• Tidak ada hasil yang ditemukan

Profil Koefisien Diffuse Atenuasi Kolom Perairan di Timur Laut Teluk Meksiko

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Profil Koefisien Diffuse Atenuasi Kolom Perairan di Timur Laut Teluk Meksiko"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

PROFIL KOEFISIEN

DIFFUSE

ATENUASI KOLOM

PERAIRAN DI TIMUR LAUT TELUK MEKSIKO

VERONICA STELLA ANGELIQUE LOUHENAPESSY

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Profil Koefisien Diffuse Atenuasi Kolom Perairan di Timur Laut Teluk Meksiko adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

VERONICA STELLA ANGELIQUE LOUHENAPESSY. Profil Koefisien Diffuse Atenuasi Kolom Perairan di Timur Laut Teluk Meksiko. Dibimbing oleh BISMAN NABABAN dan RISTI ENDRIANI ARHATIN.

Proses pengurangan energi cahaya akibat proses hamburan dan absorpsi dikenal dengan istilah atenuasi. Penelitian ini bertujuan mengetahui nilai koefisien atenuasi kolom perairan secara spasial di perairan Timur Laut Teluk Meksiko. Pengambilan data lapangan dilakukan di timur laut Teluk Meksiko pada bulan April tahun 2000. Data yang dihasilkan berupa data downwelling irradiance (Ed) yang digunakan untuk menghitung nilai koefisien atenuasi (Kd). Data yang diperoleh difilter menggunakan Curve Fitting Tool. Lokasi penelitian dibagi menjadi empat lokasi yaitu A, B, C, dan D. Hasil menunjukkan Kd di lokasi A penelitian memiliki perbedaan yang nyata (dengan uji Kruskal-Wallis, α=0.05). Hal ini menunjukkan adanya perbedaan yang nyata akan karakteristik kolom air pada berbagai lokasi tersebut.

Kata kunci: downwelling irradiance, koefisien atenuasi, timur laut Teluk Meksiko

ABSTRACT

VERONICA STELLA ANGELIQUE LOUHENAPESSY. Diffuse Attenuation Coefficient Profile of Water Column in Northeastern Gulf of Mexico. Supervised by BISMAN NABABAN and RISTI ENDRIANI ARHATIN.

Process of reduction light by scattering and absorption processes is known as attenuation. The aim of this research was to determine the attenuation coefficient of water column in the northeastern Gulf of Mexico. The field data collection was conducted in the northeastern Gulf of Mexico in April 2000. Downwelling irradiance (Ed) data were used to calculate attenuation coefficient

(Kd). Data were filtered by using Curve Fitting Tool. The location of this research

was divided into four locations: A, B, C, and D. The results showed that Kd in site

A ranged from 0.039 - 0.137 m-1, in location B ranged from 0.026 - 0.060 m-1, in location C ranged from 0.015 - 0.036 m-1, and in location D ranged from 0.014 - 0.049 m-1. Distribution of Kd values increased from blue to red region. However,

in the green region showed lower values. Result also showed that Kd values

between study sites were significantly different (Kruskal-Wallis test, α=0.05). This result indicated that water column characteristic among locations were significantly different.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan

pada

Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

PROFIL KOEFISIEN

DIFFUSE

ATENUASI KOLOM

PERAIRAN DI TIMUR LAUT TELUK MEKSIKO

VERONICA STELLA ANGELIQUE LOUHENAPESSY

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Profil Koefisien Diffuse Atenuasi Kolom Perairan di Timur Laut Teluk Meksiko

Nama : Veronica Stella Angelique Louhenapessy

NIM : C54080014

Disetujui oleh

Dr. Ir. Bisman Nababan, M.Sc. Risti Endriani Arhatin, S.Pi, M.Si.

Pembimbing I Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc. Ketua Departemen

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala berkat dan anugerah-Nya yang telah diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul ”Profil Koefisien Diffuse Atenuasi Kolom Perairan di Timur Laut Teluk Meksiko” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan (S. Ik) pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyadari bahwa kelancaran dalam proses pembuatan Skripsi tidak luput dari campur tangan berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya pada beberapa pihak :

1. Papa dan mama tercinta, RMS. Louhenapessy dan Theresia Sugiarti, kakak-kakak Ignatius R.M. Louhenapessy dan Fransisca C.L Louhenapessy yang selalu memberikan dukungan serta doa kepada Penulis;

2. Dr. Ir. Bisman Nababan, M.Sc. dan Risti E. Arhatin, S.Pi, M.Si. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan kepada Penulis;

3. Prof. Dr. Ir. Mulia Purba, M. Sc. dan Dr. Ir. Sri Pujiyati, M. Si. yang telah memberikan saran dan dukungan selama pembuatan skripsi;

4. Dr. Karen von Juterzenka, teman-teman MST dan GAME X (Yuliyana Fitri Syamsuni, Yasser Ahmed, Armin Fabritzek, Dian Riri Respati, dan Daniel J.P.H. Siahaan), Sri Ratih Deswati, Asep Ma’mun, Williandi Setiawan, Acta Withamana yang selalu memberikan saran dan semangat;

5. Denny Ardly Wiguna, A.A. Gede Wirapramana, dan Sri Hadianti yang selalu memberikan bantuan, dukungan dan semangat; serta teman-teman ITK angkatan 45 serta semua pihak yang telah membantu terwujudnya skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk pengembangan pengetahuan di masa depan.

.

