• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyelesaian Harta Bersama Gugatan Pasca Perceraian Di Pengadilan Jakarta Selatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penyelesaian Harta Bersama Gugatan Pasca Perceraian Di Pengadilan Jakarta Selatan"

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

PASCA PERCERAIAN DI PENGADILAN JAKARTA SELATAN

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy.)

Oleh MARLIANITA NIM: 207044100664

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA

PROGRAM STUDI AKHWAL AL SYAKHSIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy.)

Oleh MARLIANITA NIM: 207044100664

Di Bawah Bimbingan

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Hj. Mesraini M. Ag Kamarusdiana S. Ag. MH NIP. 19760213 200312 2001 NIP. 1972 0224 1998 031 003

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA

PROGRAM STUDI AKHWAL AL SYAKHSIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(3)

Skripsi berjudul PENYELESAIAN GUGATAN HARTA BERSAMA PASCA PERCERAIAN DI PENGADILAN JAKARTA SELATAN telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universita Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 10 April 2014. Skripsi ini telah ditrima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S. Sy).

Jakarta, 10 April 2014 Mengesahkan

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof.DR. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 1955050519822031012

PANITIA UJIAN

1. Ketua : Dr. H. Ahmad Mukri Aji, M.A (...) NIP. 195703121985031003

2. Sekretaris : Mufidah, S.H.I (...)

3. Pembimbing I : Dr. Hj. Mesraini M. Ag (...) NIP. 19760213 200312 2001

4. Pembimbing II : Kamarusdiana S. Ag. MH (...) NIP. 1972 0224 1998 031 003

5. Penguji I : Nur Rohim, LLM (...) NIP. 1979 0416 2011 01 1 004

(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata Satu di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 06 Mare 2014

(5)

i

Alhamdulillah, segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan inayah-Nya dalam memberikan kesehatan, kekuatan dan ketabahan sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dan merampungkan skripsi ini. Dengan berbagai rasa yang menjadi satu lelah, kesal, dan sedih bahkan rasa sedikit putus asa yang muncul dibeberapa waktu, namun semuanya berakhir dengan kelegaan dan keharuan sehingga timbul semangat luar biasa. Tidak lupa salam serta shalawat dihaturkan atas baginda besar Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga para sahabat dan para umatnya yang senantiasa istiqomah dijalan-Nya.

Penulis menyadari bahwasanya manusia tidaklah mungkin hidup tanpa bantuan orang lain dan tidaklah mungkin terwujud semua usaha tanpa bantuan orang lain. Dengan ini penulis dalam rangka menyelesaikan tugas, dalam kerendahan hati ini, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH., MA., MM., sebagai Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif hidayatullah Jakarta.

2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA., sebagai Ketua Jurusan Peradilan Agama dan Ibu Rosdiana, M.Ag., sebagai Sekretaris Jurusan Peradilan Agama.

(6)

ii

5. Para Dosen Fakultas Syariah dan Hukum, yang telah sabar membimbing dan mengajar penulis selama masa perkuliahan.

6. Pimpinan Perpustakaan beserta seluruh Staff Fakultas Syariah dan Hukum, yang selalu memberikan penulis fasilitas dalam keperluan perkuliahan.

7. Pimpinan Perpustakaan Utama beserta seluruh Staff yang sudah membantu memberikan penulis fasilitas dalam keperluan perkuliahan.

8. Seluruh Staff Pengadilan Agama Jakarta Selatan tempat penulis mengadakan penelitian serta mendapatkan data dan informasi serta wawancara.

9. Yang tercinta dan terkasih kedua orangtua, keluarga, Suami “Agus Setia

Mulyana”, dan anak tercinta “Ismail Setia Dirgantara”, yang senantiasa selalu

ada dalam memberikan doa dan semangatnya, serta seluruh sahabat seperjuanganku yakni Peradilan Agama angkatan 2007 khususnya sdri Nurmilah Sari, sdri Syarifah Ummi Hanni, sdra „Deni. K, Deni. H, Arifin, Muhiddin, Achmad Charis, Rahman Hakim, Syarifudin, Royhan, Indro Wibowo, Bapak Tamim yang selalu ada waktunya bersama-sama menitih masa perkuliahan dari nol sampai wisuda ini.

(7)

iii

penyelesaian skripsi ini, saya menghanturkan terimakasih banyak atas bantuan semuanya baik yang berupa doa maupun materill yang tidak dapat penulis balas dengan baik, semoga Allah SWT yang akan membalas kebaikan kalian semuanya. Amin

Jakarta, Maret 2014

(8)

iv

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I: PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 4

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 6

E. Metode Penelitian ... 6

F. Review Penelitian ... 10

G. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II: TINJAUAN TEORITIS TENTANG HARTA BERSAMA ... 14

A. Pengertian Harta Bersama ... 14

B. Pengurusan (Bestuur) Harta Kekayaan dalam Perkawinan Menurut Peraturan Perundang-undangan di Indonesia ... 16

C. Dasar Hukum Pembagian Harta Bersama Pasca Perceraian ... 21

D. Konsep Harta Bersama Dalam Pandangan Hukum Islam ... 24

BAB III : PENYELESAIAN GUGATAN HARTA BERSAMA PASCA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN ... 37

(9)

v

Di Pengadilan Agama Jakarta Selatan ... 42

C. Putusan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan tentang Harta Bersama ... 44

D. Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan dalam Memutuskan Gugatan Harta Bersama ... 53

E. Analisa Penulis ... 54

BAB IV: PENUTUP ... 62

A. Kesimpulan ... 62

B. Saran- Saran ... 65

DAFTAR PUSTAKA ... 67

(10)

1 A. Latar Belakang Masalah

Berbicara tentang perkawinan erat hubungannya dengan kehidupan manusia itu sendiri, karena perkawinan itu merupakan proses untuk menjalani hidup berkeluarga bagi setiap orang yang menghendaki adanya keseimbangan lahir dan bathin selaras antara rohani dan jasmani. Demikian juga kebutuhan hidup dalam perkawinan itu memerlukan harta benda (kekayaan) untuk dipergunakan baik oleh suami maupun istri untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari bagi keluarga. Kekayaan inilah yang disebut: ”Harta Perkawinan”,

”Benda Perkawinan”, ”Harta Keluarga”, ataupun ”Harta Benda Keluarga”.1

Setiap perkawinan tidak terlepas dari adanya harta benda baik yangdiperoleh sebelum perkawinan, pada saat perkawinan berlangsung maupunyang diperoleh selama suami dan istri dalam ikatan perkawinan. Menurut perundang-undangan di Indonesia, ketentuan harta sudah diatur dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974. Dalam Undang-Undang-undang tersebut dijelaskan bahwa harta dalam perkawinan di bagi kepada 2 jenis, yaitu: harta bersama dan harta bawaan. Yang dimaksud dengan harta bersama adalah harta pencaharian yang diperoleh selama suami dan istri diikat dalam perkawinan dan

1

Surojo Wignodipuro, Pengantar dan Azas-azas Hukum Adat, (Jakarta : Gunung Agung,

(11)

harta tersebut tidak diperoleh melalui warisan, hadiah dan hibah.Suami dan istri dapat berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu atas harta tersebut berdasarkan persetujuan kedua belah pihak. Mulai perkawinan dilangsungkan, secara hukum berlaku kesatuan bulat antara harta kekayaan suami istri. Adapun terkait dengan status harta yang sudah dimiliki sebelum menikah, mahar, warisan, hadiah dan hibah disebut sebagai harta bawaan dari masing-masing suami istri. Harta bawaan tersebut berada dibawah penguasaan masing-masing suami istri sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Persatuan kekayaan melalui konsep harta bersama itu berlaku sepanjang perkawinan dilaksanakan dan tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami dan istri. 2 Jika bermaksud mengadakan penyimpangan dari ketentuan harta bersama sebagaimana diatur dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, suami istri harus menempuh jalan dengan perjanjian kawin (Prenuptial Agreement). Perjanjian tesebut diatas, haruslah dilaksanakan sebelum perkawinan dilangsungkan, dan dibuat dalam bentuk akta autentik dihadapan Pejabat yang berwenang, yaituPegawai Pencatat Nikah. Hal ini diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 47 ayat 1. Akta autentik tersebut sangat penting, karena dapat dijadikan bukti dalam persidangan pengadilan apabila terjadi sengketa tentang harta bawaan masing-masing suami istri.

