APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS
DAN MODEL AGNPS DALAM PENDUGAAN
ALIRAN PERMUKAAN, EROSI, DAN SEDIMENTASI
DI SUB DAS CIHOE KABUPATEN BOGOR
KRISTIANASARI
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS
DAN MODEL AGNPS DALAM PENDUGAAN
ALIRAN PERMUKAAN, EROSI, DAN SEDIMENTASI
DI SUB DAS CIHOE KABUPATEN BOGOR
KRISTIANASARI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada
Departemen Manajemen Hutan
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Skripsi : Aplikasi Sistem Informasi Geografis dan Model AGNPS dalam
Pendugaan Aliran Permukaan, Erosi, dan Sedimentasi Di Sub
DAS Cihoe Kabupaten Bogor
Nama : Kristianasari
NIM : E14101058
Program Studi : Manajemen Hutan
Disetujui,
Dosen Pembimbing
Dra. Nining Puspaningsih, MS NIP: 131 918 662
Diketahui,
Dekan Fakultas Kehutanan
Istitut Pertanian Bogor
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS NIP: 131 430 799
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas
berkat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir.
Tugas akhir tersebut merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan pada Departemen Manajemen Kehutanan, Fakultas
Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Tugas akhir tersebut berjudul ”Aplikasi
Sistem Informasi Geografis dan Model AGNPS dalam Pendugaan Aliran
Permukaan, Erosi, dan Sedimentasi Di Sub DAS Cihoe Kabupaten Bogor”.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Keluargaku tercinta (Ibu, bapak, simbah, kakak dan adik-adikku) atas kasih
sayang, doa, dan nasehatnya
2. Mbak Mel atas dorongan, dan bantuan baik materil maupun spirituil.
3. Dra. Nining Puspaningsih, MS atas bimbingan, arahan dan nasehatnya
4. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Agr dan Dr. Ir. I Wayan Darmawan, M.Sc atas
saran dan nasehatnya
5. Mas Iman, Santi, dan Novi atas bantuan dan saran
6. Didi atas segala bantuan dan kerjasamanya
7. Nunu, Yanie, dan Pe2n atas dukungan dan bantuannya
8. Rekan-rekan Lab. Inventarisasi Hutan (ani, priyo, ajay, ewing, jupri, uki dan badut)
tetap semangat
9. Buat rekan-rekan seperjuangan Angkatan ’38 khususnya MNH ’38 atas
bantuan dan dorongannya
Akhir kata, semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun
pembacanya.
Bogor, Maret 2006
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Cilacap pada tanggal 5 Oktober
1982, dari pasangan Edy Purwanto dan Nurhayati Suci Ningsih.
Penulis merupakan anak keempat dari enam bersaudara.
Pendidikan formal yang pernah dillakukan penulis yaitu
SMAN 11 Yogyakarta lulus tahun 2000. Pada tahun 2001 penulis
diterima di Institut Pertanian Bogor dengan Program Studi Manajemen Hutan,
Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan.
Selama kuliah penulis aktif di organisasi Forest Manajemen Student Club
(FMSC) tahun 2002 - 2003 dan organisasi Rimbawan Pecinta Alam (RIMPALA)
tahun 2001-2003. Penulis juga pernah melaksanakan Praktek Pengenalan Hutan
di KPH Garut, serta Praktek Pengelolaan Hutan di KPH Kuningan pada tahun
2004. Pada tahun 2005 penulis mengikuti Praktek Kerja Lapang (PKL) di
IUPHHK PT. Andalas Merapi Timber di Kabupaten Solok Selatan, Propinsi
Sumatera Barat.
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, penulis melaksanakan penelitian
dengan judul “Aplikasi Sistem Informasi Geografis dan Model AGNPS dalam
Pendugaan Aliran Permukaan, Erosi, dan Sedimentasi Di Sub DAS Cihoe
Kabupaten Bogor” dibawah bimbingan Dra. Nining Puspaningsih, MS.
RINGKASAN
KRISTIANASARI. Aplikasi Sistem Informasi Geografis dan Model AGNPS dalam Pendugaan Aliran Permukaan, Erosi, dan Sedimentasi Di Sub DAS Cihoe Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh NINING PUSPANINGSIH.
Peningkatan jumlah penduduk mengakibatkan terjadinya peningkatan kebutuhan pangan. Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan penyediaan pangan diantaranya dengan meningkatkan intensitas pengelolaan sumberdaya lahan untuk menghasilkan pangan, melalui usaha pembangunan sektor pertanian. Kecamatan Cariu dan Kecamatan Sukamakmur yang terletak pada Kabupaten Bogor mengalami permasalahan dalam pembangunan sektor pertanian dikarenakan sulitnya pengendalian tata air yaitu kelebihan air pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau. Dalam rangka pengendalian tata air pada daerah tersebut, Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor berencana akan membangun sebuah situ di sekitar daerah tersebut. Daerah Tangkapan Air (DTA) Cihoe Hulu merupakan daerah tangkapan air yang memasok air ke situ yang akan dibuat. Sebelum situ tersebut dibangun perlu dilakukan pendugaan besarnya aliran permukaan, erosi, dan sedimentasi yang terjadi pada DTA Cihoe Hulu, agar pemanfaatan dan pengelolaan situ lebih optimal dan memiliki umur efektif lebih lama. Salah satu analisis pemodelan yang dapat diterapkan yaitu menggunakan model AGNPS (Agricultural Non Point Source Pollution Model) dimana pembangkitan data masukan model AGNPS setiap sel menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG).
Tujuan penelitian tersebut untuk memprediksi besarnya aliran permukaan, laju erosi, dan sedimentasi, mengetahui parameter model AGNPS yang berpengaruh secara langsung terhadap keluaran model, dan menentukan alternatif penggunaan lahan dan tindakan konservasi tanah dan air yang efektif dalam rangka mengurangi besarnya aliran permukaan, erosi, dan sedimentasi di DTA Cihoe Hulu.
Penelitian dilakukan pada DTA Cihoe Hulu Sub DAS Cihoe, DAS Citarum, yang secara administrasi termasuk kedalam Kecamatan Cariu dan Kecamatan Sukamakmur Kabupaten Bogor Propinsi Jawa Barat. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium Remote Sensing dan Sistem Informasi Geografis Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB pada bulan September sampai dengan November 2005. Tahapan penelitian adalah pengumpulan data, pengolahan data, analisis keluaran model, analisis sensitivitas model, analisis skenario dan analisis skenario terbaik. Pengolahan data peta dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak ArcView yaitu: transformasi proyeksi peta, pembuatan DTA, pembuatan grid, dan penurunan parameter masukan model Sedangkan pengolahan data curah hujan dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Rainbow dengan periode ulang 25 tahun.
Parameter yang berpengaruh terhadap keluaran hidrologi model adalah curah hujan dan bilangan kurva aliran permukaan. Sedangkan parameter yang berpengaruh terhadap keluaran sedimen berurutan dari yang paling besar pengaruhnya adalah: kecuraman lereng, faktor pengelolaan tanaman, energi hujan intensitas 30 menit, faktor erodibilitas tanah, dan faktor tindakan konservasi tanah, faktor panjang lereng, faktor koefisien kekasaran permukaan Manning, curah hujan, dan faktor bilangan kurva aliran permukaan.
