• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Proses Perendaman Dan Pengukusan Untuk Meningkatkan Mutu Beras Pratanak Pada Beberapa Varietas Gabah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Proses Perendaman Dan Pengukusan Untuk Meningkatkan Mutu Beras Pratanak Pada Beberapa Varietas Gabah"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN PROSES PERENDAMAN DAN PENGUKUSAN

UNTUK MENINGKATKAN MUTU BERAS PRATANAK

PADA BEBERAPA VARIETAS GABAH

ESA GHANIM FADHALLAH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Proses Perendaman dan Pengukusan untuk Meningkatkan Mutu Beras Pratanak pada Beberapa Varietas Gabah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, April 2016

(4)
(5)

RINGKASAN

ESA GHANIM FADHALLAH. Kajian Proses Perendaman dan Pengukusan untuk Meningkatkan Mutu Beras Pratanak pada Beberapa Varietas Gabah. Dibimbing oleh ROKHANI HASBULLAH dan LILIK PUJANTORO EKO NUGROHO.

Beras didapatkan dari proses penggilingan dan penyosohan dengan membuang sekam dan lapisan aleuron pada gabah. Hal tersebut menyebabkan penurunan nutrisi dan tingginya kadar karbohidrat pada beras sosoh. Konsumsi pangan dengan kadar karbohidrat tinggi dapat beresiko menyebabkan penyakit diabetes mellitus. Salah satu solusi mengatasi penyakit tersebut adalah mengonsumsi makanan dengan indeks glikemik rendah. Beras pratanak diketahui memiliki indeks glikemik rendah. Pengolahan beras pratanak diawali dengan perendaman dan pengukusan dimana proses tersebut dapat mempengaruhi mutu beras pratanak. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh suhu dan waktu perendaman terhadap kadar air gabah dan mengkaji pengaruh lama pengukusan terhadap mutu fisik, komposisi kimia dan indeks glikemik beras pratanak.

Penelitian ini terdiri atas dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Pada penelitian pendahuluan dilakukan proses perendaman satu varietas gabah pada suhu 30 dan 60 oC selama 8 jam dan pengukuran kadar air setiap 1 jam. Pada penelitian utama digunakan tiga varietas gabah yaitu Ciherang, IR42, dan IR64. Pengolahan beras pratanak dilakukan melalui proses perendaman, pengukusan pada suhu 100 oC selama 20 dan 30 menit, pengeringan, penggilingan, dan penyosohan. Beras pratanak yang didapatkan kemudian dianalisis rendemen giling, mutu fisik, analisis proksimat dan indeks glikemik. Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian pendahuluan adalah Rancangan Acak Lengkap yang menggunakan perlakuan dua suhu (30 oC dan 60 oC). Pada penelitian utama digunakan Rancangan Acak Kelompok pada analisis rendemen giling dan mutu fisik, dimana sebagai kelompok adalah tiga varietas gabah dan perlakuan adalah lama pengukusan (20 dan 30 menit). Pada analisis proksimat dan indeks glikemik digunakan Rancangan Acak Lengkap dengan perlakuan lama pengukusan.

Kondisi perendaman terpilih adalah perendaman gabah pada suhu 60 oC selama 4 jam. Rendemen giling beras pratanak secara signifikan lebih tinggi dibandingkan beras kontrol. Rendemen butir kepala beras pratanak varietas Ciherang dan IR64 secara signifikan lebih tinggi dibandingkan beras kontrol. Rendemen giling dan mutu fisik beras pratanak pengukusan 20 menit tidak berbeda nyata dengan pengukusan 30 menit. Kadar lemak dan protein beras pratanak varietas Ciherang secara signifikan lebih tinggi dibandingkan beras kontrol, dan kadar karbohidrat beras pratanak secara signifikan lebih rendah dibandingkan beras kontrol. Semakin lama pengukusan secara signifikan menurunkan kadar lemak dan protein beras pratanak. Pengukusan yang lebih lama

tidak mempengaruhi kadar karbohidrat beras pratanak. Pengukusan selama 20 menit menghasilkan indeks glikemik beras terendah.

(6)

SUMMARY

ESA GHANIM FADHALLAH. Study of Soaking and Steaming Process to Improves Parboiled Rice Quality of Some Paddy Varieties. Supervised by ROKHANI HASBULLAH and LILIK PUJANTORO EKO NUGROHO.

Rice obtained from milling and polishing process by removing husk and aleurone of paddy. Aleurone layer removal causes reduction in nutrients and produce milled rice with high carbohydrate content. Consumption of food with high carbohydrate content may cause diabetes mellitus. Solution to solve this problem is consuming foods with low glycemic index. Parboiled rice was known have a low glycemic index. Parboiled rice processing begins with soaking and steaming. These processes can affect the quality of parboiled rice. Objective of this research was to study the effects of soaking time and temperature on paddy moisture content and study the effects of steaming duration on the physical quality, chemical composition and glycemix index of parboiled rice.

This research included of two phases, the preliminary research and the main research. Soaking one paddy variety at 30 oC and 60 oC for 8 hours and moisture measurement every 1 hour conducted on the preliminary research. Three varieties of paddy (Ciherang, IR42, IR64) used in the main research. Parboiled rice processing done by soaking, steaming at 100 oC for 20 and 30 minutes, drying, milling, and polishing. Parboiled rice then analyzed on milling yield, physical properties, proximate analysis and glycemic index. Experimental design used in the preliminary research was Completely Randomized Design with two temperature treatments (30 oC and 60 oC). Randomized Block Design used in the main research on milling yield and physical properties analysis, which as group were three varieties of paddy and as treatment were two steaming durations (20 and 30 minutes). Completely Randomized Design used on the proximate and glycemic index analysis with two steaming duration treatments.

Soaking condition selected from preliminary research was soaking grain for 4 hours at 60 oC. Milling yield of parboiled rice was significantly higher than milled rice. Head rice yield of parboiled rice from Ciherang and IR64 was significantly higher than milled rice. Milling yield and physical quality of parboiled rice from 20 minutes steaming was not significantly different from 30 minutes steaming. Fat and protein content of parboiled rice from Ciherang variety was significantly higher than milled rice, and carbohydrate content of parboiled rice was significantly lower than milled rice. The longer steaming duration was significantly decrease fat and protein content. Steaming duration did not significantly affect carbohydrate content. Steaming for 20 minutes produced the lowest glycemic index.

(7)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(8)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Teknologi Pascapanen

KAJIAN PROSES PERENDAMAN DAN PENGUKUSAN

UNTUK MENINGKATKAN MUTU BERAS PRATANAK

PADA BEBERAPA VARIETAS GABAH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(9)
(10)

Judul Tesis : Kajian Proses Perendaman dan Pengukusan untuk Meningkatkan Mutu Beras Pratanak pada Beberapa Varietas Gabah

Nama : Esa Ghanim Fadhallah NIM : F152140101

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Rokhani Hasbullah, MSi Ketua

Dr Ir Lilik Pujantoro Eko Nugroho, MAgr Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Teknologi Pascapanen

Prof Dr Ir Sutrisno, MAgr

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 23 Maret 2016

(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segenap limpahan karunia dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Kajian Proses Perendaman dan Pengukusan untuk Meningkatkan Mutu Beras Pratanak pada Beberapa Varietas Gabah”. Penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains (MSi) pada Program Studi Teknologi Pascapanen, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Rokhani Hasbullah MSi dan

Dr Ir Lilik Pujantoro Eko Nugroho MAgr sebagai Komisi Pembimbing, Prof Dr Ir Sugiyono MAppSc sebagai Penguji Luar Komisi, serta Prof Dr Ir Sutrisno MAgr sebagai Ketua Program Studi Teknologi Pascapanen

yang telah banyak memberi saran, arahan dan masukan kepada penulis. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada kedua orang tua, adik, dan keluarga atas segala doa dan dukungannya. Selain itu penulis ucapkan terima kasih kepada pihak yang membantu selama penelitian terutama Bapak Hj Eman, Bapak Ahmad Jumadi, Deny Saputro, Muhamad Mirwan Islamy, Daniar Alfian Rifaldi, Maya Sofia, serta segenap teman-teman program studi Teknologi Pascapanen 2014 atas semangat dan dukungannya.

Kesempurnaan penelitian ini pastinya tidak terlepas dari segala kritik dan saran yang membangun dari semua pihak. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkan.

