• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Potensi Cadangan Karbon Pada Pengusahaan Hutan Rakyat (Studi Kasus: Hutan Rakyat Desa Dengok, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunungkidul)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Potensi Cadangan Karbon Pada Pengusahaan Hutan Rakyat (Studi Kasus: Hutan Rakyat Desa Dengok, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunungkidul)"

Copied!
240
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN POTENSI CADANGAN KARBON

PADA PENGUSAHAAN HUTAN RAKYAT

(Studi Kasus: Hutan Rakyat Desa Dengok,

Kecamatan Playen, Kabupaten Gunungkidul)

SHOLEH AMINUDIN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

i

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Potensi Cadangan Karbon Pada Pengusahaan Hutan Rakyat (Studi Kasus : Hutan Rakyat Desa Dengok, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunungkidul) adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2008

Sholeh Aminudin

(3)

ii

ABSTRACT

SHOLEH AMINUDIN. Study on Carbon Stock Potency of Community Forest Business (Case Study: Community Forest of Dengok Village, Playen District, Gunungkidul Regency). Supervised by ANDRY INDRAWAN and HARIYADI.

The research was conducted at community forest of Dengok Village, Playen District, Gunungkidul Regency. The community forest was certified under the scheme of Sustainable Community Based Forest Management (PHBML) Indonesian Ecolabelling Institute (LEI) by 20 September 2006 and valid through 20 September 2021 by PT TUV International Indonesia. Destructive method was implemented to teak, understorey and litter. Fifteen teak tree were destructed consist of 6 trees of diameter class 5–14 cm, 6 trees of diameter class 15–24 cm, and 3 trees of diameter class 25 cm- up. Allometric equation by Brown (1997) and model that developed by Ketterings et. al. (2001) were applied in counting of teak biomass as a comparator. Allometric equation by Brown (1997) was applied to compute tree biomass of community forest stand beside teak tree.

The research showed the relation between diameter breast high of stem and teak biomass in the form of allometric equation as follows Wstem = 0.166 D 2.1757

(R2 = 0.8581), Wbranch = 0.0789 D2.1785 (R2 = 0.8514), Wleaf = 0.0498 D 2.1955

(R2 = 0.7206), Wshoot = 0.3696 D 2.1253 (R2 = 0.9148), Wroot = 0.0369 D 2.1671 (R2 =

0.9128), and Wtotal = 0.4117 D 2.13 (R2 = 0.9254). The allometric equation for total

carbon prediction is Ctotal = 0.1986 D 2.13 (R2 = 0.9524). The highest teak biomass

potency at community forest of Dengok Village is in part of stem (50.45 %), then followed by branch (23.34 %), leaf (15.46 %), root (10.35 %), and the smallest in flower (0.40 %). The highest carbon content of teak tree at community forest of Dengok Village is in stem (51.91 %), followed by branch (23.14 %), leaf (13.78 %), root (10.66 %), and the smallest in flower (0.51 %). The carbon stock of community forest of Dengok Village is as high as 115.4 ton/ha distributed in carbon pool of tree 66.3 ton/ha, soil 46.7 ton/ha, understorey 2.1 ton/ha, and litter 0.3 ton/ha. The highest carbon stock from overall carbon pool is in tree (57.4 %), the rest around 40.5 % in soil, 1.8 % in understorey and 0.3 % in litter.

(4)

iii

RINGKASAN

SHOLEH AMINUDIN. Kajian Potensi Cadangan Karbon Pada Pengusahaan Hutan Rakyat (Studi Kasus : Hutan Rakyat Desa Dengok, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunungkidul). Di bawah bimbingan ANDRY INDRAWAN dan HARIYADI.

Pembangunan hutan rakyat di lahan marginal, selain dapat memelihara kondisi tanah, konservasi ketersediaan air dan berbagai manfaat ekonomis lainnya, juga dapat menjadi penyerap karbon yang efektif. Sebagai salah satu tipe ekosistem daratan, hutan merupakan salah satu penyerap CO2 yang cukup

potensial. Pohon-pohon di dalam hutan mengabsorpsi CO2 selama proses

fotosintesis dan menyimpannya sebagai materi organik dalam biomas pohon. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) membangun persamaan alometrik tanaman jati untuk menduga biomas pada tegakan hutan rakyat, dan (2) menentukan cadangan karbon pada pengusahaan hutan rakyat.

Penelitian dilaksanakan di hutan rakyat Desa Dengok, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunungkidul. Hutan rakyat telah mendapatkan sertifikat dalam skema Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat Lestari (PHBML) Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) pada 20 September 2006 dan berlaku sampai 20 September 2021 oleh PT TUV International Indonesia.

Pengumpulan data biomas dan karbon tanaman jati, tumbuhan bawah dan serasah dilakukan dengan metode destruktif. Penebangan dilakukan terhadap 15 pohon terdiri dari 6 pohon pada kelas diameter 5–14 cm, 6 pohon pada kelas diameter 15–24 cm, dan 3 pohon pada kelas diameter 25 cm- up. Sebagai pembanding, model alometrik Brown (1997) dan model yang dikembangkan oleh Ketterings et. al. (2001) digunakan dalam penghitungan biomas jati. Model pembanding ini digunakan dengan alasan kemudahan dalam aplikasi, bisa meminimalkan kesalahan pengukuran dan cukup sederhana. Adapun kelemahan model adalah kurang bisa mengakomodir biomas bawah tanah. Namun demikian, penghitungan biomas bawah tanah akan menggunakan rasio akar-tajuk yang telah direkomendasikan oleh IPCC, yaitu sebesar 0.22–0.33 dengan rata-rata 0.24. Penghitungan biomas pohon penyusun hutan rakyat selain jati dengan persamaan alometrik Brown (1997). Pembuatan model biomas pohon jati diawali dengan pemilihan beberapa persamaan alometrik dengan menggunakan variabel bebas yang sama pada beberapa persamaan model yang berbeda. Variabel- variabel bebas yang digunakan antara lain: diameter setinggi dada (D), tinggi total pohon (H), tinggi bebas cabang (Hb), kuadrat diameter dan tinggi total (D2H), dan volume pohon (V). Model dipilih berdasarkan kriteria meliputi kesesuaian terhadap fenomena dan keterandala n model. Langkah terakhir adalah uji keabsahan model dengan metode jackknife.

(5)

iv jenis lain seperti akasia (Acacia auriculiformis), mahoni (Sweitenia mahagony), munggur (Samanea saman) dan nangka (Arthocarpus integra). Berdasarkan hasil analisis vegetasi, jati memiliki nilai INP tertinggi (135.73) jika dibandingkan dengan nilai INP jenis lainnya. Selanjutnya mahoni, kelapa, dan akasia juga merupakan jenis-jenis yang memiliki INP tinggi setelah jati, masing- masing 35.71, 25.86, dan 18.63.

Penelitian menghasilkan persamaan alometrik hubungan diameter batang dan biomas jati adalah Wbatang = 0.166 D 2.1757 (R2 = 0.8581), Wcabang = 0.0789

D2.1785 (R2 = 0.8514), Wdaun = 0.0498 D 2.1955(R2 = 0.7206), Wtajuk = 0.3696 D 2.1253

(R2 = 0.9148), Wakar = 0.0369 D 2.1671 (R2 = 0.9128), Wtotal = 0.4117 D 2.13 (R2

= 0.9254). Persamaan alometrik untuk pendugaan kandungan karbon total adalah Ctotal = 0.1986 D 2.13 (R2 = 0.9524).

Perhitungan potensi biomas jati menunjukkan bahwa hasil perhitungan biomas dengan persamaan yang berhasil dibangun pada penelitian ini cenderung menurun pada kelas diameter 25 cm-up bila dibandingkan dengan dua model alometrik pembanding. Namun hasil secara keseluruhan menunjukkan bahwa potensi biomas dugaan penelitian berada di antara hasil perhitungan dengan model Brown (1997) dan model yang dikembangkan Ketterings et. al. (2001). Model Ketterings et. al. (2001) merupakan adaptasi model Brown (1997), dan menggunakan variabel berat jenis kayu untuk mereduksi error dalam perhitungan biomas.

Potensi biomas terbesar pohon jati di hutan rakyat Desa Dengok terdapat di bagian batang (50.45 %), kemudian diikuti oleh bagian cabang (23.34 %), bagian daun (15.46 %), bagian akar (10.35 %), dan terkecil terdapat di bunga (0.40 %). Proporsi kandungan karbon terbesar pohon jati di hutan rakyat Desa Dengok terdapat di bagian batang (51.91 %), kemudian diikuti oleh bagian cabang (23.14 %), bagian daun (13.78 %), bagian akar (10.66 %), dan terkecil terdapat di bunga (0.51 %). Cadangan karbon hutan rakyat Desa Dengok sebesar 115.4 ton/ha dengan pool karbon pohon 66.3 ton/ha, tanah 46.7 ton/ha, tumbuhan bawah 2.1 ton/ha, dan serasah 0.3 ton/ha. Dari keseluruhan pool karbon hutan rakyat Desa Dengok, cadangan karbon terbesar terdapat di pohon (57.4 %), sisanya sebanyak 40.5 % terdapat di tanah, 1.8 % terdapat di tumbuhan bawah, dan sebanyak 0.3 % terdapat di serasah.

(6)

v © Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008

Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritis atau tinjauan suatu masalah

b. pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk

(7)

vi

KAJIAN POTENSI CADANGAN KARBON

PADA PENGUSAHAAN HUTAN RAKYAT

(Studi Kasus: Hutan Rakyat Desa Dengok, Kecamatan Playen,

Kabupaten Gunungkidul)

SHOLEH AMINUDIN

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(8)

vii Rakyat (Studi Kasus: Hutan Rakyat Desa Dengok,

Kecamatan Playen, Kabupaten Gunungkidul) Nama : Sholeh Aminudin

NIM : P052050031

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, M.S. Dr. Ir. Hariyadi, M.S.

Ketua Anggota

Diketahui Ketua Program Studi Pengelolaan

Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodipuro, M.S.

