• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi komparasi metode inventarisasi dalam pendugaan ukuran populasi owa Jawa di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi komparasi metode inventarisasi dalam pendugaan ukuran populasi owa Jawa di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak:"

Copied!
214
0
0

Teks penuh

(1)

STUD1 KOMPARASI METODE INWENTARISAS1

DALAM PENDUGMN UKURAN POPUMSI O W

JAWA

Dl TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN-SAMK

A S W A N

SEKOLAEI PASCASARTANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

DAN

SUMBER

PNFO

SI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Studi Kornparasi Metode Inventarisasi dalam Pendugaan Kepadatan Populasi Owa Jawa di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak adalah karya saya dengan arahan dari kornisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam D&ar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, September 2009

(3)

ABSTRACT

ASWAN. Comparison Study of Inventory Methods for Estimation Owa Jawa Population Size in Gunung Halimun-Salak National Park. Under supervised by AGUS PRIYONO KARTONO and YANTO SANTOSA.

The study was conducted to determine optimal method from a range of inventory methods, including strip transect (ST), line transect (LT), and variable circular plot (VCP), for estimating density population of owa jawa in Gunung Halimun- Salak National Park from Januari to April, 2009. A sampling effort of sixteen transect were establish for data collected at two habitat type, that is eight transect at disturbance habitat (DH) and undisturbance habitat (UH), respectively. Six observations were made at each transect, that is three times in morning and three times in afternoon. All three methods shows various of results in terms of detecting number, mean density estimation, and precision. LT and VCP method tend to detected more individual and family group of owa jawa than ST method at both habitat type. But, density estimation that calculating from the data of detecting number by LT method tend to products a lower value at both DH and UH. In contrast, VCP method tend to product a high density value at both habitat type. In all habitat types, LT methods is the most effektif methods ekspressed by high precision of density estimation. VCP methods have a minimum cost than two others. Overall, this study given the LT methods as the most optimal methods for estimating density of owa jawa population based on relative cost and relative variance factors.

(4)

ASWAN. Studi Komparasi Metode Inventarisasi dalam Pendugaan Ukuran Populasi Owa Jawa di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Dibimbing oleh AGUS PRIYONO KARTONO dan YANTO SANTOSA.

Ukuran atau kepadatan merupakan parameter populasi satwaliar yang penting, baik dalam rangka studi populasi untuk meramalkan keadaan populasi pada waktu-waktu tertentu permaupun dalam pengelolaan populasi satwaliar untuk mendapatkan kondisi populasi yang diharapkan. Ukuran atau kepadatan populasi satwaliar di dam diperoleh melalui kegiatan inventarisasi dengan beragam pilihan metode yang telah dikembangkan, namun seringkali metode- metode yang berbeda tersebut menghasilkan nilai dugaan kepadatan populasi dan tingkat ketelitian yang berbeda-beda. Bertolak dari ha1 tersebut maka penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi tiga metode inventarisasi dalam pendugaan kepadatan populasi owa jaw% yakni metode strip transect (ST), metode line transect (LT), dan metode variable circular plot (VCP). Tujuan penelitian ini adalah menentukan metode inventarisasi: (1) yang paling efektif, yakni memiliki tingkat ketelitian paling tinggi, (2) yang mengeluarkan biaya paling rendah, dan (3) yang paling optimal, yakni memiliki tingkat ketelitian paling tinggi dan biaya paling kecil.

Penelitian dilaksanakan di wilayah Resort Gunung Bodas, SPTN Wilayah I11 Sukabumi, TNGHS - Kab. Sukabumi, Jawa Barat mulai bulan Januari s/d April 2009. Masing-masing delapan buah transek yang panjangnya satu km ditempatkan pada dua tipe habitat berbeda yang terdapat di lokasi penelitian, yakni habitat terganggu (HT) dan habitat tidak terganggu (HTT). HT merupakan tipe habitat dengan intensitas gangguan yang relatif tinggi seperti penebangan kayu untuk bahan bakar atau bahan bangunan, pernungutan hasil hutan berupa rotan dan lainnya, serta perambahan hutan untuk memperluas lahan pertanian. HTT merupakan tipe habitat dengan intensitas gangguan yang relatif rendah atau belum mengalami gangguan.

Berdasarkan hasil inventarisasi vegetasi diperoleh 48 jenis tumbuhan tingkat pohon dengan kerapatan total 194,68 batanglha dan 49 jenis tumbuhan tingkat tiang dengan kerapatan total 335,75 batanglha di HT, sedangkan di HTT ditemukan 57 jenis tumbuhan tingkat pohon dengan kerapatan total 223,72 batangtha clan 58 jenis tumbuhan tingkat tiang dengan kerapatan total 364,39 batangiha. Kondisi HT juga ditandai dengan adanya pemanfaatan hasil hutan oleh masyarakat sekitarnya seperti kayu bakar, bambu, dan kayu untuk bahan bangunan. Perbedaan kualitas habitat tersebut diduga berdampak pada kepadatan populasi (true density) dan perubahan perilaku owa jawa yang akhirnya akan mempengaruhi peluang menemukan satwa ini.

(5)

individu) per transek per pengamatan. Sementara metode ST selalu mendapatkan jumlah perjumpaan paling rendah di kedua tipe habitat tersebut.

Berdasarkan hasil analisis data perjumpaan owa jawa yang diperoleh masing-masing metode tersebut diketahui bahwa metode VCP selalu menghasilkan rata-rata nilai dugaan kepadatan kelompok owa jawa paling tinggi di kedua tipe habitat, masing-masing 4,55 kelomPokkm2 di HT dan 5,80 kelompok/km2 di HTT. Rata-rata nilai dugaan kepadatan populasi yang dihasilkan metode VCP juga merupakan yang tertinggi, masing-masing sehesar 1 1,28 individu/km2 di HT dan 14,89 individu/km2 di HTT. Rata-rata nilai dugaan kepadatan kelompok owa jawa paling rendah dihasilkan oleh metode LT, yakni 3,61 kelompok/km2 di HT dan 4,61 kelompok/km2 di HTT. Rata-rata nilai dugaan kepadatan populasi yang dihasilkan metode LT tersebut juga merupakan yang palin rendah, masing-masing 9,31 individu/km2 di HT dan 11,61

5 .

individulkm dl HTT.
(6)

O Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar pihak IPB.

(7)

STUD1 KOMPARASI METODE INVENTARlSASl

DALAM PENDUGAAN UKURAN POPULASI O W

JAWA

Dl TAMAN NASIONAL GUNUNG NALIMUN-SALAK

A S W A N

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada Mayor Konsewasi Biodiversitas Tropika

SEKOLAW PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Judul Tesis : Studi Komparasi Metode Inventarisasi dalam Pendugaan Ukuran Populasi Owa Jawa di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

Nama : Aswan

NRP : E351070061

Mayor : Konservasi Biodiversitas Tropika

Disetujui Koinisi Pembimbiilg

Ketua Anggota

Dr. Ir. Anus Priyono Kartono, MSi Dr. Ir. Yanto Santosa. DEA

NIP196602211991031001 NIP 131430800

Diketahui

Koordinator Mayor

K o n s e ~ a s i Biodiversitas Tro

NIP 1948208119800011001 "'NIP ~95604041980111002

(9)

Puji dan Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas Rahmat dan Hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis yang berjudul "Studi Komparasi Metode Inventarisasi dalam Pendugaan Ukuran Populasi Owa Jawa di Taman Nasional Gunung Halirnun-Salak" sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar magister sains konservasi biodiversitas tropika dari Institut Pertanian Bogor.

Tidak dapat dipungkiri bahwa upaya konservasi keanekaragaman hayati sebagai program nasional yang saat ini menjadi salah satu program prioritas Departemen Kehutanan kurang didukung oleh data yang cukup dan berkualitas. Padahal hams disadari bahwa keberhasilan program konservasi banyak ditentukan oleh data yang berkualitas. Di sisi lain disadari bahwa kualitas data yang tersedia sangat tergantung pada metode yang digunakan untuk ~nenghasilkan data tersebut. Karena itulah penulis memandang bahwa topik penelitian ini penting untuk dikaji karena hasilnya dapat diaplikasikan secara langsung guna mendukung upaya konservasi keanekaragaman hayati di Indonesia. Hal ini juga sebagai wujud terimakasih dan rasa tanggungjawab kepada institusi yang telah memberikan kesempatan dan sekaligus mensponsori penulis dalam program pendidikan magister sains ini.

Tesis ini ditulis dengan susunan yang terdiri atas beberapa bab, yakni Pendahuluan, Tinjauan Pustaka, Kondisi Umurn Wilayah Penelitian, Metodologi, serta Hasil dan Pembahasan. Dengan susunan demikian penulis berharap keterkaitan antara latar belakang, tujuan, metode, dan hasil yang diperoleh dapat lebih mudah dipahami. Walaupun demikian, penulis menyadari bahwa dalam tulisan ini masih terdapat banyak kekurangan, kekeliruan dan kelemahan. Oleh karena itu diharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun untuk perbaikan dan penyempurnaan tesis ini. Semoga hasil penelitian yang dituangkan dalam tesis ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak.