DAFTAR ISI
Perhitungan dalam Model AGNPS ... 11
Sistem Informasi Geografis dan Model Hidrologi ... 12
METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ... 14
Bahan dan Alat ... 14
Metode Penelitian ... 15
Pengolahan Data Curah Hujan ... 15
Transformasi Proyeksi Peta ... 17
Pembuatan Daerah Tangkapan Air ... 17
Pembuatan Sel Model AGNPS ... 17
Pembangkitan Data Setiap Sel ... 19
Analisis Keluaran model AGNPS ... 21
Analisis Sensitivitas ... 21
Analisis Simulasi ... 22
Analisis Simulasi Terbaik ... 23
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi Penelitian ... 24
Luas dan Letak ... 24
Curah Hujan dan Energi Intensitas Hujan ... 27
Pembangkitan Data Sel ... 28
Nomor Sel, Sel Penerima, dan Arah Aliran... 28
Kecuraman dan Bentuk Lereng ... 28
Faktor Tindakan Konservasi Tanah (P) ... 30
Faktor Pengelolaan Tanaman (C)... 30
Koefisien Kekasaran Permukaan Manning (N) ... 31
Bilangan Kurva Aliran Permukaan (CN) ... 31
Konstanta Kondisi Permukaan (SCC) dan Faktor Kebutuhan Oksigen Kimia (COD) ... 33
Tekstur Tanah dan Faktor Erodibilitas Tanah (K) ... 33
Indikator Saluran ... 34
Kecuraman Lereng Saluran, Kecuraman Sisi Saluran dan Panjang Saluran ... 35
Analisis Keluaran Model AGNPS ... 35
Keluaran Hidrologi ... 35
Keluaran Sedimen ... 37
Analisis Sensitivitas ... 41
Respon Keluaran Hidrologi ... 41
Respon Keluaran Sedimen ... 43
Analisis Simulasi ... 45
Skenario 1 ... 45
Skenario 2 ... 46
Skenario 3 ... 48
Skenario 4 ... 50
Skenario 5 ... 52
Analisis Simulasi Terbaik ... 53
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 55
Saran ... 55
DAFTAR PUSTAKA ... 57
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Kelas tingkat bahaya erosi ... 7
2. Masukan dan keluaran model AGNPS ... 10
3. Nilai masukan tekstur model AGNPS ... 21
4. Parameter masukan model dalam analisis sensitivitas ... 22
5. Penyebaran kemiringan lereng di DTA Cihoe Hulu ... 29
6. Faktor tindakan konservasi tanah (P) pada berbagai penutupan lahan di DTA Cihoe Hulu ... 30
7. Faktor pengelolaan tanaman (C) pada berbagai penutupan lahan di DTA Cihoe Hulu ... 31
8. Faktor koefisien kekasaran permukaan Manning (N) pada berbagai penutupan lahan di DTA Cihoe Hulu ... 31
9. Bilangan kurva aliran permukaan (CN) pada berbagai penutupan lahandi DTA Cihoe Hulu ... 32
10. Faktor konstanta kondisi permukaan (SCC) dan faktor kebutuhan oksigen kimiawi (COD) di DTA Cihoe Hulu ... 33
11. Tekstur tanah dan faktor erodibilitas tanah (K) di DTA Cihoe Hulu ... 34
12. Keluaran sedimen pada DTA Cihoe Hulu ... 38
13. Penyebaran kelas erosi di DTA Cihoe Hulu ... 38
14. Keluaran sedimen model pada skenario 1 ... 46
15. Keluaran sedimen model pada skenario 2 ... 48
16. Perubahan nilai parameter masukan model pada skenario 3 ... 49
17. Keluaran sedimen model pada skenario 3 ... 50
18. Perubahan nilai parameter masukan model pada skenario 4 ... 51
19. Keluaran sedimen model pada skenario 4 ... 51
20. Perubahan nilai parameter masukan model pada skenario 5 ... 52
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Peta lokasi penelitian ... 14
2. Tahapan penelitian ... 16
3. Tahapan pembuatan sel model AGNPS ... 18
4. Parameter masukan model AGNPS ... 19
5. Arah aliran pada model AGNPS ... 20
6. Peta DTA Cihoe Hulu ... 24
7. Peta elevasi DTA Cihoe Hulu ... 25
8. Peta jenis tanah DTA Cihoe Hulu ... 26
9. Peta penutupan lahan DTA Cihoe Hulu ... 27
10. Penyebaran spasial arah aliran DTA Cihoe Hulu ... 28
11. Peta penyebaran kemiringan lereng DTA Cihoe Hulu ... 29
12. Peta penyebaran bilangan kurva aliran permukaan DTA Cihoe Hulu ... 32
13. Peta penyebaran faktor erodibilitas tanah DTA Cihoe Hulu ... 34
14. Peta penyebaran volume aliran permukaan DTA Cihoe Hulu ... 36
15. Peta penyebaran debit puncak aliran permukaan DTA Cihoe Hulu ... 37
16. Peta penyebaran erosi DTA Cihoe Hulu ... 39
17. Peta penyebaran Total sedimen DTA Cihoe Hulu ... 41
18. Sensitivitas parameter model AGNPS terhadap keluaran hidrologi ... 42
19. Sensitivitas parameter model AGNPS terhadap keluaran sedimen ... 43
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Contoh parameter masukan model AGNPS ... 60
2. Nilai erodibilitas tanah untuk 50 jenis tanah di Pulau Jawa ... 62
3. Nilai bilangan kurva aliran permukaan (CN) dan konstanta
kondisi permukaan (SCC) pada berbagai penggunaan lahan ... 63
4. Nilai faktor pengelolaan tanaman (C) dari berbagai jenis
pertanaman di Indonesia ... 64
5. Nilai faktor tindakan konservasi tanah (P) ... 66
6. Nilai faktor kebutuhan oksigen kimiawi (COD) berbagai
penggunaan lahan ... 67
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sumberdaya lahan adalah lingkungan fisik yang terdiri dari: iklim, relief,
tanah, air, dan vegetasi serta benda-benda yang ada diatasnya sepanjang ada
pengaruhnya terhadap penggunaan lahan (Sitorus, 2004). Peningkatan jumlah
penduduk mengakibatkan terjadinya peningkatan kebutuhan pangan. Upaya
yang dapat dilakukan untuk meningkatkan penyediaan pangan diantaranya
dengan meningkatkan pengelolaan sumberdaya lahan untuk menghasilkan
pangan, melalui usaha pembangunan sektor pertanian.
Kecamatan Cariu dan Kecamatan Sukamakmur yang terletak pada
Kabupaten Bogor mengalami permasalahan dalam pembangunan sektor
pertanian khususnya dalam upaya peningkatan produksi pangan, dikarenakan
masih terbatasnya lahan yang beririgasi baik. Hal tersebut dapat dilihat dari
masih tingginya luas sawah tadah hujan yang tersebar diseluruh wilayah dan
penyebaran sawah irigasi terbatas pada daerah sekitar sungai. Masalah utama
yang dihadapi dalam perkembangan sawah tadah hujan dan sawah irigasi
adalah sulitnya pengendalian tata air yaitu kelebihan air pada musim hujan dan
kekeringan pada musim kemarau.
Dalam rangka pengendalian tata air pada daerah tersebut, Pemerintah
Daerah Kabupaten Bogor berencana akan membangun sebuah situ di sekitar
daerah tersebut. Situ dirancang sebagai kolam penampung air hujan dan air
limpasan, air sungai atau air rembesan. Tujuan pembangunan situ adalah
menjamin tersedianya air pada akhir musim penghujan sampai musim kemarau,
sehingga petani dapat meningkatkan intensitas penggunaan lahan sawah dan
pendapatan usaha taninya.
Daerah Tangkapan Air (DTA) adalah suatu wilayah daratan yang
menerima air hujan, menampung dan mengalirkannya melalui satu outlet atau
tempat peruntukannya (Departemen Kehutanan, 1998). DTA Cihoe Hulu
merupakan daerah tangkapan air yang memasok air ke situ yang akan dibuat.
Sebelum situ tersebut dibangun perlu dilakukan pendugaan besarnya aliran
permukaan, erosi, dan sedimentasi yang terjadi pada DTA Cihoe Hulu, agar
pemanfaatan dan pengelolaan situ lebih optimal dan memiliki umur efektif lebih
Analisis aliran permukaan, erosi, dan sedimentasi dapat dilakukan
diantaranya dengan pendekatan laboratorium, lapangan, gabungan, dan
pemodelan. Salah satu analisis pemodelan yang dapat diterapkan yaitu
menggunakan model AGNPS (Agricultural Non Point Source Pollution Model)
Model AGNPS merupakan model terdistribusi dengan kejadian hujan tunggal dan
homogen untuk seluruh Daerah Aliran Sungai (DAS). Berdasarkan konsep model
ini diharapkan setiap parameter benar-benar mewakili kondisi biofisik DAS pada
setiap satu-satuan luasnya.
