PERSPEKTIF SARJANA KEHUTANAN TERHADAP USAHA
EKONOMI PEDESAAN BERBASIS EKOSISTEM HUTAN
ANITA HAFSARI RUFAIDAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan tesis berjudul Perspektif Sarjana Kehutanan terhadap Usaha Ekonomi Pedesaan Berbasis Ekosistem Hutan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2015
Anita Hafsari Rufaidah
RINGKASAN
ANITA HAFSARI RUFAIDAH. Perspektif Sarjana Kehutanan terhadap Usaha Ekonomi Pedesaan Berbasis Ekosistem Hutan. Dibimbing oleh BAHRUNI dan DUDUNG DARUSMAN.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perspektif sarjana kehutanan (S.Hut) terhadap usaha ekonomi pedesaan berbasis ekosistem hutan guna melihat potensi dan ruang untuk menjadi wirausahawan. Perspektif yang dimaksud adalah perspektif mengenai pemahamannya terhadap usaha dan potensi dirinya guna menjadi wirausahawan. Perspektif seseorang terhadap usaha salah satunya dipengaruhi oleh pekerjaan. Oleh karena itu, analisis data difokuskan untuk melihat perspektif antara S.Hut yang bekerja di bidang kehutanan (S.Hut kehutanan) dan di luar bidang kehutanan (S.Hut luar kehutanan). Responden penelitian berjumlah 158 orang terdiri atas 120 orang S.Hut kehutanan dan 38 orang luar kehutanan, yang diperoleh secara acak menggunakan kuesioner. Penelitian dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif.
Hasil penelitian menunjukan bahwa, S.Hut kehutanan dan luar kehutanan memiliki tingkat ketertarikan dan minat yang cenderung tinggi terhadap usaha. Kecenderungan yang sama ditunjukan pada tingkat pengetahuan dan kapasitas. Namun diantara keduanya, S.Hut kehutanan memiliki tingkat ketertarikan, minat, pengetahuan dan kapasitas yang lebih tinggi terhadap usaha dibandingkan dengan S.Hut luar kehutanan. Hasil Uji Mann-Whitney menunjukkan bahwa tingkat ketertarikan antara S.Hut kehutanan dengan luar kehutanan berbeda nyata. Sedangkan untuk minat, pengetahuan dan kapasitas tidak berbeda nyata. Artinya bidang pekerjaan hanya berpengaruh pada tingkat ketertarikan terhadap usaha namun tidak pada minat, pengetahuan dan kapasitas untuk menjalankan usaha.
SUMMARY
ANITA HAFSARI RUFAIDAH. The Perspective Of Forestry Graduates Toward Rural Forestry Based Business. Supervised by BAHRUNI and DUDUNG DARUSMAN.
This study is discussing the perspective of forestry graduates (S.Hut) on rural forestry based business, which is aimed to see how potential the S.Hut to become entrepreneurs. The perspective of forest graduates has focused on their understanding and interest in the business. One of the influence that someone has when they see perspective towards business is job. The analysis has been differentiated both of S.Hut working in forestry (S.Hut forestry) and those in non forestry (S.Hut non forestry). With qualitative and quantitative approach, and total respondents of 158 persons, consisting 120 persons as forestry jobs and 38 persons as non-forestry jobs the results showed that both of them had very high interest on the business. The same trend was shown also at the level of knowledge and capacity. However, of the two, S.Hut has higher interest, their knowledge and capacity than non S.Hut. The results of the Mann-Whitney showes that the level of interest between S.Hut forestry and S.Hut non forestry differe significantly. Meanwhile the interest, knowledge and capacity does not show a significant difference. This indicates that the field of work affects the level of attraction in the business, but not the interest, knowledge and capacity to involve a business.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan
PERSPEKTIF SARJANA KEHUTANAN TERHADAP USAHA
EKONOMI PEDESAAN BERBASIS EKOSISTEM HUTAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2015
Judul Tesis : Perspektif Sarjana Kehutanan terhadap Usaha Ekonomi Pedesaan Berbasis Ekosistem Hutan
Nama : Anita Hafsari Rufaidah NIM : E151120011
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Bahruni, MS Ketua
Prof Dr Ir Dudung Darusman, MA Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan
Dr Tatang Tiryana, S.Hut, MSc
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 07 Mei 2015
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kelancaran sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul Perspektif Sarjana Kehutanan terhadap Usaha Ekonomi Pedesaan Berbasis Ekosistem Hutan. Terwujudnya tesis ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan semua pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada:
1. Dr Ir Bahruni, MS dan Bapak Prof Dr Ir Dudung Darusman, MA selaku dosen pembimbing yang telah memberikan nasihat, arahan dan masukan.
2. Dr Ir Dodik Ridho Nurrochmat, MSc Forest Trop selaku dosen penguji dan Dr Ir Ahmad Budiaman, MSc Forest Trop selaku pimpinan sidang.
3. Prof Dr Ir Dodi Nandika atas dukungan spiritual yang diberikan sehingga memotivasi penulis untuk menyelesaikan studi.
4. Seluruh sarjana kehutanan karena telah berkenan menjadi responden penelitian. 5. Suami, Ayah, Ibu, seluruh keluarga dan teman seperjuangan di Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan atas segala bantuan, dukungan, doa dan kasih sayangnya.
6. Kepada seluruh pihak yang telah membantu demi kelancaran penelitian.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan tesis ini, sehingga saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Mei 2015
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 3
Tujuan Penelitian 3
Manfaat Penelitian 3
2 METODE PENELITIAN 4
Kerangka Pemikiran 4
Pengumpulan Data 6
Pengolahan dan Analisis Data 7
3 KARAKTERISTIK RESPONDEN 12
Jenis Kelamin 12
Usia 12
Jenjang Pendidikan 13
Wilayah Sebaran 13
Pendapatan 13
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 14
Kiprah Sarjana Kehutanan dalam Dunia Kerja 14
Keragaan Finansial Usaha Ekonomi Pedesaan Berbasis Ekosistem Hutan 19
Perspektif Sarjana Kehutanan Mengenai Usaha 23
Perspektif Sarjana Kehutanan mengenai Potensi Diri 30
5 SIMPULAN DAN SARAN 37
Simpulan 37
Saran 37
DAFTAR PUSTAKA 37
DAFTAR TABEL
1 Jenis data, variabel penelitian dan metode pengumpulan data 6 2 Rincian jumlah responden berdasarkan perolehan kuesioner yang
masuk 7
3 Variabel data penelitian 7
4 Tetapan bobot nilai skala Likert pada berbagai pilihan respon
responden 10
5 Interpretasi nilai rataan skor responden 11
6 Karakteristik responden penelitian 12
7 Bidang pekerjaan yang digeluti oleh S.Hut 14
8 Penilaian diri mengenai tingkat kesesuaian antara latar belakang pendidikan dan keterampilan dengan pekerjaan yang ditekuni 17 9 Tingkat keyakinan S.Hut dalam mengerjakan pekerjaan apabila latar
belakang pendidikan dan keterampilan tidak sesuai dengan pekerjaan 18 10 Pola pemanfaatan lahan di Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Timur
menurut sampel literatur yang diperoleh * 19
11 Keragaan finansial usaha ekonomi pedesaan berbasis ekosistem
hutan* 21
12 Perbandingan pendapatan antara masyarakat pengusaha hutan, petani
sawit dan S.Hut 23
13 Komoditas hasil hutan potensial yang dapat dikembangkan menjadi
usaha menurut S.Hut 24
14 Penilaian S.Hut mengenai peluang pasar komoditas hasil hutan masa
kini dan mendatang 25
15 Skala usaha yang cocok dijalankan oleh S.Hut, investor swasta dan
masyarakat menurut penilaian S.Hut 29
17 Penilaian S.Hut mengenai kesesuaian program pemerintah guna
menunjang pengembangan usaha 30
16 Optimisme S.Hut terhadap kemungkinan peningkatan skala usaha 29 18 Penilaian S.Hut mengenai tingkat ketertarikan dirinya untuk menjadi
wirausahawan 31
19 Penilaian S.Hut mengenai minat dirinya pada usaha primer dan
sekunder 32
20 Penilaian S.Hut mengenai tingkat pengetahuannya terhadap usaha 33 21 Penilaian S.Hut mengenai kapasitas dirinya untuk menjalankan usaha 34 22 Kendala-kendala yang dihadapi untuk menjalankan usaha primer. 34 23 Kendala-kendala yang dihadapi untuk menjalankan usaha sekunder. 35 24 Strategi untuk menghadapi kendala dalam usaha primer dan sekunder 35 25 Kesediaan S.Hut untuk berkolaborasi dengan masyarakat 36 26 Alasan kesediaan S.Hut berkolaborasi dengan masyarakat 36
DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka pemikiran 4
2 Urutan prioritas faktor ekstrinsik yang dipertimbangkan oleh S.Hut kehutanan (K) dan luar kehutanan (NK) dalam memilih pekerjaan 15 3 Urutan prioritas faktor intrinsik yang dijadikan pertimbangan oleh
S.Hut kehutanan (K) dan luar kehutanan (NK) dalam memilih
pekerjaan 16
4 Perbandingan ukuran garis kemiskinan BPS dan Bank Dunia
terhadap pendapatan masyarakat 21
5 Komoditas hasil hutan yang berpotensi saat ini maupun masa
mendatang menurut S.Hut 24
6 Penilaian S.Hut mengenai posisi relativ sektor kehutanan terhadap
sektor lain 27
7 Aktor utama dalam pengusahaan hutan menurut S.Hut 28
DAFTAR LAMPIRAN
1 Daftar literatur yang digunakan dalam analisis keragaan usaha 41 2 Hasil uji Mann-Withney tingkat kesesuaian antara latar belakang
pendidikan dengan pekerjaan 45
3 Hasil uji Mann-Withney tingkat kesesuaian antara keterampilan
dengan pekerjaan 45
4 Hasil uji Mann-Whitney untuk peluang pasar komoditi hasil hutan 45 5 Rincian perhitungan pendapatan masyarakat pada berbagai pola
pemanfaatan di Wilayah Jawa 46
6 Rincian perhitungan pendapatan masyarakat pada berbagai pola
pemanfaatan di Wilayah Sumatera 47
7 Rincian perhitungan pendapatan masyarakat pada berbagai pola
pemanfaatan di Wilayah Kalimantan 47
8 Rincian perhitungan pendapatan masyarakat pada berbagai pola
pemanfaatan di Wilayah Timur 48
9 Rekapitulasi pendapatan masyarakat pada berbagai pola pemanfaatan
lahan 48
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia memiliki potensi sumber daya hutan (SDH) yang luas yakni 124 juta ha (Kemenhut 2014) atau 64% dari luas daratan Indonesia. Luas tersebut lebih besar dari luas lahan sektor pertanian yang hanya 20% dari luas daratan. Potensi luasan tersebut memberikan gambaran bahwa sesungguhnya sektor kehutanan dapat berpotensi tinggi sebagai pengembang perkenomian nasional. Namun, potensi tersebut belum termanfaatkan secara optimal dan masih berkontribusi rendah pada kesejahteraan masyarakat. Sumber daya hutan akan memberikan kontribusi yang tinggi pada masyarakat apabila dimanfaatkan secara lebih luas dan efisien. Hasil analisis Darusman (2012), apabila SDH dimanfaatkan secara lebih luas dan efisien maka akan diperoleh manfaat optimal berupa 9,90% manfaat tangible (kayu dan nonkayu), 81,90% manfaat intangible (jasa hutan) dan 8,20% manfaat pilihan. Jika manfaat tersebut diproyeksikan hingga kurun waktu 30 tahun, maka dapat meningkatkan kontribusi sebesar 4,4 kali lipat bagi masyarakat.
