Peraktek Perceraian Pada Masyarakat Tapos Depok Jawa Barat
(Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia)
Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syari’ah(S.sy)
Oleh :
Abduloh
107044202013
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM
PROGRAM STUDI HUKUM KELUWARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
Praktek Perceraian Pada Masyarakat Tapos Depok Jawa Barat
(Perspektik Hukum Islam Dan Hukum Positif)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu
Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
Abduloh
NIM: 107044202013Di Bawah Bimbingan:
Dr. H. Umar Al Hadad, MA
NIP: 196809041994011001
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM PROGRAM STUDI HUKUM KELUWARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul Praktek Perceraian Pada Masyarakat Tapos Depok Jawa Barat, (Perspektik Hukum Islam dan Hukum Positif)telah di ujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada
Tanggal 24 Agustus 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar sarjana Program Strata 1 (S1) pada Program Studi Ahwal Al
Syakhsiyyah.
Jakarta, 13 September 2011 Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah Dan Hukum
Prof.DR.H.M.Amin Suma,SH. MA. MM NIP. 19550505 198203 1 012
PANITIA UJIAN
Ketua : Drs. H. A. Basiq Djalil. SH, MA
NIP: 19500306 197603 1001 : (...)
Sekertaris : Hj.Rosdiana, MA
NIP. 1969 06102003122001 : (...)
Pembimbing : Dr. Umar Al-Haddad.MA
NIP.196809041994011001 : (...)
Penguji I : Dr, JM. Muslimin. MA
NIP. 150295489 : (……….)
Penguji II : Dr. H. M. Nurul Irfan. M.Ag
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 24 Juni 2011
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayahNya, terucap dengan tulus dan ikhlas Alhamdulillāhi Rabbil ‘ālamīn tiada
henti karena dapat terselesaikannya penulisan skripsi ini. Salawat seiring salam
semoga selalu tercurah limpahkan kepada insan pilihan Tuhan khātamul anbiyā’i
walmursalīn Muhammad SAW, beserta para keluarga, sahabat dan kita sebagai
umatnya yang terus istiqomah mengikuti ajaran dan sunahnya hinggayaumil akhir.
Dengan setulus hati penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh
dari kesempurnaan. Namun demikian, skripsi ini hasil usaha dan upaya yang
maksimal dari penulis. Tidak sedikit hambatan, cobaan dan kesulitan yang ditemui.
Banyak hal yang tidak dapat dihadirkan oleh penulis didalamnya karena keterbatasan
pengetahuan dan waktu. Namun patut disyukuri karena banyak pengalaman yang
didapat dalam penulisan skripsi ini.
Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada
semua pihak Bapak:
1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM., Selaku Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum serta para Pembantu Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA, Selaku Ketua Program Studi Ahwal
Syakhsiyyah dan Ibu Hj. Rosdiana, MA selaku Sekretaris Program Studi
Ahwal Syakhsiyyah.
3. Dr. H. Umar Al Haddad, MA yang telah membimbing, memberikan arahan
dan meluangkan waktu dengan penuh keikhlasan dan kesabaran.
4. Seluruh dosen dan civitas akademika Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Pimpinan dan seluruh karyawan perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
6. Bapak Lurah dan Para Staf di Kelurahan Tapos, Bapak Kepala KUA
Cimanggis dan Ketua Pengadilan Depok yang telah meluangkan waktu
disela-sela kesibukannya untuk berwawancara dan memberikan informasi kepada
penulis.
7. Kedua orang tua tercinta H. Saepudin dan Hj. Maemunah yang sejak kecil
mendidiku hingga sekarang bisa menyelesaikan skripsi ini. Tak akan terbalas
segala apa yang di berikan oleh bapa dan umi hanya doa yang bisa penulis
panjatkan semoga Allah pangjangkan umur beliau dan keberkahan selalu
menaunginya.
8. Kepada kakak ku Abdulrahman dan adik ku Muhammad Zaenudin. Terima
kasih telah memberikan semangat dan dukungan, tak lupa kepada belahan
(Penulis)
9. Teman-teman kosan Arif (babeh), Maulana Yusuf (rony), Sofyan (ojan) dan
Saefullah (degel). Canda dan guyonan kalian tak bisa terlupakan.
10. Sahabat perjuangan, teman-teman Konsertasi Administrasi Keperdataan Islam
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta angkatan 2007.
11. Semua pihak yang turut membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.
Akhirnya, atas jasa bantuan semua pihak baik berupa moril dan
materiil, sampai detik ini penulis panjatkan do’a semoga Allah memberikan
balasan yang berlipat dan menjadikannya amal jariyah yang tidak pernah berhenti
mengalir hingga hari akhir penulis berharap, semoga skripsi ini dapat bermanfaat
bagi penuis khususnya dan para pembaca umumnya. Semoga Allah senantiasa
memberikan kemudahan bagi kita semua dalam menjalani hari esok ada dan apa
yang kita lakukan diridhai oleh Allah swt, amin.
