• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkah Laku, Dan Hematologi Domba Garut Dan Jonggol Jantan Dengan Pemberian Limbah Tauge Pada Sore Hari

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tingkah Laku, Dan Hematologi Domba Garut Dan Jonggol Jantan Dengan Pemberian Limbah Tauge Pada Sore Hari"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

RESPON FISIOLOGIS, TINGKAH LAKU, DAN HEMATOLOGI

DOMBA GARUT DAN JONGGOL JANTAN DENGAN

PEMBERIAN LIMBAH TAUGE PADA SORE HARI

ATIK

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Respon Fisiologis, Tingkah Laku, dan Hematologi Domba Garut dan Jonggol Jantan dengan Pemberian Limbah Tauge pada Sore Hari adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2015

Atik

(4)

RINGKASAN

ATIK. Respon Fisiologis, Tingkah Laku, dan Hematologi Domba Garut dan Jonggol Jantan dengan Pemberian Limbah Tauge pada Sore Hari. Dibimbing oleh MOHAMAD YAMIN, SALUNDIK dan ANITA ESFANDIARI.

Penelitian ini bertujuan mengkaji respon fisiologis, tingkah laku, dan hematologi pada domba Garut dan domba Jonggol jantan yang diberi pakan limbah tauge pada sore hari. Penelitian ini menggunakan 16 ekor domba jantan dewasa yang terdiri atas 8 ekor domba Garut jantan dewasa dan 8 ekor domba Jonggol jantan dewasa, berumur 1-2 tahun dengan bobot 19.80-43.10 kg yang diperoleh dari peternakan di sekitar Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial (2x2) dengan empat kali ulangan. Faktor utama adalah bangsa domba Garut (G) dan domba Jonggol (J). Faktor kedua adalah jenis ransum RK (40% rumput lapang + 60% konsentrat komersil R) dan TK (40% limbah tauge + 60% konsentrat komersil LT). Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan sidik ragam ANOVA (Analysis of Variance). Jika terdapat perbedaan yang nyata atau sangat nyata maka dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan. Data diolah dengan menggunakan software SAS 9.1.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi denyut jantung domba Jonggol sangat nyata (P<0.01) lebih tinggi dibandingkan frekuensi denyut jantung domba Garut, tetapi secara umum frekuensi denyut jantung kedua bangsa domba masih berada dalam kisaran normal. Perbedaan bangsa dan jenis ransum tidak memberikan pengaruh nyata (P>0.05) terhadap laju pernapasan dan suhu rektal, tetapi secara umum laju pernapasan kedua bangsa domba lebih tinggi dari kisaran normal. Pemberian pakan limbah tauge pada sore hari tidak mengganggu tingkah laku pada kedua bangsa domba (tingkah laku masih dalam kondisi normal). Jumlah eritrosit dan nilai hematokrit domba yang diberi ransum mengandung limbah tauge memberikan pengaruh nyata (P<0.05) lebih tinggi dibandingkan jumlah eritrosit dan nilai hematokrit domba yang diberi ransum mengandung rumput, tetapi jumlah eritrosit dan nilai hematokrit kedua bangsa domba masih berada dalam kisaran normal. Kadar hemoglobin domba Jonggol pada semua jenis ransum sangat nyata (P<0.01) lebih tinggi dibandingkan kadar hemoglobin domba Garut, tetapi secara umum kadar hemoglobin kedua bangsa domba berada dibawah kisaran normal. Perbedaan bangsa dan jenis ransum tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap jumlah total leukosit, persentase limfosit, persentase monosit dan rasio neutrofil/limfosit, tetapi jumlah total leukosit dan rasio neutrofil/limfosit berada diatas kisaran normal, persentase limfosit berada dibawah kisaran normal dan persentase monosit berada dalam kisaran normal. Perbedaan bangsa berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap persentase neutrofil dan eosinofil, tetapi persentase neutrofil domba Jonggol berada diatas kisaran normal sedangkan persentase neutrofil domba Garut berada dalam kisaran normal. Persentase eosinofil domba Garut berada diatas kisaran normal sedangkan persentase eosinofil domba Jonggol berada dalam kisaran normal.

(5)

SUMMARY

ATIK. Physiological Response, Behavior, and Hematology of Garut and Jonggol Rams that was Fed Mung Bean Sprout Waste in the Afternoon. Supervised by MOHAMAD YAMIN, SALUNDIK and ANITA ESFANDIARI.

This study evaluated physiological response, behavior and hematology of Garut and Jonggol rams that was fed mung bean sprout waste in the afternoon. This research used 16 rams, consist of 8 Garut rams and 8 Jonggol rams, aged 1-2 years and weighed 19.80-43.10 kg obtained from farms around Bogor, West Java. The experiment used completely randomized design (RAL) with 2x2 factorial and 4 replications. The first factor were different breeds of Garut and Jonggol. The second factor were different feed percentage, consist of RK (40% field grass + 60% commercial concentrate R) and TK (40% mung bean sprouts waste + 60% commercial concentrate LT). Data analyzed by analysis of variance (ANOVA) and Duncan analysis. Data was processed using SAS 9.1 software.

The results showed that Jonggol rams heart rate were significantly (P<0.01) higher than Garut rams heart rate, but in general the heart rate of both breeds of rams was within normal range. Breed and feed factors was not significant affect (P>0.05) the respiratory rate and rectal temperature, but generally both breeds respiratory rate was higher than normal range. Feeding mung bean sprouts waste in the afternoon did not interfere behavior of both breeds (behavior is still in normal conditions). The number of erythrocytes and hematocrit of rams that given mung bean sprouts waste significantly (P<0.05) higher than the number of erythrocytes and hematocrit of rams given grass, but the number of erythrocytes and hematocrit of both breeds was within the normal range. Jonggol rams hemoglobin levels in all breeds were significantly (P<0.01) higher than Garut rams, while in general, both breeds hemoglobin levels below normal range. Breed and feed factors did not significantly affect (P>0.05) total number of leukocytes, percentage of lymphocytes, percentage of monocytes and ratio of neutrophils/lymphocytes, while total number of leukocytes and ratio of neutrophil/lymphocyte was above normal range, percentage of lymphocytes was below the normal range and percentage of monocytes within normal range. Breed factors significantly affect (P<0.05) percentage of neutrophils and eosinophils, while Jonggol rams percentage of neutrophils was above normal range. The percentage of Garut rams neutrophils was within the normal range. The percentage of Garut rams eosinophils was above normal range while the percentage of Jonggol rams eosinophils was within normal range.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

ATIK

RESPON FISIOLOGIS, TINGKAH LAKU, DAN HEMATOLOGI

DOMBA GARUT DAN JONGGOL JANTAN DENGAN

(8)
(9)
(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2014 ini ialah kesejahteraan ternak, dengan judul Respon Fisiologis, Tingkah Laku dan Hematologi Domba Garut dan Jonggol dengan Pemberian Limbah Tauge pada Sore Hari.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Mohamad Yamin, MAgrSc, Dr Ir Salundik, MSi dan Ibu Dr drh Anita Esfandiari, MSi selaku pembimbing yang telah banyak memberikan arahannya, serta Ibu Prof Dr Ir Dewi Apri Astuti, MS selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan saran. Penghargaan penulis sampaikan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang telah membantu penulis selama studi dan penelitian.

Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada bapak, ibu, suami dan seluruh keluarga besar penulis atas segala doa dan perhatian yang diberikan kepada penulis. Tidak lupa terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh dosen ITP atas ilmu dan pengalaman yang telah diberikan, teman satu penelitian Gagah, Nurcholis dan Luthfi atas kerjasamanya, rekan-rekan Pasca ITP khususnya angkatan 2013 dan staf administrasi Pascasarjana ITP atas dukungan dan kerjasamanya selama penulis menyelesaikan studi serta pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga kelak ilmu yang telah diperoleh berguna untuk generasi berikutnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2015

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 3

Hipotesis 3

2 METODE 3

Waktu dan Tempat Penelitian 3

Alat 3

Bahan 3

Prosedur Penelitian 4

Rancangan dan Analisis Data 7

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 8

Suhu dan Kelembaban Kandang 8

Respon Fisiologis Domba 9

Tingkah Laku Domba 11

Status Hematologi pada Domba 17

4 SIMPULAN DAN SARAN 23

Simpulan 23

Saran 23

DAFTAR PUSTAKA 24

(12)

DAFTAR TABEL

1 Kadar nutrien bahan penyusun ransum (100% bahan kering) 4

2 Rataan suhu dan kelembaban kandang 8

3 Respon fisiologis domba Garut dan domba Jonggol jantan dewasa 10 4 Frekuensi tingkah laku domba Garut dan domba Jonggol jantan dewasa

pada pagi hari 12

5 Frekuensi tingkah laku domba Garut dan domba Jonggol jantan dewasa

pada malam hari 12

6 Hematologi domba Garut dan domba Jonggol jantan dewasa 17 7 Jumlah leukosit, diferensiasi leukosit dan rasio N/L domba Garut dan

(13)

1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Domba Garut dan domba Jonggol merupakan domba lokal Indonesia yang mampu beradaptasi dengan baik pada kondisi iklim tropis dan memiliki sifat

seasonal polyestroes sehingga dapat beranak sepanjang tahun. Devendra dan McLorey (1982), menyatakan bahwa domba Garut merupakan hasil persilangan antara domba lokal, domba Kaapstad dan domba Merino. Dijelaskan pula bahwa ciri pengenal domba Garut adalah sifat pembentukan lemak pada pangkal ekor, yang mengakibatkan ekor domba kelihatan lebar. Menurut Sumantri et al. (2007), domba Jonggol merupakan hasil persilangan secara acak dari domba Ekor Tipis dengan domba Garut atau Priangan dan dipelihara dengan sistem penggembalaan. Domba Jonggol sudah dibudidayakan di Lingkungan Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan Jonggol (UP3J) sejak tahun 1980 dan sudah terseleksi untuk lingkungan panas dan kering, sehingga mudah untuk beradaptasi dengan lingkungan setempat.