Peningkatan kesejahteraan masyarakat dapat dilakukan dengan meningkatkan usaha ekonomi pedesaan berbasis ekosistem hutan. Usaha ekonomi pedesaan berbasis ekosistem hutan merupakan kegiatan pengusahaan hutan oleh masyarakat sekitar hutan, yang memanfaatkan SDH dengan berlandaskan pada pengelolaan ekosistem hutan. Tujuannya adalah mempertahankan keberlanjutan produktivitas dan kualitas ekosistem melalui berbagai manfaat pilihan guna kesejahteraan bersama. Menurut Kementerian Kehutanan (2011), pemerintah telah mengalokasikan lahan seluas 5,6 juta ha, guna usaha masyarakat. Namun, menurut Suhardjito (2014), luas lahan yang dimanfaatkan hingga saat ini masih sangat rendah yaitu 3,30% atau 184.363ha. Usaha yang telah diupayakan selama ini diantaranya: hutan rakyat (HR), hutan tanaman rakyat (HTR), kebun bibit rakyat (KBR), hutan kemasyarakatan (HKm) dan hutan desa (HD). Kegiatan usaha tersebut sangat identik dengan wilayah pedesaan dan dapat berperan sebagai pendorong ekonomi pedesaan. Menurut Hardjanto (2003), ekonomi pedesaan dapat diartikan sebagai ekonomi yang berlaku di wilayah pedesaan dan biasanya berhubungan dengan fungsi ekonomi manusia dalam memanfaatkan sumber daya alam (SDA) sebagai mata pencaharian (Hossain 2000). Ekonomi pedesaan memiliki lima komponen utama yang saling terkait, yaitu sumber daya manusia (SDM), SDA, produksi primer, pertanian dan kegiatan nonpertanian (Andrew dan Omobude 2012). Hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai kelayakan finansial usaha skala kecil di wilayah Bogor (Hardjanto et al. 2012), Ciamis (Achmad dan Purwanto 2014), Maluku (Salaka et al. 2012), Riau (Rochmayanto dan Supriadi 2012), Lampung (Wulandari et al. 2014) dan Sulawesi (Wurangian dan Putra 2013) menunjukkan bahwa usaha tersebut layak diupayakan dan perlu dikembangkan.
2
khususnya di Indonesia semakin menurun. Hal ini sangat mengkhawatirkan, karena dapat berdampak besar pada hilangnya keberadaan hutan. Oleh karenanya mengembangkan usaha ekonomi pedesaan berbasis ekosistem hutan yang diintegrasikan dengan pengembangan profesi salah satunya melalui kewirausahaan sangat penting.
Peran Sarjana Kehutanan (S.Hut) dalam usaha kehutanan tergolong rendah dan hal ini masih luput dari perhatian pemerintah. Pola pembelajaran yang diterapkan selama ini lebih menitikberatkan pada lulusan yang siap diterima di dunia kerja (job seeker) bukan pencipta lapangan kerja (job creator) (Ilham 2012). Sementara, persaingan dunia bisnis masa kini dan masa depan akan lebih mengandalkan pada knowledge dan intelectual capital. Oleh karena itu, untuk meningkatkan daya saing usaha kehutanan, pengembangan wirausahawan muda perlu diarahkan pada kelompok muda terdidik. Wirausahawan merupakan orang yang berjiwa berani mengambil resiko (bermental mandiri dan berani memulai usaha) pada berbagai kesempatan (Kasmir 2006). Lulusan perguruan tinggi perlu didorong dan ditumbuhkan jiwa untuk berwirausaha (Suharti dan Sirine 2011). Kecenderungan yang ada saat ini S.Hut yang berprofesi sebagai wirausahawan masih sedikit. Data DPKHA IPB (2012) sebagai contohnya, 97,20% S.Hut lulusan tahun 2009 sampai 2012 memilih menjadi pekerja di perusahaan swasta dan pemerintahan sedangkan sisanya 2,80% menjadi wirausahawan di luar bidang kehutanan.
3
Perumusan Masalah
Kegiatan usaha ekonomi pedesaan berbasis ekosistem hutan, telah sejak lama diupayakan. Data dan informasi mengenai kelayakan dan kontribusi usaha terhadap pendapatan telah tersedia. Namun, ketersediaan data tersebut masih luput dari perhatian S.Hut dan belum menjadi daya tarik bagi S.Hut untuk menjadi wirausahawan. Kecenderungan selama ini S.Hut lebih tertarik untuk menjadi pekerja dibandingkan dengan pengusaha. Peran S.Hut di sektor usaha masih tergolong rendah. Oleh karena itu, rumusan masalah yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah kiprah S.Hut di dunia kerja saat ini? Mencakup: a. Bagaimanakah orientasi S.Hut dalam memilih pekerjaan? b. Bagaimanakah pertimbangan S.Hut dalam memilih pekerjaan?
c. Bagaimanakah tingkat kesesuaian antara latar belakang pendidikan dan keterampilan yang dimiliki S.Hut dengan pekerjaan yang ditekuni?
d. Seberapa besar tingkat keyakinan S.Hut dalam mengerjakan pekerjaan apabila pekerjaan yang digeluti tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan dan keterampilan yang dimiliki?
2. Bagaimanakah keragaan finansial usaha ekonomi pedesaan berbasis ekosistem hutan yang telah berjalan saat ini ?
3. Bagaimanakah perspektif S.Hut mengenai usaha ekonomi pedesaan berbasis ekosistem hutan? Mencakup:
a. Bagaimanakah penilaian pribadi S.Hut mengenai usaha ekonomi pedesaan berbasis ekosistem hutan?
b. Bagaimanakah penilaian pribadi S.Hut mengenai potensi dirinya untuk menjadi wirausahawan pada usaha ekonomi pedesaan berbasis ekosistem hutan?
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah 1) Mengetahui kiprah sarjana kehutanan dalam dunia kerja, 2) Mengetahui keragaan finansial usaha ekonomi pedesaan berbasis ekosistem hutan, dan 3) Mengetahui perspektif S.Hut terhadap usaha ekonomi pedesaan berbasis ekosistem hutan guna melihat peluang dan ruang pengembangan usaha.
Manfaat Penelitian
4
2
METODE PENELITIAN
Kerangka Pemikiran
Sarjana kehutanan merupakan sumber daya manusia kehutanan yang sangat potensial dijadikan sebagai agen pendorong dalam pengembangan usaha ekonomi pedesaan berbasis ekosistem hutan. Data dan informasi mengenai performance
usaha seperti data finansial, jenis dan bentuk usaha telah tersedia. Namun data tersebut luput dari perhatian dan tidak menarik minat S.Hut untuk menjadi wirausahawan. Persaingan dunia bisnis masa kini dan masa depan akan lebih mengandalkan pada knowledge dan intelectual capital. Oleh karena itu, untuk meningkatkan daya saing usaha kehutanan, pengembangan wirausahawan muda perlu diarahkan pada kelompok muda terdidik yaitu S.Hut. Sehingga, perlu diketahui kesiapan dan potensi S.Hut guna menjadi wirausahawan. Langkah awal untuk mengetahui kesiapan dan potensi S.Hut menjadi wirausahawan terdapat beberapa hal yang perlu dikaji yaitu kiprah S.Hut di dunia kerja, performance
usaha dan perspektif dirinya mengenai usaha. Penelitian ini terbagi ke dalam 4 fokus kajian yang memiliki keterkaitan sangat erat (Gambar 1).