2

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana,

(12)

Di dalam kehidupan berumah tangga tidak selamanya orang hidup harmonis dan bahagia, dikarenakan kedua belah pihak kurang memahami antara hak dan kewajiban masing-masing sebagai suami istri sebagaimana yang telah diuraikan dalam Undang-undang yang telah ada, sehingga seringkali dalam praktiknya terjadi percekcokan yang mengakibatkan perceraian.

Apabila perkawinan putus karena perceraian dan tidak adanya perjanjian perkawinan (Prenuptial Agreement) yang dibuat sebelum perkawinan, maka harta

bersama tersebut diatur menurut hukum masing-masing.3 Dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam (KHI), Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer), dan sejalan dengan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 9 Desember 1959 Nomor 424.K/SIP/1959, yang mengemukakan bahwa harta bersama suami istri apabila terjadi putusnya perkawinan baik karena kematian atau perceraian maka kepada suami istri tersebut masing-masing mendapat setengah bagian dari harta yang mereka peroleh selama perkawinan berlangsung.

Dalam praktik peradilannya, hal tersebut tidaklah mudah dan sederhana. Beberapa hal tidak sejalan dengan perkembangan hukum dan kondisi sosial yang telah berubah dalam masyarakat sesuai dengan perkembangan kemajuan zaman. Perubahan dalam kehidupan masyarakat terjadi dalam berbagai bentuk, baik dalam bidang komunikasi, informasi dan hal-hal yang menyangkut dengan sosial

3

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana,

(13)

budaya, seperti pihak istri bekerja tidak hanya sebatas menjadi ibu rumah tangga, dengan kata lain pihak suami tidak berpartisipasi dalam membangun ekonomi rumah tangga atau suami istri yang sama-sama berpartisipasi dalam membangun ekonomi rumah tangga. Yang kesemuanya itu sangat mempengaruhi tentang perolehan harta bersama dan juga pembagian harta bersama apabila terjadi perceraian.

Oleh karena itu perlu adanya pertimbangan khusus tentang partisipasi dari pihak istri atau partisipasi dari kedua belah pihak dalam mewujudkan harta bersama keluarga, sehingga bagian yang menetapkan setengah dari harta bersama untuk istri dan untuk suami perlu dilenturkan lagi.

Berdasarkan hal-hal tersebut penulis ingin meninjau lebih jauh bagaimana hakim Pengadilan Agama menerapkan pembagian harta bersama tersebut. Apakah hakim Pengadilan Agama memang menerapkan ketentuan bahwa setengah dari harta bersama untuk istri dan untuk suami?. Ataukah hakim Pengadilan Agama telah melenturkan aturan tersebut?. Dalam hal ini Peneliti akan memfokuskan penelitian pada putusan hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan, dengan judul:

“PENYELESAIAN GUGATAN HARTA BERSAMA PASCA

PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN”.

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah

(14)

Agama Jakarta Selatan, Bagaimana perhitungan dan putusan Hakim tentang harta bersama.

Untuk lebih fokusnya penelitian ini, maka peneliti hanya membatasi pada putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan tentang gugatan harta bersama dalam kasus apabila suami bekerja sedangkan istri tidak bekerja, suami tidak bekerja sedangkan isatri bekerja, dan suami istri sama-sama bekerja.

Berdasarkan masalah-masalah yang muncul terkait dengan penyelesaian gugatan harta bersama pasca perceraian yang diputus oleh pihak Pengadilan, maka rumusan tersebut penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana proses pemeriksaan gugatan harta bersama di Pengadilan Agama Jakarta Selatan?

2. Apakah pertimbangan hakim dalam memutuskan gugatan harta bersama Di Pengadilan Agama Jakarta Selatan?

3. Apakah putusan Majelis Hakim dalam pembagian harta bersama sudah sesuai dengan Undang-undang yang berlaku di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjawab rumusan masalah, yaitu sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui proses pemeriksaan gugatan harta bersama pasca perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Selatan;

(15)

3. Untuk mengetahui putusan Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan dalam pembagian harta bersama pasca perceraian, apabila:

a. Pihak suami bekerja, pihak istri tidak bekerja; b. Pihak suami tidak bekerja, pihak istri bekerja; c. Pihak suami dan pihak istri sama-sama bekerja.

D. Manfaat Penelitian

1. Ingin memberikan gambaran kepada pembaca mengenai porsi pembagian harta bersama pasca perceraian apabila pihak suami bekerja sedangkan pihak istri tidak bekerja, pihak suami tidak bekerja sedangkan pihak istri bekerja, pihak suami dan pihak istri sama-sama bekerja serta implementasinya dalam putusan di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

2. Untuk lebih mengembangkan penalaran, pembentukan pola pikir dinamis sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh. Sebagai bahan pertimbangan dalam penyelesaian gugatan harta bersama pasca perceraian.

3. Penelitian ini diharapkan dapat merumuskan cara yang tepat dalam hal penerapan hukum penyelesaian gugatan harta bersama pasca perceraian oleh Pengadilan Agama.

E. Metode Penelitian

(16)

1. Obyek Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini, obyek penelitiannya adalah putusan Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan tentang penyelesaian gugatan harta bersama yang mana putusan tersebut penulis ambil secara acak, dengan kriteria yang bisa mewakilkan pembagian harta bersama apabila: a. Pihak suami bekerja, pihak istri tidak bekerja;

b. Pihak suami tidak bekerja, pihak istri bekerja; c. Pihak suami dan pihak istri sama-sama bekerja. 2. Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu jenis penelitian yang menggambarkan dan memberikan analisa terhadap peraturan Perundang-undangan yang bertkaitan dengan harta bersama dan juga mengungkap bagaimana kenyataan yang ada di lapangan, terkait dengan penerapan peraturan tersebut di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

3. Metode Pendekatan

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yaitu jenis data yang digunakan bersifat naratif dalam bentuk pernyataan-pernyataan yang menggunakan penalaran.4 Sedangkan metode pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dan empiris normatif yaitu mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam Peraturan

4

(17)

Perundang-undangan dan putusan Pengadilan serta norma-norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.5

4. Sumber Data dan Pengumpulan Data

Penelitian ini dilakukan dengan cara mempelajari dan menganalisa data-data yang dikelompokkan menjadi 3 (tiga) sumber yaitu :

a. Data Primer, yaitu data-data pokok, terdiri dari 1) Putusan Pengadilan

Dalam hal ini penulis mengumpulkan data dengan cara mengumpulkan putusan-putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatanyang diambil secara acak yang sesuai dengan permasalahan yang penulis, yaitu:

a) Putusan Nomor 45/Pdt.G/2005/PAJS, mewakili pihak suami tidak bekerja, pihak isteri bekerja;

b) Putusan Nomor 0356/Pdt.G/2008/PAJS, mewakili pihak suami bekerja, pihak isteri tidak bekerja;

c) Putusan Nomor 0180/Pdt.G/2011/PAJS, mewakili pihak suami bekerja dan pihak isteri sama-sama bekerja.