(9)

DAFTAR ISI

Lokasi dan Waktu Penelitian 3

(10)

DAFTAR TABEL

1 Selisih nilai Kd PAR dengan rata-rata Kd 380-700 nm 14

2 Kisaran Kd, zona eufotik, dan kedalaman kompensasi (1ζ) setiap

stasiun 16

DAFTAR GAMBAR

1 Peta lokasi penelitian 3

2 Diagram alir pengolahan data 6

3 Sebaran klorofil dan nilai Ed (pengukuran pada posisi alat turun) 8

4 Sebaran klorofil dan nilai Ed (pengukuran pada posisi alat naik) 9

5 Nilai Kd setiap stasiun (posisi alat turun) 12

6 Nilai Kd setiap stasiun (posisi alat naik) 13

DAFTAR LAMPIRAN

1 Syntax yang digunakan dalam program MATLAB 19 2 Grafik downwelling irradiance (Ed) pada posisi alat turun 22

3 Grafik downwelling irradiance (Ed) pada posisi alat naik 30

4 Kedalaman zona eufotik dan kedalaman kompensasi (1ζ) 38

5 Tabel uji statistik Kruskal-Wallis 41

(11)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Cahaya merupakan kebutuhan primer pada ekosistem perairan. Cahaya matahari terutama dimanfaatkan oleh produsen primer yang berkaitan dengan perannya sebagai dasar dalam rantai makanan. Oleh karena itu, cahaya menjadi faktor pembatas dalam lingkungan perairan. Cahaya juga merupakan alat untuk memvisualisasikan lingkungan sekitarnya bagi organisme yang mampu bergerak.

Cahaya mampu menembus perairan hingga kedalaman tertentu. Dalam proses penetrasinya, ada berbagai hal yang menyebabkan energi cahaya semakin berkurang. Sebagai contoh, proses penghamburan dan penyerapan (absorpsi) oleh materi yang terdapat di kolom perairan, dan transmisi. Proses pengurangan energi cahaya akibat proses hamburan dan absorpsi dikenal dengan istilah atenuasi. Besaran atenuasi ini dapat dihitung berdasarkan perubahan downwelling irradiance (Ed) pada minimum dua kedalaman yang berbeda.

Kedalaman maksimal yang dapat dijangkau oleh produsen primer untuk melakukan proses fotosintesis dapat diketahui dengan menghitung nilai koefisien atenuasi. Koefisien atenuasi umumnya diekspresikan dengan satuan m-1 yang secara umum merupakan gambaran seberapa besar cahaya datang (downwelling irradiance, Ed) berkurang atau hilang dibandingkan dengan jumlah cahaya datang

di permukaan. Banyaknya cahaya datang yang masuk ke kolom perairan dapat diukur oleh sensor radiometer yang dinyatakan sebagai downwelling irradiance (Ed).

Koefisien downwelling irradiance, Kd (z, λ) merupakan hal yang sangat

penting karena dapat mengkuantifikasikan ketersediaan cahaya sampai kedalaman zona euphotic. Kd juga dapat didefinisikan sebagai penurunan downwelling irradiance Ed (z, λ) secara eksponensial terhadap kedalaman, yang terdiri dari

foton yang diterima oleh sensor pada arah downward (sensor menghadap ke atas), yang dirumuskan sebagai berikut (Mobley 1994; Kirk 1994):

Kd (z, λ) = -

dEd perubahan nilai Ed

dz perubahan kedalaman medium (m)

Pengetahuan tentang nilai Kd dapat digunakan sebagai dasar untuk

mempelajari ketersediaan cahaya pada setiap kedalaman yang mempengaruhi proses remote sensing reflektansi (Rrs). Menurut Mobley (1994), remote sensing

(12)

2

Gilabert et al. (1995) menggunakan data Digital Terrain Number (DTM) citra foto udara untuk menghitung koefisien atenuasi cahaya pada perairan dangkal di Mar Menor, Spanyol. Nilai Kd diperoleh dari perhitungan antara

kedalaman, nilai digital number piksel pada panjang gelombang tertentu, dan rata-rata radians dari substrat. Hasilnya menunjukkan bahwa Kd dapat diperoleh dari

korelasi berbagai parameter tersebut.

Liu et al. (2005) mempelajari koefisien atenuasi cahaya untuk menguji korelasinya dengan beberapa parameter kualitas perairan, seperti Total Suspended Solid (TSS), Secchi Depth (SD), dan salinitas. Pengukuran SD memberikan perkiraan koefisien atenuasi melalui hubungan linear yang berbanding terbalik. Regresi dengan salinitas menghasilkan korelasi yang baik, menunjukkan bahwa fraksi air laut memungkinkan untuk dijadikan parameter yang baik untuk memperkirakan koefisien atenuasi. Namun, korelasi yang kurang baik ditemukan antara koefisien atenuasi dan konsentrasi TSS.

Jacobson (2005) menganalisis Kd di perairan ekosistem terumbu karang dan

mengkorelasikannya dengan klorofil-a dan TSS. Hasilnya menunjukkan bahwa klorofil-a lebih berpengaruh terhadap nilai Kd jika dibandingkan dengan TSS.

Pada panjang gelombang 443 nm, yaitu panjang gelombang yang termasuk dalam rentang absorpsi cahaya oleh fitoplankton, Kd memiliki korelasi paling tinggi

dengan klorofil-a. Nilai r2 antara Kd dan klorofil-a adalah 0.65. Sedangkan

korelasi paling kuat antara Kddan TSS memiliki nilai r2 sebesar 0.4 pada panjang gelombang 710 nm.

Mishra et al. (2005) meneliti koefisien atenuation di perairan Pulau Roatan, Honduras, pengukuran Kd secara in situ menunjukkan koefisien atenuasi yang

rendah pada gelombang hijau dan biru, lalu meningkat setelah 570 nm. Ketika dibandingkan dengan data satelit IKONOS pada panjang gelombang 490 nm diperoleh bahwa hasilnya tidak berbeda jauh, yaitu sebesar 0.0084 dan 0.0054 m-1 pada dua stasiun. Fungsi 1/Kd yang diplotkan terhadap panjang gelombang

diterapkan menguji kedalaman kolom air yang dapat dijangkau oleh sensor satelit, hasilnya menunjukkan bahwa sensor satelit mampu mendeteksi hingga kedalaman 8 m pada gelombang biru, 6 m pada gelombang hijau, dan 2 m pada gelombang merah. Dari hasil penelitian tersebut, pengukuran Kd secara in situ dapat

digunakan sebagai data kalibrasi citra IKONOS.

Secchi depth sering digunakan sebagai pengukuran kemampuan transmisi cahaya di kolom perairan. Umumnya, para peneliti mencoba untuk menghitung nilai Kd dari kejernihan air menggunakan Secchi disc, dengan persamaan berikut:

Kd= k/SD ...(2)

di mana SD merupakan kedalaman Secchi depth (m) dan k diasumsikan konstan (Jamu et al. 1999).

