PRAKTEK PERCERAIAN MASYARAKAT DESA
GELAM JAYA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
DAN HUKUM POSITIF
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syari'ah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum (S.H)
Oleh :
Siti Nur Hanifatul Khusna 11160430000088
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB
FAKULTAS SYA’RIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF
HIDAYATULLAH JAKARTA
LEMBAR PENGESAHAN
PRAKTEK PERCERAIAN MASYARAKAT DESA
GELAM JAYA DALAM PERSPEKTIF HUKUM
ISLAM DAN HUKUM POSITIF
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk
Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
SITI NUR HANIFATUL KHUSNA
NIM: 11160430000088
Di Bawah Bimbingan
Drs. Ahmad Yani, M.A
NIP: 196404121994031004
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A
1441H/2021M
i
ABSTRAK
SITI NUR HANIFATUL KHUSNA. NIM 11160430000088. PRAKTEK PERCERAIAN MASYARAKAT DESA GELAM JAYA DALAM PERSFEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF. Program Studi Perbandingan Madzhab, Fakultas Syari'ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 1441 H/ 2021 M.
Studi ini bertujuan untuk mengetahui praktek perceraian di Desa Gelam Jaya, faktor- faktor terjadinya perceraian di luar Pengadilan gama di Desa Gelam Jaya, dampak dari perceraian di luar Pengadilan Agama di Desa Gelam Jaya, dan pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif terhadap praktek perceraian masyarakat Desa Gelam Jaya.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum empiris dengan pendekatan sosiologi hukum. Kriteria yang di dapatkan yaitu berupa data primer dari hasil wawancara dengan pelaku perceraian di luar Pengadilan Agama, Tokoh Masyarakat , Aparatur Desa yaitu Kepala Desa Gelam Jaya, Sekretaris Desa Gelam Jaya, Operator Desa Gelam Jaya, dan Hakim Pengadilan Agama. Teknik pengumpilan datanya dilakukan dengan metode observasi, wawancara, studi pustaka dan studi dokumentasi, yang semua menjawab permasalahan penelitian tentang praktek perceraian masyarakat Desa Gelam Jaya yang dilakukan di luar Pengadilan Agama.
Hasil penelitian menunjukan bahwa praktek perceraian masyarakat Desa Gelam Jaya, masih ada yang menyelesaikan perceraiannya secara kekeluargaan saja, atau di luar Pengadilan Agama. Adapun yang menyelesaikan perceraiannya di dalam sidang Pengadilan Agama hanya sebatas formalitas administrasi saja, karna ingin menikah lagi dengan pasangan baru. Itupun dilakukan setelah beberapa tahun kemudian. Jadi mereka menganggap menyelesaikan perceraian di dalam sidang Pengadilan Agama hanya untuk formalitas administrasi saja, bukan karena mengantisipasi terjadinya dampak- dampak negatif yang akan terjadi
ii
kepada kedua belah pihak dan buah hatinya. Selanjutnya faktor terbesar penyebab terjadinya perceraian di luar Pengadilan Agama di Desa Gelam Jaya dimana mayoritas masyarakatnya memiliki kesadaran hukum yang rendah, walaupun sebenarnya mereka tahu bahwa perceraian harus dilakukan dan disaksikan oleh negara. Kemudian dampak- dampak negatif yang terjadi dari perceraian di luar Pengadilan Agama tidak hanya berdampak terhadap internal pihak keluarga yang bercerai saja, tetapi juga berdampak kepada eksternal nya yaitu pihak desa. Pandangan Hukum Islam terhadap praktek masyarakat Desa Gelam Jaya yang dilakukan di luar Pengadilan Agama yaitu itu sah karena mutlak haknya seorang suami. Tanpa harus mensyaratkan di mana terjadinya talak itu, sedangkan dalam pandangan Hukum Positif yaitu , perceraian yang dilakuakan di luar Pengadilan Agama oleh Masyarakat Desa Gelam Jaya tersebut tidak sesuai dengan undang-undang yang berlaku di Indonesia, karena dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
Kata Kunci : Praktek Perceraian, Pengadilan Agama, Dampak Perceraian, Faktor Perceraian, Persfektif Hukum Islam dan Hukum Positif, Gelam Jaya, Pasarkemis.
Pembimbing : Drs. Ahmad Yani M.A Daftar Pustaka : 1980 s.d 2019
iii
KATA PENGANTAR الله الرحمن الرحيم مسب
Segala puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan banyak rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapan menyelesaiakn skripsi ini yang berjudul "Praktek Perceraian Masyarakat Desa Gelam Jaya Dalam Persfektif Hukum Islam dan Hukum Positif". Shalawat dan salam tak lupa penulis curah kan kepada Baginda Alam yakni Nabi Muhammad SAW yang telah mengantarkan umatnya dari zaman jahiliyyah dunia ke zaman peradaban ilmu pengetahuan seperti saat sekarang ini. Semoga dengan bersholawat kepada Nabi Muhammad SAW kita semua senantiasa bisa berkumpul bersamanya di hari akhi nanti aamiin.
Tak henti penulis megucapan syukur, karena penulis sangat bahagia karena dapat menyelesaikan tugas akhir dalam jenjang pendidikan Strata Satu (S1) yang penulis tempuh telah selesai. Dan penulis meminta maaf apabila dalam penulisan skripsi ini ada yang kurang, atau kesalahan yang kurang berkenan di hati para pembaca, karena penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini jauh dari kata sempurna.
Manusia tidaklah mungkin hidup tanpa bantuan dari orang lain dan tidaklah mungkin terwujud semua usaha tanpa bantuan orang lain juga. karena penulis menyadari bahwa skripsi ini tidaklah mungkin dapat tercapai tanpa dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu sebagai ungkapan rasa terimakasih dan rasa hormat yang begitu mendalam, penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:
1. Ibu Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Lubis, Lc, MA., Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta berikut para Wakil Dekan I, II dan III Fakultas Syariah dan Hukum.
iv
3. Ibu Siti Hanna, M.A. Selaku Ketua Program Studi Perbandingan Madzhab, dan Bapak Hidayatullah, MH. Sebagai Sekretaris Program Studi Perbandingan Mazhab. yang terus mendukung dan memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan proses penyusunan skripsi ini.
4. Bapak Dr. Umar Al-Haddad, MA. Sebagai Dosen Penasehat Akademik penulis yang telah sabar mendampingi penulis mulai dari semester awal hingga semester akhir dan telah membantu penulis dalam perumusan desain judul skripsi ini.
5. Bapak Drs. Ahmad Yani M.A. Sebagai Dosen Pembimbing Skripsi, yang telah meluangkan waktu serta memberikan arahan, saran, dan ilmunya yang menjadi pembelajaran baru bagi penulis dengan penuh keikhlasan, kesabaran dan keistiqomahan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
6. Segenap Bapak dan Ibu Dosen serta staf pengajar pada lingkungan Program Studi Perbandingan Madzhab Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis selama duduk dibangku perkuliahan hingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 7. Teristimewa kepada kedua orang tua yang sangat penulis cintai dan
sayangi. Ayahanda Nur Kholis KD dan Ibunda Siti Khumaeroh, yang selalu mendoakan, membantu dan memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Dan yang selalu mengorbankan seluruh hidupnya untuk merawat, mendidik, membahagiakan dan membesarkan penulis dari kecil sampai saat ini. Tanpa do'a dan bantuan usaha dari mereka, mustahil penulis mampu menyelesaikan studi dan skripsi ini. Dan mustahil pula penulis mampu membayar apa yang telah diberikan oleh mereka selama ini. Bagi penulis, Ayahanda Nur Kholis KD dan Ibunda Siti Khumaeroh adalah sumber inspirasi dalam menjalankan kehidupan dan menyelesaikan skripsi ini.
8. Segenap aparatur desa dan tokoh masyarakat Desa Gelam Jaya, yaitu Bapak Moch Sanusi, Bapak Tamim Hudri, Bapak Husein Aproni dan
v
Ustadz Utlu. Yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
9. Sahabat-sahabat tercinta Desi Rosida, Dina Aulia dan Nurfitri Kuncitra Putra. Yang telah memberikan banyak cerita selama perjalanan menyelesaikan Strata Satu (S1), yang selalu membantu dan mendukung penulis selama ini. Terimakasih telah menjadi penghibur dikala sedih. Semoga silaturahmi kita terus terjalin.
10. Penghuni kosan Bunin dan Al-Barkah tercinta, Diastati Puspita Ning Ayu, Vika Mutiarini, Oktaviani Fajri, Farida Nuraini, Novi Nurhaini dan Lia Apriyani, yang telah menemani penulis selama tinggal merantau di ciputat. Dan terimakasih atas segala kebaikan yang telah kalian berikan kepada penulis.
11. Seluruh santriwati dan pengajar Pondok Tahfidz UYM yang telah memberikan ilmu serta pengalamannya selama penulis disana. Semoga kita dapat terus bersilaturahmi dan sukses pada keahliannya masing- masing.