Bogor, April 2016

(12)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR GAMBAR ix

DAFTAR LAMPIRAN ix

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 3

Hipotesis Penelitian 3

2 TINJAUAN PUSTAKA 3

Beras 3

Pengolahan Beras Pratanak 5

Indeks Glikemik 6

3 METODE 8

Waktu dan Tempat Penelitian 8

Bahan 8

Alat 8

Prosedur Penelitian 9

Prosedur Analisis Data 10

Rancangan Percobaan 12

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 13

Pengaruh Perendaman terhadap Kadar Air Gabah 13

Rendemen Giling Beras Pratanak 15

Mutu Fisik Beras Pratanak 16

Analisis Proksimat Beras Pratanak 18

Indeks Glikemik Beras Pratanak 21

5 SIMPULAN DAN SARAN 23

Simpulan 23

Saran 24

DAFTAR PUSTAKA 24

LAMPIRAN 30

(13)

DAFTAR TABEL

1 Komposisi kimia beras dan bagiannya 4

2 Spesifikasi persyaratan mutu fisik beras 5

3 Klasifikasi indeks glikemik pangan 7

4 Rendemen giling beras pratanak 15

5 Mutu fisik beras pratanak 16

6 Hasil analisis proksimat beras pratanak varietas Ciherang 18

DAFTAR GAMBAR

1 Struktur bagian gabah 4

2 Diagram alir prosedur penelitian 10

3 Kadar air gabah varietas Ciherang selama perendaman 13 4 Indeks glikemik beras pratanak varietas Ciherang 21

DAFTAR LAMPIRAN

1 Analisis ragam kadar air gabah selama perendaman 31 2 Uji lanjut Duncan kadar air gabah selama perendaman 31 3 Analisis ragam rendemen giling beras pratanak 31 4 Uji lanjut Duncan rendemen giling beras pratanak 31

5 Analisis ragam mutu fisik beras pratanak 32

6 Uji lanjut Duncan mutu fisik beras pratanak 32

7 Analisis ragam uji proksimat beras pratanak varietas Ciherang 32 8 Uji lanjut Duncan uji proksimat beras pratanak varietas Ciherang 33 9 Analisis ragam indeks glikemik beras pratanak varietas Ciherang 33 10 Uji lanjut Duncan indeks glikemik beras pratanak varietas Ciherang 33 11 Dokumentasi peralatan pengolahan beras pratanak 34

12 Dokumentasi proses pembuatan beras pratanak 35

(14)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Beras (Oryza sativa) merupakan makanan pokok yang penting bagi hampir setengah dari populasi dunia (Ghadge dan Prasad 2012). Data FAOSTAT (2013) menunjukkan bahwa produksi beras di dunia sebesar 718 juta ton dimana lebih dari 90% berasal dari Asia. Indonesia tercatat sebagai negara penghasil beras

terbesar ke-3 di dunia dengan volume produksi pada tahun 2013 mencapai 69 juta ton (Kementerian Pertanian 2014).

Beras didapatkan dari proses penggilingan padi dimana padi dipanen pada kondisi biji beras yang masih tertutup oleh sekam padi. Proses penggilingan padi dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan beras dengan membuang sekam padi dan dedak yang menutupinya (Wimberly 1983). Dedak padi mengandung beberapa zat gizi penting seperti mineral, lemak, protein dan vitamin B (Rosniyana et al. 2009; Rohman et al. 2014), sehingga apabila terbuang akan mengakibatkan penurunan nutrisi pada beras dan akan dihasilkan kadar karbohidrat dalam jumlah yang tinggi pada beras sosoh (Roy et al. 2008). Konsumsi beras dengan kandungan karbohidrat yang tinggi telah diketahui menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah, sehingga pangan jenis ini digolongkan pada pangan yang memiliki indeks glikemik yang tinggi (Augustin et al. 2002; Robert et al. 2008).

Fatema et al. (2010) mengemukakan indeks glikemik merupakan indikator dari potensi peningkatan gula darah dari makanan yang mengandung karbohidrat. Pangan yang mampu meningkatkan gula darah dengan cepat diketahui memiliki indeks glikemik yang tinggi (Rimbawan dan Siagian 2004). Konsumsi makanan dengan indeks glikemik tinggi dapat memicu timbulnya beberapa penyakit seperti diabetes mellitus (Pathiraje et al. 2010), obesitas, kanker dan penyakit kardiovaskuler (Wordu dan Banigo 2013). Perkembangan penyakit tersebut telah dilaporkan berkaitan dengan asupan makanan yang memiliki indeks glikemik yang tinggi (Ludwig 2002). Pencegahan permasalahan tersebut dapat dilakukan dengan cara mengatur pola konsumsi yaitu dengan mengkonsumsi makanan dengan indeks glikemik yang rendah. Srinivasa et al. (2013) telah melaporkan bahwa makanan dengan indeks glikemik rendah dapat membantu meningkatkan kontrol glikemik pada penderita diabetes. Salah satu jenis makanan dengan indeks glikemik yang rendah dan cocok untuk dikonsumsi oleh penderita diabetes adalah beras pratanak.

Beras pratanak atau biasa disebut parboiled rice, merupakan beras yang dihasilkan dari gabah yang telah mengalami penanakan secara parsial. Ayamdoo et al. (2013) mengemukakan bahwa proses pengolahan beras pratanak meliputi pembersihan gabah, perendaman, pengukusan, pengeringan,

penggilingan, sortasi dan pengemasan. Pada proses tersebut, Widowati et al. (2009) menyebutkan bahwa pengolahan beras pratanak

(15)

2

akibat adanya proses gelatinisasi pati (Gariboldi 1984). Ejebe et al. (2015) menambahkan bahwa proses pratanak juga bertujuan untuk mengurangi keretakan/kerapuhan pada butir beras yang terdapat sebelumnya di dalam gabah ketika dipanen, sehingga dengan adanya proses ini akan meningkatkan mutu fisik beras yang dihasilkan.

Buggenhout et al. (2013) menyebutkan bahwa proses pengolahan beras pratanak dapat memperbaiki mutu fisik beras giling dengan menghasilkan rendemen butir kepala yang tinggi dan meminimalkan rendemen butir patah. Hasil penelitian Miah et al. (2002a) menunjukkan bahwa proses pratanak dapat menurunkan rendemen butir patah dari 12% menjadi 0.6%. Hasil penelitian Sareepuang et al. (2008) menunjukkan bahwa proses pratanak dapat meningkatkan rendemen butir kepala dari 51% menjadi 60-85%. Proses pengukusan sebagai salah satu tahapan penting dalam pengolahan beras pratanak diketahui dapat meningkatkan kandungan gizi. Fonseca et al. (2014) melaporkan adanya peningkatan gizi dari beras pratanak, yaitu kadar abu dari 0.56% menjadi 0.89%; kadar protein dari 10.90% menjadi 11.07%; kadar lemak dari 0.55% menjadi 1.00%; kadar amilosa dari 24.80% menjadi 25.50% dan serat pangan dari 0.30% menjadi 0.49%, dengan perlakuan perendaman gabah pada suhu 58 oC selama 4 jam dan pengukusan pada suhu 120 oC selama 10 menit.

Atkinson et al. (2008) melaporkan bahwa beras yang dihasilkan dari proses pratanak diketahui memiliki indeks glikemik yang rendah. Penelitian mengenai proses pratanak pada beberapa varietas gabah sudah pernah dilakukan. Hasil penelitian Widowati et al. (2009) menunjukkan bahwa proses pratanak dapat menurunkan indeks glikemik beras varietas IR 42 sebesar 32.40% dari

68.52 menjadi 46.32, varietas Batang Lembang sebesar 27.06% dari 63.50 menjadi 46.32, dan varietas Ciherang sebesar 18.76% dari 54.43 menjadi

44.22. Hasil penelitian Akhyar (2009) menunjukkan bahwa proses pratanak dapat menurunkan indeks glikemik beras varietas IR 42 sebesar 20.55% dari 58.30 menjadi 46.32 dan varietas Batang Lembang sebesar 14.30% dari 54.05 menjadi 46.32. Berdasarkan hasil penelitian tersebut proses pratanak dapat menurunkan indeks glikemik beras sehingga cocok untuk dikonsumsi penderita diabetes dalam rangka menurunkan kadar glukosa darah.

Kondisi optimum pengolahan beras pratanak khususnya proses pengukusan hingga saat ini masih terus dilakukan untuk mendapatkan mutu beras pratanak yang diinginkan. Selain itu, belum banyak hasil penelitian mengenai pengaruh durasi waktu pengukusan terhadap komposisi gizi dan indeks glikemik. Oleh karena itu, sebagai salah satu usaha untuk mendapatkan beras dengan gizi yang tinggi, indeks glikemik yang rendah dan meningkatkan rendemen butir kepala, maka penelitian ini menjadi sangat penting untuk dilakukan.

Perumusan Masalah

(16)

3 dikonsumsi. Hal ini yang menyebabkan jumlah konsumsi beras atau nasi dibatasi untuk suatu terapi diet terhadap penderita diabetes mellitus.

Solusi yang pernah ditawarkan sebelumnya adalah melakukan diet terhadap makanan yang akan dikonsumsi terutama terhadap nasi dengan menggantinya dengan sumber karbohidrat lain, seperti umbi-umbian. Namun umbi-umbian tidak selalu memiliki indeks glikemik yang rendah, tergantung jenis, varietas dan cara pengolahannya. Permasalahan tingginya indeks glikemik pada beras dapat ditangani dengan melakukan pengolahan pratanak pada gabah untuk menghasilkan beras pratanak. Beras pratanak memiliki nilai indeks glikemik rendah (Widowati et al. 2009) sehingga aman untuk dikonsumsi bagi penderita diabetes.

Proses pengolahan beras pratanak dengan perendaman dan pengukusan gabah menyebabkan nutrisi pada aleuron terserap ke dalam butiran beras sehingga beras memiliki kandungan gizi yang lebih tinggi dibandingkan beras biasa (Gariboldi 1984). Kandungan gizi beras pratanak mencapai 80% mirip dengan beras pecah kulit (Fonseca et al. 2014). Selain mempengaruhi kandungan gizi, pengolahan beras pratanak dapat memperbaiki mutu pascapanen beras. Pengolahan pratanak diketahui dapat meningkatkan rendemen butir kepala dan meminimalkan rendemen butir patah (Miah et al. 2002a; Sareepuang et al. 2008). Oleh karena itu pengolahan beras pratanak bermanfaat untuk memperbaiki mutu pasca panen beras dan menyediakan pangan alternatif bagi penderita diabetes.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mengkaji pengaruh suhu dan waktu perendaman terhadap kadar air gabah dan mengkaji pengaruh lama pengukusan terhadap sifat fisik, komposisi kimia dan indeks glikemik beras pratanak.