Penelitian ini menggunakan data sekunder downwelling irradiance (Ed)

(13)

3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menghitung nilai koefisien diffuse atenuasi kolom perairan secara spasial di perairan Timur Laut Teluk Meksiko sehingga dapat mempelajari karakteristik penetrasi cahaya di kolom perairan.

METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi pengambilan data terletak di perairan Timur Laut Teluk Meksiko

dengan koordinat 27°18’ - 30°42’ LU dan 82°36’ - 89°36’ BB pada bulan April tahun 2000. Pengambilan data dilakukan oleh Bisman Nababan dari Institute of Marine Remote Sensing, College of Marine Science, University of South Florida. Lokasi pengambilan data dibatasi pada kedalaman 10 m (dekat pantai) hingga 1000 m ke arah lepas pantai (Gambar 1).

Pengolahan data dilakukan di Laboratorium Inderaja dan Sistem Informasi Geografis Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Institut Pertanian Bogor pada bulan Mei - Desember tahun 2012.

(14)

4

Bahan

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan hasil pengukuran downwelling irradiance (Ed) pada berbagai kedalaman yang diambil pada bulan

April tahun 2000 (musim semi). Data tersebut digunakan untuk menghitung nilai koefisien diffuse atenuasi (Kd). Nilai Ed diukur menggunakan instrumen

submersible marine environmental radiometer (MER). Penggunaan data tersebut untuk penelitian ini adalah atas seijin dan persetujuan Bapak Bisman Nababan sebagai koordinator pengambilan data lapangan.

Alat

Alat yang digunakan adalah perangkat komputer dan perangkat lunak MATLAB 2009, Ms.Excel 2010, MINITAB 14, dan STATISTICA 6. MATLAB 2009 digunakan untuk memvisualisasikan data berupa grafik, Ms.Excel 2010 untuk memvisualiasikan data secara tabulasi dan menghitung koefisien atenuasi, MINITAB 14 untuk melakukan uji stastistik serta STATISTICA 6 untuk membuat plot Box dan Whisker.

Prosedur Pengumpulan Data

Data yang terekam oleh instrumen MER berupa data radiance (upwelling (Lu) dan downwelling (Ld)), irradiance (upwelling (Eu) dan downwelling (Ed)), dan

kedalaman. Pengambilan data dilakukan pada musim semi, 15-26 April tahun 2000 menggunakan kapal riset Gyre. Alat MER merekam data Ed secara kontinu

setiap 0.725 detik pada saat turun dan naik. Grafik yang diperoleh dibandingkan untuk menguji kestabilan alat tersebut. Sebelas transek yang tegak lurus terhadap garis pantai dibagi menjadi beberapa titik pengambilan contoh air termasuk pengambilan data downwelling irradiance jika kondisi cuaca memungkinkan (bebas dari tutupan awan di antara pukul 10.00 sampai pukul 14.30). Alat MER diturunkan dari dek kapal sampai kedalaman maksimal 250 m (sesuai dengan panjang kabel) secara perlahan sambil merekam data untuk perhitungan Kd.

Pengukuran nilai Ed dilakukan pada panjang gelombang 380 nm, 412 nm, 443 nm,

455 nm, 475 nm, 490 nm, 510 nm, 532 nnm, 555 nm, 589 nm, 665 nm, 683 nm, dan gelombang Photosynthetically Active Radiation (PAR).

Prosedur Analisis Data

Data downwelling irradiance (Ed) yang berekstensi *.csv dibaca di program

MATLAB menggunakan syntax (Lampiran 1, Bagian A). Data nilai Ed dan

kedalaman disimpan secara terpisah dengan ekstensi *.txt. Kemudian data tersebut divisualisasikan hingga diperoleh tampilan berupa grafik downwelling irradiance (Ed) terhadap kedalaman. Visualisasi grafik (Ed) dilakukan untuk melihat apakah

grafik yang diperoleh halus atau tidak.

(15)

5 persamaan eksponensial. Dalam proses filter ini, data nilai Ed dan kedalaman

harus didefinisikan terlebih dahulu (Lampiran 1, bagian B). Persamaan eksponensial yang diperoleh dari Curve Fitting Tool digunakan untuk menghitung nilai Ed (Lampiran 1, bagian C). Nilai Ed tersebut adalah nilai yang digunakan

untuk menghitung Kd berdasarkan rumus pada persamaan 1.

Kedalaman kompensasi adalah kedalaman di mana downwelling irradiance tinggal 1% dibandingkan dengan irradiance di permukaan (Susilo dan Gaol 2008). Kedalaman kompensasi bisa disebut juga zona eufotik. Satu kedalaman optik (1ζ) merupakan kedalaman di mana sensor satelit Ocean Color masih dapat mendeteksi kolom perairan. Kedalaman kompensasi dan satu kedalaman optik dapat dihitung berdasarkan persamaan berikut:

Kedalaman kompensasi (Zλ (1%)) =

Lokasi pengambilan data dibagi menjadi empat lokasi, meliputi lokasi A (stasiun 3, 4, 12, dan 13), B (stasiun 7 dan 15), C (stasiun 8, 10, dan 11), dan D (stasiun 1, 2, 5, 6, 9, 14, dan 16) untuk membandingkan nilai Kd pada lokasi atau

tipe air laut yang berbeda. Pembagian lokasi dilakukan berdasarkan letak titik stasiun terhadap garis pantai (lebih dekat ke muara atau ke arah lepas pantai) dan pendugaan bahwa memiliki tipe air yang sama. Nilai Kd yang diperoleh pada

setiap stasiun diplotkan berdasarkan masing-masing lokasi sehingga terlihat perbedaan karakteristik tipe air dari setiap lokasi tersebut (Lampiran 1, Bagian D). Diagram alir proses pengolahan nilai Ed hingga diperoleh koefisien diffuse

atenuasi dapat dilihat pada Gambar 2.