(9)

viii Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis berjudul “Kajian Potensi Cadangan Karbon Pada Pengusahaan Hutan Rakyat (Studi Kasus : Hutan Rakyat Desa Dengok, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunungkidul) ”.

Laporan tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang setinggi- tingginya kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, M.S. selaku ketua komisi pembimbing atas segala arahan dan bimbingan yang telah diberikan.

2. Dr. Ir. Hariyadi, M.S. selaku anggota komisi pembimbing atas segala arahan dan bimbingan yang telah diberikan.

3. Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S. selaku dosen penguji luar komisi atas saran dan pengarahan yang diberikan.

4. Dr. San Afri Awang, Sukdan, S.Hut dan segenap staf Pusat Kajian Hutan Rakyat, UGM atas bantuan yang telah diberikan.

5. Ekswan Novianto, S.Hut., beserta pimpinan dan seluruh staf Yayasan Shorea atas bantuannya selama penelitian di lapangan.

6. Segenap pengurus dan anggota Paguyuban Hutan Rakyat Desa Dengok, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunungkidul, atas bantuan yang diberikan selama penelitian di lapangan.

7. Dr. Imam Soeseno dan Ir. Nunik A. Heranita selaku pimpinan PT Eos Consultans atas ijin dan bantuan biaya pendidikan yang diberikan. 8. Yayasan Tanoto Foundation atas bantuan biaya pendidikan yang telah

diberikan.

(10)

ix selama penulisan laporan tesis ini.

11.Saudara Jajang Ruhyana atas bantuannya dalam analisis laboratorium. 12.Istri saya tercinta, Ekandari Sulistyaningsih, M.A. dan anak kami

tersayang Aditya Esa Naveda atas kasih sayang dan dorongan motivasi kepada penulis.

13.Semua pihak yang telah membantu kelancaran laporan tesis ini yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu.

Akhirnya penulis berharap semoga laporan ini bermanfaat bagi yang memerlukannya.

Bogor, 1 Agustus 2008

(11)

KAJIAN POTENSI CADANGAN KARBON

PADA PENGUSAHAAN HUTAN RAKYAT

(Studi Kasus: Hutan Rakyat Desa Dengok,

Kecamatan Playen, Kabupaten Gunungkidul)

SHOLEH AMINUDIN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

i

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Potensi Cadangan Karbon Pada Pengusahaan Hutan Rakyat (Studi Kasus : Hutan Rakyat Desa Dengok, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunungkidul) adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2008

Sholeh Aminudin

(13)

ii

ABSTRACT

SHOLEH AMINUDIN. Study on Carbon Stock Potency of Community Forest Business (Case Study: Community Forest of Dengok Village, Playen District, Gunungkidul Regency). Supervised by ANDRY INDRAWAN and HARIYADI.

The research was conducted at community forest of Dengok Village, Playen District, Gunungkidul Regency. The community forest was certified under the scheme of Sustainable Community Based Forest Management (PHBML) Indonesian Ecolabelling Institute (LEI) by 20 September 2006 and valid through 20 September 2021 by PT TUV International Indonesia. Destructive method was implemented to teak, understorey and litter. Fifteen teak tree were destructed consist of 6 trees of diameter class 5–14 cm, 6 trees of diameter class 15–24 cm, and 3 trees of diameter class 25 cm- up. Allometric equation by Brown (1997) and model that developed by Ketterings et. al. (2001) were applied in counting of teak biomass as a comparator. Allometric equation by Brown (1997) was applied to compute tree biomass of community forest stand beside teak tree.

The research showed the relation between diameter breast high of stem and teak biomass in the form of allometric equation as follows Wstem = 0.166 D 2.1757

(R2 = 0.8581), Wbranch = 0.0789 D2.1785 (R2 = 0.8514), Wleaf = 0.0498 D 2.1955

(R2 = 0.7206), Wshoot = 0.3696 D 2.1253 (R2 = 0.9148), Wroot = 0.0369 D 2.1671 (R2 =

0.9128), and Wtotal = 0.4117 D 2.13 (R2 = 0.9254). The allometric equation for total

carbon prediction is Ctotal = 0.1986 D 2.13 (R2 = 0.9524). The highest teak biomass

potency at community forest of Dengok Village is in part of stem (50.45 %), then followed by branch (23.34 %), leaf (15.46 %), root (10.35 %), and the smallest in flower (0.40 %). The highest carbon content of teak tree at community forest of Dengok Village is in stem (51.91 %), followed by branch (23.14 %), leaf (13.78 %), root (10.66 %), and the smallest in flower (0.51 %). The carbon stock of community forest of Dengok Village is as high as 115.4 ton/ha distributed in carbon pool of tree 66.3 ton/ha, soil 46.7 ton/ha, understorey 2.1 ton/ha, and litter 0.3 ton/ha. The highest carbon stock from overall carbon pool is in tree (57.4 %), the rest around 40.5 % in soil, 1.8 % in understorey and 0.3 % in litter.

(14)

iii

RINGKASAN

SHOLEH AMINUDIN. Kajian Potensi Cadangan Karbon Pada Pengusahaan Hutan Rakyat (Studi Kasus : Hutan Rakyat Desa Dengok, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunungkidul). Di bawah bimbingan ANDRY INDRAWAN dan HARIYADI.

Pembangunan hutan rakyat di lahan marginal, selain dapat memelihara kondisi tanah, konservasi ketersediaan air dan berbagai manfaat ekonomis lainnya, juga dapat menjadi penyerap karbon yang efektif. Sebagai salah satu tipe ekosistem daratan, hutan merupakan salah satu penyerap CO2 yang cukup

potensial. Pohon-pohon di dalam hutan mengabsorpsi CO2 selama proses

fotosintesis dan menyimpannya sebagai materi organik dalam biomas pohon. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) membangun persamaan alometrik tanaman jati untuk menduga biomas pada tegakan hutan rakyat, dan (2) menentukan cadangan karbon pada pengusahaan hutan rakyat.

Penelitian dilaksanakan di hutan rakyat Desa Dengok, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunungkidul. Hutan rakyat telah mendapatkan sertifikat dalam skema Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat Lestari (PHBML) Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) pada 20 September 2006 dan berlaku sampai 20 September 2021 oleh PT TUV International Indonesia.

Pengumpulan data biomas dan karbon tanaman jati, tumbuhan bawah dan serasah dilakukan dengan metode destruktif. Penebangan dilakukan terhadap 15 pohon terdiri dari 6 pohon pada kelas diameter 5–14 cm, 6 pohon pada kelas diameter 15–24 cm, dan 3 pohon pada kelas diameter 25 cm- up. Sebagai pembanding, model alometrik Brown (1997) dan model yang dikembangkan oleh Ketterings et. al. (2001) digunakan dalam penghitungan biomas jati. Model pembanding ini digunakan dengan alasan kemudahan dalam aplikasi, bisa meminimalkan kesalahan pengukuran dan cukup sederhana. Adapun kelemahan model adalah kurang bisa mengakomodir biomas bawah tanah. Namun demikian, penghitungan biomas bawah tanah akan menggunakan rasio akar-tajuk yang telah direkomendasikan oleh IPCC, yaitu sebesar 0.22–0.33 dengan rata-rata 0.24. Penghitungan biomas pohon penyusun hutan rakyat selain jati dengan persamaan alometrik Brown (1997). Pembuatan model biomas pohon jati diawali dengan pemilihan beberapa persamaan alometrik dengan menggunakan variabel bebas yang sama pada beberapa persamaan model yang berbeda. Variabel- variabel bebas yang digunakan antara lain: diameter setinggi dada (D), tinggi total pohon (H), tinggi bebas cabang (Hb), kuadrat diameter dan tinggi total (D2H), dan volume pohon (V). Model dipilih berdasarkan kriteria meliputi kesesuaian terhadap fenomena dan keterandala n model. Langkah terakhir adalah uji keabsahan model dengan metode jackknife.

(15)

iv jenis lain seperti akasia (Acacia auriculiformis), mahoni (Sweitenia mahagony), munggur (Samanea saman) dan nangka (Arthocarpus integra). Berdasarkan hasil analisis vegetasi, jati memiliki nilai INP tertinggi (135.73) jika dibandingkan dengan nilai INP jenis lainnya. Selanjutnya mahoni, kelapa, dan akasia juga merupakan jenis-jenis yang memiliki INP tinggi setelah jati, masing- masing 35.71, 25.86, dan 18.63.

Penelitian menghasilkan persamaan alometrik hubungan diameter batang dan biomas jati adalah Wbatang = 0.166 D 2.1757 (R2 = 0.8581), Wcabang = 0.0789

D2.1785 (R2 = 0.8514), Wdaun = 0.0498 D 2.1955(R2 = 0.7206), Wtajuk = 0.3696 D 2.1253

(R2 = 0.9148), Wakar = 0.0369 D 2.1671 (R2 = 0.9128), Wtotal = 0.4117 D 2.13 (R2

= 0.9254). Persamaan alometrik untuk pendugaan kandungan karbon total adalah Ctotal = 0.1986 D 2.13 (R2 = 0.9524).

Perhitungan potensi biomas jati menunjukkan bahwa hasil perhitungan biomas dengan persamaan yang berhasil dibangun pada penelitian ini cenderung menurun pada kelas diameter 25 cm-up bila dibandingkan dengan dua model alometrik pembanding. Namun hasil secara keseluruhan menunjukkan bahwa potensi biomas dugaan penelitian berada di antara hasil perhitungan dengan model Brown (1997) dan model yang dikembangkan Ketterings et. al. (2001). Model Ketterings et. al. (2001) merupakan adaptasi model Brown (1997), dan menggunakan variabel berat jenis kayu untuk mereduksi error dalam perhitungan biomas.