Jakarta: 20 Rajab 1432 H
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
PERNYATAAN KEASLIAN... iii
KATA PENGANTAR... iv
DAFTAR ISI... vii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8
D. Review Studi Terdahulu…... 9
E. Metodologi Penelitian dan Teknik Penulisan ... 10
F. Sistematika Penulisan ... 11
BAB II CERAI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF A. Pengertian Perceraian... 13
B. Talak Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif... 16
C. Macam-macam Thalak Menurut Hukum Islam ... 23
D. Akibat Hukum Thalak... 26
E. Cerai Ilegal, Pengertian dan Batasannya... 28
BAB III POTRET DESA TAPOS A. Sejarah Singkat Berdirinya Kota Depok. ... 29
B. Jumlah Warga Tapos Depok ... 34
C. Profesi Warga Tapos Depok ... 35
BAB IV ANALISIS TERHADAP KASUS PRAKTEK PERCERAIAN MASYARAKAT TAPOS, DEPOK
A. Faktor-faktor Terjadinya Perceraian Ilegal ... 38
B. Pemahaman Masyarakat Tentang Cerai Ilegal... 41
C. Peran Ulama Dalam Menyikapi Terjadinya Perceraian Ilegal Pada Masyarakat Tapos Depok... 43
D. Analisis Penulis... 46
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 50
B. Saran-saran... 53
DAFTAR PUSTAKA... 55
LAMPIRAN-LAMPIRAN 1. Surat Permohonan Dosen Pembimbing ... 58
2. Surat Permohonan Data/Wawancara... 59
3. Surat Keterangan Dari Kelurahan Tapos ... 60
4. Surat Keterangan Dari KUA ... 61
5. Surat Keterangan Dari Pengadilan Agama Depok... 62
6. Data Dari Pengadilan Agama Depok………62
7. Data Dari Kelurahan Tapos... 64
8. Hasil Wawancara Dengan Para Pihak... 65
9. Hasil Wawancara Dengan Ketua Kantor Urusan Agama ... 66
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pernikahan menurut Hukum Islam merupakan suatu ikatan yang paling suci
dan paling kokoh antara suami dan istri. Oleh karena itu Islam menetapkan ikatan
tersebut untuk jangka waktu yang tak terbatas (kecuali nikah mut’ah dalam syi’ah)
kelanggengannya.1 Tujuan perkawinan menurut undang-undang perkawinan No.1
Tahun 1974 adalah membentuk keluarga bahagia dan kekal. Pasal 1 undang-undang
ini menegaskan perkawinan ialah ikatan lahir batin antara pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.2
Adapun aspek utama yang diperhatikan dalam membangun rumah tangga
ialah aspek fisik, etika, dan cinta.3 Allah swt menanamkan rasa cinta kepada lawan
jenis dalam diri setiap manusia. Kaum wanita tertarik kepada kaum lelaki begitu pula
sebaliknya. Sesungguhnya manusia itu (laki-laki dan perempuan) saling
membutuhkan, untuk saling mendapatkan ketenangan dan kasih sayang. Fiqihpun
telah menggariskan bahwa nikah berfungsi sebagai kehalalan untuk jiwa. Perkawinan
merupakan jalan alami dan sah untuk mengeluarkan dan memuaskan naluri seksual,
1Djama’ah Nur,Fiqh Munakahat, (Jakarta : Dina Utama Semarang, 1993), Cet Ke-3. h.130 2UU. Perkawinan No.1 Tahun 1974 Pasal 1. (Bandung : Fokus Media, 2005), Cet. Pertama
h.2
3 Muhdor Ahmad Assegaf,Perceraian Salah Siapa, (Jakarta : PT. Lentera Basritama, 2001),
namun bukanlah menjadi tujuan utama sebuah pernikahan. Kemudian efek dari
perkawinan menjadikan badan menjadi sehat, jiwa terasa tenang. Maka terpelihara
dari pandangan haram dan ketenangan jiwa menikmati sesuatu yang halal.4 Selain itu
keduanya saling membutuhkan untuk saling mencurahkan perasaan dan pikiran serta
bersama-sama merasakan pahit dan manisnya kehidupan dalam suka maupun duka,
sehingga dapat menyelesaikan segala kesulitan dan penderitaan yang dihadapi. Modal
pertama untuk membangun suatu kehidupan bersama adalah adanya saling parcaya
antara anggotanya.5 Begitu pula dalam rumah tangga saling parcaya antara pasangan
suami isteri itu sangat penting agar tidak saling curiga mencurigai.
Penyatuan sepasang suami istri bukanlah hanya sekedar hasil rekayasa hidup
manusia, tetapi telah menjadi kodrat alam semesta sejak pertama kali diciptakan.
Islam memandang hubugan suami istri sangatlah penting, karena dalam
kehidupan bersuami istri (keluarga) itulah awal masa interaksi seseorang sebelum ia
(suami istri) mengenal masyarakat luas, keharmonisan suami istri merupakan faktor
penentu bagi keharmonisan masyarakat. Apabila kehidupan suami istri baik maka
baik pula masyarakat. Sebaliknya apabila kehidupan suami istri rusak, maka
masyarakat pun menjadi rusak.
Melihat arti pentingnya hubungan suami istri serta pengaruhnya dalam
pembangunan masyarakat seutuhnya, maka Islam telah memberikan perhatian yang
sangat besar. Islam mengatur sistem kehidupan yang menjamin terciptanya
kebahagian.6
Dari penjelasan yang cukup singkat diatas, tidaklah berarti bahwa suatu ikatan
perkawinan antara seorang laki-laki dan perempuan adalah suatu hal atau keadaan
yang dapat dijamin keabadian atau kekekalannya. Karena suatu ikatan perkawinan itu
di ikat oleh suatu akad, dan suatu akad adalah temporer sifatnya. Pemahaman ini
dapat diambil dari suatu “mafhum mukholafah” dan definisi akad:
Akad adalah suatu yang dengannya akan sempurna perpaduan antara dua
macam kehendak, baik dengan kata atau yang lain, dan kemudian keadaannya timbul
ketentuan atau kepastian pada dua sisinya”.7
Definisi di atas memberikan pemahaman yang cukup sederhana bahwa suatu
perkawinan sebagai suatu bentuk perikatan yang dapat terputus apabila terdapat dua
macam kehendak yang tidak dapat lagi disatukan, dengan kata lain peluang
perceraian selalu ada dalam sebuah ikatan perkawinan. Namun demikian peluang
perceraian yang diberikan dalam Islam bukanlah sebuah peluang yang dapat
digunakan kapan dan dimana saja. Prosesnya pun tidak semudah seperti akan
melangsungkan suatu ikatan perkawinan. Sebuah perceraian adalah suatu yang
dimurkai oleh Allah.8 Talaq menurut istilah ialah memutuskan tali perkawinan yang
sah dari pihak suami dengan kata-kata yang khusus atau dengan apa yang dapat
6 Muhammad Utsman,Problematika Suami Istri, (Jakarta: Amar Press, 1998), Cet Ke-2 h.4 7
Ahmad Kuzada,Nikah Sebagai Perikatan,(Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1981), cet ke-2 h.29
mengganti kata-kata tersebut.9 Selain itu perceraian merupakan alternative terakhir
(pintu darurat) yang dapat dilalui oleh suami istri bila ikatan perkawinan (rumah
tangga) tidak dapat dipertahankan keutuhan dan kelanjutannya.10 Jika melihat sejarah
dalam undang-undang Ibrani lama, seorang suami dapat menceraikan isterinya
dengan alasan apapun, ketika itu aturannya sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali
yang mencegah penggunaan hak suami itu, sehingga suami cenderung
berbuat semena-mena. Wanita tidak di perkenankan meminta cerai dari suaminya
dengan alasan apapun juga.11
Kitab-kitab Fiqih telah menjelaskan tentang bagaimana proses sebuah
perceraian itu selayaknya terjadi baik syarat, rukun serta keadaan-keadaan seseorang
dalam menjatuhkan talak atau melakukan suatu perceraian.
