

menyediakan tenaga bagi tubuh, mengatur proses metabolisme dalam tubuh, memperbaiki jaringan serta pertumbuhan (Harper et al. 1985). Konsumsi pangan yang kurang atau lebih dari yang diperlukan tubuh dan berlangsung dalam jangka waktu lama akan berdampak buruk bagi kesehatan (Muhilal et al. 1988). Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) tahun 2004, rata-rata kecukupan energi dan protein anak usia 4-6 tahun sebesar 1550 Kal dan 39 g, kelompok umur 7-9 tahun sebesar 1800 Kal dan 45 g, kelompok umur 10-12 tahun sebesar 2050 Kal dan 50 g.

Metode “Recall”

Metode recall (metode mengingat-ingat) umumnya digunakan untuk survey konsumsi secara kuantitatif di tingkat individu. Dalam metode ini, responden diminta untuk mengingat semua makanan yang telah dimakan, biasanya makanan sehari atau 24 jam yang lalu. Responden diminta untuk mengingat jenis masakan yang dimakan beserta jenis pangan penyusunnya. Jumlah makanan yang dicatat biasanya dalam bentuk masak (kecuali untuk makanan-makanan tertentu yang bisa dikonsumsi dalam bentuk segar dan mentah) dalam Ukuran Rumah Tangga (URT), misalnya gelas, mangkuk, sendok makan dan sebagainya. Untuk membantu mengestimasi jumlah makanan yang dimakan, deskripsikan dan identifikasi secara tepat setiap jenis pangan dengan menggunakan ukuran porsi, food models, atau foto pangan (Kusharto & Sa’diyah 2007).

Hasil pencatatan wawancara kemudian diolah, dikembalikan kepada bentuk bahan mentah dan dihitung zat-zat gizinya berdasarkan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) yang berlaku. Jumlah masing-masing zat gizi dijumlahkan dan dihitung rata-rata konsumsi setiap hari (Sediaoetama 1989). Apabila pengukuran hanya dilakukan 1 kali (1x24 jam), maka data yang diperoleh kurang representatif untuk menggambarkan kebiasaan makanan individu. Oleh karena itu, recall 24 jam sebaiknya dilakukan berulang-ulang dan harinya tidak berturut-turut (Supariasa et al. 2001). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa minimal 2 kali recall 24 jam tanpa berturut-turut, dapat menghasilkan asupan zat gizi lebih optimal dan memberikan variasi yang lebih besar tentang intake harian individu (Sanjur 1997 dalam Supariasa et al. 2001).

Sanitasi Lingkungan

(26)

lingkungan yang tidak sehat akan memungkinkan anak mudah terserang penyakit, hal ini akan mengganggu proses penyerapan makanan oleh tubuh. Selain itu dapat pula disebabkan oleh makanan yang kotor akibat bakteri, virus dan parasit yang diakibatkan oleh tidak tersedianya air bersih, tidak terdapat sarana pembuangan air maupun kebersihan lingkungan sekitar rumah (Sukarni 1989). Berbagai usaha yang dapat dilakukan untuk menghindari kondisi lingkungan yang tidak sehat adalah dengan melakukan berbagai kegiatan diantaranya penyediaan air bersih, penyediaan jamban dan pemantauan pencemaran tanah oleh tinja (Lestari 1997).

Higiene adalah suatu pencegahan penyakit yang menitikberatkan pada usaha kesehatan perseorangan atau manusia beserta lingkungan tempat orang tersebut berada. Sanitasi adalah suatu usaha pencegahan penyakit yang menitik beratkan kegiatan pada usaha kesehatan lingkungan hidup manusia (Widyati & Yuliarsih 2006).

Sanitasi lingkungan sangat mempengaruhi kesehatan dan kebersihan lingkungan. Sementara lingkungan yang bersih dan sehat menjadi suatu indeks kesehatan seseorang. Kesehatan seseorang akan terlihat dari daya tahan tubuh terhadap suatu penyakit sehingga dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian. Selain itu lingkungan yang bersih dan sehat akan mencegah penularan penyakit. Higienis dan sanitasi termasuk kedalam usaha preventif yaitu mencegah supaya tidak sakit. Usaha kesehatan perorangan (personal hygiene)

dapat dilakukan dengan mandi minimal 2 kali sehari, menyikat gigi, pakaian bersih, orahraga dan lain-lain. Cara untuk menjaga lingkungan hidup yang sehat yaitu dengan cara tidak membuang sampah sembarangan, menjaga saluran air agar tidak mampet, menjaga kerja bakti dengan masyarakat setempat untuk membersihkan lingkungan. Sanitasi lingkungan perumahan terdiri dari rumah harus memiliki sumber air bersih dan sehat, memiliki sarana pembuangan air limbah dan sampah, dan kandang ternak harus terpisah cukup jauh dari rumah agar rumah terjaga kebersihan dan kesehatannya. Selain itu kandang ternak harus memiliki tempat penampungan kotoran (Latifah et al. 2002).