12. Teman- teman seperjuangan PM 2016 yang telah membantu, memberi pengalaman dan menjadi teman seperjuangan penulis selama penulis kuliah.
13. Sahabat dan sahabati Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Komisariat Fakultas Syari'ah dan Hukum, terimakasih atas ilmu dan pengalamannya selama penulis studi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
14. Teman- teman KKN Akasia 156 dan teman- teman SEMA Fakultas Syari'ah dan Hukum periode 2019-2020 yang telah memberikan pengalaman kepada penulis.
15. Penghargaan kepada mereka yang membaca dan berkenan memberikan saran, kritikan atau bahkan koreksi terhadap kekurangan dan kesalahan yang pasti masih terdapat dalam skripsi ini. Semoga dengan saran dan kritik tersebut, skripsi ini dapat diterima dikalangan pembaca yang lebih
vi
luas lagi dimasa yang akan datang. Semoga karya yang sangat sederhana ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Semoga amal baik mereka semua dibalas berlipat ganda oleh Allah SWT. Sungguh hanya Allah SWT yang dapat membalas kebaikan mereka dengan kebaikan yang berlipat ganda.
Penulis berharap skripsi ini bermanfaat pada saat ini dan masa yang akan datang. Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi selanjutnya.
Jakarta, 7 Februari 2021
vii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... vii
BAB I ... 1
PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 8
C. Batasan dan Rumusan Masalah... 8
D. Tujuan Penelitian ... 9
E. Metode Penelitian ... 9
F. Review Studi Terdahulu... 13
G. Kerangka Teori ... 14
H. Sistematika Penulisan ... 15
BAB II ... 17
PERCERAIAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF ... 17
A. Pengertian Perceraian ... 17
B. Dasar Hukum Perceraian ... 20
C. Macam-macam Perceraian ... 28
D. Alasan-alasan Terjadinya Perceraian ... 59
E. Tata Cara dan Prosedur Perceraian Menurut Hukum Positif ... 65
F. Prosedur Perceraian ... 68
G. Implikasi Hukum Perceraian (Thalaq) ... 70
BAB III ... 74
GAMBARAN UMUM DESA GELAM JAYA ... 74
A. Gambaran Umum Desa Gelam Jaya ... 74
B. Letak Geografis dan Kondisi Demografis... 76
C. Kondisi Sosiologis ... 83
viii
BAB IV ... 86
PRAKTEK PERCERAIAN MASYARAKAT DESA GELAM JAYA MENURUT PERSFEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF ... 86
A. Praktek Perceraian Masyarakat Desa Gelam Jaya ... 86
B. Faktor Penyebab Terjadinya Perceraian Di Luar Pengadilan Agama Di Desa Gelam Jaya Kecamatan Pasar Kemis ... 89
C. Dampak Perceraian Diluar Pengadilan Agama Di Desa Gelam Jaya ... 93
D. Praktek Perceraian Masyarakat Desa Gelam Jaya Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Positif ... 99
BAB V ... 107
KESIMPULAN DAN SARAN ... 107
A. Kesimpulan ... 107
B. Saran ... 108
DAFTAR PUSTAKA ... 109
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang tidak pernah terlepas dari kepentingan manusia lainnya. Kepentingan yang saling bersebrangan tersebut tentunya akan menimbulkan permasalahan jika tidak diikat dalam sebuah hukum yang harus ditaati bersama, karena dengan sebuah hukum yang mengatur kepentingan tersebut, diharapkan akan tercipta sebuah ketertiban sosial, sehingga memberikan kesejahteraan bagi manusia. Demi tujuan diatas, maka terciptalah sebuah hukum untuk mengatur setiap kegiatan manusia. Sampai pada masalah yang paling penting dalam hal ini adalah masalah pernikahan. Karena pernikahan ini menuntut untuk dibentuknya hukum, seperti hubungan antara suami dengan isteri, dan hubungan antara orang tua dengan anak.
Perkawinan ialah ikatan lahir batin sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa.1
Mengenai pengertian perkawinan (nikah) terdapat perumusan yang berbeda diantara ahli fikih terutama empat Imam Madzhab, namun pada esensinya mereka sependapat bahwa perkawinan adalah suatu akad yang menghalalkan hubungan kelamin antara pria dan perempuan.2 Kalau melihat pendapat tersebut maka pengertian perkawinan menurut hukum Islam jelas bukan hanya sekedar akad untuk menghalalkan persetubuhan itu, tetapi juga untuk mewujudkan kebahagiaan keluarga sehingga terbina suasana mawaddah warrahmah antara suami dan istri. Dengan demikian penekanannya bukanlah sekedar mengenai akad untuk sahnya
1
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, Tentang Perkawinan.
2
Anwar Haryono, Hukum Islam Keluasan dan Keadilannya.(Jakarta: Bulan Bintang, 1987). h.220
2
persetubuhan. Karena bila penekanannya disitu, maka orang akan dengan mudah menyalahgunakan legalisasi perkawinan tersebut, tanpa perlu memerhatikan esensi tujuan perkawinan yang diajarkan al-Qur‟an itu.3
Di Indonesia khususnya, perkawinan bisa terputus karena tiga hal, yaitu : karena terjadinya kematian salah satu atau keduanya dari suami ataupun isteri, kemudian karena adanya putusan pengadilan yang membuat perkawinan nya terputus dan karena adanya perceraian yang dilakukan kedua belah pihak.
Setiap hubungan rumah tangga tidak selamanya berjalan dengan mulus dan lancar, pasti ada saja lika-liku kehidupan beserta sejumlah konflik yang terjadi di dalam hubungan mereka yang tentu saja harus mereka hadapi bersama. Ketika menghadapi sebuah konflik dengan keluarga tidak semua pasangan mampu menyelesaikannya dengan cara musyawarah.
Dinamika dalam kehidupan rumah tangga yang tidak harmonis, terkadang menjurus kepada hal-hal yang bertentangan dengan tujuan utama pembentukan rumah tangga. Sehingga apabila seperti ini, jika rumah tangga tetap dilanjutkan maka akan berpotensi menimbulkan mudharat kepada kedua belah pihak, keluarga atau bahkan sampai kepada orang lain di sekitarnya, dan juga di khawatirkan akan menyebabkan terlanggarnya hukum- hukum Allah.4
Dengan demikian, manusia juga bukan makhluk yang terbebas dari kesalahan. Meskipun telah diatur dengan hukum sedemikian rupa, masih saja sering kita jumpai permasalahan- permasalahan dalam pernikahan yang disebabkan oleh beberapa faktor. Hal demikian bisa terjadi karena
3
Taufiqurrohman Syahuri, Legislasi Hukum Perkawinan di Indonesia. (Jakarta: Prenadamedia Grup, 2013), h., 20-21.
4 Saiful Millah, dan Asep Saepudin Jahar, Dualisme Hukum Perkawinan Islam di
3
kedua belah pihak saling melalaikan kewajibannya sehingga hak yang seharusnya didapat tidak diperoleh olehnya. Sehingga tujuan dari pernikahan itu sendiri untuk mewujudkan keadaan dimana suami maupun isteri mendapatkan ketenangan, ketentraman dan kebahagiaan dalam hidup tidak tercapai.
Dalam keadaan seperti ini, tidak menutup kemungkinan terbuka nya pintu perceraian. Karena perceraian bisa dianggap atau diartikan sebagai jalan keluar untuk ikatan perkawinan yang tidak bisa di pertahankan lagi. Sebagai rangka untuk menolak terjadinya bahaya yang lebih jauh dan lebih besar lagi maka ditempuhlah perceraian sebagai sarana untuk tujuan mashlahat. Akan tetapi, perceraian itu dilakukan sebagai jalan keluar terakhir setelah melakukan segala ikhtiar, daya dan upaya untuk memperbaiki kehidupan perkawinan yang ternyata tidak mampu diperbaiki lagi.
Perceraian dalam Hukum Islam adalah suatu perbuatan halal yang dilarang oleh Allah SWT. Dalam ajaran Islam, perceraian bagaikan pintu darurat yang merupakan jalan pintas untuk mengatasi kemelut rumah tangga, bila tidak ditemukan jalan keluarnya. Dengan demikian, pada dasarnya ajaran Islam tidak menyukai terbukanya pintu darurat tersebut.
Karena itu Allah SWT memandang talak yang terjadi antara suami dan isteri sebagai perbuatan halal yang sangat dimurkai.5
Islam memang tidak melarang umatnya melakukan perceraian tapi itu bukan berarti bahwa islam membuka jalan yang selebar-lebarnya untuk melakukan perceraian, dan itu juga bukan berarti bahwa islam membolehkan umatnya melakukan perceraian semaunya saja, kapan dan dimana saja, tapi islam memberikan batasan-batasan tertentu kapan antara suami istri baru dibolehkan melakukan perceraian. Batasan-batasan itu
5 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tangan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta
4
diantaranya adalah setiap perceraian harus didasarkan dengan alasan yang kuat dan merupakan jalan yang terakhir yang ditempu oleh suami isteri setelah usaha lain tidak mampu mengembalikan keutuhan kehidupan rumah tangga mereka.6 Sebagaimana telah dijelaskan dalam Surah An- Nissa ayat 35.