Meskipun tujuan dari pernikahan itu sendiri adalah untuk membentuk
keluarga yang bahagia (sakinah) yang kekal, tapi perjalanan dan fakta sejarah
menunjukan bahwa tidak semua perkawinan berjalan sesuai dengan tujuan yang ingin
dicapainya, mengingat kenyataan menunjukan bahwa teramat banyak pasangan suami
isteri yang perkawinannya “terpaksa” harus berakhir di tengah jalan.12
Di Indonesia perceraian telah diatur oleh Undang-Undang No. 1 tahun 1974
tentang perkawinan. Persoalan ini cukup diatur dalam satu bab yaitu dalam bab VII
9 S. Ziyad Abbas,Fiqh Wanita Islam, (Jakarta: Pustaka Panjimai, 1991), h.43
10 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2007), cet ke-2
h. 73
11
H. Abdul Qadir Djaelani,Keluarga Sakinah, (Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1995), cet.1, h.45
12 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT. Raja
tentang putusnya perkawinan serta akibat-akibatnya dalam pasal 38-41 dan PP. no.9
tahun 1975 sebagaiman yag telah dicantumkan dalam pasal 18 yang isinya sama
dengan KHI pada pasal 118-122 tentang macam-macam talak dan dalam KHI
(Kompilasi Hukum Islam) hal ini diatur dalam bab XVI tentang putusnya perkawinan
(pasal 113-148) dan bab XVII tentang akibat putusnya perkawianan (pasal 149-162)
Di dalam Islam terdapat berbagai jenis perceraian diantaranya dengan cara
talak,khulu, danfasakh yang semua itu memberikan sinyal bahwasanya Islam dalam
hal perceraian tidak memihak pada satu pihak (laki-laki) dan mendiskriminasikan
pihak lain (prempuan). Karena sesunguhnya, meskipun talak hanya jatuh oleh
perkataan atau isyarat seorang suami, tetapi seorang istri pun berhak menentukan
nasibnya sendiri dalam suatu ikatan perkawinan. Apabila ia ingin “melepaskan” diri
dari suaminya, ia dapat menempuh dengan cara khulu, tetapi sudah barang tentu
harus disertai dengan alasan-alasan yang jelas, tepat dan harus memenuhi
syarat-syarat yang telah diatur oleh ketentuan fiqh maupun undang-undang hak talak yang
hanya di tangan suami kekuasaannya itu. Tidak boleh dipergunakan sekehendak
hatinya karena hal tersebut sangat di cela oleh agama.
Di zaman modern ini kekuasaan lelaki benar-benar disoroti khususnya dalam
hal perceraian.akan tetapi sebenarnya,kebahagiaan dan kerukunan dalam rumah
tangga itu hanya bisa di capai dengan adanya kesesuaian dan tumbuhnya sikap saling
memahami di antara suami istri. Keadaan akan berbeda apabila rumah tangga yang
akan di bentuk atas azas kesucian dan saling memahami maka biasanya akan
persoalannya adalah, apakah perceraian yang resmi sebagai hukum yang dapat
memberikan perlindungan hak masing-masing dari suatu perceraian, kebanyakan
kasus di lapangan masyarakat yang bercerai secara illegal, berbanding terbalik ketika
ingin menikah kedua pasangan ingin nikahnya dicatatkan pada kantor urusan agama
(KUA) namun manakala keluarganya karam ditengah jalan dan memutuskan untuk
bercerai seakan tidak mau kedua pasangan ini membawa kemeja pengadilan
melainkan melakukan perceraian dihadapan kiyai atau tokoh masyarakat mereka
menganggap kalau cerai melalui kiyai atau tokoh masyarakat lebih cepat dan efisien
di karenakan proses yang sulit dan biaya yang tidak memadai. Oleh karena itu banyak
suami istri bercerai secara ilegal (cerai bodong) karena menginginkan proses yang
singkat dan murah. Seperti halnya kasus yang terjadi Aceh, Sumatera Barat dan
Sulawesi, talak liar sering terjadi banyak istri datang ke PA dengan secarik kertas saja
menyatakan bahwa suaminya telah menceraikannya. Terjadi dualisme hukum di
Indonesia yang tak kunjung terselesaikan hukum positif disatu pihak dan hukum
agam di pihak lain, dalam doktrin fikih dapat dianggap telah jatuh talaknya.
Sementara menurut Undang-undang, talak tersebut belum terjadi karena ikrar itu tak
dilakukan di depan pengadilan.13 Bukankah Hukum yang baik adalah norma
antisipatif, responsive, mampu beradaptasi dan mengakomodasi perubahan yang
terjadi.14 Tidak bisa disangkal bahwa hukum sebagai norma adalah realitas ideal.15
13 Arskal Salim dkk, Demi Keadilan dan Kesetaraan, (Jakarta: PUSKUMHAM dan Asia
Foundation, 2009), hal.59-60
14 Noryamin Aini,” Budaya Hukum: Melintas Batas Formalisme-Yuridis (Sentralitas
Kompilasi Hukum Islam dan Kitab Kuning dalam Putusan Pengadilan Agama)”, Era Hukum Jurnal Ilmiah Hukum, No.3/Th.9/Mei (2002).
Dari permasalahan di atas, peneliti merasa sangat perlu untuk mencoba
membahas dan memecahkan beberapa permasalahan yang muncul. Untuk itu penulis
melakukan penelitian dengan tema “Praktek PerceraianPada Masyarakat Tapos
Depok Jawa Barat (Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia).
B. Batasan dan Rumusan Masalah 1. Batasan Masalah
Untuk mempermudah pembahasan dan agar penelitian ini lebih akurat dan
terarah sehingga tidak menimbulkan masalah baru serta meluas maka penulis
membatasi pembahasan ini pada masalah cerai. Untuk objek penelitiannya,
penulis membatasi objek penelitian di Desa Tapos Kec. Tapos Depok.
Merujuk kepada undang-undang No.1 tahun 1974 pasal 39 tentang proses
perceraian bahwa perceraian yang sah harus dilakukan di muka pengadilan. Jadi
apabila suatu perceraian dilakukan di luar pengadilan disebut perceraian ilegal
2. Rumusan Masalah
Menurut Undang-undang No.1 tahun 1974 pasal 39 tentang proses
perceraian bahwa perceraian yang sah harus dilakukan di muka pengadilan,
namun kenyataannya di lapangan masih banyak terjadi praktek cerai pada
Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menyebabkan perceraian
illegal tersebut terjadi maka dalam penelitian ini penulis membuat rumusan
sebagai berikut:
a. Bagaimana praktek Perceraian di Tapos Depok?
b. Faktor apa saja yang mempengaruhi terjadinya perceraian di bawah tangan di
masyarakat Tapos dan bagaimana dampaknya?
c. Bagaimana penyelesaian kasus perceraian ilegal oleh hakim Pengadilan
Agama, Pegawai pencatat Nikah dan Ulama setempat terhadap cerai di bawah
tangan?
C. Tujuan Penelitian Dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Melihat dari pembatasan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari
penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui praktek cerai yang dilakukan oleh masyarakat Tapos
merujuk pada ketentuan hukum fikih dan hukum positif (KHI/UU No.1 tahun
1974 dan akibat hukumnya.
b. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya
perceraian yang illegal.
2. Manfaat Penelitian
a. Penelitian ini bermanfaat untuk menambah ilmu dan memperluas wawasan
intelektualitas bagi mahasiswa atau masyarakat yang membaca hasil
penelitian ini, khususnya penulis sendiri.
b. Sebagai pengembangan wawasan mengenai masalah perceraian, terutama
yang berkaitan dengan perceraian illegal yang ada di Tapos Depok.
c. Menjadi sumbangan pemikiran bagi mahasiswa dan masyarakat yang ingin
mendalami hukum cerai di Indonesia, Khususnya Fakultas Syariah dan
Hukum Syarif Hidayatullah Jakarta.