Secara umum produktivitas ternak dipengaruhi oleh faktor genetik, lingkungan serta interaksi antara faktor genetik dan lingkungan. Faktor lingkungan meliputi pakan, klimat dan manajemen. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang memiliki rata-rata suhu dan kelembaban harian relatif tinggi, yaitu berkisar antara 24-34 oC dan kelembaban 60%-90% (Yani dan Purwanto 2006). Johnston (1983) menyatakan bahwa hewan membutuhkan lingkungan yang cocok untuk kebutuhan fisiologisnya. Kondisi lingkungan yang terlalu panas atau dingin akan menyebabkan stres dan berakibat pada produktivitas. Faktor stres dapat mempengaruhi tingkat kesejahteraan dan performa ternak. Stres panas akan berakibat pada penurunan konsumsi pakan pada ternak yang mengalaminya, sehingga terjadi penurunan konsumsi energi. Indikator ternak mengalami stres panas diantaranya terlihat pada respon fisiologis dan tingkah laku diluar normal.

Selain lingkungan, pakan juga berpengaruh terhadap produktivitas ternak. Pakan domba yang biasa digunakan adalah rumput lapang sebagai sumber serat. Rumput lapang merupakan campuran dari beberapa jenis rumput lokal yang umumnya tumbuh secara alami dengan daya produksi dan kualitas nutrisi rendah (Wiradarya 1989). Kandungan nutrien rumput lapang berdasarkan bahan kering yang dianalisis Laboratorium Pengolahan Bahan Makanan Ternak Institut Pertanian Bogor (2013) memiliki PK 9.56% dan TDN 55.33%. Jenis pakan dapat mempengaruhi tingkah laku makan pada domba, dikarenakan domba memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap jenis pakan yang diberikan. Domba Garut dan domba Jonggol terbiasa diberi pakan rumput dibandingkan dengan pakan jenis lainnya. Hasil penelitian Yamin et al. (2013a), menyatakan bahwa tingkah laku makan pada perlakuan pakan rumput dengan waktu pemberian pakan pagi hari dan sore hari lebih tinggi daripada tingkah laku makan pada perlakuan pakan limbah tauge dengan waktu pemberian pakan pagi hari dan sore hari.

(14)

2

salah satu bahan pakan alternatif yang diperkirakan dapat menggantikan rumput sebagai sumber serat dengan kualitas nutrisi yang lebih baik.

Rahayu et al. (2010), limbah tauge merupakan salah satu limbah pasar yang sangat berpotensi untuk digunakan sebagai pakan ternak karena produksi tauge tidak mengenal musim dan ketersediaannya relatif banyak. Limbah tauge adalah salah satu limbah dari hasil produksi tauge berupa kulit kacang hijau, pecahan-pecahan tauge dan akar tauge. Hasil survei menunjukkan bahwa total produksi tauge di daerah Bogor sekitar 6.5 ton hari-1 dan berpeluang untuk menghasilkan limbah tauge sebesar 1.5 ton hari-1. Selain itu kandungan nutrisi limbah tauge baik untuk ruminansia kecil. Limbah tauge mengandung serat kasar yang tinggi, yaitu sebesar 49.44% dan protein kasar sebesar 13.63%, yang hampir sama dengan konsentrat. Limbah tauge terbukti lebih baik dibandingkan dengan rumput karena memiliki protein kasar 13%-14% lebih tinggi dibandingkan dengan rumput sehingga dapat memenuhi kebutuhan pokok dan produksi ternak.

Penelitian sebelumnya yang dilakukan Yamin et al. (2013a), bahwa pemberian pakan limbah tauge pada taraf 40% dan ditambahkan 60% konsentrat memberikan hasil yang baik terhadap performa dan tidak menimbulkan stres pada domba Garut jantan masa pertumbuhan dengan umur domba dibawah 1 tahun. Hasil penelitian juga menunjukkan pemberian pakan pada sore hari cenderung lebih baik terhadap pertumbuhan dan tingkah laku domba. Hal tersebut dapat disebabkan lingkungan panas pada pagi hari di daerah tropis menyebabkan ternak mengalami stres panas, yang berakibat pada penurunan konsumsi pakan yang pada akhirnya berimbas pada penurunan konsumsi energi. Panas tubuh ternak tidak hanya dihasilkan dari faktor luar, tetapi juga dihasilkan dari metabolisme tubuh. Faktor-faktor seperti kekurangan air, ketidakseimbangan gizi, dan kekurangan gizi dapat memperburuk dampak dari stres panas (Silanikove 2000). Oleh karena itu, strategi pemberian pakan pada sore hari, dengan suhu lingkungan yang lebih nyaman mendekati suhu thermonetral diharapkan dapat mengurangi stres panas yang pada akhirnya dapat meningkatkan produktivitas ternak. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu penggunaan dua bangsa domba yang berbeda (Garut dan Jonggol) dengan umur domba diatas satu tahun dan berjenis kelamin jantan.

Sampai saat ini, pemanfaatan limbah tauge sebagai bahan pakan alternatif pengganti rumput belum banyak dilaporkan. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai pemanfaatan limbah tauge sebagai bahan pakan alternatif pengganti rumput untuk meningkatkan produktivitas, dengan pendekatan pemberian pakan pada sore hari, melalui pengamatan pada respon fisiologis, tingkah laku dan status hematologi.

Tujuan

(15)

3

Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi bagi peternak mengenai manfaat limbah tauge sebagai bahan pakan alternatif sumber protein. Limbah tauge yang memiliki kandungan serat kasar yang cukup tinggi diharapkan dapat meningkatkan produktivitas pada ruminansia kecil seperti domba Garut dan domba Jonggol, dengan ini dapat memberikan efisiensi biaya pakan yang dikeluarkan.

Hipotesis

1. Penggunaan pakan berbasis limbah tauge pada taraf 40% tidak mempengaruhi respon fisiologis, tingkah laku, dan hematologi domba Garut dan domba Jonggol jantan.

2. Pemberian pakan pada sore hari tidak mempengaruhi respon fisiologis, tingkah laku, dan hematologi domba Garut dan domba Jonggol jantan.

2 METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan November 2014 sampai dengan bulan Januari 2015. Pemeliharaan domba dilakukan di Laboratorium Lapang Ilmu Produksi Ternak Ruminansia Kecil (Kandang B), Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan IPB. Analisis hematologi dilakukan di Laboratorium Fisiologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB.

Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang individu dengan ukuran 80 x 160 cm, tempat pakan dan minum, timbangan digital pakan 5 kg, timbangan gantung ternak 50 kg, termometer suhu tubuh digital, stetoskop,

stopwatch, spoit (disposible syringe) ukuran 5 ml, tabung reaksi sebagai tempat sampel darah, kamar hitung, mikroskop, pipet eritrosit, mikrokapiler, cresta-seal, mikrosentrifus, microcapillary hematocrit reader, tabung Sahli, hemoglobinometer Sahli, pipet tetes dan spektrofotometri.

Bahan

(16)

4

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel darah, antikoagulan tripotassium ethylene diamine tetra-acetic acid (K3EDTA), pengencer Hayem, HCl 0.1N, aquades, alkohol 70%, larutan Giemsa, larutan Turk, larutan Hayem dan larutan Reagen. Rumput lapang yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari Laboratorium Lapang Ternak Ruminansia Kecil, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Limbah tauge didapatkan dari beberapa pedagang tauge yang tersebar di sekitar Pasar Bogor, Kota Bogor. Konsentrat komersil diperoleh dari Indonesia Formula Feed (Indofeed®), Kota Bogor. Kandungan nutrien bahan penyusun ransum dalam 100% bahan kering (BK) tercantum pada Tabel 1.

Tabel 1 Kadar nutrien bahan penyusun ransum (100% bahan kering)

Bahan Abu PK SK LK BETN TDN**

---%--- Limbah Tauge* 2.82 13.76 30.13 0.42 52.87 57.92 Rumput* 7.59 9.56 23.60 0.82 58.43 55.33 Konsentrat LT** 13.83 12.32 14.43 6.51 52.91 65.82 Konsentrat R** 14.06 13.86 14.65 6.63 50.80 65.88 *Yamin et al. (2013a); **PAU IPB (2014); ***Hartadi et al. (1997)

Prosedur Penelitian Pemeliharaan

Domba sebanyak 16 ekor dibagi secara acak ke dalam 16 sekat kandang. Masing-masing sekat kandang dengan ukuran 80 x 160 cm terdiri dari 1 ekor domba. Pengacakan domba berdasarkan pengelompokan bobot badan dari terendah sampai tertinggi dalam setiap perlakuannya. Awal pemeliharaan domba diberi obat cacing, vitamin dan antibiotik. Pemeliharaan dilakukan selama delapan minggu dengan masa adaptasi selama dua minggu. Adaptasi dilakukan dengan tujuan untuk membiasakan ternak terhadap perlakuan yang diberikan dan lingkungan baru. Pemberian pakan dilakukan pada sore hari pukul 15.00 sampai 17.00 WIB. Pemberian pakan sesuai dengan penentuan level jenis pakan yang sudah dilakukan pengacakan. Pakan yang diberikan sebanyak 4% bahan kering dari bobot badan domba. Air minum diberikan secara ad libitum. Rumput lapang, limbah tauge segar dan konsentrat komersil diberikan pada sore hari. Pengambilan data dibagi menjadi tiga bagian yaitu pengambilan data respons fisiologis, tingkah laku dan hematologi.