(27)

13

menimbulkan gangguan kesehatan (Latifah et al. 2002). Menurut Widyati dan Yuliarsih (2006) air bersih dan sehat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Syarat fisik: syarat air yang dilihat dari fisiknya antara lain jernih, tidak berwarna, tidak berasa, dan tidak berbau dengan suhu sebaiknya di bawah suhu udara sehingga terasa nyaman.

b. Syarat kimia: tidak mengandung zat-zat berbahaya seperti zat-zat racun atau zat-zat organik lebih tinggi dari jumlah yang ditentukan misalnya CO2, H2S, NH4 dan lain-lain.

c. Syarat bakteriologis: air tidak mengandung penyakit, tidak mengandung bakteri E.coli yang melampaui batas yang ditentukan.

Air bersih belum tentu dikatakan sehat, karena menurut Entjang (1993) untuk memperoleh air minum yang sehat dapat diperoleh melalui:

1. Sumber air yang bersih,

2. Tangan dan tempat penampungan air bersih,

3. Wadah penampungan air disertai dengan tutup dan sering dibersihkan, 4. Memasak air sampai mendidih sebelum diminum,

5. Menggunakan alat-alat minum yang bersih (termasuk gayung sebagai alat pengambil air harus bersih).

Menurut Subandriyo et al. (1994), menyatakan bahwa sumber air minum yang bersih dan sehat dapat diperoleh dari: 1) air pompa, 2) air ledeng, 3) sumur yang terlindungi dan 4) mata air yang terlindungi. Sumur yang baik harus memenuhi syarat antara lain jarak sumur dengan kamar mandi minimum 10 m dan dinding sumur 1 m di atas tanah dan 3 m dalam tanah serta harus dibuat dari tembok yang tidak tembus air agar perembesan air dari sekitar tidak terjadi.

Selain air, sanitasi lingkungan yang harus diperhatikan yaitu mengenai sampah. Sampah adalah segala sesuatu yang tidak terpakai lagi dan harus dibuang. Sampah yang tidak ditangani dengan baik mengakibatkan tumbuhnya kuman sebagai penyebab terjadinya diare, juga mengandung lalat yang mengakibatkan terjadinya penyakit (Latifah et al. 2002). Tempat sampah yang digunakan seharusnya tertutup dan sebaiknya dipisahkan antara sampah basah dan kering.

Penyakit Infeksi

(28)

seringkali ditemukan banyak menyerang anak-anak. Penyakit infeksi berkaitan dengan status gizi yang rendah, hubungan kekurangan gizi dengan penyakit infeksi antara lain dapat dijelaskan melalui mekanisme pertahanan tubuh, yaitu seorang anak yang mengalami kekuranga gizi dengan asupan energi dan protein rendah, maka kemampuan tubuh untuk membentuk protein yang baru berkurang. Tubuh akan rawan terhadap serangan infeksi karena terganggunya kekebalan tubuh seluler. Jenis-jenis penyakit infeksi diantaranya adalah batuk, pilek, demam, diare dan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), yang termasuk ISPA adalah influenza, campak, faringitis, trakeitis, bronchitis dan pneumonia (Depkes RI 1996).

Menurut Suhardjo (1989) terdapat interaksi bolak balik antara status gizi kurang dengan infeksi. Infeksi yang akut akan menyebabkan kurangnya nafsu makan dan toleransi terhadap makanan sehingga menimbulkan gizi kurang. Sebaliknya orang yang memiliki status gizi kurang daya tahan tubuh terhadap penyakit menjadi rendah, sehingga mudah terkena penyakit infeksi.

(29)

KERANGKA PEMIKIRAN

Masalah gizi memiliki dimensi yang luas, tidak hanya merupakan masalah kesehatan tetapi juga meliputi masalah sosial, ekonomi, budaya, pola asuh, pendidikan, dan lingkungan. Faktor yang mempengaruhi masalah gizi di setiap daerah berbeda-beda. Kelompok anak usia sekolah merupakan kelompok usia yang banyak mengalami masalah mengenai kesehatan. Beberapa masalah yang dihadapi oleh anak usia sekolah adalah rendahnya tingkat kesehatan dan keadaan gizi terutama mereka yang berada di daerah tertinggal (Muhilal 1988).

Berdasarkan kerangka pemikiran United Nations Children’s Fund (Unicef) (1998), status gizi seseorang dipengaruhi oleh faktor langsung dan tidak langsung. Faktor langsung meliputi konsumsi makanan dan penyakit infeksi, sedangkan faktor tidak langsung terdiri atas ketersediaan pangan, higiene dan sanitasi lingkungan serta pelayanan kesehatan.

Karakteristik keluarga meliputi jumlah keluarga, pendidikan, pekerjaan dan pendapatan keluarga. Karakteristik keluarga tersebut merupakan masalah utama yang menjadi penyebab terjadinya masalah pertumbuhan pada seseorang. Menurut Sumarwan (2004) menyatakan bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin tinggi pekerjaannya yang memungkinkan orang tersebut memperoleh pendapatan yang lebih tinggi sehingga akan mempengaruhi ketersediaan dan asupan pangan rumah tangga, dan secara tidak langsung akan mempengaruhi status gizi setiap anggota rumah tangga. Jumlah keluarga yang banyak akan mempengaruhi jumlah pangan yang dikonsumsi dan pembagian ragam yang dikonsumsi dalam keluarga akan berkurang.