Gambar 1 Kerangka pemikiran
FOKUS 1 FOKUS 2
FOKUS 3&4
SUMBER DAYA MANUSIA KEHUTANAN
Performance finansial
usaha ekonomi pedesaan berbasis ekosistem hutan
Peluang pengembangan usaha dan ruang bagi
sarjana kehutanan
Kiprah Sarjana Kehutanan: 1. Orientasi dalam memilih
pekerjaan (faktor-faktor yang menjadi pertimbangan) 2. Tingkat kesesuaian latar
belakang pendidikan
3. Tingkat kesesuaian keterampilan
Sektor kehutanan
Di luar sektor kehutanan
Perspektif sarjana kehutanan terhadap usaha pedesaan berbasis ekosistem hutan:
1. Perspektif mengenai usaha
5 Fokus 1 mengkaji mengenai kiprah S.Hut di dunia kerja. Kajian ini penting untuk mengetahui orientasi S.Hut dalam memilih pekerjaan dan kecenderungan karakter S.Hut apakah cenderung menjadi pekerja atau pengusaha. Parameter yang digunakan untuk mengetahui kiprah tersebut adalah identifikasi bidang pekerjaan yang digeluti, analisis motivasi atau pertimbangan yang digunakan dalam memilih pekerjaan, menilai tingkat kesesuaian antara latar belakang pendidikan dan keterampilan dengan pekerjaan serta menilai tingkat keyakinan S.Hut dalam mengerjakan pekerjaan apabila pekerjaan yang digeluti tidak sesuai latar belakang pendidikan dan keterampilan yang dimiliki.
Fokus 2 mengkaji mengenai keragaan finansial usaha ekonomi pedesaan berbasis ekosistem hutan yang telah dijalankan selama ini. Data dalam fokus ini diperoleh melalui studi literatur tujuannya adalah mengetahui rata-rata pendapatan yang dihasilkan dari kegiatan pengusahaan hutan pada berbagai bentuk usaha, luasan dan pola pemanfaatan lahan. Pendapatan rata-rata yang dianalisis merupakan pendapatan bersih. Nilai pendapatan yang diperoleh akan dibandingkan dengan nilai standar garis kemiskinan menurut ketentuan Bank Dunia dan Badan Pusat Statistik (BPS). Perbandingan tersebut dilakukan untuk mengetahui taraf kelayakan hidup masyarakat pengusaha hutan skala kecil. Informasi ini dibutuhkan untuk melihat daya tarik usaha kehutanan dan analisis rasionalitas S.Hut ditinjau dari nilai pendapatan.
6
Tabel 1 Jenis data, variabel penelitian dan metode pengumpulan data Jenis data Variabel penelitian Pengumpulan
data
Sumber data Primer 1. Karakteristik responden: (Umur,
jenis kelamin, bidang pekerjaan, jenjang pendidikan, wilayah dan pendapatan)
2. Kiprah S.Hut dalam dunia kerja (orientasi dalam memilih
Sekunder 1. Keragaan usaha ekonomi pedesaan berbasis ekosistem merupakan keyakinan seseorang mengenai kemampuan dirinya untuk mengerjakan dan menghasilkan sesuatu (Bandura 1986; Baron dan Byrne 2000; Brown et al. 2005). Konteks “sesuatu” dalam penelitian ini adalah untuk menjadi wirausahawan atau keyakinan diri menjadi wirausahawan. Keyakinan seseorang sangat dipengaruhi oleh faktor: pengalaman pribadi, pengalaman orang lain, persuasi verbal dan kondisi psikologis. Berdasarkan pada teori tersebut, maka dengan pengalaman yang dimiliki oleh S.Hut dari awal lulus hingga saat ini merupakan hal penting. Pengalaman yang dialami dapat mempengaruhi sudut pandang dalam menilai usaha kehutanan. Penilaian tersebut diharapkan dapat menjadi masukan pada generasi selanjutnya dalam memilih karir, pada instansi pendidikan dalam meramu kurikulum agar sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan dan pada pemerintah sebagai bahan penentu kebijakan guna pengembangan usaha.
Pengumpulan Data
Jenis dan Metode Pengumpulan Data
7
Penentuan Jumlah Responden
Penentuan jumlah responden dilakukan secaraacak menggunakan kuesioner yang disebar secara online di media sosial Facebook dan mailing list perkumpulan S.Hut (rimbawan interaktif). Penyebaran kuesioner dilakukan selama 1 bulan (14 September sampai 14 Oktober 2014), dengan jumlah responden yang diharapkan adalah 100 orang. Penentuan jumlah responden harapan dilakukan melalui pendekatan rumus Slovin dengan galat 10%. Realisasi responden yang diperoleh adalah 194 orang responden, namun responden yang diambil untuk analisis hanya 158 orang (Tabel 2). Selanjutnya, untuk pendalaman informasi dilakukan wawancara terhadap 30 orang responden dari total 158 orang. Penentuan jumlah responden tersebut dilalukan secara purposive dengan kriteria mudah ditemui (keterbatasan waktu dan dana).
Tabel 2 Rincian jumlah responden berdasarkan perolehan kuesioner yang masuk
Berdasarkan kuesioner yang diperoleh pada Tabel 2, dapat diketahui bahwa 80,50% responden merupakan S.Hut lulusan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), 10,69% Universitas Gadjah Mada (UGM) dan sisanya 8,81% berasal dari Universitas Lampung (UNLAM), Universitas Sriwijaya (UNSRI), Universitas Hasanudin (UNHAS), Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian (STIPER) Papua dan Aceh, Universitas Negeri Papua (UNIPA), Universitas Winaya Mukti (UNWIM), Universitas Lancang Kuning dan Universitas Nusa Bangsa (UNB).
Pengolahan dan Analisis Data
Data yang diperoleh diolah melalui tahapan editing (penyuntingan), coding
(pemberian kode), scoring (pemberian skor), entry dan cleaning data. Variabel, skala dan kategori data disajikan pada Tabel 3. Data tersebut selanjutnya dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif.
Tabel 3 Variabel data penelitian
No Variabel Penelitian Skala
data Kategori
1. Usia (tahun) Rasio 1.< 25 dan > 65 tahun
2.> 45-65 tahun
3.25-45 tahun
2. Jenis kelamin Nominal 1. Laki-laki
2.Perempuan
3. Bidang pekerjaan Nominal 1. Kehutanan
2.Luar kehutanan
4. Pendapatan (Rp) Rasio 1. ≤ 2.800.000
2. ≥ 2.800.000
Keterangan Jumlah (orang) Persentase (%)
Kuesioner terisi penuh 107 55
Kuesioner terisi sebagian 51 26
8
No Variabel Penelitian Skala
data Kategori
5. Orientasi dan motivasi dalam memilih pekerjaan
Ordinal 1. Pertimbangan utama
2. Pertimbangan kedua
3. Pertimbangan ketiga
4. Pertimbangan ke-n (terakhir) 6. Kesesuaian antara latar belakang
pendidikan dengan perkerjaan Ordinal 8. Tingkat keyakinan dalam mengerjakan
pekerjaan apabila poin 1 dan 2 tidak sesuai diusahakan saat ini dan masa yang akan datang
Ordinal 1. Sangat tinggi (4,2≤X≤5,0)
2. Tinggi (3,4≤X<4,2)
Ordinal 1. Sangat tinggi (4,2≤X≤5,0)
9
No Variabel Penelitian Skala
data Kategori
16. Tingkat pengetahuan terhadap jenis usaha poin 13
Ordinal 1. Sangat tinggi (4,2≤X≤5,0)
2. Tinggi (3,4≤X<4,2)
Ordinal 1. Sangat tinggi (4,2≤X≤5,0)
2. Tinggi (3,4≤X<4,2)
3. Sedang (2,6≤X<3,4)
4. Rendah (1,8≤X<2,6)
5. Sangat rendah (1,0≤X<1,8) 18. Penilaian sektor usaha yang paling
menarik dimata sarjana kehutanan
Ordinal 1. Sangat tinggi (4,2≤X≤5,0)
2. Tinggi (3,4≤X<4,2)
3. Sedang (2,6≤X<3,4)
4. Rendah (1,8≤X<2,6)
5. Sangat rendah (1,0≤X<1,8)
22. Skala usaha Ordinal 1. Besar (2,34≤X<3)
2. Sedang (1,67≤X<2,34)
3. Kecil (1≤X<1,67)
23. Optimisme S.Hut terhadap
kemungkinan pengembangan skala usaha
Ordinal 1. Sangat tinggi (4,2≤X≤5,0)
2. Tinggi (3,4≤X<4,2)
3. Sedang (2,6≤X<3,4)
4. Rendah (1,8≤X<2,6)
5. Sangat rendah (1,0≤X<1,8) Analisis Kualitatif
10
mengurangi nilai bobot tertinggi dengan terendah kemudian dibagi dengan banyaknya kelas. Bobot tertinggi dalam penilaian ini adalah 5 dan terendah adalah 1 sedangkan banyaknya kelas adalah 5, sehingga selang interval yang diperoleh adalah 0,8. Kategori respon responden seperti pada Tabel 5. Sedangkan untuk mengukur data perspektif mengenai peniliaian kesesuaian program pemerintah guna pengembangan usaha dan kesediaan untuk berkolaborasi dengan masyarakat menggunakan skala Guttman (bobot 1-0). Skala Guttman adalah skala yang digunakan untuk mengukur sikap seseorang dengan memfokuskan jawaban menjadi lebih ringkas (Sugiyono 2013).