(10)

UCAPAN TERIMA KASIW

Pada kesempatan ini izinkanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada:

(1) Departemen Kehutanan, yang telah memberikan kesempatan dan sekaligus sebagai sponsor penulis dalam mengikuti pendidikan pada Program Magister Sains di Institut Pertanian Bogor, (2) Drh. Kuppin Simbolon, MSc selaku Kepala Balai Taman Nasional Laiwangi Wanggameti atas rekomendasi yang diberikan kepada penulis sebagai syarat untuk dapat mengambil beasiswa program pendidikan S2 yang disediakan oleh Dephut, (3) DR. Bambang Supriyanto, MSc selaku Kepala Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak beserta staf yang telah memberikan ijin dan bantuan kepada penulis untuk melakukan penelitian. Terima kasih pula kepada kawan-kawan seperjuangan mahasiswa S2 KVT 2007, Pak S o h , Bi Uurn dan Pak Ismail atas bantuannya.

Ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya disampaikan kepada Komisi Pembimbing, yakni: Dr. Ir. Agus P Kartono, MSi selaku Ketua Komisi, dan Dr. Ir. H. Yanto Santosa, DEA selaku Anggota Komisi atas curahan pemikiran, waktu, kesabaran, saran dan arahan serta petunjuk yang diberikan selama pembimbingan sehingga penyusunan tesis ini dapat diselesaikan.

Akhimya ucapan terimakasih secara khusus penulis sampaikan kepada istri tercinta Dine Afianti dan anak-anakku tersayang Titi dan Ikhsan atas dukungan, pengertian, dan pengorbanan kalian selama ini yang terkadang luput mendapatkan perhatian. Juga kepada Bapak tercinta H. Muh. Asin Liambo dan Ibu Hj. Setiawan serta kakak adik tersayang diucapkan terima kasih atas dukungan dan doa yang diberikan.

Akhimya apabila terdapat kesalahan dalam penulisan dalam tesis ini, maka hanya penulis yang bertanggungjawab. Kiranya Allah SWT sendiri yang memberi balasan berkah kepada semua pihak yang telah banyak membantu penulis dan akhir kata semoga tesis ini bermanfaat bagi banyak pihak.

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 17 Oktober 1972 di Desa Lalohao, Kec. Wonggeduku, Kab. Konawe (dahulu Kab. Kendari), Propinsi Sulawesi Tenggara. Merupakan anak keempat dari enam bersaudara pasangan Bapak H. Muh. Asin Liambo dan Ibu Hj. Setiawan. Penulis menamatkan pendidikan dari sekolah dasar hingga sekolah lanjutan tingkat atas di Kabupaten Konawe-Sulawesi Tenggara. Setamat dari SDN Wawoone pada tahun 1985 penulis melanjutkan pendidikan ke SMPN Pondidaha dan tamat pada tahun 1988. Selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan pada SMAN Angkasa Ambaipua dan lulus pada tahun 1992. Pada tahun yang sama penulis mendapatkan kesempatan mengikuti pendidikan tingkat sarjana (Sl) di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan lulus pada tahun 1997.

Penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada Departemen Kehutanan sejak tahun 2000 dengan penempatan pertama pada Dinas Kehutanan Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara. Pada tahun 2001 penulis pindah tugas ke Balai Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (BTNRAW), Sulawesi Tenggara. Di BTNRAW penulis bertugas kurang lebih enam tahun hingga dimutasi ke Balai Taman Nasional Laiwangi Wanggameti (BTNLW) Nusa Tenggara Timur pada tahun 2007 guna memangku jabatan baru selaku Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah 11. Pada tahun yang sama penulis mendapat tugas belajar pada program Magister Sains (S2) Sekolah Pascasajana IPB.

(12)

DAFTAR IS1

DAFTAR IS1

...

...

DAFTAR TABEL

...

DAFTAR GAMBAR

...

DAFTAR LAMPIRAN I

.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

...

1.2. Tujuan Penelitian

...

1.3. Manfaat Penelitian

...

I1

.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Inventarisasi Satwaliar

...

...

2.2. Pendekatan dan Metode Inventarisasi Satwaliar

...

2.3. Pennasalahan Inventarisasi Satwaliar

2.4. Bio-ekologi Owa Jawa

...

111

.

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

3.1. Sejarah Kawasan

...

3.2. Letak dan Luas

...

3.3. Kondisi Fisik Kawasan

. . .

...

...

3.4. Kondisi Biologis Kawasan IV

.

METODE PENELITIAN

...

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

4.2. Peralatan dan Bahan

...

...

4.3. Kerangka Pemikiran

4.4. Metode Pengurnpulan Data

...

...

4.5. Pengolahan dan Analisis Data V

.

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Struktur dan Kornposisi Vegetasi

...

...

5.2. Pe rjumpaan Owa Jawa

5.3. Estimasi Kepadatan Populasi Owa Jawa

...

5.4. Ketelitian Nilai Dugaan Kepadatan Populasi

...

5.5. Biaya Operasional Inventarisasi

...

5.6. Penentuan Metode yang Optimal

...

VI

.

SIMPULAN DAN SARAN

...

6.1. Sirnpulan

6.2. Saran

...

DAFTAR PUSTAKA

...

...

(13)

DAFTAR TABEL

No Halaman

1 Jenis pohon pakan dan pohon tidur owa jawa

...

di kawasan TNGHS 22

2 Lima jenis tumbuhan tingkat pohon yang memiliki kerapatan

. .

...

paling tinggl dl habitat terganggu 41

3 Lima jenis tumbuhan tingkat tiang yang memiliki kerapatan paling

...

tinggi di habitat terganggu 42

4 Lima jenis tumbuhan tingkat pohon yang memiliki kerapatan

...

paling tinggi di habitat tidak terganggu 43

5 Lima jenis tumbuhan tingkat tiang yang memiliki kerapatan paling

tinggi di habitat tidak terganggu

...

44 6 Jumlah perjumpaan owa jawa yang dihasilkan oleh metode strip

transect, line transect, dan variable circular plot

...

46

7 Rata-rata jumlah perjumpaan owa jawa yang diperoleh metode

strip transect, line transect, dan variable circular plot

...

49 8 Selisih rata-rata perjumpaan antara habitat terganggu dan habitat

tidak terganggu

...

49 9 Hasil uji-t pada a=0,05 terhadap beda rata-rata perjumpaan owa

...

jawa antara habitat terganggu dan habitat tidak terganggu 50 10 Selisih rata-rata perjumpaan owa jawa antara pengamatan pagi

hari dengan pengamatan sore hari

...

50 11 Hasil uji-t pada a=0,05 terhadap beda rata-rata perjumpaan owa

jawa antara waktu pengamatan pagi hari dan sore hari

...

5 1

12 Rata-rata ukuran kelompok owa jawa berdasarkan hasil pengamatan dengan metode strip transect, line transect, dan

variable circular plot

...

53 13 Rata-rata nilai dugaan kepadatan kelompok owa jawa berdasarkan

data hasil pengamatan metode strip transect, line transect, dan

...

variable circular plot 55

14 Rata-rata nilai dugaan kepadatan populasi owa jawa berdasarkan hasil pengamatan dengan metode strip transect, line transect, dan

variable circular plot

...

56 15 Selisih rata-rata nilai dugaan kepadatan populasi owa jawa antara

...

waktu pengamatan pagi hari dan sore hari 58

16 Hasil uji-t pada a=0,05 terhadap beda rata-rata nilai dugaan kepadatan populasi antara waktu pengamatan pagi hari dan sore

hari

...

59
(14)

17 Tingkat ketelitian nilai dugaan kepadatan populasi owa jawa yang dihasilkan metode strip transect, line transect, dan variable

circular plot

...

60 18 Selisih tingkat ketelitian nilai dugaan kepadatan populasi owa

jawa antara metode strip transect, line transect, dan variable

circular plot

...

61 19 Ragam relatif metode strip transect, line transect, dan variable

circular plot

...

64 20 Hasil penghitungan biaya relatif metode strip transect, line

transect, dan variable circular plot

...

65 21 Hasil perkalian ragam relatif dan biaya relatif dari metode strip

transect, line transect, dan variable circular plot

...

66
(15)

DAFTAR

G

AR

No Halaman

1 Peta kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak

...

19

2 Kerangka pendekatan penelitian tentang komparasi metode inventarisasi dalam pendugaan ukuran populasi owa jawa di

...

TNGHS 26

3 Desain unit contoh pengamatan metode strip transect, line

...

transec, dan variable circularplot 28

...

4 Desain petak pengamatan vegetasi dengan metode jalur berpetak 30

. .

5 Kondis~ vegetasi habitat terganggu

...

43 6 Kondisi vegetasi habitat tidak terganggu

...

45

7 Owa jawa yang terdeteksi saat makan (kanan) dan saat melakukan

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman

1

Daftar

jenis tumbuhan di habitat terganggu

...

74

...

2

Daftar

jenis tumbuhan di habitat tidak terganggu 75 3 Kerapatan jenis dan kerapatan relatif tumbuhan tingkat pohon di habitat

terganggu

...

76

4 Kerapatan jenis dan kerapatan relatif tumbuhan tingkat tiang di habitat terganggu

...

77 5 Kerapatan jenis dan kerapatan relatif tumbuhan tingkat pohon di habitat

tidak terganggu

...

80 6 Kerapatan jenis dan kerapatan relatif tumbuhan tingkat tiang di habitat

tidak terganggu

...

83 7 Hasil uji-t pada a=0,05 terhadap beda rata-rata perjumpaan kelompok

owa jawa hasil pengamatan metode strip transect, line transect, dan variable circular plot

...

84 8 Hasil uji-t pada a=0,05 terhadap beda rata-rata ukuran kelompok owa

jawa hasil pengamatan metode strip transect, line transect, dan variable circular plot

...

86 9 Hasil penghitungan nilai dugaan kepadatan populasi owa jawa hasil

pengamatan metode strip transect, line transect, dan variable circular plot

...