Pembangkitan data masukan model AGNPS setiap sel menggunakan
Sistem Informasi Geografis (SIG). Penggunaan SIG dapat mengatasi
keterbatasan dari model-model erosi dengan pengumpulan data masukan
manual yang tidak efektif baik dari segi waktu maupun biaya (Olivieri, 1992
dalam Muchlis, 1999). Dengan menggunakan kemampuan SIG dapat dilakukan
analisa data spasial dan membangun parameter-parameter masukan yang
digunakan dalam model hidrologi, sehingga dapat menghemat waktu dalam
pembangkitan parameter-parameter masukan model. Kombinasi antara model
AGNPS dan SIG dapat memberikan informasi tentang aliran permukaan, erosi,
dan sedimentasi pada DTA situ tersebut secara keruangan (spasial), sehingga
pemanfaatan dan pengelolaan situ lebih optimal.
Tujuan
Tujuan dari penelitian tersebut adalah:
1. Memprediksi besarnya aliran permukaan, erosi, dan sedimentasi di DTA
Cihoe Hulu.
2. Mengetahui parameter model AGNPS yang berpengaruh secara langsung
terhadap keluaran model yang berupa aliran permukaan, erosi, dan
sedimentasi di DTA Cihoe Hulu.
3. Menentukan alternatif penggunaan lahan dan tindakan konservasi tanah
dan air yang efektif mengurangi besarnya aliran permukaan, erosi, dan
TINJAUAN
PUSTAKA
Daerah Aliran Sungai
Menurut Asdak (1995) DAS adalah suatu wilayah daratan yang secara
topografik dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan
menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai
utama. Wilayah daratan tersebut dinamakan daerah tangkapan air (DTA atau
catchment area) yang merupakan suatu ekosistem dengan unsur utamanya
terdiri atas sumber daya alam (tanah, vegetasi, dan air) dan sumber daya
manusia sebagai pemanfaat sumber daya alam. Sedangkan sub DAS menurut
Departemen Kehutanan (1998) didefinisikan sebagai bagian DAS yang
menerima air hujan dan mengalirkannya melalui anak sungai ke sungai utama,
dimana setiap DAS terbagi habis kedalam sub DAS-sub DAS.
Pengelolaan DAS didefinisikan sebagai proses formulasi dan
implementasi atau program yang bersifat manipulasi sumber daya alam dan
manusia yang terdapat di DAS untuk memperoleh manfaat produksi dan jasa
tanpa menyebabkan terjadinya kerusakan sumber daya air dan tanah (Asdak,
1995).
Penggunaan Lahan
Menurut Aldrich (1981) dalam Lo (1995) lahan diartikan sebagai material
dasar dari suatu lingkungan (situs) yang diartikan berkaitan dengan sejumlah
karakteristik alami yaitu: iklim, geologi, tanah, topografi, hidrologi, dan biologi.
Sedangkan menurut FAO (1976) dalam Arsyad (2000) lahan diartikan sebagai
lingkungan fisik yang terdiri atas: iklim, relief, tanah, air, dan vegetasi serta benda
yang berada diatasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan
lahan. Termasuk didalamnya juga hasil kegiatan manusia baik dimasa lalu
maupun sekarang.
Penggunaan lahan (land use) menurut Aldrich (1981) dalam Lo (1995)
diartikan sebagai aktifitas manusia dalam kaitannya dengan lahan. Sedangkan
Arsyad (2000) berpendapat bahwa penggunan lahan diartikan sebagai setiap
bentuk interfensi (campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka
memenuhi kebutuhan hidupnya baik materil maupun spiritual. Penggunaan lahan
dikelompokan menjadi dua golongan besar, yaitu; penggunaan lahan pertanian
Aliran Permukaan
Menurut Linsley et al. (1986) aliran permukaan adalah air yang mengalir
diatas permukaan tanah menuju saluran. Seyhan (1990) berpendapat bahwa
aliran permukaan didefinisikan sebagai bagian limpasan yang melintas diatas
permukaan tanah menuju saluran sungai, hal itu dapat terjadi jika intensitas
curah hujan melebihi laju infiltrasinya. Sedangkan menurut Asdak (1995) aliran
permukaan adalah bagian dari curah hujan yang mengalir di atas permukaan
tanah menuju ke sungai, danau, dan lautan.
Pada waktu hujan terjadi butir-butir air dengan gaya kinetik yang dimiliki
akibat gaya grafitasi akan menimpa tanah (terutama tanah gundul) dan
memecahkan bongkah-bongkah tanah atau agregat tanah menjadi
partikel-partikel yang lebih kecil. Partikel tersebut mengikuti infiltrasi lalu menyumbat
pori-pori tanah. Akibatnya apabila hujan semakin lebat atau berlangsung lebih lama
maka akan terbentuklah aliran permukaan dengan jumlah dan kecepatan
tertentu.
Faktor-faktor yang mempengaruhi aliran permukaan adalah faktor yang
berhubungan dengan iklim dan faktor yang berhubungan dengan karakteristik
DAS. Lama waktu hujan, intensitas dan penyebaran hujan mempengaruhi laju
dan volume limpasan permukaan. Hujan dengan intensitas tinggi akan memiliki
kapasitas infiltrasi yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan hujan yang kurang
intensif walaupun curah hujan dari dua kejadian tadi sama besar (Asdak, 1995).
Sedangkan menurut Chow (1964) dalam Seyhan (1990) aliran permukaan
dipengaruhi oleh: jumlah hujan, laju dan distribusi hujan, temperatur lapisan
bawah dan tipe tanah, kemiringan lereng, luas daerah aliran, vegetasi, dan
sistem pengelolaan tanah.
Menurut Seyhan (1990) berdasarkan pengamatan hidrologi hutan selama
bertahun-tahun menunjukan bahwa aliran perrmukaan pada DAS yang berhutan
adalah jarang sekali sebab hutan memiliki fungsi meningkatkan penahan
permukaan, meningkatkan laju infiltrasi (kapasitas serap serasah tinggi) dan
aliran maksimum diharapkan lebih kecil. Laju maksimum aliran permukaan
merupakan proporsional terhadap intensitas curah hujan maksimum.
Erosi
Erosi didefinisikan sebagai peristiwa hilang atau terkikisnya tanah atau
oleh pergerakan air, angin, dan atau es (Rahim, 2000). Sedangkan menurut
Arsyad (2000) erosi merupakan suatu proses pindah atau terangkutnya tanah
atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh sebab-sebab
alami, yaitu air dan angin. Menurut Rahim (2000) di daerah tropis seperti
Indonesia erosi terutama disebabkan oleh air hujan. Erosi timbul apabila aksi
dispersi dan tenaga pengangkut oleh air hujan yang mengalir ada di permukaan
dan atau di dalam tanah. Pukulan air hujan yang mempunyai energi lebih besar
dari pada daya tahan tanah akan menyebabkan terjadinya penghancuran
agregat-agregat tanah yang kemudian akan terbawa oleh aliran permukaan.
Arsyad (1989) menyatakan bahwa erosi digolongkan menjadi dua
golongan utama yaitu erosi normal dan erosi dipercepat. Erosi normal atau erosi
geologi atau yang biasa di sebut erosi alami terjadi dengan laju yang lambat yang
memungkinkan terbentuknya tanah yang tebal. Proses erosi ini menyebabkan
bentuk permukaan bumi. Erosi dipercepat menimbulkan kerusakan tanah akibat
perbuatan manusia mengganggu proses pembentukan dan pengangkutan tanah.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Erosi
Menurut Arsyad (2000) erosi dinyatakan sebagai akibat interaksi kerja
antara faktor-faktor: iklim, topografi, tumbuh-tumbuhan, dan manusia terhadap
tanah yang dinyatakan dalam persamaan:
(
i r v t m)
f
E = , , , ,
Dimana,
Sedangkan menurut Rahim (2000), Erosi dipengaruhi oleh tiga faktor utama
yaitu: 1) energi, yaitu: hujan, air, limpasan, angin, kemiringan, dan panjang
lereng, 2) ketahanan; erodibilitas tanah, dan 3) proteksi, yaitu: penutup tanah dan
ada atau tidaknya tindakan konservasi.