Hipotesis Penelitian Hipotesis pada penelitian ini adalah:

a) Proses pratanak dapat meningkatkan rendemen giling, mutu fisik dan mutu gizi serta menurunkan indeks glikemik beras pratanak

b) Lama pengukusan berpengaruh terhadap rendemen giling, mutu fisik dan komposisi kimia serta menurunkan indeks glikemik beras pratanak

2 TINJAUAN PUSTAKA

Beras

(17)

4

namun bagian sekamnya telah dibuang dengan penggilingan. Beras pecah kulit umumnya memiliki warna yang kurang disukai sehingga harus dilakukan penyosohan dengan membuang lapisan aleuron untuk mendapatkan beras dengan warna putih (Haryadi 2008). Struktur bagian dari gabah disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Struktur bagian gabah

Sumber: Britannica (2015)

Bagian beras yang diperoleh setelah proses penyosohan disebut beras sosoh yang mengandung sekitar 78% karbohidrat dan 7% protein. Kandungan tersebut tidak tersebar merata pada seluruh bagian beras. Bagian terbesar karbohidrat dalam beras ialah pati dan hanya sebagian kecil pentosan, selulosa, hemiselulosa dan gula. Antara 85-90% dari berat kering beras berupa pati. Kandungan pentosan berkisar 2.0-2.5% dan gula 0.6-1.4% dari berat beras pecah kulit (Haryadi 2008). Kandungan gizi lain seperti protein, lemak, abu dan serat kasar pada beras sosoh umunya lebih kecil dibandingkan beras pecah kulit maupun bagian lainnya seperti sekam, dedak/bekatul (lapisan aleuron), dan lembaga/embrio. Bagian yang kaya akan protein dan lemak adalah aleuron dan lembaga, sedangkan bagian yang kaya akan abu dan serat adalah sekam. Bagian-bagian tersebut apabila terbuang maka menyebabkan beras sosoh memiliki sedikit nutrisi dan kandungan karbohidrat yang tinggi (Bhattacharya 2004). Komposisi kimia beras dan bagian-bagiannya (pada kadar air 14%) disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi kimia beras dan bagiannya

Komposisi kimia Beras 3-5 µm. Pati beras terdiri atas rangkaian satuan-satuan α-D-glukosa, yang terdiri atas dua fraksi utama, yaitu amilosa dan amilopektin. Amilosa merupakan fraksi pati berantai lurus, sedangkan amilosa merupakan fraksi pati berantai cabang. Ikatan antarsatuan glukosa yang utama adalah 1,4-α-glukosidik, tetapi pada amilopektin selain 1,4-α-glukosidik terdapat juga percabangan dengan ikatan

Sekam

Aleuron Endosperm

(18)

5 1,6-α-glukosidik. Titik-titik percabangan tersebut dalam jumlah 4-5% atau panjang rantainya rata-rata 20-28 satuan anhidroglukosa (Haryadi 2008). Beras yang memiliki kadar amilosa rendah (<20%) umumnya lebih disukai karena memiliki tekstur pulen, sedangkan beras dengan kadar amilosa tinggi (>25%) memiliki tekstur pera (Bhattacharya 2004). Kandungan amilosa berkorelasi positif dengan aroma nasi dan berkorelasi negatif dengan tingkat kelunakan, kelekatan, warna dan kilap (Haryadi 2008).

Mutu beras umumnya ditinjau dari mutu fisik. Menurut BSN (2008) mutu fisik meliputi butir kepala, butir patah, butir menir, butir merah, butir kuning (rusak), butir mengapur, butir asing dan butir gabah. Mutu fisik beras tersebut dapat diklasifikasikan kedalam lima kelas mutu. Mutu fisik utama ditinjau dari rendemen butir kepala karena beras dengan butir kepala yang tinggi umumnya memiliki harga yang lebih tinggi di pasar dan lebih dipilih oleh konsumen, dibandingkan dengan beras yang lebih tinggi butir menir maupun butir patahnya. Mutu fisik beras menurut BSN (2008) disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Spesifikasi persyaratan mutu fisik beras

No Komponen mutu Satuan Mutu

Beras pratanak atau biasa disebut parboiled rice, merupakan beras yang dihasilkan dari gabah yang telah mengalami penanakan secara parsial. Ayamdoo et al. (2013) mengemukakan bahwa proses pengolahan beras pratanak

meliputi tahapan penting yaitu perendaman dan pengukusan. Gabah yang telah mengalami proses pratanak akan lebih awet dan dapat

mencegah perkecambahan. Proses pembuatan beras pratanak diawali dari proses pembersihan gabah. Ayamdoo et al. (2013) mengemukakan bahwa proses pencucian dapat dilakukan dengan merendam gabah di dalam air dan mengaduknya hingga kotoran terpisah. Tujuan proses pencucian ini adalah untuk menghilangkan kotoran dan benda asing yang ditemukan di beras. Setelah proses pencucian selesai selanjutnya dilakukan proses perendaman dan pengukusan.

(19)

6

rendah dan suhu tinggi, namun perendaman pada suhu rendah akan membutuhkan air yang banyak dan waktu yang lebih lama. Pada suhu rendah, penyerapan air pada gabah terjadi secara lambat dan akhirnya berada pada titik keseimbangan pada kadar air 30%. Pada suhu tinggi, sebaliknya, laju penyerapan air meningkat secara eksponensial karena pati mulai tergelatinisasi sehingga menyebabkan penyerapan air untuk terus berlanjut. Selanjutnya, apabila kadar air gabah melebihi 30-32% akan menyebabkan kulit sekam menjadi terbelah karena tidak mampu menahan endosperm yang tergelatinisasi, yang mengakibatkan lonjakan penyerapan air. Apabila penyerapan air berlebihan akan terjadi melarutnya

(leaching) komponen gizi keluar gabah dan deformasi dari gabah (Bhattcharya 2004).

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa proses perendaman dapat mempengaruhi mutu beras pratanak. Sareepuang et al. (2008) melaporkan bahwa perendaman pada suhu 50 oC selama 3 jam dapat memberikan kualitas yang paling baik dari beras pratanak dalam hal kualitas gizi dan sifat sensori. Proses perendaman juga telah diketahui dapat meningkatkan rendemen giling dan gizi dari beras pratanak. Hasbullah dan Pramita (2013) melaporkan perendaman pada durasi yang berbeda (4, 6 dan 8 jam) mampu meningkatkan rendemen giling dari 69.17% menjadi 70.71-70.73%; kadar abu dari 0.53% menjadi 0.73-0.78%; kadar

lemak dari 0.66% menjadi 0.78%; dan kadar protein dari 7.72% menjadi 8.10-8.69%.

Proses pengukusan merupakan tahapan penting selain proses perendaman dalam pengolahan beras pratanak. Proses pengukusan bertujuan untuk melunakkan struktur sel-sel pati endosperm sehingga tekstur granula pati endosperm menjadi seperti pasta akibat proses gelatinisasi. Pengukusan dilakukan dengan menggunakan uap panas dan suhu tinggi serta tekanan yang rendah agar gelatinisasi pati dari gabah tercapai (Gariboldi 1984). Proses ini meliputi pemutusan ikatan hidrogen dan pengembangan granula pati. Gelatinisasi merupakan tahap awal perubahan-perubahan sifat fisik pati. Granula pati secara alami bersifat tidak larut dalam air, namun dapat menjadi larut dalam air bila suspensi pati dipanaskan di atas suhu gelatinisasinya. Bila pati disuspensikan dalam air yang berlebih dan dipanaskan pada suhu dan waktu tertentu, maka granula pati secara berangsur-angsur mengalami perubahan yang bersifat

irreversible, artinya tidak dapat kembali pada kondisi granula semula (Haryadi 2008).

Gelatinisasi pati ditandai dengan terjadinya pembengkakan (swelling) granula pati, peluruhan (melting) dari bagian kristalit, peningkatan viskositas dan peningkatan kelarutan pati. Pemanasan pati pada suhu 65 oC menyebabkan granula pati mulai mengembang dan menyerap air dalam jumlah banyak sehingga bersifat tidak dapat balik. Akhirnya terjadi pengembangan yang lebih besar lagi, terjadi pelarutan amilosa fraksi rendah dan selanjutnya terjadi pemecahan granula pati yang kemudian tersebar merata (Haryadi 2008).

Indeks Glikemik

(20)

7 kadar indeks glikemik yang tinggi. Karbohidrat dalam pangan yang dipecah dengan cepat selama pencernaan memiliki indeks glikemik tinggi. Respon glukosa darah terhadap jenis pangan ini cepat dan tinggi. Dengan kata lain, glukosa dalam aliran darah meningkat dengan cepat. Sebaliknya, karbohidrat yang dipecah dengan lambat memiliki indeks glikemik rendah sehingga melepaskan glukosa ke dalam darah dengan lambat. Indeks glukosa murni ditetapkan 100 dan digunakan sebagai acuan penentu indeks glikemik pangan lain (Rimbawan dan Siagian 2004). Klasifikasi indeks glikemik pada pangan disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Klasifikasi indeks glikemik pangan

Indeks glikemik dapat dikaitkan dengan berbagai isu kesehatan seperti diabetes, obesitas dan penyakit jantung koroner. Pangan dengan indeks glikemik tinggi menyebabkan pengeluaran insulin dalam jumlah besar sebagai akibat dari kenaikan gula darah yang tinggi dan cepat. Hal tersebut akan menyebabkan peningkatkan rasa lapar setelah makan dan penumpukan lemak pada jaringan adiposa tubuh. Penderita diabetes dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan yang mengandung indeks glikemik yang rendah sehingga membantu kontrol kadar gula darah dalam tubuh. Konsumsi makanan yang memiliki indeks glikemik rendah akan meningkatkan sensitivitas insulin dalam pankreas (Ragnhild et al. 2004).

