• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak revitalisasi sektor berbasis kehutanan dalam perekonomian provinsi Jambi : Pendekatan sistem neraca sosial ekonomi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dampak revitalisasi sektor berbasis kehutanan dalam perekonomian provinsi Jambi : Pendekatan sistem neraca sosial ekonomi"

Copied!
566
0
0

Teks penuh

(1)

PENDEKATAN SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI

DISERTASI

Oleh :

AGUS WAHYUDI

A 5460142314

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

i

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan

dalam disertasi saya yang berjudul ”DAMPAK REVITALISASI SEKTOR

BERBASIS KEHUTANAN DALAM PEREKONOMIAN PROVINSI JAMBI: PENDEKATAN SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI” merupakan gagasan

atau hasil penelitian disertasi sendiri dengan pembimbingan Komisi Pembimbing,

kecuali yang dengan jelas ditunjukkan dengan rujukannya. Disertasi ini belum

pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program yang sejenis di perguruan

tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan dengan

jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Juli 2010

(3)

ii

Province Economy : A Social Accounting Matrix (SAM) Approach. (D.S.

PRIYARSONO as Chairman, HERMANTO SIREGAR and MANGARA TAMBUNAN as Members of Advisory Committee)

Economic contribution of forestry based sectors at national and Jambi regional levels in the last decade has decreased. The forest degradation and deforestation are two of several causes of the decreasing of forestry economic contribution. Meanwhile, forestry based sectors are supported by land resources which is more than 40% of Jambi land territory. Government has issued a policy called five priority programs on forestry development. One of these programs is forestry revitalization which is addressed to regenerate contribution of forestry sector to national economy. The objectives of the study are to analyze the contribution of forestry based sectors and the impact of the revitalization policy in the forestry based sectors on the households income distribution, disparity and employment opportunity in Jambi province. A Social Accounting Matrix (SAM) is used as an approach to calculate contribution, economic structure and economic multipliers. Economic multipliers are used to calculate the impact of new or additional investment as an implementation of revitalization of forestry based sectors policy in Jambi Regional economy.

Generally it was found that (1) economic structure of Jambi Province was supported by several economic sector which evenly contributed, including forest based sector; (2) export for forestry based sector dominated more than 60% from total export of Jambi province, then export for mining and farming sector respectively; (3) agriculture sector accommodated more than 50% direct employment, while forestry based sector accommodated approximately 6%; (4) the revitalization of forestry based sector would increase the rural households income and decreasing of income disparity between rural households and urban households, between forestry base households and other households, between primary forestry households and forest industry households as well, meanwhile it has not yet succeeded to decrease income disparity between employer households and laborer households (5) Moreover, forestry based sector would be potential to create job opportunity in Jambi province.

(4)

iii

Perekonomian Provinsi Jambi: Pendekatan Sistem Neraca Sosial Ekonomi. (D.S. PRIYARSONO sebagai Ketua, HERMANTO SIREGAR dan MANGARA TAMBUNAN sebagai Anggota Komisi Pembimbing)

Peran sektor kehutanan dalam perekonomian baik pada tingkat regional provinsi Jambi maupun tingkat nasional, dalam sepuluh tahun terakhir terus merosot. Kemerosotan tersebut antara lain disebabkan oleh adanya deforestasi dan degradasi hutan. Di lain pihak sektor kehutanan di provinsi Jambi didukung dengan alokasi sumberdaya lahan berupa kawasan hutan dengan luas lebih dari 40% wilayah provinsi Jambi. Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan pembangunan sektor kehutanan yang disebut sebagai lima program prioritas sektor kehutanan tahun 2004-2009. Salah satu program diantaranya adalah program revitalisasi sektor kehutanan, sebuah kebijakan yang dimaksudkan untuk membangkitkan kembali peran sektor kehutanan dalam perekonomian nasional.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peranan sektor-sektor berbasis kehutanan dalam perekonomian provinsi Jambi serta menganalisis dampak revitalisasi kehutanan terhadap distribusi pendapatan dan kesenjangan pendapatan antarrumahtangga serta penyerapan tenaga kerja di provinsi Jambi. Dalam penelitian ini sektor kehutanan didisagregasi menjadi beberapa sektor baik di sektor primer (penghasil bahan baku) maupun sektor hilir (industri pengolahan hasil hutan). Penelitian menggunakan pendekatan Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) untuk menghitung kontribusi, struktur dan multiplier ekonomi. Multiplier ekonomi digunakan untuk menghitung dampak investasi baru atau perluasan dalam pembangunan kehutanan sebagai implementasi kebijakan revitalisasi sektor berbasis kehutanan dalam perekonomian provinsi Jambi.

Secara umum ditemukan bahwa (1) struktur perekonomian Jambi didukung oleh beberapa sektor ekonomi termasuk di antaranya sektor berbasis kehutanan dengan kontribusi yang merata, (2) ekspor sektor kehutanan mendominasi ekspor provinsi Jambi disusul ekspor sektor pertambangan dan perkebunan, (3) sektor pertanian menampung tenaga kerja langsung lebih dari 50% pekerja sementara sektor berbasis kehutanan hanya 6%, (4) revitalisasi kehutanan dapat meningkatkan pendapatan rumahtangga di perdesaan, menurunkan disparitas pendapatan antara rumahtangga perdesaan dan rumahtangga kota, antara rumahtangga kehutanan primer dan rumahtangga industri kehutanan, antara rumahtangga kehutanan dan rumahtangga lain, tetapi belum berhasil menurunkan disparitas pendapatan antara rumahtangga buruh dan rumahtangga pengusaha, dan (5) investasi pada sektor berbasis kehutanan dapat diandalkan untuk menciptakan kesempatan kerja di provinsi Jambi.

(5)

iv

Sektor kehutanan pernah menjadi sektor andalan dan penggerak dalam perekonomian nasional, namun dalam sepuluh tahun terakhir perannya dalam perekonomian terus merosot. Kemerosotan tersebut antara lain dipicu oleh pemanfaatan kayu yang berlebihan, perubahan kawasan hutan untuk kepentingan non kehutanan baik yang direncanakan maupun akibat perambahan, kebakaran hutan dan lain-lain. Kemerosotan tersebut telah mengakibatkan timbulnya masalah lingkungan, ekonomi dan sosial sehingga kerusakan hutan terus berjalan (Dephut, 2005).

Mengingat pentingnya peran dan fungsi hutan dalam mendukung kehidupan manusia dan untuk mengembalikan peran sektor kehutanan dalam perekonomian nasional, maka pemerintah telah mengeluarkan kebijakan yang disebut revitalissi sektor kehutanan. Program tersebut dilaksanakan antara lain melalui restrukturisasi industri kehutanan, pengelolaan hutan lestari, pembangunan hutan tanaman dengan tujuan untuk menciptakan industri kehutanan yang tangguh dan berdaya saing global, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat dan mewujudkan pengelolaan hutan lestari.

Demikian pula halnya yang terjadi level regional, peran sektor kehutanan dalam perekonomian provinsi Jambi juga telah merosot. Bahkan banyak pihak yang tidak paham dan tidak mengetahui peran atau kontribusi sektor kehutanan dalam pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, penciptaan devisa, penyediaan infrastruktur di provinsi Jambi. Dilain pihak sektor kehutanan tersebut didukung alokasi lahan lebih dari 40% wilayah provinsi Jambi.

(6)

v

Untuk melakukan penelitian tersebut digunakan pendekatan Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE). Oleh karena belum ada SNSE sebelumnya, maka telah disusun SNSE provinsi Jambi tahun 2005, dengan tekanan pada sektor berbasis kehutanan. Sektor kehutanan didisagregasi menjadi beberapa sektor yaitu (1) sektor kehutanan primer, terdiri dari sektor kayu HTI, kayu rimba, hasil hutan lain dan jasa lingkungan, serta (2) sektor industri kehutanan yang terdiri dari sektor industri penggergajian dan pengolahan kayu, industri kayu lapis dan sejenisnya, industri kayu lainnya, industri pulp dan industri kertas. Sementara institusi rumahtangga didisagregasi menjadi 16 kelompok yang dibedakan atas rumhtangga desa dan kota, kemudian dibedakan menjadi rumahtangga kehutanan, industri kehutanan, pertanian bukan kehutanan dan rumahtangga lainnya. Kemudian dibedakan lagi atas rumahtangga buruh dan rumahtangga pengusaha.

Metode analisis yang digunakan antara lain analisis pengganda (multiplier), dekomposisi pengganda, analisis jalur struktural, analisis rasio kesenjangan dengan metode rasio maksimum-minimum dan pemilihan investasi yang efisien.

Dari hasil analisis dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

(1) Dalam struktur perekonomian provinsi Jambi terbukti sektor berbasis kehutanan memiliki kontribusi cukup signifikan yakni kontribusi sebesar 24.19 % dari total nilai tambah, 60.11% total ekspor, namun hanya menyerap 6.92% dari total tenaga kerja di provinsi Jambi.

(2) Sektor berbasis kehutanan memberikan kontribusi lebih besar kepada pertumbuhan regional daripada distribusi pendapatan rumahtangga.

(7)

vi

(4) Pembangunan sektor berbasis kehutanan mendistribusikan dampak investasi kepada pendapatan rumahtangga pengusaha lebih besar daripada rumahtangga buruh. Sektor berbasis kehutanan belum berhasil menurunkan kesenjangan antara rumahtangga pengusaha dan rumahtangga buruh.

(5) Secara umum sektor berbasis kehutanan dapat menurunkan kesenjangan antara rumahtangga kehutanan dan industry serta antara rumahtangga kehutanan dan rumahtangga lainnya. Sektor kehutanan primer dimana banyak mempekerjakan tenaga buruh dan operator dapat menurunkan kesenjangan rumahtangga kota dan rumahtangga desa.