88

10 Hasil uji-t pada a=0,05 terhadap beda rata-rata nilai dugaan kepadatan populasi hasil pengamatan metode strip transect, line transect, dan variable circular plot

...

91 11 Hasil uji kesamaan ragam (uji-f, a=0,05) nilai dugaan kepadatan

populasi hasil pengamatan metode strip transect, line transect, dan variable circular plot

...

93 12 Rincian biaya tetap metode strip transect, line transect, dan variable

circularplot

...

95 13 Rincian biaya variabel pelaksanaan inventarisasi owa jawa per 1 km
(17)

1.1. Latar Belakang

Ukuran atau kepadatan merupakan parameter populasi satwaliar yang penting, yang diperlukan baik dalam studi populasi maupun pengelolaan populasi satwaliar. Dalam studi populasi, keadaan populasi pada waktu-waktu tertentu dapat diramalkan bila diketahui ukuran populasi awal dan laju pertumbuhan populasi tersebut (Tanuningkeng 1992). Laju pertwnbuhan populasi diperoleh melalui pengukuran populasi dari waktu ke waktu dalam kurun waktu tertentu. Dalam konteks pengelolaan populasi, ukuran atau kepadatan populasi diperlukan sebagai dasar pengambilan kebijakan pengelolaan guna mendapatkan suatu kondisi populasi yang diharapkan (Bailey 1984). Kondisi populasi yang menjadi tujuan pengelolaan dapat berupa populasi maksimm (untuk pemanfaatan) atau populasi minimum (untuk pengendalian kerusakan habitat).

Ukuran atau kepadatan populasi satwaliar di alam diperoleh melalui kegiatan inventarisasi dengan berbagai pilihan metode yang telah dikembangkan. Pada populasi primata, metode inventarisasi yang m u m digunakan antara lain: strip transect, line transect, d m point count (Wilson et al. 1996, Nijman & Menken 2005). Metode ship trunsect menggunakan unit contoh pengamatan berbentuk memanjang dengan batas-batas yang telah ditentukan. Untuk keperluan pendugaan ukuran populasi, data yang dicatat pada metode ini hanyalah jurnlah satwa teramati di dalam unit contoh pengamatan sehingga pengumpulan datanya lebih sederhana dan mudah. Metode ini antara lain pernah digunakan oleh Iskandar (2007) dalam pendugaan kepadatan populasi owa jawa di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS).

(18)

sehingga disebut juga dengan metode point transect (Buckland et al. 2001). Dalam bidang omitologi, metode ini lebih dikenal dengan nama variable circular plot. Metode line transect antara lain digunakan oleh Sugardjito et al. (1997) terhadap populasi owa jawa di TNGHS, sedangkan metode point cozint oleh Nijman & Balen (1998) terhadap populasi owa jawa di Pegunungan Dieng.

Meskipun berbagai metode inventarisasi beserta analisis statistiknya dirancang untuk mendapatkan data yang akurat dan teliti (Caughley 1978, Krebs 1998, Buckland et al. 2001), namun dalam aplikasinya di lapangan mengalami kesulitan karena berhadapan dengan kondisi medan yang berat seperti yang umum dijumpai di hutan hujan tropis. Kondisi lapangan yang berat merupakan sumber kesalahan yang mempengaruhi akurasi dan ketelitian data yang diperoleh (Varman & Sukumar 1995, Nijman & Menken 2005). Permasalahan lain yang dihadapi dalam kegiatan inventarisasi satwaliar berkaitan dengan sifat dan perilaku satwa yang u m m y a pemalu, suka bersembunyi, pergerakannya cepat, dan menggunakan waktu dengan pola tertentu yang kesemuanya menyebabkan kecilnya peluang menemukan satwa tersebut (Lewis 1970). Selain menjadi sumber kesalahan dalam pengambilan datanya, misalnya penghitungan kurang atau penghitungan ganda, juga seringkali menyebabkan data yang diperoleh tidak mencukupi secara statistik guna mendapatkan nilai dugaan kepadatan populasi yang akurat dan teliti (Nelson & Fancy 1999, Buckland et al. 2001).

Efektifitas tiap-tiap metode inventarisasi berbeda-beda dalam menghadapi berbagai situasi lapangan dan sifat serta perilaku satwa. Hal tersebut menyebabkan akurasi dan tingkat ketelitian nilai dugaan kepadatan populasi yang dihasilkan seringkali berbeda antara satu metode clengan metode lainnya. Hal ini menunjukan perlunya dilakukan evaluasi terhadap metode-metode inventarisasi dan memilih metode inventarisasi yang tepat yang dapat menghasilkan data yang bermanfaat (Caughley 1978, Caughley & Sinclair 1994, Sutherland 2006).

(19)

Beberapa studi telah dilakukan untuk mengevaluasi metode-metode inventarisasi tersebut, antara lain pada jenis primata seperti Hylobates muelleri (Nijman & Menken 2005), mamalia besar ( V m a n & Sukumar 1995), dan burung (Cyr et al. 1991). Namun, evaluasi belum pernah dilakukan terhadap populasi owa jawa (Hylobates moloch). Selain itu, evaluasi yang dilakukan masih terbatas pada penilaian efektifitas yang hanya memperhitungkan tingkat ketelitian

Berdasarkan hal-ha1 yang diuraikan di atas maka penting untuk menentukan metode yang paling optimal dalam pendugaan ukuran populasi owa jawa diantara metode strip transect, line transect, dan variable circular plot. Penentuan tingkat optimalisasi metode didasarkan pada penilaian efektifitas, dalam hal ini ketelitian data yang dihasilkan, dan biaya yang dikeluarkan oleh tiap-tiap metode inventarisasi tersebut.

1.2. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian mengenai studi komparasi metode inventarisasi dalam pendugaan ukuran populasi owa jawa di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak adalah :

1. Menentukan metode inventarisasi owa jawa yang paling efektif diantara metode strip transect, line transect, dan variable circular plot.

2. Menentukan metode inventarisasi owa jawa yang biayanya paling rendab diantara metode strip transect, line transect, dan variable circular plot.

3. Menentukan metode inventarisasi owa jawa yang paling optimal, yakni memiliki tingkat ketelitian dan biaya paling kecil diantara metode strip transect, line transect, dan variable circular plot.

1.3. Manfaat Penelitian

(20)

11.

TINJAUAN PUSTAlKA

2.1. Inventarisasi Satwaliar

Inventarisasi secara umum diartikan sebagai kegiatan pengumpulan data atau informasi. Istilah inventarisasi umumnya digunakan dalam bidang pengelolaan sumberdaya hutan yang lebih rnernfokuskan pada estirnasi pohon. Dalam kaitan tersebut, Husch (2003) mendefinisikan inventarisasi hutan sebagai suatu prosedw untuk mendapatkan informasi rnengenai kuantitas, kualitas, dan kondisi dari sumberdaya hutan, asosiasi vegetasi dan kornponen-kornponennya, serta karateristik lokasinya.

Inventarisasi dimaksudkan sebagai kegiatan pengumpulan data mengenai tumbuhan dan satwaliar (BPPKP 1998). Bila merujuk pada definisi yang diberikan oleh Husch (2003) tersebut di atas, rnaka inventarisasi satwaliar dapat didefinisikan sebagai suatu prosedur untuk mendapatkan data dan informasi rnengenai kuantitas, kualitas, dan kondisi dari suatu populasi satwaliar beserta karateristik habitatnya.

Dalam beberapa literatw, pengumpulan data dalam rangka pendugaan ukuran populasi menggunakan istilah yang lebih spesifik seperti sensus (Lewis 1970, Caughley & Sinclair 1994), penghitungan satwalcounting animals (Caughley & Sinclair 1994), pengukuran kelimpahanlmeasuring the abundance (Bailey 1984), pendugaan kelirnpahan/estimating abundance (Krebs 1998).

Tujuan inventarisasi sahvaliar adalah rnengumpulkan data mengenai satwaliar yang rnencakup berbagai karakteristik populasi satwaliar dan karakteristik habitatnya. Menurut Tarumingkeng (1992), karakteristik yang dirniliki oleh suatu populasi satwaliar rneliputi: kerapatan (densitas), laju kelahiran (natalitas), laju kernatian (mortalitas), sebaran (distribusi) umur, potensi biotik, sifat genetik, perilaku dan pernencaran (dispersi). Karakteristik habitat meliputi berbagai faktor dari unsur biologi, fisik dan edafis yang mernpengaruhi kualitas habitat seperti ketersediaan dan sebaran pakan, struktur dan tipe vegetasi, temperam, jenis tanah, dan lain-lain (Bailey 1984).

(21)

kepadatan, laju kelahiran, laju kematian, struktur umur, komposisi jenis kelamin, dan penyebaran populasi (Caughley 1978). Menurut Caughley & Sinclair (1994), parameter populasi satwaliar yang paling mendasar adalah ukuran atau kepadatan. Ukuran atau kepadatan populasi tersebut diperlukan dalam rangka pengkajian status dan dinamika populasi satwaliar.

Suatu populasi satwaliar selalu mengalami perubahan ukuran dari waktu ke waktu, sehingga penting untuk mengetahui apakah ukuran populasi pada suatu waktu tertentu kecil atau besar. Dengan membandingkan ukuran populasi dari waktu-waktu yang berbeda dapat diketahui dinamika pertumbuhan populasi tersebut yang merupakan informasi penting yang diperlukan bagi efektifbya pengelolaan populasi satwaliar.