Faktor yang mempengaruhi kadar indeks glikemik pada pangan salah satunya adalah proses pengolahan (tingkat gelatinisasi pati dan ukuran partikel), kadar amilosa dan kadar amilopektin, kadar protein, kadar lemak, serta kadar zat anti-gizi pangan (Rimbawan dan Siagian 2004). Rimbawan (2006) menjelaskan bahwa gelatinisasi pati sempurna menyebabkan mengembangnya pati sehingga luas permukaan semakin besar untuk kontak dengan enzim pencernaan. Semakin luas permukaan dan semakin cepat kontak granula pati yang mengembang dengan enzim akan dengan cepat meningkatkan kadar gula dalam darah. Bahan pangan dengan kadar amilosa yang tinggi memiliki indeks glikemik rendah karena dengan kandungan amilosa yang tinggi menjadikan bahan pangan lebih sulit dicerna. Bahan pangan dengan kadar serat pangan, kadar lemak dan protein yang tinggi cenderung memiliki indeks glikemik rendah karena pengaruhnya terhadap memperlambat pencernaan dan pengosongan lambung. Pangan yang memiliki zat anti-gizi atau zat yang mampu menghambat pencernaan pati seperti pitat dan tannin dapat memperlambat pencernaan karbohidrat di dalam usus sehingga indeks glikemik pangan rendah.

(21)

8

Batang Lembang sebesar 14.30% melalui pengukusan selama 20 menit. Rohman et al. (2014) menyebutkan bahwa proses pratanak dapat menurunkan indeks glikemik melalui penyerapan aleuron ke dalam butir beras pada proses pengukusan. Penyerapan tersebut mempengaruhi kandungan gizi pada butir beras dengan menurunkan kandungan karbohidrat secara relatif.

Parvin et al. (2009) melaporkan bahwa kadar amilosa pada pangan juga diketahui dapat mempengaruhi nilai indeks glikemik. Widowati et al. (2009) mengemukakan bahwa kadar amilosa yang tinggi dapat menurunkan indeks glikemik, sebaliknya kadar amilosa yang rendah dapat meningkatkan indeks glikemik. Pengaruh amilosa terhadap respon glikemik dapat dijelaskan melalui struktur pati. Granula pati yang kaya akan amilosa dan memiliki stuktur yang linier sehingga membatasi derajat pengembangan (swelling) dan gelatinisasi pati selama proses pemanasan, sehingga memperlambat laju pencernaan dan penyerapan pati (Parvin et al. 2009).

3 METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Agustus-Desember 2015. Penelitian bertempat di Penggilingan Padi Sinar Jati, Cirebon, Laboratorium Lingkungan dan Bangunan Pertanian dan Laboratorium Lapang Siswadhi Soepardjo, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, serta Laboratorium Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Bogor.

Bahan

Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah gabah (varietas Ciherang, IR64, dan IR42) yang diperoleh dari Penggilingan Padi Sinar Jati, Cirebon. Bahan lain yang digunakan adalah bahan kimia untuk analisis proksimat (heksana, akuades, K2SO4, HgO, H2SO4, NaOH, H3BO3 dan HCl).

Alat

Peralatan yang digunakan meliputi unit pengolahan beras pratanak (bak perendaman gabah, tangki pengukusan gabah, boiler), lantai jemur, mesin

(22)

9 Prosedur Penelitian

Penelitian ini dibagi menjadi dua tahap yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Pada penelitian pendahuluan dilakukan perendaman gabah pada suhu air yang berbeda. Tujuan penelitian pendahuluan adalah untuk menentukan suhu dan waktu perendaman yang dibutuhkan hingga kadar air gabah mencapai 25-30%. Pada penelitian pendahuluan ini digunakan Gabah Kering Giling dari satu varietas gabah (Ciherang) dengan asumsi varietas gabah tidak berpengaruh terhadap penyerapan kadar air pada gabah. Kecepatan penyerapan air gabah lebih dipengaruhi oleh suhu air yang digunakan saat perendaman dimana semakin tinggi suhu maka semakin cepat kadar air meningkat (Akhyar 2009). Bhattacharya (2004) melaporkan laju peningkatan kadar air pada gabah dari berbagai varietas pada saat perendaman secara signifikan tidak berbeda nyata.

Gabah pertama-tama ditimbang sebanyak 100 g dan dimasukkan ke dalam beaker glass yang berisi 300 ml air untuk proses perendaman. Selanjutnya beaker glass ditempatkan pada water bath untuk diberikan perlakuan suhu perendaman, yaitu 30 oC dan 60 oC (Miah et al. 2002a; Hasbullah dan Pramita 2013). Setiap 1 jam selama 8 jam perendaman, gabah diambil untuk diukur kadar airnya menggunakan moisture tester. Perlakuan suhu perendaman dengan waktu tercepat dalam mencapai kadar air gabah sebesar 25-30% dipilih sebagai kondisi perendaman gabah dalam proses pembuatan beras pratanak pada penelitian utama. Tahapan pada penelitian utama yaitu proses pembuatan beras pratanak (Widowati et al. 2009), analisis rendemen giling, mutu fisik beras (BSN 2008), analisis proksimat beras pratanak (AOAC 2005) dan indeks glikemik (El 1999). Pada penelitian utama digunakan tiga varietas gabah, yaitu varietas Ciherang, IR42 dan IR64. Gabah sebanyak 100 kg direndam di dalam bak perendaman pada suhu dan lama waktu sesuai hasil penelitian pendahuluan. Gabah selanjutnya dikukus dalam tangki pengukusan yang dibagi ke dalam dua bagian dengan perlakuan lama pengukusan yang berbeda, yaitu selama 20 menit dan 30 menit. Suhu uap selama pengukusan sebesar 100.9 oC dan suhu gabah sebesar 99.1 oC dengan laju uap sebesar 81.7 kg/jam (Islamy 2016).Sebagai kontrol adalah gabah kering giling tanpa melalui proses pratanak. Setelah proses pengukusan selesai, selanjutnya gabah dikeringkan selama 1 hari hingga mencapai kadar air 13-14%. Gabah kemudian digiling dan disosoh dengan konfigurasi 2H-2P (dua kali pecah kulit dan dua kali sosoh) sehingga dihasilkan beras pratanak sosoh.

(23)

10

Gambar 2 Diagram alir prosedur penelitian Prosedur Analisis Data

Parameter yang diamati pada penelitian ini diantaranya rendemen giling, mutu fisik beras pratanak (meliputi rendemen butir kepala, butir patah, butir menir), analisis mutu gizi beras pratanak (kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat) dan indeks glikemik.

(a) Rendemen giling

Pengukuran rendemen beras pratanak dihitung berdasarkan perbandingan berat beras pratanak yang dihasilkan (B kg) terhadap berat awal gabah yang digunakan (A kg). Data persentase rendemen giling disajikan sebagai rata-rata dan standar deviasi dari tiga ulangan. Rendemen giling dihitung menggunakan rumus:

Rendemen (%) = (B/A) x 100%

(b) Analisis mutu fisik beras pratanak (BSN 2008)

Analisis sifat fisik beras pratanak mengacu pada SNI 01-6128: 2008. Beras pratanak yang telah dihasilkan ditimbang sebanyak 100 g (Wo). Kemudian

dipisahkan menjadi butir kepala (>2/3), butir patah (1/3-2/3) dan butir menir (<1/3)

menggunakan alat cylinder separator. Bobot dari masing-masing butir kepala (Wbk), butir patah (Wbp) dan butir menir (Wbm) tersebut selanjutnya ditimbang.

(24)

11

BK (%) =

BP (%) =

BM (%) =

(c) Analisis proksimat (AOAC 2005)

Mutu gizi dari beras pratanak yang dianalisis meliputi kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak dan kadar karbohidrat. Analisis kadar air dilakukan dengan metode gravimetri. Cawan yang telah diberi kode unik ditimbang di atas timbangan digital terlebih dahulu dan dicatat bobotnya sebagai bobot cawan (A). Beras pratanak dimasukkan ke dalam cawan sebanyak 2 g dan dicatat bobotnya sebagai bobot cawan dan beras awal (B). Cawan yang berisi beras pratanak selanjutnya dimasukkan ke dalam oven secara hati-hati, kemudian suhu diatur pada suhu 105 oC dan dikeringkan di dalam oven selama 3 jam. Setelah pengeringan cawan dimasukkan ke dalam desikator, cawan ditimbang dan dicatat bobotnya sebagai bobot cawan dan beras akhir (C). Data persentase kadar air disajikan sebagai rata-rata dan standar deviasi dari tiga ulangan. Kadar air (Kair)

beras pratanak dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:

Kair (%)

฀

 (BA)(CA) (BA)

x100%

Analisis kadar abu dilakukan dengan metode gravimetri. Beras ditimbang sebanyak 2 g (A), kemudian dimasukkan ke dalam cawan porselen yang telah dikeringkan dan diketahui beratnya (B). Cawan yang berisi sampel kemudian dimasukkan ke dalam tanur pengabuan untuk diabukan pada suhu 450-550 oC selama 2 jam. Cawan selanjutnya didinginkan dalam desikator dan ditimbang beratnya (C). Data persentase kadar abu disajikan sebagai rata-rata dan standar deviasi dari tiga ulangan. Kadar abu (Kabu) beras pratanak dihitung menggunakan

rumus sebagai berikut:

