• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Allometrik Biomassa dan Massa Karbon Bambu Belangke (Gigantochloa pruriens Widjaja.) di Hutan Rakyat Desa Sirpang Sigodang, Kecamatan Panei, Kabupaten Simalungun

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Model Allometrik Biomassa dan Massa Karbon Bambu Belangke (Gigantochloa pruriens Widjaja.) di Hutan Rakyat Desa Sirpang Sigodang, Kecamatan Panei, Kabupaten Simalungun"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Hutan Rakyat

Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.03/MENHUT-V/2004, pengertian hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik maupun hak lainnya dengan ketentuan luas minimum 0,25 ha, penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan tanaman lainnya lebih dari 50 %. Definisi ini diberikan untuk membedakannya dengan hutan negara, yaitu hutan yang tumbuh di atas tanah yang tidak dibebani hak milik atau tanah negara. Dengan demikian hutan hak dapat disebut sebagai hutan rakyat/tanaman rakyat (Departemen Kehutanan, 1989).

Hutan rakyat bambu tanamannya hidup merumpun, kadang-kadang ditemui berbaris membentuk suatu garis pembatas dari suatu wilayah desa yang identik dengan batas desa di Jawa. Penduduk desa sering menanam bambu di sekitar rumahnya untuk berbagai keperluan. Seperti halnya tebu, bambu mempunyai ruas dan buku. Pada setiap ruas tumbuh cabang-cabang yang berukuran jauh lebih kecil dibandingkan dengan buluhnya sendiri. Pada ruas-ruas ini pula tumbuh akar-akar sehingga pada bambu dimungkinkan untuk memperbanyak tanaman dari potongan-potongan setiap ruasnya, disamping tunas-tunas rimpangnya (Widjaja, 1985).

(2)

pendapatan masyarakat dan pemenuhan kebutuhan akan hasil hutan baik kayu maupun HHBK (Awang dkk, 2001).

Tinjauan Bambu

1. Kondisi Tempat Tumbuh Topografi

Tanaman bambu dijumpai tumbuh mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi 100 – 2200 m di atas permukaan laut. Secara umum di lokasi pengembangan bambu bentuk topografi mulai dari berombak sampai bergunung. Satuan topografi mulai dari berombak sampai bergunung. Satuan topografi berombak mempunyai kemiringan 3 – 8%, bergelombang 9 – 15% dan bergunung > 30% (Nur dan Rahayu, 1995).

Iklim

Lingkungan yang sesuai untuk tanaman bambu adalah bersuhu 8,8 - 36°C. Tipe iklim mulai dari A, B, C, D sampai E (mulai dari iklim basah sampai kering), semakin basah tipe iklim makin banyak jenis bambu yang dapat tumbuh. Ini disebabkan tanaman bambu termasuk tanaman yang banyak membutuhkan air yaitu curah hujan minimal 1020 mm/tahun dan kelembaban minimum 76%

(Nur dan Rahayu, 1995). Tanah

(3)

1,81 %. Rata-rata suhu pada siang hari waktu musim penghujan adalah 21°C dengan kelembaban mencapai 75,1 % sedangkan pada musim kemarau rata-rata suhu pada siang hari dapat mencapai 25,83°C dan kelembaban udara rata 61 % (Nur dan Rahayu, 1995).

2. Karakteristik Bambu Belangke (Gigantochloa pruriens Widjaja.)

Bambu tergolong keluarga Gramineae (rumput-rumputan) disebut juga Hiant Grass (rumput raksasa), berumpun dan terdiri dari sejumlah batang (buluh) yang tumbuh secara bertahap, dari mulai rebung, batang muda dan sudah dewasa pada umur 4-5 tahun. Batang bambu berbentuk silindris, berbuku-buku, beruas-ruas berongga kadang-kadang masif, berdinding keras, pada setiap buku terdapat mata tunas atau cabang. Akar bambu terdiri dari rimpang (rhizon) berbuku dan beruas, pada buku akan ditumbuhi oleh serabut dan tunas yang dapat tumbuh menjadi batang (Widjaja, 1985).

Gambar 1. Bambu Belangke (Gigantochloa pruriens Widjaja.)