Pada daerah iklim basah faktor iklim yang mempengaruhi erosi adalah
hujan. Sifat hujan yang sangat penting dalam mempengaruhi erosi adalah energi
kinetik hujan, karena merupakan penyebab pokok dalam penghancuran
agregat-agregat tanah (Arsyad, 1989). Besarnya energi kinetik hujan bergantung pada
jumlah hujan, intensitas dan kecepatan jatuhnya butir-butir hujan. Sedangkan E : erosi i : iklim r : topografi
kecepatan jatuhnya butir-butir hujan ditentukan oleh ukuran butir-butir hujan dan
angin (Rahim, 2000).
Unsur topografi yang mempengaruhi erosi dan aliran permukaan ada 2
yaitu kemiringan lereng dan panjang lereng. Erosi semakin meningkat apabila
lereng semakin curam atau semakin panjang (Hardjowigeno, 1995). Sedangkan
menurut Schwab et al. (1981) faktor topografi mempengaruhi erosi melalui
derajat kemiringan dan panjang lereng, serta ukuran dan bentuk aliran sungai.
Ketahanan tanah memiliki fungsí ganda yaitu ketahanan terhadap daya dari luar
dan kemampuan tanah untuk menyerap hujan. Sifat-sifat tanah yang
mempengaruhi erosi antara lain: tekstur tanah, struktur, bahan organik, sifat
lapisan bawah, dan tingkat kesuburan tanah (Arsyad, 1989)
Proteksi berkaitan dengan faktor-faktor yang berhubungan dengan
penutup tanah. Vegetasi penutup tanah yang baik seperti rumput yang tebal atau
rimba yang lebat akan menghilangkan pengaruh hujan dan topografi terhadap
erosi (Arsyad, 2000). Sedangkan manusia merupakan faktor penentu utama
besarnya erosi, sebab manusia sebagai penentu pengusahaan tanah (Rahim,
2000).
Pendugaan Erosi
Pendugaan erosi merupakan alat bantu untuk mengambil keputusan
dalam perencanaan konservasi tanah pada suatu areal sekaligus alat untuk
menilai apakah suatu program atau tindakan konservasi yang diterapkan berhasil
menurunkan laju erosi dari suatu bidang tanah atau DAS (Arsyad, 2000). Metode
yang umum digunakan adalah metode USLE (Universal Soil Loss Equation) yang
dikembangkan oleh Wishmeir dan Smith tahun 1978 (Asdak, 1995). Persamaan
USLE dikembangkan di daerah pertanian Amerika Utara dengan karakteristik
iklim sedang (intensitas hujan umumnya rendah) dan topografi tidak terlalu
bergunung-gunung. Faktor pembatas persamaan USLE adalah: faktor topografi
(geologi), vegetasi, dan meteorologi. Penggunaan persamaan USLE pada
tempat dengan karakteristik iklim dan kondisi biofisik yang berbeda dengan
tempat persamaan dikembangkan perlu dilakukan modifikasi (Asdak, 1995).
Tingkat Bahaya Erosi
Erosi dan sedimentasi adalah respon dari DAS terhadap hujan yang jatuh
kerusakan tanah, untuk menghindarinya perlu ditetapkan batasan erosi yang
ditoleransi pada suatu bidang tanah. Penetapan batas tertinggi laju erosi yang
masih dapat dibiarkan atau ditoleransi perlu ditetapkan dan tidak mungkin
menekan laju erosi menjadi nol (Arsyad, 1989).
Tingkat bahaya erosi adalah perkiraan kehilangan tanah maksimum
dibandingkan dengan tebal solum tanahnya pada setiap unit lahan bila teknik
pengelolaan tanaman dan konservasi tanah tidak mengalami perubahan.
Penentuan tingkat bahaya erosi menggunakan pendekatan tebal solum tanah
yang telah ada dan besarnya erosi sebagai dasarnya. Semakin dangkal solum
tanahnya berarti semakin sedikit tanah yang boleh tererosi, sehingga tingkat
bahaya erosinya sudah cukup besar meskipun tanah yang hilang belum terlalu
besar. Kelas tingkat bahaya erosi disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Kelas tingkat bahaya erosi
Kedalaman Tanah
Sumber: Departemen Kehutanan, Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan (1998)
Keterangan: 0 - SR = Sangat Ringan III - B = Berat I - R = Ringan IV - SB = Sangat Berat II - S = Sedang
Sedimentasi
Tanah dan bagian-bagian tanah yang terangkut dari suatu tempat yang
tererosi disebut sebagai sedimen (Arsyad,1989). Sedangkan menurut Asdak
(1995) sedimen adalah hasil proses erosi. Sedimen umumnya mengendap di
bawah kaki bukit, di daerah genangan banjir, di saluran air, saluran sungai, dan
di suatu tempat yang kecepatan airnya melambat atau terhenti. Proses tersebut
disebut sedimentasi atau pengendapan (Arsyad, 2000).
Hasil sedimen (sediment yield) yang menyatakan besarnya sedimen yang
berasal dari erosi yang terjadi di daerah tangkapan air yang diukur pada periode
waktu dan tempat tertentu yang biasanya diukur sebagai sedimen terlarut di
sungai atau pengukuran langsung di waduk. Proses sedimentasi memberikan
dampak menguntungkan dan merugikan. Pada tingkat tertentu adanya aliran
sedimentasi ke daerah hilir dapat menambah kesuburan tanah serta
terbentuknya tanah garapan baru di daerah hilir. Tetapi aliran sedimen juga
dapat menurunkan kualitas perairan dan pendangkalan badan perairan
(Asdak,1995).
Hasil sedimentasi dapat diukur di sungai tetapi tidak semua sedimen yang
terbawa aliran permukaan akan mencapai outlet. Nisbah Pelepasan Sedimen
(NPS) merupakan salah satu metode prediksi hasil sedimen yang merupakan
nisbah jumlah sedimen yang betul-betul terbawa oleh sungai dari suatu daerah
terhadap jumlah tanah yang tererosi dari daerah tersebut. Dimana
persamaannya adalah sebagai berikut:
Keterangan: NPS = Nisbah Pelepasan Sedimen, SEDY = jumlah sedimen total yang melewati suatu titik tertentu di sungai dan EROSI = jumlah tanah yang tererosi.
Teknik Konservasi Tanah dan Air
Usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk mengendalikan dan mencegah
erosi, dalam rangka meningkatkan kapasitas infiltrasi tanah, serta mengatur
limpasan permukaan dan menurunkan hasil sedimen dilakukan dengan
pengawetan tanah dan air. Hal itu dapat dilakukan dengan 3 teknik, yaitu: teknik
vegetatif, teknik mekanik, dan teknik kimia (Asdak, 1995).
Teknik vegetatif adalah kegiatan pencegahan erosi dengan penanaman
vegetasi. Menurut Rahim (2000) vegetasi memiliki kemampuan untuk:
1) menurunkan erosivitas karena adanya intersepsi tajuk dan absorpsi energi air
hujan, 2) mempengaruhi limpasan permukaan, 3) meningkatkan aktifitas biologi
dalam tanah, dan 4) meningkatkan kecepatan kehilangan air karena transpirasi.
Menurut Asdak (1995) disebutkan bahwa vegetasi penutup tanah dengan
struktur tajuk berlapis dapat menurunkan kecepatan air hujan dan menurunkan
EROSI SEDY
debit tetesan air hujan, sehingga erosivitas hujan menurun dan erosi dan
sedimentasi dapat diturunkan.
Menurut Asdak (1995) teknik mekanik dinyatakan sebagai cara
pencegahan erosi dengan pembuatan bangunan pencegahan erosi (structural
design). Tujuannya adalah untuk mengurangi kecepatan limpasan permukaan
dan volume limpasan permukaan serta kehilangan tanah (erosi) dengan cara
menahan air tetap pada tempatnya atau minimal mengurangi kecepatan
alirannya. Menurut Sitorus (2004) teknik mekanik dalam konservasi tanah dan air
diantaranya: 1) pengolahan tanah (tillage), 2) pengolahan tanah menurut kontur,
3) pembuatan galengan dan saluran menurut kontur, 4) pembuatan teras seperti
teras tangga atau teras bangku dan teras berdasarkan lebar, 5) perbaikan
drainase dan pembangunan irigasi, dan 6) pembuatan waduk, dam penghambat
(chek dam), tanggul dan sebagainya.