Analisis kadar protein dilakukan dengan metode Kjeldahl melalui tahap destruksi, destilasi dan titrasi. Beras ditimbang sebanyak 0.2 g (Wo), kemudian

dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 100 ml lalu ditambahkan 2 g K2SO4,

40 mg HgO dan 2.5 ml H2SO4 pekat. Setelah itu dilakukan destruksi selama

30 menit hingga cairan berwarna hijau jernih dan dibiarkan sampai dingin. Selanjutnya ditambahkan 35 ml akuades dan 10 ml NaOH pekat hingga cairan berwarna coklat kehitaman. Hasil destruksi ditampung dalam erlenmeyer 125 ml yang berisi H3BO3 dan indikator, lalu dititrasi dengan HCl 0.02 N. Titrasi

dihentikan hingga cairan berubah menjadi warna merah muda dan dihitung jumlah tetesannya untuk sampel (VHS) dan blanko (VHB). Sampel larutan blangko

(25)

12

N (%) = KP (%) = N FK

Analisis kadar lemak dilakukan dengan metode Soxhlet. Labu lemak yang akan digunakan dikeringkan dalam oven bersuhu 100-110 oC, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang (W1). Beras ditimbang sebanyak 5 g (Wo) kemudian

dibungkus dengan kertas saring lalu dimasukkan ke dalam alat ekstraksi (soxhlet) yang berisi pelarut heksana. Refluks dilakukan selama 5 jam, kemudian pelarut yang ada di dalam labu lemak didestilasi. Labu lemak selanjutnya dipanaskan dalam oven pada suhu 100 oC hingga beratnya konstan untuk menguapkan pelarut (evaporasi). Setelah itu didinginkan dalam desikator dan ditimbang beratnya (W2).

Data persentase kadar lemak disajikan sebagai rata-rata dan standar deviasi dari tiga ulangan. Kadar lemak (KL) ditentukan dengan rumus:

KL (%) =

Analisis kadar karbohidrat (KK) dilakukan dengan by difference atau

dengan mengurangi 100% dengan kadar air, kadar abu, kadar lemak dan kadar protein. Data persentase kadar karbohidrat disajikan sebagai rata-rata dan standar deviasi dari tiga ulangan. Kadar karbohidrat dihitung menggunakan rumus:

KK (%) =100% – (%KA+%KB+%KP+%KL)

(d) Indeks glikemik (El 1999)

Pengujian indeks glikemik (IG) menggunakan subjek sebanyak 10 orang dengan kriteria individu normal dan tidak sedang menderita diabetes. Subjek diharuskan menjalani puasa secara penuh (kecuali air putih) selama satu malam. Keesokan harinya, dilakukan pengukuran kadar glukosa darah puasa. Selanjutnya subjek diminta untuk mengonsumsi pangan uji, yang mengandung 50 g karbohidrat. Selama dua jam setelah mengonsumsi pangan uji, sampel darah diambil sebanyak 50 μl (finger prick cappillary blood samples method) setiap 30 menit untuk diukur kadar glukosanya (pengukuran kadar glukosa menit ke-30, ke-60, ke-90 dan ke-120) menggunakan alat glukometer. Selang 3 hari, hal yang sama dilakukan dengan memberikan 50 g glukosa (pangan acuan berupa roti tawar) kepada subjek. Pengambilan darah dilakukan melalui pembuluh darah kapiler yang terdapat pada ujung jari tangan subjek. Pemilihan pembuluh darah kapiler didasari dari penelitian Ragnhild et al. (2004) yang menunjukkan bahwa darah yang diambil dari pembuluh kapiler memiliki variasi kadar glukosa darah yang lebih kecil dibandingkan darah yang diambil dari pembuluh vena.

Kadar glukosa darah (setiap waktu sampling) diplot pada dua sumbu, yaitu sumbu waktu (X) dan sumbu kadar glukosa darah (Y). Indeks glikemik ditentukan dengan membandingkan luas daerah di bawah kurva antara pangan yang diukur IG-nya dengan pangan acuan dikalikan 100.

Rancangan Percobaan

(26)

13 untuk analisis rendemen giling dan mutu fisik beras pratanak adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dimana perlakuan yang digunakan adalah lama pengukusan (pengukusan selama 20 menit, 30 menit, dan kontrol/tanpa proses pratanak) dan sebagai kelompok adalah tiga varietas gabah (Ciherang, IR42, IR64), sedangkan untuk analisis proksimat dan indeks glikemik beras pratanak menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan perlakuan lama pengukusan (20 menit, 30 menit, dan kontrol/tanpa proses pratanak).

Data dianalisis menggunakan analisis ragam (ANOVA) menggunakan software IBM SPSS v.23 untuk mengetahui pengaruh dari perlakuan. Jika dalam analisis ragam terdapat pengaruh nyata dari faktor perlakuan, maka analisis statistik dilanjutkan dengan Uji Duncan untuk melihat perbedaan pengaruh dari masing-masing perlakuan pada selang kepercayaan 95% atau pada nilai p = 0.05.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Perendaman terhadap Kadar Air Gabah

Pada penelitian pendahuluan digunakan gabah varietas Ciherang dengan perlakuan suhu perendaman yang berbeda, yaitu 30 oC dan 60 oC. Waktu tercepat untuk mencapai kadar air gabah 25-30% digunakan sebagai kondisi pada pembuatan beras pratanak pada penelitian utama. Miah et al. (2002a) melaporkan bahwa suhu perendaman yang lebih tinggi dapat mempercepat peningkatan kadar air. Hasil pengukuran kadar air selama perendaman disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3 Kadar air gabah varietas Ciherang selama perendaman pada suhu 30 oC (‒●‒) dan 60 oC (‒▲‒)

Berdasarkan hasil pengukuran kadar air yang tersaji pada Gambar 3, dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan peningkatan kadar air gabah pada suhu perendaman yang berbeda. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa suhu perendaman memberikan pengaruh terhadap kadar air gabah selama perendaman

(27)

14

(Lampiran 1). Perendaman gabah pada suhu 60 oC mampu mencapai kadar air gabah 25-30% dalam waktu 3-5 jam, sedangkan pada suhu 30 oC membutuhkan waktu 7 jam. Kadar air gabah mencapai 25.8±0.7% pada perlakuan suhu 60 oC selama 3 jam, sedangkan pada suhu 30 oC mencapai kadar air 25.8±0.1% selama 7 jam. Hal tersebut menunjukkan bahwa perendaman pada suhu 60 oC mampu meningkatkan kadar air gabah lebih cepat dibandingkan suhu 30 oC. Suhu air yang digunakan saat perendaman menentukan kecepatan peningkatan kadar air. Penggunaan suhu air yang lebih tinggi dapat mempercepat peningkatan kadar air. Hal ini diduga disebabkan oleh pengaruh suhu panas yang memicu terbukanya pori-pori sekam lebih besar sehingga air lebih banyak masuk ke dalam endosperm gabah. Mekanisme pergerakan air tersebut yang diduga menyebabkan kadar air gabah pada perendaman suhu 60 oC lebih tinggi dibandingkan perendaman suhu 30 oC pada waktu perendaman yang sama dalam penelitian ini. Hal tersebut lebih lanjut dijelaskan oleh Miah et al. (2002a) yang menyebutkan bahwa pada perendaman suhu panas memungkinkan terganggunya ikatan hidrogen dan melemahkan struktur misel dari granula pati, sehingga lebih banyak air yang menembus ke dalam endosperm.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Miah et al. (2002a) yang melakukan perendaman gabah pada suhu 25 oC dan 80 oC. Perendaman pada suhu yang lebih tinggi, yaitu 80 oC, menghasilkan peningkatan penyerapan air dimana selama dua jam menghasilkan kadar air 30.1%, sedangkan pada suhu 25 oC menghasilkan kadar air 18.8%. Miah et al. (2002a) menyatakan perendaman menggunakan air dingin membutuhkan air dalam jumlah banyak dan memakan waktu lebih lama dalam mencapai kadar air gabah untuk pengukusan. Bhattacharya (2004) melaporkan perendaman gabah pada suhu kamar (25 oC) membutuhkan waktu 36-72 jam untuk mencapai kadar air 30%. Perendaman yang terlalu lama memungkinkan tumbuhnya bakteri anaerob, bakteri asam laktat dan stafilokokus, sehingga menimbulkan aroma dan rasa yang tidak enak dari beras yang dihasilkan (Wimberly 1983). Berdasarkan hal tersebut maka perendaman pada suhu 60 oC dipilih untuk mempercepat proses perendaman dan menghindari penurunan mutu beras.

(28)

15 terbuka sehingga terjadi pelarutan (leaching) komponen gizi dan deformasi dari gabah yang dapat menurunkan mutu beras yang dihasilkan. Berdasarkan kajian-kajian tersebut, untuk menghasilkan mutu beras yang baik maka perendaman selama 4 jam pada suhu 60 oC dipilih sebagai kondisi perendaman terbaik untuk digunakan pada penelitian utama dalam pengolahan beras pratanak.