(6) Pembangunan kehutanan berbasis kertas yang mencakup perluasan tanaman kayu HTI, industri pulp dan industri kertas paling efisien dibanding pilihan alternatif invetasi lainnya yang dapat diterapkan di provinsi Jambi untuk mengurangi kemiskinan dan memperbaiki distribusi pendapatan.

Upaya pembangunan sektor berbasis kehutanan tersebut secara konkrit diwujudkan antara lain dengan langkah sebagai berikut: (1) Untuk menaikkan pendapatan rumahtangga kehutanan yang umumnya rumahtangga buruh di pedesaan dengan pendekatan peningkatan produksi dan kewirausahaan bagi msyarakat perdesaan dan kemitraan., (2) Mendorong pengembangan klaster-klaster industri kehutanan berbasis kertas yang merupakan suatu kawasan pembangunan industri yang terdiri dari usaha tanaman kayu HTI, industri pulp dan industri kertas didukung usaha-usaha kecil-menengah yang berkembang dari masyarakat pedesaan.

Saran penelitian lanjutan antara lain: (1) Mengkaji dampak perubahan pasar internasional produk-produk hasil hutan terhadap kinerja sektor kehutanan dan kinerja perekonomian provinsi Jambi, dan (2) Melakukan penelitian mengenai dampak pemanfaatan bahan baku industri kehutanan dari luar provinsi Jambi terhadap kinerja sektor kehutanan dan kinerja perekonomian provinsi Jambi dengan pendekatan SNSE antarregion.

(8)

vii

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2010

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(9)

viii

PENDEKATAN SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI

AGUS WAHYUDI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)

ix

NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE)

Nama Mahasiswa : Agus Wahyudi

Nomor Pokok : A5460142314

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui,

1. Komisi Pembimbing

Ketua

Dr. Ir. D.S. Priyarsono, MS.

Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar , MEc.

Anggota Anggota

Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, MSc.

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Ekonomi Pertanian

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA. Prof. Dr. Ir. Khairil A.Notodiputro, MS

(11)

N a m a : Agus Wahyudi

Tempat/Tanggal Lahir : Trenggalek, 31 Agustus 1961

Alamat : Giriloka 3 Blok Y-19, Bumi Serpong Damai

Serpong, Tangerang Selatan , Banten

Telepon : 021 5371421, 0811870040

Email : awgiriloka@yahoo.com

PENDIDIKAN

1. Lulus SD Negeri Karangan II, Trenggalek tahun 1973

2. Lulus SMP Gotong Royong Karangan, Trenggalek tahun 1976

3. Lulus SMA Negeri Trenggalek tahun 1980

4. Lulus Sarjana Teknologi Pertanian , Institut Pertanian Bogor tahun 1984

5. Lulus Magister Manajemen, STIE Institut Bisnis Indonesia (IBII) tahun 2000

6. Lulus Doktor Ilmu Ekonomi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, 2010

PEKERJAAN

1. Land Clearing Engineer, Trans Asia Engineering Ass, Inc. (1985-1986)

2. Analis, PT Agriconsult International (1987-1990)

3. 1991 – Sekarang Sinarmas Group

(12)

2002 – 2005 General Manager PT Wirakarya Sakti

2005 – 2009 Vice Director PT Wirakarya Sakti

2010 - Sekarang Director PT Wirakarya Sakti

2006 - Sekarang Direktur Utama PT Rimba Hutani Mas

2006 - Sekarang Direktur PT Mitra Hutani Jaya

2007 - Sekarang Direktur Utama PT Wanakerta Ekalestari

2009 - Sekarang Direktur Utama PT Sumalindo Hutani Jaya

ORGANISASI

1. Bidang Lingkungan Hidup, PWM Banten (2005-sekarang)

2. Ketua Kelompok Kerja Gerakan Cinta Pohon , Bakti Keluarga BSD

(2004-sekarang)

3. Ketua Bidang Pembinaan Pemuda, Kerukunan Keluarga Muslim BSD (2008 –

sekarang)

4. Ketua Bidang Pembinaan Remaja , Dewan Kesejahteraan Masjid Asy Syarif ,

Al Azhar BSD (2008 – sekarang)

5. Perwakilan Ikatan Keluarga Asal Trenggalek (IKAT) Daerah

Tangerang-Banten (2002 – sekarang)

6. Tim Tata Ruang dan Gambut Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia/APHI

(2009-2010)

7. Tim Pengkajian Harga Kayu HTI, Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia/APHI

(2006 -2007)

8. Seksi Hubungan Kelembagaan , Pawarta Jatim (2002 – 2006)

9. Perwakilan IKAT di Pawarta Jatim (1998 – 2006)

10.Aktiv di berbagai kepanitiaan – kegiatan Forum Masjid dan Mushala BSD dan

(13)

2. Anak : Artha Hayuningtyas Wahyu Saraswati (Mahasiswa, Jerman)

Shabrina Wahyu Wijayanti (SMA Islam , Al Azhar BSD)

Duhita Wahyu Maulida (SD Islam , Al Azhar BSD)

Hafizhah Wahyu Pratiwi (SD Islam , Al Azhar BSD)

(14)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena hanya atas segala rahmat dan karunia-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan disertasi dengan judul Dampak Revitalisasi Sektor Berbasis Kehutanan dalam Perekonomian Provinsi Jambi : Pendekatan Sistem Neraca Sosial Ekonomi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak implementasi kebijakan Pemerintah dalam revitalisasi sektor-sektor berbasis kehutanan yang diwujudkan dalam investasi perluasan dan pembangunan hutan tanaman (HTI), hutan tanaman rakyat (HTR), industri pulp, industri kertas tulis cetak, industri kertas tisu dan industri kayu lapis/partikel

dalam bentuk Medium Density Fibreboard (MDF) terhadap perekonomian Jambi

khususnya dalam distribusi pendapatan, penyerapan tenaga kerja serta pengurangan kesenjangan antar kelompok rumahtangga. Disamping itu berdasarkan hasil penelitian juga diharapkan dapat dirumuskan rekomendasi, implikasi kebijakan yang diharapkan dapat dijadikan dasar pengembangan sektor kehutanan di provinsi Jambi.

Seiring dengan selesainya penyusunan disertasi ini, penulis mengucapkan terimakasih dan penghormatan yang setinggi-tingginya kepada :

1. Bapak Dr.Ir. D.S. Priyarsono MS. selaku Ketua Komisi Pembimbing dan

Bapak Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec. serta Bapak Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan MSc. selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu yang sangat berharga untuk memberikan pengarahan dan bimbingan kepada penulis.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA. selaku Ketua Program Studi Ilmu

Ekonomi Pertanian, dan seluruh staf pengajar Program Studi EPN yang telah memberi dorongan dan dukungan bagi kelancaran studi dan penyelesaian penulisan disertasi ini.

3. Bapak Dr. Ir. Basuki Somawinata, Bapak Dr.Ir. Budi Mulyanto dan Ibu Dr.

(15)

xi

diterima menjadi mahasiswa Program S3 Bidang Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN), Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

4. Bapak Muktar Widjaja, Vice Chairman Sinar Mas yang telah memberikan

kesempatan, izin dan beasiswa kepada penulis untuk mengikuti Program S3 Bidang Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN) pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

5. Bapak Robin Mailoa ,CEO Sinarmas Forestry, Bapak Soebardjo Head of

Sinarmas Forestry License Division, Bapak Aris Adhianto Direktur PT Wirakarya Sakti, serta rekan-rekan pimpinan dan karyawan Sinarmas Forestry Division Kantor Pusat Jakarta atas dukungan dan pengertian selama penulis menempuh kuliah, penelitian dan penyusunan disertasi ini.

6. Bapak Usman Tzai FOD SMF Jambi Region, Bapak Eddy Makhmud

VP-LPR Jambi dan para staf kantor perwakilan SMF Jambi, atas bantuan dan dukungan dalam penelitian, pengumpulan data-data dan penyusunan disertasi ini.

7. Rekan-rekan EPN-K1 atas kerjasama, kekompakan ketika bersama-sama

menempuh kuliah dan dalam penyelesaian disertasi.

8. Sdri Yani dan Ruby di sekretariat EPN Dramaga dan Sdr Iwan di Sekretariat

Pasca di Baranangsiang, atas segala dukungan, perhatian dan bantuannya.

9. Serta kepada berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam

penyelesaian disertasi ini dan tidak dapat penulis sebut satu persatu.

Penulis sangat menyadari dengan waktu dan kemampuan yang terbatas, disertasi ini jauh dari sempurna. Namun demikian penulis tetap berharap disertasi ini dapat bermanfaat dan dipakai sebagai salah satu acuan dan pertimbangan dalam pembangunan provinsi Jambi dan untuk penelitian-penelitian lanjutan dan penelitian lain yang berguna bagi masyarakat Jambi khususnya dan Indonesia pada umumnya.

Bogor, Juli 2010

(16)

xii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tangal 31 Agustus 1961 di Trenggalek, Jawa

Timur, sebagai anak pertama dari lima bersaudara dari pasangan Supardi dan Siti

Rukayah.

Setelah lulus dari Sekolah Dasar Negeri Karangan II di Trengalek tahun

1973, melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama Gotong Royong Karangan di

Trenggalek dan lulus tahun 1976, kemudian lulus Sekolah Menengah Negeri I

Trenggalek di Trenggalek pada tahun 1980. Penulis kemudian melanjutkan ke

Institut Pertanian Bogor di Bogor dan lulus sebagai sarjana dari Fakultas

Teknologi Pertanian pada tahun 1984. Pada tahun 1996 penulis melanjutkan ke

Program Magister Manajemen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi IBII di Jakarta dan

lulus pada tahun 2000. Dengan dukungan dan beasiswa dari PT Wirakarya Sakti,

pada tahun 2002 penulis melanjutkan ke Program Doktor Ilmu Ekonomi Pertanian

pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor di Bogor.