D. Review Studi Terdahulu
Dalam studi review yang penulis lakukan terhadap tulisan sebelumnya, ada
beberapa skripsi yang penulis angkat antara lain yang di tulis oleh. Dede Rohyadi
(NIM: 102044125037) di dalam skripsinya yang berjudul Perceraian di Luar Prosedur
PA di Kecamatan Sodonghilir, Tasikmalaya dan akibat hukumnya, ada beberapa poin
yang disoroti antara lain hak isteri dan anak pasca perceraian tanpa melalui
pengadilan agama terabaikan karena tidak ada kekuatan hukum.
Sedangkan pada skripsi yang akan diangkat oleh penulis lebih menyoroti
kepada sejauh mana tingkat kesadaran masyarakat tentang peraturan
perundang-undngan yang berlaku mengenai perceraian yang harus dilakukan di Pengadilan
E. Metodologi Penelitian dan Teknik Penulisan
Penulisan skripsi ini tentu membutuhkan data, baik data khusus maupun data
penunjang, data tersebut diperoleh melalui metode penelitian sebagai berikut:
Dan hal ini tidak terlepas dari tehnik pengumpilan data, yaitu:
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ilmiah jelas harus menggunakan metode, karena ciri khas ilmu
adalah dengan menggunakan metode.16 Dalam menggunakan pendekatan kasus,
yang perlu dipahami oleh peneliti adalah ratio decidendi, yaitu alasan-alasan
hukum yang digunakan dalam menganalisis permasalahan.17 Pada penelitian ini
dilakukan melalui pendekatan kualitatif untuk memahami fenomena tentang apa
yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya prilaku, persepsi motivasi, tindakan
dan lain-lain. dan dengan cara deskriptif dalam membentuk kata-kata dan bahasa
pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai
metode ilmiah.18Dalam hal ini apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis
maupun lisan dan juga prilakunya yang nyata, yang dipelajari adalah objek
penelitian yang utuh.19
2. Jenis Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini penulis memperoleh data penelitian dari
berbagai sumber anataralain sebagai berikut:
16 Johnny Ibrahim,Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,(Malang : Bayumedia
Publishing, 2007) Cet. Ke-3, h.294
17 Peter Mahmud Marzuki,Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana, 2008), hal.119
18Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya,
2005) Cet. Ke 21, h.6
19Sorjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum(Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia,
a. Melalui studi kepustakaan atau library research, yaitu metode pengumpulan
data yang dipergunakan bersama-sama metode lain seperti wawancara dan
pengamatan (observasi).20 Dalam aplikasinya penulis mencari informasi data
dari literatur-literatur yang berkaitan dengan pembahasan skripsi. Seperti:
buku-buku, kitab-kitab fiqh klasik dan Undang-undang yang berlaku.
b. Penelitian lapangan (field research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan
cara mengumpulkan data-data yang ada relevansinya dengan skripsi ini
3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data, penulis menggunakan beberapa teknik
pengumpulan data, antara lain:
a. Observasi
b. Wawancara
c. Studi pustaka
4. Teknik Penulisan
Teknik penulisan dalam penulisab skripsi ini adalah menggunakan
"Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2007.
F. Sistematika Penulisan
Mengenai sistematika penulisan, dalam hal ini peneliti membaginya kedalam
lima bab yang secara garis besar sebagai berikut:
20 Bambang Waluyo,Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), cet.
Bab Pertama Tentang : Pendahuluan. Dalam bab ini akan dijelaskan alasan
pemilihan judul, pembatasan dan perumusan masalah,
tujuan penulisan, metode penelitian dan pengumpulan data
serta sistematika penulisan.
Bab Kedua Tentang : Analisa teoritis tentang cerai. Dalam bab ini akan
menjelaskan tentang pengertian talak/cerai dalam
perspektif hukum Islam dan hukum positif (KHI dan UU
No. 1 tahun 1974), dasar hukum, macam-macam talak dan
akibat hukum.
Bab Ketiga Tentang : Pemahaman masyarakat tentang talak menurut hukum
positif (KHI dan UU No.1 tahun 1974). Dalam bab ini akan
membahas tentang manusia sebagai objek hukum,
pemahaman warga: jumlah penduduk, profesi, pendapatan,
dan tingkat pendidikan.
Bab Keempat Tentang : Dalam bab ini dijelaskan tentang faktor-faktor terjadinya
perceraian illegal pada masyarakat Tapos, tanggapan dari
petugas pencatat pernikahan, pengadilan agama Depok dan
ulama setempat disertai analisis penulis.
BAB II
CERAI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
A. Pengertian Perceraian
Putusnya perkawinan adalah istilah hukum yang digunakan dalam
Undang-undang perkawinan untuk menjelaskan “perceraian” atau berakhirnya ikatan
pernikahan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan selama hidup sebagai
suami isteri. Untuk maksud dari perceraian itu, fiqh menggunakan istilahfurqah.21
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata cerai diartikan dengan pisah atau
putus.22 Cerai yang dalam bahasa Arab disebut dengan talak adalah isim masdar dari
kata
–
–
yang semakna dengan kata dan , yaitu melepaskanatau meninggalkan. Dalam istilah Agama talak artinya melepaskan ikatan perkawinan
atau bubarnya hubungan perkawinan. Sedangkan dalam Ensiklopedia Islam Indonesia
talak menurut istilah adalah melepaskan tali perkawinan atau mengakhiri hubungan
perkawinan.23
Adapun beberapa definisi yang dikemukakan oleh beberapa ulama, di
antaranya:
21 Amir Syarifuddin,Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006) Cet.
Ke-1 h.189
22
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), Cet. ke-1, h. 163
Menurut Sayyid Sabiq dalam kitabnya, Fikih al-sunnah mengartikan talak
dengan:
٢ ٤
Artinya: “Talak adalah lepasnya ikatan perkawinan dan Berakhirnya hubungan perkawinan antara suami istri”.