Suhu dan Kelembaban Kandang

(17)

5

Pengamatan Respon Fisiologis

Pengamatan respon fisiologis dilakukan pada minggu ke tujuh (akhir pemeliharaan) yaitu pada malam hari pukul 18.00 WIB, dua jam setelah pemberian pakan. Pengamatan respon fisiologis meliputi pengukuran frekuensi denyut jantung, laju pernapasan dan suhu rektal.

Denyut Jantung. Pengukuran frekuensi denyut jantung dilakukan dengan cara menggunakan stetoskop yang ditempelkan pada dada sebelah kiri selama 15 detik (dengan bantuan stopwatch) kemudian hasilnya dikalikan empat, untuk mendapatkan frekuensi denyut jantung per menit.

Laju Pernapasan. Pengukuran laju pernapasan dilakukan dengan cara menghitung jumlah hembusan napas dari hidung selama 15 detik (dengan bantuan

stopwatch) kemudian hasilnya dikalikan empat, untuk mendapatkan frekuensi pernapasan per menit.

Suhu Rektal. Pengukuran suhu rektal dilakukan dengan cara memasukkan termometer digital sampai menempel ke dinding rektum dan dibiarkan sampai ada bunyi alarm. Catat hasil yang diperoleh, dan lakukan hal yang sama pada semua domba perlakuan.

Pengamatan Tingkah Laku

Pengamatan tingkah laku dilakukan pada minggu ke tujuh (akhir pemeliharaan), selama tiga hari, pada pagi hari pukul 08.00-10.00 WIB dan malam hari pukul 18.00-20.00 WIB. Pengamatan tingkah laku domba Garut dan domba Jonggol saat di kandang dilakukan tiap ekor selama 10 menit dan jeda antar pengamatan individu yang berbeda adalah 5 menit. Pengamatan tingkah laku domba Garut dan domba Jonggol dilakukan menggunakan metode one zero sampling (Altman 1973) yaitu diberikan nilai 1 (satu) apabila domba melakukan tingkah laku ingestive, eliminative, agonistic, care giving, resting, vokalisasi dan lokomotif, dan diberi nilai 0 (nol) apabila domba tidak melakukan tingkah laku tersebut. Nilai 1 diberikan apabila domba mulai melakukan suatu tingkah laku hingga domba tersebut melakukan tingkah laku lain. Peubah-peubah yang diamati pada pengamatan tingkah laku domba Garut dan domba Jonggol adalah sebagai berikut :

1. Tingkah laku makan (ingestive), yaitu tingkah laku mengkonsumsi pakan baik padatan maupun cairan serta tingkah laku ruminasi yaitu suatu proses memamah kembali makanan yang berasal dari lambung dan masih kasar kemudian dikeluarkan lagi serta dikunyah di mulut dan ditelan kembali;

2. Membuang kotoran (eliminative), yaitu tingkah laku membuang kotoran baik dalam bentuk feses maupun urine;

3. Melawan (agonistic), yaitu tingkah laku agresif yang mengarah pada pertentangan atau temperamental seekor domba dengan cara menumbukkan tanduk, mendengus dan menghentakan kaki;

4. Merawat diri (care giving), yaitu tingkah laku domba memelihara atau merawat tubuhnya yang ditunjukkan dengan menjilati tubuhnya, menggaruk tubuhnya serta menggosok tubuhnya sendiri ke dinding kandang;

(18)

6

6. Istirahat (resting), yaitu tingkah laku saat ternak tidak melakukan apa-apa, bisa dilakukan saat posisi berdiri atau berbaring;

7. Lokomotif, yaitu tingkah laku ternak melakukan pergerakan, baik berjalan-jalan maupun mondar-mandir.

Analisis Hematologi

Analisis hematologi dilakukan pada minggu ke tujuh (akhir pemeliharaan). Pengambilan darah dilakukan pada pagi hari pukul 07.00 WIB sampai dengan selesai. Darah diambil melalui vena jugularis. Sebelumnya daerah jugularis, tepatnya 1/3 atas leher, didesinfeksi menggunakan kapas beralkohol. Selanjutnya dilakukan pembendungan dan pengambilan darah. Darah diambil sebanyak 3 ml dengan syringe berukuran 5 ml dan langsung dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah diberi antikoagulan K3EDTA serta ditutup menggunakan karet penutup. Tabung reaksi yang telah berisi darah tersebut kemudian dimasukkan ke dalam termos yang berisi es untuk selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk di analisis. Analisis hematologi meliputi penghitungan jumlah eritrosit, nilai hematokrit, kadar hemoglobin, jumlah total leukosit, diferensiasi leukosit (meliputi persentase neutrofil, limfosit, monosit, dan eosinofil) dan rasio neutrofil terhadap limfosit (rasio N/L).

Penghitungan Kadar Hemoglobin dan Nilai Hematokrit. Kadar hemoglobin dianalisis menggunakan metoda Sahli. Larutan HCl 0.1 N dimasukkan dalam tabung sahli sampai tanda angka 10 pada garis batas bawah, Sampel darah dihisap menggunakan pipet sahli hingga mencapai tanda tera atas (0.02 ml). Sampel darah kemudian dimasukkan ke dalam tabung sahli dan ditunggu hingga berubah warna menjadi cokelat kehitaman. Setelah itu larutan ditambah dengan aquades, teteskan sedikit demi sedikit sambil diaduk, hingga warna larutan sama dengan warna standar haemometer. Nilai hemoglobin dilihat di kolom gram % yang tertera pada tabung hemoglobin (Tambur 2006).

Penentuan nilai hematokrit dilakukan menggunakan metode mikrohematokrit. Pipet mikrohematokrit diisi dengan sampel darah yang mengandung antikoagulan sebanyak 4/5 bagian pipet, ujung pipet kemudian ditutup dengan sumbat berupa lilin. Pipet kemudian disentrifus dengan kecepatan 10 000 rpm selama 5 menit. Nilai hematokrit dibaca dengan hematocrit reader, dan hasilnya dinyatakan dalam persentase (%) (Tambur 2006).

Penghitungan Jumlah Eritrosit. Jumlah eritrosit dihitung menggunakan hemositometer. Sampel darah dihisap menggunakan pipet eritrosit dan aspirator sampai tera 0.5. Selanjutnya, larutan pengencer Hayem dihisap hingga tera 101. Larutan Hayem dan sampel darah dalam pipet kemudian dihomogenkan dengan cara memutar pipet eritrosit membentuk angka 8 hingga homogen. Setelah itu, sekitar 2-3 tetes pertama isi pipet dibuang, dan teteskan satu tetes ke dalam

counting chamber (hemositometer) yang sudah ditutup dengan cover glass. Penghitungan jumlah eritrosit dilakukan dibawah mikroskop dengan perbesaran 10x 40, dan hasilnya dinyatakan dalam juta mm3 -1 (Tambur 2006).

Jumlah eritrosit = α x 104

(19)

7

Penghitungan Jumlah Total Leukosit. Jumlah total leukosit dihitung menggunakan hemositometer. Sampel darah dihisap menggunakan pipet leukosit dan aspirator sampai tera 0.5. Selanjutnya, larutan pengencer Turk dihisap hingga tera 11. Larutan Hayem dan sampel darah dalam pipet kemudian dihomogenkan dengan cara memutar pipet eritrosit membentuk angka 8 hingga homogen. Setelah itu, sekitar 2-3 tetes pertama isi pipet dibuang, dan teteskan satu tetes ke dalam

counting chamber (hemositometer) yang sudah ditutup dengan cover glass.

Penghitungan dilakukan dibawah mikroskop dengan perbesaran 10x 40, dan hasilnya dinyatakan dalam ribu mm3 -1 (Tambur 2006).

Jumlah total leukosit = b x 50

Keterangan: b = jumlah leukosit hasil penghitungan dalam counting chamber

Pembuatan Preparat Ulas Darah dan Penghitungan Diferensial Leukosit. Diferensiasi leukosit dilakukan untuk menghitung persentase setiap jenis leukosit. Ulas darah dibuat dengan meneteskan satu tetes darah pada salah satu sisi gelas obyek, kemudian diulas dan dibiarkan kering di udara. Ulas darah kemudian difiksasi menggunakan metanol dan dibiarkan selama 5 menit. Ulas darah diwarnai dengan larutan Giemsa 10% selama 30 menit, setelah itu dibilas dengan air mengalir dan dikeringkan. Pembacaan dilakukan di bawah mikroskop dengan perbesaran 10 x 100. Tiap jenis leukosit yang ditemukan dihitung hingga jumlah leukosit mencapai 100, dan hasilnya dinyatakan dalam persentase (%). Rasio neutrofil terhadap limfosit (rasio N/L) dapat dihitung setelah diperoleh persentase neutrofil dan limfosit.