Tahun 1985-1986 penulis bekerja pada Trans Asia Engineering Ass. Inc.

Jakarta dan ditempatkan di proyek penyiapan lahan transmigrasi di Kabupaten

Sarolangun Bangko Jambi. Pada tahun 1987-1990 penulis bekerja pada PT

Agriconsult International di Jakarta. Sejak tahun 1991 sampai saat ini penulis

bekerja pada PT Wirakarya Sakti (kelompok usaha Sinar Mas) di Jakarta. Sejak

tahun 2004 penulis ditunjuk sebagai Direktur Utama PT Rimba Hutani Mas.

Penulis menikah dengan Mei Idawati dan dikaruniai empat orang puteri

yaitu : Artha Hayuningtyas Wahyu Saraswati, Shabrina Wahyu Wijayanti, Duhita

(17)

xiii

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR GAMBAR ... xix

DAFTAR LAMPIRAN ... xxi

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 7

1.3. Tujuan Penelitian ... 10

1.4. Ruang Lingkup Penelitian ... 10

1.5. Kegunaan Penelitian ... 11

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 13

2.1. Perkembangan dan Kebijakan Sektor Kehutanan ………13

2.2 Konsep dan Teori Pembangunan ... 25

2.2.1. Pembangunan Ekonomi ... 25

2.2.2. Pembangunan Wilayah ... 38

2.2.3. Investasi ……….40

2.3. Sistem Neraca Sosial Ekonomi ... 42

2.3.1. Bentuk dan Arti Kerangka Sistem Neraca Sosial Ekonomi ... 43

2.3.2. Kegunaan Sistem Neraca Sosial Ekonomi ... 43

2.3.2.1. Kinerja Pembangunan Ekonomi ... 44

2.3.2.2. Distribusi Pendapatan Faktorial ... 45

2.3.2.3. Distribusi Pendapatan Rumahtangga ... 45

2.3.2.4. Pola Pengeluaran Rumahtangga ... 46

2.3.2.5. Ketenagakerjaan ... 46

2.3.2.6. Pemodelan Ekonomi ... 47

2.4. Penelitian Terdahulu ... 47

III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS ... 67

(18)

xiv

3.2. Hipotesis ... 70

IV. KEADAAN UMUM PROVINSI JAMBI ... 72

4.1. Keadaan Umum ... 72

4.2. Kependudukan dan Tenaga Kerja ... 73

4.3. Perkembangan Ekonomi Provinsi Jambi ... 75

4.3.1. Perkembangan Produk Domestik Regional Bruto ... 75

4.3.2. Struktur Ekonomi ... 79

4.3.3. Pertumbuhan Ekonomi ... 82

4.3.4. Produk Domestik Regional Bruto Per Kapita dan Pendapatan Per Kapita ... 90

4.4. Kondisi Hutan ... 93

4.5. Perkembangan Sektor Kehutanan dalam Perekonomian Provinsi Jambi ... 96

V. METODE PENELITIAN ... 104

5.1. Lokasi Penelitian ... 104

5.2. Jenis dan Sumber Data ... 104

5.3. Pemilihan Metode dan Penyusunan Model ………105

5.4. Penerapan Sistem Neraca Sosial Ekonomi ... 107

5.4.1. Analisis Pengganda Neraca ... 110

5.4.2. Dekomposisi Pengganda ... 112

5.4.2.1. Pengganda Transfer ... 113

5.4.2.2. Pengganda Open Loop ... 115

5.4.2.3. Pengganda Closed Loop ... 117

5.4.2.4. Analisis Pengganda ………118

5.4.3. Metode Analisis Jalur Struktural ………...120

5.5. Analisis Dampak Investasi ... 126

5.6. Simulasi Kebijakan ... 127

5.7. Asumsi Analisis ... 129

VI. STRUKTUR PEREKONOMIAN BERDASARKAN KAJIAN NERACA SOSIAL EKONOMI ... 131

6.1. Struktur Perekonomian ... 131

(19)

xv

6.3. Distribusi Dampak Multiplier Rumahtangga dan Produksi ... 152

6.4. Dekomposisi Multiplier Sistem Neraca Sosial Ekonomi Jambi ... 157

6.5. Analisis Jalur Dasar Sektor Berbasis Kehutanan ... 169

VII. DAMPAK REVITALISASI SEKTOR KEHUTANAN TERHADAP PEREKONOMIAN JAMBI ………. 183

7.1. Distribusi Nilai Tambah dan Penyerapan Tenaga Kerja ... 186

7.2. Distribusi Pendapatan Rumahtangga dan Institusi Lainnya ... 200

7.3. Kesenjangan Pendapatan Antarrumahtangga ... 205

7.4. Distribusi Pendapatan Sektoral ... 217

7.5. Pilihan Alternatif Investasi ... 224

VIII. SIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN ………. 228

8.1. Simpulan ... 228

8.2. Implikasi Kebijakan ... 231

8.1. Saran Penelitian Lanjutan ... 234

DAFTAR PUSTAKA ... 235

(20)

xvi

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Jumlah dan Perkembangan Penduduk Provinsi Jambi ... 74

2. Status Penduduk Usia 15 Tahun Ke Atas Tahun 2005 ... 75

3. Penduduk 15 Tahun Ke Atas yang Bekerja menurut Lapangan Usaha Tahun 2005 ... 75

4. Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Jambi Atas Dasar Harga Berlaku menurut Lapangan Usaha Tahun 1995-1999 ... 76

5. Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Jambi Atas Dasar Harga Berlaku menurut Lapangan Tahun Usaha 2000-2005 ... 76

6. Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Jambi Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1993 menurut Lapangan Usaha ... 77

7. Poduk Domestik Regional Bruto Provinsi Jambi Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 menurut Lapangan Usaha ... 78

8. Struktur Perekonomian Provinsi Jambi Tahun 2000-2005 ... 80

9. Hubungan Peranan Sektor dengan Laju Pertumbuhan Tahun 2005 ... 82

10. Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Jambi Tahun 1996-2005 ... 83

11. Produk Domestik Regional Bruto dan Pendapatan Regional Perkapita Provinsi Jambi Tahun 2002-2003 ... 91

12. Perkembangan Nilai Ekspor-Impor Provinsi Jambi ... 93

13. Perkembangan HPH di Provinsi Jambi ... 97

14. Perkembangan Produksi Komoditi Kehutanan Provinsi Jambi ... 98

15. Perkembangan Jumlah HTI di Provinsi Jambi ... 99

16. Perkembangan Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Jambi dan Kontribusi Sektor Kehutanan (harga konstan 1993) ... 101

(21)

xvii

18. Struktur Tenaga Kerja Provinsi Jambi Tahun 2005 ... 135

19. Struktur Ekspor Provinsi Jambi Berdasarkan Sistem Neraca Sosial

Ekonmi Tahun 2005 ... 136

20. Struktur Impor Provinsi Jambi Berdasarkan Sistem Neraca Sosial

Ekonomi Tahun 2005 ... 138

21. Dampak Multiplier Sektor Ekonomi Berbasis Kehutanan dan Beberapa

Sektor Lainnya yang Terkait di Provinsi Jambi Tahun 2005 ... 142

22. Peranan Sektor Berbasis Kehutanan dan Non Kehutanan terhadap

Pertumbuhan Ekonomi dan Distribusi Pendapatan Rumahtangga ... 150

23. Distribusi Prosentase Dampak Multiplier Sektor Ekonomi Berbasis Kehutanan dan Beberapa Sektor Lainya yang Terkait terhadap

Institusi Rumahtangga di Provinsi Jambi Tahun 2005 ... 154

24. Distribusi Prosentase Dampak Multiplier Sektor Ekonomi Berbasis Kehutanan dan Beberapa Sektor Lainya yang Terkait terhadap

Sektor-Sektor Produksi di Provinsi Jambi Tahun 2005 ... 158

25. Dekomposisi Multiplier Sektor Berbasis Kehutanan Provinsi Jambi ... 159

26. Konstribusi Own, Open Loop dan Closed Loop Effect terhadap

Gross Output Multiplier Sektor Ekonomi Berbasis Kehutanan ... 166

27. Analisis Jalur Struktural Sektor Kayu HTI ke Rumahtangga ... 170

28. Dampak Pembangunan Ekonomi Berbasis Kehutanan terhadap Total Pendapatan Faktor-Faktor Produksi di Provinsi Jambi ... 191

29. Persentase Penambahan Pendapatan Faktor Produksi Terhadap Total

Injeksi ... 194

30. Jumlah Pertambahan Tenaga Kerja menurut Simulasi Kebijakan dan

Berdasarkan Kelompok Lapangan Usaha Utama ... 197

31. Efisiensi Penciptaan Lapangan Kerja Atas Dasar Nilai Investasi Menurut Simulasi Kebijakan dan Kelompok Lapangan

Usaha Utama ... 198

32. Kesenjangan Pendapatan Faktor Produksi Tenaga Kerja dan Modal ... 199

33. Dampak Pembangunan Ekonomi Berbasis Kehutanan terhadap Total

Pendapatan Institusi di Provinsi Jambi ... 203

(22)

xviii

Investasi Pendapatan Institusi di Provinsi Jambi ... 204

35. Kesenjangan Pendapatan Antarrumahtangga ... 207

36. Dampak Pembangunan Ekonomi Berbasis Kahutanan Terhadap

Pendapatan Sektor-sektor Produksi di Provinsi Jambi ... 219

37. Dampak Pembangunan Ekonomi Berbasis Kehutanan Terhadap

Pertambahan Pendapatan Sektor-sektor Produksi per Satuan

Investasi ... 221

(23)

xix

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Pohon Industri Pulp dan Kertas ... 26