(4)

Buluh muda berumur 2 minggu dengan tinggi rata-rata 110 – 120 cm hingga yang tua berumur lebih dari 10 minggu dengan tinggi rata 12,5 m. Diameter batang/ buluh muda dan tua 4,67 – 5,10 cm (rata-rata 4,89 cm). Panjang buku 12 – 15 cm (rata-rata 13,5 cm) untuk yang berumur 2 minggu dengan tinggi 110 – 120 cm (rata-rata 115 cm) dan panjang buku 26 – 34 cm (rata-rata 25 cm) untuk yang berumur lebih dari 2 minggu. Cabang bambu yang tumbuh pada batang utama berkembang ketika buluh mencapai tinggi 12 m setelah minggu ke 10 (Suprihatno, 2012).

Siklus Karbon

Karbon dapat dijumpai di atmosfer sebagai karbon dioksida, di dalam jaringan tubuh makhluk hidup, dan tebesar dijumpai dalam batuan endapan serta bahan bakar fosil yang terdapat di dalam perut bumi. Karbon masuk ke dalam tubuh organisme melalui rantai makanan. Karbon dioksida diserap oleh tumbuhan hijau melalui proses fotosintesis dan disimpan sebagai biomassa pada berbagai organ, diantaranya daun. Karbon organik dalam dedaunan hijau kemudian masuk ke tubuh organisme melalui proses pencernaan dan kembali ke udara melalui proses respirasi. Rangkaian proses ini menghasilkan siklus yang lengkap dan disebut sebagai siklus karbon (Gambar 2. Siklus karbon). Meskipun demikian, tidak semua karbon pada tubuh organisme kembali ke atmosfer, sebagian ada yang terikat membentuk biomassa tubuh. Ketika oksigen tersedia, respirasi aerobik terjadi, yang melepaskan karbon dioksida ke udara atau air di sekitarnya, menurut reaksi berikut:

(5)

Adanya kehidupan di dunia menyebabkan perubahan CO2 di atmosfer dan CO2 di lautan ke dalam bentuk organik maupun anorganik di daratan dan lautan. Perkembangan berbagai ekosistem selama jutaan tahun menghasilkan pola aliran C tertentu dalam ekosistem tingkat global. Namun, dengan adanya aktivitas manusia (penggunaan bahan bakar fosil dan alih guna lahan hutan) menyebabkan perubahan pertukaran antara C di atmosfer, daratan, dan ekosistem lautan. Akibat kegiatan tersebut, terjadi peningkatan konsentrasi CO2 ke atmosfer sebanyak 28% dari konsentrasi CO2 yang terjadi 150 tahun yang lalu (IPCC, 2007).

Gambar 2. Siklus Karbon Sumber: Wirakusumah, 2003

Jumlah karbon di atmosfer dipengaruhi oleh besarnya hasil proses fotosintesis, respirasi tegakan, respirasi serasah, dan respirasi tanah. Jumlah karbon dalam bentuk karbon bebas juga sangat dipengaruhi oleh tambahan dari luar sistem seperti kebakaran hutan, letusan gunung dan sebagainya

(6)

Dalam siklus karbon global sumber/stok terbesar karbon berasal dari lautan yang mengandung 39 Tt (1 Tera ton = 1012 ton). Sumber terbesar lainnya terdapat di dalam fosil sebesar 6 Tt. Lahan hutan yang terdiri dari biomassa pohon, tumbuhan bawah, nekromasa (bahan organik) dan tanah hanya sekitar 2,5 Tt atau sekitar 5% dari jumlah total C di alam. Jumlah C yang tersimpan dalam tanah secara global 4 kali lebih banyak dari pada yang disimpan dalam biomassa vegetasi. Pertukaran C di daratan dikendalikan oleh fotosintesis dan respirasi tanaman dengan serapan CO2 rata-rata per tahun 0,7 Gt. Atmosfer menampung C terendah hanya sekitar 0,8 Tt atau 2% dari total C di alam, serapan CO2 per tahun

3,3 Gt (ICRAF, 2001).

Hutan Bambu Sebagai Penyerap CO2

Ekosistem bambu adalah bagian penting dari ekosistem hutan karena sebagai sumber karbon, menyimpan karbon (sink) di bumi, dan bambu tumbuh sangat cepat dan membentuk tegakan. Bambu meliliki potensi yang sangat besar untuk memproduksi biomassa dan penyerapan karbon terutama pada bagian batang. Jika jumlah fiksasi karbon bambu lebih besar dibanding dengan penguraian, maka bambu menyimpan karbon (carbon sink)

(BuildDirect.com Learning Center, 2012).

(7)

nilainya untuk perbaikan lingkungan, dengan menyerap karbon sampai 12 ton/ ha/tahun (Lai et al., 2006 dalam Baharuddin, 2013).