Secara tidak langsung, Islam membolehkan perceraian namun disisi lain juga mengharapkan agar proses perceraian tidak dilakukan oleh pasangan suami isteri. Sebagaimana yang tersirat dalam tata aturan Islam mengenai proses perceraian. Pada saat pasangan akan melakukan perceraian atau dalam proses pertikaian pasangan suami isteri. Islam mengajarkan agar dikirim hakam yang bertugas untuk mendamaikan keduanya. Dengan demikian Islam lebih menganjurkan untuk melakukan perbaikan hubungan suami isteri dari pada memisahkan keduanya.
Dalam konteks hukum positif di Indonesia, prosedur perceraian juga dimulai dari perdamaian, sebagaimana didasarkan pada Hukum Islam. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan. Bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri. Kemudian adanya mediasi untuk mendamaikan kedua belah pihak terlebih dahulu.
Kemudian perceraian juga dijelaskan diatur dalam pasal 39 undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, pasal 65 Undang-undang No.7 Tahun 1989 ttentang Pengadilan Agama, dan pasal 115 KHI dari pasal-pasal tersebut dapat dipahami bahwa perceraian harus dilakukan di depan Pengadilan dengan mengemukakan alasan-alasan perceraian. Salah satu yang menjadi wewenang Pengadilan Agama adalah menangani tentang masalah percerian. Yang mana perceraian ini harus dilakukan didepan sidang Pengadilan Agama, atau dengan kata lain, bahwa perceraian tidaklah sah secara hukum yang berlaku di Indonesia, apabila dilakukan di luar sidang Pengadilan Agama, sesuai Undang-undang
6 Soemiyati, Hukum Perkawinana dalam Islam dan Undang-undang Perkawinan.
5
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan, setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak, dalam hal ini hakim yang berhak memutuskan.
Meskipun undang-undang sudah mengatur sedimikian rupa cara perceraian di Indonesia, namun masih ada beberapa daerah khususnya di Desa Gelam Jaya yang masyarakatnya belum mengindahkan peraturan yang berlaku. Karena mereka menganggap perceraian hanya cukup dengan mengucapkan kalimat talak, tanpa harus memperhatikan ucapan talak yang dilontarkan dimana tempatnya, bagaimana prosedurnya dan kapan terjadinya, dan mereka sudah mengkategorikan itu sebagai jatuhnya talak dan berarti bahwa diantara mereka sudah terjadi perceraian.
Hal ini didasarkan dari pendapat kalangan ulama ahli fiqh yang mengindikasikan bahwa jatuh atau tidaknya talak itu adalah karena adanya ucapan talak dari suami semata, tanpa dikaitkan dengan hal lain seperti kapan waktu mengucapkannya, di mana tempatnya, ada yang menyaksikan atau tidak, dan lain-lain. Dan karena hal inilah yang menjadi patokan dikalangan masyarakat termasuk pula para tokoh agamanya yang menganggap perceraian itu sudah terjadi.7
Syekh Wahbah Az-Zuhaily dalam kitabnya Al- Fiqh Al- Islami wa
Adillatuh berpendapat bahwa seruan untuk memutuskan perkara talak di
hadapan hakim Pengadilan Agama dirasakan tidak memiliki manfaat karena hal ini bertabrakan dengan ketetapan syari‟at yang menjadikan talak itu adalah hak suami tanpa harus diputuskan oleh hakim Pengadilan Agama. Sehingga seorang suami telah meyakini bahwa talak yang telah ia ucapkan itu sah dan kemudian berlakulah konsekuensi hukumnya yaitu terlarang untuk melakukan hubungan suami istri, tanpa harus menunggu keputusan dari hakim Pengadilan Agama.
7
Saiful Millah, dan Asep Saepudin Jahar, Dualisme Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, ( Jakarta: AMZAH). h. 176.
6
Selain itu, urusan talak yang harus diputuskan melalui sidang Pengadilan Agama dianggap bukan merupakan mashlahat, terutama bagi istri karena boleh jadi talak yang dikeluarkan adalah sebab-sebab dari rahasia dan tidak pantas untuk diketahui secara umum oleh publik. Jika perkara talak harus diputuskan dalam sidang Pengadilan maka akan terbongkarlah rahasia kehidupan suami istri yang disebabkan oleh perilaku keduanya, baik yang menyangkut sifat alamiah, akhlak, maupun subjektivitas dari keduanya. Sebab berbagai alasan di balik terjadinya perceraian tersebut akan tercatat dalam buku catatan Pengadilan. Hal ini tidak membawa mashlahat karena membuka sesuatu yang seharusnya menjadi rahasia rumah tangga.8
Desa Gelam Jaya adalah desa yang berada di Kecamatan Pasarkemis Kabupaten Tangerang Provinsi Banten. Mayoritas warga di desa tersebut beragama Islam. Di desa ini masih menjunjung tinggi asas kekeluargaan, jika ada permasalahan baik dalam bermasyarakat maupun dalam masalah keluarga diselesaikan dengan cara musyawarah dan kekeluargaan. Menurut kepala Desa Gelam Jaya yaitu bapak M. Sanusi AR, apabila dengan cara kekeluargaan tidak berhasil diselesaikan, masyarakat pun meminta bantuan kepada tokoh masyarakat atau tokoh agama setempat untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Hal ini pun terjadi ketika menyelesaikan masalah perceraian, mereka meminta bantuan kepada tokoh agama setempat.9
Menurut amil Desa Gelam Jaya,10 dengan adanya anggapan seperti itu masyarakat desa masih menyelesaikan perkara cerai cukup diucapkan seraya berkata “Saya Ceraikan Kamu”. Dengan begitu jatuhlah talak suami kepada istri. Biasanya, setelah mengucapkan talak tersebut mereka
8 Saiful Millah, dan Asep Saepudin Jahar, Dualisme Hukum Perkawinan Islam di
Indonesia, ( Jakarta: AMZAH). h. 178
9
Wawancara Dengan Bapak M. Sanusi AR, Kepala Desa Gelam Jaya, di Kantor Kepala Desa Gelam Jaya. Senin, 27 April 2020. Pukul 10:00 WIB.
10 Wawancara Dengan Bapak Ustadz Utlu, Amil Desa Gelam Jaya, di Kediaman bapak
7
melaporkan kepada amil desa, bahwa telah terjadi perceraian diantara mereka. Kemudian amil pun memberi Surat Pernyataan Thalaq sebagai bukti bahwa mereka telah bercerai. Surat yang di buat oleh amil desa yang kemudian diisi oleh kedua belah pihak dan ditanda tangani oleh para saksi. Dengan adanya surat tersebut bagi mereka sudah cukup untuk membuktikan bahwa mereka telah bercerai.
Adapun jika mereka ingin menikah lagi, barulah menyelesaikannya di pengadilan. Dengan begitu mereka masih menganggap penting adanya hukum yang mengatur tentang perceraian tersebut. Akan tetapi, tidak jarang dari mereka yang menganggap hal ini sebagai formalitas adminitrasi saja. Padahal, di sisi lain maksud dan tujuan yang terkandung di dalam Undang-Undang Perkawinan tersebut tidak lain bertujuan agar setiap pelaksanaan perceraian tidak menimbulkan kerugian kepada salah satu pihak, baik pihak isteri maupun pihak suami serta untuk adanya suatu kepastian hak dalam menegakkan hukum agama maupun negara (peraturan perundang-undangan) yang berlaku di Indonesia. Dengan adanya sikap menggampangkan seperti inilah yang membuat masyarakat masih menyelesaikan perkara perceraian di luar sidang pengadilan. Padahal jika kita mengkaji lebih dalam, akibat hukum dari perceraian yang dilakukan di luar Pengadilan Agama sangatlah besar. Selain akan berdampak kepada keluarga sendiri, yaitu anak dan juga pihak isteri. Juga bisa berdampak kepada eksternalnya yaitu kantor desa karena kesulitan mendapatkan data sensus penduduk. Karena itu, timbul permasalahan yang ditemukan oleh penulis, bagaimana pemahaman masyarakat terhadap hukum positif terkait masalah perceraian dalam Islam?. Lalu bagaimana respon tokoh Agama ketika menghadapi permintaan dari para pihak yang ingin melakukan perceraian di luar pengadilan. Apakah terlebih dahulu memberikan saran untuk di ajukan ke pengadilan atau langsung mengabulkan permintaan dari para pihak yang ingin bercerai ? dan dampak apa yang akan timbul kepada pihak pejabat desa? Atas dasar itu
8
penulis tertarik ingin mengkaji dan menulisnya ke dalam bentuk Skripsi dengan judul Praktek Perceraian Masyarakat Desa Gelam Jaya Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif.