Rendemen Giling Beras Pratanak

Rendemen giling diperoleh dari hasil perbandingan antara berat beras pratanak hasil penggilingan dan penyosohan dengan berat gabah yang digunakan. Rendemen giling menyatakan banyaknya beras yang dihasilkan dan merupakan parameter penting yang berkaitan dengan keberhasilan dari suatu proses penggilingan. Graham-Acquaah et al. (2015) menyatakan bahwa lama pengukusan gabah berpengaruh terhadap rendemen giling yang dihasilkan. Hasil analisis rendemen giling dari beras pratanak yang dihasilkan melalui perbedaan lama waktu pengukusan disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Rendemen giling beras pratanak

Lama pengukusan Rendemen giling (%)

Varietas Ciherang Varietas IR42 Varietas IR64 20 menit 69.65±1.95 b 71.47±1.93 b 67.04±0.22 b 30 menit 71.48±0.55 b 71.86±0.89 b 67.24±0.44 b Kontrol 65.46±1.00 a 67.73±0.64 a 65.58±1.15 a Keterangan:

Angka diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata pada uji lanjut Duncan pada taraf 5%

Berdasarkan hasil yang tersaji pada Tabel 4 dapat diketahui bahwa beras yang diberi perlakuan pratanak memiliki rendemen giling lebih tinggi dibandingkan beras kontrol (tanpa perlakuan pratanak). Perlakuan lama pengukusan memberikan pengaruh terhadap rendemen giling beras pratanak (Lampiran 3). Rendemen giling pada pengukusan 20 menit tidak berbeda nyata dengan pengukusan 30 menit (Lampiran 4). Proses pengukusan dapat meningkatkan rendemen giling beras sebesar 2.23-9.19%. Hal tersebut menunjukkan bahwa proses pengukusan gabah dapat meningkatkan rendemen giling beras pratanak. Peningkatan rendemen giling beras pratanak disebabkan oleh proses pengukusan yang menyebabkan penyerapan bagian aleuron pada bagian endosperm. Haryadi (2008) menjelaskan bahwa gabah tersusun atas 64-74% endosperm, 18-20% sekam dan 7-8% lapisan aleuron. Proses perendaman dan pengukusan menyebabkan ikatan sel dalam beras menjadi lebih kuat sehingga pada proses penggilingan lebih tahan terhadap gesekan pada penggilingan dan penyosohan. Proses pengukusan menyebabkan gelatinisasi pada granula pati sehingga lapisan aleuron berdifusi ke bagian endosperm dan dapat meningkatkan kemampuan pengikatan (binding effect) (Gariboldi 1984) sehingga tekstur beras pratanak yang dihasilkan lebih kompak dan dapat meningkatkan rendemen giling. Widowati et al. (2009) menambahkan bahwa pelekatan komponen aleuron secara signifikan meningkatkan kandungan serat pangan sehingga butiran beras pratanak lebih kokoh dan tidak mudah patah saat penggilingan.

(29)

16

bahwa waktu pengukusan mempengaruhi rendemen giling dari beras pratanak. Penelitian Graham-Acquaah et al. (2015) menggunakan perlakuan tanpa pengukusan, pengukusan gabah selama 12.5, dan 23 menit. Rendemen giling yang dihasilkan pada perlakuan tersebut berturut-turut adalah 65.3%, 72.5% dan 74.5%. Penelitian Venkatachalapathy dan Udhayakumar (2013) menggunakan perlakuan kontrol, pengukusan gabah selama 1.0, 1.5 dan 2.0 menit. Rendemen giling yang dihasilkan pada perlakuan tersebut berturut-turut 75.0%, 75.2%, 76.4%, dan 75.4%. Berdasarkan hasil kajian tersebut, maka semakin lama pengukusan akan cenderung menghasilkan rendemen giling yang semakin tinggi.

Mutu Fisik Beras Pratanak

Pengamatan mutu fisik dilakukan pada saat beras pratanak selesai dilakukan penggilingan dan penyosohan. Pengamatan rendemen butir kepala, butir patah, dan butir menir dilakukan menggunakan separator. Parameter fisik berupa butir kepala, butir patah, dan butir menir merupakan fokus dalam penelitian ini. Semakin besar rendemen butir kepala maka kualitas beras giling akan semakin baik, karena konsumen lebih menyukai butir kepala dibandingkan butir patah maupun butir menir. Hasil pengujian mutu fisik dari beras pratanak dari berbagai varietas dan lama pengukusan disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Mutu fisik beras pratanak

Varietas Lama menunjukkan perbedaan yang nyata pada uji lanjut Duncan pada taraf 5%

Berdasarkan hasil yang tersaji pada Tabel 5 dapat diketahui bahwa perlakuan pengukusan berpengaruh terhadap rendemen butir kepala dan butir patah. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa lama pengukusan memberikan pengaruh terhadap rendemen butir kepala dan butir patah (Lampiran 5). Uji lanjut Duncan menunjukkan rendemen butir kepala dan butir patah pada pengukusan 20 menit tidak berbeda nyata dengan pengukusan 30 menit (Lampiran 6). Proses pratanak pada varietas Ciherang dan IR64 menghasilkan rendemen butir kepala lebih tinggi dibandingkan beras kontrol, sedangkan proses pratanak pada varietas IR42 menghasilkan rendemen butir kepala yang lebih rendah dibandingkan beras kontrol. Hal tersebut menunjukkan adanya pengaruh dari karakteristik varietas gabah terhadap rendemen butir kepala yang dihasilkan.

(30)

17 kadar amilosa tinggi (Akhyar 2009). Varietas dengan kadar amilosa rendah diduga memiliki kemampuan gelatinisasi yang lebih baik dibandingkan varietas dengan kadar amilosa tinggi, sehingga granula pati yang tergelatinisasi lebih banyak berikatan dan menghasilkan tekstur yang kokoh. Hal tersebut diduga dapat menghasilkan peningkatan rendemen butir kepala pada varietas Ciherang dan IR64. Sodhi dan Singh (2003) melaporkan bahwa pada varietas beras dengan kandungan amilosa rendah memiliki kemampuan swelling yang lebih baik dibandingkan varietas dengan kadar amilosa tinggi, dimana kemampuan tersebut berkaitan dengan proses gelatinisasi pati. Wani et al. (2012) menambahkan bahwa pada beras dengan kadar amilosa tinggi, struktur linier dengan ikatan hidrogen yang kuat menyebabkan granula pati sulit tergelatinisasi. Hal tersebut memungkinkan antar granula pati tidak berikatan dengan kuat ketika tergelatinisasi sehingga menghasilkan rendemen butir kepala lebih rendah ketika penggilingan dan penyosohan. Oli et al. (2014) menjelaskan pada proses gelatinisasi pati terjadi pembengkakan granula pati pada endosperm beras menyebabkan antar granula pati tersebut saling berikatan, kemudian terjadi perubahan tekstur menjadi seperti pasta. Proses tersebut diduga menyebabkan hilangnya keretakan internal yang mungkin terdapat pada endosperm atau saling menyatu antar retakannya, sehingga setelah dilakukan pengeringan maka tekstur endosperm akan kembali mengeras seperti kondisi awal dan menghasilkan tekstur butir yang lebih kompak dan kokoh. Sifat butir yang kompak dan kokoh dari hasil proses pengukusan tersebut diduga dapat meningkatkan rendemen butir kepala dan menurunkan rendemen butir patah karena lebih tahan terhadap gesekan saat penggilingan.

Lama pengukusan dapat berkaitan dengan rendemen butir kepala yang dihasilkan, dimana semakin lama pengukusan diduga akan semakin tinggi pula rendemen butir kepala yang dihasilkan. Wani et al. (2012) menyatakan bahwa pati yang mengalami gelatinisasi antar sel-selnya akan berikatan kuat karena adanya interaksi antar ikatan hidrogen pati dengan ikatan hidrogen pada air. Semakin banyak sel pati yang tergelatinisasi maka semakin banyak sel yang berikatan. Selanjutnya apabila sejumlah air dikeluarkan (melalui proses pengeringan) maka akan terjadi rekristalisasi molekul pati yang akan mengubah tekstur pasta menjadi kristal.

(31)

18

Analisis Proksimat Beras Pratanak

Analisis proksimat dilakukan untuk mengetahui komposisi kimia dari suatu bahan, yang meliputi analisis kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak dan kadar karbohidrat. Varietas terpilih untuk analisis proksimat adalah varietas Ciherang. Hasil analisis proksimat dari beras pratanak varietas Ciherang pada lama pengukusan yang berbeda disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Hasil analisis proksimat beras pratanak varietas Ciherang

Lama

Angka diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata pada uji lanjut Duncan pada taraf 5%

Berdasarkan data yang tersaji pada Tabel 6 dapat diketahui bahwa perlakuan lama pengukusan dapat mempengaruhi kandungan gizi dari beras pratanak. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa lama pengukusan memberikan pengaruh terhadap kadar lemak, kadar protein dan kadar karbohidrat (Lampiran 7). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan kadar air dan abu pada beras pratanak dan beras kontrol tidak berbeda nyata. Beras pratanak secara signifikan memiliki kadar lemak dan kadar protein yang lebih tinggi serta kadar karbohidrat yang lebih rendah dibandingkan kontrol (Lampiran 8). Hal tersebut menunjukkan proses pratanak dapat meningkatkan kadar lemak dan kadar protein serta menurunkan kadar karbohidrat beras. Peningkatan kadar lemak dan protein disebabkan oleh difusi lemak dan protein pada aleuron ke dalam endosperm beras ketika proses pengukusan, dimana Singh et al. (2013) melaporkan bahwa lapisan aleuron mengandung lemak sebesar 15.2-18.4% dan protein sebesar 9.9-11.1%. Pengukusan menyebabkan pelunakan tekstur endosperm sehingga aleuron terserap ke bagian endosperm sehingga terjadi peningkatan kadar lemak dan protein pada beras pratanak.