Uji statistik dilakukan untuk membuktikan perbedaan nilai Kd dari lokasi A,

B, C, dan D. Uji stastistik yang digunakan adalah uji Kruskal-Wallis. Uji nonparametrik ini merupakan alternatif bagi uji F untuk pengujian kesamaan beberapa nilai tengah dalam analisis ragam jika menghindari bahwa contoh diambil dari populasi normal (Walpole 1993).

Pada uji Kruskal-Wallis digunakan dua hipotesis yaitu H0 jika sebaran

populasi identik dan H1 jika tidak semua populasi memiliki median yang sama.

(16)

6

Gambar 2 Diagram alir pengolahan data

HASIL DAN PEMBAHASAN

Downwelling Irradiance (Ed)

(17)

7 partikel organik dan anorganik, sedangkan lokasi B dan C merupakan daerah peralihan antara tipe perairan-1 dan tipe perairan-2.

Tipe perairan-1 meliputi perairan yang sangat jernih (oligrotrofik) dan fitoplankton mendominasi dalam penyerapan dan penghamburan cahaya. Tipe perairan-2 adalah hal-hal bukan pigmen plankton yang menyerap cahaya, di antaranya partikel anorganik atau organik yang berasal dari daratan. Oleh karena itu, penyerapan cahaya oleh pigmen fitoplankton relatif kurang penting dalam perhitungan penyerapan cahaya secara total.

Gambar 3 (bagian atas) menampilkan sebaran klorofil rata-rata pada bulan April tahun 2000 dan bagian bawah menampilkan nilai Ed pada semua panjang

gelombang di stasiun 3, 15, 8, dan 6 (masing-masing mewakili stasiun A, B, C, dan D) yang diukur pada saat alat MER turun. Secara umum, nilai Ed mengalami

penurunan yang signifikan pada lapisan permukaan. Hal ini dapat diamati pada grafik nilai Ed yang terdapat di Gambar 3. Sedangkan, grafik nilai Ed di semua

stasiun dapat dilihat di Lampiran 2.

Pada Gambar 4, dapat dilihat sebaran klorofil rata-rata pada bulan April tahun 2000 di bagian atas dan di bagian bawah ditampilkan grafik nilai Ed yang

diukur pada posisi alat naik beserta titik lokasi stasiun. Grafik nilai Ed di semua

stasiun dapat dilihat pada Lampiran 3. Keempat grafik nilai Ed yang mewakili

empat lokasi A, B, C, dan D memiliki pola yang sama dengan grafik pada Gambar 3. Nilai Ed menurun secara signifikan pada lapisan permukaan. Gelombang merah

mengalami gradien penurunan yang paling tajam. Gradien penurunan nilai Ed

gelombang biru dan hijau tidak setajam gradien penurunan Ed gelombang merah.

Pengambilan data dengan posisi alat turun dan naik memiliki pola penurunan nilai Ed yang sama yaitu menurun secara eksponensial, namun terdapat perbedaan nilai

pada Kd. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada Gambar 5 dan 6.

Pada Gambar 3 terlihat bahwa gradien penurunan nilai Ed paling tajam

terjadi pada gelombang merah. Karakteristik penyerapan dan penghamburan cahaya di kolom air berlawanan dengan di atmosfer. Menurut Kirk (1994), intensitas cahaya sangat dipengaruhi oleh sudut kemiringan matahari. Menurunnya intensitas cahaya di atmoser dapat disebabkan oleh molekul air, partikel debu, dan sebagian diserap oleh uap air, oksigen, dan karbon dioksida. Gelombang biru merupakan rentang panjang gelombang yang paling banyak dihamburkan di atmosfer. Oleh karena itu, pada saat mencapai permukaan air, nilai Ed gelombang merah di permukaan lebih besar daripada gelombang biru dan

hijau. Namun, karakteristik gelombang cahaya merah banyak diserap oleh kolom perairan menyebabkan gradien penurunan nilai Ed paling tajam jika dibandingkan

dengan dengan gelombang biru dan hijau.

Lugo-Fernandez et al. (2012) menghitung Kd di utara Teluk Meksiko

dengan membagi kolom air menjadi beberapa lapisan, diperoleh bahwa pada kedalaman <15 meter, Kd berkisar 0.5 - 1.0 m-1, menurun pada kedalaman 20 -

100 meter yaitu 0.1 - 0.3 m-1, dan di atas 100 meter diperoleh Kd berkisar 0.05 -

0.2 m-1. Hal ini menunjukkan bahwa banyak terjadi penyerapan pada lapisan permukaan perairan. Selain itu, diperoleh hasil bahwa Kd di perairan pantai lebih

(18)

8

(19)

9

Gambar 4 Sebaran klorofil dan nilai Ed (pengukuran pada saat posisi alat naik)

Penurunan Ed terjadi karena cahaya dengan cepat terserap dan terhamburkan

(20)

10

tersebut berasal dari limbah, pelapukan batuan, maupun serasah yang terbawa oleh aliran sungai. Partikel ini dapat menyebabkan berkas cahaya tidak masuk ke badan air dengan sempurna karena diserap atau dihamburkan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Markager dan Vincent (2000), CDOM sangat berpengaruh terhadap penyerapan cahaya terutama pada panjang gelombang kurang dari 500 nm.

Grafik nilai Ed dari empat stasiun pada setiap lokasi memiliki pola yang

sama yaitu menurun secara eksponensial. Pada gambar tersebut terlihat bahwa pada gelombang merah (>600 nm), gradien menurunnya Ed lebih tajam jika

dibandingkan dengan gelombang pada panjang <600 nm (gelombang biru dan hijau). Hal ini diduga karena pada rentang panjang gelombang merah tersebut, cahaya banyak diserap oleh badan air terutama di bagian permukaan. Menurut Kirk (1994), gelombang merah diserap dengan cepat seiring dengan meningkatnya kedalaman sedangkan gelombang biru dipenetrasikan lebih dalam.