(30)

Keterangan:

Variabel yang diteliti Variabel yang tidak diteliti Hubungan yang dianalisis Hubungan yang tidak dianalisis

Gambar 1 Skema kerangka pemikiran studi karakteristik pertumbuhan anak usia sekolah di Kabupaten Garut, Bandung dan Cirebon.

Karakteristik keluarga: - Jumlah keluarga - Pendidikan - Pekerjaan - Pendapatan Karakteristik individu:

- Umur

- Jenis kelamin - Berat badan - Tinggi badan

Asupan Gizi Rumah Tangga

Asupan Gizi Anak Usia Sekolah

Karakteristik pertumbuhan Anak Usia Sekolah (BB/U, TB/U dan IMT/U) Penyakit infeksi

Sanitasi Lingkungan: - Penyehatan air minum - Penyehatan air limbah

(31)

METODE PENELITIAN

Waktu, Tempat, dan Desain Penelitian

Penelitian mengenai studi karakteristik pertumbuhan anak usia sekolah di Provinsi Jawa Barat dilaksanakan dari bulan Mei-Juli 2011 dengan menggunakan data Riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2007. Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah cross sectional study yaitu pengamatan yang dilakukan sekaligus pada satu waktu.

Jumlah dan Cara Penarikan Contoh

Populasi dalam Riskesdas 2007 adalah seluruh rumah tangga di seluruh pelosok Indonesia termasuk Provinsi Jawa Barat. Sampel rumah tangga dan anggota rumah tangga dalam Riskesdas 2007 dirancang identik dengan daftar sampel rumah tangga dan anggota rumah tangga Survei sosial ekonomi nasional (Susenas) 2007. Metodologi penghitungan dan cara penarikan sampel Riskesdas 2007 menggunakan two stage sampling. Metodenya yaitu melakukan penarikan sampel blok sensus, diambil sejumlah blok sensus yang proporsional terhadap jumlah rumah tangga di kabupaten/kota. Bila dalam sebuah blok sensus terdapat lebih dari 150 rumah tangga maka dalam penarikan sampel akan dibentuk sub-blok sensus.

Penarikan sampel rumah tangga yaitu dari setiap blok sensus yang terpilih kemudian dipilih 16 rumah tangga secara acak sederhana (sample random sampling). Selanjutnya, seluruh anggota rumah tangga dari setiap rumah tangga yang terpilih dari kedua proses penarikan sampel diambil sebagai sampel individu. Rumah tangga yang terpilih dalam penelitian ini adalah rumah tangga yang mempunyai anak usia sekolah dan mempunyai kelengkapan data yang dibutuhkan untuk analisis. Sampel Riskesdas 2007 di tingkat kabuapten/kota berasal dari 440 kabupaten/kota yang tersebar di 33 provinsi. Sedangkan di Provinsi Jawa Barat terdapat 17 kabupaten dan 9 kota. Contoh yang diambil dalam penelitian ini adalah usia anak sekolah yaitu anak yang berusia 6-12 tahun yang berada di Kabupaten Garut, Kabupaten Bandung dan Kabupaten Cirebon.

(32)

terletak di sebelah timur dan berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah, wilayah di Kabupaten Cirebon merupakan daerah pantai timur dengan suhu rata-rata 23-33°C. Jumlah contoh dalam penelitian ini sebanyak 1323 orang anak usia sekolah, dengan jumlah responden dari setiap kabupaten sebagai berikut: Kabupaten Garut 380 orang, Kabupaten Bandung 533 orang dan Kabupaten Cirebon 410 orang.

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data Primer. Data diperoleh dari Riskesdas 2007. Data yang dikumpulkan antara lain:

1. Karaktersistik contoh dan keluarga. Karakteristik contoh meliputi karakteristik umum anak usia sekolah dasar meliputi usia, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan. Sedangkan karakteristik keluarga terdiri dari: besar keluarga, pendidikan, pekerjaan dan pendapatan keluarga.

2. Data konsumsi per kapita, lingkungan fisik mengenai sanitasi terhadap air, sampah dan limbah. Serta data mengenai penyakit infeksi.