2) Wawancara

Penulis mengumpulkan data dengan cara mengadakan wawancara secara langsung denganvinforman yang banyak mengetahui tentang masalah yang diteliti. Dengan ini penulis

5

(18)

mengadakan wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan, yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Agama Jakarta Selatan, yaitu: Ibu Tama, SH.

b. Data Sekunder

Merupakan data yang diperoleh melalui studi pustaka yang bertujuan untuk memperoleh landasan teori yang bersumber dari buku literature dan karya ilmiah yang ada hubungannya dengan materi yang dibahas, yaitu:

1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan;

2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan;

3) Kompilasi Hukum Islam (KHI);

4) Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer); 5) Yurisprudensi;

6) Literature-literatur Hukum: a) Buku-buku;

(19)

c. Data Tersier

Merupakan data yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap data primer dan data sekunder yaitu kamus hukum.

5. Metode Analisa Data

Berdasarkan sifat penelitian ini yang menggunakan metode penelitian deskriptif analitis, analisa data yang dipergunakan adalah pendekatan kualitatif terhadap data primer dan data sekunder dengan menggunakan analisa isi (content analisis), yaitu menganalisis isi putusan dengan cara membandingkan teori yang ada dengan praktek di lapangan, yansg kemudian dideskripsikan sehinggamendapatkan suatu kesimpulan yang objektif dan konkret sesuai dengan masalah yang ada.

F. Review Penelitian

Terdapat sejumlah penelitian terdahulu terkait dengan harta bersama, diantaranya:

1. Judul : Penyelesaian Pembagian Harta Bersama Setelah Perceraian DiNegara Bagian Sarawak (Malaysia).

Peneliti : Muhammad Harmila Bin Anuar

Identitas Penelitian : Skripsi, tahun 2010, Prodi SAS UIN Jakarta Syarif Hidayatullah.

(20)

kaidah-kaidah atau ketentuan yang berlaku. Sebagaimana yang telah disebutkan dalam pasal 58 Ordinan Undang-undang Keluarga Islam (Sarawak).

Metode penelitian : Penelitian Kualitatif dengan teknik penelitian deskriptif.

Penelitian ini lazim disebut sebagai studi dogmatik atau

Doctrinal Reseace.

2. Judul : Analisis Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 193 K/AG/2004, tentang Pembagian Harta Bersama

Peneliti : Hernasari

Identitas Penelitian : Skripsi, tahun 2009, Prodi SAS UIN Jakarta Syarif Hidayatullah.

Isi : Memperbaiki amar putusan PA dan PTA yang mana hukum atas kasus pembagian harta gono-gini yang diteliti cenderung kurang adil karena berdasarkan analisis deret waktu, lebih banyak harta yang diperoleh atas hasil jerih payah penggugat, baik sebelum maupun selama pernikahan.

(21)

3. Judul : Penyelesaian Harta Bersama Akibat Perceraian Perspektif Hukum Islam (Studi Putusan Nomor : 393/PDT.G/2007/PA. TNG

Peneliti : Hamzah Ikat

Identitas Penelitian : Skripsi, tahun 2009, Prodi SAS UIN Jakarta Syarif Hidayatullah.

Isi : Pertimbangan Majelis Hakim pada putusan perkara Nomor 393/Pdt. G/2007/PA. Tng, Hakim hanya menerapkan apa yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam sepanjang sudah dijelaskan atau disesuaikan dengan kasus baru hakim menafsirkan pasal tersebut.

Metode penelitian : Penelitiannya menggunakan Pendekatan Normatif. Menggabungkan antara jenis penelitian yang bersifat penelitian lapangan (field research) dan studi kepustakaan (library research).

(22)

bersama, yang mana putusan tersebut terfokus kepada porsi pembagian harta bersama apabila:

1. Pihak suami bekerja, pihak istri tidak bekerja; 2. Pihak suami tidak bekerja, pihak istri bekerja; 3. Pihak suami dan pihak istri sama-sama bekerja.

G. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan sebagai berikut :

Bab pertama berisi pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, review penelitian dan sistematika penulisan.

Bab kedua menjelaskan mengenai ketentuan harta bersama secara teoritis yang meliputi, definisi harta bersama, dasar hukum harta bersama, pengurusan (bestuur) harta bersama menurut Perundang-undang di Indonesia, dasar hukum pembagian harta bersama dan konsep harta bersama dalam pandangan fiqih.

Bab ketiga merupakan pembahasan perihal penerapan ketentuan pembagian harta bersama di Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang meliputi: deskripsi Pengadilan Agama Jakarta Selatan, proses pemeriksaan penyelesaian harta bersama di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, pertimbangan putusan hakim tentang harta bersama tersebut dan analisis penulis.

(23)

14

TINJAUAN TEORITIS TENTANG HARTA BERSAMA

A. Pengertian Harta Bersama

Dari segi bahasa harta yaitu barang-barang (uang dan sebagainya) yang menjadi kekayaan.1 Sedangkan harta bersama adalah harta yang diperoleh suami

istri secara bersama di dalam perkawinan.2

Para ahli hukum di Indonesia telah menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan harta bersama adalah semua harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung, tanpa mempersoalkan siapa diantara suami istri yang mencarinya dan juga tanpa mempersoalkan atas nama siapa harta kekayaan itu terdaftar.3

Walaupun demikian telah dibatasi oleh ahli hukum di Indonesia bahwa yang dimaksud dengan harta bersama adalah harta kekayaan yang dihasilkan melalui jerih payah atau usaha suami dan/atau istri selama mereka diikat oleh tali perkawinan.

Dengan demikian harta bawaan pribadi yang berasal dari pencaharian sendiri sebelum perkawinan tidak bisa dikategorikan sebagai harta bersama. Begitu juga, tidak termasuk harta bersama harta yang berasal dari harta warisan,

1

Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), cet.2, h.199.

2

Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), cet.6, h.160.

3

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana,

(24)

harta hibah dan barang-barang hadiah, meskipun harta tersebut diperoleh disaat mereka terikat tali perkawinan.

Dalam hukum positif di Indonesia, masalah harta bersama diatur dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan (UUP), Kompilasi Hukum Islam (KHI), dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer).

Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 Pasal 35 ayat (1) berbunyi : ’’Harta

benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama’’. Cakupan atau

batasan dari harta bersama diatur pada ayat (2) yaitu: ’’Harta bawaan dari

masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing

sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing

sepanjang para pihak tidak menentukan lain.’’

Dalam Kompilasi Hukum Islam, harta besama diatur lebih rinci. Pasal 1 huruf F Kompilasi Hukum Islam menyatakan: ’’Harta kekayaan dalam

perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau

bersama suami-istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung selanjutnya

disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.’’

Sedangkan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pasal 119 menyatakan: ”Sejak saat dilangsungkan perkawinan, maka menurut hukum

terjadi harta bersama menyeluruh antara suami istri, sejauh hal itu tidak

diadakan ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan.”

(25)

1. Harta Bersama, yaitu harta kekayaan yang dihasilkan melalui jerih payah suami dan/atau istri selama mereka diikat oleh tali perkawinan, bukan harta yang berasal dari harta perorangan atau pribadi yang berasal dari pencaharian sendiri sebelum perkawinan, dan bukan pula harta yang diperoleh pada saat perkawinan melalui warisan, hibah dan hadiah;

2. Harta Pribadi, yaitu harta kekayaan perorangan baik itu harta perorangan suami atau harta perorangan istri yang berasal dari pencaharian masing-masing sebelum perkawinan, dan harta yang diperoleh ketika terikat tali perkawinan melalui warisan, hibah, dan barang-barang hadiah.