Teknik kimia adalah cara pencegahan dengan menggunakan bahan-bahan
kimia pada tanah dalam rangka untuk meningkatkan kemantapan agregat tanah
dan struktur tanah yang stabil agar tidak mudah terdispersi. Menurut Sitorus
(2004) Senyawa kimia tersebut secara umum disebut soil conditioner. Beberapa
jenis soil conditioner yang digunakan adalah: 1) Krilium, yaitu merupakan garam
natrium dari poly acrylonitrile, 2) Polymer tidak terionisasi: Polyvinyl alkohol
(PVA), 3) Polyanion: polyvinyl acetate, 4) polycation: DAEMA- Dimethyl amino
ethyl meta crylate, dan 5) Emulsi Bitumen.
Model AGNPS
AGNPS (Agricultural Non Point Source Pollution Model) merupakan
sebuah program simulasi komputer untur menganalisa limpasan, erosi, sedimen,
perpindahan hara dari pemupukan (Nitrogen dan Pospor) dan COD (Chemical
Oxygen Demand) pada suatu areal pertanian. AGNPS dikembangkan oleh
Robert A. Young, Chares A. Onsad, David D. Bosch, dan Wayne P. Anderson
tahun 1987. Model AGNPS merupakan model terdistribusi dengan kejadian hujan
tunggal dan homogen untuk seluruh DAS. Model ini dikembangkan dengan
membagi DAS menjadi bujursangkar yang seragam, sehingga analisa untuk
setiap sel dapat dilakukan. Dimana setiap sel memiliki parameter masukan dan
Tabel 2. Masukan dan keluaran model AGNPS
No. Parameter DAS Keseluruhan DAS
1 Nama dan keterangan DAS Nama dan keterangan DAS
2 Luas tiap sel Luas DAS
3 Jumlah sel Luas setiap sel
4 Curah Hujan Curah hujan
5 Energi intensitas Hujan Energi intensitas hujan
No. Parameter Sel Keluaran pada Pelepasan DAS
1 Nomor sel Volume aliran permukaan
2 Nomor sel penerima Laju puncak aliran permukaan
3 Arah aliran Aliran permukaan tiap sel
4 Bilangan kurva aliran permukaan Sedimentasi (total dan tiap sel)
5 Kemiringan lereng Hasil sedimentasi
6 Faktor bentuk lereng Distribusi sedimentasi tiap partikel
7 Panjang lereng Erosi permukaan
8 Kelerengan saluran rata-rata Erosi saluran
9 Koefisien kekasaran manning Jumlah deposisi
10 Faktor erodibilitas tanah Sedimentasi tiap sel
11 Faktor pengelolaan tanah USLE Nisbah pengayaan
12 Teknik konservasi tanah Nisbah pelepasan
13 Konstanta kondisi permukaan Kandungan N dalam sedimentasi
14 Tekstur tanah Konsentrasi N
15 Indikator penggunaan pupuk Jumlah N dalam aliran permukaan
16 Ketersedian pupuk pada permukaan tanah Kandungan P dalam sedimentasi
17 Point source indikator Konsentrasi P
18 Sumber erosi tambahan Jumlah P dalam aliran permukaan
19 Faktor kebutuhan oksigen kimiawi Konsentrasi COD
20 Indikator impoundment Jumlah COD
21 Indikator saluran
Menurut Pawitan (1998) dalam Salwati (2004) model AGNPS merupakan
gabungan antara model terdistribusi (distributed) dan model sequensial. Sebagai
model terdistribusi penyelesaian persamaan keseimbangan massa dilakukan
secara serempak untuk semua sel. Sedangkan model sequensial, air dan
cemaran ditelusuri dalam rangkaian aliran di permukaan lahan dan di saluran
Kelebihan dari model AGNPS ini adalah: 1) memberikan hasil berupa
aliran permukaan, erosi, sedimentasi, dan unsur-unsur hara yang terbawa dalam
aliran permukaan; 2) membuat skenario perubahan penggunaan lahan;
3) menganalisis parameter yang digunakan untuk memberikan skenario yang
akurat terhadap sifat-sifat DAS. Adapun kelemahan dari model AGNPS ini
adalah: 1) pendugaan aliran permukaan model tidak mengeluarkan output dalam
bentuk hidrograf, sehingga perbandingan antara hidrograf hasil prediksi dengan
hidrograf hasil pengukuran tidak bisa diperlihatkan; 2) waktu respon yang
merupakan indikator untuk menentukan kondisi biofisik DAS tidak dinyatakan
dalam keluaran model.
Perhitungan dalam Model AGNPS
Beberapa persamaan yang digunakan dalam membangun model dalam
Young et al. (1990) adalah:
a. Erosi tanah
Persamaan yang digunakan adalah persamaan Wischmeier dan Scmith
(1978), yaitu:
Dimana : E = erosi (ton/acre) L = faktor panjang lereng EI = energi intensitas hujan (feet.ton.inci/acre) S = faktor kemiringan lereng K = erodibilitas tanah (ton.acre/feet.ton.inci) C = faktor tanaman
SSF = faktor bentuk permukaan tanah P = faktor pengelolaan tanah
b. Volume aliran permukaan
Volume aliran permukaan dihitung dengan menggunakan persamaan
USDA SCS (1972), yaitu:
Dimana: RF = run off (inci) RL = hujan (inci) S = faktor penahan tanah ;(CN = Curve Number)
c. Kecepatan aliran permukaan
(Sx ) SSC
x
V
0=
10
0.5 log10 1 100−d. Kecepatan aliran dalam saluran
Dimana: Vc = kecepatan aliran dalam saluran (feet/detik) Rh = radius hidrolik Sc = kemiringan saluran
e. Debit aliran pada saluran
c c xV A
Q=
Dimana: Q = debit (cfs)
Ac = potongan melintang saluran (square feet) Vc = kecepatan aliran dalam saluran (feet)
f. Puncak aliran permukaan
(
2)
0.187Sistem Informasi Geografis dan Model Hidrologi
Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah sekumpulan yang terorganisir
dari perangkat keras komputer (hardware), perangkat lunak (software), data
geografis (geographic data), dan personal (personnel) yang dirancang untuk
secara efisien merekam (capture), menyimpan (store), memperbarui (update),
memanipulasi (manipulate), menganalisis (analize), dan mendisplai atau
menyajikan (display) semua bentuk informasi yang bereferensi geografis (ESRI,
1995 dalam Jaya, 2003). Menurut Aronoff (1989) dalam Jaya (2003), SIG terdiri
atas 4 kemampuan yaitu: pemasukan data, manajemen data, analisis dan
manipulasi, serta menghasilkan data (output).
Bentuk data dalam SIG terbagi dua yaitu data raster dan data vektor.
Kedua struktur data tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihan
data vektor adalah: jumlah memori yang digunakaan lebih sedikit, penampilan
grafik baik, akurasi geometri tinggi, dan obyek digambarkan secara eksplisit
(persis bentuk aslinya). Kekurangan data vektor adalah: pengumpulan data
lambat, analisis keruangan sedang, dan struktur data sangat komplek.
Sedangkan data raster mempunyai ciri yang baik berupa: pengumpulan data
raster adalah: memerlukan memori yang sangat besar, akurasi geometri yang
rendah, dan obyek digambarkan secara implisit (Dimyati dan Dimyati, 1998
dalam Zulfikar, 1999).
SIG dapat diaplikasikan dengan model lingkungan misalnya untuk
menganalisis sumber daya alam. Apalagi dewasa ini perkembangan teknologi
komputer semakin pesat, sehingga SIG semakin banyak dimanfaatkan.