3. Gambaran umum lokasi penelitian.

Selengkapnya jenis dan cara pengumpulan data dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Jenis data, variabel dan cara pengumpulan data

No. Jenis data Variabel Cara pengumpulan data 1. Karakteristik

3 Konsumsi Konsumsi per kapita Data Primer Riskesdas 2007

4. Penyakit Infeksi Jenis Penyakit Data Primer Riskesdas 2007 5. Kualitas fisik air minum 6. Tempat penampungan air 10. Jarak ke sumber pencemaran

(33)

19

Pengolahan dan Analisis Data

Data yang diperoleh kemudian diolah. Proses pengolahan data meliputi

editing, coding, entri dan analisis data. Data dianalisis dengan menggunakan

Microsoft Exel for Windows dan Statistical Program for Sosial Sciences (SPSS)

versi 16.0. Pengukuran status gizi anak sekolah dilakukan dengan menggunakan z-skor. Status gizi contoh ditentukan berdasarkan data yang sudah diperoleh yaitu jenis kelamin, usia contoh, berat badan, dan tinggi badan menggunakan indeks BB/U, TB/U dan IMT/U dengan menggunakan software WHO Anthroplus 2007. Klasifikasi dari ketiga indeks tersebut antara lain:

Tabel 2 Klasifikasi status gizi berdasarkan WHO 2007

Indeks Range z-skor Status Gizi BB/U z-skor > +2 SD Gizi Lebih

z-skor -2SD s.d +2SD Gizi Baik z-skor < -2SD s.d -3SD Gizi Kurang z-skor < -3SD Gizi Buruk TB/U z-skor > -2SD Normal

z-skor < -2SD Pendek z-skor > 2 SD Tinggi IMT/U

z-skor < -3 SD Sangat Kurus z-skor -3 SD s/d <-2 SD Kurus z-skor -2 SD s/d 1 SD Normal z-skor > 1 SD s/d 2 SD Gemuk z-skor > 2 SD Obesitas

Besar keluarga dikelompokkan menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) (1998), yaitu keluarga kecil ( 4 orang), keluarga sedang (5-6 orang), dan keluarga besar ( 7 orang). Data pendidikan dibagi kedalam enam kategori yaitu (a) tidak pernah sekolahn (skor 0), (b) tidak tamat Sekolah Dasar (SD) (skor 3), (c) Tamat SD (skor 6), (d) Tamat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) (skor 9), (e) Tamat Sekolah Lanjut Tingkat Atas (SLTA) (skor 12), dan (f) Tamat Perguruan Tinggi (PT) (skor 16).

Data pekerjaan dikelompokkan sesuai dengan jenis pekerjaan, terdapat 12 jenis pekerjaan kepala keluarga contoh yaitu tidak bekerja, ibu rumah tangga, TNI/Polri, PNS, Pegawai BUMN, Pegawai swasta, Wiraswasta/pedagang, Pelayanan jasa, Petani, Nelayan, Buruh dan lainnya. Data pendapatan keluarga dikelompokkan menurut BPS (2010), yaitu Miskin (< Rp. 201.138/kap/bln) dan tidak miskin ( Rp. 201.138/kap/bln).

(34)

jumlah konsumsi per kapita. Zat gizi yang dihitung adalah energi dan protein. Angka kecukupan zat gizi contoh diperoleh dengan menggunakan rumus berikut (Hardinsyah & Briawan 1994):

Dimana: AKGI = Angka kecukupan energi atau protein individu Ba = Berat badan aktual sehat (kg)

Bs = Berat badan dalam daftar kecukupan gizi (kg)

AKG = Angka kecukupan energi atau protein yang tercantum dalam daftar kecukupan gizi.

Penilaian untuk mengetahui tingkat konsumsi gizi dilakukan dengan membandingkan antara konsumsi zat gizi aktual dengan kecukupan gizi yang dinyatakan dalam persen. Cara untuk menghitung tingkat konsumsi dapat dirumuskan sebagai berikut (Hardinsyah & Briawan 1994):

Dimana: TKGi = Tingkat konsumsi zat gizi i Ki = Konsumsi zat gizi i

AKGi = Kecukupan zat gizi i yang dianjurkan

Klasifikasi tingkat kecukupan energi dan protein contoh menurut Depkes (1996) dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Klasifikasi tingkat kecukupan energi dan protein

Energi dan Zat Gizi Klasifikasi Tingkat Kecukupan Energi dan Protein a. Defisit tingkat berat (<70% AKG)

b. Defisit tingkat sedang (70-79% AKG) c. Defisit tingkat ringan (80-89% AKG) d. Normal (90-119% AKG)

e. Kelebihan ( 120% AKG)

Data infeksi yang diambil adalah ISPA, diare, demam thypoid, malaria, campak dan demam berdarah. Penilaian menggunakan kuesioner dengan menyatakan pernah menderita atau pernah didiagnosa oleh tenaga medis pada 12 bulan dan/atau 1 bulan terakhir. Selanjutnya dikategorikan pernah dan tidak pernah menderita satu atau lebih penyakit ISPA, diare, demam thypoid, malaria, campak atau demam berdarah.

Data kesehatan lingkungan diolah dengan melakukan skoring dari beberapa jawaban pertanyaan mengenai sanitasi lingkungan. Pertanyaan yang digunakan terdapat dalam kuesioner Riskesdas 2007 tentang sanitasi

AKGI = (Ba/Bs) x AKG

(35)

21

lingkungan. Penentuan kategori yaitu memakai kategori baik jika memenuhi 50% dari total skor dan kurang baik jika < 50% total skor.