Berkaitan dengan kepentingan pengelolaan satwaliar, informasi mengenai ukuran populasi diperlukan sebagai dasar perencanaan kebijakan pengelolaan dan konservasi jenis satwaliar. Kebijakan-kebijakan pengelolaan dan konservasi satwaliar tersebut antara lain: penentuan status perlindungan species untuk tujuan pelestarian, program pemanfaatan populasi sebagai obyek rekreasi dan penentuan kuota buru untuk tujuan pemanfaatan secara lestari, program penanggulangan gangguan satwaliar, serta program pembinaan habitat seperti pengayaan tumbuhan pakan dan pembakaran terkendali semak belukar guna meningkatkan daya dukung lingkungan bagi suatu populasi satwaliar (Alikodra 1990, Bailey 1984).

Menurut Caughley & Sinclair (1994), ukuran populasi urnumnya dinyatakan dengan jumlah total (numbers) atau kepadatan (density). Kepadatan adalah ukuran kelimpahan populasi yang dinyatakan sebagai jumlah individu atau kelompok individu per satuan luas areal tertentu. Jumlah total diperoleh dengan mengalikan nilai kepadatan dengan luas total areal.

(22)

bilangan indeks tertentu, misalnya jumlah rusa teramati per satu jam berjalan. Kepadatan mutlak, kepadatan relatif, serta jumlah total secara urnum disebut sebagai kelimpahan (abundance).

2.2. Pendekatan dan Metode Inventarisasi Satwaliar

Menurut Caughley & Sinclair (1994), inventarisasi satwaliar dapat dilakukan dengan dua pendekatan berdasarkan cakupan wilayah pengamatannya yaitu: (1) penghitungan total (total count), dan (2) penghitungan pada unit contoh (sampled counts). Metode-metode penghitungan total atau sensus yang biasa digunakan antara lain: metode drive counts dan territory mapping (Lewis 1970). Di Afrika, sensus mamalia besar dilakukan dari udara dengan menggunakan pesawat terbang. Sensus melalui udara tersebut menjadi teknik standar inventarisasi satwaliar pada tahun 1950-an hingga awal 1960-an (Caughley & Sinclair 1994).

Menurut Caughley & Sinclair (1994), penghitungan total memiliki kelebihan antara lain teknik pelaksanaannya sederhana, tidak membutuhkan perhitungan aritmetika yang sulit, dan hasilnya mudah diinterpretasikan. Namun, dilain pihak penghitungan total memiliki kekurangan, yaitu cenderung tidak akurat dan biayanya mahal. Menurut Alikodra (1990), besarnya biaya dan tenaga yang dibutuhkan dalam penghitungan total karena suatu areal yang luas harus dibagi menjadi blok-blok kecil untuk memungkinkan dilakukan penghitungan secara keseluruhan. Cara tersebut menyebabkan peluang terjadinya penghitungan ganda terhadap individu yang sama cukup besar, sehingga hanya mungkin dilakukan terhadap satwa yang relatif menetap.

(23)

Pengukuran dengan unit-unit contoh dikenal dengan istilah sampling. Menurut Caughley & Sinclair (1994), sampling adalah suatu teknik menggambarkan sejumlah unit contoh (sa~npling unit) dari keseluruhan obyek yang diamati, lalu membuat kesimpulan secara deduksi terhadap keseluruhan obyek berdasarkan unit-unit contoh tersebut. Nilai statistik yang diperoleh dari unit-unit contoh merupakan nilai dugaan bagi parameter populasi, yang dapat diuji dengan uji statistik tertentu (Krebs 1998).

Beragam metode inventarisasi telah dikembangkan dalam rangka pendugaan ukuran populasi satwaliar. Metode-metode inventarisasi satwaliar tersebut pada dasamya dikembangkan dari beberapa teknik dasar, antara lain: (1) mark-recapture techniques, (2) quadrat counts methods, (3) distance methods, dan (4) removal methods (Krebs 1998). Metode-metode inventarisasi primata umumnya berbasis pada quadrat counts methods dan distance methods.

Quadrat counts methods pada dasamya merupakan metode pendugaan kelimpahan populasi menggunakan unit contoh dengan ukuran dan bentuk tertentu. Bentuk dasar unit contoh ada tiga, yaitu: lingkaran, bujursangkar, dan empat persegi panjang. Caughley & Sinclair (1994) menggolongkan bentuk unit contoh dalam metode quadrat counts sebagai unit contoh dengan batas-batas yang pasti (sampling units with boundaries). Cochran (1977), menyatakan bahwa pengukuran pada unit contoh yang memiliki batas pasti merupakan suatu pendekatan penghitungan populasi terhingga (the finite population sanzpling approach), karena obyek yang diamati terbatas hanya di dalam unit contoh pengamatan.

(24)

2.2.1. Metode Strip transect

Metode strip transect adalah salah satu bentuk metode inventarisasi yang berbasis pada quadrat counts method. Metode ini termasuk salah satu metode inventarisasi yang m u m digunakan dalam pendugaan ukuran populasi satwaliar di wilayah hutan hujan tropika (Nijman & Menken 2005), termasuk untuk jenis- jenis primata (Wilson et al. 1996). Metode ini antara lain digunakan dalam pendugaan kepadatan populasi Macaca nigra (Rosenbaum et al. 1998) dan

Macaca fascicularis (Priyono 1998).

Metode strip transect menggunakan unit contoh pengamatan yang herbentuk jalur memanjang dengan lebar tertentu yang ditentukan terlebih dahulu sebelum pengamatan dilakukan. Menurut Caughley (1978), penentuan lebar transek harus mempertimbangkan perilaku dan sightability dari satwa, misalnya 100 meter untuk inventarisasi mamalia besar di hutan yang kerapatannya tinggi atau 500 meter bila inventarisasi dilakukan di padang rumput. Lebar transek 100 meter antara lain digunakan oleh Priyono (1998) dalam inventarisasi Macaca

fascicularis di Sumatera Selatan dan Rosenbaum et al. (1998) dalam inventarisasi

populasi Macaca n i p di Maluku dan Sulawesi Utara.

Asumsi dasar dari metode strip transect adalah semua satwa yang berada di dalam transek terdeteksi (Buckland et al. 2001). Hal ini berarti bahwa semua satwa yang berada di dalam transek memiliki peluang yang sama untuk teramati dan besarnya peluang untuk teramatinya satwa tersebut sarna dengan satu.

Cara pengamatan dan data yang dicatat pada metode strip transect relatif sederhana dibandiigkan dengan metode line transect atau variable circular plot.

Pengamatan satwa dilakukan dengan cara berjalan menyusuri transek dan mencatat jumlah kelompok atau individu yang teramati di dalarnnya. Oleh karena itu keputusan untuk menetapkan apakah satwa berada 'di dalam' atau 'di lux' transek merupakan titik kritis yang sangat menentukan hasil pendugaan ukuran populasi yang diinventarisasi (Caughley 1978).

(25)

agar pengamat mencari titik sudut tegak lurus dengan satwa pada garis transek lalu mengestimasi jarak satwa dari garis tengah transek. Namun, untuk satwa yang mudah terganggu oleh manusia, maka pengamat hams mengukur sudut dari titik di mana dia pertama kali mendeteksi satwa tersebut. Berdasarkan sudut pengamatan tersebut selanjutnya dapat diialkulasi jarak satwa dari garis tengah transek.

2.2.2. Metode Line Transect

Metode line transect merupakan salah satu bentuk metode inventarisasi yang berbasis pada distance methods (Buckland et al. 2001). Metode line transect merupakan metode inventarisasi yang paling banyak digunakan dalam pendugaan ukuran populasi primata (Wilson et al. 1996, Nijman & Menken 2005). Metode line transect antara lain digunakan dalam pendugaan kepadatan beberapa jenis primata di Brazil seperti Alouatta fusca, Cebus apella, Callicebus personatus, dan Callithrix geofioyi (Chiarello & Melo 2000), Pongo pygnaeus (Bismarck 2005), dan Hylobates moloch (Sugardjito et al. 1997).

Metode line transect pada dasarnya menyerupai metode strip transect, yaitu pengamatan dilakukan dengan cara menyusuri suatu transek (jalur) yang berbentuk memanjang. Perbedaannya adalah pada lebar jalur, yakni pada strip transect lebar jalur telah ditentukan secara langsung sebelum pengamatan dilakukan, sedangkan pada line transect lebar jalur ditentukan berdasarkan hasil pengamatan (Buckland et al. 2001).

Menwut Krebs (1998), pada umumnya peluang detektabilitas individu ataupun kelompok satwa akan lebih besar pada sekitar garis tengah transek. Oleh karena itu, penggunaan metode line transect hams memenuhi asumsi-asumsi:

1). Tidak ada individu satwaliar yang berada dalam garis transek yang tidak teramati ('eluang terdeteksi = 1).

2). Satwa yang terdeteksi dicatat berdasarkan pada posisi awalnya (initial location), yaitu sebelum satwa tersebut bergerak.

3). Jarak dan sudut diukur secara tepat dan benar tanpa adanya kesalahan pengukuran dan kesalahan akibat lingkungan sekitar.

(26)

Menurut Bibby et al. (1998), kesulitan utama dalam metode line transect adalah mendapatkan ukuran jarak yang tepat antara satwa dengan pengamat, terutama pada daerah dengan vegetasi yang rapat. Untuk mengatasi pennasalahan tersebut Whitesides et al. (1988) mengemukakan beberapa teknik pengamatan, khususnya dalam inventarisasi jenis primata, yaitu:

1). Pengamat be rjalan secara perlahan menyusuri garis transek dengan kecepatan tetap sekitar 1 km/jam.