Tabel 4 Tetapan bobot nilai skala Likert pada berbagai pilihan respon responden Skor Pilihan respon responden
Ketertarikan Minat Pengetahuan Kapasitas
5 Sangat tertarik Sangat berminat Sangat tahu Sangat mampu
4 Tertarik Berminat Tahu Mampu
3 Cukup tertarik Cukup berminat Cukup tahu Cukup mampu 2 Tidak tertarik Tidak berminat Tidak tahu Tidak mampu 1 Sangat tidak tertarik Sangat tidak berminat Sangat tidak tahu Sangat tidak setuju
Penjelasan mengenai jawaban responden menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia online adalah sebagai berikut (Setiawan 2013):
a. Tingkat pengetahuan
Sangat tahu : Memahami betul dan menguasai ilmunya Tahu : Memaklumi, menyaksikan, dan mengerti akan
maksud dari suatu hal
Cukup tahu : Cukup bisa memaklumi, menyaksikan, dan mengerti
Tidak tahu : Tidak bisa memaklumi, menyaksikan, dan mengerti
Sangat tidak tahu : Sama sekali tidak mengetahui dan belum pernah mendengar
b. Kapasitas
Sangat mampu : Mampu, kuasa dan mahir melakukan sesuatu Mampu : Mampu melakukan sesuatu namun belum mahir
Cukup mampu : Cukup mampu melakukan sesuatu namun belum bias
Tidak mampu : Telah mencoba namun gagal
Sangat tidak misa : Sama sekali belum mampu melakukan
c. Tingkat ketertarikan
Sangat Tertarik : Suka, ingin menjadi pengusaha dan memiliki perhatian yang lebih
Tertarik : Suka, ingin menjadi pengusaha namun tidak memiliki perhatian
Cukup Tertarik : Ingin menjadi pengusaha namun belum bisa
Tidak Tertarik : Tidak ada keinginan untuk menjadi pengusaha Sangat TidakTertarik : Sama sekali tidak tertarik dan berkeinginan menjadi
wirausahawan
d. Minat
11 Berminat : Menaruh minat yang tinggi namun penuh
keterbatasan
Cukup berminat : Cukup berminat namun tidak terlalu kuat
Tidak berminat : Tidak ada minat
Sangat Tidak berminat : Sama sekali tidak berminat
Analisis Kuantitatif 1. Uji Mann-Whitney
Uji ini digunakan untuk mengetahui nilai signifikansi dan perbedaan respon antara dua populasi yang saling independen dengan bentuk data ordinal (Sugiyono 2013). Pengujian dilakukan dengan menggunakan aplikasi SPSS 20 (Statistical
Product and Service Solutions 20) dengan taraf signifikansi 1%. Ketentuan yang
digunakan dalam uji hipotesis sebagai berikut:
H0 diterima bila: nilai signifikansi level > 0,01 H0 ditolak bila: nilai signifikansi level < 0,01 Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
H0: Penilaian S.Hut kehutanan dan luar kehutanan tidak berbeda nyata. H1: Penilaian S.Hut kehutanan dan luar kehutanan berbeda nyata.
2. Analisis Kinerja Finansial
Analisis kuantitatif digunakan untuk menganalisis performance finansial usaha ekonomi pedesaan berbasis ekosistem hutan pada berbagai bentuk pengelolaan. Parameter keragaan finansial yang dianalisis adalah rata-rata pendapatan bersih yang diperoleh rumah tangga petani dari kegiatan pengusahaan hutan. Data pendapatan diperoleh melalui studi literatur. Literatur yang digunakan berjumlah 50 literatur terdiri atas buku, jurnal, tesis dan disertasi (Lampiran 1). Literatur yang dianalisis mulai dari tahun 2000 sampai 2014. Literatur tersebut ditentukan secara purposive, dengan kriteria memiliki data lengkap mengenai pendapatan, luas lahan dan pola pemanfaatan yang dikembangkan. Nilai pendapatan bersih yang diperoleh dikonversi ke tahun 2015 dengan menggunakan pendekatan konsep discounting (nilai yang akan datang) pada tingkat inflasi rata-rata 6,86%1 (BPS 2015). Selanjutnya nilai pendapatan tersebut dibandingkan dengan nilai standar ukuran garis kemiskinan menurut BPS dan Bank Dunia. Tujuannya adalah untuk melihat kontribusi pengusahaan hutan yang dijalankan oleh masyarakat terhadap tingkat kelayakan hidup. Apakah pengusahaan hutan yang layak secara finansial dapat menjamin kelayakan hidup masyarakat?. Ukuran
1
Inflasi rata-rata tahun 2005 sampai 2015 Tabel 5 Interpretasi nilai rataan skor responden
No Interpretasi Skor
1. Sangat tinggi 4,2≤X≤5,0
2. Tinggi 3,4≤X<4,2
3. Sedang 2,6≤X<3,4
4. Rendah 1,8≤X<2,6
12
garis kemiskinan menurut BPS (2015) adalah Rp 530.958 per kapita per bulan, sedangkan menurut Bank Dunia (2012) adalah $1>P<$2,25 PPP (Purchasing
power parity). Nilai $1 PPP tahun 2011 setara dengan Rp 6.575 atau Rp. 53.128
per kapita per hari pada tahun 2015.
3
KARAKTERISTIK RESPONDEN
Karakteristik responden dikelompokan menurut jenis kelamin, usia, jenjang pendidikan, sebaran wilayah dan pendapatan. Responden penelitian terdiri atas 120 orang S.Hut kehutanan dan 38 orang S.Hut luar kehutanan (Tabel 6).
Tabel 6 Karakteristik responden penelitian
a
Data hasil pengolahan; bGaji sarjana kehutanan yang bekerja di Amerika Serikat sebagai perencana di
planning commission office in Baton Rouge ($ 3 800/bln, 1 $: Rp 12 000); ∑: jumlah; n: jumlah contoh;
Jenis Kelamin
Jenis kelamin merupakan faktor pranatal (bawaan lahir) yang sangat mempengaruhi kapasitas seseorang (Thung 2014). Mayoritas responden penelitian berjenis kelamin laki-laki yakni 74% S.Hut kehutanan dan 79% luar kehutanan.
Usia
Usia responden dikelompokan ke dalam tiga kategori menurut tingkat produktivitas dalam bekerja (Kamaludin 1994): tidak produktif (<25 tahun dan >65 tahun), produktif (>45-65 tahun) dan sangat produktif (25-45 tahun).
Rata-n 120 n 38
∑ (orang) Persen (%) ∑ (orang) Persen (%)
1 Jenis kelamin Laki-laki 89 74 30 81
Perempuan 31 26 7 19
2 Usia <25X>65 tahun 2 2 0 0
>45-65 Tahun 11 9 2 5
25-45 Tahun 107 89 36 97
3 Jenjang pendidikan Strata 1 73 61 28 76
Strata 2 37 31 9 24
Strata 3 10 8 0 0
4 Wilayah sebaran Jawa 89 74 30 79
Sumatera 12 10 2 5
Kalimantan 7 6 2 5
Sulawesi dan sekitarnya 6 5 1 3
Luar Negeri 6 5 3 8
5 Pendapatan (Rp/bulan)a 35 250 000 ≤X≤ 46 500 000b 0 0 1 3
24 000 000 ≤X< 35 250 000 3 3 1 3
12 750 000≤X< 24 000 000 7 6 2 5
X < 12 750 000 110 92 34 89
No Karakteristik responden Kategori
Bidang pekerja
13 rata usia responden baik S.Hut kehutanan maupun luar kehutanan berada pada selang usia sangat produktif yaitu 25-45 tahun. Usia tersebut usia sangat potensial bagi seseorang untuk menjalankan usaha. Menurut Zimmerer (2002), usia yang tepat untuk memulai usaha adalah 25-40 tahun. Pada usia tersebut seseorang telah dianggap matang, dewasa dan berpengalaman di dunia kerja sehingga cenderung dapat merencanakan usaha dengan penuh pertimbangan guna memperkecil resiko kerugian.
Jenjang Pendidikan
Jenjang pendidikan merupakan tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai dan kemampuan yang dikembangkan. Jenjang pendidikan merupakan post natal,
faktor luar yang mempengaruhi diri seseorang atau pengaruh bukan bawaan kelahiran yang cukup penting diperhitungkan dalam kewirausahaan (Thung 2014). Responden strata satu lebih banyak dibandingkan dengan strata dua dan tiga. Responden strata satu yang bekerja di bidang kehutanan sebanyak 61 % dan luar kehutanan 74%.
Wilayah Sebaran
Responden yang diperoleh tersebar di lima wilayah yaitu Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan sekitarnya serta luar negeri. Penentuan wilayah terebut berdasarkan kepada lokasi tempat kerja bukan domisili. Mayoritas responden yang mengisi kuesioner adalah responden yang bekerja di Pulau Jawa yakni, 74% yang bekerja di sektor kehutanan dan 79% yang bekerja di luar sektor kehutanan. Responden yang berada di Jawa tersebar di Kota Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang, Bekasi, Gersik, Yogyakarta, Cirebon, Ciamis, Kuningan, Majalengka, Tegal, Cianjur, Malang, Bandung, Semarang, Pasuruan, Sukabumi, Bandung dan Pekalongan. Wilayah Sumatera tersebar di Kota Aceh, Jambi, Palembang, Riau, Lampung, Sumatera Utara dan Sumatera Barat. Wilayah Kalimantan tersebar di Kota Pontianak, Palangkaraya, Samarinda, Pontianak dan Katingan. Wilayah Sulawesi dan sekitarnya terdiri dari Kota Papua, Manokwari, Kendari, Palu, Mataram dan Nusa Tenggara Timur. Sedangkan untuk wilayah luar negeri responden tersebar di Australia, Jepang, Korea, Brasil dan Amerika Serikat.