2. Pohon Industri Hasil Hutan... 27

3. The Keynesian Cross ... 31

4. Proses Pencapaian Keseimbangan Model Solow pada Kondisi Surplus

Tabungan terhadap Investasi ... 36

5. Proses Pencapaian Keseimbangan Model Solow pada Kondisi Surplus

Tabungan Masyarakat yang Meningkat ... 36

6. Proses Pencapaian Keseimbangan Model Solow pada Kondisi Jumlah

Angkatan Kerja Berkurang ... 37

7. Kerangka Dasar Sistem Neraca Sosial Ekonomi ... 44

8. Kerangka Pemikiran ... 71

9. Peta Provinsi Jambi ... 72

10. Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Jambi Dengan Migas ... 79

11. Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Jambi Tanpa Migas ... 79

12. Struktur Perekonomian Provinsi Jambi Tahun 2004 ... 81

13. Laju Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Jambi

Tahun 1996-2004 ... 84

14. Laju Pertumbuhan Sektor Pertanian, Sektor Pertambangan dan Penggalian

Tahun 1996-2004 ... 86

15. Laju Pertumbuhan Sektor Industri Pengolahan, Sektor Listrik, Gas

dan Air Bersih, Sektor Bangunan Tahun 1996-2004 ... 88

16. Laju Pertumbuhan Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran Sektor

Pengankutan dan Komunikasi Tahun 1996-2004 ... 89

17. Laju Pertumbuhan Sektor Keuangan dan Jasa-jasa Tahun 1996-2004 ... 90

18. Produk Domestik Regional Bruto Per Kapita Provinsi Jambi Atas Dasar

(24)

xx

19. Produk Domestik Regional Bruto Per Kapita Provinsi Jambi Atas Dasar

Harga Konstan 1993 ... 92

20. Peta Tata Guna Hutan (TGHK) Provinsi Jambi ... 93

21. Peta Penunjukan Kawasan Hutan Provinsi Jambi ... 94

22. Peta Vegetasi Provinsi Jambi (1998) ... 95

23. Peta Penyebaran Industri Primer di Jambi ... 102

24. Transaksi Antarblok dalam SNSE ... 109

25. Struktur Pengganda ... 117

26. Jalur Dasar ... 123

27. Sirkuit ... 123

28. Dampak Multiplier Sektor Ekonomi Berbasis Kehutanan dan

Sektor-Sektor Lainnya yang Terkait ... 143

29. Jalur Struktural Kayu Hutan Tanaman (HTI) ke Rumahtangga Buruh

Pertanian Selain Kehutanan di Desa ... 173

30. Jalur Struktural Kayu Hutan Tanaman (HTI) ke Rumahtangga Pengusaha

Pertanian Selain Kehutanan di Desa ... 174

31. Jalur Struktural Sektor Kayu Hutan Tanaman (HTI) ke Rumahtangga

Buruh Bukan Pertanian Pengolah Hasil Hutan di Desa ... 175

32. Jalur Struktural Sektor Kayu Hutan Tanaman (HTI) ke Rumahtangga

Pengusaha Bukan Pertanian Pengolah Hasil Hutan di Desa ... 176

33. Jalur Struktural Sektor Kayu Hutan Tanaman (HTI) ke Rumahtangga

Pengusaha Pertanian Lainnya di Desa ... 177

34. Jalur Struktural Sektor Kayu Hutan Tanaman (HTI) ke Rumahtangga

Pengusaha Pertanian Lainnya di Desa ... 179

35. Jalur Struktural Sektor Kayu Hutan Tanaman (HTI) ke Rumahtangga di

Jambi Berdasarkan Jalur Dasar yang Mempunyai Pengaruh Total

(25)

xxi

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Struktur Sistem Neraca Sosial Ekonomi Provinsi Jambi Tahun 2005 ... 246

2. Matrik Koefisien Input Sistem Neraca Sosial Ekonomi Provinsi Jambi

Tahun 2005 ... 248

3. Matrik Angka Pengganda SNSE Provinsi Jambi Tahun 2005 ... 249

4. Simulasi Kebijakan Revitalisasi Sektor Berbasis Kehutanan ... 250

5. Analisis Jalur Struktural Sektor Kayu Rimba ke Rumahtangga ... 251

6. Analisis Jalur Struktural Sektor Hasil Hutan Lainnya ke

Rumahtangga ... 254

7. Analisis Jalur Struktural Sektor Industri Penggergajian

dan Pengolahan Kayu ke Rumahtangga ... 257

8. Analisis Jalur Struktural Sektor Industri-industri Kayu Lapis dan

Sejenisnya ke Rumahtangga ... 260

9. Analisis Jalur Struktural Sektor Industri-industri Kayu Lainnya

ke Rumahtangga ... 262

10. Analisis Jalur Struktural Sektor Industri-industri Pulp

(26)

1.1. Latar Belakang

Sektor kehutanan selama hampir tiga dekade (1970-an sampai awal

2000-an) menjadi salah satu sektor andalan dalam perekonomian nasional. Dalam kurun

waktu tersebut kontribusi sektor kehutanan dalam Produk Domestik Bruto dan

ekspor sangat signifikan bahkan menjadi motor penggerak pembangunan nasional

terutama dalam membangun pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah

terpencil di luar Jawa. Sektor kehutanan didukung oleh kawasan hutan dengan

luas 120.35 juta hektar terdiri dari Hutan Konservasi (TN, HSAW) 23.24 juta

hektar, Hutan Lindung (HL) 29.10 juta hektar, Hutan Produksi Terbatas (HPT)

16.21 juta hektar, Hutan Produksi Tetap (HP) 27.74 hektar dan Hutan Produksi

yang dapat Dikonversi (HPK) 13.67 juta hektar (Dephut, 2005).

Dalam satu dekade terakhir kontribusi sektor kehutanan tersebut terus

merosot. Pada tahun 1993 kontribusi sektor kehutanan masih sebesar US$ 16.0

milyar atau 3.5 persen Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2003 tinggal US$

13.24 milyar atau 2.4 persen PDB. Kemerosotan tersebut antara lain dipicu oleh

pemanfaatan kayu yang berlebihan, perubahan kawasan hutan untuk kepentingan

non kehutanan baik legal (direncanakan dan berijin) maupun ilegal (perambahan

kawasan hutan), kebakaran hutan dll. Akibat kondisi tersebut timbul berbagai

masalah lingkungan, ekonomi dan sosial sehingga kerusakan hutan terus berjalan

(Dephut, 2005).

Mengantisipasi kondisi di atas Departemen Kehutanan (2005) telah

(27)

peluang sektor kehutanan nasional sebagai salah satu dasar menentukan kebijakan

pembangunan kehutanan.

Kelemahan sektor kehutanan antara lain kelembagaan dan kemampuan

mengelola hutan sebagian besar masih lemah, sebagian besar industri kehutanan

belum kompetitif dengan arah pengembangan yang belum jelas, distribusi manfaat

kehutanan kurang berkeadilan, IPTEK kurang selaras, pemanfaatan SDM

profesional belum optimal, terbatasnya sarana prasarana pembangunan kehutanan,

peran serta masyarakat masih rendah.

Ancaman terhadap sektor kehutanan antara lain pencurian dan

perdagangan liar hasil hutan (kayu dan non kayu), kebakaran hutan, kemantapan

kawasan hutan belum tuntas, masyarakat sekitar hutan pada umumnya miskin,

kebutuhan lahan non kehutanan tinggi dan terus berkembang, kebijakan investasi

di sektor kehutanan kurang menarik.

Peluang sektor kehutanan antara lain potensi pemanfaatan sumberdaya

hutan besar, permintaan pasar terhadap hasil hutan, ketergantungan terhadap

sumberdaya hutan tinggi, dukungan internasional untuk pengelolaan sumberdaya

hutan lestari, komitmen dalam negeri untuk penyelenggaraan kehutanan.

Sedangkan kekuatan sektor kehutanan antara lain peraturan

perundang-undangan untuk mendukung pengelolaan sumberdaya hutan (UU No. 41/1999,

UU No. 32/2004, PP No. 6 tahun 2007 dan lain-lain), ketersediaan SDM dan

sumberdaya hutan, hasil pembangunan kehutanan selama ini untuk modal

pembangunan kehutanan ke depan.

Disamping itu, di masyarakat umum termasuk Non-Government

(28)

pengolahan hasil hutan dan pembangunan HTI dengan alasan mengancam hutan

produksi alam. NGO dan masyarakat tertentu menghendaki hutan alam Indonesia

dipertahankan tetap sebagai hutan alam bahkan mengusulkan mengubah status

hutan produksi menjadi hutan lindung atau hutan konservasi. Padahal sesuai

fungsinya hutan telah ditetapkan dengan undang-undang apakah sebagai hutan

produksi (budidaya) atau untuk hutan lindung atau hutan konservasi.

Dilain pihak, dewasa ini ada kecenderungan bahwa kebutuhan global atas

produk-produk kehutanan seperti kayu lapis, kayu gergajian, moulding, furniture

dan bubur kertas terus meningkat. Pada tahun 2010 konsumsi dunia atas kayu

berbasis panel akan mencapai sekitar 320.4 juta m3 atau naik 2.36 persen dari

tahun 1990. Hal ini merupakan peluang yang besar bagi Indonesia untuk mengisi

permintaan pasar tersebut (Timoteus, 2000 dalam Departemen Kehutanan, 2006).