Analisis data yang digunakan terdiri dari beberapa analisis, diantaranya adalah:

1. Analisis Univariat digunakan untuk mendeskripsikan setiap variabel yang diukur dalam penelitian seperti karakteristik keluarga (besar keluarga, pendidikan, pekerjaan, pendapatan keluarga), data karakteristik individu (jenis kelamin, umur, berat badan dan tinggi badan, status gizi), konsumsi energi dan protein per kapita, kesehatan lingkungan dan penyakit infeksi. 2. Analisis Bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan antara dua variabel,

uji yang digunakan adalah uji korelasi Pearson dan Rank Spearman. Uji ini digunakan sesuai dengan jenis skala data variabel yang diuji.

3. Analisis Ragam digunakan untuk mengetahui perbedaan keragaan status gizi di ketiga kabupaten.

4. Untuk melihat pengaruh variabel (jumlah keluarga, jumlah pendapatan, pendidikan kepala keluarga dan penyakit infeksi) yang berhubungan digunakan uji regresi linier berganda (stepwise regression).

Definisi Operasional

Contoh adalah anak laki-laki dan perempuan yang berusia 6-12 tahun.

Karaktersitik Pertumbuhan adalah ciri-ciri perubahan ukuran tubuh seperti berat (kg) dan panjang (cm) yang diukur berdasarkan status gizi antropometri.

Status Gizi Antropometri adalah keadaan tubuh contoh yang diukur berdasarkan nilai z-skor BB/U, TB/U dan IMT/U.

Kepala Keluarga adalah laki-laki atau perempuan yang memimpin keluarga. Keluarga adalah sejumlah orang yang tinggal dalam satu rumah, yang saling

berinteraksi dan hidup bergantung dari satu dapur.

Besar keluarga adalah jumlah anggota keluarga yang terdiri dari suami, istri, anak, dan anggota keluarga lainnya yang tinggal bersama. Dalam penelitian ini jumlah keluarga terbagi kedalam tiga ketegori yaitu: (a) keluarga kecil ( 4 orang), (b) keluarga sedang (5-6 orang), dan (c) keluarga besar ( 7 orang).

(36)

sekolah (skor 0), tidak tamat SD (skor 3), tamat SD (skor 6), tamat SLTP (skor 9), tamat SLTA (skor 12), dan tamat PT (skor 16).

Pekerjaan kepala keluarga adalah jenis pekerjaan utama yang dilakukan oleh kepala rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan keluarga meliputi tidak kerja, ibu rumah tangga, TNI/Polri, PNS, pegawai BUMN, pegawai swasta, wiraswasta/pedagang, pelayanan jasa, petani, nelayan, buruh dan lainnya.

Jumlah Pendapatan adalah jumlah pendapatan per bulan yang dihasilkan dari pendapatan kepala keluarga dibagi dengan besar keluarga dinilai dalam satuan rupiah.

Konsumsi pangan per kapita adalah jumlah konsumsi makanan rumah tangga dibagi dengan jumlah anggota keluarga.

Sanitasi lingkungan rumah adalah penilaian yang diukur dengan melihat kesehatan lingkungan keluarga. Pengukuran dengan memberikan skor pada jawaban pertanyaan tentang sanitasi lingkungan.

(37)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Daerah Penelitian Provinsi Jawa Barat

Provinsi Jawa Barat, secara geografis, terletak pada posisi 5°50’–7°50’ Lintang Selatan dan 104°48’–108°8’ Bujur Timur, dengan batas wilayah: sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa dan Provinsi DKI Jakarta; sebelah timur berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah; sebelah selatan berbatasan dengan Samudra Indonesia; dan sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Banten. Luas wilayah Provinsi Jawa Barat meliputi wilayah daratan seluas 3.710.061,32 ha dan garis pantai sepanjang 755.829 km.

Daratan Provinsi Jawa Barat dapat dibedakan atas wilayah pegunungan curam (9,5% dari total luas wilayah Provinsi Jawa Barat) terletak di bagian selatan dengan ketinggian lebih dari 1500 m di atas permukaan laut (dpl); wilayah lereng bukit yang landai (36,48%) terletak di bagian tengah dengan ketinggian 10-1500 m dpl; dan wilayah dataran luas (54,03%) terletak di bagian utara dengan ketinggian 0–10 m dpl. Tutupan lahan terluas di Provinsi Jawa Barat berupa kebun campuran (22,89% dari luas wilayah Jawa Barat), sawah (20,27%), dan perkebunan (17,41%), sementara hutan primer dan hutan sekunder di Provinsi Jawa Barat hanya 15,93% dari seluruh luas wilayah Provinsi Jawa Barat.