Pendapatan
Pada umumnya S.Hut memiliki pendapatan kurang dari Rp 12.750.000 per bulan. Pendapatan rata-rata S.Hut kehutanan adalah Rp 6.163.238 per bulan sedangkan luar kehutanan Rp 8.660.243 per bulan. Menurut Reynolds dan Gartner
dalam Marshall (2005) seseorang yang memiliki penghasilan tinggi adalah
14
4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kiprah Sarjana Kehutanan dalam Dunia Kerja
Kiprah S.Hut di dunia kerja memberikan gambaran mengenai kemampuan S.Hut dalam bekerja. Kemampuan bekerja didefinisikan sebagai sekumpulan pencapaian (achievement) meliputi keterampilan, pemahaman dan atribut personal yang lebih memungkinan lulusan untuk memperoleh pekerjaan dan sukses dalam pilihan kerjanya serta memberi keuntungan bagi diri sendiri, tenaga kerja, masyarakat dan ekonomi secara keseluruhan (Yorke dan Knight 2006). Analisis kiprah S.Hut di dunia kerja dilakukan untuk mengetahui orientasi S.Hut dalam memilih bidang pekerjaan, tingkat kesesuaian antara latar belakang pendidikan dan keterampilan dengan pekerjaan serta tingkat keyakinan melakukan pekerjaan apabila latar belakang pendidikan dan keterampilan tidak sesuai dengan pekerjaan.
Bidang Pekerjaan Sarjana Kehutanan
Sarjana kehutanan lebih tertarik untuk menjadi pekerja dibandingkan dengan wirausahawan. Hasil wawancara mendalam menunjukan bahwa, ketika awal lulus hingga saat ini tidak pernah terpikirkan untuk menjadi seorang wirausahawan.
Sarjana kehutanan tergolong memiliki daya saing yang cukup tinggi di dunia kerja. Mereka tidak hanya mampu bekerja pada sektor kehutanan tetapi juga di luar sektor kehutanan (Tabel 7). Sarjana kehutanan yang berkeja di sektor kehutanan mayoritas bekerja sebagai birokrat dan pegawai swasta. Responden birokrat tersebar di Kementerian Kehutanan dan Pemerintah Daerah. Pegawai swasta tersebar di perusahaan swasta kehutanan (IUPHHK-HT/HA2), konsultan kehutanan dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Sedangkan untuk S.Hut luar kehutanan, mayoritas bekerja sebagai pegawai swasta di perusahaan perkebunan, pertambangan dan perusahaan swasta umum (perbankan, jasa marketing dan media penyiaran).
Tabel 7 Bidang pekerjaan yang digeluti oleh S.Hut
No Bidang Pekerjaan Persentase (%)
1. Kehutanan 100
a. Birokrat 53
b. Pegawai swasta 35
c. Akademisi 12
2. Luar kehutanan 100
a. Birokrat 11
b. Pegawai swasta 89
2
15 Pemilihan pekerja dipengaruhi oleh motivasi S.Hut. Menurut Glodsmith (2012) motivasi seseorang dalam memilih pekerjaan sangat dipengaruhi oleh tingkah lakunya (human behaviour). Setiap orang memiliki keunikan masing-masing, terkadang pada tempat dan waktu yang sama tingkah laku yang ditunjukan akan berbeda dengan yang sebenarnya. Motivasi S.Hut yang dijadikan pertimbangan dalam memilih pekerjaan digolongkan kedalam faktor ekstrinsik dan faktor instrinsik. Faktor ekstrinsik adalah segala sesuatu yang diperoleh melalui pengamatan sendiri ataupun melalui saran, anjuran atau dorongan dari orang lain. Secara singkat faktor ektrinsik adalah motivasi yang bersumber dari luar diri seseorang. Sedangkan Faktor intrinsik adalah keinginan bertindak yang disebabkan faktor pendorong dari dalam diri (internal) individu atau motivasi yang bersumber pada diri seseorang (Abbas 2013).
Faktor Ekstrinsik dalam Memilih Pekerjaan
Hasil identifikasi jawaban kuesioner, terdapat 8 faktor ekstrinsik yang dijadikan pertimbangan S.Hut untuk memilih pekerjaan yaitu penghasilan (gaji), jenjang karir dan jabatan, peluang pengembangan diri, lokasi tempat kerja, fasilitas perusahaan, lingkungan kerja kondusif dan nyaman, kesesuaian bidang pekerjaan dengan keahlian dan kesesuaian bidang kerja degan latar belakang pendidikan. Sarjana kehutanan baik yang bekerja di sektor kehutanan maupun luar kehutanan memiliki pertimbangan yang sama dalam memilih pekerjaan. Namun, mereka memiliki penilaian yang berbeda dalam memilih pertimbangan mana yang harus diutamakan atau dipriotaskan (Gambar 2).
Urutan prioritas faktor ekstrinsik yang harus dipertimbangkan oleh S.Hut kehutanan adalah 1) peluang pengembangan diri, 2) penghasilan (Gaji), 3) kesesuaian antara bidang pekerjaan dengan keterampilan yang dimiliki, 4) kondisi lingkungan kerja yang kondusif, 5) lokasi tempat kerja, 6) jenjang karir dan Gambar 2 Urutan prioritas faktor ekstrinsik yang dipertimbangkan oleh
S.Hut kehutanan (K) dan luar kehutanan (NK) dalam memilih pekerjaan
0 5 10 15
Fasilitas perusahaan Sesuai latar belakang pendidikan Jenjang karir dan jabatan Lokasi tempat kerja Lingkungan kerja kondusif dan nyaman Sesuai keterampilan Penghasilan (gaji) Peluang pengembangan diri
Nilai skor rata-rata (%)
NK
16
jabatan, 7) kesesuaian antara latar belakang pendidikan dengan pekerjaan dan 8) fasilitas perusahaan yang disediakan. Sedangkan S.Hut luar kehutanan adalah 1) penghasilan (gaji), 2) peluang pengembangan diri, 3) kondisi lingkungan kerja yang kondusif dan nyaman; 4) lokasi tempat kerja; 5) jenjang karir dan jabatan, 6) fasilitas perusahaan, 7) kesesuaian bidang pekerjaan dengan keterampilan dan 8) kesesuaian antara bidang pekerjaan dengan latar belakang pendidikan.
Pengaruh Faktor Intrinsik dalam Memilih Pekerjaan
Faktor intrinsik dipertimbangkan dalam memilih pekerjaan terdiri atas 3 yaitu kedekatan dengan keluarga, cita-cita/keinginan pribadi dan teman. Sama halnya dengan faktor ekstrinsik, faktor intrinsik yang dipertimbangkan dalam memilih pekerjaan antara S.Hut kehutanan dengan luar kehutanan sama. Prioritas faktor intrinsik yang dipertimbangkan oleh S.Hut seperti pada Gambar 3.
Urutan prioritas faktor intrinsik yang pertimbangan oleh S.Hut kehutanan dalam memilih pekerjaan adalah 1) cita-cita/keinginan pribadi; 2) kedekatan dengan keluarga dan 3) teman. Sedangkan menururt S.Hut luar kehutanan adalah 1) kedekatan dengan keluarga; 2) cita-cita/keinginan pribadi dan 3) teman.
Kesesuaian antara Latar Belakang Pendidikan dan Keterampilan dengan Pekerjaan
Seyogyanya S.Hut dapat bekerja pada bidang pekerjaan yang sesuai dengan kompetensi yang tercermin dari strata pendidikan yang diikuti (Kusmana 2010). Sehingga kesesuaian antara latar belakang pendidikan dan keterampilan menjadi hal yang sangat penting. Kesesuaian antara latar belakang pendidikan dan keterampilan dengan pekerjaan dapat menumbuhkan efikasi diri pada diri seseorang. Efikasi diri (Self-efication) adalah keyakinan seseorang akan kemampuannya untuk mengorganisasi dan mengeksekusi seperangkat tindakan guna mencapai tujuan tertentu (Inggarwati dan Kaudin 2010). Semakin tinggi tingkat kesesuaian antara latar belakang pendidikan dengan pekerjaan akan meningkatkan keyakinan pada diri seseorang untuk menyelesaikan suatu tujuan. Semakin kuat keyakinan, maka semakin besar kemungkinan tujuan akan tercapai. Gambar 3 Urutan prioritas faktor intrinsik yang dijadikan pertimbangan oleh
17 Sarjana kehutanan yang berkiprah di sektor kehutanan dapat dipastikan memiliki tingkat kesesuaian yang sangat tinggi antara latar belakang pendidikan dan keterampilan dengan pekerjaan dibandingkan dengan S.Hut luar kehutanan.
Tabel 8 menunjukkan bahwa, S.Hut kehutanan memiliki nilai rata-rata skor lebih tinggi sebesar 4,6 dibandingkan S.Hut luar kehutanan 2,8. Namun demikian, terdapat 24% responden S.Hut luar kehutanan yang memberikan respon sangat sesuai. Hal ini dikarenakan terdapat S.Hut yang bekerja di perusahaan swasta yang relevan dengan ilmu kehutanan dan memerlukan tenaga kerja S.Hut seperti perkebunan sawit, pertambangan dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) lingkungan. Sarjana kehutanan yang bekerja di perkebunan sawit, biasanya bekerja sebagai: auditor Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), High
Concervation Value (HCV) officer, Environtmental officer, asisten agronomi,
asisten land clearing, water management dan surveyor. Sarjana kehutanan yang bekerja di pertambangan biasanya bekerja pada bagian forestry advisor dan safety,
health & environment (SHE). Sedangkan untuk sarjana kehutanan yang bekerja di
LSM lingkungan biasanya menempati posisi forestry specialist. Oleh karena itu meskipun bidang pekerjaan yang digeluti di luar sektor kehutanan namun, mereka masih melakukan pekerjaan yang sesuai dengan bidang keilmuan yang dimiliki. Latar belakang pendidikan yang sesuai dengan pekerjaan belum tentu sesuai dengan keterampilan yang dimiliki.