B. Pengurusan (Bestuur) Harta Kekayaan dalam Perkawinan Menurut Peraturan Perundang-undangan di Indonesia

Pada prinsipnya dalam pengurusan harta kekayaan dalam perkawinan baik suami maupun istri dapat menggunakan sesuai dengan kehendaknya masing-masing seperti menjual, memperbaikinya, memberikan kepada orang lain dan sebagainya, selama itu tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum lainnya. Dan juga tidak diperkenankan mengganggu hak orang lain, yang menjadi masalah mengenai harta kekayaan suami istri ini ialah mana yang dapat dimasukkan ke dalam harta persatuan suami istri dan yang merupakan harta kekayaan pribadi dari masing-masing pihak (suami istri).4Dalam peraturan

4

Husni Syawali, Pengurusan (Bestuur) Atas Harta Kekayaan Perkawinan Menurut KUH

(26)

Perundang-undangan di Indonesia, Pengelolaan harta kekayaan dalam perkawinan diatur sebagai berikut:

1. Harta Bawaan

Harta Bawaan, yaitu harta benda atau barang-barang tertentu yang dibawa baik oleh suami atau istri pada waktu kawin. Apabila suami yang memperoleh barang itu, maka ia sendiri menjadi pemiliknya dan istri tidak ikut memilikinya, tetapi dapat turut menikmati manfaat dari hasil barang-barang itu. Demikian juga sebaliknya, dengan harta bawaan istri. Apabila melakukan perbuatan hukum dengan barang-barang tersebut maka tidak diperlukan persetujuan terlebih dahulu dari salah satu pihak karena masing-masing suami istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum terhadap harta bawaan tersebut. Sesuai dengan isi Pasal 36 ayat (2)Undang-undang

Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan: ”Mengenai harta bawaan

masing-masing suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan

perbuatan hukum mengenai harta bendanya”.

2. Harta Bersama

Harta bersama yaitu harta benda yang diperoleh suami atau istri secara bersama di dalam perkawinan melalui pencaharian bersama bukan berasal dari harta perorangan yaitu harta pencaharian sebelum perkawinan, warisan, hibah, dan barang-barang hadiah. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 35 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan: ”Harta benda yang

(27)

pengurusan harta bersama ini menjadi hak dan kewajiban suami istri secara bersama. Baik suami atau istri dapat mempergunakannya dengan persetujuan salah satu pihak. Sesuai dengan isi Pasal 36 ayat (1)Undang-undang Nomor 1

tahun 1974 tentang Perkawinan: ”Mengenai harta bersama, suami atau istri

dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak”.

3. Hadiah atau Warisan

Hadiah yaitu harta yang diperoleh dari suatu pemberian yang timbul karena rasa simpatik terhadap seseorang yang berprestasi atau menghargai seseorang yang disebabkan hal-hal tertentu.5 Hadiah dalam hal ini dapat diartikan juga harta yang didapat oleh pengantin pada waktu pernikahan dilaksanakan. Sedangkan harta yang berasal dari warisan yaitu harta pengoperan yang

berbentuk materil dan imateril dari satu generasi ke generasi selanjutnya.6 Untuk pengurusan harta kekayaan perkawinan yang berasal dari hadiah atau warisan adalah menjadi hak dan kewajiban masing-masing suami atau istri pemilik harta tersebut. Pasangan dari suami atau istri tidak perlu persetujuan dari pasangannya masing-masing apabila melakukan perbuatan hukum terhadap harta tersebut.

Selanjutnya, dengan adanya ikatan perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita, berakibat timbulnya hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban

5

Ibid., h.51.

6

Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana,

(28)

suami istri ini diatur dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 34 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

Suami istri dalam membina kehidupan berumah tangga dan dalam pergaulan masyarakat mempunyai kedudukan hak dan kewajiban yang sama. Dalam lingkungan masyarakat terkecil, suami istri tidak dapat menghindari kewajibannya dalam hal membina rumah tangga. Hal ini disebutkan dalam Pasal 31 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan: ”Hak dan kewajiban suami istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam

kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.”

Meskipun hak dan kwajiban suami istri itu sama, akan tetapi dalam hal pemegang pimpinan keluarga tetap berada pada pihak suami dan istri sebagai ibu rumah tangga.

Sehubung dengan hak dan kewajiban dalam kehidupan berumah tangga seperti tersebut diatas, ada lagi yang tidak kalah pentingnya yaitu yang berkaitan dengan harta kekayaan dalam rumah tangga. Hak dan kewajiban dalam pengurusan harta kekayaan dalam rumah tangga(bestuur) meliputi 3 (tiga) macam harta, yaitu harta bawaan, harta bersama dan harta yang berasal dari hadiah atau warisan. Hal ini telah diatur dalam Pasal 35 dan Pasal 36 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

Pasal 35 berbunyi:

(29)

2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah pengawasan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Pasal 36 berbunyi:

1. Mengenai harta bersama, suami istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak;

2. Mengenai harta bawaan masing-masing suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

Adapun hutang piutang suami istri selama perkawinan, suami istri tersebut bertanggung jawab dengan harta bersama mereka, maupun dengan harta bawaan mereka. Apabila hutang tersebut adalah hutang suami, maka suami yang bertanggung jawab dengan harta bawaannya dan dengan harta bersama. Harta bawaan istri tidak ikut dipertanggung jawabkan untuk hutang suami apabila tidak mencukupi untuk menutupi pembayaran hutang tersebut begitupun sebaliknya dengan hutang istri. Yang menyangkut hutang suami istri setelah perceraian suami istri bertanggung jawab sendiri dengan hartanya.7

Dalam hal kelebihan suami atas istri tidak boleh dijadikan alasan untuk bertindak sekehendak hatinya bahkan tidak boleh merampas hak dan martabat istri, juga tidak dapat dibenarkan menggunakan harta kekayaan milik istri untuk kepentingan dirinya sendiri apalagi digunakan untuk membelanjai kebutuhan atau

7

Syawali, Pengurusan (Bestuur) Atas Harta Kekayaan Perkawinan Menurut KUH Perdata

(30)

keperluan rumah tangga yang menjadi tanggung jawab suami. Namun demikian Islam tetap memberikan kesempatan kepada suami untuk menggunakan dan menikmati harta kekayaan istri dengan syarat ada persetujuan dari istri. Hal ini ditegaskan dalam surat An-Nisa’ (4): 4, berbunyi:



















































Artinya: Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’ (4): 4)

C. Dasar Hukum Pembagian Harta Bersama Pasca Perceraian

Mulai perkawinan dilangsungkan, secara hukum berlaku kesatuan bulat antara harta kekayaan suami istri. Akan tetapi dalam kehidupan berumah tangga tidak selamanya orang hidup harmonis dan bahagia, dikarenakan kedua belah pihak kurang memahami antara hak dan kewajiban masing-masing sebagai suami istri sebagaimana yang telah diuraikan dalam undang-undang yang telah ada, sehingga seringkali dalam praktiknya terjadi percekcokan yang mengakibatkan perceraian.

(31)

Dalam peraturan Perundang-undangan di Indonesia, dasar hukum pembagian harta bersama berdasarkan:

1. Pasal 37 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang berbunyi:

Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut

hukumnya masing-masing”.

Dalam hal ini yang dimaksud dengan ”hukumnya masing-masing”,

adalah hukum agama, hukum adat dan hukum lainya. Contohnya dahulu di Bali azas suami mendapat 2/3 bagian dan istri mendapat 1/3 bagian dari harta bersama apabila terjadi perceraian, azas ini disebut ”sasuhun-sarembat”.