Iklim di Provinsi Jawa Barat yaitu tropis, dengan suhu rata-rata berkisar antara 17,4–30,7°C dan kelembaban udara antara 73–84%. Jawa Barat dialiri 40 sungai dengan wilayah seluas 32.075,15 km2. Provinsi Jawa Barat juga memiliki 1267 waduk/situ dengan potensi air permukaan lebih dari 10.000 juta m3. Air permukaan tersebut dimanfaatkan untuk kebutuhan industri, pertanian, dan air minum. Secara administratif, Provinsi Jawa Barat terdiri dari 17 kabupaten dan 9 kota; 520 kecamatan; 5245 desa dan 626 kelurahan. Berikut ini adalah karaktersitik 3 kabupaten yang ada di Provinsi Jawa Barat:

(38)

Tasikmalaya, dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Cianjur.

Kabupaten Garut yang secara geografis berdekatan dengan Kota Bandung sebagai ibukota Provinsi Jawa Barat. Kabupaten Garut mempunyai kedudukan strategis dalam memasok kebutuhan warga Kota dan Kabupaten Bandung sekaligus pula berperan di dalam mengendalikan keseimbangan lingkungan. Kabupaten Garut memiliki 42 kecamatan, 21 kelurahan dan 403 desa. Berdasarkan perhitungan Badan Pusat Statistik (BPS) yang menggunakan hasil Sensus Penduduk 2010 disesuaikan dengan registrasi mutasi penduduk, jumlah penduduk Kabupaten Garut tercatat sebanyak 2.737.526 jiwa, yang terdiri dari 1.397.756 jiwa laki-laki dan 1.339.770 jiwa perempuan.

Jenis tanah di Kabupaten Garut terdiri dari sedimen letusan Gunung Papandayan dan Guntur, sehingga tanah di Kabupaten Garut subur, baik untuk sawah, tegalan maupun kebun campuran. Selain itu, dengan daerahnya yang cukup luas, kabupaten ini merupakan daerah pertanian yang lebih condong pada usaha agrobisnis dan agroindustri. Pertanian tanaman pangan mendominasi perekonomian seperti padi dan jagung. Iklim di Kabupaten Garut yaitu tropis basah dengan curah hujan rata-rata berkisar antara 2589 mm/tahun dengan bulan basah sebanyak 9 bulan dan bulan kering 3 bulan, sedangkan di daerah pegunungan curah hujan mencapai 3500-4000 mm/tahun.

Kabupaten Bandung. Kabupaten Bandung merupakan sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Barat. Secara geografis letak Kabupaten Bandung berada pada 6°41’–7°19’ Lintang Selatan dan diantara 107°22’–108°5’ Bujur Timur dengan luas wilayah 1.762,39 km2, kepadatan 1.723,82 jiwa/km2, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut: batas utara adalah Kabupaten Bandung Barat; sebelah timur Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Garut; sebelah selatan Kabupaten Garut dan Kabupaten Cianjur; sebelah barat Kabupaten Bandung Barat; di bagian tengah Kota Bandung dan Kota Cimahi. Kabupaten Bandung terdiri atas 31 kecamatan, 266 desa dan 9 kelurahan. Jumlah penduduk sebesar 2.943.283 jiwa dengan mata pencaharian yaitu disektor industri, pertanian, pertambangan, perdagangan dan jasa.

(39)

25

dengan persentase 56,76% atau seluas 9.487 ha. Lahan sawah seluas 1.290 ha atau 12,73%. Bandung menurut registrasi penduduk sampai dengan bulan Maret 2004 berjumlah: 3.174.499 jiwa dengan luas wilayah 16.729,50 ha (167.67 km2), sehingga kepadatan penduduknya per hektar sebesar 155 jiwa.

Kabupaten Cirebon. Kabupaten Cirebon merupakan bagian dari wilayah Provinsi Jawa Barat yang terletak di bagian timur dan berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah. Luas wilayahnya mencapai 986,20 km2 atau sekitar 2,27% dari luas Provinsi Jawa Barat. Wilayah Kabupaten Cirebon dibatasi oleh: sebelah utara dengan Kabupaten Indramayu, sebelah barat laut berbatasan dengan Kabupaten Majalengka, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Brebes (Provinsi Jawa Tengah) dan sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Kuningan.

(40)

Karakteristik Keluarga

Sosial ekonomi keluarga adalah keadaan keluarga dilihat dari besar keluarga, pendidikan kepala keluarga, penghasilan keluarga, dan status pekerjaan kepala keluarga. Sebaran contoh berdasarkan karakteristik keluarga dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik keluarga

Karakteristik Kategori

Besar keluarga. Berdasarkan BKKBN (1998) jumlah atau besar anggota keluarga dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu: keluarga kecil ( 4 orang), keluarga sedang (5-6 orang), dan keluarga besar ( 7 orang). Besar keluarga di ketiga kabupaten sebagian besar termasuk ke dalam keluarga kecil ( 4 orang) dengan persentase Kabupaten Bandung (55,1%) lebih besar dibandingkan dengan Kabupaten Garut (44,2%), dan Kabupaten Cirebon (44,6%). Dengan rata-rata besar keluarga yaitu 4,93±1,5 di Kabupaten Garut, 4,63±1,4 di Kabupaten Bandung, dan 5,21±1,9 di Kabupaten Cirebon.