Keterampilan merupakan kecapakan yang dimiliki seseorang untuk mengerjakan dan menyelesaikan suatu tugas atau pekerjaan (Abbas 2013) dan sifatnya lebih kepada kapasitas pribadi masing-masing yang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Respon yang diberikan oleh ke-2 responden sangat beragam. Tabel 8 menunjukan bahwa baik S.hut kehutanan dan luar kehutanan memiliki tingkat kesesuaian yang tinggi antara keterampilan dengan pekerjaan yang digeluti. Skor rata-rata tingkat keterampilan S.Hut kehutanan adalah 4,4 (tinggi) dan luar kehutanan adalah 3,7 (tinggi). Jika nilai skor tersebut dibandingkan, maka S.Hut kehutanan memiliki tingkat kesesuaian yang lebih tinggi dibandingkan dengan S.Hut luar kehutanan. Kondisi ini mendukung pernyataan Stephenson dalam
Syafiq (2007) yang mengemukakan bahwa, seseorang lulusan perguruan tinggi Tabel 8 Penilaian diri mengenai tingkat kesesuaian antara latar belakang
pendidikan dan keterampilan dengan pekerjaan yang ditekuni
No Parameter penilaian
Respon tingkat kesesuaian (%) Rata-rata skor SSa Sb CSc TSd STSe
18
yang dapat diterima di dunia kerja adalah lulus yang mampu menggunakan keterampilannya untuk: Mengambil tindakan yang efektif dan tepat, menjelaskan apa yang ingin mereka capai, hidup dan bekerja dengan yang lain, dapat terus belajar baik secara individual maupun dengan yang lain dalam masyarakat yang beragam dan terus berubah.
Tingkat Keyakinan Sarjana Kehutanan dalam Mengerjakan Pekerjaan
Keyakinan adalah suatu sikap yang ditunjukkan oleh seseorang ketika ia merasa cukup tahu dan menyimpulkan bahwa dirinya telah mencapai kebenaran. Keyakinan yang dibahas pada bahasan ini adalah mengenai tingkat keyakinan S.Hut dalam mengerjakan pekerjaannya apabila bidang pekerjaan yang mereka geluti tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan dan keterampilan.
Berdasarkan nilai rata-rata skor yang dihasilkan pada Tabel 9, S.Hut luar kehutanan memiliki tingkat keyakinan yang tinggi dalam mengerjakan pekerjaan meskipun tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan yang dimiliki. Keyakinan ini menimbulkan rasa kepercayaan diri tinggi untuk mengerjakan suatu pekerjaan. Hal ini merupakan nilai positif yang dimiliki oleh seorang S.Hut. Kondisi tersebut menyebabkan S.Hut dapat dengan mudah beradaptasi di lingkungan kerja baru meskipun asing. Jika dilihat dari tingkat kesesuaian keterampilan seperti pada Tabel 8, terdapat 3% S.Hut kehutanan bekerja pada bidang yang tidak sesuai dengan keterampilan. Namun, 67% responden dari 3% tersebut memiliki keyakinan sangat tinggi untuk mengerjakan pekerjaan dan sisanya 33% memiliki keyakinan yang sedang (Tabel 9). Ketidaksesuaian keterampilan dengan pekerjaan sangat memberikan pengaruh pada S.Hut luar kehutanan. Hal tersebut dapat dilihat dari keragaman respon yang diberikan pada Tabel 9. Responden S.Hut luar kehutanan memberikan respon seimbang yaitu 24% sangat yakin dan 24% tidak yakin, sedangkan mayoritas sisanya 43% memiliki keyakinan sedang. Nilai skor rata-rata yang dihasilkan tidak jauh beda yakni 3,1 S.Hut kehutanan dan 3,3 luar kehutanan.
Tabel 9 memberikan gambaran bahwa, ketidaksesuaian latar belakang pendidikan bukan suatu kendala seseorang untuk bekerja. Sarjana kehutanan yang bekerja di luar bidang kehutanan masih memiliki keyakinan yang tinggi dalam Tabel 9 Tingkat keyakinan S.Hut dalam mengerjakan pekerjaan apabila latar
belakang pendidikan dan keterampilan tidak sesuai dengan pekerjaan
19 melakukan pekerjaan meskipun tidak sesuai bidangnya. Namun ketidaksesuaian keterampilan dapat memberikan pengaruh besar pada tingkat keyakinan melakukan pekerjaan. Hal ini tersebut terbukti dari nilai skor respon yang dihasilkan masuk kategori sedang. Dengan demikian, keterampilan merupakan salah satu faktor yang paling berpengaruh pada kesuksesan seseorang dalam mengerjakan pekerjaan.
Keragaan Finansial Usaha Ekonomi Pedesaan Berbasis Ekosistem Hutan
Keragaan finansial usaha ekonomi pedesaan berbasis ekosistem hutan yang dibahasa dalam penelitian ini adalah keragaan yang ditinjau dari pendapatan bersih yang diperoleh oleh masyarakat pada berbagai pola pemanfaatan lahan.
Pola Pemanfaatan Lahan
Pola pemanfaatan yang diupayakan oleh masyarakat selama ini terdiri atas pola monokultur, campuran dan agroforestri. Menurut IPB (1983), pola monokultur atau hutan rakyat murni adalah pola pemanfaatan lahan hanya dengan menanami satu jenis pohon sedangkan pola campuran adalah pola pemanfaatan lahan dengan menanami lebih dari 1 jenis pohon. Pola agroforestri adalah pola pemanfaatan lahan dengan menanami berbagai jenis tanaman terdiri atas tanaman kehutanan, tanaman perkebunan, tanaman pangan dan tanaman obat (Achmad dan Purwanto 2014). Pola agroforestri yang dianalisis dibedakan menjadi 2 yakni agroforestri sederhana dan kompleks. Menurut Achmad dan Purwanto (2014), agroforestri dikatakan sederhana bila jenis tanaman yang ditanam kurang dari 6 jenis dan agroforestri kompleks jika jenis tanaman yang ditanam lebih dari 6 jenis. Pola pemanfaatan lahan di suatu wilayah berbeda-beda, hal ini dipengaruhi oleh jenis tanaman yang dikembangkan, budaya setempat dan ekonomi masyarakat. Analisis pola pemanfaatan lahan dalam penelitian ini dibedakan menurut 4 wilayah yaitu Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Timur (Sulawesi dan sekitarnya). Perbedaan pola pemanfaatan lahan di ke-4 wilayah seperti pada Tabel 10.
Tabel 10 Pola pemanfaatan lahan di Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Timur menurut sampel literatur yang diperoleh *
*Hasil pengolahan data primer, ** Sulawesi dan sekitarnya
Hasil analisis pada sampel literatur yang dipilih, menunjukan bahwa terdapat perbedaan pola pemanfaatan lahan antara wilayah Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Timur. Wilayah Jawa memiliki pola pemanfaatan lahan yang lebih lengkap dibandingkan dengan ke-3 wilayah lainnya. Data mengenai ke-4 pola pemanfaatan di Jawa banyak tersedia dan mudah didapat. Sedangkan untuk data mengenai pola pemanfaatan di wilayah lain sulit ditemui. Mayoritas pola
No Pola pemanfaatan Wilayah
Jawa Sumatera Kalimantan Timur**
1. Monokultur X
2. Campuran X X
3. Agroforestri sederhana X X X X
20
pemanfaatan yang diupayakan di Wilayah Sumatera adalah campuran dan agroforestri sederhana. Wilayah kalimantan hanya ditemukan pola agroforestri sederhana dan Wilayah Timur mayoritas mengupayakan agroforestri sederhana dan kompleks. Perbedaan yang mencolok dari keempat pola pemanfaatan lahan di setiap wilayah adalah dari jenis komoditas yang ditanam. Komoditas utama yang banyak diupayakan di wilayah Jawa adalah kayu dan buah-buahan. Komposisi komoditas yang ditanam di Jawa lebih dominan kayu dibandingkan dengan komoditas lainnya. Data Dirjen BPDAS (2011), terdapat kurang lebih 28 jenis komoditi kayu yang dikembangkan di wilayah Jawa (Lampiran 10). Namun jenis-jenis komoditas kayu yang diminati hanya jenis-jenis sengon, jabon, afrika, jati dan mahoni. Jenis-jenis tersebut diminati karena bibit mudah didapat, permintaan banyak dan harga jual tinggi terutama untuk jati dan mahoni. Sedangkan untuk komposisi komoditas yang dominan ditanam di Sumatera, Kalimantan dan Timur disesuaikan dengan potensi unggulan daerah setempat. Sumatera merupakan wilayah penghasil utama dari kemenyan (Sumatera Utara), kayu manis (Aceh dan Sumatera Barat), kopi (Aceh dan Lampung), damar mata kucing (Lampung), sawit dan karet (Jambi, Riau dan Sumatera Selatan), kopi (Lampung) dan kakao (Lampung). Sehingga, komposisi jenis komoditas yang ditanam lebih kepada komoditas unggulan tersebut dibandingkan dengan kayu. Namun, di Sumatera Selatan terdapat beberapa petani hutan rakyat yang menanami lahannya dengan komoditas utama kayu pulai. Hal ini dikarena adanya perusahaan pensil yang membutuhkan bahan baku kayu pulai dalam jumlah besar. Selain pulai, komoditas kayu yang banyak digemari oleh masyarakat di Sumatera adalah sengon, jati, akasia dan mahoni. Mayoritas masyarakat di Kalimantan mengupayakan pola tanam agroforestri sederhana. Jenis komoditas yang ditanam sangat beragam dari mulai komoditas kayu, buah-buahan dan perkebunan. Hasil identifikasi literatur yang diperoleh, di Kalimantan terdapat komoditas yang paling digemari dan hampir terdapat di seluruh hutan rakyat yang dibangun yaitu jenis rotan, kelapa, karet, jati dan akasia. Wilayah timur banyak yang mengupayakan pola pemanfaatan lahan dengan agroforestri sederhana dan kompleks. Sama halnya dengan Sumatera, di Wilayah timur terdapat beberapa daerah yang memiliki komoditas unggulan seperti kenari (Ternate), bambu tutul (Ternate), kemiri (Sulawesi Selatan), aren (Gorontalo). Wilayah Timur selain memiliki komoditas unggulan flora juga memiliki potensi ternak seperti kuda (Nusa Tenggara Timur), Sapi (Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Tenggara). Pola pemanfaatan lahan di wilayah yang memiliki potensi ternak berupa agroforestry dengan sistem silvopastural.