Sedangkan di Jawa Tengah disebut ”sagendong sapikul”.8

2. Pasal 96 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam, yang berbunyi:

Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak

pasangan yang hidup terlama”.

Yang dimaksud dengan ”separuh harta bersama”, berarti apabila

salah satu pasangan meninggal dunia, maka setengah dari harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung menjadi hak pasangan yang hidup terlama sedangkan yang separuhnya lagi dibagikan kepada para ahli waris sehingga menjadi harta waris dari salah satu pasangan yang meninggal.

8

Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat, (Bandung:Alumni, 1973),

(32)

3. Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam, yang berbunyi:

Janda atau Duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta

bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.”

”Sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan”,

maksudnya adalah setiap pasangan yang telah bercerai baik secara cerai talak atau cerai mati masing-masing berhak mendapatkan separuh bagian dari harta bersama sepanjang mereka tidak membuat perjanjian pranikah atau prenuptial agreement. Henry Lee A Weng mengutip pendapat Gatot Supramono dalam

bukunya “Beberapa Segi Hukum dalam Perjanjian Perkawinan”, : Perjanjian

perkawinan adalah perjanjian yang dibuat oleh calon suami dengan calon isteri pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, perjanjian mana dilakukan secara tertulis dan disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah dan isinya juga berlaku terhadap pihak ketiga sepanjang diperjanjikan. Perjanjian pranikah bukan hanya menyangkut masalah harta benda akibat perkawinan, melainkan juga meliputi syarat-syarat/keinginan-keinginan yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak sepanjang tidak melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.9 Perjanjian pra nikah tidak diperbolehkan bila perjanjian tersebut menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, contoh: Perjanjian pra nikah yang isinya, jika suami meninggal dan mereka tidak dikaruniai anak, maka warisan mutlak jatuh pada istri. Padahal dalam

9

Henry Lee A weng, Beberapa Segi Hukum dalam Perjanjian Perkawinan, (Medan,

(33)

Islam, harta suami yang meninggal tanpa dikarunia seorang anak tidak seluruh hartanya jatuh kepada istri, masih ada saudara kandung dari pihak suami ataupun orang tua suami yang masih hidup. Contoh diatas adalah ”Menghalalkan yang haram”. Contoh lainnya : Perjanjian yang isinya,

perkawinan dibatasi waktu atau nikah mut’ah (kawin kontrak), sedangkan

pernikahan tidak boleh diperjanjikan untuk bercerai.

Berdasarkan dari beberapa pasal diatas maka dapat dikemukakan bahwa harta bersama suami istri apabila putus dikarenakan perceraian ataupun kematian maka kepada suami istri masing-masing mendapat setengah bagian dari harta bersama.

D. Konsep Harta Bersama dalam Pandangan Hukum Islam

Dalam kitab-kitab fiqih Imam Mahzab, hanya ditemui pembahasan bahwa masing-masing harta suami istri terpisah tidak ada penggabungan harta setelah pernikahan terjadi, suami hanya berkewajiban menafkahi istri. Dasar hukumnya adalah Al-Qur’an surat An-Nisa’ (4): 32, berbunyi:































































































Artinya: ”Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah

(34)

mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. An-Nisa’ (4): 32)

Dengan demikian harta yang dimiliki istri dalam perkawinan hanya sebatas nafkah yang dia terima dari suaminya dan ditambah mahar yang dia peroleh pada saat awal perkawinan serta hadiah, hibah dan warisan. Berkaitan dengan harta kekayaan perkawinan dalam kitab fiqih imam mahzab ditemukan tentang pembahasan Mata’ul Bait (Perabot Rumah Tangga).

Dalam buku Abdul Manan “Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di

Indonesia”, Hazairin, Anwar Harjono dan Andoerraoef serta diikuti oleh murid-muridnya mengemukakan pendapat pula bahwa agama Islam tidak mengatur tentang harta bersama dalam Al-Qur’an. Oleh karena itu diserahkan sepenuhnya kepada mereka (suami istri) untuk mengaturnya.10

Pengaturan harta kekayaan dalam perkawinan menurut hukum Islam meliputi:

1. Warisan

Warisan adalah harta peninggalan yang ditinggalkan pewaris kepada ahli waris. Ahli waris adalah orang-orang yang berhak menerima harta peninggalan (mewarisi) orang yang meninggal, baik karena hubungan keluarga, pernikahan, maupun karena memerdekakan hamba sahaya (wala’). Kepemilikan warisan dan juga pengurusan warisan tersebut menjadi hak dan kewajiban ahli waris.

10

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana,

(35)

2. Maskawin atau Mahar

Maskawin adalah harta yang diperoleh dari pemberian mempelai

laki-laki kepada mempelai perempuan, disebut juga ”mahar”. 11

Kepemilikan mahar dan juga pengurusan mahar tersebut menjadi hak dan kewajiban sepenuhnya pihak istri.

3. Nafkah

Perkawinan merupakan salah satu sebab yang mewajibkan pemberian nafkah terhadap istri. Firman Allah SWT, dalam surat An-Baqorah : 233, berbunyi:

























































































































































































































































Artinya: ”Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun

penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya

11

(36)

dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Baqarah (2) : 233)

4. Perabot Rumah Tangga (Mata’ul Bait)

Setiap perkawinan tidak terlepas dari adanya perabot rumah tangga, karena merupakan salah satu faktor penunjang suatu rumah tangga. Perabot rumah tangga ini dapat dipergunakan oleh semua anggota keluarga untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Perabot rumah tangga merupakan kewajiban suami untuk menyediakannya, adapun istri tidak berkewajiban untuk menyediakan apapun dalam hal perabot rumah tangga.

Apabila terjadi perselisihan antara suami istri tentang sesuatu perabotan rumah tangga, maka persoalannya harus diteliti terlebih dahulu. Perabotan rumah tangga itu diteliti terlebih dahulu apakah perabotan itu khusus untuk laki-laki, khusus untuk wanita atau dapat dipergunakan secara bersama. Apabila telah diteliti maka penyelesaian perselisihan antara suami istri mengenai perabot rumah tangga dapat diselesaikan dengan 3 (tiga) penyelesaian, yaitu:

a. Menurut Imamiyah dan Imam Hanafi:

(37)

sumpah, kecuali bila terdapat bukti yang menyatakan bahwa barang-barang tersebut betul-betul milik istri;

2) Barang-barang perabot rumah tangga khusus untuk wanita, contohnyapakaian wanita, perhiasan, mesin jahit, alat-alat kecantikan. Barang-barang seperti ini pemiliknya ditentukan berdasarkan pernyataan (klaim) istri disertai sumpah, kecuali bila terdapat bukti yang menyatakan bahwa barang-barang tersebut betul-betul milik suami;

3) Bila barang-barang tersebut dapat dipegunakan secara bersama, contohnya selimut, kasur, furniture dan lain-lain. Barang-barang seperti ini pemiliknya ditentukan berdasarkan pihak yang dapat menunjukkan bukti. Apabila kedua belah pihak tidak dapat menunjukkan bukti kepemilikannya, maka masing-masing pihak diminta bersumpah bahwa barang-barang itu memang miliknya. Sesudah keduanya diminta bersumpah, barang-barang itu dibagi dua. Apabila salah seorang bersedia bersumpah sedang seorang lagi tidak, maka barang-barang itu diberikan kepada pihak yang bersumpah. b. Menurut Imam Syafi’i bahwa barang-barang yang bisa dipakai bersama,

ataupun barang-barang yang hanya dipakai oleh salah satu pihak adalah milik bersama.12

12

(38)

Menurut Wirjono Prodjodikoro dalam hal harta bersama, hukum Islam paling sederhana mengaturnya, tidak rumit, dan mudah untuk dipraktikkannya. Hukum Islam tidak mengenal adanya percampuran harta milik suami dengan harta milik istri, masing-masing pihak bebas mengatur harta milik masing-masing dan tidak diperkenankan adanya campur tangan salah satu pihak dalam pengaturannya. Ikut campur salah satu pihak hanya bersifat nasihat saja, bukan penentu dalam pengelolaan harta milik pribadi suami atau istri tersebut.13

Meskipun hukum Islam tidak mengenal adanya percampuran harta pribadi masing-masing ke dalam harta bersama suami istri tetapi dianjurkan adanya saling pengertian antara suami istri dalam mengelola harta pribadi tersebut. Apabila dikhawatirkan akan timbul hal-hal yang tidak diharapkan, maka hukum Islam memperbolehkan diadakan perjanjian perkawinan (prenuptial agreement) sebelum pernikahan dilaksanakan.