Potensi biomas terbesar pohon jati di hutan rakyat Desa Dengok terdapat di bagian batang (50.45 %), kemudian diikuti oleh bagian cabang (23.34 %), bagian daun (15.46 %), bagian akar (10.35 %), dan terkecil terdapat di bunga (0.40 %). Proporsi kandungan karbon terbesar pohon jati di hutan rakyat Desa Dengok terdapat di bagian batang (51.91 %), kemudian diikuti oleh bagian cabang (23.14 %), bagian daun (13.78 %), bagian akar (10.66 %), dan terkecil terdapat di bunga (0.51 %). Cadangan karbon hutan rakyat Desa Dengok sebesar 115.4 ton/ha dengan pool karbon pohon 66.3 ton/ha, tanah 46.7 ton/ha, tumbuhan bawah 2.1 ton/ha, dan serasah 0.3 ton/ha. Dari keseluruhan pool karbon hutan rakyat Desa Dengok, cadangan karbon terbesar terdapat di pohon (57.4 %), sisanya sebanyak 40.5 % terdapat di tanah, 1.8 % terdapat di tumbuhan bawah, dan sebanyak 0.3 % terdapat di serasah.

(16)

v © Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008

Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritis atau tinjauan suatu masalah

b. pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk

(17)

vi

KAJIAN POTENSI CADANGAN KARBON

PADA PENGUSAHAAN HUTAN RAKYAT

(Studi Kasus: Hutan Rakyat Desa Dengok, Kecamatan Playen,

Kabupaten Gunungkidul)

SHOLEH AMINUDIN

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(18)

vii Rakyat (Studi Kasus: Hutan Rakyat Desa Dengok,

Kecamatan Playen, Kabupaten Gunungkidul) Nama : Sholeh Aminudin

NIM : P052050031

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, M.S. Dr. Ir. Hariyadi, M.S.

Ketua Anggota

Diketahui Ketua Program Studi Pengelolaan

Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodipuro, M.S.

(19)

viii Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis berjudul “Kajian Potensi Cadangan Karbon Pada Pengusahaan Hutan Rakyat (Studi Kasus : Hutan Rakyat Desa Dengok, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunungkidul) ”.

Laporan tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang setinggi- tingginya kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, M.S. selaku ketua komisi pembimbing atas segala arahan dan bimbingan yang telah diberikan.

2. Dr. Ir. Hariyadi, M.S. selaku anggota komisi pembimbing atas segala arahan dan bimbingan yang telah diberikan.

3. Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S. selaku dosen penguji luar komisi atas saran dan pengarahan yang diberikan.

4. Dr. San Afri Awang, Sukdan, S.Hut dan segenap staf Pusat Kajian Hutan Rakyat, UGM atas bantuan yang telah diberikan.

5. Ekswan Novianto, S.Hut., beserta pimpinan dan seluruh staf Yayasan Shorea atas bantuannya selama penelitian di lapangan.

6. Segenap pengurus dan anggota Paguyuban Hutan Rakyat Desa Dengok, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunungkidul, atas bantuan yang diberikan selama penelitian di lapangan.

7. Dr. Imam Soeseno dan Ir. Nunik A. Heranita selaku pimpinan PT Eos Consultans atas ijin dan bantuan biaya pendidikan yang diberikan. 8. Yayasan Tanoto Foundation atas bantuan biaya pendidikan yang telah

diberikan.

(20)

ix selama penulisan laporan tesis ini.

11.Saudara Jajang Ruhyana atas bantuannya dalam analisis laboratorium. 12.Istri saya tercinta, Ekandari Sulistyaningsih, M.A. dan anak kami

tersayang Aditya Esa Naveda atas kasih sayang dan dorongan motivasi kepada penulis.

13.Semua pihak yang telah membantu kelancaran laporan tesis ini yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu.

Akhirnya penulis berharap semoga laporan ini bermanfaat bagi yang memerlukannya.

Bogor, 1 Agustus 2008

(21)

x Penulis dilahirkan pada tanggal 24 Oktober 1977 di Klaten, Provinsi Jawa Tengah dari pasangan Bapak Sutijaman dan Ibu Marnijatun sebagai anak pertama dari lima bersaudara.

Penulis menamatkan pendidikan Taman Kanak-kanak sampai Sekolah Dasar di kota kelahirannya. Pada tahun 1990 penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Pertama Bogem, Kalasan, Sleman dan lulus pada tahun 1993. Penulis kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 8 Yogyakarta pada tahun 1993 dan lulus pada tahun 1996. Pada tahun yang sama, penulis diterima di Fakultas Kehutanan UGM dan memilih jurusan Manajemen Hutan. Pada tahun 2001, penulis menamatkan pendidikan sarjana di Fakultas Kehutanan UGM. Pada tahun 2005, penulis diterima mengikuti pendidikan strata-2 di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengawali karir di bidang lingkungan sebagai Environment Officer PT Riau Andalan Pulp and Paper pada tahun 2002-2004. Selanjutnya penulis bekerja di Institute of Natural and Regional Resources pada tahun 2004-2007, sebuah konsultan yang mengkhususkan diri pada pelayanan jasa konsultansi lingkungan dan kawasan. Pada tahun 2007 sampai sekarang, penulis bekerja di sebuah Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) migas dari Jepang, INPEX Corporation, sebagai Environment Officer.

(22)

xi

Halaman

DAFTAR ISI ... xi DAFTAR TABEL... xiv DAFTAR GAMBAR ... xvi DAFTAR LAMPIRAN ... xviii I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Kerangka Pemikiran ... 1 1.3 Perumusan Masalah ... 2 1.4 Tujuan Penelitian ... 4 1.5 Manfaat Penelitian... 4 1.6 Hipotesis ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Perubahan Iklim Global ... 6 2.2 Proyokol Kyoto dan Mekanisme Perdagangan Karbon... 7 2.3 Beberapa Contoh Proyek Pengikatan Karbon dan Studi Penyerapan

Karbon oleh Hutan Tanaman ... 9 2.4 Siklus Karbon... 10 2.5 Karbon Tanah ... 13 2.6 Biomas... 14 2.7 Hutan Rakyat ... 16

III. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN ... 18

3.1 Kondisi Geofisik ... 18 3.2 Luas dan Kependudukan ... 18 3.3 Potensi Hutan Rakyat ... 19 3.4 Kelembagaan Hutan Rakyat ... 19

IV. METODE PENELITIAN ... 21

(23)

xii 4.3.2 Metode Pengumpulan Data ... 22 4.3.2.1 Pengukuran Biomas Tanaman Jati ... 23 4.3.2.2 Pengukuran Biomas Tumbuhan Bawah

dan Serasah ... 26 4.3.2.3 Pengukuran Biomas Tanaman Jenis Lain... 26

4.3.2.4 Penentuan Karbon Tanaman Jati, Tumbuhan Bawah dan Serasah... 27

4.3.2.5 Tanah ... 28 4.3.2.6 Penentuan Karbon Tanaman Jenis Lain ... 28 4.4 Pengolahan dan Analisis Data ... 29

4.4.1 Pendugaan Model Matematik Hubungan antara Biomas dengan Diameter dan Tinggi Tanaman Jati... 29 4.4.1.1 Model Penduga Biomas Jati ... 29 4.4.1.2 Pemilihan Model ... 30 4.4.2 Penentuan Nilai (Biomass Expansion Factors) BEFs dan Rasio

Akar-Tajuk (Root-Shoot Ratio/R) ... 32 4.4.2.1 Nilai BEFs ... 32 4.4.2.2 Rasio Akar- Tajuk (Root-Shoot Ratio/R) ... 33 4.4.3 Penentuan Komposisi Jenis Pohon... 33 4.4.3.1 Indeks Nilai Penting ... 33 4.4.3.2 Indeks Kekayaan Jenis ... 34 4.4.3.3 Keanekaragaman ... 34 4.4.3.4 Kemerataan (Evenness) ... 35 4.4.4 Total Karbon Tegakan Hutan Rakyat... 36 4.5 Batasan Penelitian ... 37

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 38

(24)

xiii 5.2.3 Model Penduga Biomas Akar ... 51 5.2.4 Model Penduga Biomas Bagian Batang ... 53 5.2.5 Model Penduga Biomas Bagian Cabang ... 54

5.2.6 Model Penduga Biomas Bagian Daun ... 56 5.2.7 Model Penduga Biomas Bagian Bunga ... 58 5.2.8 Faktor Ekspansi Biomas (Biomass Expansion Factors/BEFs) .. 63 5.2.9 Rasio antara Akar dan Bagian Atas Tanaman Jati

(Root-shoot ratio) ... 64 5.2.10.Hubungan antara Kandungan Karbon dan Biomas Pohon... 65 5.3. Potensi Ekosistem Hutan Rakyat Desa Dengok... 66 5.3.1 Potensi Tegakan Hutan Rakyat ... 66 5.3.2 Biomas dan Cadangan Karbon Pohon... 69 5.3.2.1. Biomas dan Cadangan Karbon Jati ... 69 5.3.2.2. Biomas dan Cadangan Karbon Non-jati... 71 5.3.2.3. Biomas dan Cadangan Karbon Jati dan Non-jati ... 72 5.3.3 Biomas dan Cadangan Karbon Tumbuhan Bawah ... 74 5.3.4 Biomas dan Cadangan Karbon Serasah ... 75 5.3.5 Cadangan Karbon Tanah... 76

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 80

6.1. Kesimpulan... 80 6.2. Saran ... 81

(25)

xiv

No. Judul Halaman

1. Metode Pengukuran Biomas ... 22 2. Parameter dan Metode Analisis Fisika dan Kimia Tanah... 28 3. Hasil Analisis Laboratorium dan Perhitungan Biomas serta Kandungan

Karbon Beberapa Bagian Pohon Jati... 39 4. Kandungan Karbon Terhadap Biomas Bagian Pohon pada Berbagai

Jenis Pohon dan Tipe Hutan... 42 5. Persamaan Alometrik untuk Pendugaan Biomas Total Pohon Jati pada

Beberapa Penerapan Variabel Bebas... 45 6. Persamaan Alometrik untuk Pendugaan Cadangan Karbon Total

Pohon Jati pada Beberapa Penerapan Variabel Bebas ... 47 7. Persamaan Alometrik untuk Pendugaan Biomas Bagian Atas Pohon

Jati pada Beberapa Penerapan Variabel Bebas ... 49 8. Beberapa Persamaan Alometrik yang Berhasil Dikembangkan untuk

Pendugaan Biomas Bagian Atas Pohon... 50 9. Persamaan Alometrik untuk Pendugaan Biomas Bagian Bawah (Akar)