Sementara itu permintaan bubur kertas dari kayu (wood pulp) dunia tahun 2000

mencapai 180 juta ton per tahun dengan pertumbuhan sekitar 3 persen per tahun

(Santoso, 2000). Dilain pihak produsen pulp tradisional di Amerika Utara dan

Skandinavia sulit meningkatkan produksi karena kendala alam dan mesin yang

sudah tua. Sementara itu konsumsi kertas dalam negeri masih sangat rendah 26

kg/kapita/tahun dibandingkan Malaysia yang sudah diatas 100 kg/kapita/tahun

(APKI, 2009). Apabila konsumsi kertas domestik tumbuh 10 persen per tahun dan

dengan penduduk hampir 250 juta jiwa, maka untuk memenuhi tambahan

konsumsi setiap tahun harus didirikan pabrik kertas baru dengan kapasitas 500

ribu ton/tahun. Jika peluang tersebut tidak ditangkap, maka akan ditangkap

produsen lain dan Indonesia kemudian untuk selamanya akan menjadi importir

(29)

Untuk itu, mengingat pentingnya peran dan fungsi hutan dalam

mendukung kehidupan manusia dan sesuai amanat UU No. 41 tahun 1999 tentang

Kehutanan, serta dengan memperhatikan potensi pasar produk-produk hasil hutan

di pasar dunia dan domestik, maka pemerintah telah membuat kebijakan

penyelenggaraan kehutanan untuk menjamin kelestarian hutan dan peningkatan

kesejahteraan rakyat. Program pemerintah di sektor kehutanan tahun 2004-2009

antara lain dituangkan dalam Keputusan Menteri Kehutanan No.

SK.456/Menhut-VIII/2004 tentang Lima Program Prioritas Bidang Kehutanan dan Peraturan

Menteri Kehutanan No. P.04/Menhut-II/2005 tentang Rencana Strategis

Kementerian Negara atau Lembaga Departemen Kehutanan Tahun 2005-2009.

Salah satu dari lima program prioritas tersebut adalah revitalisasi sektor kehutanan

khususnya industri kehutanan untuk membangkitkan kembali peran ekonomi

kehutanan.

Untuk lebih menjamin percepatan pembangunan kehutanan khususnya

pembangunan hutan tanaman sebagai bagian dari program revitalisasi sektor

kehutanan, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun

2008 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Pemerintah No. 6

Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan

serta Pemanfaatan Hutan yang kemudian dijabarkan dengan Peraturan Menteri

Kehutanan No. 3 Tahun 2008 tentang Deliniasi Areal Izin Usaha Pemanfaatan

Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri dalam Hutan Tanaman.

Pada level regional provinsi Jambi dalam kurun yang sama bahkan dapat

dikatakan hampir empat dasawarsa terakhir, hutan dan hasil hutan telah dijadikan

(30)

kehutanan telah dijadikan sektor andalan dalam perekonomian provinsi Jambi.

Namun demikian, walaupun menjadi sektor andalan, tetapi dalam 10 tahun

terakhir kontribusi sektor kehutanan menunjukkan kecenderungan terus merosot.

Pada tahun 1997 sektor kehutanan memberikan kontribusi sebesar 19.11 persen

dalam Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) provinsi Jambi masing-masing

5.06 persen dari sub sektor hutan dan 14.05 persen dari sub sektor industri

pengolahan hasil hutan. Kontribusi tersebut kemudian menurun menjadi 15.88

persen pada tahun 2000 dan terus merosot menjadi 10.02 persen pada tahun 2005

(Jambi Dalam Angka tahun 1997, 2000 dan 2005).

Dilain pihak sektor kehutanan provinsi Jambi merupakan sektor yang

ternyata didukung sumberdaya yang relatif sangat besar, antara lain berupa

kawasan hutan seluas 2 148 950 hektar (terdiri dari hutan produksi 1 278 700

hektar, hutan lindung 191 130 hektar dan hutan suaka dan wisata 679 120 hektar)

yang merupakan 40.21 persen luas wilayah daratan provinsi Jambi. Dari Jambi

Dalam Angka, dapat diketahui bahwa industri hasil hutan provinsi Jambi yang

terdiri atas lebih dari 82 perusahaan (tahun 2001) merupakan 63.07 persen jumlah

perusahaan kelompok industri besar dan menengah yang ada di provinsi Jambi.

Industri hasil hutan tersebut mempekerjakan secara langsung tidak kurang dari 23

297 orang atau 74.5 persen total tenaga kerja pada industri besar dan menengah

yang ada. Sementara itu 45 unit industri kehutanan mempekerjakan 15 514 orang

atau 65.35 persen tenaga kerja industri di provinsi Jambi tahun 2005.

Kemerosotan kontribusi sektor kehutanan tersebut antara lain dipicu oleh

menurunnya kemampuan hutan menghasilkan kayu bulat yang merupakan antara

(31)

melebihi kuota, penebangan liar dan lain-lain), (2) pengalihan penggunaan lahan

hutan untuk kegiatan non kehutanan yang telah direncanakan seperti: perkebunan,

transmigrasi, pertambangan, dan (3) maraknya perambahan dan pengalihan

fungsi areal hutan (kawasan hutan) oleh masyarakat untuk mendapat manfaat

ekonomi langsung yang lebih besar. Pendudukan dan pengalihan fungsi areal

hutan banyak terjadi setelah (1) pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) atau

Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) membangun jaringan jalan

dalam rangka pemanfaatan hasil hutan, (2) ketika pemerintah membangun

jaringan infrastruktur atau jalan yang membelah kawasan hutan dalam rangka

membuka isolasi daerah, dan (3) ketika izin HPH berakhir dan pemerintah belum

dapat menunjuk pengelola definitif bekas areal kerja HPH tersebut. Dengan

menduduki kawasan hutan dan mengalihkan menjadi areal perkebunan atau

budidaya pertanian lainnya. masyarakat dapat menguasai lahan dan mengharap

dapat memetik manfaat yang lebih besar daripada ketika areal tersebut berupa

hutan dengan status kawasan hutan.

Sementara itu, dalam banyak hal sektor kehutanan menghadapi banyak

masalah menyangkut informasi termasuk diantaranya informasi mengenai

kontribusi sektor kehutanan dalam perekonomian daerah maupun nasional. Dalam

statistik provinsi Jambi yang diketahui oleh publik hanyalah kontribusi sektor

kehutanan (hasil hutan) pada PDRB Jambi yang kebetulan makin lama makin

merosot tidak saja dalam nilainya tetapi juga merosot dalam volume yang

dihasilkan. Publik tidak pernah melihat bagaimana kontribusi sektor kehutanan

dalam menyediakan infrastruktur seperti jaringan jalan, jaringan listrik, penyedian

(32)

penyediaan pelabuhan dan pasar-pasar tradisional di pelosok-pelosok yang belum

terjangkau fasilitas publik yang dibangun pemerintah dan kegiatan sektor lain.

Sektor kehutanan juga menyediakan kesempatan kerja baik langsung maupun

tidak langsung dan kesempatan berusaha bagi masyarakat di pelosok-pelosok

dimana sektor lain belum masuk. Tidak juga bisa diabaikan bagaimana sektor

kehutanan provinsi Jambi mendorong atau menyediakan input untuk kegiatan

sektor lain atau industri di provinsi lain. Kendala dan keterbatasan informasi ini

telah dan terus akan menciptakan pandangan yang kurang tepat terhadap sektor

kehutanan (sumberdaya hutan), sehingga baik masyarakat dunia usaha dan

pemerintah bisa saja salah dalam memperlakukan sumberdaya hutan.

1.2. Perumusan Masalah

Sektor berbasis kehutanan (hutan dan industri pengolahan hasil hutan) di

provinsi Jambi sebagaimana sektor kehutanan pada tingkat nasional pernah

menjadi sektor andalan dalam perekonomian nasional dan kemudian mengalami

kemerosotan akibat kerusakan hutan (deforestasi), degradasi hutan, kebakaran

hutan dan lahan, industri pengolahan hasil hutan yang tidak efisien dan lain-lain.

Dengan luas kawasan hutan yang lebih dari 40 persen luas wilayah provinsi

Jambi dan dengan informasi kontribusi standar sebagaimana dilansir secara

periodik oleh Badan Pusat Statistik, yang kebetulan nilainya terus merosot

bahkan dilaporkan kurang 15 persen dalam perekonomian provinsi Jambi,

masyarakat akan menganggap hutan dan kawasan hutan tidak penting dan akan

mengalihkan kawasan hutan untuk kepentingan lain secara serampangan untuk

penggunaan lain. Padahal eksistensi hutan dan kawasannya sangat diperlukan oleh

(33)

Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis dan pengungkapan yang lebih detil

dan fokus dengan metode yang lebih komprehensif dan lengkap yang mampu

menunjukkan apa saja, seberapa besar dan kepada siapa peran sektor kehutanan

provinsi Jambi dapat diberikan dan dapat ditingkatkan.

Untuk mengembalikan peran dan kontribusi sektor kehutanan propvinsi

Jambi, sesuai program prioritas sektor kehutanan nasional ditempuh dengan

mengimplementasikan program revitalisasi sektor kehutanan. Program revitalisasi

sektor kehutanan akan dilaksanakan dalam bentuk investasi untuk: 1).

Membangun atau memperluas Hutan Tanaman (HTI) termasuk di dalamnya

Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dimana HTI adalah hutan tanaman yang hak atau

izinnya diberikan oleh pemerintah kepada badan usaha seperti perusahaan swasta,

BUMN dan koperasi, sedangkan HTR adalah hutan tanaman yang hak/izinnya

diberikan pemerintah kepada masyarakat perdesaan secara perorangan. 2).

Perluasan atau pembangunan industri pulp untuk mengolah hasil hutan kayu dari

HTI maupun HTR agar diperoleh nilai tambah yang lebih besar, 3). Perluasan atau

pembangunan industri kertas tulis cetak dan atau kertas tisu yang mampu

mengolah sebagian pulp yang dihasilkan untuk memperoleh nilai tambah,

kesempatan kerja dan kesempatan berusaha bagi masyarakat, d). perluasan atau

pembangunan industri pengolahan kayu lapis dan sejenisnya seperti MDF

(Medium Density Fibreboard) yang mampu memproduksi produk dengan lebih

efisien.