Sedangkan Abdurrahman al-Jaziri dalam kitabnya, al-Fiqih ala al-Mazahib
al-Arba’ah mendefinisikan talak dengan “
٢ ٥
Artinya: “Talak adalah menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi (ikatan) pelepasan dengan kata-kata tertentu,”
Definisi thalak yang lebih panjang dapat dilihat dalam kitabkifayat al-Akhyar
yang menjelaskan thalak sebagai sebuah nama untuk melepaskan ikatan nikah dan
thalak adalah lafadz jahiliyah yang setelah Islam datang meneteapkan lafadz itu
sebagai kata untuk melepaskan nikah. Dalil-dalil tentang thalak itu berdasarkan
al-Kitab, al-Hadits, Ijma’ ahli agama dan ahli sunnah.26
Mazhab Hanafi dan mazhab Hanbali mendefinisikan talak sebagai pelepasan
sebagai pelepasan ikatan perkawinan secara langsung atau pelepasan perkawinan di
masa yang akan datang. Yang dimaksud “secara langsung” adalah tanpa terkait
dengan sesuatu dan hukumnya langsung berlaku ketika ucapan talak tersebut
24 Abdurrahman bin Ismail kinani,Zawaidu ibnu ‘ala’Kutub al-khamsah, (Beirut Daar Kutub
al-Ilmiah, 1993), h.288
25
Abdurrahman al-Jazir,al-Fiqh ala’ al-Arba’ah, (Beirut: Daar al-fiqh, 1972), Juz IV, h.278
26 Imam Tqiyuddin,Kifayat al-Akhyar fi Hal Ghoyat al-Ikhtiyar, (Surabaya: Darul Ihya), juz
dinyatakan suami. Adapun yang dimaksud dengan “di masa yang akan datang”
adalah berlakunya hukum talak tersebut tertunda oleh suatu hal.
Mazhab Syafi’i mendefinisikan talak sebagai pelepasan akad nikah dengan
lafal atau itu. Dengan definisi ini, baik hukum talak ba’in maupun raj’i langsung
berlaku ketika pernyataan talak disampaikan oleh suami dan resiko talak tersebut
berlaku ketika pernyataan talak disampaikan oleh suami dan segala resiko talak
tersebut berlaku untuk kedua belah pihak. Di pihak lain Mazhab Maliki
mendefinisikan talak sebagai suatu sifat hukum yang menyebabkan gugurnya
kehalalan suami isteri.27 Sedangkan menurut Subekti, perceraian ialah penghapusan
perkawinan dengan putusan hakim, atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan
itu.28
Dari beberapa definisi talak di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa
talak adalah hilangnya atau lepasnya ikatan perkawinan, hanya saja ada beberapa
mainstream yang mengakibatkan perbedaan dalam mendefinisikan arti talak.
Sebagian ulama ada yang menekankan pada akibat hukum dari adanya talak, yaitu
hilangnya hubungan suami istri dan segala sesuatu yang berkaitan dengan hak dan
kewajiban suami istri. Sedangkan ulama yang lainnya berorientasi pada tindakan
seseorang yang bertujuan untuk melepaskan ikatan perkawinan dengan menggunakan
lafadz tertentu. Sedangkan arti mengurangi pelepasan ikatan perkawinan yang
diungkapkan oleh Abdurrahman al-Jajiri adalah berkurangnya hak talak bagi suami
yang mengakibatkan berkurangnya jumlah talak yang menjadi hak suami dari tiga
27
Ensiklopedia Islam,Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, (Jakarta : PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997), Cet, Ke-4, h.53
menjadi dua, dari dua menjadi satu, dari satu menjadi hilang hak talak itu yaitu yang
terjadi dalam talak raj’i.
Dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan maupun dalam
putusan pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang No. 1
tahun 1974 tentang perkawinan tidak terdapat pengertian perceraian secara khusus,
hanya saja dalam pasal 38 Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan
menyebutkan bahwa perceraian merupakan salah satu sebab putusnya perkawinan.
Senada dengan Kompilasi Hukum Islam bahwa putusnya perkawinan dapat pula
terjadi karena talak.
B. Thalak Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif
1. Talak Menurut Hukum Islam
Pada dasarnya pernikahan dalam Islam mengandung dasar kelanggengan,
namun pada perakteknya dalam menjalankan kehidupan rumah tangga terkadang
terjadi ketidakcocokan di antara masing-masing kedua belah pihak. Kondisi
tersebut bila dibiarkan berlarut-larut akan menimbulkan dampak yang negatif dan
sulit untuk mewujudkan kehidupan yang sakinah, mawaddah, warahmah. Untuk
mengatasi dampak yang buruk itu, Islam memberikan solusi yang paling terakhir
digunakan, yaitu dengan cara melalui “thalaq” adapun dasar hukum talak
dinyatakan dalam beberapa surah di antaranya sebagai berikut:
)
/
٢
:
١ ٣ ١
(
Artinya: Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu Menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, Maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu Yaitu Al kitab dan Al Hikmah (As Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (QS Al-Baqarah/2: 131).
b. Q.S. Thalaq ayat 1:
)
/
٦ ٥
:
١(
(diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, Maka Sesungguhnya Dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. kamu tidak mengetahui barangkali Allah Mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.(Thalaq/65: 1)
Hal ini diperjelas oleh hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah :
:
:
:
،
،
) .
(
٢ ٩
Artinya: “Dari Abu Hurairah, ia berkata : telah bersabda Rasulullah saw,: ada tiga perkara yang disungguhkan jadi dan dipermainkanpun jadi, yaitu : nikah, thalaq dan ruju’. (diriwayatkan dia 4, kecuali nasai dan disahihkan oleh hakim).
Menurut H.A.S Al-Hamdani, ia menyatakan bahwa menurut asalnya
perceraian atau talak itu hukumnya makruh berdasarkan sabda Rasullah SAW:
:
.
) .
(
٣ ٠
Artinya: “Sesuatu perbuatan yang halal yang paling dibenci Allah adalah
talak (perceraian)”. (Riwayat Abu Dawud, Ibn Majah, dan
al-Hakim, dari Ibn’Umar).
Selain itu ada hadits Nabi yang menyatakan kebolehan (Ibahah) dalam
hal talak seperti:
29
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulugh al-Maram, (Jakarta: Dar Al-Kutub Al-Islamiyah, 2002), Cet. I, h. 230
:
)
(
٣ ١
Kemudian dengan memperhatikan aspek kemaslahatan dan aspek
kemadharatan dari sebuah perceraian, maka hukumnya bisa menjadi: (1)
wajib; (2) sunnah; (3) haram; (4) makruh dengan penjelasan-penjelasan
sebagai berikut:
Perceraian dapat menjadi wajib hukumnya dalam dua keadaan.
a. Adanya perselisihan antara suami istri (syiqaq) yang tidak mungkin lagi
dapat didamaikan, sementara dua orang hakim yang mengurus perkara
mereka ini, menempuh jalur perceraian.
b. Bilamana seorang suami mengadakan sumpah‘ila untuk tidak menggauli
istrinya untuk selama-lamanya ataupun selama empat bulan berturut-turut,
maka hukum talaq baginya wajib. Sebab, bagaimana mungkin
kebahagiaan perkawinan dapat terwujud jikalau setelah akad perkawinan,
sang suami bersumpah untuk tidak mau memberikan nafkah batin kepada
istrinya.32
Perceraian dapat menjadi sunnah hukumnya juga dalam dua keadaan.