Menurut hasil penelitian Mishra et al. (2005), pada kondisi perairan yang jernih, penyerapan oleh badan air itu sendiri lebih tinggi karena kurangnya hamburan oleh partikel tersuspensi. Selain itu, cahaya merah juga mengalami penyerapan oleh fitoplankton. Hasil penelitian Nababan (2005) juga menunjukkan pola yang sama bahwa fitoplankton paling banyak menyerap cahaya pada gelombang biru diikuti oleh gelombang merah. Pada perairan dengan produktivitas primer yang rendah, air adalah pengabsorpsi utama. Cahaya biru dan hijau masuk hingga cukup dalam, sedangkan cahaya merah diatenuasikan lebih banyak. Perairan dengan produktivitas primer yang tinggi, contohnya pada daerah upwelling, cahaya biru diatenuasikan lebih banyak daripada cahaya hijau, akibat absorpsi oleh pigmen fitoplankton. Pada perairan pantai, di mana lebih banyak terkandung substansi dan fitoplankton dibandingkan dengan perairan samudera, cahaya hijau paling banyak yang dipenetrasikan oleh kolom air (Kirk 1994).

Pada perairan di sekitar lokasi A terdapat fitoplankton dalam jumlah melimpah. Hal ini ditunjukkan dengan adanya sebaran klorofil di lokasi penelitian yang dapat dilihat pada peta sebaran klorofil di Gambar 3. Di Lokasi A konsentrasi klorofil > 1 mg/m3. Selain diserap oleh partikel organik, cahaya juga diserap oleh fitoplankton untuk melakukan fotosintesis. Oleh karena itu, nilai Ed

di lokasi yang lebih dekat dengan daratan lebih rendah dibandingkan dengan lokasi lain. Fitoplankton memang sangat berpengaruh pada penyerapan cahaya, selain penyerapan dan penghamburan cahaya oleh partikel (Kirk 1994). Hasil penelitian dari Zhai et al. (2011) juga menunjukkan hasil bahwa adanya fitoplankton sangat mempengaruhi penyerapan cahaya tampak pada lapisan atas massa air.

Ketiga lokasi B, C, dan D merupakan daerah dengan produktivitas primer rendah (fitoplankton <1 mg/m3). Lokasi yang sudah cukup jauh dari pantai mengakibatkan rendahnya nutrien yang dibawa oleh aliran sungai. Oleh karena itu, walaupun gelombang biru dan hijau banyak diserap oleh fitoplankton untuk melakukan fotosintesis, nilai Ed tidak turun dengan tajam karena rentang panjang

gelombang ini tidak banyak diserap air.

(21)

11 ditemukan dalam jumlah melimpah. Hal inilah yang menyebabkan nilai Ed di

lokasi A menjadi lebih rendah karena pada lokasi A terdapat dua muara sungai besar yaitu Sungai Escambia dan Choctawhatchee.

Attenuation coefficient (Kd)

Nilai koefisien atenuasi pada setiap titik stasiun pengambilan data dapat dilihat pada Gambar 5 dan 6. Nilai Kd pada setiap lokasi disajikan dalam satu

grafik, di mana pada setiap grafik terdapat nilai Kd yang diplotkan terhadap

panjang gelombang. Secara umum, grafik Kd menunjukkan pola yang sama pada

setiap stasiun. Pada gelombang 380, 412 nm, 443 nm, 455 nm, 475 nm, nilai Kd

semakin turun. Kd meningkat kembali pada panjang gelombang 490 nm, 510 nm,

532 nm, 555 nm, 589 nm, 665 nm, dan pada puncaknya adalah panjang gelombang 683 nm. Gambar 3 dan 4 menunjukkan bahwa gradien penurunan nilai Ed pada panjang gelombang merah (665 dan 683 nm) mengalami gradien

penurunan yang lebih tajam. Hal inilah yang menyebabkan nilai Kd lebih tinggi

daripada rentang panjang gelombang biru dan hijau.

Pola yang sama diperoleh pula pada penelitian yang dilakukan oleh Mishra et al. (2005). Sebaran Kd di Pulau Roatan, Honduras menunjukkan bahwa adanya

peningkatan Kd dari gelombang biru hingga merah. Namun pada gelombang hijau

(500 - 550 nm) menunjukkan hasil sebaran yang lebih rendah. Hal ini disebabkan karena gelombang biru banyak diserap oleh klorofil yang terdapat pada sel-sel fitoplankton.

Lokasi A yang terdiri dari stasiun 3 memiliki kisaran nilai Kd 0.050 - 0.096

m-1, stasiun 4 berkisar 0.039 - 0.101 m-1, stasiun 12 berkisar 0.048 - 0.058 m-1, dan stasiun 13 berkisar 0.069 - 0.137 m-1. Jika dibandingkan dengan grafik pada lokasi B, C, dan D, nilai Kd pada lokasi A mempunyai kisaran yang paling tinggi.

Hal ini dapat terjadi karena penyerapan cahaya paling banyak terjadi di lokasi tersebut seperti yang telah dijelaskan pada subbab sebelumnya.

Hasil penelitian Brito et al. (2013) menunjukkan bahwa nilai rata-rata Kd

yang tertinggi diperoleh pada perairan dangkal yang dekat dengan estuari. Hal ini disebabkan karena adanya pengaruh arus yang lebih besar, sedimentasi, dan masukan sungai pada lokasi penelitian. Menurut Obrador dan Pretus (2008) dalam Brito et al. (2013), perairan yang lebih dangkal (dekat dengan estuari), memiliki konsentrasi partikel tersuspensi yang lebih tinggi karena adanya run-off sungai dan sedimentasi dibandingkan dengan perairan terbuka.

Stasiun 7 yang terdapat di lokasi B memiliki nilai Kd yang berkisar 0.031 - 0.037

m-1. Selain stasiun 7, pada lokasi tersebut terdapat stasiun 15 yang memiliki kisaran 0.026 - 0.060 m-1. Lokasi C meliputi stasiun 8 yang memiliki rentang nilaI Kd 0.016 - 0.025 m-1, stasiun 10 dengan rentang 0.015 - 0.036 m-1, dan stasiun 11

dengan rentang 0.017 - 0.030 m-1.