B. Identifikasi Masalah
Agar pembahasan dalam tulisan ini tidak meluas, maka penulis perlu kiranya untuk mengindentifikasi permasalahan-permasalahan yang akan dijelaskan dalam tulisan ini. Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini diantaranya:
1. Apa faktor penyebab terjadinya perceraian di luar sidang Pengadilan Agama di Kecamatan Gelam Jaya.
2. Apa dampak dari perceraian di luar Pengadilan Agama di Desa Gelam Jaya.
3. Bagaimana pandangan Hukum Islam terhadap perceraian di luar Pengadilan Agaman.
4. Bagaimana pandangan Hukum Positif terhadap perceraian di luar Pengadilan Agama.
C. Batasan dan Rumusan Masalah
Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi ini, penulis dapat membatasi masalah yang akan dibahas sehingga pembahasannya tidak meluas dengan seperti itu pembahasannya akan lebih jelas dan terarah sesuai yang diharapkan oleh penulis. Di skripsi ini penulis hanya akan membahas hal-hal yang terkait dengan perceraian yang dilakukan di luar Pengadilan Agama oleh mayarakat Desa Gelam Jaya Kabupaten Tangerang.
Dari penjelasan latar belakang masalah yang telah penulis kemukakan diatas, Maka permasalahan-permasalahan yang akan dikemukakan dan dirumuskan adalah sebagai berikut:
Bagaimana praktek perceraian masyarakat Desa Gelam Jaya dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif?
9
D. Tujuan Penelitian
Dengan adanya perumusan masalah yang telah dipaparkan diatas, maka tujuan yang diharapkan dari penulis ini adalah :
1. Untuk mengetahui praktek perceraian masyarakat Desa Gelam Jaya dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif.
Sesuai dengan tujuan penelitian diatas, yang hendak dicapai, demikian pula dengan penelitian yang penulis adakan ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teorotis, maupun secara praktis, yaitu:
1. Secara Teoritis
Hasil penelitian yang penulis adakan ini, diharapkan dapat memberi kontribusi untuk pengetahuan hukum, dan agar ilmu itu tetap hidup dan berkembang khususnya tentang hukum perkawinan.
2. Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pemahaman kepada masyarakat serta kepada aparat pemerintah, dan tokoh masyarakat di DesaGelam Jaya dalam proses perceraian serta pemahaman atas nilai-nilai hukum perkawinan sebagaimana yang diamanatkan oleh undang-undang. Dan penulis berharap ini bisa menjadi sebuah jalan keluar serta saran untuk Desa Gelam Jaya dalam menangani kasus seperti ini.
E. Metode Penelitian
Penelitian (Research) sebagai salah satu cara untuk menyelesaikan suatu masalah atau mencari jawab sari persoalan yang dihadapi secara ilmiah, menggunakancara berpikir reflektif, berpikir keilmuan denga prosedur yang sesuai dengan tujuan dan sifat penyelidikan.11 Penelitian hukum pada hakikatnya merupakan suatu upaya untuk mencari dan menemukan suatu pengetahuan yang benar mengeni hukum, yaitu
11 A. Muri Yusuf, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan Penelitian Gabungan,
10
pengetahuan yang dapat dipakai unruk menjawab atau memecahkan secara benar atau masalah tentang hukum.Cara itu disebut dengan metode, sedangkan perbincangan keilmuan tentang metode tersebut dinamakan metodologi.12
Dalam arti luas, metode penelitian merupakan cara dan prosedur yang sistematis dan terorganisasi untuk menyelidiki suatu masalah tertentu agar mendapatkan informasi untuk digunakan sebagai solusi atas masalah tersebut. Ketika melakukan suatu penelitian hukum tidak terlepas dengan penggunaan metode penelitian. Dalam skripsi ini penulis menggunakan metode pendekatan Sosiologi Hukum. Kajian sosiologi hukum adalah kajian yang berobjek fenomena hukum, tetapi menggunakan optik ilmu sosial dan teori-teori sosiologi. Soejono Soekanto mendefinisikan Sosiologi Hukum sebagai suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara analitis dan empiris yang menganalisis atau mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejalagejala sosial lainnya.13
Untuk mendapatkan data yang valid, maka metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Jenis penelitian
Adapun jenis penelitian hukum yang digunakan yaitu penelitian hukum empiris adalah suatu metode penelitian hukum yang berfungsi untuk melihat hukum dalam artian nyata dan meneliti bagaimana hukum itu bekerja di lingkungan masyarakat. Dikarenakan dalam penelitian ini penulis mencoba untuk meneliti orang dalam hubungan hidup di masyarakat, maka metode penelitian hukum empiris dapat dikatakan sebagai penelitian hukum sosiologis. Penelitian hukum juga dapat dikatakan bahwa penelitian yang diambil dari fakta-fakta yang ada di dalam suatu
12 Asep Awaludin, Skripsi Perceraian di Luar Pengadilan Agama (Studi Praktik
Perceraian di Desa Mekarjaya Kec. Rumpin Kab. Bogor), (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), h. 7 (2019)
13 Umar Solahudin, Pendekatan Sosiologi Hukum Dalam Memahami Konflik Agraria, Dimensi,
11
masyarakat, badan hukum atau badan pemerintah. Atau dengan kata lain yaitu suatu oenelitian yang dilakukan terhadap keadaan sebenarnya atau keadaan nyata yang terjadi di masyarakat dengan maksud untuk mengetahui dan menemukan fakta-fakta dan data yang dibutuhkan, setelah data yang dibutuhkan terkumpul kemudian menuju kepada identifikasi masalah yang pada akhirnya menuju pada penyelesaian masalah.14
2. Pendekatan Masalah
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini dalah pendekatan yuridis sosiologis. Pendekatan yuridis sosiologis adalah mengindetifikasi dan mengkonsepsikan hukum sebagai institudi sosial yang rill dan fungsionsl dalam sistem kehidupan yang nyata.15 Pendektan yuridis sosiologis adalah menekankan penelitian yang bertujuan memproleh pengetahuan hukum secara empiris dengan jalan terjun langsung ke obyeknyna yaitu mengetahui praktek perceraian di masyarakat.
Jadi, pendekatan yuridis sosiologis dalam penelitian ini mekasudnya adalah bahwa dalam menganalisis permasalahan dilakuakn dengan cara memadukan bahan-bahan hukum (yang merupakan data sekunder) dengan data primer yang diperoleh di lapangan yaitu tentang perceraian yang dilakukan di luar Pengadilan Agama.
3. Sumber Data
a. Data primer: Data yang didapat dari hasil wawancara langsung dengan para tokoh mayarakat dan tokoh agama, yaitu Bapak M. Sanusi AR selaku Kepala Desa Gelam Jaya, Bapak Husein Aproni selaku Operator Kantor Desa,
14 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002),
h.15
15
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum,(Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia Press, 1986), h.51
12
Bapak Tamim Hudri selaku Sekertaris Desa, dan Ustadz Utlu selaku Tokoh Agama Desa Gelam Jaya. Pengambilan data hanya dibatasi kepada 4 orang pelaku perceraian di luar pengadilan. Dengan berbeda-beda latar belakang, ada yang melakukan perceraian di luar pengadilan, selang berapa tahun baru menyelesaikannya ke pengadilan karena ingin menikah untuk kedua kalinya. Ada yang belum sama sekali menyelesaikan perceraiaanya di depan sidang Pengadilan Agama, yaitu: Ibu Ismiyat Tarkmi, Ibu Yanah, Ibu Maemanah, Ibu Ginarti Emi Yulianah dan Ibu Siti Dewi Sartika. Dalam penelitian ini menggunakan teknik wawancara secara mendalam dnegan menggunakan pokok-pokok permasalahan yang ada sebagai pendoman wawancara.
b. Data Sekunder: Data yang memberikan bahan tidak langsung atau data yang didapat selain dari data primer. Data ini dikumpulkam melalui studi pustaka dengan membaca, mempelajari dan memahami buku-buku yang berkaitan diantaranya: Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Fikih Keluarga, Hukum Keluarga di Indonesia dan data lain yang terkumpul yang mempunyai hubungan dengan skripsi ini.
c. Tersier: Data yang diambil dari sumber yang dipublikasikan seperti jurnal atau majalah penelitian, buku dan media ilmiah lainnya.
4. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Gelam Jaya Kecamatan Pasarkemis Kabupaten Tangerang Provinsi Banten. Alasan mengapa penulis memilih lokasi ini sebagai lokasi penlitian karena di lokasi ini masih ada pelaku perceraian di luar Pengadilan Agama di samping itu juga karena jaminan akses atau
13
pengumpulan data-data yang penulis butuhkan dapat terpenuhi dengan baik.