a. Apabila suami sudah tidak sanggup lagi membayar atau pun memenuhi
kewajibannya selaku suami terhadap isterinya secara cukup dalam
31 Abu Abdillah Muhammad bin Ismail, Shahih al-Bukhari, (Beirut : Daar al-Fikr t.th.) juz
IV, h.71
32 Imam Abu Ishaq Ibrahim bin ‘Ali bin Yusuf al-Fairuzzabadi al-Syirazi,al-Muhadzdzab fi
penghidupan atau selainnya. Lalu pihak isteri pun telah menuntutnya agar
memenuhi kewajibannya tersebut.
b. Jika pihak istri mengabaikan kewajiban-kewajibannya kepada Allah,
seperti sengaja meninggalkan shalat tanpa halangan syara’, sedangkan
suami sudah tidak mampu lagi memaksakanya agar menjalankan
kewajibannya itu. Maka dalam hal ini, adalah disunnahkan untuk
mengambil jalan perceraian. Disamping itu, seorang istri yang tidak bisa
lagi menjaga kehormatan dirinya dan keluarganya juga sunnah hukumnya
untuk diceraikan.33
Adapun hukum talak yang diharamkan adalah talak bid’ah, yaitu ada
dua macam: pertama, seorang suami mentalak isteri yang sudah digauli ketika
si isteri tersebut sedang dalam keadaan haidh; ataupun yang kedua,
menjatuhkan talak saat isteri dalam keadaan suci namun sudah dicampuri
akan tetapi belum diketahui apakah ia dalam keadaan hamil atau tidak. Alasan
pengharaman kedua macam talak ini ialah bilamana menjatuhkan talak kepada
isteri yang sedang haidh, maka akan berakibat lebih memberikan pihak isteri
dengan lamanya masa ‘iddah yang harus ia jalani. Sementara bila mentalaknya dalam keadaan suci, maka tidak menutup kemungkinan saat itu
ia sedang dalam keadaan hamil dan adalah dosa besar bagi suami yang
33 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam Lengkap, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2004), Cet.-37,
mentalak isterinya sementara mengandung anaknya. Itulah sebabnya mengapa
kedua macam talak ini diharamkan.34
Adapun hukum talak yang makruh ialah bilamana tidak terdapat di
dalamnya indikasi-indikasi yang mensunnahkannya dan tidak ada pula
indikasi-indikasi yang mengharamkannya. Inilah hukum asal yang sebenarnya
dari talak, sebagaimana sabda Nabi SAW: “perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah SWT adalah talak.”
Talak merupakan seburuk-buruknya perbuatan yang dibenci Allah,
lantaran talak tersebut menyebabkan terputusnya keturunan yang merupakan
maksud tujuan paling mulia dari adanya ikatan perkawinan dan lantaran talak
itu mengandung maksud menghinakan dan merendahkan martabat para isteri,
keluarganya dan anak-anaknya.35
2. Talak Menurut Hukum Positif
Menurut Kompilasi Hukum Islam, cerai (talak) adalah ikrar suami
dihadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya
perkawinan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129,130,131 sesuai
dengan pasal 117 Kompilasi Hukum Islam.36
34 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam Lengkap, (Bandung: Sinar Baru Algensindo,2004), Cet.-37,
h.402
35 Abu Bakar bin Sayyid Muhammad Syatha al-Dimyati,I’anat al-Thalibin, (Beirut: Dar
al-Fikr,1993), juz IV,h.7
36 Abdul Manan, M. Fauzan, Pokok-pokok Hukum Perdata Wewenang Pengadilan Agama,
Sedangkan menurut Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan
cerai talak adalah seseorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan
sidang isterinya mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan
sidang guna penyaksian ikrar talak. Menurut hukum positif, bahwa dalam setiap
perceraian yang terjadi harus mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan
Agama bagi warga negara yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi
warga negara non Muslim, sesuai dengan Undang-undang Hukum Perdata pasal
2007,”tuntutan untuk perceraian perkawinan, harus diajukan kepada Pengadilan
Negeri.”
Didalam PP No.9 tahun 1975 pasal 16 dinyatakan hal-hal yang
menyebabkan terjadinya perceraian. Perceraian dapat terjadi karena alasan
sebagai berikut:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan
lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama (2) tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal yang lain di
luar kemampuannya.
c. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain;
d. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
e. Antara suami isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Selanjutnya pada pasal 39 UUP dinyatakan:
a. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah
pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak.
b. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa suami isteri tidak
akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.
c. Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan
perundangan sendiri.
C. Macam-macam Talak Menurut Hukum Islam
Ditinjau dari sebab ada tidaknya praktek Rasullah SAW dan para sahabatnya
mengenai penjatuhan talak, maka talak dapat dikategorikan menjadi dua macam
yaitu: talak sunni dan talak bid’i.
Talak sunni ialah yang dijatuhkan suami kepada istri pada saat istri dalam
keadaan suci dan selama suci ini ia belum dicampuri.37 Atau definisi lain
mengungkapkan bahwa talak yang disunnahkan atau diajarkan Rasullah SAW. Maka
termasuk jenis talak ini adalah talak yang dijatuhkan kepada istri yang suci dan
37 A. Zuhdi Muhdlor,Memahami Hukum Perkawinan (NTCR), (Bandung: Al-Bayan, 1995),
selama masa suci itu belum dicampuri, ataupun talak yang dijatuhkan kepada istri
yang tidak sedang dalam keadaan hamil.38
Sementara talak bid’i ialah talak yang dijatuhkan suami kepada istri yang
sedang dalam keadaan haidh, ataupun dalam keadaan suci akan tetapi sudah ia
campuri.39
Bila ditinjau dari dapat tidaknya seseorang kembali lagi kepada bekas istri
yang diceraikannya, maka talak dapat di kategorikan menjadi dua macam, yaitu: (1)
talaq raj’i; (2) talaq ba’in sugra dan kubra. Pembagian ini berdasarkan bunyi dua buah firman Allah SWT dibawah ini:40
)
/
٢
:
٢ ٢ ٩
-٢ ٣ ٠
(
Artinya: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri)
38 Kamal Muchtar,Asas-asas Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), Cet.-3, h.170 39
Kamal Muchtar,Asas-asas Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), Cet.-3, h.170
40 A. Zuhdi Muhdlor,Memahami Hukum Perkawinan (NTCR), (Bandung: Al-Bayan, 1995),
tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim. Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah,
diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui. (QS.Al-Baqarah/2: 229-230)
Talakraj’iialah talak satu dan dua tanpa adanya penebusan talak (‘iwad) dari
istri untuk suami, yang masih, yang masih memberikan kesempatan kepada bekas
suami untuk kembali lagi (rujuk) kepada bekas istrinya itu selam masa ‘iddahnya
tanpa disertai dengan akad yang baru.41
Adapun talak ba’in sugra ialah talak satu dan dua, baik dijatuhkan sekaligus
maupun berturut-turut dengan disertai ‘iwad dari istri untuk suami dan suami masih
berhak kembali lagi dengan bekas istrinya itu hanya saja dengan akad yang baru.