Kadar air beras yang dihasilkan dari perlakuan kontrol, pengukusan 20 menit dan 30 menit secara berturut-turut adalah 12.90±0.14%, 13.50±0.14% dan 13.95±0.78%. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa lama pengukusan tidak berpengaruh terhadap kadar air beras pratanak yang dihasilkan. Kadar air beras pratanak yang dihasilkan lebih dipengaruhi oleh proses pengeringan gabah yang dilakukan setelah proses perendaman dan pengukusan. Proses pengeringan mampu mengeluarkan air dari dalam bahan dan menguapkan air di bagian permukaan gabah sehingga terjadi penurunan kadar air. Tirawanichakul et al. (2012) mengemukakan bahwa proses pengeringan gabah pada pembuatan beras pratanak dapat menurunkan kadar air gabah sehingga memiliki keuntungan yaitu menghasilkan daya simpan yang lebih lama.

(32)

19 pratanak. Hasil serupa dilaporkan oleh Akhyar (2009) dimana kadar abu beras pratanak dari dihasilkan dari perlakuan pengukusan presto selama 20 menit menghasilkan kadar abu yang tidak berbeda nyata dengan beras kontrol. Kadar abu beras pratanak lebih dipengaruhi oleh proses perendaman, dimana Heinemann et al. (2005) menjelaskan pada proses perendaman mineral larut air yang terdapat pada sekam maupun aleuron akan bermigrasi ke endosperm. Hal tersebut ditunjukkan oleh Fonseca et al. (2014) yang melaporkan adanya peningkatan kadar abu yang signifikan antara beras kontrol dan beras pratanak perlakuan perendaman pada suhu 65 oC selama 180 menit dan 240 menit.

Kadar lemak beras yang dihasilkan pada perlakuan kontrol, pengukusan 20 menit dan 30 menit secara berturut-turut adalah 1.17±0.01%,2.42±0.01% dan 2.06±0.01%. Kadar lemak beras pratanak (pengukusan 20 dan 30 menit) secara signifikan lebih tinggi dibandingkan beras kontrol (Lampiran 4b). Hasil tersebut menunjukkan bahwa proses pratanak dapat meningkatkan kadar lemak beras. Peningkatan kadar lemak pada beras pratanak dibandingkan kontrol diduga disebabkan oleh pengaruh suhu panas yang menyebabkan gelatinisasi pati pada bagian endosperm. Proses ini menyebabkan penyerapan lemak aleuron ke dalam granula pati endosperm sehingga dihasilkan kadar lemak yang lebih tinggi pada beras pratanak. Oli et al. (2014) menjelaskan bahwa selama proses pengukusan, sel pati pada endosperm membesar sehingga globula lemak pada aleuron akan masuk ke dalam endosperm pada butir beras. Hal tersebut menyebabkan beras pratanak terlihat sedikit berminyak dan lebih cepat mengalami ketengikan dibandingkan beras giling biasa (Wimberly 1983). Hasil serupa dilaporkan oleh Patindol et al. (2008) dan Kale et al. (2015) yang menunjukkan peningkatan kadar lemak pada beras pratanak dibandingkan beras kontrol. Patindol et al. (2008) menggunakan perlakuan pengukusan gabah pada suhu 100 oC selama 20 menit

yang menghasilkan peningkatan kadar lemak dari 0.36% menjadi 0.67%. Kale et al. (2015) juga melaporkan adanya peningkatan kadar lemak pada beras

pratanak dari 0.74% menjadi 0.89% yang dihasilkan dari perlakuan pengukusan gabah pada suhu 100 oC selama 10 menit. Kadar lemak beras pratanak pada perlakuan pengukusan 20 menit berbeda nyata dengan pengukusan 30 menit dimana semakin lama pengukusan secara signifikan menghasilkan kadar lemak yang lebih rendah. Pada pengukusan 30 menit diduga terjadi peningkatan suhu proses yang lebih tinggi dibandingkan pengukusan 20 menit, sehingga menyebabkan sebagian lemak menguap dan menurunkan kadar lemak. Menurut Weber (2008) pengolahan pada suhu yang tinggi dalam waktu yang lebih lama dapat menyebabkan pemecahan komponen lemak menjadi komponen yang mudah menguap atau volatil seperti aldehida, keton, alkohol dan hidrokarbon. Shobana et al. (2011) melaporkan adanya penurunan kadar lemak beras pratanak dari 2.20% menjadi 2.00% dengan perlakuan pengukusan pada suhu 100 oC selama 30 menit

(33)

20

dalam butir beras. Jenis protein yang terdapat pada aleuron dibedakan berdasarkan kelarutannya, yaitu albumin (larut air), globulin (larut garam), prolamin (larut alkohol), dan glutellin (larut alkali) (Shih 2004). Air yang masuk ke dalam gabah pada proses perendaman dapat melarutkan protein larut air (albumin) yang terdapat pada aleuron, sehingga pada saat pengukusan protein akan berdifusi masuk ke dalam butir beras yang tergelatinisasi dan menghasilkan peningkatan kadar protein. Paiva et al. (2016) melaporkan bahwa adanya peningkatan kadar protein dari beras pratanak disebabkan perpindahan protein lapisan aleuron dari kariopsis beras ke dalam butir beras selama perendaman dan pengukusan. Protein akan terdenaturasi karena pengaruh suhu tinggi dan meresap ke bagian pati yang tergelatinisasi sehingga menghasilkan butiran beras yang kompak dan tahan terhadap gesekan saat penggilingan (Gariboldi 1984). Hasil serupa dilaporkan oleh Saeed et al. (2011) dan Paiva et al. (2016) yang menunjukkan adanya peningkatan kadar protein pada beras pratanak dibandingkan beras kontrol. Saeed et al. (2011) melaporkan adanya peningkatan kadar protein beras pratanak dari 7.08% menjadi 8.50% dengan menggunakan perlakuan pengukusan gabah pada suhu 100 oC selama 30 menit. Paiva et al. (2016) melaporkan adanya peningkatan kadar protein dari 7.60% menjadi 8.70% dengan perlakuan pengukusan pada suhu 108 oC selama 10 menit. Kadar protein beras pratanak pada perlakuan pengukusan 20 menit berbeda nyata dengan pengukusan 30 menit dimana pada pengukusan yang lebih lama menghasilkan kadar protein yang lebih

rendah. Hasil yang sama dilaporkan oleh Ibukun et al. (2008) dan Patindol et al. (2008) dimana beras pratanak yang dihasilkan dari pengukusan

yang lebih lama secara signifikan memiliki kadar protein yang lebih rendah. Pada pengukusan yang lebih lama diduga suhu proses meningkat sehingga dapat menyebabkan protein terdenaturasi. Ernawati (2011) menjelaskan bahwa pada proses pengolahan pada suhu tinggi dan waktu yang lebih lama dapat menyebabkan denaturasi protein sehingga kadar protein produk menjadi lebih rendah.

Kadar karbohidrat beras pratanak yang dihasilkan pada perlakuan kontrol, pengukusan selama 20 menit dan 30 menit berturut-turut adalah 78.13±0.03%, 75.64±0.15% dan 75.76±0.81%. Kadar karbohidrat beras pratanak (pengukusan 20 dan 30 menit) secara signifikan lebih rendah dibandingkan beras kontrol (Lampiran 4b). Hasil tersebut menunjukkan bahwa adanya proses pratanak dapat

menurunkan kadar karbohidrat beras. Kadar karbohidrat dihitung berdasarkan by difference atau dengan mengurangi 100% dengan kadar air, kadar abu, kadar

lemak dan kadar protein. Penurunan kadar karbohidrat yang pada penelitian ini oleh adanya peningkatan kadar lemak dan kadar protein pada beras pratanak akibat penyerapan aleuron ke endosperm beras (Gariboldi 1984). Hasil serupa dilaporkan oleh Ayamdoo et al. (2015) dan Paiva et al. (2016) yang menunjukkan adanya penurunan kadar karbohidrat pada beras pratanak dibandingkan beras kontrol. Ayamdoo et al. (2015) melaporkan penurunan kadar karbohidrat beras

pratanak yaitu dari 70.30% menjadi 68.50% dengan perlakuan pengukusan selama 30 menit pada suhu 100 oC. Paiva et al. (2016) melaporkan adanya penurunan

(34)

21 Indeks Glikemik Beras Pratanak

Indeks glikemik (IG) merupakan tingkatan pangan menurut efeknya terhadap gula darah. Bahan pangan yang mampu meningkatkan kadar gula dengan cepat memiliki IG yang tinggi dan sebaliknya, apabila mampu meningkatkan kadar gula dengan lambat menandakan bahan pangan tersebut memiliki IG rendah. (Rimbawan dan Siagian 2004). Proses pengolahan diketahui dapat mempengaruhi indeks glikemik pangan. Hasil pengukuran indeks glikemik dari beras pratanak varietas Ciherang dengan perlakuan pengukusan 20 menit dan 30 menit disajikan pada Gambar 4. Gambar 4 menunjukkan bahwa perlakuan lama pengukusan cenderung menurunkan nilai indeks glikemik dibandingkan dengan kontrol. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan lama pengukusan memberikan pengaruh terhadap indeks glikemik beras (Lampiran 9).

Gambar 4 Indeks glikemik beras pratanak varietas Ciherang

Perlakuan pengukusan selama 20 menit menghasilkan nilai indeks glikemik terendah yaitu 42.20±10.22. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perlakuan pengukusan selama 20 menit berbeda nyata terhadap kontrol dan perlakuan pengukusan 30 menit, namun antara kontrol dengan perlakuan pengukusan 30 menit tidak berbeda nyata (Lampiran 10). Perlakuan pengukusan selama 20 menit dapat menurunkan nilai indeks glikemik sebesar 36.36%. Nilai IG pangan dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu IG rendah (<55), sedang (55-70) dan tinggi (>70) (Rimbawan dan Siagian 2004). Beras kontrol memiliki indeks glikemik 65.64±5.14 yang termasuk dalam kategori sedang, beras pratanak perlakuan pengukusan 20 menit memiliki indeks glikemik 42.20±10.22 yang termasuk dalam kategori rendah, dan beras pratanak perlakuan pengukusan 30 menit memiliki indeks glikemik 60.91±11.50 yang termasuk dalam kategori sedang.