5. Teknik Pengumpulan Data a. Wawancara
Wawancara atau biasa dikenal dengan istilah interview, adalah suatu kejadian atau sustu proses interaksi antara pewawancara (interviewer) dan sumber informasi atau orang yang diwawancarai (interviewee) melalui komunikasi langsung. Dapat dikatakan pula bahwa wawancara merupakan percakapan tatap muka (face ti face) antara pewawancara dengan seumber informasi, di mana pewawancar bertanya langsung tentang sesuatu objek yang diteliti dan telah dirancang sebelumnya.
b. Observasi
Observasi merupakan salah satu teknik yang dapat digunakan untuk mengetahui atau menyelidiki tingkah laku nonverbal. Atau sebuah pengamatan dan pencatatan objek dengan sistematika fenomena yang diselidiki.
F. Review Studi Terdahulu
Jika kita telaah lebih lanjut daftar kepustakaan, banyak penelitian yang mengangkat tema serupa dengan yang diangkat penulis, namun tidak ada yang membahas lebih lanjut permasalahan yang diangkat oleh penulis. Adapun penelitian yang sudah dibahas antara lain:
Asep Awaludin, Fakultas Syari‟ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan judul skripsi Perceraian di Luar Pengadilan Agama (Studi Praktik Perceraian di Desa Mekarjaya Desa Rumpin Kabupaten Bogor) tahun 2019. Skripsi ini menggunakan metode penelitian lapangan (field research) dilakukan dengan pendekatan yuridis deskriptif. Pembahasan dalam skripsi ini lebih mengedepankan dampak yang ditimbulkan dari Perceraian di luar Pengadilan Agama. Yang mana
14
dalam skripsi tersebut dijelaskan dampak dari perceraian di luar Pengadilan Agama yaitu Pertama, status perkawinan yang tidak jelas jika dilihat dari segi hukum positif. Kedua, dampak negatif terhadap istri karena tidak mendapatkan haknya setelah bercerai seperti nafkah masa Iddah, tempat tinggal dan pakaian. Ketiga, dampak negatif terhadap anak selain berdampak pada kondidi psikis anak, dampak lain yang akan timbul yaitu tidak mendapatkan hak-hak yang harus diterima oleh anak dari ayah kandungnya seperti nafkah tetap yang untuk anak tersebut. Sedangkan dalam skripsi ini, penulis akan membahas terkait peran hukum positif yang ada disuatu daerah.
Eko Pratama Putra, Fakultas Syari‟ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan judul skripsi Problematika Talak di Luar Pengadilan Bagi Masyarakat di Wilayah Tigaraksa tahun 2010. Dalam skripsi ini menggunakan metode penilitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapamgan (field research) dilakukan dengan pendekatan deskriptif dan kemperatif. Pembahasan dalam skripsi ini lebih mengedepankan pandakan Hakim tentang talak di luar Pengadilan dan kondisi masyarakat di wilayah Tigaraksa yang telah melakukan talak di luar Pengadilan. Sedangkan dalam skripsi ini penulis akan membahas lebih dalam terkait respon tokoh agama/ amil di Desa Gelam Jaya dalam menangani perceraian yang dilakukan di luar Pengadilan Agama.
G. Kerangka Teori
Pengertian perceraian menurut hukum Islam sering disebut dengan istilah thalaq, walaupun hakikatnya tidak semua perceraian itu adalah thalaq, tetapi thalaq merupakan bagian dari percerian. Menurut bahasa, perceraian dalam bahasa Indonesia dipakai dalam pengertian yang sama dengan thalaq dalam istilah fikih yang berarti berakhirnya tali perkawinan
15
atau perpisahan antara suami isteri.16 Kata perceraian berasal dari kata ´cerai´yang mendapat awalan ´per´dan akhiran ´an, secara bahasa berarti melepas ikatan. Dihubungkannya kata thalaq dalam arti kata ini dengan putusnya perkawinan karena antara suami dan isteri sudah lepas hubungan. Menurut KHI dalam pasal 117 dinyatakan bahwa: “Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan” Peradilan Agama adalah kekuasaan dalam menerima, memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam untuk meneggakan hukum dan keadilan.
H. Sistematika Penulisan
Untuk lebih mempermudah pembahasan dan penulisan skripsi ini, maka penulis mengklarifikasikan dan menjelaskan permasalahan dalam beberapa bab. Adapun sistimatika dalam penulisan skripsi ini penulis membaginya ke dalam Lima Bab, diantara lain:
Bab Pertama, merupakan bab pendahuluan yang diuraikan tetang latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatas dan oerumusan masalah, manfaat dan tujuan penelitian, metode penelitian, review studi terdahulu dan sistematika penulisan.
Bab Kedua, merupakan kajian teoritis tentang Perceraian perspektif Hukum Islam dan Undang-undang Perkawinan. Di dalam Bab ini penulis menjelaskan pembahasan pengertian perceraian, dasar hukum perceraian, macam-macam perceraian dan akibat hukumnya, syarat dan ruku perceraian, faktor-faktor perceraian, tata cara Perceraian menurut Undang-Undang dan Kompilasi Hukum Islam.
16 M Zaenal Arifin dan Muh Anshori, Fiqih Munakahat, (Jawa Timur : Pustaka Pelajar,
16
Bab Ketiga, merupakan gambaran umum Desa Gelam Jaya. Dalam bab ini penulis menjelaskan tentang sejarah Desa Gelam Jaya, letak geografis, demografis dan kondisi sosiologis.
Bab keempat, menjelaskan pembahasan tentang pengetahuan masyarakat Desa Gelam Jaya tentang Hukum Islam dan Hukum Positif , Faktor terjadinya perceraian di masyarakat Desa Gelam Jaya, Praktek perceraian di masyarakat Desa Gelam Jaya Perspektif Hukum Islam da Hukum Positif terhadap praktek perceraian di masyarakat Desa Gelam Jaya dan Analisa penulis.
17
BAB II
PERCERAIAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
A. Pengertian Perceraian
1. Pengertian Perceraian Menurut Perspektif Hukum Islam
Islam telah mengatur segala urusan keluarga dengan perlindungan dan pertanggung jawaban syari‟atnya. Dan islam juga telah mengatur hubungan lawan jenis yang didasarkan pada perasaan yang tinggi, dengan pertemuannya antara dua tubuh, dua jiwa, dua hati dan juga dua roh. Ketika pertemuan dua insan yang diikat dengan kehidupan yang bersama, cita-cita bersama, penderitan yang dilewati secara bersama, dan masa depan bersama untuk menggapai keturunan yang tinggi dan menyongsong generasi yang baru. Tugas ini hanya dapat dilakukan oleh dua orang tua secara bersama yang tidak dapat dipisahkan. 17
Pada dasarnya, perkawinan itu dilakukan untuk waktu selamanya sampai matinya salah seorang suami istri. Inilah sebenarnya yang dikehendaki agama Islam. Namun, dalam keadaan tertentu terdapat hal-hal yang menghendaki putusnya perkawinan itu salam arti bila hubungan perkawinan tetap dilanjutkan, maka kan terjadinya kemudharatan.18 Dengan demikian, dalam rangka menolak terjadinya bahaya yang lebih jauh dan lebih besar lagi maka ditempuhlah perceraian dalam bentuk “thalaq” sebagai sarana untuk tujuan mashlahat.19
Perceraian menurut hukum Islam sering disebut dengan istilah thalaq, walaupun hakikatnya tidak semua perceraian itu adalah thalaq, tetapi
thalaq merupakan bagian dari perceraian.
2. Pengertian Perceraian Menurut Hukum Positif
Selain dalam hukum Islam, perceraian juga djelaskan di dalam hukum positif atau hukum yang berlaku di Indonesia ini. Pada hakikatnya
17
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqih
Munakahat, (Jakarta: Amzah, 2009), h., 251.
18 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia; Antara Fiqh Munakahat
dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2006), h., 190.
19 Saiful Millah, dan Asep Saepudin Jahar, Dualisme Hukum Perkawinan Islam di
18
perceraian menurut hukum Islam dan hukum Positif itu mempunyai makna dan tujuan yang sama. Putusnya perkawinan yang dalam kitab fiqih disebut thalaq diatur secara cermat dalam UU Perkawinan, PP No.9 Tahun 1975 sebagai aturan pelaksanaan dari UU Perkawinan dan juga secara panjang lebar diatur dalam Kompilasi Hukum Islam. Pasal 38 UU Perkawinan menjelaskan putusnya perkawinan dengan rumusan:
Perkawinan dapat putus karena: a. Kematian
b. Perceraian, dan
c. Atas keputusan pengadilan.
Istilah perceraian terdapat dalam pasal 38 UU No.1 Tahun 1974 yang memuat ketentuan bahwa “Perkawinan dapat putus karena kemtian, perceraian dan atas putusan Pengadilan”. Jadi secara yuridis perceraian berarti putusmya perkawinan, yang mengakibatkan putusnya hubungan sebagai suami istri. Kemudian KHI menegaskan lagi bahwa putusnya perkawinan disebabkan karena perceraian itu ada cerai thalaq maupun cerai gugat. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Pasal 113 KHI:
Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena thalaq atau berdasarkan gugatan perceraian.