Stok Karbon dan Serapan Karbon Bambu

Stok karbon adalah karbon yang tersimpan di satu tempat pada waktu tertentu. Stok karbon hutan termasuk pohon hidup berdiri dan vegetasi mati, puing-puing kayu dan sampah, bahan organik di dalam tanah, dan stok karbon yang dipanen seperti kayu untuk produk kayu dan bahan bakar (Casper, 2010).

Proses pengembalian karbon (C) dari atmosfer dan disimpan dalam bagian pohon disebut serapan karbon (carbon sequestration) atau penimbunan karbon dalam tubuh tanaman hidup, (Hairiah dkk., 2011). Istilah serapan karbon didefinisikan sebagai proses pengambilan substansi yang mengandung karbon, khususnya CO2 ke dalam penyimpanan dalam jangka waktu lama (IPCC, 2007).

(8)

Berdasarkan penelitian Muhdi (2013) di areal hutan alam tropika IUPHHK-HA PT Inhutani II, Malinau, Kalimantan Timur, yang menyatakan bahwa kadar karbon berdasarkan kelas diameter memiliki kadar karbon bervariasi yakni kadar karbon terbesar terdapat pada bagian batang sebesar 45,75% dengan kisaran kadar karbon rata-rata 40,29%-53,12%. Kadar karbon terkecil yakni pada daun sebesar 19,61% dengan kisaran kadar karbon antara 15,31%-22,58% dikarenakan daun memiliki kadar zat terbang dan kadar abu yang tinggi. Besarnya kadar karbon tergantung pada kadar abu dan zat terbang dimana semakin tinggi kadar zat terbang dan kadar abu maka kadar karbon juga semakin rendah.

Yiping, et al., (2010), memberikan perbandingan potensi penyerapan CO2

antara jenis bambu Moso dengan jenis Chinese Fir dengan dua kali rotasi tebang 30 tahun seperti terlihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Pola Serapan Karbon Bersih Tahunan Dengan Pola Panen Teratur Dalam Siklus 60 Tahun

Sumber: Yiping, et al., 2010.

(9)

memanen batang yang masak tebang atau 1/3 jumlah batang yang bertumbuh setiap tahun akan menjadi 3,8 ton C/tahun. Sedangkan Chinese Fir pada umur 13 tahun pertumbuhan menurun sehingga jumlah serapan karbon menurun hingga umur panen 30 tahun daur pertama. Akumulasi serapan karbor 217 ton C/ha bambu jenis Moso sedangkan jenis Chinese Fir hanya 176 ton C/ha selama 60 tahun (Yiping, et al., 2010).

Biomassa Bambu

Biomassa merupakan jumlah total materi organik tanaman yang hidup di atas tanah yang diekspresikan sebagai berat kering tanaman per unit areal. Menurut Whitten et al., (1984) dalam Hadi (2007) mendefinisikan biomassa sebagai jumlah total berat kering semua bagian tumbuhan hidup, baik seluruh atau hanya sebagian tubuh organisme, populasi, atau komunitas yang dinyatakan dalam berat kering per oven per unit area.

Biomassa bambu terdiri atas daun, cabang, batang atau culm, rimpang (Coarse roots atau rhizomes) dan akar serabut atau Fine roots. Biomassa bambu dapat dibagi atas biomassa di atas permukaan meliputi batang, cabang, daun dan di bawah permukaan termasuk akar dan rimpang. Ketersediaan air penting dalam produksi biomassa bambu. Produksi biomassa meningkat jika air tersedia dan akan berkurang produktivitasnya jika air terbatas

(BuildDirect.com Learning Center, 2012).

(10)

bambu mengalokasikan biomassa lebih ke organ bawah tanah, dengan rimpang akar yang lebih panjang dan produksi meningkat, sehingga membantu untuk menyerap hara yang penting untuk pertumbuhan (Bowyer., dkk. 2005).

Pengukuran dan Pendugaan Biomassa dan Massa Karbon Bambu

Alasan perlunya mengukur biomassa yaitu: semua tumbuhan termasuk pohon menghasilkan biomassa melalui fotosintesa, jika ilmuwan ingin mengetahui dengan baik bagaimana pohon bertumbuh, perlu mengetahui berapa banyak biomassa yang dihasilkan oleh pohon, berkaitan dengan pemanasan global, menarik dalam jumlah karbon yang diserap oleh biomassa hutan, hasil dari mengambil gas rumah kaca CO2, keberadaan hutan tanaman sebagai sumber

kayu energi yang tumbuh 3-5 tahun dijual berdasarkan berat bukan volume termasuk kayu bakar dan kayu untuk kertas (Whitmore, 1985).