Penurunan indeks glikemik pada penelitian ini serupa dengan hasil penelitian Larsen et al. (2000), Widowati et al. (2009), dan Darandakumbura et al. (2013a). Larsen et al. (2000) melaporkan penurunan indeks glikemik sebesar

29.09% dari 55 menjadi 39 dengan perlakuan pengukusan bertekanan 1.5x105 Pascal pada suhu 120 oC selama 12 menit. Widowati et al. (2009)

melaporkan penurunan indeks glikemik sebesar 18.76% dari 54.43 menjadi 44.22 dengan perlakuan pengukusan presto bertekanan 0.7895 atm selama 20 menit

(35)

22

pada gabah varietas Ciherang. Darandakumbura et al. (2013a) juga melaporkan penurunan indeks glikemik sebesar 6.94% dari 72 menjadi 67 dengan perlakuan pengukusan pada suhu 100 oC selama 30 menit. Berdasarkan kajian-kajian tersebut dapat diketahui bahwa cara pengukusan dan lama pengukusan dapat mempengaruhi indeks glikemik beras pratanak yang dihasilkan.

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi indeks glikemik diantaranya cara pengolahan, kandungan amilosa, kadar lemak, kadar protein dan serat pangan (Rimbawan dan Siagian 2004) dan kandungan pati resisten (Walter et al. 2005). Perlakuan lama pengukusan dalam penelitian ini dapat mempengaruhi indeks glikemik beras pratanak. Indeks glikemik pada perlakuan pengukusan 20 menit menghasilkan indeks glikemik lebih rendah dibandingkan perlakuan pengukusan 30 menit. Pada pengukusan gabah selama 30 menit diduga terjadi peningkatan suhu sehingga menyebabkan derajat gelatinisasi yang lebih tinggi dibandingkan pengukusan selama 20 menit. Rimbawan (2006) menyatakan bahwa pemanasan menyebabkan pati tergelatinisasi sempurna yang mengakibatkan granula pati mudah mengembang dan mudah dicerna karena semakin luas permukaan granula pati untuk kontak dan bereaksi dengan enzim pencernaan. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa semakin cepat reaksi dan semakin luas kontak granula pati dengan enzim pencernaan, maka akan semakin tinggi daya cerna pati sehingga glukosa yang dihasilkan dari perombakan pati semakin cepat dan banyak. Hal tersebut menyebabkan peningkatan kadar gula dalam darah sehingga indeks glikemik akan tinggi.

Kadar amilosa dari bahan pangan dapat mempengaruhi indeks glikemik.

Beras yang dihasilkan dari proses pratanak (pengukusan selama 20 menit dan 30 menit) memiliki indeks glikemik yang lebih rendah dibandingkan beras kontrol. Hal tersebut diduga disebabkan oleh kadar amilosa yang lebih tinggi pada beras pratanak. Darandakumbura et al. (2013b) melaporkan adanya peningkatan kadar amilosa sebesar 1.9% dengan perlakuan pengukusan pada suhu 100 oC selama 30 menit. Fonseca et al. (2014) juga melaporkan peningkatan kadar amilosa sebesar 4.94% dengan perlakuan pengukusan pada suhu 120 oC selama 10 menit. Peningkatan amilosa dijelaskan oleh Jenie et al. (2012) yang menyatakan bahwa pemanasan dapat mengakibatkan pemutusan ikatan hidrogen pada fraksi amilopektin dari struktur bercabang menjadi struktur linier atau tidak bercabang sesuai karakteristik amilosa dengan struktur tidak bercabang. Proses linierisasi atau debranching tersebut dapat meningkatkan kadar amilosa. Bahan pangan dengan kadar amilosa yang tinggi akan lebih sulit dicerna dan mampu menurunkan indeks glikemik (Rimbawan dan Siagian 2004). Parvin et al. (2009) menjelaskan bahwa granula pati yang kaya akan amilosa memiliki kekuatan ikatan hidrogen yang besar dan stuktur yang linear, dimana sifat tersebut membatasi derajat pengembangan (swelling) dan gelatinisasi. Hal tersebut menjadikan beras pratanak sulit dicerna dan memperlambat laju pemecahan glukosa dalam darah sehingga indeks glikemik menjadi rendah.

(36)

23 telah mengalami gelatinisasi. Jenie et al. (2012) menyebutkan bahwa retrogradasi merupakan reasosiasi (penyusunan kembali) ikatan hidrogen dari amilosa maupun amilopektin yang mengalami debranching dimana terjadi perubahan dari struktur amorf menjadi kristalin. Cai dan Shi (2010) melaporkan hal tersebut dapat meningkatkan derajat kristalinitas dan struktur tersebut lebih resisten terhadap enzim pencernaan. Ross (2012) menyatakan bahwa amilopektin memiliki kemampuan retrogradasi lebih lambat, sedangkan amilosa memiliki kemampuan retrogradasi lebih cepat. Semakin tinggi kandungan amilosa maka akan semakin cepat pati yang tergelatinisasi mengalami retrogradasi dan menghasilkan pati resisten yang lebih tinggi. Hung et al. (2013) melaporkan terdapat korelasi positif antara derajat kristalinitas dari pati yang mengalami retrogradasi dengan kandungan pati resisten, dimana semakin tinggi derajat kristalinitas maka kandungan pati resisten semakin tinggi. Pada penelitian ini, perlakuan pengukusan 20 menit diduga memiliki kandungan amilosa lebih tinggi dan amilopektin lebih rendah dibandingkan perlakuan pengukusan 30 menit. Hal tersebut menyebabkan pembentukan pati resisten dari pati yang mengalami retrogradasi lebih cepat dan lebih banyak dibandingkan pengukusan 30 menit. Semakin banyak kandungan pati resisten maka pati semakin sulit dicerna sehingga menurunkan respon glukosa darah dan menghasilkan indeks glikemik lebih rendah. Darandakumbura et al. (2013a) yang melaporkan beras kontrol dengan kandungan pati resisten sebesar 4.3% memiliki indeks glikemik sebesar 72, sedangkan beras pratanak dengan kandungan pati resisten sebesar 5.1% secara signifikan memiliki indeks glikemik yang lebih rendah, yaitu sebesar 68. Berdasarkan hal tersebut maka perlakuan pengukusan 20 menit menghasilkan beras pratanak dengan indeks glikemik yang lebih rendah dibandingkan pengukusan 30 menit.

Kadar serat pangan, lemak dan protein pada bahan pangan dapat mempengaruhi indeks glikemik. Rimbawan (2006) menjelaskan bahwa serat pangan mampu mempertebal kerapatan atau ketebalan campuran dalam saluran pencernaan sehingga memperlambat pergerakan enzim dan memperlambat proses pencernaan. Selain itu, lemak dan protein yang tinggi pada bahan pangan cenderung memperlambat laju pengosongan lambung sehingga laju pencernaan makanan di usus juga diperlambat. Akibatnya respon gula lebih rendah dan indeks glikemik juga rendah.

5 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Suhu perendaman berpengaruh terhadap peningkatan kadar air gabah. Perendaman suhu 60 oC secara signifikan meningkatkan kadar air gabah lebih cepat dibandingkan perendaman suhu 30 oC. Perendaman gabah pada suhu 60 oC selama 4 jam (kadar air 28.10±0.36%) dipilih sebagai kondisi perendaman dalam pengolahan beras pratanak pada penelitian utama.

Gambar

Tabel 1 Komposisi kimia beras dan bagiannya
Tabel 2 Spesifikasi persyaratan mutu fisik beras
Gambar 2 Diagram alir prosedur penelitian
Tabel 4  Rendemen giling beras pratanak
+2

Referensi

Dokumen terkait

Pada halama 38 terdapat kalimat “Sebagai seorang perempuan Arab yang menganut Islam-Suni, Ibunda Salwa selalu memprotes prilaku nikah mut’ah yang dilakukan

Masalahnya, selama ini petani apel hanya mengukur keuntungan dari usahatani apel berdasarkan penerimaan hasil panen yang dikurangi dengan total biaya yang

Sifat-sifat getaran yang ditimbulkan pada suatu mesin dapat menggambarkan kondisi gerakan-gerakan yang tidak diinginkan pada komponen-komponen mesin, sehingga pengukuran, dan

doxazosin,terazosin,afluzosin atau yang lebih selektif alfa 1a (Tamsulosin). Penggunaaan antagonis alfa 1 adrenergenik karena secara selektif dapat mengurangi obstruksi pada

g.Golongan III-A adalah Pejuang Pembebasan Irian Barat yang ikut sepenuhnya dalam Periode TRIKORA atau sedikit-dikitnya 1 (satu) bulan dan kurang dari 9.. (sembilan) bulan

- 5,1o-metenil-tetrahidrofolat untuk atom C no 8 inti purin • Oleh krn itu koenzim asam folat ikut serta dalam reaksi sintesis. purin, timin, pirimidin dari DNA

ML : Melati Yulia Kusumasastuti, S.Farm., M.Sc... Obat Tradisional 1 Lab TIM

Burqa adalah bagian dari tradisi kehormatan mereka, yang mereka sebut sebagai nang dan namus (kebanggaan dan kehormatan). Burqa, kata mereka adalah untuk melindungi perempuan,