Jadi, perkara perceraian bisa timbul dari pihak suami dan juga bisa muncul dari pihak istri,20 perkara perceraian yang diajukan oleh suami disebut dengan perkara Cerai Thalaq dengan suami sebagai Pemohon dan istri sebagai Termohon, dan perkara perceraian yang diajukan oleh kstri disebut dengan perkara Cerai Gugat dengan istri sebagai Penggugat dan suami sebagai Tergugat.
Fiqih membicarakan bentuk-bentuk putusnya perkawinan itu di samping sebab karena kematian adalah dengan nama thalaq, khulu’ dan
fasakh. Thalaq dan khulu’ termasuk dalam kelompok perceraian,
20 Aris Bintani, Hukum Acara Peradilan Agama dalam kerangka Fiqh al-Qadha, (Jakarta:
19
sedangkan fasakh sama maksdunya dengan perceraian atas putusan pengadilan, karena pelaksanaan fasakh dalam fiqih pada dasarnya dilaksanakan oleh hakim di pengadilan, di samping itu juga termasuk dalam perceraian berdasarkan gugatan perceraian yang disebutkan di atas. Dengan begitu, baik UU atau KHI telah sejalan dengan fiqih. 21
Perceraian menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) telah dijumpai dalam pasal 117 yaitu : “Thalaq adalah ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang mengadili salah satu sebab putusnya perkawinan dengan cara sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 129, 130, 131”
Di dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak terdapat definisi yang tegas mengenai perceraian secara khusus. Sesuai dengan asas perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan, yaitu tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga bahagia dan kekal, seharusnya putusnya perkawinan karena perceraian haruslah dilarang, tetapi pada kenyataannya Undang-Undang Perkawinan tidak menegaskan mengenai laranngan tersebut, tetapi cukup dengan mempersukar suatu perceraian yang memutuskan perkawinan.
Perceraian menurut Subekti adalah “Penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu”. Jadi pengertian perceraian menurut Subekti adalah penghapusan perkawinan baik dengan putusan hakim atau tuntutan Suami dan Istri. Dengan adanya perceraian, maka perkawinan antara suami dan istri menjadi hapus. Namun, Subekti tidak menyatakan pengertian perceraian sebagai penghapusan perkawinan itu dengan kematian atau yang lazim disebut dengan istilah “cerai mati”.
Sedangkan Ali Affandi SH mengatakan, bahwa Perceraian merupakan salah satu sebab dari bubarnya perkawinan. Jadi dapat diambil kesimpulan
21 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia; Antara Fiqh Munakahat
20
bahwa Perceraian yaitu pembubaran suatu perkawinan ketika pihak-pihak masih hidup dengan didasarkan alasan-alasan yang dapat dibenarkan serta ditetapkan dengan suatu keputusan Hakim. Maka dengan adanya perceraian ini, perkawinan merekapun putus dan diantara mereka tidak ada hubungan suami-istri. Akibat logisnya, mereka debebaskan dari segala kewajiban-kewajiban mereka sebagai suami-istri.22
Menurut hemat penulis, dari semua definisi yang telah dipaparkan diatas. Perceraian adalah suatu perbuatan yang dapat memutuskan ikatan perkawinan yang dilakukan di depan sidang Pengadilan dan dengan alasan-alasan yang dapat diterima oleh Pengadilan. Dengan begitu, secara otomatis hilangnya semua hak dan kewajiban sebagai seorang suami maupun istri.
B. Dasar Hukum Perceraian
1. Dasar Hukum Perceraian Menurut Perspektif Hukum Islam
Hidup dalam hubungan perkawinan itu merupakan sunnah Allah dan sunnah Rasul. Itulah yang dikehendaki oleh Islam. Sebaliknya melepaskan diri dari kehidupan perkawinan itu menyalahi sunnah Allah dan sunnah Rasul tersebut dan menyalahi kehendak Allah menciptakan rumah tangga yang sakinah mawaddah dan warrahmah.
Memang tidak terdapat dalam Al-Qur‟an ayat-ayat yang menyuruh atau melarang eksistensi perceraian itu, sedangkan untuk perkawinan ditemukan beberapa ayat yang menyuruh melakukannya. Walaupun banyak ayat Al-Qur‟an yang mengatur thalaq, namun isinya hanya sekedar mengatur bila thalaq mesti terjadi, meskipun dalam bentuk suruhan atau larangan.
Meskipun ayat Al-Qur‟an tidak ada yang menyuruh atau melarang melakukan thalaq yang mengandung arti hukumnya mubah, namun thalaq itu termasuk perbuatan yang tidak disenangi oleh Nabi, hal itu
22
21
mengandung arti perceraian itu hukumnya makruh. Adapun ketidak senangan Nabi kepada perceraian itu terlihat dalam hadistnya dari Abdullah bin Umar menurut riwayat Abu Daud, Ibnu Majah dan di sahkan oleh oleh Hakim, Rasulullah SAW bersabda:
َ ع َ ٍ َ َ ع َ ب َ د َ َ الل ََ ب َ ٍ َ َ ع َ ً َ لَر َ لا َ َ ر َ س َ ٕ َ ل َ َ الل َ َ اَ:َصلى الله عليه وسلم َ ب َ غ َ ض َ َ نا َ ح َ ل َ ل َ َ ع َ ه َ اللَى َ َ طنا َ ل َ ق 23
Artinya: “Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar,beliau berkata: Rasulullah SAW bersabda: Perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah thalaq” ( HR. Ibnu Majah, Abu Daud).
Walaupun hukum asal thalaq itu dalah makruh, namun melihat keadaan tertentu dalam situasi tertentu, maka hukum thalaq itu terkadang menjadi wajib, haram, makruh, atau pun sunnah :
a. Contoh thalaq menjadi wajib adalah ketika terjadi perpecahan yang diyakini akan berakibat suami da istri tidak bisa menjalankan hukum-hukum Allah, setelah sebelumnya melakukan usaha-usaha untuk memperbaiki hubungannya.
b. Contoh thalaq yang diharamkan adalah seseorng menthalaq istrinya yang masih dalam keadaan haid atau nifas dengan tujuan untuk menyusagjan istrinya tanpa ada sebab yang dibenarkan. c. Terkadang thalaq juga hukumnya menjadi sunnah apabila istri
berulang kali melakukan perbuatan yang dibenci agama dan tidak masuk ke dalam perbuatan yang haram. Padahal istri sudah dinasehati tetapi tidak ada manfaatnya. Apabila suami sudah memberi basehat berulang kali tetapi istri tidak menganggapnasehat itu mala lebih baik untuk menthalaq istri supaya suami tidak melakukan perbuatan yang diridhai agama. d. Terkadang juga thalaq hukumnya makruh apabila tidak ada sebab
yang menyebabkan istri pantas dithalaq.
23 Muhammad bin Yazid Al-Qizwini, Sunan Ibnu Majah,( Beirut: Dar Al-Fikr), Juz. 1,
hlm. 650. Sulaiman bin Al-Asy‟ats Al-Sazistani, Sunan Abu Daud, (Beirut: Dar Al-Fikr), Juz.1, h., 661.
22
e. Adapun diperbolehkannya thalaq adalah ketika ada kesepakatan di antara kedua belah pihak. Imam An-Nawawi menukil bahwa ulama bersepakat thalaq bisa dihukumi boleh dikrenakan hal tersebut. Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum asal thalaq, apakah haram ataukah mubah. Dalam hal ini para ulama terbagi menjadi 2 kelompok :
a. Pendapat Pertama
Ulama Malikiyah, Syafi‟iyah dan Hanabilah berpendapat thalaq hukumnya jaiz dengan menggunakan makna khilaful aula. Berdasarkan dalil sebagai berikut :
1) Berdasarkan Dalil nash Al-Qur’an
َءاَﺴُِّنا ُىُرْمَّهَط ٌِْإ ْىُكَْٛهَع َحاَُ ُج َلَ
Artiya: " Tidak ada kewajiban membayar (mahar)atas
kamu, jika kamu menceraikan istri-istrimu." (Q.S.
Al-Baqarah( 2) : 236)
َّىُث ِخاَُِيْؤًُْنا ُىُرْذَكََ اَذِإ
ًٍَُُُّْٕرْمَّهَط
...
Artinya: "Apabila kamu menikahi perempuan-perempuanyang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka." (Q.S.