Apa yang disebut harta bersama dalam rumah tangga, pada mulanya didasarkan atas ’urf atau adat istiadat dalam sebuah negeri yang tidak memisahkan antara hak milik suami dan istri. Harta bersama tidak ditemukan dalam masyarakat Islam yang adat istiadatnya memisahkan antara harta suami dan harta istri dalam sebuah rumah tangga. Dalam masyarakat Islam seperti ini, hak dan kewajiban dalam rumah tangga, terutama hal-hal yang berhubungan dengan pembelanjaan, diatur secara ketat.14

13

Ibid, h.111.

14

Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer Analisis

(39)

Masyarakat Islam di Indonesia memiliki adat istiadat yang tidak memisahkan harta suami dan harta istri dalam sebuah rumah tangga. Dengan demikian, seluruh harta yang diperoleh setelah terjadinya akad nikah, dianggap harta bersama suami istri tanpa mempersoalkan jerih payah siapa yang lebih banyak dalam usaha memperoleh harta itu. Dalam rumah tangga seperti ini, rasa kebersamaan lebih menonjol, dan menganggap akad nikah mengandung persetujuan kongsi dalam membina kehidupan rumah tangga. Maka apabila terjadi perceraian, terjadilah persoalan pembagian harta bersama.

Sayuti Thalib menulis dalam bukunya yang berjudul ”Hukum

Kekeluargaan Indonesia”, menyebutkan bahwa:15

”Walaupun demikian telah dibuka kemungkinan syirkah atas hartakekayaan

suami istri itu secara resmi dan menurut cara-cara tertentu. Suami istri dapat mengadakan syirkah yaitu percampuran harta kekayaan yang diperoleh suami dan atau istri selama adanya perkawinan atas usaha suami atau istri sendiri-sendiri, atau atas usaha mereka bersama-sama. Begitupun mengenai harta kekayaan usaha sendiri-sendiri, sebelum perkawinan dan harta-harta yang berasal bukan dari usaha salah seorang mereka atau bukan dari usaha mereka berdua, tetapi berasal dari pemberian atau warisan atau lainnya yang khusus teruntuk mereka masing-masing, dapat tetap menjadi milik masing-masing. Baik yang diperolehnya sesudah mereka berada dalam ikatan suami istri tetapi dapat pula mereka

syirkahkan.”

Menurut M. Yahya Harahap dalam buku Abdul Manan “Aneka Masalah

Hukum Perdata Islam Di Indonesia”, bahwa sudut pandang hukum Islam

terhadap harta bersama ini adalah pencaharian suami istri semestinya masuk dalam rub’ul mu’amalah, tetapi ternyata secara khusus tidak dibicarakan. Oleh

15

Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: Hecca Pub, 2005), ed. 1, cet.2,

(40)

karena itu masalah pencarian bersama suami istri adalah termasuk perkongsian atau syirkah.16

Secara etimilogi, asy-syirkah berarti pencampuran, yaitu pencampuran antara sesuatu dengan yang lainnya, sehingga sulit dibedakan. Secara terminologi, pada dasarnya definisi yang dikemukakan oleh para ulama fiqih hanya berbeda secara redaksional sedangkan esensi yang terkandung di dalamnya sama, yaitu ikatan kerja sama antara orang-orang yang berserikat dalam hal modal dan keuntungan.17

Syirkah secara umum terbagi dalam 3 (tiga) bentuk, yaitu:

1. Syirkah Ibahah, yaitu : Persekutuan hak semua oranguntuk dibolehkan menikmati manfaat sesuatu yang belum ada di bawah kekuasaan seseorang; 2. Syirkah Amlak (Milik), yaitu : Persekutuan antara dua orang atau lebih untuk

memiliki suatu benda. Syirkah Amlak (Milik) terbagi dua yaitu:

a. Syirkah Milik Jabriyah, Persekutuan antara dua orang atau lebih untuk memiliki suatu benda yang terjadi tanpa keinginan yang bersangkutan, seperti persekutuan ahli waris;

b. Syirkah Milik Ikhtiyariyah, Persekutuan antara dua orang atau lebih untuk memiliki suatu benda yang terjadi atas keinginan para pihak yang bersangkutan.

16

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana,

2008), ed. 1, cet.2, h.111.

17

Gemala Dewi, Wirdyaningsih dan Yeni Salma Barlinti, Hukum Perikatan Islam Di

(41)

3. Syirkah Akad, yaitu : Persekutuan antara dua orang atau lebih yang timbul karena adanya perjanjian. Syirkah akad terbagi menjadi 4 (empat), yaitu : 4. Syirkah Amwal, yaitu persekutuan antara dua orang atau lebih dalam

modal/harta. Syirkah ini terbagi menjadi 2 (dua), yaitu:

a. Syirkah al’Inan, adalah persetujuan antara dua orang atau lebih untuk

memasukkan bagian tertentu dari modal yang akan diperdagangkan dengan ketentuan keuntungan dibagi diantara para anggota sesuai dengan kesepakatan bersama, sedangkan modal masing-masing tidak harus sama; b. Syirkah al Mufawadhah, adalah persekutuan antara dua orang atau lebih

dalam modal dan keuntungannya dengan syarat besar modal masing-masing yang disertakan harus sama, hak melakukan tindakan hukum terhadap harta syirkah harus sama dan setiap anggota adalah penanggung dan wakil dari anggota lainnya.

5. Syirkah ’Amal/’Abdan (Persekutuan Kerja/Fisik), yaitu Perjanjian persekutuan

antara dua orang atau lebih untuk menerima pekerjaan dari pihak ketiga yang akan dikerjakan bersama dengan ketentuan upah dibagi diantara para anggotanya sesuai dengan kesepakatan mereka;

6. Syirkah Wujuh, yaitu Persekutuan antara dua orang atau lebih dengan modal harta dari pihak luar untuk mengelola modal bersama-sama tersebut dengan membagi keuntungan sesuai dengan kesepakatan bersama. Syirkah ini berdasarkan kepercayaan yang bersifat kredibilitas.18

18

Tayaquddin An Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam,

(42)

7. Syirkah Mudharabah (Qirah), yaitu berupa kemitraan terbatas adalah perseroan antara tenaga dan harta seseorang (pihak pertama/supplier/pemilik modal/mudharib) memberikan haratnya kepada pihak lain (pihak kedua/pemakai/pengelola/dharib) yang digunakan untuk berbisnis, dengan ketentuan bahwa keuntungan (laba) yang diperoleh akan dibagi oleh masing-masing pihak sesuai dengan kesepakatan. Bila terjadi kerugian maka ketentuannya berdasarkan syara’ bahwa kerugian dalam mudharabah

dibebankan kepada harta, dan tidak dibebankan sedikitpun kepada pengelola, yang bekerja.19