Pohon Jati pada Beberapa Penerapan Variabel Bebas ... 52 10. Persamaan Alometrik untuk Pendugaan Biomas Bagian Batang

Pohon Jati pada Beberapa Penerapan Variabel Bebas ... 53 11. Persamaan Alometrik untuk Pendugaan Biomas Bagian Cabang

Pohon Jati pada Beberapa Penerapan Variabel Bebas ... 55 12. Persamaan Alometrik untuk Pendugaan Biomas Bagian Daun Pohon Jati pada Beberapa Penerapan Variabel Bebas ... 56 13. Persamaan Alometrik untuk Pendugaan Biomas Bagian Bunga

Pohon Jati pada Beberapa Penerapan Variabel Bebas ... 59 14. Rekapitulasi Persamaan Alometrik pada Masing- masing Bagian

Pohon untuk Pendugaan Biomas Pohon Jati... 60 15. Persamaan Alometrik untuk Menduga Biomas Pohon di Hutan Alam

(26)

xv Pohon Jati... 63 17. Nilai Rasio Akar- Tajuk pada Beberapa Diameter Pohon Jati... 64 18. Jumlah Total dan Kerapatan Pohon Penyusun Hutan Rakyat Desa

Dengok pada Masing- masing Kelas Diameter... 66

19. Indeks Nilai Penting (INP) Beberapa Jenis Pohon Penyusun Ekosistem Hutan Rakyat di Desa Dengok ... 67

20. Indeks Keragaman Jenis, Kemerataan Jenis, dan Kekayaan Jenis Pohon pada Beberapa Blok Hutan Rakyat di Desa Dengok... 69

21. Potensi Biomas dan Karbon Tegakan Jati pada Berbagai Kelas Diameter (ton per ha) ... 70 22. Potensi Biomas dan Karbon Tegakan Non-jati Hutan Rakyat Desa

Dengok (ton per ha)... 71 23. Potensi Biomas, Karbon dan Serapan CO2 Tegakan Jati dan Non-jati

Hutan Rakyat Desa Dengok ... 72 24. Potensi Biomas dan Cadangan Karbon Tumbuhan Bawah di Areal

Hutan Rakyat Desa Dengok ... 74 25. Potensi Biomas dan Kandungan Karbon Serasah di Areal Hutan

Rakyat Desa Dengok ... 75 26. Kandungan Karbon Tanah pada Beberapa Kedalaman di Areal Hutan

Rakyat Desa Dengok ... 77 27. Rekapitulasi Potensi Biomas dan Cadangan Karbon Pohon, Tumbuhan

(27)

xvi

No. Judul Halaman

1. Bagan Alir Kerangka Pemikiran Penelitian ... 3 2. Bagan Alir Pelaksanaan Penelitian ... 5 3. Siklus Karbon ... 12 4. Siklus Karbon di Dalam Ekosistem Agroforestry (Hairiah et al., 2002) ... 13 5. Plot Ukur Tegakan ... 23 6. Gambaran Mengenai Batang, Cabang dan Ranting (Hairiah et al., 2001) .. 25 7. Diagram Alir Pembuatan Model Biomas... 30 8. Kelimpahan Relatif ... 36 9. Bobot Basah Akar, Batang , Cabang , Daun dan Bunga pada Beberapa

Kelas Diameter Pohon Jati... 38 10. Tingkat Korelasi Antara Diameter dan Bobot Basah Bunga Jati ... 39 11. Biomas Akar, Batang, Cabang, Daun dan Bunga pada Beberapa Kelas

Diameter Pohon Jati ... 40 12. Hasil Analisis Kadar Air Sampel (A), Persentase Serapan Karbon (B),

Proporsi Biomas (C), dan Proporsi Karbon (D) Beberapa Bagian

Tanaman Jati ... 43 13. Pemotongan Batang Jati Menjadi Sortimen-sortimen (A) Sortimen

Batang Jati Siap Ditimbang (B) ... 44 14. Persamaan Alometrik untuk Pendugaan Biomas Total pada Pohon Jati di

Hutan Rakyat Desa Dengok ... 46 15. Persamaan Alometrik untuk Pendugaan Kandungan Karbon Total pada

Pohon Jati di Hutan Rakyat Desa Dengok ... 48 16. Persamaan Alometrik untuk Pendugaan Biomas Bagian Atas pada Pohon

Jati di Hutan Rakyat Desa Dengok ... 50 17. Kondisi Sistem Perakaran Pohon Jati... 51 18. Persamaan Alometrik untuk Pendugaan Biomas Bagian Bawah pada

(28)

xvii Pohon Jati di Hutan Rakyat Desa Dengok ... 54 20. Persamaan Alometrik untuk Pendugaan Biomas Bagian Cabang pada

Pohon Jati di Hutan Rakyat Desa Dengok ... 55 21. Potensi Biomas Cabang Pohon Jati... 56 22. Persamaan Alometrik untuk Pendugaan Biomas Bagian Daun pada Pohon

Jati di Hutan Rakyat Desa Dengok ... 57 23. Penimbangan Sampel Daun Jati di Lapang... 57 24. Persamaan Alometrik untuk Pendugaan Biomas Bagian Bunga pada

Pohon Jati di Hutan Rakyat Desa Dengok ... 59 25. Penimbangan Bunga Pohon Jati... 59 26. Perbandingan antara Persamaan Alometrik Penduga Biomas Pada

Berbagai Curah Hujan yang Berbeda ... 62 27. Hubungan Linier antara Biomas dan Kandungan Karbon Akar (A),

Batang (B), Biji/bunga (C), Cabang (D), dan Daun (E)... 65 28. Kerapatan Individu Pohon Penyusun Tegakan Hutan Rakyat Desa

Dengok ... 66 29. Kondisi Tegakan Hutan Rakyat Desa Dengok, Jarak Tanam Pohon Jati

Sangat Rapat... 67 30. Grafik Perbandingan Biomas Menggunakan Model Brown (1997) dan

Ketterings et. al. (2001)... 70 31. Grafik Perbandingan Karbon Menggunakan Model Brown (1997) dan

(29)

xviii

No. Judul Halaman

1. Peta Lokasi Penelitian... 87 2. Persentase Biomas Tiap Bagian Tanaman Jati... 88 3. Persentase Kandungan Karbón Tiap Bagian Tanaman Jati ... 88 4. Cadangan Karbon Tumbuhan Bawah ... 88 5. Cadangan Karbon Serasah ... 88 6. Cadangan Karbon Tanah... 89 7. Hasil Analisis Varian antara Biomas dengan Karbon Akar ... 89 8. Hasil Analisis Varian antara Biomas dengan Karbon Batang... 89 9. Hasil Analisis Varian antara Biomas dengan Karbon Bunga ... 90 10. Hasil Analisis Varian antara Biomas dengan Karbon Cabang... 90 11. Hasil Ana lisis Varian antara Biomas dengan Karbon Daun ... 90 12. Potensi Biomas Tegakan Jati per Kelas Diameter (Rata-rata plot

20 x 20 m) ... 91 13. Potensi Karbon Tegakan Jati (Rata-rata plot 20 x 20 m) ... 91 14. Potensi Biomas dan Karbon Tegakan Non-jati (Rata-rata plot

20 x 20 m) ... 91

15. Biomas dan Cadangan Karbon Tegakan Hutan Rakyat Desa Dengok Plot I (20 x 20 m) ... 92

16. Biomas dan Cadangan Karbon Tegakan Hutan Rakyat Desa Dengok Plot II (20 x 20 m) ... 93

(30)

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perubahan iklim menjadi fenomena yang hangat dibicarakan pada beberapa tahun belakangan. Perubahan iklim dipicu oleh kegiatan manusia terutama yang berkaitan dengan penggunaan bahan bakar fosil dan kegiatan alih guna lahan. Kegiatan tersebut menghasilkan gas-gas yang mempunyai efek rumah kaca (disebut gas rumah kaca/GRK) yang terakumulasi di atmosfer. Gas-gas tersebut diantaranya karbondioksida (CO2), nitroksida (N2O), methana (CH4),

sulfurheksafluorida (SF6), perflurokarbon (PFC) dan hidrofluorokarbon (HFC).

GRK dihasilkan dari berbagai kegiatan manusia. Di Indonesia, hal ini dapat dibedakan atas beberapa hal, yaitu pemanfaatan energi yang berlebihan, kerusakan hutan, serta pertanian dan peternakan (Panjiwibowo et al., 2003).

Dalam konteks kerusakan hutan, meningkatnya laju kerusakan hutan di Indonesia telah menjadi salah satu penyumbang terjadinya perubahan iklim global atau pemanasan global. Berdasarkan data yang dirilis oleh FAO (2007) menyatakan bahwa laju kerusakan hutan Indonesia adalah sebesar 1.871 juta ha atau sebesar 2 % dari luas hutan yang tersisa yakni 88.5 juta ha.

Sebagai salah satu tipe ekosistem daratan, hutan merupakan salah satu penyerap CO2 yang cukup potensial. Pohon-pohon di dalam hutan mengabsorpsi

CO2 selama proses fotosintesis dan menyimpannya sebagai materi organik dalam

biomas pohon. Brown (1997) mengemukakan bahwa hampir 50 % dari biomas hutan tersusun atas karbon. Hutan yang semakin rusak, baik karena kejadian alam maupun pembalakan liar akan menamb ah jumlah GRK, dalam hal ini CO2 yang

diemisikan ke atmosfer dan akan menurunkan fungsi hutan sebagai penghambat perubahan iklim. Dengan demikian, peningkatan laju kerusakan hutan setidaknya akan mengurangi kemampuan hutan dalam menyimpan salah satu jenis gas rumah kaca, yaitu karbon (carbon sink).