2). Jangan keluar dari garis transek untuk mendapatkan posisi pengamatan yang baik, karena ha1 ini melanggar asumsi dari metode line transect.

3). Berhenti secara periodik untuk melakukan pengintaian atau mendengarkan tanda-tanda keberadaan satwa.

4). Pada saat kelompok atau individu satwa terdeteksi, maka pengamat perlu meluangkan waktu sekitar 10 menit untuk mencatat data. Pengamat dapat berjalan hingga 25 meter dari posisi awalnya untuk mendapatkan posisi pengamatan yang baik.

Menurut Buckland et al. (2001), pengamatan satwa dilakukan pada kedua sisi garis tengah transek. Dalam pengamatan tersebut semua satwa yang teramati dicatat, tanpa ada batasan rentang jarak pengamatan. Data yang perlu dicatat untuk keperluan penghitungan nilai dugaan kepadatan populasi adalah jarak terdekat antara satwa dengan garis pengamatan (perpendicular distance), tetapi bisa juga yang diukur adalah jarak antara satwa dengan pengamat (sighting distances) dan sudut pengamatan antara pengamat dengan satwa (sighting angles) yang kemudian dikonversi menjadi perpendicular distances.

2.2.3. Metode Variable circular plot

(27)

atau diletakkan pada satu garis lurus dengan interval tertentu. Titik-titik pengamatan yang diletakan secara sistematis pada satu garis lurus disebut dengan metode point hansect, sedangkan dalam bidang ornitologi sering disebut dengan metode variable circular plot.

Menurut Buckland et al. (2001), metode point hansect atau variable circular plot harus memenuhi asumsi-asumsi sebagai berikut:

1). Satwa yang berada pada titik pengamatan selalu terdeteksi @eluang terdeteksi = 1).

2). Satwa yang terdeteksi dicatat berdasarkan pada posisi awalnya (initial location), yaitu sebelum satwa tersebut bergerak sebagai respon atas kehadiran pengamat.

3). Jarak diukur secara tepat.

Walaupun sama-sama berbasis pada distance sampling methods seperti halnya metode line hansect, tetapi teknik pengamatan dan data yang perlu dicatat pada metode variable circular plot lebih sederhana karena hanya memerlukan pengukuran jarak antara titik pengamatan dengan satwa (Buckland et al. 2001).

Menurut White & Edwards (2000), pengamatan pada tiap-tiap titik harus dilakukan dengan rentang waktu tertentu. Penentuan lamanya waktu pengamatan pada tiap-tiap titik tersebut tergantung pada kondisi habitat dan jumlah species yang akan diamati. Hal tersebut bertujuan agar: 1 ) proporsi satwa yang terdeteksi adalah maksimum, dan 2) kemungkinan adanya satwa yang mas& ke areal titik pengamatan atau berpindah posisi yang menyebabkan tejadinya penghitungan dua kali terhadap satwa tersebut adalah minimum. Lebih lanjut White & Edwards (2000) menyarankan rentang waktu pengamatan yang dapat dipilih berkisar antara 2 hingga 20 menit.

2.3. Permasalahan Inventarisasi Satwaliar

(28)

serta siklus hidup yang pendek dan tingkat reproduksi tinggi. Sifat suka bersembunyi satwa merupakan bagian dari strategi mempertahankan hidup yang terlihat dari perilakunya hidup dibalik kerimbunm tumbuhan atau memanfaatkan vegetasi untuk menyamarkan pergerakannya. Hal tersebut menyebabkan satwa seringkali sulit terdeteksi. Kesulitan dalam mendeteksi satwa juga disebabkan oleh pola penggunaan waktu oleh satwa tersebut. Umumnya, suatu populasi jenis satwaiiar lebih aktif pada waktu-waktu tertentu dibandingkan dengan waktu- waktu lainnya. Satwa akan lebii mudah terlihat pada waktu-waktu yang menjadi puncak aktifitas mereka.

Kesulitan dalam mendeteksi satwa tersebut secara statistik diartikan bahwa peluang setiap satwa tersebut untuk dapat dihitung tidak sama. Perbedaan peluang untuk diiitung pada setiap satwa juga disebabkan oleh variasi inter individu yang berkaitan dengan status, kedudukan, dan fungsi yang berlainan pada setiap individu dalam kelompok atau populasinya (Santosa 2006). Menurut Krebs (1998), semua individu harus terlihat dengan jelas dan dihitung dengan tepat, namun pada kenyataannya penghitungan ukuran populasi sulit dilakukan dan menjadi sumber kesalahan yang sulit dihindari.

Menurut Krebs (1998), kesalahan penghitungan yang terjadi pada inventarisasi satwaliar dapat berupa penghitungan lebih (overcount) atau penghitungan kurang (undercount). Ada dua kemungkinan yang tejadi dalam kegiatan inventarisasi tersebut, yaitu: (1) pengamat melakukan penghitungan lebih pada satu saat, dan pada saat lain menghitung kurang, (2) penghitungan yang dilakukan cenderung menghitung kurang. Kemungkinan pertama menghasilkan kesalahan yang disebut dengan kesalahan penghitungan (counting error), sedangkan yang kedua disebut dengan bias penghitungan (counting bias).

Akibat dari tidak samanya peluang setiap satwa untuk terhitung adalah terjadinya bias yang besar terhadap dugaan parameter populasi (Santosa 2006).

2.4. Bio-ekologi Owa Jawa 2.4.1. Klasifikasi dan Morfologi

(29)

(Geissmann 2008). Owa jawa memiliki nama ilmiah Hylobates moloch Audebert, 1798. Selain nama tersebut terdapat beberapa sinonimnya antara lain:

H. cinereus Latreille, 1804; H javanicus Matschie, 1893; H. leucisca (Schreber, 1799); dan H. pongoalsoni Sody, 1949. Owa jawa memiliki beberapa sebutan dalam bahasa inggris seperti javan gibbon, silvery gibbon, javan silvery gibbon, atau moloch gibbon (IUCN 2008).

Walaupun dianggap sebagai species tunggal (tanpa sub species), tetapi owa jawa diketahui memiliki variasi genetik yang berbeda. Menurut Andayani (2001), berdasarkan variasi genetiknya owa jawa terbagi dalam dua kelompok populasi, yaitu populasi yang terdapat di Gunung Halimun (Western lineage) dan populasi yang hidup di kompleks Gunung Masigit-Simpang tilu, Gunung Gede Pangrango, dan Gunung Slamet (Central lineage).

Owa jawa memiliki bantalan duduk (ischial callosities) sebagai salah satu penciri yang mudah terlihat (Fleagle 1988). Owa jawa tidak memiliki ekor, kepala kecil dan bulat, hidung tidak menonjol, rahang kecil d m pendek, dada lebar dan rambut yang tebal dan halus (Grzimek 1972).

Menurut Geissmann (2008), owa jawa memiliki rambut yang berwarna abu-abu keperakan, baik pada jantan maupun betina. Beberapa individu memiliki rambut bagian dada dan perut dengan warna yang lebih gelap (abu-abu gelap atau hitam). Keningnya lebar dan berwarna keputih-putihan, membentuk garis yang jelas dan terang yang menurun ke samping mata. Janggut berwarna keputib- putihan, mengarah ke depan. Menurut Massicot (2006) tidak ada perbedaan yang menyolok antara jantan dan betina dewasa dalam ha1 warna dan bobot. Perbedaan warna rambut terlihat pada owa jawa bayi yang memiliki warna rambut lebih terang.

Seperti umumnya jenis-jenis gibbon (genus Hylobates), owa jawa tidak mempunyai ekor. Postur tubuhnya tegak dan mempunyai lengan yang panjang yang berguna untuk menunjang pergerakannya di pohon. Panjang tubuh individu jantan dan betina hampir sama yaitu berkisar antara 75-80 cm dengan berat tubuh

sekitar 6 kg (Massicot 2006, Kuester 2000).

(30)

taring panjang dan berbentuk seperti pedang yang berfungsi untuk menggigit dan mengupas makanan. Gigi geraham atas dan bawah digunakan untuk mengunyah makanan (Napier & Napier 1967)

2.4.2. Status Populasi

Berdasarkan hasil survey antara tahun 1994-2002, Nijman (2006) memperkirakan jumlah total owa jawa yang hidup di dam berkisar 4100-4500 individu. Populasi owa jawa tersebut tersebar pada 29 areal hutan yang terletak di wilayah Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Tengah, dan Provinsi Banten. Gunung Halimun yang terletak di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) merupakan salah satu dari empat lokasi penyebaran owa jawa dengan ukuran populasi terbesar, yaitu lebih dari 800 individu. Tiga wilayah penyebaran lainnya, yakni Gunung Simpang, Gunung Dieng, dan Taman Nasional Ujung Kulon memiliki populasi owa jawa yang berkisar antara 500-600 individu.

Menurut Rinaldi (2003), jumlah individu owa jawa di TNGHS berkisar antara 456-1149 individu. Sementara Iskandar (2007) memperkirakan ukuran populasi owa jawa di TNGHS sebesar 2318 hingga 2695 individu.

Dengan ukuran populasi yang relatif kecil (<5000 individu) tersebut, owa jawa telah dimasukan dalam red list IUCN dengan status Critically Endangered.

Selain itu, owa jawa juga masuk dalam Appendix 1 CITES.