Secara logika perkongsian itu boleh karena merupakan jalan untukmendapatkan karunia Allah, seperti dalam firman Allah surat Al-Jum’ah ayat 10. Adapun bunyi ayat tersebut yaitu :

























































Artinya:"Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebarlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah". (QS. Al-Jumuah (62) : 10)

Mengingat perkongsian itu banyak macamnya terjadilah selisih pendapat tentang kebolehannya. Perkongsian yang menurut ulama tidak diperbolehkan yaitu yang mengandung penipuan. Dalam kaitannya dengan harta kekayaan

disyari’atkan peraturan mengenai muamalat. Karena harta bersama hanya

19

(43)

dikenaldalam masyarakat yang adat istiadatnya mengenal percampuran harta kekayaan, maka untuk menggali hukum mengenai harta bersama digunakan qaidah kulliyah yang berbunyi :

Artinya: “Adat kebiasaan itu bisa menjadi hukum

Menurut Muhammad al-Zarqa (w.1357 H), adat dapat dibagi menjadi ke dalam dua kelompok, yaitu: ’ammah dan khassah. Adat ’ammah (adat umum) maksudnya adalah suatu perbuatan atau prilaku yang berlaku umum di seluruh negara, sedangkan ’adat khassah (adat khusus) maksudnya adalah suatu perbuatan atau prilaku yang berlaku umum di sebuah negara. Dengan demikian, berlaku umum merupakan syarat diperhitungkannya adat, baik adat yang umum maupun yang khusus. Menurutnya, apabila tidak ada nash (al-Qur’an dan Sunnah) yang menentangnya, maka tidak perlu diperbincangkan lagi untuk diperhitungkan,

sehingga adat tersebut dapat dijadikan hujjah.20

Qaidah Al-„Adatu Muhakkamah dapat digunakan dengan syarat-syarat

tertentu, yaitu:21

1. Tidak bertentangan dengan syari’at;

2. Tidak menyebabkan kemafsadatan dan tidak menghilangkan kemaslahatan; 3. Telah berlaku pada umumnya umat muslim;

20

Ade Dedi Rohayana, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah Kaidah-Kaidah Hukum Islam, (Jakarta: Gaya

Media Pratama, 2008), h.218.

21

(44)

4. Tidak berlaku dalam ibadah mahdlah;

5. Urf tersebut sudah memasyarakat ketika akan ditetapkan hukumnya; 6. Tidak bertenntangan dengan yang diungkapkan dengan jelas.

Dalam hal ini, harta bersama dalam perkawinan itu digolongkan dalam bentuk syirkah abdan dan syirkah mufawadlah. Adanya syirkah antara suami istri sejauh mengenai harta yang akan diperoleh atas usaha selama dalam ikatan perkawinan itu, berdasarkan keadaan masyarakat itu sendiri seperti adanya kenyataan:22

1. Kesempatan istri mencari kekayaan dan berusaha sendiri sangat terbatas dibandingkan dengan kesempatan seorang suami;

2. Terselenggaranya dengan baik bagian pekerjaan yang dipegang oleh istri dalam suatu rumah tangga yang merupakan pekerjaan yang cukup berat, merupakan sebab langsung bagi suami untuk dapat menguruskan pekerjaan dan usahanya jauh dari rumah mereka dengan perasaan tenang dan sungguh-sungguh.

Dari penjelasan diatas, syirkah dalam hal pembagian harta bersama merupakan bentuk kerjasama antara suami dan istri untuk membangun sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah, warohmah termasuk didalamnya harta dalam perkawinan.

Dalam kitab-kitab fiqih disebutkan hanya secara garis besar saja, sehingga menimbulkan penafsiran yang berbeda terhadap suatu masalah yang dihadapi dalam kenyataan. Namun demikian para pakar hukum Islam di Indonesia

22

Herlini Amran, “Fiqih Wanita Harta Istri = Harta Bersama?”, Ummi, No. 8/XV,

(45)
(46)

37

PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN

A. Deskripsi Pengadilan Agama Jakarta Selatan

1. Dasar Hukum Pembentukan Pengadilan Agama Jakarta Selatan1

Pengadilan Agama Jakarta Selatan sebagai salah satu instansi yangmelaksanakan tugasnya memiliki dasar hukum dan landasan kerja sebagai berikut:

a. Undang-undang Dasar 1945 Pasal 24;Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970; Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ;

b. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 ; c. Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 ; d. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 ; e. Peraturan/instruksi/Edaran Mahkamah Agung RI ; f. Intruksi Dirjen Bimas Islam/ Bimbingan Islam ;

g. Keputusan Menetri Agama Agama RI. Nomor 69 Tahun 1963, tentang Pembentukan Pengadilan Agama Jakarta Selatan ;

h. Peraturan-peraturan lain yang berhubungan dengan tata Kerja dan Wewenang Pengadilan Agama.

1

(47)

2. Sejarah Pembentukan Pengadilan Agama Jakarta Selatan2

Pengadilan Agama Jakarta Selatan dibentuk berdasarkan surat keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 1963. Pada mulanya Pengadilan Agama di wilayah DKI Jakarta hanya terdapat tiga kantor yang dinamakan Kantor Cabang, yaitu:

a. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Utara. b. Kantor Pengadilan Agama Jakarta Tengah.

c. Pengadilan Agama Istimewa Jakarta Raya sebagai Induk.

d. Semua Pengadilan Agama tersebut di atas termasuk Wilayah Hukum Cabang Mahkamah Islam Tinggi Surakarta. Kemudian setelah berdirinya Cabang Mahkamah Islam Tinggi Bandung berdasarkan surat keputusan Menteri Agama Nomor 71 tahun 1976 tanggal 16 Desember 1976. Semua Pengadilan Agama di Propinsi Jawa Barat termasuk Pengadilan Agama yang berada di Daerah Ibu Kota Jakarta Raya berada dalam Wilayah Hukum Mahkamah Islam Tinggi Cabang Bandung. Dalam perkembangan selanjutnya istilah Mahkamah Islam Tinggi menjadi Pengadilan Tinggi Agama (PTA).

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 61 tahun 1985 Pengadilan Tinggi Agama Surakarta dipindah di Jakarta, akan tetapi realisasinya baru terlaksana pada tanggal 30 Oktober 1987 dan secara otomatis Wilayah Hukum Pengadilan Agama di wilayah DKI Jakarta adalah menjadi Wilayah Hukum Pengadilan Tinggi Agama Jakarta.

2

(48)

3. Perkembangan dari masa ke masa3

Pada tahun 1967, terbentuklah kantor Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang merupakan cabang dari Pengadilan Agama Istimewa Jakarta Raya yang berkantor di jalan Otista Raya Jakarta Timur. Terbentuknya kantor Pengadilan Agama Jakarta Selatan ini dikarenakan tuntutan masyarakat Jakarta Selatan yang wilayahnya cukup luas sehingga keadaan kantor ketika itu masih dalam keadaan darurat yaitu menempati gedung bekas kantor Kecamatan Pasar Minggu, saat ini dikenal dengan gang Pengadilan Agama Pasar Minggu Jakarta Selatan dan pimpinan kantor dipegang olehH. Polana.Penanganan kasus-kasus hanya berkisar perceraian kalaupun ada tentang warisan masuk kepada Komparisi itu pun dimulai tahun 1969 kerjasama dengan Pengadilan Negeri yang ketika itu dipimpin oleh Bapak Bismar Siregar, S.H.

Sebelum tahun 1969 pernah pula membuat fatwa waris akan tetapi hal itu ditentang oleh pihak keamanan karena bertepatan dengan bertentangan dengan kewenangannya sehingga sempat beberapa orang termasuk Pak Hasan Mughni ditahan karena Penetapan Fatwa Waris sehingga sejak itu Fatwa Waris ditambah dengan kalimat “Jika ada harta peninggalan”.