Lokasi D terdiri dari stasiun 1, 2, 5, 6, 9, 14, dan 16. Stasiun 1 memiliki nilai Kd dengan kisaran 0.014 - 0.022 m-1, stasiun 2 dengan kisaran 0.016 - 0.039

(22)

12

(23)

13

(24)

14

Menurut Kirk (1994) dan Falkowski et al. (1997) dalam Saulquin et al. (2013), gelombang PAR merupakan gelombang cahaya yang digunakan untuk melakukan fotosintesis dalam rentang 400 - 700 nm. Rentang panjang gelombang inilah yang digunakan alga dan fitoplankton untuk berkontribusi pada total produktivitas primer. Pada penelitian ini, terlihat bahwa Kd di lokasi A mencapai

0.053 - 0.096 m-1. Sedangkan di lokasi lain, Kd hanya berkisar 0.015 - 0.033 m-1.

Hal ini menunjukkan bahwa di lokasi A yang terdapat banyak fitoplankton, gelombang cahaya terbukti banyak diserap dan dimanfaatkan untuk melakukan proses fotosintesis. Penelitian yang dilakukan oleh Schaeffer et al. (2011) di utara Teluk Meksiko menghasilkan bahwa Kd pada gelombang PAR berkisar 0.05 -

14.4 m-1.

Rata-rata nilai Kd pada panjang gelombang 400-700 nm dibandingkan

dengan nilai Kd pada gelombang PAR dan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 1.

Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa rata-rata nilai Kd pada gelombang PAR

tidak berbeda jauh dengan rata-rata nilai Kd pada gelombang 400-700 nm.

Tabel 1 Selisih nilai Kd PAR dengan rata-rata Kd 380-700 nm

0.142 m-1. Lokasi B meliputi stasiun 7 dan 15. Kisaran nilai Kd di stasiun 7 yaitu

0.031 - 0.037 m-1 dan di stasiun 15 yaitu 0.026 - 0.080 m-1.

Lokasi C terdiri dari stasiun 8, 10, dan 11. Kisaran nilai Kd di stasiun 8 yaitu

(25)

15 Namun, masih terdapat adanya perbedaan yang cukup mencolok pada beberapa stasiun. Perbedaan nilai Kd dapat terjadi karena perbedaan kondisi saat

pengambilan data, misalnya pergerakan alat yang tidak stabil akibat adanya arus dan goncangan kapal.

Pada Tabel 2 dapat dilihat kisaran Kd dan kedalaman zona eufotik untuk

semua panjang gelombang di setiap stasiun pengambilan data. Zona eufotik dan satu kedalaman optik dihitung berdasarkan persamaan 3 dan 4. Hasil perhitungan kedalaman zona eufotik dan satu kedalaman optik dapat dilihat pada Lampiran 4. Lokasi A yang dikategorikan sebagai tipe perairan-2 memiliki zona eufotik yang lebih dangkal. Pada stasiun 3, zona eufotik hanya 48.0 - 91.5 meter, stasiun 4 berkisar 45.5 - 116.9 meter, stasiun 12 berkisar 155.8 - 264.1 meter, dan stasiun 13 yang berkisar 79.9 - 95.4 meter.

Lokasi B, C, dan D eufotik yang lebih dalam daripada lokasi A. Lokasi B memiliki zona eufotik yang berkisar 77.1 - 175.2 meter, lokasi C berkisar 128.2 - 298.6 meter, dan lokasi D berkisar 94.6 - 340.6 meter. Hal tersebut mengindikasikan bahwa cahaya lebih banyak tersedia pada lokasi B, C, dan D karena cahaya mampu menembus lebih dalam jika dibandingkan dengan lokasi A. Satu kedalaman optik berkaitan erat dengan kecerahan perairan. Semakin cerah perairan maka sensor satelit Ocean Color mampu mendeteksi kolom perairan semakin dalam. Lokasi A yang diduga lebih keruh memiliki kisaran satu kedalaman optik 7.30 - 25.41 meter. Lokasi B memiliki kisaran satu kedalaman optik 16.76 - 38.09 meter. Satu kedalaman optik di lokasi C berkisar 128.2 - 298.6 meter. Lokasi D diduga memiliki tingkat kecerahan yang paling tinggi karena memiliki satu kedalaman optik yang paling dalam, berkisar 25.85 - 74.04 meter.

(26)

16

Tabel 2 Kisaran Kd, zona eufotik, dan kedalaman kompensasi (1ζ) setiap stasiun

Lokasi Stasiun Kd (m

Grafik sebaran Kd secara keseluruhan semakin meningkat dari gelombang

biru hingga gelombang merah, namun pada gelombang hijau menunjukkan sebaran nilai Kd yang lebih rendah. Nilai Kd gelombang merah secara umum lebih

rendah pada perairan pantai yang banyak mengandung partikel tersuspensi. Secara spasial, nilai Kd lebih tinggi pada perairan pantai dibanding perairan laut lepas.

Hasil analisis nilai Kd menunjukkan daerah pesisir memiliki zona eufotik dan satu

kedalaman optik yang lebih rendah dibandingkan perairan laut lepas. Hasil analisis nilai Kd secara stastistik menunjukkan bahwa setiap lokasi A, B, C, dan D

memiliki karakteristik nilai Kd yang berbeda nyata. Hal ini menunjukkan

(27)

17 Saran

Pada penelitian selanjutnya diperlukan data lingkungan seperti parameter kualitas air (TSS, salinitas, turbiditas, dan lain-lain) atau parameter biologi (kelimpahan plankton). Selain itu, penelitian seperti ini diharapkan dapat dilakukan di Indonesia agar dapat mengetahui karakteristik perairan Indonesia ditinjau dari penetrasi gelombang cahaya.

DAFTAR PUSTAKA

Brito AC, Newton A, Fernandes TF, Tett P. 2013. Measuring light attenuation in shallow coastal systems. Journal of Ecosystem and Ecography. 3:122.doi:10.4172/2157-7625.1000122

Gilabert J, Perez-Ruzafa A, Gutierrez JM, Bel-Ian A, Moreno V. 1995. Light attenuation coefficient in shallow coastal waters from airborne multispectral data. EARSel Advantages in Remote Sensing. 4(1):76-86.

Jacobson EC. 2005. Light Attenuation in A Nearshore Coral Reef Ecosystems. [thesis]. Hawaii: University of Hawaii.