Rancangan dan Analisis Data

Respon Fisiologis dan Hematologi

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial (2x2) dengan empat kali ulangan. Faktor utama adalah bangsa domba Garut (G) dan domba Jonggol (J). Faktor kedua adalah jenis ransum RK (40% rumput lapang + 60% konsentrat komersil R) dan TK (40% limbah tauge + 60% konsentrat komersil LT). Model matematika yang digunakan menurut Mattjik dan Sumertajaya (2013) adalah:

Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk Keterangan:

Yijk : Nilai pengamatan bangsa domba ke-i, jenis ransum ke-j, dan ulangan ke-k

µ : Nilai tengah umum pengamatan

αi : Pengaruh bangsa domba pada taraf ke-i (G dan J) βj : Pengaruh jenis ransum pada taraf ke-j (RK dan TK)

(αβ)ij : Interaksi antara bangsa domba pada taraf ke-i dengan jenis ransum pada taraf ke-j

(20)

8

Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan sidik ragam ANOVA (Analysis of Variance). Jika terdapat perbedaan yang nyata atau sangat nyata maka dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan. Data diolah dengan menggunakan

software SAS 9.1. Tingkah Laku Domba

Data tingkah laku dianalisis secara deskriptif, yaitu dengan menjelaskan semua jenis tingkah laku dan frekuensi setiap tingkah laku yang dilakukan. Analisis perhitungan tingkah laku harian untuk mengetahui persentase tingkah laku dengan menggunakan persamaan matematika (Martin dan Bateson 1993):

Tingkah Laku = x 100% Keterangan: X = frekuensi suatu tingkah laku yang diamati

Y = frekuensi keseluruhan tingkah laku yang diamati

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Suhu dan Kelembaban Kandang

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan suhu kandang pada pagi, siang dan sore hari berkisar antara 22 oC - 32 oC dengan kelembaban berkisar antara 59.06% - 92.05%. Pengaruh suhu dan kelembaban merupakan salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi secara langsung kondisi fisiologis, performa ternak maupun respon pertumbuhan. Rataan suhu dan kelembaban kandang disajikan pada Tabel 2.

Ternak mempunyai beban panas yang lebih tinggi pada saat suhu lingkungan 30 oC bila dibandingkan dengan ternak yang berada pada suhu lingkungan 20 oC (Sudarman dan Ito 2000). Tabel 2 menunjukkan bahwa suhu dan kelembaban di kandang lebih tinggi dari suhu dan kelembaban normal untuk domba. Menurut Yousef (1985), kondisi lingkungan nyaman (thermoneutral zone) untuk domba berkisar 24-26 °C dengan kelembaban di bawah 75%.

Tabel 2. Rataan suhu dan kelembaban kandang

Waktu Suhu (oC) Kelembaban (%)

Pagi 23.54±0.97 87.08±6.14

Siang 30.92±0.95 81.85±14.80

Sore 31.23±1.64 79.85±16.10

(21)

9

Marai et al. (2007) menyatakan bahwa semakin tinggi suhu lingkungan akan menyebabkan peningkatan laju respirasi, suhu tubuh, konsumsi air dan penurunan konsumsi bahan kering. Kelembaban yang tinggi di dalam kadang menunjukkan bahwa udara di dalam kandang mengandung uap air cukup tinggi yang dihasilkan dari proses respirasi ternak.

Ditambahkan oleh Devendra dan Burn (1994) bahwa secara fisiologis tubuh ternak akan bereaksi terhadap rangsangan yang mengganggu fisiologis normal. Sebagai ilustrasi, ternak akan mengalami cekaman panas jika jumlah rataan produksi panas tubuh dan penyerapan radiasi panas dari sekelilingnya lebih besar dibandingkan dengan rataan panas yang dikeluarkan dari tubuh. Menurut Silanikove (2000), suhu lingkungan 24 °C sesuai untuk terjadinya tingkah laku yang nyaman pada domba. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan suhu dan kelembaban harian yang cukup tinggi pada penelitian ini tidak memengaruhi tingkah laku ternak (tingkah laku kedua bangsa domba masih dalam kondisi normal).

Respon Fisiologis Domba

Respon fisiologis merupakan suatu reaksi yang dilakukan oleh setiap sistem hidup terhadap berbagai perubahan yang terjadi pada lingkungannya (Isnaeni 2006). Kondisi ini dipengaruhi oleh iklim mikro (klimat). Respon fisiologis pada domba dapat diketahui diantaranya dengan melihat denyut jantung, laju pernapasan dan suhu rektal (Yousef 1985). Rataan pengukuran respon fisiologis domba Garut dan domba Jonggol jantan dewasa tersaji pada Tabel 3. Denyut Jantung

Hasil analisis ragam (Tabel 3) menunjukkan bahwa perbedaan bangsa domba berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap denyut jantung. Rataan denyut jantung domba Jonggol yaitu 94.67 kali menit-1 lebih tinggi dibandingkan dengan rataan denyut jantung domba Garut sebesar 78.67 kali menit-1. Frekuensi denyut jantung yang berbeda diduga karena ukuran tubuh domba Jonggol lebih kecil daripada domba Garut, sehingga jantung domba Jonggol akan berdenyut lebih cepat.

Menurut Frandson (1992), kecepatan denyut jantung cenderung lebih tinggi pada hewan-hewan berukuran kecil dan kemudian semakin lambat dengan semakin besarnya ukuran hewan. Secara keseluruhan, frekuensi denyut jantung kedua bangsa domba pada semua perlakuan pakan masih berada dalam kisaran normal. Menurut Frandson (1992) denyut jantung domba normal di daerah tropis berkisar antara 60-120 kali menit-1.

(22)

10

mengakibatkan aktivitas makan lebih banyak sehingga frekuensi denyut jantung domba meningkat. Edey (1983) menyatakan bahwa denyut jantung merupakan bagian dari respon fisiologis ternak yang dipengaruhi oleh suhu lingkungan, gerakan dan aktivitas otot.

Tabel 3 Respon fisiologis domba Garut dan domba Jonggol jantan dewasa Parameter Normal Jenis

RK 74.67±3.05b 105.33±3.05a 90.00±2.16 TK 82.67±3.05ab 84.00±3.05ab 83.33±2.16 Rataan Bangsa 78.67±2.16B 94.67±2.16A

Laju Pernapasan

Huruf berbeda (A, B) pada baris rataan bangsa menunjukan berbeda sangat nyata (P<0.01). Huruf berbeda (a, b) pada kolom atau baris interaksi bangsa dan pakan menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0.01). RK: 40% rumput lapang + 60% konsentrat R; TK: 40% limbah tauge + 60% konsentrat LT. Nilai normal menurut *Duke (1995), **Frandson (1992) dan ***Marai et al. (2007).

Laju Pernapasan (Respirasi)

Respirasi merupakan proses pertukaran gas yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan oksigen (O2). Pertukaran gas yaitu mekanisme pendistribusian oksigen ke seluruh sel-sel tubuh hewan dan mekanisme perpindahan karbondioksida (CO2) dari sel tubuh ke lingkungan. Respirasi meliputi semua proses, baik fisik maupun kimia dimana hewan mengadakan pertukaran gas-gas di sekelilingnya khususnya gas O2 dan CO2 (Widjajakusuma dan Sikar 1986). Menurut Marai et al. (2007), domba merupakan hewan

homeotermal yang mempertahankan tubuhnya dalam kondisi seimbang dengan menghilangkan kelebihan panas dari tubuhnya ketika terpapar suhu tinggi. Hal ini disertai dengan beberapa fungsi biologis diantaranya meningkatkan laju respirasi atau panting sebagai reaksi nyata.

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa kedua faktor perlakuan tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap laju pernapasan. Rataan laju pernapasan domba Garut RK tertinggi sebesar 65.33 kali menit-1 dan yang terendah yaitu domba Jonggol RK sebesar 61.33 kali menit-1. Secara umum, laju pernapasan kedua bangsa domba pada semua perlakuan pakan lebih tinggi dari kisaran normal. Menurut Frandson (1992), bahwa laju pernapasan normal pada domba adalah 26-32 kali menit-1.

(23)

11

akhirnya panas tubuh yang dihasilkan juga lebih banyak. Untuk mengurangi panas tubuh yang diterima, domba akan meningkatkan laju pernapasannya.

Peningkatan laju pernapasan merupakan salah satu upaya pembuangan panas melalui udara, dimana upaya ini digunakan agar domba dapat hidup dalam kondisi yang nyaman. Semakin cepat laju pernapasan yang dilakukan, semakin cepat panas tubuh dibuang. Menurut Hafez dan Dyer (1969), bahwa peningkatan konsumsi pakan dapat menyebabkan meningkatnya produksi panas sehingga laju pernapasan akan meningkat. Campbell et al. (2002) menyatakan bahwa oksigen dibutuhkan untuk proses perombakan makanan yang menghasilkan energi, dan zat sisa berupa karbondioksida dan uap air dibuang keluar tubuh lewat proses bernapas.

Menurut Silanikove (2000), mengukur tingkat stres panas pada domba dapat didasarkan pada tingginya laju pernapasan tiap menit, dengan uraian: stres panas rendah 40-60 kali menit-1, stres panas sedang 60-80 kali menit-1, stres panas tinggi 80-200 kali menit-1, stres panas berat lebih dari 200 kali menit-1. Domba pada penelitian ini dapat dikategorikan ke dalam tingkat stres panas yang sedang. Menurut Marai et al. (2007), paparan suhu tinggi akan memperbesar upaya untuk menghilangkan panas tubuh, diantaranya peningkatan laju pernapasan, suhu tubuh, konsumsi air dan penurunan konsumsi pakan. Berkaitan dengan dampak kelembaban, ketika kelembaban tinggi maka akan meningkatkan frekuensi pernapasan pada domba.

Suhu Rektal

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa kedua faktor perlakuan tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap suhu rektal. Rataan suhu rektal domba Garut RK tertinggi sebesar 39.60 oC dan yang terendah yaitu domba Jonggol TK sebesar 38.93 oC. Secara keseluruhan suhu rektal kedua bangsa domba pada semua perlakuan pakan masih berada pada kisaran normal.

Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988), suhu rektal normal pada domba di daerah tropis berkisar antara 39.2-40 oC (rata-rata 39.1 °C). Ditambahkan oleh Marai et al. (2007) yang menyatakan bahwa suhu rektal domba pada daerah tropis bervariasi, berkisar antara 38.3-39.9 oC dalam kondisi

thermoneutral. Wuryanto et al. (2010) menyatakan bahwa ternak mampu melakukan proses termoregulasi melalui mekanisme homeostasis dalam tubuh. Jika mengalami cekaman panas tubuh, maka domba akan melakukan perubahan suhu rektal.

Tingkah Laku Domba

(24)

12

RK: 40% rumput lapang + 60% konsentrat R; TK: 40% limbah tauge + 60% konsentrat LT.

Tabel 5 Frekuensi tingkah laku domba Garut dan domba Jonggol jantan dewasa

Diri Vokalisasi Resting Berjalan

---%/10 menit---

RK: 40% rumput lapang + 60% konsentrat R; TK: 40% limbah tauge + 60% konsentrat LT.

Tingkah Laku Makan

Tingkah laku makan berkaitan dengan jumlah konsumsi pakan ternak, dimana semakin tinggi konsumsi pakan maka konsumsi kandungan nutrisi semakin banyak untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan produktivitas ternak tersebut. Menurut Campbell dan Jhon (2003), pakan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perubahan tingkah laku makan pada domba. Perubahan tersebut menyangkut palatabilitas (daya kesukaan) dari pakan yang diberikan, jika palatabilitas tinggi maka konsumsi pakan akan semakin tinggi.

Berdasarkan hasil pengamatan, bahwa aktivitas makan dimulai pada saat ternak diberi makan. Tingkah laku makan biasanya dimulai dari mencium, mengamati, memeriksa, mengambil, mengunyah, dan menelan pakan. Aktivitas makan pada domba selama pengamatan dilakukan dengan cara mengambil pakan langsung dengan menggunakan bibir atas dan bibir bawah kemudian dikunyah sebelum ditelan. Jika pakan dalam wadah tinggal sedikit, domba mengambil pakan menggunakan lidahnya, hal ini diperkirakan untuk mempermudah dalam pengambilan pakan.

(25)

13

(palatabilitas) kedua bangsa domba akan rumput lebih tinggi daripada limbah tauge. Hal tersebut diduga rumput dan limbah tauge memiliki aroma yang berbeda, rumput aromanya lebih harum dan segar bila dibandingkan dengan limbah tauge yang cenderung berbau langu. Selain itu, domba Jonggol dan domba Garut pada umumnya terbiasa diberi pakan rumput daripada diberi pakan jenis lainnya. Tetapi, tingkat bau dari limbah tauge belum menyebabkan penurunan palatabilitas yang melewati batas ekstrim, sehingga masih bisa di toleransi oleh kedua bangsa domba penelitian. Menurut Anggorodi (1994), palatabilitas dapat dipengaruhi oleh bentuk, bau, rasa, dan tekstur.

Rata-rata frekuensi tingkah laku makan pada malam hari sebesar 34.07% lebih tinggi daripada pagi hari sebesar 33.52%. Tingginya frekuensi tingkah laku makan pada malam hari diduga karena waktu pemberian pakan sore hari yang mendekati suhu lingkungan nyaman (thermoneutral zone) bagi domba, sehingga konsumsi pakan pada domba meningkat yang mengakibatkan produktivitas ternak meningkat.

Tingkah laku harian yang berhubungan dengan tingkah laku makan selain aktivitas makan yaitu aktivitas minum. Air merupakan salah satu komponen penting dalam kehidupan untuk bertahan hidup dengan temperatur lingkungan yang tinggi. Aktivitas minum merupakan suatu aktivitas memasukkan air ke dalam tubuh melalui mulut. Aktivitas minum pada domba selama pengamatan dilakukan dengan cara mendekati mulutnya ke tempat air minum yang telah disediakan kemudian lidahnya dijulurkan ke dalam air secara berulang-ulang, ujung lidah digerakkan sehingga air dapat masuk ke dalam mulutnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Fraser (1974), aktivitas minum ternak dimulai pada saat mulut dimasukkan ke dalam air dan sambil memainkan lidahnya sehingga air dapat masuk ke dalam mulut.

Tingkah Laku Membuang Kotoran

Tingkah laku membuang kotoran yaitu tingkah laku membuang feses dan urinasi. Menurut Frandson (1992), membuang kotoran adalah proses pengeluaran sisa-sisa pakan yang tidak tercerna dalam saluran pencernaan yang terjadi secara alamiah. Berdasarkan hasil pengamatan aktivitas membuang kotoran pada domba dilakukan dengan cara mengangkat ekor baik dengan melengkung atau berdiri lurus kemudian menggerak-gerakkannya sampai keluarnya kotoran setelah itu ekor digerak-gerakkan kembali. Aktivitas membuang kotoran ini dapat dilakukan secara bersamaan dengan aktivitas makan, berdiri, bergerak, bermain, merawat diri, dan istirahat.

(26)

14

tingkah laku tersebut dapat terjadi dalam jangka waktu tertentu, terutama beberapa jam setelah makan dan minum.

Tingkah Laku Agonistik

Aktivitas agonistik yang diperlihatkan pada domba selama pengamatan dengan cara menumbukkan tanduk pada dinding kandang, melompat dan mengais-ngais lantai kandang. Tingkah laku menumbukkan tanduk ini dapat merugikan bagi peternak karena tanduk bisa luka, cacat dan mudah rusak sehingga dapat menurunkan harga jual terutama pada hari raya Qurban.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi tingkah laku agonistik yang terlihat hanya pada pagi hari, sedangkan pada malam hari tidak terlihat tingkah laku agonistik. Frekuensi tingkah laku agonistik pada domba Garut dengan perlakuan pakan TK (4.45%) lebih tinggi daripada perlakuan pakan RK (2.27%). Aktivitas agonistik pada domba Garut diduga karena keterlambatan dalam pemberian pakan, mencium feromon betina yang sedang birahi, stres karena baru dipindahkan serta saling menunjukkan kekuatan antar sesama domba. Menurut Yamin et al. (2013a), tingkah laku agonistik bisa dijadikan indikator tingkat stres pada ternak domba dan dapat berpengaruh terhadap produktivitas dan kualitas domba yang dihasilkan pada usaha penggemukan domba. Pertambahan bobot badan akan berkurang karena domba menggunakan energi untuk melakukan aktivitas tingkah laku agonistik dan kualitas daging akan berkurang karena adanya memar dan luka yang dapat menurunkan harga jual dan menurunkan daya tarik daging tersebut.

Selama pengamatan, aktivitas menumbukkan tanduk lebih sering dilakukan bila dibandingkan dengan aktivitas mengais pada lantai kandang atau melompat. Tingkah laku mengais lantai kandang dilakukan bila domba akan melakukan aktivitas berbaring, setelah urinasi dan terkadang dilakukan sebelum aktivitas menumbuk. Aktivitas menumbukkan tanduk diawali dengan gerakan mengambil ancang-ancang dengan melangkah mundur lalu melangkah maju dengan menghantam kepala atau tanduk ke arah lawan atau ke arah dinding. Domba yang sedang bertumbukkan akan saling mengadukan tanduknya yang terkadang dengan sedikit melonjak dengan posisi kaki depan ditekuk sedangkan kaki belakang sebagai tumpuan. Ensminger (2002), menyatakan bahwa tingkah laku agonistik pada domba jantan diperlihatkan pada saat berkelahi dengan mundur terlebih dahulu kemudian menyerang dengan cara menumbukkan kepalanya atau tanduknya pada kepala lawan. Domba akan terus berkelahi sampai salah satu dari mereka berhenti dan menyerah. Biasanya domba sebelum berkelahi dia akan mengendus. Aktivitas agonistik ini tidak sampai membuat keadaan fisik domba terganggu, seperti terluka pada kepala maupun tanduk. Hal ini karena terdapat penghalang yaitu dinding kandang yang terbuat dari besi. Tetapi hal ini dapat berpengaruh terhadap ketahanan dari lantai atau dinding kandang, yaitu kandang akan lebih cepat rusak.

Tingkah Laku Merawat Diri

(27)

15

sebelahnya. Posisi menyodorkan bagian yang akan dibersihkan dilakukan dengan cara berdiri tegak dengan posisi kaki depan bertumpu pada sela-sela dinding besi. Merawat diri yang dilakukan antar individu dengan cara menjilat dan menggigit sehingga bagian tersebut bersih dari kotoran atau parasit. Hal ini akan dilakukan secara bergantian.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi tingkah laku merawat diri domba Jonggol dan domba Garut pada pagi hari maupun malam hari yang tertinggi adalah dengan perlakuan pakan RK yaitu masing-masing sebesar 15% dan 13.64% (pagi hari) sedangkan malam hari 13.21% dan 16.67%. Tujuan tingkah laku merawat diri pada domba yaitu untuk membersihkan wol yang merupakan sarang bagi ektoparasit sehingga dengan demikian domba akan merasa lebih bersih. Menurut Hart (1985) tingkah laku merawat diri pada domba bertujuan untuk merapihkan kulit atau wol dan mengangkat ektoparasit. Ditambahkan oleh Tomaszewka et al. (1993), bahwa tingkah laku merawat diri bertujuan merawat wol dan mengangkat ektoparasit. Tingkah laku merawat diri yang muncul selama pengamatan adalah menggesekkan tubuhnya kedinding dan menggaruk wol dengan mulutnya. Domba yang hidup secara berkelompok, merawat diri merupakan salah satu aktivitas yang sering dilakukan karena merupakan salah satu bentuk komunikasi antar anggota kelompok dan guna untuk membersihkan diri.