Pada tahun 1976 gedung Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Selatan pindah ke Blok D Kebayoran Baru Jakarta Selatan dengan menempati serambi Masjid Syarief Hidayatullah dan sebutan Kantor Cabang pun dihilangkan menjadi Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan pada masa itu diangkat pula beberapa Hakim honorer yang di antaranya adalah Bapak H. Ichtijanto, S.A., S.H.

3

(49)

Pada bulan September 1979 Kantor Pengadilan Agama Jakarta Selatan pindah ke gedung baru di Jl. Ciputat Raya Pondok Pinang dengan menempati gedung baru dengan tanah yang masih menumpang pada areal tanah PGAN Pondok Pinang.

Pada tahun 1979 pada saat Pengadilan Agama Jakarta Selatan dipimpin oleh Bapak H. Alim BA diangkat pula Hakim-Hakim honorer untuk menangani perkara-perkara yang masuk, mereka diantaranya: KH. Ya’kub, KH. Muhdats Yusuf, Hamim Qarib, Rasyid Abdullah, Ali Imran, Drs.H. Noer Chazin.

(50)

Pada masa perkembangannya selanjutnya tahun 2000 ketika kepemimpinan dijabat oleh Bapak Drs. H. Zainuddin Fajari, S.H. pembenahan-pembenahan semua bidang, baik fisik maupun non fisik diadakan sistem komputerisasi dengan online komputer, dan ini terus dibenahi sampai sekarang oleh Ketua Pengadilan Agama Bapak Drs. H. Syed Usman, S.H. Yang tujuannya adalah untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat pencari keadilan dan menciptakan peradilan yang mandiri dan berwibawa.

Perkembangannya selanjutnya tahun 2007-2008 ketika kepemimpinan dijabat oleh Bapak Drs. H. A. Choiri, S.H., M.H. pembenahan-pembenahan semua bidang, baik fisik maupun non fisik sudah terintegrasi dengan online komputer, pada periode ini juga Pengadilan Agama Jakarta Selatan berhasil pengadaan tanah untuk bangunan gedung baru seluas + 6000 m2 yang terletak di Jl. Harsono RM, Ragunan, Jakarta Selatan.

Selanjutnya sejak tahun 2008 telah dibangun gedung baru yang sesuai dengan purwarupa Mahkamah Agung RI. Pembangunan dilaksanakan 2 tahap, tahap pertama tahun 2008 dan tahap kedua tahun 2009 pada saat itu Pengadilan Agama Jakarta Selatan diketuai oleh Bapak Drs. H. Pahlawan Harahap, S.H., M.A.

(51)

perkantoran di gedung baru tersebut, pada saat itu Ketua Pengadilan Agama Jakarta Selatan dijabat olehDRS. H. Ahsin A.Hamid,S.H.

Sejak menempati gedung baru yang cukup megah dan representatif tersebut di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dilakukan pembenahan dalam segala hal, baik dalam hal pelayanan terhadap pencari keadilan maupun dalam hal peningkatkan T.I. (Teknologi Informasi) yang sudah semakin canggih disertai dengan program-program yang menunjang pelaksanaan tugas pokok, seperti program SIADPA(Sistem Informasi Administrasi Perkara Pengadilan Agama) yang sudah berjalan dan terintegrasi dengan TV Media Center, Touch Screen (KIOS-K) serta beberapa fitur tambahan dari Situs Web http://www.pa-jakartaselatan.go.id

B. Proses Pemeriksaan Penyelesaian Harta Bersama di Pengadilan Agama Jakarta Selatan

Proses pemeriksaan penyelesaian Harta Bersama di Pengadilan Agama Jakarta Selatan sama halnya dengan proses pemeriksaan perkara perdata tertentu khususnya untuk yang beragama Islam diberbagai Pengadilan Agama di Indonesia.4

Sebelum proses pemeriksaan penyelesaian perkara harta bersama berjalan hakim memeriksa surat permohonan atau surat gugatan terlebih dahulu. Hakim memeriksa apakah isi surat permohonan atau surat gugatan itu sudah memenuhi

4

(52)

beberapa hal, yaitu identitas para pihak, posita dan fundamentum petendi, petitum atau tuntutan, serta memeriksa yuridiksi relatif surat gugatan atau surat permohonan yang diajukan apakah telah sesuai dengan kekuasaan dan kewenangan Peradilan.

Apabila telah melewati tahap diatas hakim tetap berkewajiban mendamaikan kedua belah pihak walaupun perkara tersebut perihal harta bersama.Apabila terjadi kemufakatan antara keduanya maka proses pemeriksaannya dihentikan dan gugatan tersebut dicabut. Apabila hakim berhasil mendamaikan, gugatan tersebut umumnya dicabut maka dibuatlah akta perdamaian dan kedua belah pihak dihukum untuk menaati perdamaian tersebut, kekuatannya sama dengan putusan, mengikat dan dapat dieksekusi.5

Sedangkan apabila hakim tidak berhasil mendamaikan maka proses persidangan tetap berjalan yang berlanjut keperihal jawaban tergugat, replik, duplik serta pembuktian. Hakim wajib untuk memeriksa satu demi satu benda-benda yang disebutkan dalam dasar tuntutan/petitum apakah benar-benar ada hubungan hukumnya sehingga dapat dinyatakan menjadi harta bersama dan berusaha menemukan peristiwa (feitvender, fact finding), sehingga diharapkan dapat menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya. Pemeriksaan pembuktian ini adalah berdasarkan bukti surat, bukti saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah. Dalam perihal perkara harta bersama hakim juga melakukan pemeriksaan

5

(53)

setempat (descente), yaitu pemeriksan mengenai perkara-perkara oleh hakim karena jabatannya yang dilakukan diluar gedung atau tempat kedudukan pengadilan agar hakim dengan melihat sendiri memperoleh gambaran atau keterangan yang memberi kepastian tentang peristiwa-peristiwa yang menjadi sengketa.6

Dalam perkara harta bersama ini, pemeriksaan setempat yang dilakukan oleh hakim ketua persidang

Gambar

Grafika, 2008.

Referensi

Dokumen terkait

Terjemahan: Iaitu, sesungguhnya Dia Yang Maha Tinggi mencipta tempat, maka [ini bermakna] Dia telah wujud sebelum tempat itu, berdasarkan kepada [analogi:] sesungguhnya

Laskar Umat Islam Surakarta (LUIS) clan Forum Komunikasi Aktifis Masjid (FKAM) adalah di antara beberapa kelompok radikal yang gencar melakukan sweeping terhadap lokasi

Ketentuan mengenai harta kekayaan dalam perkawinan yaitu Pasal 35 sampai dengan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 85 sampai

Penelitian dilakukan dengan mengukur tingkat kepuasan nasabah berdasarkan 4 variabel penting yaitu ketergunaan (usability), kualitas informasi (information quality),

laporan kerja praktek pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Sumedang yaitu. dimulai dari bulan Juli 2010 sampai dengan bulan

Kepraktisan media juga dapat dilihat dari analisis deskriptif terhadap respon mahasiswa melalui kuesioner dengan rincian sebagai berikut: (1) perasaan mereka terhadap

Model pengambilan keputusan untuk pemilihan presiden-wakil presiden merupakan model keputusan banyak kriteria dimana setiap kriteria yang digunakan kabur atau tidak

Dengan dilakukannya pemekaran dan pembentukan Kecamatan baru dari beberapa Kecamatan yang sudah ada di Kota Depok, maka tugas umum pemerintahan di Kecamatan sebagaimana