Jamu DM, Lu Z, Piedrahita RH. 1999. Relationship between Secchi disk visibility and chlorophyll a in aquaculture ponds. Aquaculture. 170:205 -214.

Jerlov NG. 1976. Marine Optics. Amsterdam: Elsevier Scientific Publishing Company.

Kirk JTO. 1994. Light and Photosynthesis in Aquatic Ecosystem. Second Edition. New York: Cambridge University Press.

Liu WC, Hsu MH, Chen SY, Wu CR, Kuo AY. 2005. Water column light attenuation in Danshuei river estuary, Taiwan. Journal of The American Water Resources Association (JAWRA). 41(2):425-436.

Lugo-Fernandez A, Gravois M, Green RE, Montgomery T. 2012. Examining the mean vertical attenuation scalar quantum irradiance (PAR) over the Lousiana-Texas shelf (northern Gulf of Mexico). Continental Shelf Research. 38:24-34.

Markager S, Vincent WF. 2000. Spectral light attenuation and the absorption of UV and blue light in natural waters. Limnology and Oceanography. 45(3):642-650.

Mishra DR, Narumalani S, Rundquist D, Lawson M. 2005. Characterizing the vertical diffuse attenuation coefficient for downwelling irradiance in coastal waters: Implications for water penetration by high resolution satellite data. Journal of Photogrammetry & Remote Sensing. 60:48-64.

Mobley CD. 1994. Light and Water: Radiative Transfer in Natural Waters. San Diego: Academic Press.

Nababan B. 2005. Bio-optical Variability of Surface Water in the Northeastern Gulf of Mexico. [Dissertation]. St. Petersburg: University of South Florida. Saulquin B, Hamdi A, Gohin F, Populus J, Mangina A, d'Andona OF. 2013.

Estimation of the diffuse attenuation coefficient KdPAR using MERIS and

(28)

18

Schaeffer BA, Sinclair GA, Lehrter, Murrel MC, Kurtz JC, Gould RW, Yates DF. 2011. An analysis of diffuse light attenuation in the northern Gulf of Mexico hypoxic zone using the SeaWiFS satellite data record. Remote Sensing of Environment. 115(12):3748-3757.

Susilo BS, Gaol JL. 2008. Dasar – dasar Penginderaan Jauh Kelautan. Bogor: ITK FPIK IPB.

Walpole RE. Pengantar Statistika. Edisi Ke-3. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

(29)

19 Lampiran 1. Syntax yang digunakan dalam program MATLAB

A. Syntax untuk membaca data berekstensi *.csv

% Membuka data

fid = fopen('data.csv', 'r'); tline = fgetl(fid);

% Membaca dan memisahkan header

A(1,:) = regexp(tline, '\,', 'split');

% Membaca data

B= dlmread('data.csv',',',2,0);

B. Syntax untuk mendefinisikan data

load data.txt %memanggil data yang akan diolah

m=length(data) %length untuk membaca jumlah baris

d=data(2:n,1); %kedalaman pada kolom 1

Ed380=data(2:n,2); %mendefinisikan Ed pada λ=380 nm

Ed412=data(2:n,3); %mendefinisikan Ed pada λ=412 nm

Ed443=data(2:n,4); %mendefinisikan Ed pada λ=443 nm

Ed455=data(2:n,5); %mendefinisikan Ed pada λ=455 nm

Ed475=data(2:n,6); %mendefinisikan Ed pada λ=475 nm

Ed490=data(2:n,7); %mendefinisikan Ed pada λ=490 nm

Ed510=data(2:n,8); %mendefinisikan Ed pada λ=510 nm

Ed532=data(2:n,9); %mendefinisikan Ed pada λ=532 nm

Ed555=data(2:n,10); %mendefinisikan Ed pada λ=555 nm

Ed589=data(2:n,11); %mendefinisikan Ed pada λ=589 nm

Ed665=data(2:n,12); %mendefinisikan Ed pada λ=665 nm

Ed685=data(2:n,13); %mendefinisikan Ed pada λ=685 nm

EdPAR=data(2:n,14); %mendefinisikan Ed PAR

C. Syntax untuk memperoleh nilai Ed dari persamaan eksponensial

load data.txt %memanggil data yang akan diolah

m=length(data) %m merupakan jumlah baris pada setiap kolom

d=data(2:n,1); %kedalaman pada kolom 1

Ed1=a1*exp(b1*d); %Ed pada λ=380 nm

Ed2=a2*exp(b2*d); %Ed pada λ=412 nm

Ed3=a3*exp(b3*d); %Ed pada λ=443 nm

Ed4=a4*exp(b4*d); %Ed pada λ=455 nm

Ed5=a5*exp(b5*d); %Ed pada λ=475 nm

Ed6=a5*exp(b6*d); %Ed pada λ=490 nm

Ed7=a7*exp(b7*d); %Ed pada λ=510 nm

Ed8=a8*exp(b8*d); %Ed pada λ=532 nm

Ed9=a9*exp(b9*d); %Ed pada λ=555 nm

Ed10=a10*exp(b10*d); %Ed pada λ=589 nm

Ed11=a11*exp(b11*d); %Ed pada λ=655 nm

Ed12=a12*exp(b12*d); %Ed pada λ=683 nm

Ed13=a13*exp(b13*d); %Ed PAR

%menyatukan dalam matriks ‘hasil’

hasil= [d E1 E2 E3 E4 E5 E6 E7 E8 E9 E10 E11 E12 E13];

(30)

20

legend ('{\itE}_d 380','{\itE}_d 412','{\itE}_d 443','{\itE}_d

455','{\itE}_d 475','{\itE}_d 490','{\itE}_d 510','{\itE}_d

532','{\itE}_d 555','{\itE}_d 589','{\itE}_d 665','{\itE}_d

683','{\itE}_d PAR')

D.Syntax untuk memplotkan nilai Kd pada setiap lokasi

load data.txt

%untuk plot Lokasi A (st 3,4,12,13) a1=data(2:14,5);

a2=data(2:14,6); a3=data(2:14,14); a4=data(2:14,15);