Tambunan (2005) menyampaikan bahwa industri kehutanan khususnya

industri kayu lapis (yang mengandalkan bahan baku kayu dari hutan alam di luar

(34)

Sumbangan sektor kehutanan yang cukup tinggi secara agregat di daerah, ternyata

belum berhasil mengangkat masyarakat penduduk sekitar hutan dari kemiskinan.

Oleh sebab itu upaya revitalisasi sektor kehutanan yang berusaha

membangkitkan peran sektor kehutanan dalam perekonomian dengan membangun

dan membangkitkan industri hasil hutan yang berbasis HTI (termasuk HTR),

dimana HTI memerlukan pengelolaan yang lebih intensif dan padat karya,

sehingga diharapkan mampu menjawab tantangan dan kelemahan industri

kehutanan berbasis hutan alam di masa sebelum ini.

Pembangunan HTI dan industri hilirnya tentu perlu alokasi sumberdaya

yang besar baik finansial maupun lahannya, Sementara itu secara ekonomis

ketersediaan sumberdaya finansial dan lahan tersebut terbatas. Oleh karena itu

pemilihan kombinasi pembangunan yang mampu memberikan manfaat maksimal

dan efisien menjadi sangat penting.

Dari uraian diatas, secara ringkas permasalahan yang diangkat dalam

penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1). Seberapa besar peran sektor berbasis kehutanan dalam perekonomian

provinsi Jambi, khususnya dalam meningkatkan nilai tambah, penyerapan

tenaga kerja dan distribusi pendapatan rumahtangga?

2). Seberapa besar dampak implementasi kebijakan revitalisasi sektor kehutanan

dalam bentuk investasi untuk pembangunan HTI, industri pulp, industri

kertas, industri MDF baik secara parsial maupun terintegrasi terhadap

perekonomian provinsi Jambi khususnya dalam hal peningkatan nilai

(35)

kesenjangan antar rumahtangga serta pilihan investasi mana yang paling

efisien?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini dilakukan

dengan tujuan sebagai berikut:

1). Menganalisis peran sektor berbasis kehutanan dalam perekonomian

provinsi Jambi, khususnya terhadap kenaikan nilai tambah, penyerapan

tenaga kerja dan distribusi pendapatan rumahtangga.

2). Menganalisis dampak implementasi kebijakan revitalisasi sektor berbasis

kehutanan yang diwujudkan dalam investasi untuk pembangunan atau

perluasan hutan tanaman, industri pulp serta industri kertas dan industri

MDF baik secara terpisah maupun terintegrasi dalam perekonomian

provinsi Jambi terutama dalam hal peningkatan nilai tambah, penyerapan

tenaga kerja, distribusi pendapatan rumahtangga dan kesenjangan antar

rumahtangga serta menganalisis pilihan kombinasi investasi yang

manfaatnya paling besar dan efisien.

3). Merumuskan implikasi kebijakan revitalisasi sektor kehutanan yang perlu

dipertimbangkan oleh pemerintah daerah dalam upaya merevitalisasi sektor

berbasis kehutanan.

1.4 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dibatasi pada analisis dampak kebijakan pemerintah di bidang

kehutanan khususnya dalam pelaksanaan kebijakan revitalisasi sektor kehutanan

dan dampaknya pada perekonomian provinsi Jambi seperti perubahan nilai

(36)

provinsi Jambi, distribusi pendapatan rumahtangga dan pertumbuhan sektor lain.

Analisis ini tidak menjangkau bagaimana teknis usaha tersebut dilakukan, tetapi

hanya dibatasi pada pengaruh atau dampak kegiatan revitalisasi sektor kehutanan

terhadap perubahan nilai tambah, kesempatan kerja, pertambahan pendapatan

masyarakat, distribusi pendapatan rumahtangga dan pertumbuhan sektor lainnya

di provinsi Jambi.

Penelitian menggunakan pendekatan Sistem Neraca Sosial Ekonomi

(SNSE) atau Social Accounting Matrix (SAM) perekonomian provinsi Jambi.

Semua besaran variabel yang terkait analisis ditransformasikan ke dalam nilai

uang dalam hal ini rupiah dengan patokan harga yang berlaku di tingkat produsen.

1.5. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang distribusi

pendapatan masyarakat dengan adanya kebijakan baru dalam sektor kehutanan

khususnya revitalisasi sektor berbasis kehutanan. Selain itu penelitian ini juga

akan memberikan pilihan skenario kebijakan guna mempertahankan dan

meningkatkan kontribusi sektor kehutanan pada perekonomian provinsi Jambi,

serta kesejahteraan masyarakat dengan tetap melestarikan dan mempertahankan

fungsi dan keberadaan hutan di provinsi Jambi.

Penelitian ini diharapkan dapat memperbaharui model Input-Output (I-O)

provinsi Jambi tahun 1998 dengan melakukan agregasi pada sektor-sektor non

kehutanan dan mendisagregasi sektor-sektor kehutanan serta menyusun SNSE

provinsi Jambi berdasarkan data terbaru yang memungkinkan (2005) yang

nantinya akan bermanfaat bagi berbagai pihak dalam membangun perekonomian

(37)

Berdasarkan berbagai kesimpulan hasil simulasi yang dibuat, akan disusun

rekomendasi implikasi kebijakan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat

(38)

2.1. Perkembangan dan Kebijakan Sektor Kehutanan

Selama dua dasawarsa pertama setelah kemerdekaan, kehutanan Indonesia

hanya melayani kebutuhan kayu untuk konstruksi, mebel dan kayu bakar. Pada

tahun 1967 ketika dibuka kesempatan investasi Penanaman Modal Asing (PMA)

dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dalam berbagai sektor termasuk

sektor kehutanan produksi kayu log dilaporkan sekitar 3.3 juta m3. Pada tahun

1979 pembangunan industri pengolahan kayu oleh para pemegang Hak

Pengusahaan Hutan (HPH) telah mencapai 1 011 unit sawmill (penggergajian

kayu) dengan produksi 1.71 juta m3 Kayu Gergajian (KGG), 11 unit plywood mill

(industri kayu lapis) dengan produksi 42 000 m3 kayu lapis, satu unit pabrik

fibreboard dengan produksi 1 000 ton serta industri wood working dengan

produksi 180 ribu m3

Pada tahun 1988 produksi kayu bulat mencapai 32 juta m

. Pada tahun 1980-an industri pengolahan kayu mengalami

kemajuan yang sangat pesat, seiring larangan ekspor kayu bulat yang secara

penuh diberlakukan pada tahun 1985. Pada tahun 1987 tercatat industri kayu lapis,

industri kayu gergajian, industri pulp dan kertas berturut-turut menyumbangkan

perolehan devisa sebesar 56 persen, 21 persen dan 10 persen dari total devisa

ekpor hasil hutan. Devisa yang diperoleh dari ekspor hasil hutan pada tahun 1989

mencapai US$ 4 juta. (Departemen Kehutanan dan ITTO, 2001).

3

(naik dari 2 juta

m3 pada tahun 1962) dengan 96 persen diantaranya berasal dari hutan alam (luar

pulau Jawa). Pada saat yang sama tercatat jumlah pabrik pengolahan hasil hutan

(39)

m3 per tahun, 110 unit industri kayu lapis dengan kapasitas 7 juta m3 per tahun, 54

unit industri block board dengan kapasitas 0.7 juta m3 per tahun, 7 unit industri

particle board dengan kapasitas 0.3 juta m3 per tahun, 38 unit industri pulp

dengan kapasitas 1.4 juta ton pulp per tahun serta 8 ribu unit industri kayu

sekunder. Kapasitas produksi industri-industri tersebut adalah 9.8 juta m3 KGG,

8.2 juta m3

Pada tahun 1999-2000 industri pengolahan hasil hutan kayu meliputi 4 400

unit industri penggergajian kayu, 120 unit industri kayu lapis, 39 unit industri

particle board, 102 unit industri block board, 13 unit industri serpih kayu, 2 unit

MDF, 82 unit industri pulp dan kertas, serta sejumlah besar industri pengolahan

kayu sekunder. Kapasitas industri tersebut mencapai masing-masing 19 juta m panel kayu, 936 ribu ton kertas.

3

per tahun KGG, 11.1 juta m3

Departemen Kehutanan dan ITTO (2001) menyatakan kemampuan pasokan

bahan baku kayu sekitar 50 juta m

per tahun kayu lapis, 5.23 juta ton pulp per tahun

dan 9.12 juta ton kertas per tahun. Nilai total aset industri pengolahan kayu hasil

hutan tersebut pada tahun 2001 diperkirakan mencapai US$ 27.8 milyar dengan

tidak kurang dari 4 juta orang tenaga kerja dan mendukung kehidupan 16 juta

orang (Departemen Kehutanan dan ITTO, 2001).

3

per tahun, dilain pihak kebutuhan industri

diperkirakan mencapai 72 juta m3 per tahun dengan rincian: industri

penggergajian kayu yang memiliki izin 22 juta m3 per tahun, industri

penggergajian kayu tanpa izin 8 juta m3 per tahun, industri kayu lapis 18 juta m3

per tahun dan industri pulp 24 juta m3. Dengan demikian terjadi kesenjangan

antara kebutuhan dan kemampuan pasokan bahan baku yang mengakibatkan

(40)

Departemen Kehutanan (2006) menyampaikan kondisi umum Kehutanan

sampai dengan tahun 2004. Kondisi sumberdaya hutan antara lain disebutkan (1)

Indonesia termasuk kedalam negara ynag memiliki keanekaragaman hayati yang

tinggi dalam flora dan fauna. Terdapat 515 jenis mamalia (12 persen mamalia

dunia), 511 jenis reptil (7.3 persen reptil dunia), 1 531 jenis burung (17 persen

burung dunia), 38 ribu jenis tumbuhan dan lain-lain. Namun populasi dan

distribusi kekayaan hayati tersebut terus merosot bahkan sebagian diantaranya

terancam punah akibat pemanfaatan sumberdaya hutan yang kurang bijaksana,

perubahan peruntukan kawasan hutan, bencana alam, kebakaran hutan, degradasi

hutan dan lain-lain, (2) secara sosial pada tahun 2003 di dalam dan di sekitar

hutan berdiam 48.8 juta jiwa dan 10.2 juta diantaranya miskin. Ada sekitar 6 juta

jiwa bermata pencaharian langsung dari hutan, 3.4 juta diantaranya bekerja di

sektor swasta kehutanan. Masyarakat yang berdiam di dalam dan di sekitar hutan

tersebut pada umumnya rendah pendidikannya, rendah fasilitas kesehatannya,

terbatas infrastruktur perhubungan, komunikasi, listrik maupun air bersihnya, dan

(3) secara ekonomi kontribusi sektor kehutanan sejak tahun 1993 terus merosot.