1.2 Kerangka Pemikiran

(31)

mengakibatkan meningkatnya suhu rata-rata permukaan bumi dan perubahan unsur-unsur iklim lainnya. Peningkatan aktivitas manusia dalam rangka memenuhi kebutuhannya secara langsung akan berakibat kepada meningkatnya kebutuhan akan ruang atau lahan. Keterbatasan lahan untuk memenuhi kebutuhan manusia menjadi suatu masalah tersendiri sehingga meningkatkan tekanan terhadap hutan yang kemudian menyebabkan terjadinya perubahan atau alih fungsi penggunaan lahan. Mengkonversi hutan alam menjadi berbagai jenis penggunaan lahan seperti pertanian, perkebunan, hutan tanaman ind ustri, kawasan industri dan pemukiman akhirnya menjadi suatu pilihan yang mungkin dilakukan. Hal ini secara langsung akan mempengaruhi konsentrasi GRK di atmosfer.

Selain konversi, kerusakan hutan baik karena kejadian alam maupun aktivitas manusia baik dalam pengusahaan hutan maupun karena penebangan liar berpotensi meningkatkan konsentrasi CO2. Oleh karena itu, diperlukan suatu

usaha untuk mengatasi kenaikan konsentrasi CO2 adalah dengan cara konservasi

karbon melalui usaha menanami lahan- lahan marginal (solum tanah tipis) dan kritis dengan jenis-jenis tanaman keras bercampur dengan tanaman buah-buahan maupun tanaman lainnya. Hal ini telah disadari oleh rakyat di Kabupaten Gunungkidul beberapa dasawarsa yang lalu. Dengan semakin banyaknya kondisi lahan ya ng kritis, ketersediaan air yang mulai berkurang serta kondisi hutan negara yang semakin rusak maka mulai dibangun hutan rakyat. Selain mampu menjaga kondisi lahan, konservasi ketersediaan air dan keuntungan ekonomi yang didapatkan, maka hutan rakyat di la han marginal tersebut mampu menjadi penyerap karbon yang efektif. Secara lengkap, gambaran mengenai kerangka pemikiran penelitian disajikan pada Gambar 1.

1.3 Perumusan Masalah

Pembangunan hutan rakyat di lahan marginal dan kritis akan berpengaruh terhadap perubahan iklim lokal (mikro) ataupun iklim global. Hal ini karena adanya kemampuan hutan rakyat dalam menyerap salah satu GRK yaitu CO2

(32)

Keterangan:

[image:32.596.79.548.96.510.2]

: Penyerapan

Gambar 1. Bagan Alir Kerangka Pemikiran Penelitian

Pengusahaan hutan rakyat yang dilakukan oleh masyarakat pedesaan di Gunungkidul mempunyai tujuan utama untuk diambil kayunya. Namun demikian, dalam tinjauan perubahan iklim global, maka pengusahaan hutan rakyat mempunyai potensi dalam hal penyerapan karbon. Permasalahan utama di Indonesia adalah bahwa data mengenai cadangan karbon khususnya di hutan rakyat masih sangat minim. Beberapa studi tentang penyerapan karbon telah dilakukan di Indonesia lebih banyak terfokus kepada hutan tanaman maupun perkebunan. Studi-studi tersebut diantaranya di lakukan di hutan jenis Pinus merkusii KPH Bogor oleh Handayani (2003), hutan jati di Perum Perhutani oleh

Perladangan berpindah Peningkatan Penggunaan

Bahan Bakar Fosil

Konversi lahan menjadi pemukiman

Gas Rumah Kaca Meningkat

(CO2) Meningkat

Pembangunan Hutan Rakyat:

• C disimpan pada tumbuhan • C disimpan dalam

tanah

•C disimpan pada serasah

Perubahan Iklim Global

Illegal logging

(33)

Ojo (2003), Acacia mangium di KPH Parung Panjang oleh Djummakking (2003) dan Hendri (2001) yang menduga biomas pohon jati di hutan KPH Cepu. Studi lain tentang penyerapan karbon yang pernah dilakukan adalah di BKPH Maribaya dan BKPH Tenjo, KPH Bogor oleh Heriansyah (2005). Hasil- hasil studi tersebut menunjukkan bahwa Potensi hutan tanaman dalam menyerap CO2 dari atmosfer

bervariasi menurut jenis, tingkat umur dan kerapatan tanaman.

Berdasarkan uraian di atas, beberapa pertanyaan penelitian yang dapat dikemukakan diantaranya:

a. Bagaimana model penduga biomas tanaman jati sebagai jenis dominan di hutan rakyat?

b. Seberapa besar cadangan karbon di hutan rakyat?

Bagan alir pelaksanaan penelitian disajikan secara lengkap dalam Gambar 2.

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk:

1. Membangun persamaan alometrik tanaman jati untuk menduga biomas pada tegakan hutan rakyat.

2. Menentukan cadangan karbon pada pengusahaan hutan rakyat.

1.5 Manfaat Penelitian

Dengan adanya informasi mengenai kemampuan hutan rakyat dalam menyerap karbon, diharapkan dapat memberikan masukan bagi pengelola hutan rakyat dan instansi pemerintah yang berwenang sehingga mampu merumuskan sistem pengelolaan terbaik agar dapat menjaga keseimbangan antara pengusahaan hutan rakyat untuk dimanfaatkan kayunya dan kemampuan hutan rakyat dalam menyerap karbon.

1.6 Hipotesis

(34)
[image:34.596.90.527.79.568.2]

Gambar 2. Bagan Alir Pelaksanaan Penelitian Hutan Rakyat

C disimpan di tanaman (batang, cabang, daun, bunga dan buah,

akar)

C disimpan di serasah dan tumb. bawah

C Hutan Rakyat

C disimpan dalam tanah

Model alometrik

Analisis laboratorium Analisis

laboratorium Destruktif

Analisis laboratorium

Contoh tanah (ring

sample) Destruktif

Kandungan C tanaman

Kandungan C tanah Kandungan C serasah dan tumbuhan bawah Mahoni dan jenis

lainnya Tanaman Jati

Inventarisasi (jumlah, dbh dan

tinggi)

Model alometrik Brown (1997)

(35)

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perubahan Iklim Global

Perubahan iklim menjadi fenomena yang hangat dibicarakan pada beberapa tahun belakangan. Secara umum iklim didefinisikan sebagai kondisi rata-rata suhu udara, curah hujan, tekanan udara, arah angin, kelembaban udara serta parameter iklim lainnya dalam jangka waktu yang panjang antara 30 sampai 100 tahun (intercentenial). Jadi berbeda dengan cuaca yang merupakan kondisi sesaat, iklim adalah rata-rata kondisi cuaca dalam jangka waktu yang sangat panjang.

Perubahan iklim adalah terjadinya perubahan kondisi rata-rata parameter iklim. Perubahan ini tidak terjadi dalam waktu singkat (mendadak), tetapi secara perlahan dalam kurun waktu yang cukup panjang antara 50 sampai 100 tahun. Perubahan iklim merupakan fenomena global yang dipicu oleh kegiatan manusia terutama yang berkaitan dengan penggunaan bahan bakar fosil dan kegiatan alih guna lahan. Kegiatan tersebut menghasilkan gas-gas yang mempunyai efek rumah kaca yang terakumulasi di atmosfer. Gas-gas yang mampu menghasilkan efek rumah kaca tersebut (disebut gas rumah kaca/GRK) diantaranya karbondioksida (CO2), nitroksida (N2O), methana (CH4), sulfurheksafluorida (SF6),

perflurokarbon (PFC) dan hidrofluorokarbon (HFC). GRK dihasilkan dari berbagai kegiatan manusia. Di Indonesia, hal ini dapat dibedakan atas beberapa hal, yaitu pemanfaatan energi yang berlebihan, kerusakan hutan, serta pertanian dan peternakan (Panjiwibowo et al., 2003).

(36)

layak dihuni. Para ahli mengatakan tanpa adanya atmosfer dan efek rumah kaca, suhu bumi akan 33 oC lebih dingin dibandingkan saat ini (Panjiwibowo et al., 2003).

Pemanasan global tidak terjadi secara seketika, tetapi terjadi secara berangsur-angsur. Namun demikian, dampaknya sudah mulai kita rasakan pada saat ini. Ketika revolusi industri dimulai pada sekitar tahun 1850, konsentrasi salah satu GRK (CO2) di atmosfer sekitar 290 ppmv (part per million by volume),

saat ini (150 tahun kemudian) telah mencapai sekitar 350 ppmv. Jika pola konsumsi, gaya hidup dan pertumbuhan penduduk tidak berubah, 100 tahun yang akan datang konsentrasi CO2 diperkirakan akan meningkat menjadi 580 ppmv

atau dua kali lipat jaman pra industri. Konsekuensinya adalah suhu rata-rata bumi akan meningkat hingga 4.5 oC dengan dampak terhadap berbagai sektor kehidupan manusia yang luar biasa besarnya (Murdiyarso, 2003).

Dampak pemanasan global, khususnya baiknya permukaan air laut dirasakan secara meluas oleh negara-negara kepulauan seperti Indone sia. Peningkatan suhu air laut, dikombinasikan dengan mencairnya es di kutub telah mengakibatkan naiknya permukaan air laut. Selama abad 20, permukaan air laut telah mengalami peningkatan sebesar 0.17 meter dan akan meningkat menjadi sekitar 0.18-0.59 meter (UNFCCC, 2007). Dampak lain sebagai akibat dari pemanasan global adalah peningkatan baik dari segi jenis, frekuensi, intensitas fenomena alam ekstrim seperti siklon tropis, banjir, kekeringan dan timbulnya hujan yang sangat lebat.

2.2 Proyokol Kyoto dan Mekanisme Perdagangan Karbon

(37)

pembangunan berkelanjutan yaitu mekanisme pembangunan bersih (CDM). CDM dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada negara berkembang yang tidak wajib mereduksi emisi agar dapat berperan dalam pengurangan GRK (Murdiyarso, 2003).

Peran CDM bukan hanya dalam mitigasi GRK. Seperti yang tertera dalam Artikel 12 dari Protokol Kyoto, tujuan CDM adalah:

1. Membantu negara berkembang yang tidak termasuk dalam negara Annex I untuk melaksanakan pembangunan yang berkelanjutan serta menyumbang pencapaian tujuan utama Konvensi Perubahan Iklim, yaitu menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca dunia pada tingkat yang tidak akan mengganggu sistem iklim global.