Metode yang digunakan untuk menduga volume pohon dan biomassa senantiasa berkembang untuk menduga yang sedekat mungkin dengan realitas. Model penduga volume dan biomassa telah mengalami perubahan dan berbeda pada ekologi yang berbeda (Parresol, 1999).

(11)

penggunaan persamaan standard ini dapat mengakibatkan galat (error) yang signifikan dalam mengestimasikan biomassa suatu vegetasi (Heiskanen, 2006).

Berdasarkan penelitian Suprihatno (2012) tentang analisis kandungan biomassa dan cadangan karbon bambu belangke (Gigantochloa pruriens Widjaja.) di areal tanaman bambu Kebun Kayangan, PT. Salim Ivomas Pratama, Rokan Hilir didapat bahwa rata-rata biomassa bambu belangke (Gigantochloa pruriens Widjaja.) bambu/batang sebesar 872,22 g/batang.

Tabel 1. Rata-rata Biomassa dan Cadangan Karbon Rata-rata Setiap Individu Tanaman Bambu Pada Berbagai Tinggi Tanaman

Tinggi Tanaman

Rata-rata 872,22 470,23

Berdasarkan Tabel 1 terlihat bahwa rata-rata biomassa 145,07-1.925,67 g/batang (rata-rata 872,22 g/batang) dan rata-rata cadangan karbon 78,07-1.029,79 g/batang (rata-rata 470,23 g/batang). Rata-rata biomassa dan rata-rata cadangan karbon semakin meningkat dengan bertambahnya tinggi tanaman dan umur tanaman. Rata-rata biomassa dan rata-rata cadangan karbon tertinggi setelah tanaman mencapai tinggi diatas 11 m atau berumur lebih dari 10 minggu.

(12)

batang. Berdasarkan dengan biomassa setiap batang bambu 14.34 kg maka serapan CO2/batang adalah 14.34 kg x 1.467 = 21.04 kg per batang per tahun.

Total cadangan karbon hutan bambu tergantung pada jenis, umur, kerapatan, dan faktor lingkungan.

Tabel 2. Potensi Serapan CO2 Tegakan Bambu Parring pada Hutan Rakyat di Kecamatan

Tanralili, Kabupaten Maros. No Plot Biomassa

Total 64071,21 93992,46

Rata-rata 6407,12 9399,25

Berdasarkan hasil pendugaan potensi serapan CO2 untuk jenis tanaman

bambu parring diperoleh total serapan CO2 sebesar 93992,46 kg ( 93,99 ton) CO2

per ha dengan serapan tahunan sebesar 31330,82 (31,33 ton) CO2 per ha selama

satu tahun.

Model Allometrik Biomassa dan Massa Karbon

Metode allometrik merupakan metode pengukuran pertumbuhan tanaman yang dinyatakan dalam bentuk hubungan-hubungan eksponensial atau logaritma antar organ tanaman yang terjadi secara harmonis dan perubahan secara proporsional (Parresol, 1999).

(13)

pengalaman, dikatakan bahwa persamaan allometrik hasilnya akan akurat apabila variabel bebasnya dinyatakan dalam formulasi volume pohon yang direpresentasikan dalam bentuk D2H. Martin et al. (1998) juga menyatakan bahwa persamaan allometrik dapat digunakan untuk menghubungkan antara diameter batang pohon dengan variabel yang lain seperti volume kayu, biomassa pohon, dan kandungan karbon pada tegakan hutan yang masih berdiri (standing stock).

Sebelum pembuatan model diperlukan parameter-parameter yang mendukung keberadaan model tersebut, yang menjadi kriteria adalah adanya korelasi yang tinggi antara parameter-parameter penciri. Dalam pembuatan model penduga biomassa digunakan satu atau dua peubah bebas (diameter setinggi dada, tinggi bebas cabang, tinggi total dan tinggi tajuk) dalam bentuk linear dan non linear. Metode estimasi dilakukan dengan menggunakan asumsi-asumsi yang lazim digunakan untuk menaksir kandungan karbon vegetasi hutan. Menurut Brown et al. (1984) bahwa kandungan karbon vegetasi pohon adalah 50% dari biomassa. Berdasarkan cara memperleh data, Brown (1997) mengemukakan ada dua pendekatan yang digunakan untuk menduga biomassa dari pohon, yakni pertama berdasarkan penggunaan dugaan volume kulit sampai batang bebas cabang yang kemudian diubah menjadi kerapatan biomassa (ton/ha). Sedangkan pendekatan kedua secara langsung dengan menggunakan persamaan regresi biomassa.