Talakba’in sugra ini ada tiga macam yaitu: (1) talak yang terjadi sebelum dukhul; (2)
talak dengan tebusan (khulu); (3) talak yang dijatuhkan oleh pengadilan (hakim).42
Sementara talak ba’in adalah talak tiga, baik dijatuhkan sekaligus maupun
berturut-turut, yang menyebabkan seorang suami tidak dapat kembali lagi kepada
bekas istrinya kecuali ia sudah menikah dengan suami yang baru kemudian keduanya
bercerai setelah bercampur dan masa ‘iddahnya pun telah berakhir pula. Barulah
dengan persyaratan tersebut si suami boleh menikah lagi dengan bekas istri yang
diceraikan dengan talak tiga.43
D. Akibat Hukum Thalak
Ketika sebuah ikatan perkawinan telah berakhir maka ada konsekwensi logis
yang diterima bagi pihak suami dan pihak isteri yang menjadi hak dan kewajiban bagi
kedua belah pihak. Hal ini tersebut dan tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam.
Dalam hal putusnya perkawinan dengan proses cerai talak, akibat hukum yang
terjadi diatur dalam pasal 149 KHI yaitu:
1. Memberikan Mut’ah (sesuatu) yang layak kepada bekas isteri, baik berupa uang
atau benda kecuali bekas isteri tersebutqabla dukhul.
2. Memberikan nafkah, makan dan kiswah (tempat tinggal dan pakaian) kepada
bekas isteri selama dalam masa iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak
ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.
3. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separuh bila qabla
al-dukhul.
4. Memberikan biaya hadhanah (pemeliharaan anak) untuk anak yang belum
mencapai 21 tahun.
Selain itu KHI juga mengatur tentang akibat hukum karena perceraian (cerai
gugat) dalam pasal 156 yaitu:
1. Anak yang belum Mumayyiz berhak mendapatkanhadhanah dari ibunya, kecuali
bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya diganti oleh:
a. Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ibu;
b. Ayah;
c. Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ayah;
d. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;
e. Wanita-wanita dari kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu;
f. Wanita-wanita dari kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.
2. Anak yang sudah Mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari
ayah atau ibunya.
3. Apabila pemeganghadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani
dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas
permintaan kerabat yang bersangkutan pengadilan dapat memindahkan hak
hadhanah kepada kerabat yang lain yang mempunyai hak hadhanah pula.
4. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut
kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat
mengurus dirinya sendiri (21 tahun).
5. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan
Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), (c), dan (d).
6. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan
jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut
padanya.44
E. Cerai Ilegal, Pengertian dan Batasannya
Untuk mempertajam permasalahan dalam menganalisis tentang cerai ilegal
maka uraian penulis terlebih dahulu membahas tentang pengertian cerai bawah
tangan (ilegal).
Dalam Islam terdapat beberapa macam cara lepasnya ikatan suami isteri hal
ini dipertegas dengan pendapat ulama klasik antara lain disebabkan oleh thalaq,
khulu, fasakh, nusyuz, li’an, ila’ dan zihar kesemuanya dapat dianggap sah apbila
telah memenuhi sarat-saratnya.
Sedangkan menurut Undang-undang No.1 tahun 1974 tantang perkawinan
pasal 39 yang isinya (1) Perceraian hanya dapat dilakukan didepan Sidang Pengadilan
setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak. (2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa
antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri. (3) Tatacara
perceraian didepan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.
Dari kedua penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa perceraian illegal
ialah perceraian yang dilakukan secara liar tidak dilakukan di depan pengadilan.
Sebagai warga negara yang baik tentunya harus mentaati peraturan pemerintah.
Memang terjadi dualisme hukum tentang sah dan tidaknya perceraian di mata
agama dan di mata hukum formal. Secara agama perceraian sah apabila telah
memenuhi unsur-unsurnya sedangkan menurut hukum formal perceraian dianggap
BAB III
POTRET DESA TAPOS
A. Sejarah Singkat Berdirinya Kota Depok
Depok bermula dari sebuah kecamatan yang berada dalam lingkungan
kewedanaan (pembantu bupati) wilayah Parung kabupaten Bogor, kemudian pada
tahun 1967 perumahan mulai dibangun baik oleh Perum Perumnas maupun
pengembangan yang kemudian diikuti dengan dibangunnya kampus Universitas
Indonesia (UI), serta meningkatnya perdagangan dan jasa, yang semakin pesat,
sehingga diperlukan kecepatan pelayanan.
Pada tahun 1981 pemerintah membentuk kota administratif Depok
berkembang dengan pesat baik di bidang pemerintah, pembangunan dan
kemasyarakatan, khususnya bidang pemerintah semua desa berubah menjadi
kelurahan dan adanya pemekaran kelurahan, sehingga pada akhirnya Depok terdiri
dari 3 (tiga) kecamtan dan 23 (dua puluh tiga) kelurahan. Dengan semakin pesatnya
perkembangan dan tuntutan aspirasi masyarakat yang semakin mendesak agar kota
administratif Depok ditingkatkan menjadi kota madya dengan harapan pelayanan
menjadi maksimum. Disisi lain pemerintah kabupaten bogor bersama – sama pemerintah propinsi jawa barat memperhatikan perkembangan tersebut dan
mengusulkannya kepada pemerintah pusat dan dewan perwakilan rakyat.
Berdasarkan undang- undang nomr 15 tahun 1999, tentang pembentukan kota
diresmikan pada tanggal 27 April 1999 berbarengan dengan pelantikan pejabat
walikota madya kepala daerah tingkat dua Depok yang dipercayakan kepada
Drs.H.Badrul Kamal yang pada waktu itu menjabat sebagai walikota administratif
Depok.
Berdasarkan undang – undang nomor 15 tahun 1999 wilayah kota Depok meliputi kota administratif kota Depok, terdiri dari 3 (tiga)kecamatan sebagaimana
tersebut diatas ditambah dengan sebagian wilayah kabupaten daerah tingkat II bogor
yaitu :
1. Kecamatan cimanggis, yang terdiri dari 1 (satu) kelurahan dan 12(dua belas)desa
yaitu kelurahan Cilangkap, Desa Pasir Gunung Selatan, Desa Tubu, Desa Mekar
Sari, Desa Cisalak Pasar, Desa Curug, Desa Harja Mukti, Desa Sukatani, Desa
Sukamaju Baru, Desa Jati Jajar, Desa Tapos, Desa Cimpaeun, Desa
Luwinanggung.
2. Kecamatan Sawangan, yang terdiri dari 14 (empat belas) Desa yaitu : Desa
Sawangan, Desa Sawangan Baru, Desa Cinangka, Desa Kedaung, Desa Serua,
Desa Pondok Petir, Desa Curug, Desa Bojong Sari, Desa Bojong Sari Baru, Desa
Duren Seribu, Desa Duren Mekar, Desa Pengasinan, Desa Bedahan, Desa Pasir
Putih.