(41)

27

dengan jumlah anak yang banyak akan lebih sulit untuk memenuhi kebutuhan pangannya bila dibandingkan dengan keluarga dengan jumlah anak sedikit. Selain itu, jumlah anggota keluarga akan berpengaruh terhadap makanan yang diterima setiap anggotanya. Semakin besar jumlah anggota kelurga, maka makanan yang diterima setiap orang akan berkurang (Suhardjo 1996).

Pendidikan. Berdasarkan hasil penelitian pendidikan kepala keluarga (KK) baik di Kabupaten Garut, Bandung dan Cirebon cukup bervariasi, mulai dari tingkat SD hingga PT. Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa di Kabupaten Garut dan Kabupaten Bandung sebagian besar kepala keluarga memiliki tingkat pendidikan tamat SD yaitu 50,8% di Kabupaten Garut dan 40,2% di Kabupaten Bandung. Sedangkan tingkat pendidikan terbesar di Kabupaten Cirebon adalah tidak tamat SD sebesar 28,8%.

Tingkat pendidikan merupakan salah satu indikator untuk menentukan tingkat kualitas sumberdaya manusia. Tingkat pendidikan orangtua merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola asuh anak termasuk pemberian makan, pola konsumsi pangan dan status gizi. Rumah tangga yang dikepalai oleh seseorang dengan tingkat pendidikan rendah cenderung lebih miskin dibandingkan dengan rumah tangga yang dikepalai oleh kepala rumah tangga yang lebih berpendidikan (Firdausy dan Pernia 1994 dalam Raharto dan Romidiati 2000).

Pekerjaan. Tabel 4 menunjukkan beberapa jenis pekerjaan yang merupakan sumber mata pencaharian keluarga di Kabupaten Garut, Kabupaten Bandung dan Kabupaten Cirebon. Sebagian besar pekerjaan kepala keluarga di ketiga kabupaten mempunyai mata pencaharian sebagai buruh, yaitu sebanyak 43,9% di Kabupaten Garut, 34,1% di Kabupaten Bandung dan 29,3% di Kabupaten Cirebon. Jenis pekerjaan merupakan salah satu indikator dari pendapatan suatu keluarga. Menurut Engel et al. (1993), tingkat pendidikan akan berhubungan dengan jenis pekerjaan seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak akan semakin besar.

(42)

pendapatan perkapita di Kabupaten Bandung berkisar antara Rp.71.979-Rp.1.742.500 dengan rata-rata Rp.281.539, dan untuk pendapatan perkapita di Kabupaten Cirebon berkisar antara Rp.51.852-Rp.1.649.400 dengan rata-rata Rp.265.173. Kategori pendapatan dikelompokkan menjadi keluarga miskin dan tidak miskin berdasarkan BPS 2010.

Tabel 5 Sebaran pendapatan keluarga sebagian besar termasuk ke dalam keluarga miskin yaitu 75%, sedangkan untuk Kabupaten Bandung dan Kabupaten Cirebon sebagian besar termasuk kedalam keluarga tidak miskin secara berturut-turut sebesar 67,7% dan 59,8%. Hasil tersebut menyatakan bahwa pendapatan masyarakat Kabupaten Garut lebih rendah dibandingkan dengan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Cirebon. Di bawah ini adalah tabel hubungan antara pendidikan kepala keluarga dengan penggolongan pendapatan.

Tabel 6 Hubungan pendidikan kepala keluarga dengan penggolongan pendapatan di ketiga kabupaten

(43)

29

tergolong miskin dengan pekerjaan sebagai buruh, sedangkan di Kabupaten Bandung dan Kabupaten Cirebon diperoleh hasil meskipun pendidikan kepala keluarga sebagian besar tamat dan tidak tamat SD tetapi tidak tergolong ke dalam keluarga miskin. Hasil penelitian Padmiari dan Hadi (2001), menyatakan bahwa semakin tinggi pendidikan ayah maka akan semakin tinggi pendapatan dan konsumsi pangan juga akan meningkat.

Karakteristik Contoh

Jenis kelamin. Sebaran jenis kelamin contoh di ketiga kabupaten hampir menyebar merata yaitu jumlah contoh laki-laki dan perempuan hampir sama yaitu persentase contoh laki 52,6%, perempuan 47,7% di Kabupaten Garut, laki-laki 49,9%, perempuan 50,1% di Kabupaten Bandung, dan laki-laki-laki-laki 46,8% perempuan 53,2% di Kabupaten Cirebon.

Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin

Jenis kelamin

Kabupaten

Garut Bandung Cirebon n % n % n % Laki-laki 200 52,6 226 49,9 192 46,8 Perempuan 180 47,4 267 50,1 218 53,2 Total 380 100 533 100 410 100

Umur Contoh. Umur merupakan salah satu kriteria yang menjadi perhatian ketika seorang anak akan memulai pendidikannya di tingkat Sekolah Dasar. Berdasarkan peraturan pendidikan nasional, usia minimal anak masuk SD adalah 6 tahun. Berdasarkan penelitian umur contoh berkisar antara 6-12 tahun. Berdasarkan hasil perhitungan, didapatkan rata-rata umur contoh dari ketiga kabupaten tersebut yaitu Kabupaten Garut 8.84±1.9 tahun, Kabupaten Bandung 8.96±2.04 tahun, dan Kabupaten Cirebon 9.04±2.03 tahun. Tabulasi anak usia sekolah dibedakan menurut kelompok umur berdasarkan angka kecukupan gizi (LIPI 2004). Sebagian besar untuk contoh yang berada di Kabupaten Garut dan Bandung berada pada kelompok umur 7-9 tahun, sedangkan di Kabupaten Cirebon berada di kelompok umur 10-12 tahun.

Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan umur

Umur

Kabupaten

(44)

Setelah dilakukan analisis terhadap pengelompokkan umur disetiap kabupaten, selanjutnya dilakukan analisis mengenai kondisi status gizi di setiap penggolongan umur. Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Hubungan status gizi dan umur contoh di ketiga kabupaten

Status Gizi

Garut Bandung Cirebon Umur (tahun)

6 7-9 10-12 6 7-9 10-12 6 7-9 10-12 BB/U

Lebih 0,0 1,7 1,9 3,7 3,5 1,6 0,0 4,7 0,0 Baik 73,7 77,3 80,8 84,0 73,6 77,0 69,6 72,9 63,2 Kurang 22,8 15,1 15.4 11,1 18,1 19,7 26,8 16,5 28,1 Buruk 3,5 5,8 1,9 1,2 4,8 1,6 3,6 5,9 8,8 TB/U

Tinggi 0,0 4,1 2,0 2,5 3,5 0,0 0,0 2,9 0,0 Normal 56,1 50,6 55,6 84,0 69,2 73,8 69,6 74,1 70,7 Pendek 43,9 45,3 42,4 13,6 27,3 26,2 30,4 22,9 29,3 IMT/U

Obesitas 10,5 9,3 5,3 3,7 3,5 2,7 5,4 5,9 2,2 Gemuk 5,3 11,0 10,6 7,4 3,5 10,7 5,4 3,5 6,5 Normal 75,4 72,7 74,2 85,2 84,6 81,8 83,9 75,9 76,1 Kurus 3,5 4,7 6,0 2,5 5,7 4,4 1,8 6,5 10,9 Sangat kurus 5,3 2,3 4,0 1,2 2,6 0,4 3,6 8,2 4,3

Berdasarkan hasil analisis (Tabel 9) menyatakan bahwa status gizi kurang dan buruk sebagian besar dialami oleh anak pada usia 6-9 tahun di Kabupaten Garut, 7-12 tahun di Kabupaten Bandung dan 10-12 tahun di Kabupaten Cirebon. Hasil analisis ini dapat digunakan untuk mengetahui sasaran program yang tepat untuk melihat intervensi dalam mengatasi masalah gizi akut. Masalah pertumbuhan mengenai keadaan tubuh yang pendek, terlihat bahwa prevalensi anak yang memiliki kondisi tubuh yang pendek terdapat pada usia 7-9 tahun di Kabupaten Garut dan Kabupaten Bandung, sedangkan di Kabupaten Cirebon prevalensi anak usia sekolah banyak terjadi di usia 7-12 tahun. Hasil analisis ini dapat digunakan untuk mengetahui sasaran program yang tepat untuk melihat intervensi dalam mengatasi masalah gizi kronis.

Gambar

Gambar 1 Skema kerangka pemikiran studi karakteristik pertumbuhan anak usia
Tabel 1 Jenis data, variabel dan cara pengumpulan data
Tabel 3 Klasifikasi tingkat kecukupan energi dan protein
Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik keluarga
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Telah dirancang sebuah prototype ruang penyimpanan benih padi berdasarkan pengontrolan temperatur dan kelembaban. Berdasarkan data referensi yang dikumpulkan, diperoleh

Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 14 Tahun 2009 tentang Pembentukan Organisasi Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluhan Kabupaten Bantul;a. Peraturan

PENGARUH BUDAYA BAHASA PERTAMA DALAM PERKEMBANGAN BELAJAR BAHASA INDONESIA SEBAGAI BAHASA ASING: STUDI KASUS PADA PENUTUR BAHASA JEPANG. Apriliya Dwi Prihatiningtyas

Fear appeal dengan high threat tidak signifikan mangubah persepsi fear appeal perokok mahasiswa UPI Bandung; penelitian ini memperoleh temuan bahwa, fear appeal dengan

[r]

Sedangkan untuk dapat dikatakan turut serta dalam tindak pidana perzinahan yaitu apabila laki-laki atau perempuan yang melakukan zina itu tidak berlaku Pasal 27

Metode tes digunakan untuk mengetahui ketuntasan belajar siswa dalam penerapan metode Teams Games Tournament dalam mata pelajaran Ibadah materi Pinjam Meminjam dan menilai