Analisis Pendapatan
21
Pendapatan rata-rata masyarakat Rp per kapita per bulan, jika dibandingkan dengan standar garis kemiskinan menurut BPS (2015) dan Bank Dunia (2012), masih tergolong rendah. Standar garis kemiskinan BPS adalah Rp 530.958 per kapita bulan sedangkan Bank Dunia adalah $1<P<$2,25 PPP per kapita per hari atau setara dengan Rp 1.593.840<P< Rp 3.586.140 per kapita bulan pada saat kondisi $1 PPP adalah Rp. 53.128 per kapita per hari. Tabel 11 menunjukkan bahwa, pendapatan yang diperoleh dari kegiatan usaha kehutanan masih belum dapat memenuhi standar hidup layak. Nilai pendapatan yang diperoleh sebesar Rp. 384.152 per kapita per bulan, jauh berada di bawah standar garis kemiskinan (Gambar 4).
Hasil-hasil penelitian yang ada menunjukkan bahwa, usaha tersebut sangat layak secara finansial untuk diupayakan dan dapat berkontribusi terhadap pendapatan masyarakat. Namun, usaha tersebut masih dipandang sebagai usaha sampingan dan belum menjadi suatu sumber penghasilan utama masyarakat. Usaha ekonomi pedesaan berbasis ekosistem hutan yang diupayakan belum dapat dikatakan sebagai suatu bisnis sesungguhnya karena belum dapat menggerakan perekonomian di wilayak sekitar. Kegiatan usaha yang diupayakan masih bersifat subsisten.
Apabila pendapatan dari usaha kehutanan dibandingkan dengan pendapatan petani sawit dan gaji sarjana kehutanan seperti pada Tabel 12, maka usaha Tabel 11 Keragaan finansial usaha ekonomi pedesaan berbasis ekosistem hutan*
* Hasil pengolahan data primer
1 Monokultur 1,06 450.506 112.626 1.351.518 2 Campuran 1,22 2.011.781 502.945 6.035.344 3 Agroforestri sederhana 1,65 2.528.145 632.036 7.584.434 4 Agroforestri kompleks 1,15 1.156.007 289.002 3.468.021 1,27 1.536.610 384.152 4.609.829 Luas rata-rata
(ha/kk)
Pendapatan (Rp/kk/bln)
Pendapatan (Rp/kapita/thn) Pendapatan
(Rp/kapita/bln)
Rata-rata No Pola pemanfaatan
22
kehutanan memiliki pendapatan yang paling rendah. Sedangkan gaji S.Hut merupakan pendapatan yang paling tinggi. Pendapatan S.Hut tersebut akan semakin meningkat seiring dengan bertambahnya pengalaman kerja dan pendapatan S.Hut luar kehutanan lebih tinggi dibandingkan dengan S.Hut kehutanan. Berdasarkan kondisi tersebut, maka usaha kehutanan menghadapi 2 tantangan besar yakni tingginya oppotunity yang dimiliki S.Hut di dunia kerja dan
grace period
Opportunity S.Hut di Dunia Kerja
Sarjana kehutanan memiliki daya saing yang cukup tinggi di dunia kerja. Mereka memiliki keyakinan yang tinggi untuk melakukan sutau pekerjaan meskipun tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan yang dimiliki dan cenderung memiliki keterampilan yang cukup baik. Hal ini menimbulkan S.Hut memiliki kesempatan yang sangat tinggi di dunia kerja. Apabila peluang S.Hut untuk bekerja di luar kehutanan terbuka dan peluang kerja di bidang kehutanan sempit, maka kecenderungan yang muncul adalah akan semakin banyak S.Hut yang bekerja di luar sektor kehutanan. Tabel 12 menunjukan pendapatan yang diperoleh S.Hut luar kehutanan lebih tinggi dibandingkan S.Hut kehutanan dan pendapatan masyarakat dari kegiatan usaha lebih kecil dibandingkan S.Hut. Berdasarkan kondisi tersebut, maka secara rasional daya tarik sektor kehutanan khususnya usaha rendah dan kemungkinan S.Hut untuk menjadi pekerja dibandingkan pengusaha akan tinggi. Pengembangan usaha kehutanan dengan melibatkan sumber daya manusia kehutanan akan menjadi sulit terlebih lagi kecintaan S.Hut akan profesi sangat rendah.
Grace Periode
Menurut Europe Economics (2014), grace periode atau masa tenggang merupakan waktu yang digunakan untuk menunggu hasil pendapatan dari pengusahaan hutan. Pengaruh dari grace period adalah pendapatan dari kegiatan pengusahaan akan diperoleh dalam waktu lama. Lamanya waktu tunggu untuk memperoleh pendapatan biasanya 1 siklus tergantung kepada daur kayu yang ditanam bisa 15 tahun atau bahkan 30 tahun. Sementara, S.Hut harus memenuhi kebutuhan hidup dalam jangka pendek. Sehingga meskipun pendapatan dari hasil bekerja yang diperoleh rendah, maka S.Hut cenderung tetap mempertahankan pekerjaan tersebut dibandingkan menjadi pengusaha. Lamanya waktu tunggu untuk memperoleh pendapatan disertai dengan ketidakpastian hasil sebagai pengaruh dari kondisi lingkungan, menjadikan daya tarik usaha kehutanan rendah.
23
Tabel 12 Perbandingan pendapatan antara masyarakat pengusaha hutan, petani sawit dan S.Hut
No Kategori Pendapatan (Rp/kapita/bln)
1. Masyarakat sekitar hutan 384.152,42 2. Petani sawit 1.188.360 3. S.Hut kehutanan
a. Pengalaman kerja < 10 tahun 4.944.020 b. Pengalaman kerja > 10 tahun 7.445.519 4. S.Hut Luar kehutanan
a. Pengalaman kerja < 10 tahun 6.205.882 b. Pengalaman kerja > 10 tahun 8.909.091
Perspektif Sarjana Kehutanan Mengenai Usaha
Sarjana kehutanan merupakan sumberdaya manusia terdidik yang dapat menjadi pendorong dan roda penggerak dalam pengelolaan hutan. Sehingga seyogyanya dalam usaha kehutanan, S.Hut seharusnya menjadi seseorang yang paling mengetahui dan memahami usaha kehutanan dibandingkan dengan investor swasta dan masyarakat. Oleh karena itu guna pengembangan usaha pedesaan berbasis ekosistem hutan maka kita perlu mengetahui perspektif sarjana kehutanan mengenai usaha tersebut. Perspektif yang dimaksud adalah persepsi individu terhadap kemampuannya untuk mengidentifikasi komoditas hasil hutan dan mengukur peluang pasarnya (opportunity-identification self-efficacy), persepsi mengenai posisi usaha kehutanan dibandingkan dengan usaha sektor lainnya, persepsi prioritas aktor dalam pengelolaan hutan terkait dengan pengusahaan hutan, persepsi mengenai penilaian skala usaha dan kesesuaian program pemerintah terkait usaha yang telah ada.
Penilaian S.Hut mengenai Komoditas Hasil Hutan Potensial
24
merupakan komoditas yang belum teridentifikasi menurut P.35/2007 dan tidak termasuk HHBK unggulan menurut P.21/2009. Pengelompokan jenis komoditas potensial seperti ditunjukan pada Tabel 13.
Gambar 5 Komoditas hasil hutan yang berpotensi saat ini maupun masa
HHBK 1 Kayu Jasa lingkungan HHBK 2
Jum
HHBK 1 Kayu Jasa lingkungan HHBK 2
Jum
Komoditas hasil hutan berpotensial di masa mendatang
Kehutanan Luar kehutanan
Tabel 13 Komoditas hasil hutan potensial yang dapat dikembangkan menjadi usaha menurut S.Hut
No Kelompok komoditas Jenis komoditas
1. Kayu akasia, afrika, jabon, sengon, meranti,
jati platinum, pinus dan mimba 2. Jasa lingkungan panorama alam, air dan karbon 3. HHBK 1 rotan, bambu, getah pinus, jelutung,
getah agatis, gaharu dan aren
4. HHBK 2 madu, tanaman obat, tanaman hias,
25 Gambar 5 menunjukan bahwa, penilaian S.Hut kehutanan dan luar kehutanan memiliki persepsi yang sama mengenai komoditas yang potensial saat ini. Namun mereka memiliki persepsi yang berbeda dalam menilai komoditas yang potensial di masa mendatang. Menurut S.Hut kehutanan komoditas yang paling potensial untuk saat ini dan masa mendatang adalah HHBK1-kayu-jasa lingkungan. Sedangkan menurut S.Hut luar kehutanan, komoditas yang potensial saat ini adalah HHBK1-kayu-jasa lingkungan dan di masa mendatang adalah HHBK1-kayu-HHBK2. Berdasarkan penilaian tersebut, kayu merupakan komoditas yang masih dipandang potensial baik saat ini maupun masa mendatang. Namun komoditas kayu yang dimaksud adalah kayu yang berasal dari hutan tanaman. Dengan demikian, kayu tidak lagi dipandang sebagai komoditas utama dari hutan tetapi masih terdapat komoditas lain yang yang berpotensi seperti jasa lingkungan dan HHBK serta komoditas lainnya. Hal ini menunjukan bahwa paradigma S.Hut telah bergeser.