2.4.3. Perilaku Owa Jawa

Seperti umurnnya jenis-jenis primata, owa jawa merupakan satwa yang hidup secara berkelompok. Menurut Iskandar (2007) susunan lengkap kelompok owa jawa terdiri atas sepasang induk (jantan dan betina dewasa), satu individu bayi dan satu individu remaja, sehingga ulcuran kelompok lengkap dari owa jawa adalah empat individu. Karena owa jawa menganut sistem hidup monogami, maka ukuran kelompok yang terkecil adalah dua individu, yakni sepasang individu jantan dan betina dewasa. Walaupun demikian, kadang-kadang ditemukan pula kelompok yang terdiri dari lima individu atau individu yang hidup soliter (Rinaldi 2003, Iskandar 2007).

(31)

bersuara~vocaIization, (2) mencari makadfeeding (3) berpindahlmoving, d m (4) istirahatlresting (Rinaldi 2003). Perilaku bersuara lnerupakan ciri m u m dari jenis-jenis gibbon. Nijman & Geissmann (2001) mengemukakan bahwa terdapat dua bentuk/pola bersuara dari jenis-jenis gibbon, yakni: suara duet (duet songs) dan suara tunggal (solo songs). Khusus pada owa jawa, pola bersuara yang dikeluarkan hanya suara tunggal, yang terdiri dari suara tunggal jantan dan suara tunggal betina.

Perilaku bersuara menandai dimulainya aktivitas harian owa jawa. Menurut Nijman & Geissman (2001), owa jawa betina lebih banyak bersuara dibandingkan dengan owa jawa jantan. Walaupun mengeluarkan suara yang lebih sedikit, namun durasi suara owa jawa jantan lebih panjang dibandingkan betina. Owa jawa jantan biasanya lebih dahulu bersuara dibandingkan dengan betina. Di wilayah Pegunungan Dieng, owa jawa betina umunlnya mulai bersuara pada pukul 05.00 WIB dan mencapai puncaknya pada pukul 06.00 WIB (Nijman & Geissmann 2001). Menurut Rinaldi (2003) perilaku bersuara owa jawa dipengaruhi oleh kondisi cuaca. Pada kondisi cuaca cerah, aktivitas bersuara owa jawa di Cikaniki-TNGHS dimulai pada pukul06.00 WIB, sedangkan pada kondisi

mendung atau hujan aktivitas bersuara dimulai pada sekitar puku107.15 WIB. Menurut Nijman & Geissman (2001), suara yang dikeluarkan oleh tiap-tiap individu owa jawa memiliki karakteristik yang spesifik, sehingga dapat bermanfaat untuk mendeteksi dan membedakan antar satu kelompok dengan kelompok lainnya. Suara panggiladnyanyian tersebut memiliki beberapa fungsi, seperti: menjaga jarak dengan kelompok lain, mempertahankan surnberdaya (teritori, makanan, atau pasangan), memperkuat i k a m dengan pasangan, atau mengundang pasangan.

Aktivitas mencari makan dimulai segera setelah aktivitas bersuara di pagi hari. Owa jawa menggunakan 113 waktu aktivitas hariannya untuk mencari makan (Kartono et al. 2002). Menurut Rahayu (2002), owa jawa makan dengan cara d i m maupun bergerak dengan posisi tubuh duduk, menggantung, atau berdiri. Namun yang paling dominan adalah posisi duduk dan menggantung.

(32)

TNGHS. Jenis pakan yang paling dominan adalah jenis-jenis dari famili Moraceae dan Fagaceae seperti darangdan (Ficus sinuata) dan pasang batarua (Quercus gemiliflorus), masing-masing sebesar 24% dari keseluruhan jenis pohon pakan tersebut. Selain buah-buahan, owa jawa juga memakan bagian tumbuhan lainnya seperti biji, bunga, dan dam muda. ulat pohon, rayap, madu dan beberapa jenis serangga lainnya.

Owa jawa juga dikenal sebagai satwa arboreal sejati, yang hampir seluruh aktivitasnya diiabiskan di atas atau di dalam lapisan tajuk pohon. Menurut Kartono et al. (2002), owa jawa memanfaatkan ruang tajuk pohon mulai dari ketinggian lima meter hingga lebih dari 35 meter. Namun dari keseluruhan ruang tajuk tersebut yang paling dominan digunakan adalah lapisan bagian tengah (16- 25 meter), yakni sekitar 43% dari seluruh aktivitas owa jawa.

Menurut Rinaldi (2003), owa jawa melakukan gerakan berpindah dari satu pohon ke pohon lain atau dari satu cabang ke cabang lainnya dengan cara bergelayutan (brachiasi), bipedal, memanjat (climbing), dan melompat (leaping). Sekitar % dari waktu aktivitas harian owa jawa tersebut dihabiskan untuk bergerak atau berpindah.

Pada siang hari atau pada saat temperatur tinggi owa jawa akan beristirahat. Pada saat beristirahat tersebut individu muda dan remaja mengisinya dengan bcrmain-main satu sama lain, sedangkan owa jawa dewasa melakukan aktivitas menelisik (Rinaldi 2003). Bila hari mulai gelap owa jawa akan beristirahat dan tidur di percabangan pohon (Iskandar 2007).

2.4.4. Habitat Owa Jawa

Menurut Alikodra (2002), habitat terdiri dari komponen fisik dan biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup dan berkembangbiaknya satwaliar. Habitat tersebut menjamin segala keperluan hidup satwaliar baik makanan, air, udara bersih, garam mineral, tempat berlindung, berkembang biak, maupun tempat mengasuh anak-anaknya.

(33)

terletak pada ketinggian 0 sld 1500 meter dpl baik pada tipe vegetasi hutan primer maupun hutan sekunder.

Daerah sebaran habitat owa jawa meliputi wilayah Provinsi Banten, Provinsi Jawa Barat, dan sebagian wilayah Provinsi Jawa Tengah (Nijman 2006). Pada ketiga wilayah propinsi tersebut, habitat owa jawa ditemukan pada 29 lokasi yang terpisah. Empat lokasi habitat owa jawa dengan perkiraan ukwan populasi yang paling tinggi adalah Gunung Halimun, Gunung Simpang, Pegunuugan Dieng, dan Ujung Kulon. Gunung Halimun merupakan bagian dari kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Menurut Rinaldi (2003) dan Iskandar (2007), di wilayah TNGHS owa jawa lebih banyak ditemukan pada areal hutan primer dan areal dengan ketinggian antara 1082 - 1132 meter dpl.

Pohon pakan dan pohon tidw merupakan unsur penting dari habitat owa jawa. Pohon pakan adalah jenis pohon yang dimanfaatkan sebagai sumber pakan. Bagian-bagian pohon yang dimanfaatkan owa jawa adalah buah, daun, dan bunga, namun yang paling dominan adalah buah yang sudah matang (Geissmann 2008). Pohon tidw adalah jenis pohon yang digunakan owa jawa sebagai tempat tidw dan tempat berlindung dari predator. Di TNGHS terdapat sekitar 33 jenis pohon pakan owa jawa (Iskandar 2007). Owa jawa menggunakan sebagian pohon pakan tersebut sebagai pohon tidw.

Owa jawa sangat tergantung pada daerah jelajah yang telah dikuasainya. Walaupun banyak mengalami gangguan owa jawa akan tetap bertahan pada wilayah yang telah dikuasainya tersebut. Dengan perilaku tersebut kelangsungan hidup owa jawa mudah terancam jika hutan mengalami kerusakan (Geissmann 2008).

(34)

111.

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

3.1. Sejarah Kawasan

Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS) memiliki sejarah panjang sebagai kawasan lindung. Berawal dari penetapan kawasan hutan di wilayah Gunung Halimun seluas 39.941 hektar sebagai kawasan hutan lindung dari tahun 1924 hingga 1934. Pada tahun 1935 kawasan hutan lindung tersehut dialihkan fungsinya menjadi cagar dam, dan hertahan hingga tahun 1992. Dalam statusnya sebagai cagar alam antara tahun 1934 hingga 1992 tejadi heberapa kali pergantian institusi pengelola. Ketika Indonesia merdeka hingga tahun 1961 pengelolaan cagar alam ini berada di bawah Djawatan Kehutanan Jawa Barat. Kemudian antara tahun 1961 hingga 1978 pengelolaan kawasan cagar dam tersebut dialihkan ke Perurn Perhutani. Pada tahun 1979 hingga 1990 pengelolaan kawasan ini berada di hawah Balai Konservasi Sumberdaya Alam 111 Sub Balai Konservasi Sumberdaya Alam Jawa Barat I. Sejak tahun 1990, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) ditunjuk sebagai pengelola kawasan cagar alam tersebut (GHS-NP MP 2007).

Pada tahun 1992, Menteri Kehutanan mengalihkan status kawasan eks cagar dam tersebut menjadi kawasan taman nasional berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 2821Kpts-I111992 tanggal 28 Pebruari 1992. Berdasarkan Swat Keputusan tersebut luas kawasan taman nasional ditetapkan seluas 40.000 dan pengelolaannya tetap herada di bawah TNGP. Pada tahun 1997 dibentuk unit pengelola tersendiri dengan nama Balai Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH). Terakhir, dengan adanya penambahan areal eks hutan lindung, hutan produksi terbatas, dan hutan hutan produksi tetap pada kelompok hutan Gunung Salak dan sekitarnya yang sebelumnya dikelola Perum Perhutani, maka sejak tahun 2003 taman nasional ini berganti nama menjadi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (GHS-NP MP 2007).