%untuk plot Lokasi B (st 8,10,11) b1=data(2:14,10);

b2=data(2:14,12); b3=data(2:14,13);

%untuk plot Lokasi C (st 7,15) c1=data(2:14,9);

c2=data(2:14,17);

%untuk plot Lokasi D (st 1,2,5,6,9,14,16) d1=data(2:14,3);

(nm)','fontSize',18,'fontWeight','bold'),

ylabel('{\itK}_d (m^-^1)','fontSize',18,'fontWeight','bold'), title('Lokasi A','fontSize',18,'fontWeight','bold')

grid on

(31)

21

figure

plot(w,b1,'r',w,b2,'b',w,b3,'g'); xlabel('Panjang Gelombang

(nm)','fontSize',18,'fontWeight','bold'),

ylabel('{\itK}_d (m^-^1)','fontSize',18,'fontWeight','bold'),

(nm)','fontSize',18,'fontWeight','bold'),

ylabel('{\itK}_d (m^-^1)','fontSize',18,'fontWeight','bold'),

(nm)','fontSize',18,'fontWeight','bold'),

ylabel('{\itK}_d (m^-^1)','fontSize',18,'fontWeight','bold'), title('Lokasi D','fontSize',18,'fontWeight','bold')

grid on

(32)

22

(33)

23

(34)
(35)
(36)
(37)
(38)
(39)
(40)

30

(41)
(42)
(43)
(44)
(45)
(46)
(47)
(48)

38

Lampiran 4. Kedalaman zona eufotik (ZE) dan kedalaman kompensasi (1ζ)

(49)
(50)
(51)

41 Lampiran 5. Tabel uji statistik Kruskal-Wallis

Uji Kruskal-Wallis Panjang Gelombang 380 nm

Stasiun Jumlah

Uji Kruskal-Wallis Panjang Gelombang 412 nm

Lokasi Jumlah

Uji Kruskal-Wallis Panjang Gelombang 443 nm

Lokasi Jumlah

Uji Kruskal-Wallis Panjang Gelombang 455 nm

(52)

42

Uji Kruskal-Wallis Panjang Gelombang 475 nm

Lokasi Jumlah data Mean Median Rataan

Uji Kruskal-Wallis Panjang Gelombang 490 nm

Lokasi Jumlah data Mean Median Rataan

Uji Kruskal-Wallis Panjang Gelombang 510 nm

Lokasi Jumlah

Uji Kruskal-Wallis Panjang Gelombang 532 nm

(53)

43 Uji Kruskal-Wallis Panjang Gelombang 555 nm

Lokasi Jumlah

Uji Kruskal-Wallis Panjang Gelombang 589 nm

Lokasi Jumlah

Uji Kruskal-Wallis Panjang Gelombang 665 nm

Lokasi Jumlah

Uji Kruskal-Wallis Panjang Gelombang 683

(54)

44

Uji Kruskal-Wallis Gelombang PAR

Lokasi Jumlah

data Mean Median

Rataan

Ranking h

Khi kuadrat dB

(3;0.05) (3;0.01)

4 0.06645 0.05857 14.5

11.16* 7.815 11.345

B 2 0.03308 0.03308 11.5

C 3 0.02058 0.01969 6.0

D 7 0.01999 0.01982 5.3

Jumlah 16 8.5

(55)
(56)
(57)
(58)
(59)
(60)
(61)
(62)

52

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Cilacap pada tanggal 16 Februari 1990 dari pasangan Roger Marco Steve Louhenapessy dan Theresia Sugiarti. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara. Lulus dari SMA Negeri 1 Cilacap, penulis langsung melanjutkan studi di Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2008 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama menjalani kuliah di IPB, penulis aktif dalam Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan (HIMITEKA) periode 2010/2011 hingga periode 2011/2012. Penulis bekerja sebagai Asisten pada Marine Science and Technology Training Course 2012 dan 2013. Selain itu, penulis aktif pula sebagai Asisten Praktikum Mata Kuliah Iktiologi Tahun Ajaran 2010/2011 dan 2011/2012, Asisten Praktikum mata Kuliah Penginderaan Jauh Kelautan Alih Tahun Ajaran 2012/2013 dan berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh Yayasan Beasiswa Karya Salemba Empat dan PT. Indofood Tbk.

Gambar

Gambar 1  Peta lokasi penelitian
Gambar 2  Diagram alir pengolahan data
Gambar 3 Sebaran klorofil dan nilai Ed (pengukuran pada posisi alat turun)
Gambar 4  Sebaran klorofil dan nilai Ed (pengukuran pada saat posisi alat naik)
+6

Referensi

Dokumen terkait

Pengaturan simpang dengan lampu lalu lintas termasuk yang paling efektif terutama untuk volume lalu lintas pada kaki simpang yang relatif lebih tinggi. Pengaturan

UNMIR MISIJA Ko so razmere na območju Ruande postajale vedno bolj nestabilne ter se je povečevalo število poročil o kršitvah človekovih pravic in vedno bolj pogostih pokolih

mendiskripsikan kondisi Sungai Gede yaitu dengan membandingkan hasil pengujian laboratorium dan hasil perhitungan daya tampung dengan baku mutu standart kelas II

Berdasarkan uraian diatas, akan dilakukan perancangan dan simulasi reaktor tangki alir berpengaduk atau juga sering disebut CSTR pada kondisi non adiabatis untuk reaksi

Berdasarkan hal tersebut, maka pada percobaan ini dilakukan preservasi ovarium di dalam larutan NaCl fisiologis selama 24 jam dalam suhu 5°C untuk melihat

Antasida: 5-30mL PO bersama makan atau sebelum tidur Peptic ulcer : 5-30mL PO bersama makan atau sebelum tidur Interaksi Antimikrobia (kontra) menurunkan penyerapan dan efek obat

Dalam pengertian noise sebagai suatu nilai yang berbeda dengan semua tetangganya maka dapat dikatakan noise merupakan nilai-nilai yang berada pada frekwensi tinggi, untuk

Belajar merupakan proses mengasimilasikan dan menghubungkan pengalaman baru atau bahan baru dari pelajaran yang sedang dibahas dengan pengetahuan yang sudah dimiliki oleh