2. Membantu negara- negara Annex I atau negara maju dalam memenuhi target penurunan jumlah emisi negaranya.

Mekanisme CDM memungkinkan negara Annex I untuk menurunkan emisi GRK secara lebih murah dibandingkan dengan mitigasi di dalam negerinya sendiri (domestic action). Oleh karenanya, CDM beserta dengan dua mekanisme lainnya dikenal sebagai mekanisme fleksibilitas (flexibility mechanisms). Dalam pelaksanaan CDM, komoditi yang diperjualbelikan adalah reduksi emisi GRK tersertifikasi yang biasa dikenal sebagai CER (Certified Emission Reduction). CER ini diperhitungkan sebagai upaya negara Annex I dalam memitigasi emisi GRK dan nilai CER ini setara dengan nilai penurunan emisi yang dilakukan secara domestik dan karenanya dapat diperhitungkan dalam pemenuhan target penurunan emisi GRK negara Annex I seperti yang disepakati dalam Annex B Protokol Kyoto.

(38)

Dimaksudkan dengan aforetasi adalah kegiatan penanaman hutan kembali pada lahan yang sudah tidak berhutan sejak 50 tahun yang lalu. Sedangkan reforestasi adalah aktivitas langsung yang dilakukan oleh manusia dalam mengubah area bukan hutan menjadi area hutan melalui penanaman, pembibitan, dan/atau aktivitas lainnya yang mempromosikan sumber-sumber pembibitan alam, di area yang pada awalnya merupakan wilayah hutan namun mengalami perubahan menjadi wilayah bukan hutan. Dalam periode komitmen pertama, aktivitas reforestasi dibatasi pada area tidak berhutan pada 31 Desember 1989.

2.3 Beberapa Contoh Proyek Pengikatan Karbon dan Studi Penyerapan Karbon oleh Hutan Tanaman

Di Indonesia telah dilaksanakan proyek “Peragaan Pengelolaan Hutan Tanaman Pengikat Karbon di Indonesia” sebagai hasil kerjasama antara Balitbang Kehutanan dan JICA. Proyek ini akan berlangsung selama 5 tahun dan dilaksanakan di BKPH Leuwiliang dan BKPH Parung Panjang.

Beberapa studi tentang penyerapan karbon telah dilakukan di Indonesia. Pengelolaan hutan tanaman jenis Pinus merkusii di KPH Bogor, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat mampu menyerap karbon sebesar 5.49 ton/ha ekuivalen dengan karbondioksida 20.10 ton/ha (Handayani, 2003). Ojo (2003) mengemukakan bahwa hutan jati pada KU VIII (umur 70-80 tahun) mempunyai potensi simpanan karbon sebesar 64.39 ton/ha. Sementara itu, tegakan Acacia mangium di KPH Parung Panjang mempunyai potensi menyerap karbon sebesar 9.5 ton/ha, 20.18 ton/ha, 30.74 ton/ha, dan 53.45 ton/ha pada umur masing- masing 3, 5, 8, dan 10 tahun (Djummakking, 2003). Hendri (2001) menduga biomas pohon jati di KPH Cepu dengan cara destruktif. Penebangan dilakukan terhadap 24 pohon contoh dan menghasilkan persamaan alometrik biomas pohon di atas tanah adalah:

Y = 0.20091 D 2.30

, dengan nilai R2 = 0.954

(39)

3, 5, 8, dan 10 tahun (Heriansyah, 2005). Hasil- hasil studi tersebut menunjukkan bahwa Potensi hutan tanaman dalam menyerap CO2 dari atmosfer bervariasi

menurut jenis, tingkat umur, dan kerapatan tanaman. Pada jenis pertanaman teh, Hariyadi (2005) mengemukakan bahwa semakin tua tanaman teh, kandungan karbon semakin meningkat, dengan peningkatan cadangan karbon tertinggi terjadi antara umur 10 sampai 15 tahun sebesar 0.13 ton C/ha/tahun atau 17.1 %/tahun.

Beberapa kajian tentang penyerapan karbon di hutan alam juga telah dilakukan. Murdiyarso dan Wasrin (1995) melaporkan bahwa hutan di Indonesia diperkirakan mempunyai kandungan karbon berkisar antara 161-300 Mg C/ha dalam biomas atas tanah. Penelitian di Thailand menyatakan bahwa pada berbagai macam tipe hutan mempunyai kandungan karbon dalam biomas atas tanah yang bervariasi dari 72 sampai 182 Mg C/ha (Boonpragob, 1998). Kandungan karbon hutan di Malaysia berkisar antara 100-160 Mg C/ha yang disimpan di vegetasi dan 90-780 Mg C/ha yang disimpan di dalam tanah (Bakar, 2000).

2.4 Siklus Karbon

Siklus karbon di dalam biosfer meliputi dua bagian siklus penting, di darat dan di laut. Keduanya dihubungkan oleh atmosfer yang berfungsi sebagai fase antara. Hutan mempunyai peranan penting sebagai salah satu reservoir karbon di darat. Hutan tropis dengan luasan sekitar 17.6 × 106 km2 mengandung karbon sebesar 428 Pg (1Pg = petagram = 1 milyar ton) yang disimpan dalam vegetasi dan tanah (Watson et. al., 2000). Brown et. al. (1996) melaporkan bahwa di kawasan tropis Asia, dapat diperkirakan bahwa penanaman hutan, agroforestry, regenerasi dan kegiatan-kegiatan menghindari deforestasi mempunyai potensi menyerap karbon yang bervariasi dari 7.50, 2.03, 3.8-7.7 dan 3.3-5.8 Pg antara tahun 1995 sampai 2050.

Tempat penyimpanan karbon adalah biomas (meliputi batang, daun, ranting, bunga, buah dan akar), bahan organik mati (necromass) dan tanah. Atmosfer berperan sebagai media perantara dalam siklus karbon. Aliran C biotik antara atmosfer dan hutan adalah fiksasi netto C melalui proses fotosintesis dan respirasi. Fotosintesis disebut juga asimilasi zat karbon, dimana zat-zat CO2 di

(40)

matahari dan klorofil. Fotosintesis didefinisikan sebaga i proses pembentukan gula dari dua bahan baku sederhana yaitu karbondioksida dan air dengan bantuan klorofil dan cahaya matahari sebagai sumber energi (Gardner et al., 1991 dalam

Hariyadi, 2005). Secara umum produksi berbagai macam gula pada proses fotosintesis diwakili oleh persamaan sebagai berikut:

6CO2 + 12 H2O C6H12O6 + 6H2O + O2

Proses fotosintesis di atas hanya menggunakan sebagian kecil radiasi matahari yang diterima oleh tumbuhan tingkat tinggi, karena sebagian besar radiasi tersebut segera ditransformasi ke dalam bentuk panas (Packham dan Harding, 1982). Karbohidrat stabil yang pertama diproduksi dalam proses fotosintesis adalah glukosa yang biasanya dikonversi ke dalam bentuk pati sebagai produk yang disimpan sementara.

Siklus karbon di daratan dapat dikontrol oleh proses fotosintesis, respirasi dan dekomposisi. Siklus karbon tersebut berbeda-beda tergantung tipe ekosistem serta faktor lingkungan seperti suhu, curah hujan, radiasi matahari dan kecepatan angin (Forseth dan Norman, 1993).

Siklus karbon mempunyai empat reservoir karbon utama yang dihubungkan oleh jalur pertukaran. Reservoir-reservoir tersebut adalah atmosfer, biosfer terestrial (biasanya termasuk pula freshwater system dan material non-hayati organik seperti karbon tanah (soil carbon)), lautan (termasuk karbon anorganik terlarut dan biota laut hayati dan non-hayati), dan sedimen (termasuk bahan bakar fosil). Pertukaran karbon antar reservoir, terjadi karena proses-proses kimia, fisika, geologi, dan biologi yang bermaca- macam. Secara umum, siklus karbon disampaikan dalam Gambar 3.

Pertukaran karbon secara alami antara atmosfer, lautan dan ekosistem daratan telah berubah karena adanya pengaruh dari aktivitas manusia dan perubahan dalam penggunaan lahan (Hairiah et. al., 2001). Sejak masa revolusi industri sampai pada tahun 1998, peningkatan kadar CO2 telah mencapai 28 %

selama sekitar 150 tahun.

(41)
[image:41.596.184.478.124.354.2]

Gambar 3. Siklus Karbon Keterangan gambar:

Angka dengan warna hitam menyatakan berapa banyak karbon tersimpan dalam berbagai reservoir, dalam milyar ton ("GtC" berarti Giga Ton Karbon). Angka dengan warna biru menyatakan berapa banyak karbon berpindah antar reservoir setiap tahun. Sedimen, sebagaimana yang diberikan dalam diagram, tidak termasuk 70 juta GtC batuan karbonat dan kerogen.

Hairiah et al. (2001) mengemukakan bahwa siklus karbon dalam sistem

agroforestry, kebanyakan CO2 di udara dipergunakan oleh tanaman selama

fotosintesis dan memasuki ekosistem melalui serasah tanaman yang jatuh dan akumulasi C dalam biomas (tajuk) tanaman. Separuh dari jumlah C yang diserap dari udara bebas tersebut diangkut ke bagian akar berupa karbohidrat dan masuk ke dalam tanah melaui akar-akar yang mati. Siklus C dalam sistem agroforestry

(42)
[image:42.596.150.500.98.349.2]

Gambar 4.Siklus Karbon di Dalam Ekosistem Agroforestry (Hairiah et. al., 2002)

2.5 Karbon Tanah

(43)

bahan organik yang lebih banyak daripada tanah di iklim temperate, yaitu ± 32 % dari total masa organik C tersimpan dalam tanah tropik (Bouwman, 1990).

Pembukaan hutan menjadi areal pertanian akan meningkatkan laju dekomposisi bahan organik tanah. Perubahan ekosistem hutan menjadi areal pertanian juga mengakibatkan penurunan produksi C-organik dan jumlah C yang masuk kedalam tanah sehingga terjadi penurunan karbon tanah secara drastis pada tahun-tahun awal konversi. Lahan padang rumput dan hutan mengalami kehilangan karbon organik tanah 20–50 % kandungan awalnya setelah diolah selama 40 – 50 tahun. Kehilangan karbon organik tanah masa lalu sering berkaitan dengan tingkat produksi yang rendah, pengolahan tanah yang intensif, penggunakan pupuk dan amelioran organik yang kurang memadai dan kurangnya perlindungan tanah dari erosi dan proses degradasi lahan yang lain (Cole et. al., 1996).