Tingkah Laku Vokalisasi

Aktivitas vokalisasi pada ternak dapat diartikan sebagai ungkapan dan ekspresi yang dinyatakan melalui suara terhadap lingkungan sekitar, sebagai komunikasi antar individu, memberitahu ke individu lain bila ada makanan, rasa lapar serta bahaya, dan untuk menarik lawan jenis. Menurut Ensminger (1977), aktivitas bersuara dapat berfungsi rangkap yaitu merupakan suatu alat komunikasi antar individu sejenis dan untuk menarik pasangannya. Domba bersuara dengan nada dan frekuensi yang berbeda.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi tingkah laku vokalisasi tertinggi yaitu pada pagi hari. Frekuensi tingkah laku vokalisasi domba Garut dengan perlakuan pakan TK sebesar 23.62%. Secara keseluruhan tingkah laku vokalisasi domba Garut pada semua perlakuan pakan terlihat lebih tinggi daripada domba Jonggol. Selama pengamatan dilakukan domba Jonggol menunjukkan tingkah laku vokalisasi yang lebih sedikit, hal ini dapat disebabkan respon domba Jonggol terhadap tingkat kenyamanan kandang cukup baik. Selain hal tersebut domba dalam penelitian ini biasanya melakukan tingkah laku vokalisasi disaat mengalami gangguan atau pada saat waktu pemberian pakan tiba.

Tingkah Laku Istirahat (Resting)

(28)

16

Rata-rata frekuensi tingkah laku istirahat pada pagi hari sebesar 26.33% sedangkan pada malam hari sebesar 45.63%. Tingginya tingkah laku istirahat pada malam hari diduga karena akivitas makan yang tinggi pada sore hari menyebabkan domba lebih banyak istirahat pada malam hari daripada siang hari. Aktivitas istirahat pada domba berfungsi untuk mengurangi energi yang bertujuan untuk mengolah makanan yang telah dikonsumsi, dilakukan dengan cara menekuk pergelangan kedua kaki depan ke arah belakang diikuti menundukkan kepala kemudian dilanjutkan dengan menekuk pergelangan kedua kaki belakang dan diikuti dengan merebahkan tubuh. Posisi domba ketika melakukan aktivitas istirahat sangat beragam antara lain dalam keadaan berbaring dengan kedua kaki mengarah ke depan sedangkan posisi kepala tegak dengan sikap waspada terhadap lingkungan atau kepala diletakkan di bawah, tengkurap dengan keempat kaki ditekuk dengan posisi kepala terkadang mengarah ke arah perut, diam sambil berdiri selama beberapa saat, berdiri dengan keadaan diam, dan tidur. Aktivitas istirahat pada domba selama pengamatan meliputi diam, istirahat untuk memamah biak dan tidur. Aktivitas diam dilakukan dengan keempat kaki lurus dan tidak bergerak, kepala menunduk dengan mata terkadang terlihat menutup.

Rata-rata frekuensi tingkah laku istirahat tertinggi pagi hari adalah pada domba Jonggol dengan jenis ransum TK sebesar 73.53%. Sedangkan pada malam hari, yang tertinggi adalah pada domba Garut dengan jenis ransum TK sebesar 69.29%. Tingginya frekuensi tingkah laku istirahat pada jenis ransum TK diduga karena ransum TK menghaslkan energi yang cukup tinggi, sehingga domba lebih banyak beristirahat untuk menghemat energi yang dapat digunakan oleh tubuh. Menurut Fraser dan Broom (1990) menyatakan bahwa tingkah laku istirahat berfungsi untuk menghemat energi yang digunakan oleh tubuh. Menurut Setianah

et al. (2004), tingkah laku istirahat biasanya dilakukan dengan posisi bersimpuh, berdiri dan berbaring dengan meletakkan kepala ke atas tanah dengan mata terpejam atau terbuka.

Tingkah Laku Berjalan (Lokomotive)

(29)

17

Status Hematologi pada Domba

Salah satu fungsi darah yaitu untuk membawa nutrien dari saluran pencernaan menuju ke jaringan, membawa oksigen (O2) dari paru-paru ke jaringan dan karbondioksida (CO2) dari jaringan ke paru-paru, membawa produk buangan metabolisme, membawa hormon yang dihasilkan oleh kelenjar endokrin dan mengatur kandungan cairan jaringan tubuh (Sturkie dan Griminger 1976). Hasil analisis hematologi domba Garut dan domba Jonggol jantan dewasa tersaji pada Tabel 6.

Tabel 6 Hematologi domba Garut dan domba Jonggol jantan dewasa Parameter Nilai Rataan Bangsa 25.57±0.69B 29.31±0.69A

Hemoglobin sangat nyata (P<0.01). Huruf berbeda (A, B) pada baris rataan bangsa menunjukan berbeda sangat nyata (P<0.01). Huruf berbeda (A, B) pada kolom rataan pakan menunjukan berbeda nyata (P<0.05). RK: 40% rumput lapang + 60% konsentrat R; TK: 40% limbah tauge + 60% konsentrat LT. Nilai normal menurut *Schalm et al. (1986).

Jumlah Eritrosit

Eritrosit adalah sel darah merah yang membawa hemoglobin ke dalam sirkulasi darah. Eritrosit dibentuk di sumsum tulang dan dalam jumlah sedikit di limpa (Swenson 1997). Berdasarkan hasil analisis ragam (Tabel 6), perbedaan jenis ransum berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap jumlah eritrosit. Jumlah eritrosit domba yang diberi perlakuan TK yaitu 11.75 juta mm3 -1 lebih tinggi dibandingkan jumlah eritrosit domba yang diberi perlakuan RK sebesar 10.30 juta mm3-1.

(30)

18

Perbedaan jumlah eritrosit juga diduga karena perbedaan bangsa, umur, dan sistem pemeliharaan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sturkie dan Griminger (1976), bahwa perbedaan jumlah eritrosit dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya umur, jenis kelamin, bangsa, penyakit, temperatur, lingkungan, keaadaan geografis, dan kegiatan fisik. Secara umum rata-rata jumlah eritrosit kedua bangsa domba pada semua perlakuan pakan masih berada dalam kisaran normal. Jumlah total eritrosit normal pada domba adalah 9-15 juta mm3 -1 (Schalm

et al. 1986). Nilai Hematokrit

Hematokrit atau packed cell volume (PCV) disebut juga volume sel padat, menunjukkan volume darah lengkap yang terdiri dari sel darah merah dalam darah setelah spesimen darah di sentrifus (Price dan Wilson 1995). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perbedaan jenis ransum berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap nilai hematokrit. Rataan nilai hematokrit tertinggi pada perlakuan TK sebesar 28.58% dan terendah pada perlakuan RK yaitu 26.31%. Tingginya nilai hematokrit pada perlakuan TK diduga karena ransum TK mengandung limbah tauge yang kadar protein kasarnya mencapai 13.76% sedangkan ransum RK mengandung rumput yang kadar protein kasarnya hanya 9.56%. Jumlah eritrosit dalam penelitian ini lebih tinggi pada perlakuan ransum TK dibandingkan perlakuan ransum RK, sehingga nilai hematokrit perlakuan ransum TK lebih tinggi dibandingkan perlakuan ransum RK. Menurut Winarsih (2005), nilai hematokrit sangat tergantung pada jumlah eritrosit, karena eritrosit merupakan masa sel terbesar dalam darah.

Perbedaan bangsa domba berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap nilai hematokrit. Rataan nilai hematokrit domba Jonggol sebesar 29.31% sedangkan domba Garut sebesar 25.57%. Menurut Reviany dan Hartati (1986), nilai hematokrit sebanding dengan eritrosit dan kadar hemoglobin. Perbedaan nilai hematokrit pada kedua bangsa domba diduga karena perbedaan umur, sistem pemeliharaan dan musim. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sturkie dan Griminger (1976) bahwa nilai hematokrit dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu umur, jenis kelamin, status nutrisi, jumlah eritrosit dan ukuran eritrosit.

Menurut Heath dan Olusanya (1985), umumnya ternak yang berada di daerah tropis memiliki nilai hematokrit yang lebih rendah. Hal ini karena domba di negara tropis menderita cekaman tinggi akibat temperatur lingkungan dan kelembaban udara yang tinggi. Schalm (1971) menyatakan bahwa nilai hematokrit dipengaruhi oleh bangsa dan jenis ternak, iklim setempat, penyakit dan dehidrasi. Nilai hematokrit untuk domba sehat menurut Taiwo dan Ogunsanmi (2003) berkisar antara 36-37%, menurut Orheruata dan Akhuomobhogbe (2006) antara 18-38%, dan menurut Schalm et al. (1986) berada pada kisaran 27-45%.

Kadar Hemoglobin (Hb)

(31)

19

dalam molekul hemoglobin. Jumlah oksigen yang terikat sama dengan jumlah atom besi. Tiap gram hemoglobin akan mengangkut sekitar 1.34 ml oksigen (Frandson 1992).