Pemanfaatan paket SIG dalam model hidrologi diantaranya untuk menganalisis
DAS sebagai sistem terdistribusi (distributed system), misalnya untuk
menghubungkan (link) antara tabel dan peta. Untuk mengembangkan integrasi
antara SIG dengan model hidrologi terutama model terdistribusi, SIG digunakan
untuk membangun parameter masukan model. Dimana masukan data model
dapat berasal dari perangkat lunak SIG yang berupa peta integer dimana setiap
sel raster digambarkan oleh angka (Amara dan Van Asch, 1995 dalam Muchlis,
METODOLOGI PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan pada DTA Cihoe Hulu Sub DAS Cihoe, DAS
Citarum, yang secara administrasi termasuk kedalam Kecamatan Cariu dan
Kecamatan Sukamakmur Kabupaten Bogor Propinsi Jawa Barat. Pengolahan
data dilakukan di Laboratorium Remote Sensing dan Sistem Informasi Geografis
Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB pada bulan September
sampai dengan November 2005. Peta lokasi penelitian secara spasial disajikan
pada Gambar 1.
Gambar 1. Peta lokasi penelitian
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian yaitu:
1. Peta Digital Penutupan Lahan Kabupaten Bogor (Hasil klasifikasi citra satelit
SPOT 5 tahun 2003)
2. Peta Digital Kontur Kabupaten Bogor skala 1 : 25 000 (Bakosurtanal, Bogor)
3. Peta Digital Jenis Tanah Kabupaten Bogor (Puslittanak, Bogor)
4. Peta Tanah Semi Detail Bekasi dan Sekitarnya skala 1 : 50 000 (Puslittanak,
5. Peta Digital Jaringan Sungai Kabupaten Bogor (Dinas Pengairan Kabupaten
Bogor)
6. Curah hujan harian selama 7 tahun (1998-2004) stasiun pengukuran hujan
Kecamatan Cariu
Sedangkan alat-alat yang digunakan adalah seperangkat komputer
dengan program ArcView versi 3.3, AGNPS versi 3.65.3, Rainbow for Window,
dan Microsoft Excel 2003.
Metode Penelitian
Tahapan penelitian yang dilaksanakan dalam penelitian ini adalah:
pengumpulan data, pengamatan lapangan, pengolahan data, analisis keluaran
model, analisis sensitivitas model, analisis simulasi, dan analisis simulasi terbaik.
Tahapan awal penelitian ini adalah pengumpulan data berupa peta dasar dan
data curah hujan. Setelah data terkumpul dilakukan pengamatan dan identifikasi
keadaan lapang untuk mengamati dan mengidentifikasi tutupan lahan, tindakan
konservasi, dan pengelolaan tanaman yang sebenarnya dilapangan. Sedangkan
tahapan dalam pengolahan data berupa: pengolahan data curah hujan, proyeksi
peta, pembuatan Daerah Tangkapan Air (DTA), pembuatan sel model AGNPS,
dan pembangkitan data setiap sel. Tahapan Penelitian selengkapnya disajikan
pada Gambar 2.
Tahapan pengolahan data selengkapnya sebagai berikut:
Pengolahan Data Curah Hujan
Data curah hujan maksimum harian digunakan untuk memprediksi
besarnya aliran permukaan. Pengolahan data curah hujan harian maksimum
selama 7 tahun menggunakan program Rainbow dengan periode ulang 25 tahun.
Hasil keluaran program Rainbow tersebut selanjutnya dirata-rata, sehingga
diperoleh nilai curah hujan harian maksimum rata-rata. Nilai curah hujan harian
maksimum rata-rata tersebut digunakan untuk menghitung nilai energi hujan
intensitas 30 menit (EI30) dengan menggunakan persamaan Bols (1978) yaitu:
( )
Dimana: EI30 = energi hujan intensitas 30 menit (m.ton.cm.ha-1.jam-1)
Gambar 2. Tahapan penelitian Data Peta Digital
Kontur
Penutupan Lahan
Jenis Tanah
Jaringan Sungai
Pengamatan Lapangan Pembuatan DTA
Pembangkitan Data Setiap Sel Pembuatan Sel
Model AGNPS
Data Curah Hujan Transformasi Proyeksi
Peta
Pembangkitan Data Setiap Sel
Analisis Keluaran Model AGNPS
Analisis Sensitivitas
Analisis Simulasi
Dalam memprediksi besarnya erosi dan sedimentasi tahunan, digunakan
data curah hujan bulanan untuk menghitung besarnya curah hujan rata-rata
tahunan. Sedangkan nilai energi hujan intensitas 30 menit dihitung dengan
menggunakan data curah hujan bulanan dengan menggunakan persamaan Bols
(1978) yaitu:
DAYS = banyaknya hari hujan bulanan (hari) MAXP = hujan harian maksimum bulanan (cm)
Transformasi Proyeksi Peta
Penyeragaman proyeksi peta perlu dilakukan agar peta dapat di-overlay
dan dianalisa secara spasial. Penyeragaman proyeksi peta menggunakan
Program ArcView dengan extension Projection Utility Wizard. Proyeksi yang
digunakan adalah UTM (Universal Transver Mercator) dengan datum WGS 84
dan Zone 48S.
Pembuatan Daerah Tangkapan Air
Pembuatan daerah tangkapan air menggunakan program ArcView.
Tahapan pembuatan DTA yaitu:
1). Pemotongan peta kontur pada daerah yang diperkirakan sebagai DTA
dengan didasarkan pada peta jaringan sungai. Pemotongan (clipping) peta
kontur ini dimaksudkan agar proses pengolahan data selanjutnya lebih cepat
dilakukan. Proses pemotongan peta kontur dilakukan dengan menggunakan
extension Geoprocessing Wizard.
2). Pembuatan TIN (Triangulated Irregular Network). Peta kontur yang telah
dipotong selanjutnya dibuat TIN.
3). Pembuatan DEM (Digital Elevation Model). TIN kemudian dibuat grid,
sehingga diperoleh model ketinggian digital (DEM).
4). Pembutan DTA. DEM tersebut kemudian diolah lebih lanjut dengan
mengggunakan extension AV-SWAT 2000, sehingga menghasilkan DTA
(Gambar 3.a)
Pembuatan Sel Model AGNPS
Pembuatan sel dilakukan dengan memanfaatkan Sistem Informasii
Geografis (SIG) dengan program ArcView. Tahapan pembuatan sel AGNPS
1) Pembuatan Grid. DTA yang telah terbentuk (Gambar 3.a) dibuat grid
(gridding). Luas daerah penelitian berdasarkan hasil pembuatan DTA seluas
3 863.75 ha, oleh karena itu ukuran grid yang digunakan sebesar 300x300 m
(9 ha). Ukuran grid yang dibuat sesuai dengan ketentuan AGNPS bahwa
DAS yang luasannya lebih dari 2 000 acre (809.36 ha), ukuran sel yang
digunakan maksimum berukuran 40 acre atau16.19 ha (Young et al.,1990).
2) Pembuatan DTA Point. DTA dibuat point dengan menggunakan script
grid2pt.ave, sehingga diperoleh DTA berbentuk point (Gambar 3.b).
3) Pembuatan Sel. DTA yang berbentuk point, selanjutnya dibuat grid kembali
dengan ukuran yang sama dengan proses sebelumnya dan disimpan
kedalam format shapefile, sehingga diperoleh DTA yang berbentuk sel
(Gambar 3.c).
4) Penghapusan. Hasil pembuatan DTA sel terdapat beberapa sel yang tidak
berbentuk persegi, oleh karena itu dilakukan penghapusan atau
penghilangan terhadap sel yang tidak berbentuk persegi, sehingga diperoleh
hasil akhir sel DTA (Gambar 3.d).