(14)

sebenarnya. Fungsi dan model biomassa dipresentasikan melalui persamaan diameter dan tinggi total pohon.

Kittredge (1994) merumuskan metode allometrik dalam bentuk persamaan formulasi kuadrat sebagai berikut:

Y = aXb Keterangan:

Y = Variabel bergantung (biomassa)

X = Variabel bebas (diameter dan tinggi total pohon) a, b = Konstanta

Model yang digunakan untuk membangun model allometrik regresi linear berganda digunakan persamaan sebagai berikut:

Y = a + bX1 + cX2 + dX3

Keterangan: Y = Biomassa

X1, X2, X3 = Parameter yang diukur

a, b, c = nilai estimasi

(15)

Penggunaan persamaan allometrik standar yang telah dipublikasikan sering dilakukan, tetapi karena koefisien persamaan allometrik ini bervariasi untuk setiap lokasi dan jenis, penggunaan persaman standar ini dapat mengakibatkan galat (error) yang signifikan dalam mengestimasikan biomassa suatu vegetasi (Heiskanen, 2006).

Biomassa bambu bervariasi tergantung jenis, tempat tumbuh dan pengelolaannya. Sehingga secara spesifik setiap jenis bambu yang tumbuh di tempat tumbuh yang berbeda dan pengelolaan yang berbeda akan menghasilkan biomassa yang berbeda. Ada beberapa persamaan allometrik pada bambu untuk dapat menentukan biomassa seperti M = 0,131 D2,28 (Yiping, et al., 2010), W = -3225,8 + 1730,4 DBH (Sutaryo, 2009).

Hasil penelitian Wicaksono, dkk (2012) model pendugaan allometrik pada volume, biomassa, dan karbon bambu petung (Dendrocalamus asper) pada lahan pekarangan masyarakat Dusun Ngandong dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Model Pendugaan allometrik volume, biomassa, karbon bambu petung (Dendrocalamus asper) menurut diameter

No Persamaan R2

Gambar

Gambar 1. Bambu Belangke ( Gigantochloa  pruriens Widjaja.)
Gambar 2. Siklus Karbon Sumber: Wirakusumah, 2003
Gambar 3. Pola Serapan Karbon Bersih Tahunan Dengan Pola Panen Teratur  Dalam Siklus 60 Tahun Sumber: Yiping, et al., 2010
Tabel 1. Rata-rata Biomassa dan Cadangan Karbon Rata-rata Setiap Individu Tanaman    Bambu Pada Berbagai Tinggi Tanaman
+2

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh model allometrik hubungan antara biomassa batang, cabang dan daun dengan dimensi pohon (diameter dan tinggi) pohon Eucalyptus grandis

Alometrik biomasa pohon adalah suatu persamaan matematika yang dibangun dengan menghubungkan antara ukuran tertentu bagian pohon seperti diameter, kerapatan kayu,

Bila dibandingkan dengan hasil penelitian Widyasari (2010) yang melakukan penelitian terhadap pendugaan biomassa dan potensi karbon terikat di atas permukaan tanah pada hutan

ANALISIS BIOMASSA DAN CADANGAN KARBON BAMBU BELANGKE (Gigantochola pruriens Widjaja) DI HUTAN TANAMAN RAKYAT DESA DURIAN SERUGUN, KECAMATAN SIBOLANGIT, KABUPATEN DELI

SEHAT MARTUA PASARIBU : Analisis Biomassa dan Cadangan Karbon Bambu Belangke ( Gigantochola pruriens W ) di Hutan Tanaman Rakyat Desa Durian Serugun, Kecamatan

Estimasi Potensi Biomassa dan Massa Karbon Hutan Tanaman Acacia crassicarpa di Lahan Gambut (Studi Kasus di Areal HTI Kayu Serat di Pelalawan, Provinsi Riau). Institut

Hasil analisis pada penyusunan persamaan allometrik untuk pendugaan karbon secara langsung pada jenis gewang, baik pada daun, pelepah maupun batang yang digunakan sebagai

Manfaat penelitian ini adalah sebagai informasi bagi peneliti dan instansi yang berguna untuk membantu memaksimalkan pengusahaan hutan rakyat bambu sehingga tercapai hasil