Pada tahun 1993 mencapai 3.5 persen PDB, maka tahun 2003 merosot menjadi

2.4 persen PDB. Produk ekspor kehutanan telah bergeser dari dominan kayu lapis

kepada pulp dan kertas. Disamping penyusutan jumlah HPH dan produksi kayu

hutan alam berganti dengan pembangunan dan produksi kayu hutan tanaman.

Sektor kehutanan menghadapi kondisi lingkungan strategis sebagai berikut :

(1) Desentralisasi kehutanan, sesuai UU No. 32 tahun 1999 tentang otonomi

daerah, sebagian besar urusan kehutanan kecuali antara lain mengenai

(41)

pemerintah kabupaten/kota. Dilain pihak masih ada kendala SDM di daerah untuk

melaksanakan dengan optimal desentralisasi tersebut. Ada kendala komunikasi

antara pusat dan daerah dalam implementasi program sektor, (2) Desentralisasi

fiskal memberikan kewenangan kepada daerah untuk berkreasi dalam

memperoleh tambahan dana dengan menentukan Pendapatan Asli Daerah (PAD)

yang bersumber dari berbagai pungutan hasil pembangunan sektoral termasuk

kehutanan. Daerah yang memandang hutan sebagai sumberdaya pembangunan

akan mendorong pemanfaatan hutan sebesar-besarnya untuk meningkatan PAD,

DAU (Dana Alokasi Umum) dan DAK (Dana Alokasi Khusus) yang mengancam

kelestarian sumberdaya hutan, (3) Deregulasi kehutanan yang harus mendukung

tercapainya tiga strategi pembangunan kabinet Indonesia bersatu yaitu

pertumbuhan ekonomi 6.6 persen pertahun, pembangunan sektor riil dan

revitalisasi sektor pertanian, perikanan dan kehutanan. Banyak peraturan dan

perundang-undangan yang dinilai birokratif dan menghambat harus

disederhanakan, dan (4) komitmen global yang mengharuskan pembangunan

sektor kehutanan tidak bisa melepaskan diri dari perhatian, komitmen dan peran

serta pemerintah Indonesia kepada masyarakat internasional. Indonesia harus

mematuhi prinsip pembangunan kehutanan (Forest Principles) yang disepakati

pada KTT Bumi 1992, konvensi keanekaragaman hayati, konvensi tentang

degradasi lahan, Protokol Kyoto, konvensi perdagangan tumbuhan dan satwa liar

(CITES) dan lain-lain.

Sektor kehutanan juga menghadapi isu strategis sebagai berikut: (1)

Ketataprajaan yang baik, yakni pembangunan kehutanan harus dilakukan dengan

(42)

program dan konsisten dalam melaksanakan kebijakan, (2) Isu tenurial yang

memunculkan konflik mengenai hak lahan kawasan hutan. UU No. 41 tahun 1999

mengamanatkan agar kawasan ditunjuk dan ditetapkan pemerintah yang hak dan

pengelolaannya berada ditangan negara dalam hal ini Departemen Kehutanan.

Namun demikian undang-undang tersebut juga memberikan dan menjamin

hak-hak masyarakat adat yang berada di kawasan hutan dan diakui keberadaannya

sebagaimana diatur dalam UU No. 5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria.

Sementara sebagian besar masyarakat adat tidak memiliki data memadai untuk

menyelesaikan kasus tenurial seperti ini, (3) Tataruang sering menjadi masalah

karena pembangunan nasional memerlukan dukungan pemenuhan kebutuhan

lahan untuk ekspansi pembangunan pertanian, perkotaan, pemukiman,

perhubungan, pertambangan dan lain-lain, yang seringkali dilakukan dengan

mengkonversi kawasan hutan. Ketidakpastian tata ruang di kabupaten dan

provinsi berimplikasi pada kepastian alokasi lahan dan menghambat upaya

pemerintah untuk optimalisasi fungsi hutan. Pemekaran daerah dalam banyak

kasus sering mempersulit penetapan tata ruang, (4) Pengelolaan hutan telah

dimulai sejak zaman Belanda dengan prinsip pengelolaan hutan lestari melalui

berbagai sistem yang beberapa kali disempurnakan seperti TPI (Tebang Pilih

Indonesia), TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia). Namun demikian sistem

tersebut tidak secara utuh diterapkan oleh para pelaksana, sehingga secara

perlahan telah menurunkan kualitas dan kuantitas sumberdaya hutan dan

ekosistemnya. Oleh karena itu pada akhir tahun 1980-an diperkenalkan sistem

pengelolaan hutan dengan pola hutan tanaman yang lebih dikenal dengan hutan

(43)

didorong dan dipercepat pembangunannya, (5) Industri kehutanan yang

berkembang pesat sejak tahun 1980 dalam bentuk industri kayu gergajian, kayu

lapis dan panel yang semuanya berbahan baku kayu dari hutan alam. Industri ini

mencapai puncaknya pada pertengahan dekade 1990-an dan kemudian sejalan

merosotnya pasokan kayu hutan alam ketiga jenis industri tersebut menurun dan

secara bertahap diganti perannya oleh industri bubur kertas, kertas, paper board,

panel, kayu gergajian yang menggunakan bahan baku dari hutan tanaman, (6)

Terdapat kawasan hutan seluas lebih 59 juta hektar terdegradasi akibat berbagai

sebab. Oleh karena itu program rehabilitasi melalui HTI dan atau reboisasi

diharapkan menjadi salah satu solusi dan (7) Isu kemiskinan menjadi salah satu

beban sektor kehutanan. Degradasi hutan dan ekosistemnya berdampak kepada

kemampuan ekonomi masyarakat di dalam dan di sekitar hutan menjadi semakin

miskin. Apalagi pemerintah juga menghadapi keterbatasan kemampuan untuk

menjangkau wilayah tersebut untuk membangun infrastrukur kesehatan, sekolah,

perhubungan, pasar dan lain-lain.

Sektor kehutanan memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai berikut

(1) Indonesia memiliki kawasan hutan yang memiliki fungsi sosial, ekonomi dan

lingkungan dengan luas 120.35 juta hektar terdiri dari 23.24 juta hektar Hutan

Konservasi (TN, HSAW), 29.10 juta hektar Hutan Lindung (HL), 16.21 juta

hektar Hutan Produksi Terbatas (HPT), 27.74 juta hektar Hutan Produksi Tetap

(HP) dan 13.67 juta hektar Hutan Produksi dapat Dikonversi (HPK) yang

berpotensi diberdayakan, dikelola dan dimanfaatkan sesuai dengan fungsinya

masing-masing, (2) Kekayaan sumberdaya alam hayati yang begitu besar

(44)

komersial, sedangkan sisanya harus dikembangkan secara komersial dengan

memperhatikan prinsip-prinsip kelestarian, (3) Perkembangan permintaan

produk-produk hasil hutan sangat menjanjikan. Tahun 2010 konsumsi dunia atas kayu

berbasis panel akan mencapai sekitar 320.4 juta m3 atau naik 2.36 persen dari

tahun 1990. Hal ini merupakan peluang yang besar bagi Indonesia untuk mengisi

permintaan pasar tersebut (Timoteus, 2000 dalam Departemen Kehutanan, 2006).

Sementara itu permintaan bubur kertas dari kayu (wood pulp) dunia tahun 2000

mencapai 180 juta ton per tahun dengan pertumbuhan sekitar 3 persen per tahun

(Santoso, 2000). Dilain pihak produsen pulp tradisional di Amerika Utara dan

Skandinavia sulit meningkatkan produksi karena kendala alam dan mesin yang

sudah tua. Sementara itu konsumsi kertas dalam negeri masih sangat rendah 26

kg/kapita/tahun dibandingkan Singapura yang sudah diatas 100 kg/kapita/th

(APKI, 2008). Apabila konsumsi kertas tumbuh 10 persen per tahun dan dengan

penduduk hampir 250 juta jiwa, maka setiap tahun harus mendirikan pabrik kertas

dengan kapasitas 500 ribu ton/tahun. Jika peluang tersebut tidak ditangkap, maka

akan ditangkap produsen lain dan untuk kemudian untuk selamanya akan menjadi

importir kertas, (4) Clean Development Mechanism (CDM) dapat dijadikan

sebagai salah satu sumber pendanaan bagi rehabilitasi kawasan hutan seluas 59.17

juta hektar yang terdegradasi, (5) Jasa lingkungan dan hasil hutan bukan kayu,

masih banyak sekali yang belum dimanfaatkan secara komersial. Ke depan

pemanfaatan jasa lingkungan dan hasil hutan bukan kayu oleh masyarakat

perdesaan akan meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan

(45)

Tambunan (2005) menyatakan bahwa kebijakan sektor kehutanan dapat

dibedakan menjadi empat episode. Pada akhir tahun 1960-an, episode pertama

dimulai dan ditandai dengan terbitnya UU No. 1 tahun 1967 dan UU No. 6 tahun

1968 dan merupakan awal ekploitasi hutan Indonesia didukung penanaman modal

dalam negeri maupun penanaman modal asing dalam pengusahaan hutan dan

pergeseran eksploitasi hutan dari pulau Jawa (hutan tanaman) ke luar Jawa (hutan

alam). Episode ke dua dimulai tahun 1970-an ditandai dengan penataan sistem

dan mekanisme eksploitasi hutan melalui penerapan tata cara pemanenan,

penetapan kawasan hutan, rencana karya pengusahaan hutan, sistem silvikultur,

yang dari sisi kebijakan terlihat adanya arah pemanfaatan hutan diselaraskan

dengan arah perlindungan hutan menuju pemanfaatan hutan yang lestari.