5) Penomoran Sel. Penomoran dilakukan sesuai dengan ketentuan model
AGNPS, dimana penomoran dimulai dari ujung sel sebelah kiri atas menuju
sel sebelah kanan, kemudian dilanjutkan pada baris selanjutnya dengan arah
yang sama sampai dengan baris terakhir.
a b
Pembangkitan Data Setiap Sel
Sebelum dilakukan pembangkitan data setiap sel dilakukan pemotongan
(clipping) semua peta digital dengan batas DTA. Setelah itu ditambahkan data
atribut berupa nilai parameter-parameter masukan model sesuai dengan
distribusi spasial petanya. Penurunan parameter-parameter masukan model
dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak ArcView. Penurunan parameter
masukan model dari peta dasar disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4. Parameter masukan model AGNPS
Keterangan:
DEM = Digital Elevation Model P = Faktor teknik konservasi tanah
S = Kemiringan lereng SCC = Konstanta kondisi permukaan
L = Panjang lereng N = Koefisien kekasaran Manning
FD = Arah aliran COD = Kebutuhan oksigen kimiawi
T = Tekstur CI = Indikator saluran
K = Faktor erodibilitas tanah CS = Kemiringan saluran
CN = Bilangan kurva aliran permukaan CL = Panjang saluran C = Faktor pengelolaan tanaman
Peta
Sel Overlay Jaringan Sungai Peta
CI CS
CL
COD
Data turunan peta kontur. Parameter panjang lereng diperoleh dari
pengukuran peta kontur yang di-overlay dengan peta grid sel, sedangkan
parameter kemiringan lereng dan arah aliran diperoleh dari data DEM (Digital
Elevation Model). DEM merupakan suatu model yang mempresentasikan
ketinggian muka bumi dengan format raster. Pembuatan DEM dilakukan dengan
membuat TIN dari peta kontur dan dilanjutkan dengan gridding terhadap TIN
dengan ukuran sel sebesar 300 x 300 m. Turunan dari data DEM yaitu:
1) Kemiringan lereng. Parameter kemiringan lereng diperoleh dari data DEM
dengan menggunakan extension DEMAT, dengan satuan persen. Untuk
mendapatkan data kemiringan lereng setiap sel maka data hasil
penghitungan Demat diubah menjadi bentuk point dengan menggunakan
script grid2.ave,
2) Arah aliran. Parameter arah aliran diperoleh dari data DEM dengan
menggunakan extension Hydrologic Modelling v.1.1. Dari hasil keluaran
Hydrologic Modelling v.1.1 kemudian dilakukan penyesuaian kode arah aliran
sesuai dengan ketentuan model AGNPS, yaitu sebagai berikut:
Gambar 5. Arah aliran pada model AGNPS
Data turunan peta jenis tanah. Dari peta jenis tanah dapat diturunkan
parameter tekstur dan faktor erodibilitas tanah. Pada peta jenis tanah dilakukan
penambahan data atribut nilai tekstur dan nilai erodibilitas tanah. Nilai tekstur
tanah diperoleh dari peta tanah semi detail skala 1 : 50 000, sedangkan nilai
faktor erodibilitas tanah diperoleh dari hasil penelitian Puslitbang Pengairan
(1996). Nilai masukan tekstur pada model AGNPS disajikan pada Tabel 3. 1
2
3
4 5
6 7
Tabel 3. Nilai masukan tekstur model AGNPS
Tekstur Nilai Masukan Model
Air 0
Data turunan peta penutupan lahan. Dari peta penutupan lahan dapat
diturunkan parameter: faktor pengelolaan tanaman, tindakan konservasi tanah,
koefisien kekasaran Manning, dan bilangan kurva aliran permukaan. Pemasukan
nilai parameter tersebut disesuaikan dengan hasil pengamatan dan identifiikasi
lapangan. Untuk memperoleh nilai parameter masukan setiap sel, dilakukan
proses gridding terhadap peta tutupan lahan tersebut.
Data turunan peta jaringan sungai. Dari peta jaringan sungai dapat
diturunkan parameter: indikator saluran, kemiringan lereng saluran, kemiringan
sisi saluran, dan panjang saluran. Nilai kemiringan lereng saluran, kemiringan sisi
saluran, dan panjang saluran diperoleh dari hasil penghitungan maupun dengan
asumsi sesuai dengan ketentuan model AGNPS.
Selain parameter yang diperoleh dari hasil turunan peta dasar tersebut
terdapat beberapa parameter masukan AGNPS yang diasumsikan konstan.
Parameter tersebut yaitu: 1) indikator penggunaan pupuk, 2) ketersedian pupuk
pada permukaan tanah, 3) point source indicator, 4) sumber erosi tambahan, dan
5) indikator impoundment.
Analisis Keluaran Model AGNPS
Analisis keluaran model dilakukan terhadap keluaran model pada
pelepasan DTA (outlet) maupun pada setiap sel. Keluaran model berupa
keluaran hidrologi dan keluaran sedimen. Analisis dilakukan pada keluaran
Hidrologi yaitu volume aliran permukaan dan debit puncak aliran permukaan.
Dan analisis hasil keluaran sedimen yaitu: laju erosi, laju sedimentasi, dan total
sedimen.
Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas dilakukan untuk mengetahui pengaruh langsung
setiap parameter terhadap keluaran model. Analisis sensitivitas dilakukan
meningkatkan dan menurunkan sebesar 50% dari nilai awalnya, kemudian model
dijalankan dengan parameter lainnya dibiarkan tetap. Hasil keluaran model setiap
parameter dibandingkan dengan nilai dasar (base) untuk mengetahui sensitivitas
setiap parameter yang terpilih. Parameter masukan model dalam analisis
sensitivitas disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Parameter masukan model dalam analisis sensitivitas Parameter Masukan Model
Curah Hujan (CH) Panjang Lereng (L)
Energi Intensitas Hujan (EI30) Kemiringan Lereng (S)
Koefisien Kekasaran Manning (N) Faktor Erodibilitas (K)
Faktor Pengelolaan Tanaman (C) Koefisien Kondisi Permukaan (SCC)
Faktor Tindakan Konservasi Lahan (P) Bilangan Kurva Aliran Permukaan (CN)
Analisis Simulasi
Simulasi dilakukan dengan melakukan perubahan penutupan lahan dan
melakukan tindakan konservasi tanah dan air. Hal tersebut dilakukan untuk
menentukan alternatif penggunaan lahan yang efektif menurunkan aliran
permukaan, erosi, dan sedimentasi pada DTA Cihoe Hulu. Simulasi tersebut
dilakukan dengan beberapa skenario yaitu:
Skenario 1, melakukan peningkatan kerapatan tanaman pada kebun campuran
dengan penambahan vegetasi.
Skenario 2, melakukan tindakan konservasi tanah dan air berupa teras bangku
dengan konstruksi baik pada kebun campuran.
Skenario 3, merubah tanah kosong dan semak belukar menjadi hutan tanaman
kerapatan tinggi dengan sistem silvikultur tebang habis dan tindakan konservasi
berupa penanaman berbaris menurut kontur, serta meningkatkan kerapatan
tanaman pada kebun campuran.
Skenario 4, merubah tanah kosong dan semak belukar menjadi hutan tanaman
dengan sistem silvikultur tebang pilih dan melakukan tindakan konservasi berupa
penanaman berbaris menurut kontur, serta meningkatkan kerapatan tanaman
pada kebun campuran.
Skenario 5, merubah tanah kosong dan semak belukar menjadi kebun campuran
dengan sistem agroforestry dan meningkatkan kerapatan tanaman pada kebun
Analisis Simulasi Terbaik
Melakukan analisis keluaran model pada setiap skenario dan
membandingkan setiap keluaran skenario model terhadap keluaran model pada
kondis awalnya, serta menentukan alternatif penggunaan lahan dan tindakan
konservasi tanah dan air yang efektif menurunkan aliran permukaan, erosi, dan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Luas dan Letak
DTA Cihoe Hulu termasuk ke dalam Sub DAS Cihoe DAS Citarum, dengan
luas sebesar 3 856.16 ha. Secara administrasi DTA Cihoe Hulu termasuk ke
dalam Kecamatan Cariu dan Kecamatan Sukamakmur Kabupaten Bogor.
Sedangkan secara geografis DTA Cihoe Hulu terletak pada 6°31’48’’ - 6°39’00’’
LS dan 107°01’12’’ - 107°05’24’’BT. DTA Cihoe Hulu terdapat dua aliran sungai
yaitu Sungai Ciomas dan Sungai Cijurey. DTA Cihoe Hulu secara spasial
disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6. Peta DTA Cihoe Hulu
Topografi dan Iklim
Berdasarkan perhitungan peta digital kontur, DTA Cihoe Hulu memiliki
topografi bervariasi dari datar hingga sangat curam dengan kelerengan antara
1 - 41.27%. Dengan kondisi topografi lahan didominasi oleh lahan dengan
topografi landai dengan kelas kemiringan lereng 8 - 15% seluas 1 710 ha
1 071 ha (28%). Wilayah DTA Cihoe Hulu terletak pada ketinggian 162.5 – 1 250
meter di atas permukaan laut. Penyebaran ketinggian DTA Cihoe Hulu disajikan
pada Gambar 7. Berdasarkan data curah hujan selama 7 tahun dari stasiun
pengukuran hujan Kecamatan Cariu, DTA Cihoe Hulu termasuk kedalam tipe
iklim B (klasifikasi Scmidth-Ferguson) dengan curah hujan rata-rata sebesar
2 910.43 mm/tahun. Kisaran suhu dari 25.58 – 26.85°C dengan kelembaban
udara berkisar antara 74.18 - 84.51%.