Al-Ahzab (33 ) :49)
ٌِاَذَّسَي ُق َلََّطنا
Artinya: " Thalaq (yang dapat dirujuk) dua kali." (Al-Baqarah( 2) : 229)Masih banyak nash-nash lainnya yang secara zhahir menunjukkan dibolehkannya thalaq. Akan tetapi makna boleh di sini diarahkan kepada makna khilaful aula, sebab sebagaimanan dijelaskan dalam hadist bahwa thalaq adalah perkara halal yang paling dibenci. Padahal, perkara yang dibenci tidak mungkin sesuatu yang dibolehkan dengan makna seimbang antara bolehnya dilakukan dan bolehnya ditinggalkan. Akan tetapi makna boleh di sini dalah
23
meninggalkannya lebih baik daripada melakukannya, meskipun jika dilakukan tidak termasuk perbuatan tercela. Bantahan dalil : Para ulama yang pendapatnya berbeda dalam hal ini, mengatakan bahwasannya ayat QS: Al-Baqarah: 236 menjelaskan tentang dihilangkannya dosa datang untuk enjelaskan hukum yang wajib bagi laki-laki yaitu memberi mahar atau tidak memberikan mahar. Bukan datang untuk menjelaskan asal hukum thalaq. Semisal dengan ayat tersebut adalah firman Allah Subhnallahu wa Ta‟ala “Apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka.”(Al-Ahzab :49) Ayat tersebut datang untuk menjelaskan tidak ada iddah bagi perempuan yang dithalaq yang belum didukhul. Begitu pula dengan firman Allah Subhanahu Wata‟ala “Thalaq yang dapat dirujuk dua kali” (Al-Baqarah :229) Ayat tersebut menjelaskan jumlah thalaq dalam pernikahan.
Dengan demikian, maka ayat-ayat tersebut tidak menjelaskan hukum thalaq sehingga pengambilan dalil seperti ini tidak bisa dijadikan dasar untuk mengatakan boleh atau haramnya thalaq. Oleh karena itu, ayat ini tidak bisa dijadikan sebagai dasar dari hukum asal thalaq.
b. Pendapat kedua
Yaitu pendapat zhahir dari Ulama Hanafiyah, mereka berpendapat bahwa hukum asal thalaq adalah dilarang, begitu pula dengan imam-imam lainnya yang semadzhab maka mereka mengambil dalil berdasarkan :
1) Berdasarkan dalil nash Al-Qur’an
Disebutkan dalam Al-Qur‟an berupa ayat-ayat yang menunjukkan untuk benar-benar menjaga keutuhan rumah tangga dan mendamaikan suami istri yang di khawatirkan
24
terjadi perpecahan di antara keduanya. Seorang suami juga diperingatkan untuk tidak segera menjatuhkan thalaq, bahkan diberi janji akan mendapatkan banyak kebaikan sebagai balasan atas kesabarannya menanggung perlakuan istrinya yang tidak disenangi. Sebagaimana firman Allah :
َإ ث ع با فَا ً ٓ ُ ي بَ قا م شَ ى ت ف خَ ٌ إ ٔ َاًح ل ص إَا دي ر يَ ٌ إَا ٓ ه ْ أَ ٍ يَاًً ك ح َٔ ّ ه ْ أَ ٍ يَاًً ك ح
ا ًري ب خَاًًي ه عَ ٌا كَ اللََّ ٌ إََۗا ً ٓ ُ ي بَ اللََّ ك ف ٕ ي
Artinya: “ Dan jika kamu khawatirkan ada
persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang haka dari keluarga laki-laki dan seorang hakan dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengatahui lahi Maha Mengenal.” (QS. An-Nissa: 35)
Allah Subhanahu wa Ta‟ala juga berfirman :
َاًح ل ص إَا دي ر يَ ٌ إَا ٓ ه ْ أَ ٍ يَاًً ك ح َٔ ّ ه ْ أَ ٍ يَاًً ك حَإ ث ع با فَا ً ٓ ُ ي بَ قا م شَ ى ت ف خَ ٌ إ ٔ ا ًري ب خَاًًي ه عَ ٌا كَ اللََّ ٌ إََۗا ً ٓ ُ ي بَ اللََّ ك ف ٕ ي
Artinya: “ Dan bergaullah dengan mereka secara
patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikn padanya kebaikan yang banyak.”
(QS. An-Nisaa: 19)
Masih banyak ayat selain dari kedua ayat tersebut yang menunjukkan peringatan dari Allah untuk menjaga keutuhan rumah tangga dan dibencinya perbuatan thalaq. Dibenci adalah derajat paling rendah dari derajat haram. 2) Berdasarkan dalil dari Hadits
25
Diriwayatkan dalam hadits yang menunjukkan bahwa thalaq yang tidak disebabkan sesuatu yang dibenarkan, maka diangap sebagai perbuatan yang akan mendatangkan kerugian, bahkan dianggap sebagai perbuatan yang sangat dibenci Allah Subhanahu wa Ta‟ala. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Abu Daud dan dishahihkan oleh Hakim dari Tsauban, bahwa Rasulullah Shallallahu A‟laihi wa Sallam bersabda:
َ اَ ي َ ً َ اَا َ ي َ ر َ اَ ةَ َ س َ نا َ ت َ َ ز َ ٔ َ ج َ ٓ َ طَا َ ل ًَل َ فَا َ غَى َ ي َ ر َ ي َ بَا َ أ َ س ََ ف َ ح َ ر َ وا َ َ ع َ هَ ي َ ٓ َ رَا َ ئا َ ح َ ت َ َ نا َ ج َ ُ َ ت
Artinya: “ Wanita mana saja yang meminta thalaq
kepada suaminya tanpa alasan yang dibenarkan maka haram mencium bau surga.” (HR. At-Timidzi, Ibnu Majah,
Abu Daud dan Al-Hakim)
Begitu pula hadits Rasulullah Shallallahu A‟alaihi wa Sallam bersabda : َ ع َ ٍ َ َ ع َ ب َ د َ َ الل ََ ب َ ٍ َ َ ع َ ً َ لَر َ لا َ َ ر َ س َ ٕ َ ل َ َ الل َ َ اَ:َصلى الله عليه وسلم َ ب َ غ َ ض َ َ نا َ ح َ ل َ ل َ َ ع َ ه َ اللَى َ َ طنا َ ل َ ق 24
Artinya : “Diriwayatkan dari Abdullah bin
Umar,beliau berkata: Rasulullah SAW bersabda: Perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah thalaq”
( HR. Ibnu Majah, Abu Daud)
Hadist pertama merupakan ancaman yang sangat berat bagi perempuan yang meminta thalaq dari suaminya tanpa danya sebab yang dibenarkan. Sedangkan hadist kedua merupakan kabar bahwa thalaq adalah oerbuatan yang paling dibeni Allah Subhanahu wa Ta‟ala sehingga thalaq tidak diizinkan kecuali ada kepentingan yang mendesak. Sedangkan derajat paling rendah dari dibenci
24 Muhammad bin Yazid Al-Qizwini, Sunan Ibnu Majah,( Beirut: Dar Al-Fikr), Juz. 1,
hlm. 650. Sulaiman bin Al-Asy‟ats Al-Sazistani, Sunan Abu Daud, (Beirut: Dar Al-Fikr), Juz.1, h., 661.
26
adalah makruh, sedangkan makruh adalah derajat paling rendah dari derajat haram.
c. Sebab perbedaan pendapat
Dari kedua pendapat diatas, pada hakikatnya para ulama menggunakan dasar dalil yang sama hanya saja terdapat perbedaan dalam memahami maksud dalam dalil tersebut. Perbedaan pendapat ini bersumber dari pemahaman sabda Rasulullah Shallallahu A‟laihi wa Sallam : َ َ ع َ ٍ َ َ ع َ ب َ د َ َ الل ََ ب َ ٍ َ َ ع َ ً َ لَر َ لا َ َ ر َ س َ ٕ َ ل َ َ الل َ َ اَ:َصلى الله عليه وسلم َ ب َ غ َ ض َ َ نا َ ح َ ل َ ل َ َ ع َ ه َ اللَى َ َ طنا َ ل َ ق 25
Artinya : “Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar,beliau
berkata: Rasulullah SAW bersabda: Perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah thalaq” ( HR. Ibnu Majah, Abu Daud)
Dalam hadits tersebut beliau mensifati thalaq sebagai perbatan yang dibenci, sebagaimana beliau juga mensifati thalaq sebagai perbuatan yang halal.
Barangsiapa yang berpendapat bahwa perbuatan yang dibenci tidak akan bisa berkumpul dengan perbuatan yang halal, maka menurutnya makna halal di sini adalah izin secara mutlak untuk melakukan pekerjaan yang tidak berakibat dosa. Orang yang berpendapat seperti ini akan bahwa asal drai thalaq adalah haram dengan makna makruh. Sebab, makruh adalah perbuatan yang tidak membawa dosa tetapi lenih baik ditinggalkan, sehingga perbuatan tersebut dibenci.
Sedangkan yang lain berpendapat bahwa makna dibenci adalah makna yang dekat-dekat dengan itu tetapi bukan hakikatnya kemudian mengarahkan halal kepada makna hakiki yaitu sesuatu yang diizinkan syari‟at sehingga menjadikan pelakunya tidak dicela dan dicaci. Para ulama yang berpendapat seperti ini mengatakan bahwa asal dari thalaq adalah jaiz (dibolehkan) denganmenggunakan
25 Muhammad bin Yazid Al-Qizwini, Sunan Ibnu Majah,( Beirut: Dar Al-Fikr), Juz. 1,
hlm. 650. Sulaiman bin Al-Asy‟ats Al-Sazistani, Sunan Abu Daud, (Beirut: Dar Al-Fikr), Juz.1, h., 661.