Penilaian S.Hut mengenai Peluang Pasar Komoditas Hasil Hutan
Komoditas hasil hutan yang memiliki potensi tinggi untuk dikembangkan belum tentu memiliki peluang pasar yang tinggi. Menurut sarjana kehutanan, komoditas hasil hutan yang paling berpotensi adalah HHBK, kayu dan jasa lingkungan. Namun peluang pasar dari ketiga komoditas tersebut berbeda. Hasil perhitungan nilai rata-rata skor (Tabel 14), secara keseluruhan nilai rata-rata skor komoditas hasil hutan berada pada selang 3,1-5,0 baik saat ini maupun yang akan datang. Selang tersebut masuk kedalam kategori selang sedang-tinggi.
Menurut S.Hut kehutanan, saat ini komoditas kayu dan jasa lingkungan adalah komoditas yang memiliki peluang pasar tinggi. Hal ini dikarena nilai rata-rata kayu dan jasa lingkungan lebih besar dibandingkan dengan nilai komoditas HHBK 1 dan 2. Nilai rata-rata kayu 3,92 dan jasa lingkungan 3,75. Selain karena nilai tertinggi, nilai tersebut juga masuk kategori tinggi. Kayu merupakan komoditas hasil hutan yang mudah dinilai dan dihitung. Kayu yang memiliki peluang tinggi disini adalah kayu yang berasal darai hutan rakyat dan hutan tanaman. Hal ini dikarenakan keperluan akan bahan baku kayu pertukangan dan bahan pembuat kertas masih cukup tinggi. Sedangkan untuk jasa lingkungan S.Hut sektor kehutanan memiliki persepsi jasa lingkungan yang paling berpeluang adalah objek pariwisata alam dan air. Kesadaran masyarakat akan pentingnya objek wisata alam saat ini sedang meningkat seiring dengan tingkat kebutuhan Tabel 14 Penilaian S.Hut mengenai peluang pasar komoditas hasil hutan masa kini
dan mendatang
No Kelompok komoditas Peluang masa kini a
Peluang masa mendatanga Kb NKc K NK
1 Jasa lingkungan 3,75 4,30 4,04 3,86
2 HHBK 1 3,51 3,64 3,80 3,63
3 Kayu 3,92 3,60 4,00 3,73
4 HHBK 2 3,15 4,00 4,11 3,83
a
26
akan udara sejuk dan keindahan alam. Hasil hutan bukan kayu tergolong memiliki peluang pasar tinggi, namun komoditas ini masih dalam tahap pengembangan. Begitu juga dengan komoditas lainnya seperti bahan baku energi.Sarjana kehutanan yang bekerja di luar sektor kehutanan memiliki penilaian yang berbeda. Komoditas hasil hutan yang memiliki peluang pasar tinggi saat ini adalah jasa lingkungan dan komoditas lainnya dengan nilai rata-rata 4,30 dan 4,00.
Peluang pasar komoditas hasil hutan di masa yang akan datang menurut S.Hut akan semakin meningkat (Tabel 14), seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tingkat kebutuhan. Menurut sarjana kehutanan yang bekerja di sektor kehutanan, peluang pasar seluruh komoditas hasil hutan akan meningkat di masa yang akan datang. Komoditas yang memiliki peluang pasar paling tinggi adalah HHBK 2, jasa lingkungan dan kayu. Pada Gambar 5 komoditas HHBK2 tergolong kedalam komoditas yang kurang potensial, namun memiliki peluang pasar yang tinggi dimasa yang akan datang. Sedangkan menurut S.Hut luar kehutanan, peluang pasar komoditas hasil hutan dimasa yang akan datang tergolong tinggi namun tidak sebesar peluang saat ini. Komoditas yang memiliki peluang pasar tinggi adalah jasa lingkungan, komoditas lainnya dan kayu. Komoditas jasa lingkungan yang memiliki potensi rendah di masa yang akan datang (Gambar 5) memiliki peluang pasar paling besar. Sedangkan komoditas HHBK yang dinilai memiliki potensi tinggi justru memiliki peluang pasar yang rendah.
Posisi Relative Usaha Kehutanan terhadap Usaha Lainnya
Pemanfaatan areal hutan kerap kali bersinggungan dengan usaha di sektor lain seperti perkebunan dan pertambangan. Bahasan ini ingin mengetahui pandangan sarjana kehutanan mengenai posisi usaha kehutanan dibandingkan dengan usaha di sektor lain. Gambar 6 menunjukkan bahwa, S.Hut kehutanan dan luar kehutanan memiliki sudut pandang yang berbeda dalam menilai keberadaan usaha sektor kehutanan dibandingkan dengan usaha pada sektor lain. Menurut S.Hut kehutanan, usaha kehutanan merupakan usaha yang paling menarik dibandingkan pertambangan dan perkebunan. Usaha di bidang ini lebih ramah lingkungan dan dapat memberikan keragaman manfaat dan produk. Keuntungan secara ekonomi dapat diperoleh dengan tetap mempertahankan fungsi dari keberadaan hutan. Sehingga, menurut mereka usaha kehutanan harus berada pada posisi pertama dibandingkan usaha lainnya.
27
Aktor Utama dalam Pengusahaan Hutan
Paradigma pengelolaan hutan saat ini telah beralih kepada paradigma baru yakni pengelolaan hutan berbasis masyarakat (community based forest
management/CBFM) tidak lagi berpusat pada pemerintah (state base forest
management). Menurut UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pengelolaan
hutan yang dilakukan haruslah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Menurut Suharjito (2014), masyarakat harus dijadikan sebagai aktor utama dalam pengelolaan hutan bukan hanya karena masyarakat memiliki kapasitas berupa pengetahuan, kelembagaan lokal, kemampuan adaptasi dan inovasi. Sehingga usaha kehutanan yang dikembangkan harus mengutamakan masyarakat sekitar hutan dibandingkan dengan aktor lainnya.
Gambar 6 Penilaian S.Hut mengenai posisi relativ sektor kehutanan terhadap sektor lain
0 0,5 1 1,5 2 2,5 3
Tambang Perkebunan sawit Perkebunan karet Kehutanan
Nilai rata-rata skor responden S.Hut Kehutanan
0 0,5 1 1,5 2 2,5 3
Pekerbunan karet Kehutanan Perkebunan sawit Tambang
28
Gambar 7 menunjukan bahwa, S.Hut kehutanan maupun luar kehutanan memiliki perspektif yang sama mengenai aktor utama dalam pengusahaan hutan. Mayoritas S.Hut kehutanan 55% dan luar kehutanan 74% berpendapat bahwa, dalam pengusahaan hutan tidak ada aktor yang harus diprioritaskan. Seluruh aktor harus bekerjasama dan berperan aktif dalam pengembangan usaha kehutanan demi kesejahteraan masyarakat. Sebagian lainnya, 38% S.Hut kehutanan dan 24% luar kehutanan berpendapat bahwa aktor utama yang harus diprioritaskan adalah masyrakat. Kebijakan dan fakta yang ada selama ini pelaku usaha kehutanan mayoritas dikuasai oleh investor bermodal besar dan keterlibatan masyarakat masih rendah. Namun, sudut pandang tersebut dapat dikatakan cukup baik. Masyarakat perlu diutamakan dalam pengusahaan, namun masyarakat memiliki keterbatasan diantaranya pengetahuan yang masih berbasis pengalaman, tenaga kerja dan modal. Sementara itu, perkembangan ilmu pengetahuan terkait pengusahan terus berkembang. Oleh karena itu masyarakat perlu berkolaborasi dengan berbagai stakeholder agar dapat mengoptimalkan potensi masing-masing pihak dalam pengusahaan hutan.
Skala Usaha
Skala usaha merupakan kemampuan suatu perusahaan dalam mengelola usaha, biasanya menggunakan patokan jumlah tenaga kerja dan pendapatan yang diperoleh setiap periode. Badan Pusat Statistik membagi skala usaha ke dalam 3 kelompok menurut jumlah tenaga kerja yang dipakai yaitu skala usaha kecil (5 sampai 19 orang), sedang (20 sampai 99 orang) dan skala usaha besar (>100 orang) (Tambunan 2009). Masyarakat sekitar hutan selalu digambarkan memiliki keterbatasan dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan inovasi. Keterbatasan tersebut selalu dipandang sebagai faktor yang menjadi penyebab tidak bertumbuhnya usaha skala kecil di kehutanan (Tambunan 2002).
Gambar 7 Aktor utama dalam pengusahaan hutan menurut S.Hut
0 20 40 60 80
Tidak tahu Sarjana Kehutanan Pemerintah Daerah Investor Swasta Pemerintah Pusat Masyarakat sekitar hutan Kolaborasi dengan masyarakat
Jumlah responden (%)
A
k
to
r