Kandungan karbon tanah secara umum akan menurun sejalan dengan kedalaman tanah. Kecenderungan ini disebabkan oleh masukan bahan organik yang terutama disimpan di permukaan tanah atau topsoil. Hendri (2001) melaporkan bahwa kandungan karbon tanah di KPH Cepu pada kedalaman 60 cm lebih rendah bila dibandingkan dengan kandungan karbon pada kedalaman 20 cm. Van Noordwijk et. al. (1997) melaporkan kecenderungan yang sama yakni kandungan karbon tanah bagian atas (topsoil) lebih tinggi dibandingkan bagian bawah (subsoil) di daerah dataran rendah Sumatera.

Adapun variabel- variabel yang berpengaruh pada kandungan karbon tanah antara lain: kedalaman tanah, kerapatan massa tanah (bulk density) dan konsentrasi karbon organik (Eggleston et. al., 2006)

2.6 Biomas

(44)

Biomas dapat dibedakan ke dalam dua kategori, yaitu biomas di atas tanah (above ground biomass) dan biomas bawah tanah (below ground biomass) (Clintron dan Novelli, 1984 dalam Kusmana et. al., 1992). Biomas bawah tanah dapat dihitung dengan berdasarkan biomas atas tanah dikali dengan rasio akar- tajuk. MacDicken (1997) menyatakan bahwa estimasi kadar biomas di bawah tanah suatu pohon tidak kurang dari 15 % dari biomas di atas tanah. Van Noordwijk et. al. (2002) melaporkan bahwa nilai rasio tajuk-akar pada pertanaman kopi bernilai 2:1, sementara pada hutan tropis bernilai 4:1. Sementara itu, nilai rasio akar-tajuk untuk hutan sekunder dalam ekosistem tropis adalah sebesar 0.1 (Hamburg, 2000).

Biomas bertambah seiring dengan pertumbuhan tanaman. Dalam proses pertumbuhannya, tanaman melakukan proses fotosintesis. Dalam proses fotosintesis, tumbuhan merubah CO2 dan air menjadi karbohidrat sederhana.

Selanjutnya melalui proses metabolisme, senyawa karbohidrat tersebut kemudian diubah menjadi lipid, asam nukleat, protein dan molekul organik lainnya. Molekul organik tersebut selanjutnya diubah menjadi daun, batang, akar, buah, jaringan dan sistem organ lainnya. White dan Plashett (1981) menyebutkan bahwa biomas bagian-bagian pohon didistribusikan sebesar 60–65% pada bagian batang, 5 % pada bagian tajuk, 10–15 % pada bagian daun dan cabang, 5–10% pada bagian tunggak,dan 5 % pada bagian akar.

Brown (1997) mengemukakan bahwa hampir 50 % dari bioma s vegetasi tersusun atas unsur karbon, dimana unsur tersebut dapat dilepas ke atmosfer dalam bentuk CO2 apabila hutan dibakar atau ditebang habis. Menurut Hygreen dan

Bowyer (1993), satu potong kayu akan memiliki 49 % C, 6 % H, 44 % O dan 0.1 % abu.

(45)

sebagai sumber hara. Whitmore (1986) menyatakan bahwa banyak nitrogen yang terfiksasi selama terjadi badai dan turun ke bumi bersama dengan hujan. Hara lain yang banyak masuk ke dalam ekosistem melalui curah hujan adalah K, Ca, dan Mg (Kenworty dalam Whitmore, 1986). Namun demikian, curah hujan yang tinggi akan menyebabkan tanah-tanah yang tidak tertutupi oleh vegetasi rentan sekali terhadap pencucian yang akan mengurangi kesuburan tanah dengan cepat (Resosoedarmo et. al., 1986). Hal ini akan mengakibatkan produktivitas vegetasi menjadi rendah, sehingga produksi biomas juga akan menurun.

Pendugaan biomas bisa didekati dengan dua cara (Brown, 1997). Pendekatan pertama dilakukan dengan berdasarkan pendugaan volume kulit sampai batang bebas cabang, kemudian diubah menjadi kerapatan biomas (ton/ha) dengan mengalikan dengan faktor ekspansi biomas. Pendekatan kedua dilakukan dengan menggunakan persamaan regresi biomas berdasarkan diameter batang pohon. Persamaan yang dibangun berdasarkan diameter dikenal dengan persamaan alometrik dengan rumus dasar adalah:

Y = a Db

dengan Y adalah biomas pohon, D adalah diameter setinggi dada, a dan b adalah konstanta.

Dalam pendugaan biomas, Chapman (1976) mengelompokkan metode pendugaan biomas di atas tanah yaitu metode destruktif (pemanenan) dan metode non destruktif (tidak langsung). Metode pemanenan terdiri dari 3 metode. Metode pertama yaitu metode pemanenan individu tanaman, diterapkan pada kondisi tingkat kerapatan tumbuhan cukup rendah dan jenis sedikit. Metode kedua adalah metode pemanenan kuadrat, dilakukan dengan memanen semua individu pohon dalam unit area contoh dan menimbangnya. Metode ketiga adalah metode memanen individu pohon yang mempunyai luas bidang dasar rata-rata. Metode ini diterapkan pada individu yang me miliki ukuran seragam. Metode tidak langsung terdiri dari metode hubungan alometrik dan metode crop meter.

2.7 Hutan Rakyat

(46)

hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Berdasarkan statusnya, maka terdapat 2 kelompok besar, yaitu hutan negara dan hutan hak. Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah, sedangkan hutan hak adalah hutan yang dibebani hak atas tanah yang biasanya disebut hutan rakyat. Menurut Peraturan Pemerintah No. 62 Tahun 1998, hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik. Hutan rakyat menurut Kepmenhut No. 49/Kpts-II/1997 adalah hutan yang dimiliki oleh rakyat dengan ketentuan luas minimun 0.25 ha dan penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan lebih dari 50 % dan atau pada tanaman tahun pertama sebanyak minimal 500 tanaman. Hardjosoediro (1980) dalam Awang et. al. (2002) mengemukakan bahwa hutan rakyat atau hutan milik adalah semua hutan yang ada di Indonesia yang tidak berada di atas tanah yang dikuasai pemerintah, dimiliki oleh masyarakat, proses terjadinya dapat dibuat oleh manusia, dapat juga secara alami dan dapat juga karena upaya rehabilitasi lahan kritis.

Pengertian yang lebih luas tentang hutan rakyat dikemukakan oleh Awang

et. al. (2002) yang menyebutkan bahwa hutan rakyat adalah hutan yang

pengelolaannya dilaksanakan oleh organisasi masyarakat baik pada lahan individu, komunal (bersama), lahan adat maupun lahan yang dikuasai oleh negara. Hutan rakyat tersusun dari satuan ekosistem kehidupan mulai dari tanaman keras, non kayu, satwa, buah-buahan, satuan usaha tani semusim, peternakan, barang dan jasa serta rekreasi alam. Dengan demikian terdapat 3 kelompok komoditas dalam hutan rakyat, yaitu:

a. hutan rakyat yang berbasis komoditas kayu

b. hutan rakyat yang berbasis kepada komoditas non kayu c. hutan rakya t yang berbasis jasa rekreasi alam.

(47)

Kabupaten Gunungkidul terletak pada koordinat 110o21' – 110o50' BT dan 07o46' - 07o90' LS. Ketinggian tempat bervariasi antara 0-700 meter dari permukaan laut (m dpl). Lokasi penelitian terletak di Desa Dengok, Kecamatan Playen.

3.1 Kondisi Geofisik

Desa Dengok terletak pada ketinggian 200–300 m dpl, dengan topografi datar - bergelombang. Suhu berkisar antara 24–35 oC, dengan musim hujan terjadi pada Bulan Oktober sampai Maret; dan musim kemarau Bulan April sampai September. Menurut klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson, Kecamatan Playen termasuk dalam kategori iklim C dengan nilai Q 33.3–60 %. Curah hujan berkisar berkisar 2000–2100 mm/tahun.

Kecamatan Playen terdiri atas dataran karst, kerucut karst, eskarpmen, perbukitan lipatan paralel, bukit sisa erosi, dataran banjir, polje atau dolin, dan jalur aliran sungai. Jenis tanah di lokasi penelitian termasuk dalam ordo inceptisols. Tanah ordo ini adalah tanah-tanah pada tahap perkembangan awal dan dicirikan adanya perubahan warna, perkembangan struktur dan biasanya terdapat peningkatan liat atau bahan organik pada bagian bawah namun belum memenuhi syarat sebagai horizon argilik. Kelompok tanah ini terdiri dari beberapa famili dan mempunyai sebaran yang cukup luas. Tanah ini tersebar pada landform yang bervariasi diantaranya pada landform alluvial, struktural dan tektonik, serta marine, dengan bahan induk yang bervariasi.

3.2 Luas dan Kependudukan

(48)

3.3 Potensi Hutan Rakyat

Perkembangan hutan rakyat di Desa Dengok dimulai sejak tahun 1970-an. Pada permulaannya ada lokasi yang dinamai ‘Regol Baya’, yaitu tanah pemerintah/kas desa yang banyak ditumbuhi pohon Jati berumur 300-an tahun. Masyarakat sekitar mengambil dan memanfaatkan semai/anakan yang ada, kemudian menanamnya di lahan/tegalan mereka.