3. Kecamatan Limo, yaitu terdiri dari 8 (delapan) desa yaitu : Desa Limo, Desa
Meruyung, Desa Cinere, Desa Gandul, Desa Pangkalan Jati, Desa Pangkalan Jati
4. Dan ditambah 5 (lima) desa dari kecamatan bojong gede yaitu : Desa Cipayung,
Desa Cipayung Jaya, Desa Ratu Jaya, Desa Pondok Terong, Desa Pondok Jaya.
Kota Depok selain merupakan pusat pemerintah yang berbatasan langsung
dengan wilayah daerah khusus Ibu Kota Jakarta, juga merupakan wilayah penyangga
ibu kota negara yang diarahkan untuk kota pemukiman, kota pendidikan, pusat
pelayanan perdagangan dan jasa kota pariwisata sekaligus sebagai kota resapan air.
Para walikota Depok :
• Drs. Moch. Rukasah Suradimadja (1982-1984)
• Drs.H.M.I. Tamdjid (1984-1988)
• Drs. H.Abdul Wachyan (1988-1991)
• Drs. H. Sofyan Safari Hamim (1992-1996)
• Drs. H. Badrul Kamal (1997-2005)
• Dr. Ir. H. Nur Mahmudi Ismail,Msc (2005-2010)
• Dr. Ir. H. Nur Mahmudi Ismail,Msc (2010-2015)
Terbentuknya Kota Administratif Depok
Waktu terus bergulir seiring pertumbuhan ekonomi masyarakat. Tahun 1976,
pemukiman warga mulai dibangun dan berkembang terus hingga akhirnya pada tahun
1981 Pemerintah membentuk Kota Administratif (Kotif) Depok. Pembentukan Kotif
Depok itu diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri, yang saat itu dijabat oleh H Amir
Bersamaan dengan perubahan status tersebut, berlaku pula Peraturan
Pemerintah (PP) Republik Indonesia No 43 tahun 1981, tentang pembentukan Kotif
Depok yang meliputi tiga kecamatan. Yakni, kecamatan Pancoran Mas, Kecamatan
Beji, dan Kecamatan sukmajaya. Ketiga Kecamatan itu memiliki luas wilayah 6.794
hektare dan terdiri atas 23 Kelurahan.
Lantaran tingginya tingkat kepadatan penduduk yang secara administratif
talah mencapai 49 orang per hektare dan secara fungsional mencapai 107 orang per
hektare, pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi, yaitu 6,75 persen per tahun, dan
pemikiran regional, nasional dan internasional akhirnya konsep pengembangan Kotif
Depok mulai dirancang menuju kerangka Kota Depok.
Untuk memenuhi tuntutan tesebut, maka diperlukan beragam upaya
perwujudan organisasi yang memiliki otonom sendiri, yaitu Kota Madya Depok atau
Kota Depok
Terbentuknya Kota Depok
Pesatnya perkembangan dan tuntutan aspirasi masyarakat yang kian
mendesak, tuntutan menjadi kota madya menjadi semakin maksimum. Di sisi lain
Pemda Kabupaten Bogor bersama pemda Propinsi Jawa Barat memperhatikan
perkembangan tersebut, dan mengusulkan kepada Pemerintah Pusat dan Dewan
Perwakilan Rakyat.
Memperhatikan aspirasi masyarakat sebagaimana tertuang dalam surat
keputusan DPRD Kabupaten Bogor, 16 Mei 1994 Nomor 135/SK, DPRD/03/1994
keputusan DPRD Propinsi Jawa Barat, 7 Juli 1997 Nomor 135/Kep, Dewan. 061
DPRD/1997 tentang persetujuan pembentukan Kota Madya Daerah Tingkat II Depok
maka pembentukan Kota Depok maka pembentukan Kota Depok sebagai wilayah
administratif baru ditetapkan berdasarkan Undang-undang No. 15 tahun 1999, tentang
pembentukan Kota Madya Daerah Tk. II Depok yang ditetapkan pada 20 April 1999.
Kota Depok itu sendiri diresmikan 27 April 1999 berbarengan dengan
pelantikan Pejabat Wali Kota Madya Kepala Daerah Tk. II Depok, Drs. H. Badrul
Kamal, yang pada waktu itu menjabat sebagai Wali Kota Administratif Depok.
Momentum peresmian kotamadya ini dapat dijadikan landasan bersejarah dan tepat
dijadikan hari jadi Kota Depok. Wilayah Kota Depok diperluas ke Kabupaten Bogor
lainnya, yaitu Kecamatan Limo, Kecamatan Cimanggis, Kecamatan Sawangan dan
sebagian Kecamatan Bojong Gede yang terdiri dari Desa Bojong, Pondok Terong,
Ratu Jaya, Cipayung, dan Cipayung Jaya. Hingga kini wilayah Depok terdiri dari
enam kecamatan terbagi menjadi 63 kelurahan, 772 RW, 3.850 RT serta 218.095
Rumah Tangga.
Depok menjadi salah satu wilayah termuda di Jawa Barat dengan luas wilayah
sekitar 207.006 km2 yang berbatasan dengan tiga kabupaten dan satu provinsi.
Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Ciputat Kabupaten Tangerang dan
masuk wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Sebelah timur berbatasan dengan
Kecamatan Pondok Gede, Kota Bekasi, dan Kecamatan Gunung Putri, kabupaten
Kecamatan Bojong Gede, Kabupaten Bogor. Sebelah barat berbatasan dengan
Kecamatan Parung dan Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten Bogor.
Sekelumit sejarah singkat Kota Depok menjadi sebuah gambaran singkat
untuk mengenal Kota Depok secara menyeluruh data di peroleh dari pegawai
kelurahan Tapos.
B. Jumlah Warga Tapos Depok
Jumlah penduduk Desa Tapos berdasarkan laporan tahun 2010, sesuai sesus
yang dilakukan oleh pegawai kelurahan melalui seksi kepemerintahan. Jumlah
penduduk di Kelurahan/Desa Tapos sampai akhir bulan Desember 2010 tercatat
12.477 jiwa yang terdiri dari:
a. Laki-laki : 6.475 jiwa
b. Perempuan : 6.002 jiwa
c. Jumlah KK : 2.783 jiwa
d. Jumlah penduduk miskin : 414 jiwa
e. Jumlah penduduk buta aksara latin dan Al-Qur’an : 351 jiwa Jumlah penduduk berdasarkan usia :
- 00-05 tahun : 1.016 orang
- 06-10 tahun : 1.117 orang
- 11-15 tahun : 1.197 orang
- 16-20 tahun : 957 orang
- 26-30 tahun : 1.049 orang
- 31-35 tahun : 1.054 orang
- 36-40 tahun : 1.099 orang
- 41-45 tahun : 1.035 orang <