Berdasarkan hasil analisis ragam, perbedaan bangsa domba berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap kadar Hb. Rataan kadar Hb domba Jonggol sebesar 6.65 g dl-1 lebih tinggi daripada kadar Hb domba Garut yang sebesar 5.87 g dl-1. Tingginya kadar Hb pada domba Jonggol diduga karena tingkat stres domba Jonggol lebih tinggi daripada domba Garut. Domba Jonggol terbiasa dipelihara di padang penggembalaan (ekstensif), sehingga ketika dipelihara di kandang penelitian secara intensif menyebabkan domba Jonggol mengalami cekaman stres yang lebih tinggi. Menurut Sporer et al. (2008) dan Rahardja (2010), tekanan stres mengakibatkan produksi glucocorticoid terutama cortisol

yang memacu peningkatan terjadinya glukoneogenesis. Diketahui bahwa glukoneogenesis merupakan jalur pembentukan glukosa dari prekursor-prekursor non karbohidrat (asam-asam amino dan asam-asam lemak). Dapat dipastikan bahwa ketika stres pemanfaatan asam-asam amino memasuki jalur siklus Krebs menjadi meningkat. Terkait dengan sintesis hemoglobin, menurut (Sturkie dan Griminger 1976, Guyton 1996, Mushawwir 2005), maka terlihat ketika laju glukoneogenesis meningkat untuk pemenuhan energi, asam-asam amino pembentuk Hb (terutama glisin dan metheonin) lebih diutamakan masuk ke dalam jalur siklus Krebs untuk sintesis energi yang menyebabkan laju pembentukan Hb mengalami penurunan.

Interaksi antara bangsa domba dan jenis ransum juga berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap kadar Hb. Kadar Hb domba Jonggol RK tertinggi sebesar 6.79 g dl-1 dan yang terendah yaitu domba Garut RK sebesar 5.21 g dl-1. Secara umum kadar Hb domba Garut dan domba Jonggol pada semua perlakuan pakan berada di bawah kisaran normal. Kadar Hb normal untuk domba adalah 11 g dl-1 (Tambuwal et al. 2002), 11-13 g dl-1 (Soeharsono et al. 2010) dan 9-15 g dl-1 (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Rendahnya kadar Hb pada domba Garut dan domba Jonggol pada semua perlakuan diduga karena ransum RK dan TK yang diberikan memiliki kandungan mineral zat besi (Fe) dan tembaga (Cu) yang rendah. Zat besi merupakan mineral yang dibutuhkan dalam proses pembentukan Hb. Menurut Linder dan Hazegh-Azam (1996), meskipun Cu tidak terlibat langsung dalam pembentukan Hb, namun Cu mempunyai peranan yang sangat esensial dalam proses pembentukan Hb. Tembaga (Cu) berfungsi sebagai biokatalisator untuk Fe pada proses sintesis Hb dan membantu pematangan eritrosit (eritropoesis).

(32)

20

Menurut Little (1985), kandungan Cu pada beberapa jenis rumput atau hijauan yang digunakan sebagai sumber pakan ternak ruminansia di Indonesia, di bawah batas normal (rendah). Dilaporkan oleh Prabowo et al. (1997) dan Mathius (1988), dari hasil pemeriksaan rumput lapangan yang biasa digunakan sebagai pakan utama kambing atau domba, umumnya mempunyai kandungan Cu di bawah batas normal (kritis). Kandungan Cu ini akan menjadi lebih rendah lagi pada musim kemarau.

Jumlah Total Leukosit, Diferensiasi Leukosit dan Rasio Neutrofil/Limfosit Rataan jumlah total leukosit, diferensiasi leukosit dan rasio neutrofil/limfosit domba Garut dan domba Jonggol jantan dewasa tersaji pada Tabel 7.

Rataan Bangsa 15.73±1.32 15.64±1.32

(33)

21

Jumlah Total Leukosit

Hasil analisis ragam (Tabel 7) menunjukkan bahwa perbedaan bangsa dan jenis ransum tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap jumlah total leukosit. Rataan jumlah total leukosit domba Garut sebesar 15.73 ribu mm3 -1, sedangkan rataan jumlah total leukosit domba Jonggol sebesar 15.64 ribu mm3 -1. Jumlah total leukosit domba Garut dan domba Jonggol pada semua perlakuan pakan berada diatas kisaran normal. Menurut Schalm et al. (1986), jumlah total leukosit normal pada domba berkisar antara 4-12 ribu/mm3. Peningkatan jumlah total leukosit (leukositosis) pada kedua bangsa domba diduga karena adanya respon stres akibat perlakuan pemberian pakan maupun waktu pemberian pakan sore hari, yang tidak biasa diterapkan pada domba perlakuan.

Leukositosis dapat berlangsung secara normal (leukositosis fisiologis) maupun sebagai bentuk respon adanya penyakit (reaktif leukositosis). Leukositosis fisiologis terjadi pada hewan yang stres akibat fisik maupun sebagai induksi dari adanya penyakit. Peningkatan jumlah total leukosit dimediasi oleh hormon epinefrin dan hormon kortikosteroid (Jain 1993). Leukositosis juga dipengaruhi oleh kinetika neutrofil yang akan mengubah penghitungan jumlah total leukosit (Brown 1980). Jumlah total leukosit juga dipengaruhi oleh hormon epinefrin dan hormon kortikosteroid. Epinefrin akan meningkatkan jumlah limfosit dan neutrofil yang bersirkulasi dalam darah, sedangkan peningkatan kortikosteroid dapat memengaruhi jumlah neutrofil yang lebih tinggi dari limfosit. Pelepasan kortikosteroid secara endogenous akan berpengaruh pada penghitungan jumlah total leukosit (Jain 1993).

Hormon epinefrin akan meningkatkan sirkulasi darah dan limfe. Sebagai konsekuensinya sel darah putih dalam pembuluh darah dan limfonodus dikerahkan menuju sirkulasi darah. Hal ini menyebabkan terjadinya leukositosis yang disertai neutrofilia dan limfositosis. Perbedaan utama antara respon yang diperantarai hormon epinefrin dan hormon kortikosteroid adalah, pada sekresi epinefrin terjadi leukositosis yang bersifat sementara dan sangat singkat, sedangkan pada kortikosteroid leukositosis berlangsung lebih lama (Jain 1993). Persentase Neutrofil

Neutrofil merupakan tanggap kebal pertama dalam tubuh. Fungsi utama neutrofil adalah memfagosit dan membunuh mikroorganisme asing (Jain 1993). Menurut Baratawidjaja dan Karnen (2004), neutrofil berperan dalam pertahanan awal imunitas non spesifik terhadap adanya infeksi bakteri.

Berdasarkan hasil analisis ragam (Tabel 7), perbedaan bangsa berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap persentase neutrofil. Rataan persentase neutrofil domba Jonggol sebesar 61.80%, lebih tinggi dibandingkan persentase neutrofil pada domba Garut yang sebesar 46.30%. Persentase neutrofil yang lebih tinggi pada domba Jonggol diduga karena aktivitas domba Jonggol lebih tinggi dibandingkan domba Garut. Domba Jonggol terbiasa digembalakan, sehingga memiliki aktivitas yang tinggi, sedangkan domba Garut terbiasa hidup di kandangkan (intensif) sehingga aktivitasnya tidak sebanyak aktivitas domba Jonggol.

(34)

22

darah. Selain itu, kortikosteroid menyebabkan demarginasi neutrofil yang berakibat pada meningkatnya jumlah neutrofil di dalam sirkulasi darah. Hormon epinefrin akan meningkatkan jumlah neutrofil yang bersirkulasi dalam darah (Meyer dan Harvey 2004). Secara keseluruhan, persentase neutrofil domba Garut pada semua perlakuan pakan masih berada dalam kisaran normal, sedangkan persentase neutrofil domba Jonggol pada semua perlakuan pakan berada diatas kisaran normal. Menurut Schalm et al. (1986) persentase neutrofil normal pada domba berkisar antara 10-50%.

Persentase Limfosit

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perbedaan bangsa dan jenis ransum tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap persentase limfosit. Secara umum, persentase limfosit kedua bangsa domba pada semua perlakuan pakan pada penelitian ini berada dibawah kisaran normal. Menurut Schalm et al. (1986), persentase limfosit normal pada domba berkisar antara 40-75%. Menurut Meyer dan Harvey (2004), bahwa penurunan jumlah limfosit dalam sirkulasi darah dapat terjadi karena pengaruh glukokortikoid (endogen/eksogen), penggunaan obat-obatan imunosupresif, dan radiasi yang menyebabkan kerusakan sel darah putih. Persentase Monosit

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perbedaan bangsa domba dan jenis ransum tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap persentase monosit. Persentase monosit domba Garut dan domba Jonggol berkisar antara 1.60-2.60%. Persentase monosit kedua bangsa domba pada semua perlakuan pakan berada dalam kisaran normal. Menurut Schalm et al. (1986), persentase monosit pada domba sehat berkisar antara 0-6%.

Monosit di dalam jaringan disebut dengan makrofag. Makrofag berperan penting bagi tubuh untuk melawan infeksi mikroba. Hal ini dikarenakan monosit dalam keadaan normal merupakan sumber pembentukan makrofag tetap pada

Mononuclear Phagocytes System (MPS) serta secara tidak langsung monosit memberi tanda pada MPS untuk menjalankan fungsinya (Jain 1993). Menurut Brown (1980), makrofag memiliki fungsi dalam mekanisme pertahanan tubuh terhadap mikroorganisme.

Persentase Eosinofil

Eosinofil termasuk leukosit jenis granulosit yang berukuran hampir sama dengan neutrofil. Persentase eosinofil dalam sirkulasi darah domba sehat berkisar antara 2-8% dari jumlah total leukosit (Meyer dan Harvey 2004). Menurut Butterworth (1984), Dawkins et al. (1989), Rothwell et al. (1993) dan Stear dan Murray (1994), menyatakan bahwa jumlah eosinofil yang dihasilkan oleh tubuh hewan dapat menentukan tingkat resistensi hewan tersebut terhadap infeksi penyakit.