3.2. Letak dan Luas

(35)

provinsi, yakni: Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat, serta Kabupaten Lebak Provinsi Banten.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 175JKpts-1112003 tentang Penunjukan Kawasan TNGH dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung, Hutan Produksi Tetap dan Hutan Produksi Terbatas pada Kelompok Hutan Gunung Halimun dan Kelompok Hutan Gunung Salak, kawasan TNGHS ditetapkan seluas 113.357 hektar. Kawasan TNGHS dibagi ke dalam tiga wilayah Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) dan 14 wilayah Resort Pengelolaan Taman Nasional. Wilayah SPTN I meliputi kawasan TNGHS yang masuk dalam wilayah Kabupaten Lebak yang terbagi menjadi empat resort, yaitu: Resort Cibedug, Resort Gn. Bongkok, Resort Gn. Bedil, dan Resort Cisoka. Wilayah SPTN I1 meliputi kawasan TNGHS yang berada di dalam wilayah Kabupaten Bogor yang dibagi ke dalam enam resort yaitu: Resort Gn. Talaga, Resort Gn Kencana, Resort Gn Botol, Resort Gn Butak, Resort Gn Salak I, dan Resort Gunung Salak 11. Wilayah SPTN I11 mencakup kawasan TNGHS yang terletak di dalam wilayah Kabupaten Sukabumi yang terbagi ke dalarn empat resort, yaitu: Resort Gn Bodas, Resort Gn Kendeng, Resort Cimantaja, dan Resort Kawah Ratu. Peta kawasan TNGHS disajikan pada Gambar 1.

[image:35.595.87.500.338.739.2]
(36)

3.3. Kondisi Pisik Ka~vasan

Berdasarkan data dari Balai Pendayagunaan Sumberdaya Air Cisadea- Cimandi dan Balai Pendayagunaan Air Cisadane-Ciliwung diketahui curah hujan di dalam kawasan TNGHS berkisar antara 4000 hingga 6000 mmltahun. Curah hujan tertinggi umumnya jatuh pada bulan Oktober-April, yakni sebesar 400 s/d 600 mmlbulan. Jumlah rata-rata bulan basah sebanyak 9 bulan/tahun dan hari hujan rata-rata 145 harittahun. Berdasarkan data-data kondisi curah hujan tersebut maka kawasan TNGHS terbagi dalam tiga tipe iklim menurut klasifikasi Schmidt & Fergusson yaitu tipe iklim A, B1, dan B2 (GHS-NP M P 2007).

Berdasarkan data hasil pengukuran selama tiga tahun dari 2002 s/d 2004, temperatur udara maksimum rata-rata kawasan TNGHS sebesar 31,5'~, sedangkan temperatur udara minimum rata-rata sebesar 19,7'~. Kelembaban nisbi rata-rata sebesar 88% (GHS-NP MP 2007).

Menurut Djuwansyah (1997) jenis tanah yang menyusun kawasan TNGHS terdiri atas 12 tipe, namun dapat dikelompokan dalam 2 tipe utama yaitu andosol dan latosol. Jenis-jenis tanah tersebut memiliki sifat fisik yang baik, namun untuk pertanian memiliki tingkat kesuburan yang rendah hingga sedang.

3.3.2. Topografi

(37)

Salak I1 (2.180 m dpl), G. Endut Timur (1.471 m dpl), dan G. Surnbul (1.926 m dpl).

Wilayah perbukitan dan pegunungan membentuk lereng-lereng yang terjal. Peta Kelas Lereng menggambarkan bahwa sebagian besar kawasan TNGHS didominasi oleh kelas lereng 25-40% dan kelas lereng >40%. Hal ini menunjukan bahwa kelerengan kawasan TNGHS termasuk dalam kategori curam hingga sangat curam.

3.3.3. Hidrologi

Lebih dari 11 5 sungai dan anak sungai berhulu di dalam kawasan TNGHS. Sungai-sungai tersebut membentuk 12 daerah aliran sungai (DAS) (GHS-NP MP 2007). Di wilayah bagian Utara terdapat 3 DAS, yakni: 1) DAS Ciberang, 2) DAS Cidurian, dan 3) DAS Cikaniki. Di wilayah bagian Selatan kawasan ini terdapat 9 DAS, yakni: 1) DAS Cimadur, 2) DAS Cihara, 3) DAS Cisiih, 4) DAS Cibareno, 5 ) DAS Cisolok, 6) DAS Cimaja, 7) DAS Cikasomayang, 8) DAS Citepus, dan 9) DAS Cimandiri. Sungai-sungai di wilayah Utara bermuara ke Laut Jawa, sedangkan sungai-sungai di bagian Selatan bermuara ke Samudera Hindia. Sungai-sungai tersebut menjadi penyuplai air bagi wilayah Bogor, Tangerang, Rangkasbitung, Pelabuhan Ratu dan Bayah yang dipergunakan untuk berbagai keperluan seperti kebutuhan rumah tangga, pertanian, pembangkit listrik, industri, dan pariwisata.

Selain sungai-sungai tersebut di atas, di dalam kawasan TNGHS juga terdapat 10 air terjun, yakni: 1) Ciberang, 2) Cileungsi, 3) Cisupa, 4) Walet, 5) Citangkolo, 6) Cimantaja, 7) Cipiit, 8) Cikudapaeh, 9) Ciraksamala, dan 10) Cipangulaan (Selfiana 2002). Seluruh air terjun tersebut tersebar pada berbagai wilayah ketinggian dan termasuk dalam kategori caprock falls.

3.4. Kondisi Biologis Kawasan

3.4.1. Flora

Di dalam kawasan TNGHS diperkirakan terdapat lebih dari 1000 jenis tumbuhan, 845 jenis diantaranya merupakan jenis tumbuhan berbunga (GHS-NP

(38)

pohon pakan. Dari 33 jenis pohon pakan tersebut, 15 jenis diantaranya dimanfaatkan juga sebagai pohon tidur (Iskandar 2007). Jenis-jenis pohon pakan dan pohon tidur owa jawa disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Jenis pohon pakan dan pohon tidur owa jawa di kawasan TNGHS

Jenis Pohon Pohon Jenis Pohon Pohon

Pakan Tidur Pakan Tidur

Rasamala Puspa

4

Manggong

4

4

Mumuncangan

d

4

Pasang batarua

4

4

Kokosan monyet

4

d

Pasang kayang

d

4

Darangdan

d

d

Pasang kapas

4

Kihampelas

4

.\,

Tungurut

4

Hamerang

4

d

Kalimorot

4

4

Beunying

4

Burununggul

d

Kiara

4

d

Saninten

4

4

Seuhang

d

Kibeusi

4

Teureup

d

4

Manyel leutik

d

Kondang

d

Kisireuln

4

Kupa

4

Salam hutan

d

Kimokla

4

Manggu leuweung

4

Kopo

d

Kakaduau

4

Suren hutan

4

Kihaji

d

Kawoyang

d

Kecapi hutan

d

Jirak

d

-

Sumber: Iskandar 2007

[image:38.595.92.494.166.534.2]
(39)

tersebut banyak dijumpai pada daerah-daerah dengan ketinggian hingga 1200 meter dpl.

3.4.2. Fauna

Kawasan TNGHS merupakan salah satu dari sedikit habitat alarni berbagai jenis satwa yang masih tersisa di Pulau Jawa. Hingga saat ini tercatat sejumlah jenis satwa yang sudah teridentifikasi antara lain: mamalia 61 jenis, b u g 244 jenis, amfibi 30 jenis, reptilia 49, ikan 50 jenis, kerang-kerangan 36, kupu-kupu 75, semut 110, capung 26, kumbang kumis panjang 128 jenis, dan belalang- jangkrik-kecoa 60 jenis (GHS-NP MP 2007).

(40)

IV. METODE PENELITLAN

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian tentang Studi Komparasi Metode Inventarisasi dalam Pendugaan Populasi Owa Jawa di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak ini dilaksanakan selama rt 4 bulan, dari bulan Januari hingga April 2009.

Lokasi penelitian adalah habitat terganggu dan habitat tidak terganggu owa jawa yang terletak di wilayah Resort Gunung Bodas, Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah I11 Sukabumi, Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS). Berdasarkan adrninistrasi pemerintahan, lokasi penelitian ini termasuk dalam wilayah Kec. Cikakak, Kab. Sukabumi, Propinsi Jawa Barat.

4.2. Peralatan dan Bahan

Peralatan dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas: Peta Kawasan TNGHS, GPS, teropong (binokuler), haga hypsometer, clinometer, kompas, pita roll meter (50 m), pita anti air, kamera digital, dan daftar isian.

4.3. Kerangka Pemikiran

Kepadatan populasi owa jawa dapat diestimasi melalui beberapa metode inventarisasi, antara lain metode strip transect (ST), metode line transect (LT), dan metode variable circular plot (VCP). Metode ST biasanya digunakan pada populasi satwaliar yang mobilitasnya relatif rendah (Krebs 1998), sehingga untuk owa jawa metode ini layak untuk digunakan. Selain itu, ukuran tubuh owa jawa yang relatif besar memungkinkan satwa ini terlihat dengan mudah sehingga dapat memenuhi asumsi pengamatan dalarn metode ST, yakni bahwa s e l d obyek yang terdapat di dalam transek terlihat dengan jelas (Buckland et al. 2001). Metode ST baik untuk menginventarisasi wilayah yang luas (Nijman & Menken 2005), seperti halnya habitat owa jawa di TNGHS.

(41)

memberikan respon yang menurunkan tingkat detektabilitasnya. Tingkat detektabilitas owa jawa juga dipengaruhi oleh vegetasi yang rapat, serta tajuk yang tinggi dan tebal seperti yang m u m ditemukan pada habitat owa jawa di TNGHS. Pada kondisi yang demikian, maka alternatifnya adalah menggunakan metode VCP (Bibby et al. 1998).