Perkembangan hutan rakyat di Desa Dengok dipengaruhi oleh kondisi tanah yang semakin kritis, ketersediaan air yang mulai berkurang serta kondisi hutan negara yang semakin rusak. Pada tahun 90-an, kesadaran masyarakat untuk membangun hutan rakyat sudah semakin tinggi. Bagi mereka menanam tanaman keras di atas lahan mereka akan sangat menguntungkan, hal ini karena ada pepatah di masyarakat “ora ngingu gedhe dhewe” (tidak dipelihara bisa besar/tumbuh sendiri), sehingga tanpa pemeliharaan yang serius pun mereka akan memungut hasilnya kelak. Hutan rakyat di Desa Dengok meliputi kawasan dengan kategori hutan, tegalan, kebun dan pekarangan. Luas kawasan dengan kategori hutan secara keseluruhan adalah 24.08 ha.

Hutan rakyat di Desa Dengok bercirikan luas lahan yang kecil, kepemilikan individu dan dikelola secara tradisional. Berdasarkan beberapa kajian yang telah dilakukan, hutan rakyat di Gunungkidul tergo long dalam tiga pola tanam, yaitu:

§ pohon-pohon hanya ditanam di sepanjang batas lahan milik, sedangkan sebagian besar lahan ditanami dengan tanaman semusim, khususnya penghasil pangan

§ pohon-pohon ditanam di sepanjang batas lahan milik dan teras untuk menge ndalikan erosi, di antara teras ditanami dengan tanaman penghasil pangan atau sayur- mayur

§ seluruh bidang lahan ditanami dengan pohon-pohonan saja.

3.4 Kelembagaan Hutan Rakyat

(49)

Yogyakarta. Mengingat dinamika kelompok yang ada, maka model stimulasi ditindaklanjuti melalui program-program pemberdayaan masyarakat.

Pada perkembangan selanjutnya tahun 2004 melalui grand assessment

(50)

METODE PENELITIAN

4.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di hutan rakyat Desa Dengok, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunungkidul. Penelitian ini dilakukan pada lahan dengan pola tanam seluruh bidang lahan ditanami pogon-pohonan. Luas hutan rakyat dengan pola tanam tersebut sekitar 24.1 ha. Hutan rakyat telah mendapatkan sertifikat dalam skema Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat Lestari (PHBML) Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) pada 20 September 2006 dan berlaku sampai 20 September 2021 oleh PT TUV International Indonesia. Kegiatan pengambilan data baik data primer maupun data sekunder dilakukan selama 4 bulan (April-Juli 2007).

4.2 Bahan dan Alat

Bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah tanaman jati. Sedangkan alat yang digunakan dala m penelitian ini diantaranya adalah sebagai berikut:

1) Peralatan pembuatan petak ukur (gps, kompas, pita meter, patok, tali rafia dan parang).

2) Peralatan pengukuran pertumbuhan tegakan dan tanaman bawah (diameter tape dan tally sheet).

3) Peralatan pengambilan sampel tegakan untuk pengukuran biomas ( gergaji, kertas sampel, kantung plastik dan timbangan).

4) Peralatan pengambilan sampel tanah (ring sampel, label, plastik dan pisau) 5) Peralatan pengolah data (komputer).

4.3 Rancangan Penelitian 4.3.1 Peubah Yang Diamati

Peubah yang diamati dalam penelitian ini meliputi:

(51)

b) Berat basah, berat kering dan kadar karbon bagian bawah tanah tanaman jati.

c) Kadar biomas dan karbon tumbuhan bawah.

d) Kadar biomas dan karbon tanaman mahoni dan jenis lainnya. e) Kadar karbon tanah.

4.3.2 Metode Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer adalah data biomas dan karbon tegakan hutan rakyat, biomas dan karbon tumbuhan bawah dan tanah. Data sekunder meliputi data potensi dan luas hutan rakyat. Pengumpulan data primer dilakukan dengan pengamatan lapang terhadap diameter pohon, biomas tumbuhan bawah dan contoh tanah. Metode pengukuran biomas tegakan dan tumbuhan bawah dilakukan dengan cara sampling destruksi. Selengkapnya metode pengukuran biomas disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Metode Pengukuran Biomas

No Biomas Metode

1 2 3

Tanaman jati

Tanaman mahoni dan lainnya Tumbuhan bawah dan serasah

Destruktif/Sampling sebanyak + 15 pohon Persamaan alometrik Brown (1997) Destruktif

Sebagai perbandingan, perhitungan biomas pohon jati juga akan dilakukan dengan model alometrik Brown (1997) dan metode yang dikembangkan oleh Ketterings et. al. (2001):

Biomas = 0.11 ? D 2.62

(52)

4.3.2.1 Pengukuran Biomas Tanaman Jati

Pengukuran biomas tanaman jati dilakukan dengan cara destruksi. Penentuan sampel tebangan dilakukan dengan membuat plot 20 m x 20 m sebanyak 3 kali ulangan. Pada salah satu sudut diagonal plot dibuat sub plot berukuran 2 m x 2 m untuk pengukuran tumbuhan bawah, serasah dan contoh tanah (Gambar 5). Peletakan plot mempertimbangkan kerapatan pohon penyusun tegakan hutan rakyat. Berdasarkan data inventarisasi 100 % yang dilakukan oleh unit manajemen hutan rakyat Desa Dengok pada bulan Maret 2007, menunjukkan bahwa hutan rakyat Desa Dengok didominasi oleh pohon berdiameter < 15 cm. Penebangan dilakukan terhadap 15 pohon terdiri dari 6 pohon pada kelas diameter 5–14 cm, 6 pohon pada kelas diameter 15–24 cm, dan 3 pohon pada kelas diameter 25 cm – up.

[image:52.596.248.386.347.455.2]

20 m

Gambar 5. Plot Ukur Tegakan keterangan:

- plot utama berukuran 20 m x 20 m: pengukuran pohon (dbh > 5cm)

- sub plot berukuran 2 m x 2 m: pengukuran tumbuhan bawah dan serasah dan contoh tanah.

Selanjutnya diukur dbh dan tinggi. Kemudian dilakukan pengolahan data untuk memilih pohon yang akan ditebang.

a. Pengambilan sampel bagian pohon

a.1. Batang (Gambar 6)

§ Membersihkan batang dari cabang dan ranting, pemotongan batang dengan panjang tertentu sesuai dengan titik perubahan ukuran diameter (0.3m dan 2.3m).

§ Mengukur diameter pada titik pemotongan batang.

§ Menimbang berat setiap bagian. 2 m

2 m

(53)

§ Mengambil sampel setiap bagian sebanyak + 300 gram (memotong batang dengan ketebalan tertentu pada pangkal dan ujung), dimasukkan dalam plastik sampel dan diberi kode.

a.2. Cabang

§ Melakukan pembagian antara cabang hidup dan mati.

§ Menimbang berat setiap bagian.

§ Mengambil sampel setiap bagian sebanyak + 300 gram (memotong cabang dengan ketebalan tertentu pada pangkal, tengah dan ujung), dimasukkan dalam plastik sampel dan diberi kode.

a.3. Ranting

§ Melakukan pembagian antara ranting hidup dan mati.

§ Menimbang berat total setiap bagian.

§ Mengambil sampel setiap bagian sebanyak + 300 gram (memotong cabang dengan ketebalan tertentu pada pangkal, tengah dan ujung), dimasukkan dalam plastik sampel dan diberi kode.

a.4. Daun

§ Mengelompokkan antara daun tua dan daun muda.

§ Menimbang berat total daun muda dan daun tua.

§ Mengambil sampel sebanyak + 300 gram (masing- masing daun muda dan daun tua), dimasukkan dalam plastik sampel dan diberi kode.

a.5. Bunga dan Buah

§ Menimbang berat total bunga dan buah.

§ Mengambil sampel sebanyak + 300 gram, dimasukkan dalam plastik sampel dan diberi kode.

a.6. Akar

§ Melakukan penga mbilan akar.

§ Memisahkan akar primer dan akar sekunder.

§ Mengukur diameter masing- masing akar primer dan akar sekunder.

§ Menimbang berat akar primer.

§ Mengambil sampel bagian akar primer yang mewakili sebanyak + 300 gram, dimasukkan dalam plastik sampel dan diberi kode.

(54)
[image:54.596.232.393.143.333.2]

§ Mengambil sampel bagian akar sekunder yang mewakili sebanyak + 300 gram, dimasukkan dalam plastik sampel dan diberi kode.

Gambar 6. Gambaran Mengenai Batang, Cabang dan Ranting (Hairiah et. al., 2001)

b. Penentuan biomas di laboratorium

Penentuan biomas di laboratorium mengacu kepada pedoman dari FORDA dan JICA (2005). Setiap sampel dikeringkan pada suhu 85 oC selama 48 jam untuk kayu dengan diameter kurang dari 10 cm, lalu ditimbang untuk memperoleh berat kering sampel. Jika diameter sampel lebih dari 10 cm, maka pengeringan dilakukan selama 96 jam.

Setelah sampel dikeringkan, kemudian dilakukan penghitungan berat kering setiap bagian tanaman dengan persamaan:

)

...(kg

xTFW SFW

SDW = TDW

keterangan:

(55)

4.3.2.2 Pengukuran Biomas Tumbuhan Bawah dan Serasah a. Pengambilan sampel tumbuhan bawah dan serasah

§ Mengumpulkan semua tumbuhan bawah dengan diameter < 5 cm dalam sub plot ukuran 2 m x 2 m (Gambar 6) sebanyak 3 kali ulangan, kemudian ditimbang berat basahnya.

§ Mengumpulkan data jen

Gambar

Gambar 1. Bagan Alir Kerangka Pemikiran Penelitian
Gambar 2. Bagan Alir Pelaksanaan Penelitian
Gambar 3. Siklus Karbon
Gambar 4. Siklus Karbon di Dalam Ekosistem Agroforestry (Hairiah et. al., 2002)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Bila dibandingkan pendapatan bersih petani dari pengelolaan hutan rakyat dengan dan tanpa skema perdagangan karbon, pendapatan bersih petani dari pengelolaan hutan rakyat dengan

Tabel Data Plot Sampel Hasil pengolahan plot sampel

Hasil analisis menunjukkan bahwa aktivitas yang terindikasi menghasilkan emisi karbon adalah aktivitas pengolahan lahan dengan estimasi emisi sebesar 9,26 ton/thn,

Lokasi pengambilan sampel bambu belangke ( Gigantochloa pruriens Widjaja.).. Dokumentasi analisis sampel