(35)

23

Jonggol berasal dari wilayah yang kering dan panas serta terbiasa hidup digembalakan, sehingga diduga akan lebih tahan terhadap penyakit dibandingkan domba Garut yang sering dipelihara secara intensif. Menurut Dellmann dan Eurell (1998), eosinofil merupakan sel fagosit yang motil dan memiliki kemampuan memfagosit dan membunuh bakteri, walaupun kemampuannya lebih rendah dibandingkan dengan neutrofil.

Rasio Neutrofil/Limfosit (Rasio N/L)

Rasio N/L merupakan ukuran yang baik untuk melihat tingkat cekaman yang diperoleh dan nilainya dipengaruhi oleh stres dan penyakit (Gross dan Siegel 1983). Berdasarkan hasil analisis ragam, perbedaan bangsa domba dan jenis ransum tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap rasio N/L. Rataan rasio N/L domba Garut sebesar 1.43%, sedangkan rataan rasio N/L domba Jonggol sebesar 2.77%. Rataan rasio N/L domba Jonggol berada diatas kisaran normal. Menurut Kannan et al. (2000), nilai normal rasio N/L untuk domba yaitu kurang dari 1.5%. Rasio N/L yang tinggi pada domba Jonggol diduga karena adanya reaksi domba dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitarnya. Semakin tinggi tingkat cekaman panas maka semakin tinggi pula rasio N/L. Ganong (1995) menyatakan bahwa kondisi cekaman dapat menyebabkan terjadinya peningkatan kadar kortikosteroid di dalam sirkulasi darah. Peningkatan kadar kortikosteroid dapat meningkatkan jumlah neutrofil.

4 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Pemberian pakan limbah tauge dengan waktu pemberian pakan sore hari selama delapan minggu tidak berpengaruh terhadap respon fisiologis, tingkah laku, dan status hematologi, tetapi berpengaruh terhadap laju pernapasan yang semakin meningkat, kadar hemoglobin menurun, jumlah total leukosit meningkat, persentase limfosit menurun dan rasio neutrofil/limfosit meningkat.

Saran

(36)

24 yang dipelihara di Hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi. Agripet. 8(2):1-8.

Baratawidjaja, Karnen G. 2004. Imunologi Dasar. Jakarta (ID): UI Pr.

Brown BA. 1980. Hematology Principles and Procedores. Ed ke-3. Philadelphia (US): Lea and Febiger.

Butterworth AE. 1984. Cell-mediated damage to helminthes. Adv Parasitol. 23: 143-235.

Campbell N, Jhon R. 2003. Animal Science. Ed ke-4. New York (US): Mc Graw Hill.

Campbell N, Reece A, Jane B, Lawrance GM. 2002. Biologi Jilid I. Ed ke-5. Jakarta (ID): Erlangga.

Caple IW. 1984. Trace Elements: Deficiencies, Nutrition and Disease in Beef Cattle Production. Autralia (AU): The University of Sidney. hlm 342-366. Darmono, Bahri S. 1989. Defisiensi tembaga dan seng pada sapi di daerah

Kalimantan Selatan. Penyakit Hewan. 21(38):128-131.

Dawkins HJS, Windon RG, Engleson GK. 1989. Eosinophil responses in sheep selected for high and low responsiveness to Trichostrongylus colubriformis. Int JParasitol. 19: 199-205.

Dellman DH, Eurell JA. 1998. Textbook of Veterinary Histology. Ed ke-5. USA (US): A Wolsters Kluwer Company.

Devendra C, Mclorey. 1982. Goat and Sheep Production in the Tropics. Ed ke-1. Oxford (GB): Oxford University Press.

Devendra C, Burn M. 1994. Produksi Kambing di Daerah Tropis. Bandung (ID): ITB Pr. hlm 12-35.

Diaz DFG, Campion J, Milagro FI, Lomba A, Marzo F, Martinez JA. 2007. Chronic mild stress induces variations in locomotive behavior and metabolic rates in high fat fed rats. J Physiol Biochem. 63(4):337-346. Duke NH. 1995. The Physiology of Domestic Animal. New York (US): Comstock

Publishing.

Duncan JR, Prasse KW. 1986. Veterinary Laboratory Medicine, Clinical Pathology. Ed ke-2. Lowa (US): Iowa State University Pr.

Edey TN. 1983. The Genetic Pool of Sheep and Goats. In: Tropical Sheep and Goat Production. Canberra (AU): Australia University International. Ensminger EM. 1977. Animal Science. Illinois (US): The Interstate Printers and

Publishers.

(37)

25

Frandson RD. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Pr.

Fraser AF. 1974. Farm Animal Behaviour. London (GB): Bailliere Tindall.

Fraser AF, Broom DM. 1990. Farm Animal Behaviour and Welfare. London (GB): Bailliiere Tindal Publisher.

Ganong W. 1995. Fisiologi Kedokteran. Ed ke-17. Jakarta (ID): Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Gross WB, Siegel HS. 1983. Evaluation of the heterophil/lymphocite ratio as a measure of stress in chickens. Avian Disease. 27(4):972-979.

Guyton AC. 1996. Fisiologi Kedokteran. Ed ke-7. Tengadi KA, Tandean R, Moetedjo RM, Rahardja B, Mawi M, penerjemah. Jakarta (ID): EGC. Hafez ESE, Dyer IA. 1969. Animal Growth and Nutrition. Philadelphia (US): Lea

and Febiger.

Harris ZL, Klomp LWJ, Gitlin JH. 1998. Aceruloplasminemia: an inherited neurodegenerative disease with impairment of iron homeostatis. Am J Clin Nutr. 67:972-811.

Hart BL. 1985. The Behavior of Domestik Animal. New York (US): WH. Freeman.

Hartadi H, Reksohadiprodjo S, Tillman AD. 1997. Tabel Komposisi Pakan untuk Indonesia. Yogyakarta (ID): UGM Pr.

Heath EH, Olusanya S. 1985. Anatomy and Physiology of Tropical Livestock. Singapura (SG): Longman Singapore Publisher.

Isnaeni W. 2006. Fisiologi Hewan. Yogyakarta (ID): Kanisius.

Jain NC. 1993. Essentials of Veterinary Hematology. Philadelphia (US): Lea and Febiger. hlm 732-752.

Kannan G, Terrill TH, Kouakou B, Gazal OS, Gelaye S, Amoah EA, Samake S, 2000. Transportation of goats: effects on physiological stress responses and live weight loss. J Anim Sci. 78:1450-1457.

Linder MC, Hazegh-Azam M. 1996. Copper biochemistry and molecular biology.

Am J Clin Nutr. 63:797-811.

Linder MC, Wooten L, Cerveza P, Cotton S, Shulze R, Lomeli N. 1998. Copper Transport. Am J Clin Nutr. 67:965-971.

Little DA. 1985. The mineral content of ruminant feeds and potential for mineral supplementations in South-East Asia with particular reference to indonesia. Di dalam: Dixon RM, editor. Ruminant Feeding Systems Utilizing Fibrous Agricultural Residues. Australia (AU): IDP. hlm 77-85. Marai IFM, El-Darawany AA, Fadiel A, Abdel-Hafez MAM. 2007. Physiological

traits as affected by heat stress in sheep. Small Ruminant Research. 71:1-12.

Martin, Bateson. 1993. Measuring Behaviour: an Introductory Guide. New York (US): Cambridge University Pr.

Mathius IW. 1988. Jenis dan nilai gizi hijauan makanan domba dan kambing di pedesaan Jawa Barat. Di dalam Prossiding Pertemuan Ilmiah Ruminansia. Bogor.

Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2013. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab Jilid I. Bogor (ID): IPB Press.

Gambar

Tabel 3 Respon fisiologis domba Garut dan domba Jonggol jantan dewasa
Tabel 6 Hematologi domba Garut dan domba Jonggol jantan dewasa
Tabel 7 Jumlah leukosit, diferensiasi leukosit dan rasio N/L domba Garut dan

Referensi

Dokumen terkait

berapa bagian masing-masing suami atau isteri atas harta bersama bila terjadi perceraian, baik cerai mati maupun cerai hidup. Adapun maksud dengan kata

Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui (1) Seberapa besar pengaruh pemanfaatan perpustakaan sekolah terhadap hasil belajar kewirausahaan kelas XI SMK GARUDA

Dengan demikian hasil dari penelitian ini telah menjawab hipotesis penelitian yang ada, yaitu Ho ditolak dan Ha diterima yang berarti ada hubungan antara lama

Kesimpulan yang dapat diambil adalah ternyata setiap media massa memiliki perbedaan dalam menyikapi untuk kemudian menulis sebuah peristiwa menjadi sebuah berita.Khususnya

Pengelolaan hutan mangrove melalui pendekatan sosial dengan sistem tumpangsari pola empang parit merupakan alternatif pelestarian ekosistem mangrove untuk tetap

Korpus yang digunakan ialah iklan Televisi Tim Tam Slam versi ”Titi Kamal sebagai Pramugari”, yang telah dilakukan pemotongan gambar terhadap iklan tersebut di mana gambar yang

Pada tahun 2012 atau sebelum dibukanya Jalan Lingkar Selatan, Kecamatan Pati termasuk kedalam golongan macet karena karakteristik tingkat LOS rata-rata pada kelas E yang artinya

&#34;Menurut MacDonald dalam Crooks &amp; Baur (2005), individu biseksual adalah individu yang dapat terlibat dan menikmati aktivitas seksual dengan kedua jenis