Episode ke tiga dimulai tahun 1980-an merupakan episode industrialisasi

hutan dan pengendalian rente hasil hutan, episode ini ditandai dengan introduksi

Hutan Tanaman Industri (HTI) dan pemungutan Dana Reboisasi (DR) dan Dana

Jaminan Reboisasi Pengelolaan Hutan (DJRPH), pajak ekspor kayu serta Iuran

Hasil Hutan (IHH). Episode ke empat dimulai tahun 1990-an dan dikenal sebagai

episode integrasi baik dari sisi industri, pembangunan daerah dan pelibatan

masyarakat lokal. Episode ini ditandai dengan pengenalan keterkaitan industri

kehutanan hulu-hilir, penyertaan modal pemerintah, kerjasama operasi swasta dan

pemerintah, HTI-Trans, alokasi pemasaran kayu untuk pasar lokal dan pelibatan

masyarakat lokal dalam bentuk HPH Bina Desa.

Dengan kontribusi yang menurun dan kondisi sumberdaya hutan yang

terancam serta mengacu studi yang dilakukan Departemen Kehutanan bersama

(46)

telah menetapkan lima program prioritas yaitu : (1) Pemberantasan penebangan

liar (illegal logging), (2) Penanggulangan dan pencegahan kebakaran hutan, (3)

Rehabilitasi hutan dan lahan, (4) Restrukturisasi industri kehutanan, dan (5)

Penguatan desentralisasi bidang kehutanan. Dalam Kabinet Indonesia Bersatu,

program prioritas tersebut diteruskan dengan sedikit perubahan dengan 5 target

sukses untuk program kerja lima tahun kedepan (2004-2009) yang meliputi : (1)

Penanggulangan penebangan liar dan perdagangan kayu ilegal, (2) Revitalisasi

sektor kehutanan khususnya industri kehutanan untuk membangkitkan kembali

peran ekonomi kehutanan, (3) Rehabilitas dan konservasi sumberdaya hutan, (4)

Pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar hutan, (5) Pemantapan kawasan hutan.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.456/Menhut-VIII/2004

tentang Lima Kebijakan Prioritas Bidang Kehutanan dalam Program

Pembangunan Nasional Kabinet Indonesia Bersatu dan Peraturan Menteri

Kehutanan No. P.04/Menhut-II/2005 tentang Rencana Strategis Kementerian

Negara atau Lembaga (Renstra-KL) Departemen Kehutanan Tahun 2005-2009.

Kebijakan Revitalisasi Kehutanan khususnya Industri Kehutanan adalah kebijakan

yang dimaksudkan untuk (1) Menciptakan industri kehutanan yang tangguh serta

terwujudnya struktur industri pengolahan kayu yang efisien dan berwawasan

lingkungan yang menghasilkan produk bernilai tinggi dan berdayasaing global,

(2) Meningkatkan penyerapan tenaga kerja, (3) Meningkatkan pendapatan

masyarakat dan negara, dan (4) Pengelolaan hutan lestari yang mendukung

pengembangan industri kehutanan.

Implementasi program revitalisasi tersebut dilakukan dengan (1)

(47)

pelaksanaan pengelolaan hutan lestari pada 200 unit Hutan Tanaman Industri

(HTI) dan Hak Penguasaan Hutan (HPH), (3) Mengupayakan peningkatan

produksi hasil hutan bukan kayu, (4) Mengoptimalkan Penerimaan Negara Bukan

Pajak termasuk Dana Reboisasi, (5) Memfasilitasi pembangunan HTI minimal 5

juta hektar, dan (6) Memfasilitasi pembangunan hutan rakyat seluas 2 juta hektar.

Secara lebih khusus dalam bidang ekonomi, kebijakan pemerintah tersebut

adalah untuk mewujudkan kondisi ekonomi jangka menengah dimana (1)

Kontribusi sektor kehutanan dalam PDB baik dari kayu ataupun bukan kayu dan

jasa lingkungan meningkat secara proporsional dan bertahap, (2) Penyerapan

tenaga kerja dibidang pemanfaatan hutan, pembangunan HTI, pengolahan hasil

hutan, konservasi dan jasa lingkungan meningkat, (3) Pendapatan riil masyarakat

yang bergantung pada sumberdaya hutan terutama yang berada di dalam dan di

sekitar kawasan hutan meningkat, (4) Sektor kehutanan berperan nyata dalam

pembangunan dan pengembangan wilayah, (5) Beraneka usaha kehutanan

berskala kecil dan menengah mulai dari pemenuhan bahan baku sampai

pemasaran dapat berjalan dan terjamin keberlanjutannya, dan (6) Industri

kehutanan berskala besar, mulai dari pemanfaatan sampai pengolahan hasil hutan

berkembang secara efisien, berkelanjutan dan berdayasaing tinggi yang didorong

iklim usaha yang kondusif.

Ditjen Bina Produksi Kehutanan (2008) menjelaskan bahwa kebijakan

revitalisasi sektor kehutanan secara nasional terkait dengan 3 agenda Triple Track

Strategi Ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu yaitu agenda pertumbuhan ekonomi,

penyediaan lapangan kerja dan penghapusan kemiskinan. Agenda pertumbuhan

(48)

hasil hutan dan investasi baru kehutanan secara proporsional antara pengusaha

besar, menengah dan kecil di sektor hulu maupun hilir. Agenda penyediaan

lapangan kerja (pro-job) dimaksudkan untuk menggerakkan ekonomi di perkotaan

(sektor riil) berupa industri perkayuan dalam rangka menyerap tenaga kerja.

Adapun agenda penghapusan atau pengentasan kemiskinan (pro-poor) diarahkan

pada pemberian akses dan pengakuan legal atas usaha pemanfaatan Hutan

Produksi melalui Hutan Tanaman Rakyat (HTR) untuk mengurangi kemiskinan

dan pengangguran di perdesaan sekitar hutan. Dalam implementasinya kerangka

kebijakan Revitalisasi Sektor Kehutanan mencakup sub sektor hulu (terkait bahan

baku), sub sektor hilir (terkait industri) dan kebijakan penunjang.

Kebijakan sub sektor hulu kehutanan mencakup usaha pemanfaatan Hutan

Produksi (dalam hal ini HPH pada hutan alam dan HTI untuk hutan tanaman)

sebagai usaha pengembangan sumber bahan baku. Pemerintah mempercepat

pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) untuk HPH,

HTI dan HTR pada areal-areal yang saat ini tidak ada pengelolaan atau

pemanfaatan (open acces) seluas sekitar 20 juta hektar, termasuk di dalamnya

bagi usaha restorasi ekosistem hutan produksi. Untuk jaminan berusaha diberikan

selama 65 tahun sesuai dengan Undang-Undang Penanaman Modal. Adapun

untuk hutan tanaman, Penanaman Modal Asing (PMA) berbadan hukum

Indonesia diberi kesempatan sebagai pemegang izin usaha. Kebijakan sub sektor

hilir kehutanan diarahkan pada pemanfaatan tanaman dari hutan rakyat, HTI,

peremajaan kebun dalam rangka outsourcing bahan baku sehingga ekonomi

rakyat bergerak. Kebijakan pendukung untuk menunjang kelancaran kedua sub

Gambar

Gambar  1. Pohon Industri  Pulp dan Kertas
Gambar 2. Pohon Industri Hasil Hutan
Gambar 3 memperlihatkan bahwa setiap kenaikan dalam konsumsi
Gambar 4. Proses Pencapaian Keseimbangan Model Solow pada Kondisi                  Surplus Tabungan terhadap Investasi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil analisis yang menunjukkan bahwa dodol yang disimpan pada hari ke-0 dan ke-5 pada perlakuan yang dilapisi kitosan, baik 1% dan 2% tidak berbeda nyata dengan

dan kegiatan tahun 2017 yang akan dilaksanakan oleh BPAD Kota

sistem atau kontrol untuk menghentikan/memutuskan pengeluaran arus yang terus menerus apabila baterai telah mencapai kondisi minimum (kosong), hal ini dapat

Demikian yang dapat saya sampaikan, saya harap UASBN dapat berjalan dengan lancar dan semoga anak-anak kita bisa berhasil dalam ujian nanti.. Penggalan pidato tersebut termasuk

E-CRM adalah strategi bisnis yang menggunakan teknologi informasi yang memberikan perusahaan suatu pandangan pelanggannya secara luas, dapat diandalkan dan terintegrasi

Dan untuk hipotesis minor ke tiga didapatkan hasil t= - 5,351 dengan sig=0,000 (p<0,01) berarti ada hubungan negatif antara agresivitas dengan kepatuhan terhadap

Apa yang dapat disimpulkan daripada perbincangan di atas ialah masih wujud konflik bidang kuasa antara Mahkamah Sivil dan Mahkamah Syariah dalam membicarakan

a) Apakah dengan merek Toyota yang dikenal sebagai produk mobil berkualitas memberikan penjualan signifikan yang tinggi terhadap angka penjualan New Avanza. b) Apakah karena