27
makna khilaful aula. Terlebih lagi ada pertentangan antara zhahir dalil-dalil yang dijadikan sebagai sandaran masing-masing kelompok untuk menguatkan pendapat madzhabnya.
d. Pendapat rajih
Dari dua pendapat diatas, dan beberapa dalil yang digunakan dari keduanya. Penulis dapat menarik kesimpulan bahwa pendapat yang rajih (kuat) menurut penulis adalah pendapat yang kedua yang mengatakan bahwa hukum asal thalaq yaitu dilarang, karena menurut penulis dalil yang mereka gunakan lebih kuat, dan logika penafsirannya pun lebih masuk akal. Selain itu mashlahat nya juga lebih banyak, karena dizaman para sahabat dan lainnya pernah terjadi menjatuhkan thalaq secara terang-terangan dan bebas tanpa ada yang mengingkari, maka wajib diarahkan bahwasannya mereka melakukan sesuatu tersebut karena alasan-alasan yang membolehkan atas apa yang mereka kerjakan. Akan tetapi alas-alasan mereka tersebut tidak pantas untuk dijadikan sebuah alasan untuk bercerai. Imam Malik Radhiyallahu „Anhu mengatakan “sesungguhnya dari beberapa alasan ada alasan-alasan yang tidak bisa disebutkan”. Dengan alasan demikian penulis mengambil kesimpulan merajihkan pendapat yang mengatakan atas keharaman thalaq tanpa ada alasan yang dibenarkan.
2. Dasar Hukum Perceraian Menurut Pesrfektif Hukum Positif
Di Indonesia sendiri perceraian diatur Dalam UU No 1 Tahun 1974. UU No. 1 Tahun 1974 yang merupakan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkawinan termasuk perceraian. Syarat normatif khususnya perceraian tercantum dalam Bab VIII UU Nomor. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang di dalamnya mengatur putusnya perkawinan serta akibat hukumnya, yang di uraikan dalam Pasal 38 hingga dengan Pasal 41 dilaksanakan, dalam makna norma- norma hukumnya dijabarkan secara lebih konkret dalam peraturan pelaksana, ialah Peraturan Pemerintah Nomor. 9
28
Tahun 1975 Pasal 14 hingga dengan Pasal 36, serta hal- hal teknis yang lain dalam Peraturan Menteri Agama( Permenag) Nomor 3 Tahun 1975.26
Perceraian dalam hukum positif, juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 113 jo Pasal 38 UUP yang menyatakan bahwa “Perkawinan dapat putus karena: (a) Kematian, (b) Perceraian, dan (c) atas putusan Pengadilan. Dan pada Pasal 114 menyebutkan: “Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena thalaq atau berdasarkan gugatan perceraian”.27
Dalam pasal 39 menyebutkan bahwa:
a. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
b. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. Tatacara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam Peraturan Perundangan.28
Sama halnya dengan Kompilasi Hukum Islam Pasal 115, menyebutkan bahwa: Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.29
C. Macam-macam Perceraian
1. Macam-macam Perceraian Menurut Perspektif Hukum Islam a. Thalaq
Menurut etimologis, thalak diambil dari kata ”ithlaq” yang artinya “melepaskan atau meninggalkan”. Secara harfiyah Thalaq itu berarti lepas dan bebas. Dihubungkannya kata thalaq dalam arti kata ini
26 Muhammad Syaifuddin, Sri Turatmiyah, dan Annalisa Yahanan, Hukum Perceraian, h.
86.
27
Undang-Undang Peradilan Agama: UU Ri Nomor 50 Tahun 2009 Dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), (Graha Pustaka Yogyakarta), h. 171.
28 UU No 1 Tahun 1974 Pasal 39.
29
dengan putusnya perkawinan karena antara suami dan isti sudah lepas hubungannya atau masing-masing sudah bebas.
Sedangkan menurut terminologis para ulama berbeda-beda dalam mengemukakan rumusannya, namun esensinya tetap sama. Al-Mahalli dalam kitabnya Syarh Minhaj al-Thalibin merumuskan :
َ ح َ م ََ ل َ يَ د َ َ ُنا َ ك َ حا ََ ب َ هَ ف َ ظ َ َ ط َ ل َ ق َ َ ٔ َ َ ح َ ٕ َ َِ 30
Artinya: "Melepaskan hubungan pernikahan dengan menggunakan
lafaz thalaq dan sejenisnya."
Dalam rumusan yang lebih sederhana dikatakan :
َ ُنا َ ك
َ حا َ عَ ة َ حَ دَ م َ م Artinya: " Melepaskan ikatan perkawinan."
Menurut Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari al-Fannani mendefinisikan thalaq sebagai berikut :
َ طنا َ ل َ ق ََ ن َ غ ًَت َ َ ح َ م َ َ منا َ يَ د َ َ ٔ َ ش َ ر ًَع اَ َ ح َ م َ َ ع َ م َ د َ ةَ َ ُنا َ ك َ حا 31
Artinya: "Thalaq menurut istilah bahasa artinya melepaskan
ikatan, sedangkan menurut istilah syara’artinya melepaskan ikatan nikah."
Sayid Abu Bakar bin Muhammad ad-Dimyati memberikan penjelasan lebih lanjut terkait lafal yang digunakan dalam thalaq sebagai berikut : َ ي َ ت َ عَ ه َ ك ََ ب َ ح َ م َ َ ٔ َ ْ َ ٕ َ َ ي َ ش َ ت َ ك َ َ ط َ ل َ ق َ َ ٔ َ ف َ ر َ قا َ َ ٔ َ َ س َ ر َ حا َ َ ٔ َ غ َ ي َ ر َ َ ذ َ نا َ ك 32
Artinya: "Yang berhubungan dengan kata melepaskan yaitu yang
keluar dari lafadz thalaq, pisah, melepaskan, dan lain sebagainya."
Definisi yang agak luas disampaikan oleh Imam Taqiyuddin dalam kitabnya Kifayatul al-Akhyar sebagai berikut :
ْٕ َ عرشناَىفَقلطنا َ ََىسا َن َ،حاكُناَديلَمح ٔ يهْاجَظفنَْٕ َ ِريرمتبَعرشناَدرٔ 33
30 Zakaria Al-Anshori, Syarh Minhaj At-Thalibin, ( Indonesia: Al-Haramain), h., 95. 31
Zainuddin Al-Malibari, Fathul Mu’in, (Indonesia: Pustaka Islamiyah), h., 112
32 Utsman bin Muhammad Syatha Al-Dimyati, I’anah At-Tholibin, (Beirut: Dar Al-Fikr,
1997), Cet.1, Juz.4, h., 6.
30
Artinya: " Thalaq menurut ta’rif syara’, merupakan sebutan untuk
melepaskan ikatan nikah. Thalaq adalah lafadz jahiliyah yang kemudian dipakai oleh syara. "
Dari rumusan yang dikemukakan oleh Mahalli yang mewakili definisi yang diberikan kitab-kitab fiqih terdapat tiga kata kunci yang menunjukkan hakikat dari perceraian yang bernama thalaq.
Pertama : kata “melepaskan” atau membuka atau meninggalkan mengandung arti bahwa thalaq itu melepaskan sesuatu yang selama ini telah terikat, yaitu ikatan perkawinan.
Kedua : kata “ikatan perkawinan”, yang mengandung arti bahwa thalaq itu mengakhiri hubungan perkawinan yang terjadi selama ini. Bila ikatan perkawinan itu memperbolehkan hubungan antara suami dan istri, maka dengan telah dibuka ikatan itu status suami dan istri kembali kepada keadaan semula, yaitu haram.
Ketiga : kata “dengan lafadz tha-la-qa dan sama maksudnya dengan itu”mengandung arti bahwa putusnya perkawinan itu melalui suatu ucapan yang digunakan itu dalah kata-kata thalaq tidak sisebut dengan : putus perkawinan bila tidak dengan cara pengucapan ucapan tersebut, seperti putus karena kematian.
Dari beberapa definisi yang telah penulis kemukakan di atas, maka dapat penulis simpulkan bahwa yang dimaksud thalaq adalah lepasnya ikatan tali perkawinan antara suami istri dengan mengguakan lafadz khusus yaitu dengan lafadz thalaq atau semacam lafadz lainnya sehingga istri tidak halal lagi bagi suaminya setelah dithalaq.
Thalaq bisa diklarifikasikan menjadi beberapa jenis sesuai dengan aspek pandangannya. Dari segi dampak (pengaruh) yang ditimbulkan, maka thalaq ini terbagi menjadi dua macam, yaitu:
1) Thalaq raj‟i adalah pernyataan cerai suami paa istri yang telah digaulinya dengan lafadz-lafadz tertentu,34 thalaq
34 Nabiela Naily Holilur Rohman, Nurul Asiya Nadhifah dan Mahir Amin, Hukum