Rendahnya detektabilitas dan penghitungan ganda yang disebabkan oleh sifat dan perilaku owa jawa dan karakteristik habitatnya akan mempengaruhi jumlah dan keragaman data yang diperoleh. Pengaruh faktor-faktor tersebut mungkin berbeda pada ketiga metode, yang akan terlihat pada besaran nilai dugaan dan ketelitian nilai dugaan kepadatan populasi. Efektifitas tiap-tiap metode dapat dilihat dari ketelitian nilai dugaan kepadatan populasi yang dihasilkannya. Untuk itu penting untuk dilakukan pengujian terhadap tingkat ketelitian nilai dugaan ukuran populasi untuk mengidentifikasi tingkat efektifitas antara satu metode dengan metode lainnya.

Selain faktor-faktor sifat dan perilaku satwa serta karakteristik habitat, kegiatan inventarisasi satwaliar juga dibatasi oleh biaya. Besaran biaya yang diperlukan oleh suatu metode inventarisasi tergantung pada tenaga, peralatan, dan waktu yang digunakan. Efisiensi suatu metode dapat dilihat dari besaran biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan data dengan tingkat ketelitian tertentu. Olch karena itu penting untuk dihitung besaran biaya yang dikeluarkan tiap-tiap metode guna mengidentifikasi perbedaan tingkat efisiensi antara satu metode dengan metode lainnya.

(42)

Gambar 2 Kerangka pendekatan penelitian tentang komparasi metode inventarisasi dalam pendugaan ukuran populasi owa jawa di TNGHS

1

1

Analisis biaya Pengujian ragam

& nilai tengah

[image:42.595.70.500.77.585.2]
(43)

4.4. Metode Pengumpulan Data 4.4.1. Ukuran Populasi Owa Jawa

a. Asumsi

Untuk mendapatkan data dari masing-masing metode yang dapat diperbandingkan maka pengumpulan data dilakukan secara simultan. Tiap-tiap metode menggunakan satu orang pengamat. Kemampuan ketiga orang pengamat dalam pengumpulan data tersebut diasumsikan sama sehingga pengaruhnya terhadap tiap-tiap metode dianggap sama. Untuk memenuhi asumsi tersebut, kepada para pengamat diberikan pelatihan singkat selama 1 minggu yang dilakukan secara langsung di lokasi penelitian. Di samping itu, para pengamat yang dipilih juga memiliki pengalaman dalam inventarisasi satwaliar serta dan memiliki pengenalan yang baik terhadap owa jawa.

b. Jumlah dan Cara Penempatan Unit Contoh Pengamatan

Pada tiap-tiap tipe habitat ditempatkan 8 buah jalur pengamatan (transek) berbentuk garis l w s dengan panjang masing-masing 1 krn sehingga panjang total jalur pengamatan di tiap-tiap tipe habitat adalah 8 krn. Jalur pengarnatan ditandai dengan pita anti air. Penentuan titik penempatan jalw pengamatan dilakukan melalui observasi untuk memastikan keberadaan owa jawa. Jarak antara dua jalur pengamatan yang berdekatan ditetapkan minimal 500 meter dengan tujuan untuk menghindari tejadiiya penghitungan ganda. Dasar penetapan jarak antar jalur tersebut adalah ukuran wilayah jelajah (home range) owa jawa.

c. Waktu dan Teknik Pengamatan

(44)

)

Keterangan

,--- : Area pengamatan untukmetode strip transect

-

Jalu r pen gamatan untu k metode ifne fransecl [image:44.602.127.450.79.338.2]

QV litlk pengamatan untukmetode V C P

Gambar 3 Desain unit contoh pengamatan metode strip transect, line transect, dan variable circular plot

Teknik pengamatan dan data yang dicatat pada tiap-tiap metode diuraikan berikut ini.

Metode Strip Transect (ST)

Pengamat menyusuri garis transek dan melakukan pengamatan dalam radius 50 meter kiri-kanan garis transek. Batas radius pengamatan tersebut berdasarkan lebar transek yang dalam penelitian ini ditentukan 100 meter atau 50 meter diukur ke arah kiri-kanan garis transek. Penetapan lebar transek demikian berdasarkan pertimbangan bahwa rata-rata jangkauan atau jarak pandang maksimum manusia di hutan adalah 50 meter.

Kecepatan berjalan pengamat ditentukan konstan 5 1 km/jam. Pada saat

(45)

Metode Line Transect (LT)

Seperti halnya pada metode ST, pengamat menyusuri garis transek dengan kecepatan konstan

*

1 kmljam. Pengamatan dilakukan pada kedua sisi jalur transek tanpa dibatasi batas radius pengamatan. Pada saat mendeteksi keberadaan owa jawa pengamat meluangkan waktu 5-10 menit untuk mencari posisi pengamatan yang tepat (pada garis transek) dan mencatat data ke dalam lembar daftar isian.

Data yang dicatat adalah jumlah kelompok, ukuran kelompok owa jawa, dan jar& tegak lurus @erpendicular distance) owa jawa dengan garis transek. Jarak tegak lurus diukur dari titik pada garis transek yang posisinya tegak lurus menuju titik tengah geometris kelompok owa jawa. Apabila jarak tegak lurus sulit diperoleh, karena terkendala oleh kondisi lapangan, maka dilakukan pengukuran jarak antara posisi pengamat dengan owa jawa (sighting distance) dan sudut arah antara pengamat (sighting angle) dengan owa jawa dimaksud. Data jarak d m sudut pengamatan tersebut selanjutnya digunakan untuk menghitung jarak tegak lurus. Infonnasi lain yang dicatat adalah posisi owa jawa secara horisontal (menurut arah memanjang transek) dan vertikal (ketinggian di atas pohon).

Metode Variable Circular Plot (VCP)

Pengamatan dilakukan pada titik pengamatan yang ditempatkan secara sistematis di sepanjang garis transek. Jarak antar titik pengamatan adalah 150 meter sehingga dalam satu garis transek yang panjangnya satu km terdapat tujuh titik. Dengan demikian jumlah total titik pengamatan di tiap-tiap tipe habitat adalah 56 titik. Penentuan jarak antara titik pengamatan tersebut didasarkan atas pertirnbangan jangkauan pengamatan yang memungkinkan owa jawa masih bisa terlihat dengan jelas.

(46)

distance). Jarak radial diukur antara titik pengamatan dengan perkiraan titik tengah geometris kelompok owa jawa. Informasi lain yang dicatat adalah posisi owa jawa secara vertikal (ketinggian di atas pohon).

4.4.2. Perilaku Owa Jawa

Perilaku owa jawa antara lain: pola penggunaan ruang, respon owa jawa terhadap kehadiran manusia, pola bersuara, dan pola penggunaan waktu. Data dan informasi mengenai perilaku owa jawa tersebut dikumpulkan bersamaan dengan pengurnpulan data populasi pada jalur dan titik pengamatan. Selain pengamatan langsung, informasi mengenai perilaku owa jawa juga akan dilengkapi melalui studi literatur.

4.4.3. Karakteristik Habitat

Karakteristik habitat meliputi ketinggian lokasi, kelerengan dan bentuk topografi, struktur vegetasi, iklim mikro, dan hidrologi. Data mengenai struktur vegetasi dikumpulkan melalui analisis vegetasi dengan metode jalur berpetak. Petak pengamatan vegetasi ditempatkan pada jalur pengamatan owa jawa dengan jarak antar petak sejauh 150 meter. Desain petak contoh pengamatan vegetasi

disajikan pada Gambar 4.

lalur pengamatan sepanjang 1000 m

Jarak antar petak 150 m

Keterangan : Petak ukur 10 x 10 m untuk pengamatan vegetasi tk tiang

Petak ukur 20 x 20 m untuk pengamatan vegetasi tk pohon

(47)

karakteristik lingkungan lainnya dikumpulkan dari literatur atau sumber-sumber laimya seperti stasiun klimatologi, dan lain-lain.

Gambar

Gambar 1 Peta kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak
Tabel 1 Jenis pohon pakan dan pohon tidur owa jawa di kawasan TNGHS
Gambar 2 Kerangka pendekatan penelitian tentang komparasi metode inventarisasi
Gambar 3 Desain unit contoh pengamatan metode strip transect, line
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa pemberian ekstrak biji jarak pagar dapat menurunkan jumlah spermatozoa, spermatozoa motil, berat testis dan diameter

Dengan bukti audit yang cukup dan tepat, auditor sudah menekan risiko audit, namun tidak mungkin samapai ke tingkat nol, karena. adanya kendala bawaaan dalam

Menurut Ariansa dalam [7], “Pengkodean (Encoding) adalah proses perubahan karakter data yang akan dikirim dari suatu titik ke titik lain dengan kode yang dikenal

Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian untuk mengetahui pengaruh content, bentuk, dan media komunikasi terhadap kesuksesan proyek IT di Bank ABC

Pengaruh Pemberian Pupuk Fospor (P) Terhadap Ketersediaan dan Serapan Serta Produksi Tanaman Gandum ( Triticum aestivum L) Pada Tanah Vulkanis Alahan

Interaksi pupuk KCl dan kompos jerami padi berpengaruh tidak nyata dalam meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman bawang merah ( Allium ascalonicum

Sehingga ketika mengerjakan soal matematika jika konteks yang dipahami kurang tepat siswa akan menjawab dengan kurang tepat, (2) persepsinya lemah sehingga dalam

Data mengenai penerapan pembelajaran aktif tipe quiz team dalam kegiatan belajar mengajar matematika khususnya pada pokok pembahasan bangun ruang sisi datar