Gambar 7. Peta elevasi DTA Cihoe Hulu
Tanah
Berdasarkan peta digital tanah Kabupaten Bogor, jenis tanah yang
terdapat di DTA Cihoe Hulu berupa: Komplek Podsolik Merah Kekuningan,
Podsolik Kuning dan Regosol seluas 376.85 ha (9.75%), Asosiasi Latosol Merah,
Latosol Coklat Kemerahan dan Laterit air Tanah seluas 2322.76 ha (60.12%),
Asosiasi Latosol Coklat Kemerahan dan Latosol Coklat seluas 566.94 ha
(14.67%), dan Komplek Grumosol, Regosol dan Mediteran seluas 597.19 ha
(15.46%). Penyebaran jenis tanah pada DTA Cihoe Hulu secara spasial disajikan
Gambar 8. Peta jenis tanah DTA Cihoe Hulu
Penutupan Lahan
Berdasarkan peta penutupan lahan Kabupaten Bogor tahun 2003,
penutupan lahan pada DTA Cihoe Hulu berupa: kebun campuran seluas
2 090.26 ha (53.18%), semak belukar seluas 724.29 ha (18.43%), tanah kosong
seluas 465.34 ha (11.84%), sawah irigasi seluas 166.78 ha (4.24%), pemukiman
seluas 187.90 ha (4.78%), sawah tadah hujan seluas 133.40 ha (3.39%), hutan
(vegetasi lebat) seluas 160.91 ha (4.09%), dan yang terkecil berupa air (badan
air) seluas 1.45 ha (0.04%).
Vegetasi hutan tropis didominasi oleh rasamala (Altingia excelsa), mahoni
(Switenia macrophylla) dan semak belukar. Vegetasi pada kebun campuran
berupa tanaman: manggis (Garcinia mangostana), nangka (Arthocarpus
heterophyllus), rambutan (Nephelium lappaceum), sengon (Paraseriantes
falcataria), dan pisang (Musa spp.). Serta pada kawasan budidaya terdapat
sawah dan tegalan. Penyebaran penutupan lahan pada DTA Cihoe Hulu secara
Gambar 9. Peta penutupan lahan DTA Cihoe Hulu
Pembangkitan Data DAS
Luas dan Jumlah Sel
Luas DTA Cihoe Hulu hasil pembuatan DTA dengan menggunakan SIG
sebesar 3 856.16 ha. Sedangkan jumlah sel DTA setelah dilakukan gridding
dengan ukuran 3 x 3 ha (9 ha) sebanyak 429 sel. Dari 429 sel tersebut, sebanyak
4 sel dihilangkan karena memiliki bentuk yang tidak persegi. Sehingga jumlah sel
akhir DTA Cihoe Hulu sebanyak 425 sel dengan luas keseluruhan sebesar 3 825
ha atau berkurang sebesar 40.16 ha (1.04 %) dari luas DTA Cihoe Hulu
sebenarnya.
Curah Hujan dan Energi Intensitas Hujan
Dalam memprediksi besarnya aliran permukaan pada DTA Cihoe Hulu
digunakan data masukan curah hujan harian maksimum dengan periode ulang
25 tahun. Berdasarkan hasil perhitungan program Rainbow dengan masukan
data curah hujan harian maksimum selama 7 tahun (1998 - 2004), diperoleh
curah hujan harian dengan periode ulang 25 tahun sebesar 106.68 mm dan
energi hujan intensitas 30 menit sebesar 183.91 m.ton.cm.ha-1.jam-1. Hasil
perhitungan dengan menggunakan curah hujan bulanan, diperoleh curah hujan
tahunan rata-rata pada DTA Cihoe Hulu sebesar 2 910.43 mm dan energi hujan
Pembangkitan Data Sel
Nomor Sel, Sel Penerima, dan Arah Aliran
Penomoran dilakukan sesuai dengan ketentuan model AGNPS, dimana
penomoran dimulai dari ujung sel sebelah kiri atas menuju sel sebelah kanan,
kemudian dilanjutkan pada baris selanjutnya dengan arah yang sama sampai
dengan baris terakhir. Sel penerima adalah sel yang menerima aliran dari sel
diatasnya sesuai dengan arah aliran. Sedangkan arah aliran adalah arah aliran
yang utama atau dominan dalam sel. Arah aliran masukan model AGNPS berupa
angka 1 sampai 8 yang menggambarkan arah aliran sesuai dengan arah angin.
Nomor sel, arah aliran, dan sel penerima harus cocok, sehingga model dapat
teridentifikasi dan dijalankan. Arah aliran pada DTA Cihoe Hulu dapat dilihat
pada Gambar 10.
Gambar 10. Penyebaran spasial arah aliran DTA Cihoe Hulu
Kemiringan dan Bentuk Lereng
Berdasarkan hasil identifikasi peta kontur dapat diketahui bahwa DTA
Cihoe Hulu memiliki topografi yang bervariasi dari datar hingga sangat curam
dengan bentuk lereng seragam, cekung, dan cembung. Kemiringan lereng pada
DTA Cihoe Hulu didominasi oleh wilayah dengan lereng landai seluas 1 710 ha
(44.71%) dan agak curam seluas 1 071 ha (28%). Sedangkan wilayah DTA
Cihoe Hulu yang berlereng curam dan sangat curam masing-masing seluas 225
Hulu
ha (5.88%) dan 18 ha (0.47%). Pembagian luas dan jumlah sel pada
masing-masing kelas lereng disajikan pada Tabel 5, sedangkan penyebaran kemiringan
lereng secara spasial disajikan pada Gambar 11.
Tabel 5. Penyebaran kemiringan lereng di DTA Cihoe Hulu Kelas Kemiringan
Lereng (%) Topografi
Jumlah Luas Persentase
Sel (Ha) (%)
< 8 Datar 89 801 20.94
8 - 15 Landai 190 1 710 44.71
15 - 25 Agak Curam 119 1 071 28.00
25 - 40 Curam 25 225 5.88
> 40 Sangat Curam 2 18 0.47
Total 425 3 825 100.00
Gambar 11. Penyebaran kemiringan lereng DTA Cihoe Hulu
Panjang Lereng
Panjang lereng adalah jarak dari titik dimulainya aliran ke titik dimana
aliran menjadi terakumulasi atau aliran memasuki saluran. Panjang lereng diukur
dan diidentifikasi secara langsung dari peta topografi. Panjang lereng pada DTA
Cihoe Hulu bervariasi dari 42.37 - 414.08 meter. Dalam pemasukan parameter
maksimum panjang lereng model AGNPS. Nilai masukan maksimum panjang
lereng model sebesar 999 feet (304.5 meter), oleh karena itu untuk sel yang
mempunyai panjang lereng yang bernilai lebih besar dari 999 feet, maka nilai
masukan modelnya diasumsikan sebesar 999 feet.
Faktor Tindakan Konservasi Tanah (P)
Faktor tindakan konservasi tanah (P) merupakan nisbah besarnya erosi
dari lahan dengan tindakan konservasi tertentu terhadap besarnya erosi dari
lahan standar dengan penanaman tegak lurus kontur. Faktor tindakan konservasi
tanah ditentukan berdasarkan penggunaan lahan yang dominan pada setiap sel.
Nilai masukan faktor tindakan konservasi tanah disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Faktor tindakan konservasi tanah (P) pada berbagai penutupan lahan di DTA Cihoe Hulu
Penutupan Lahan P
Hutan (Vegetasi Lebat) 1
Kebun Campuran pada;
Lereng 0 - 8% 0.5
Lereng 8 - 20% 0.75
Lereng > 20% 0.9
Pemukiman 1
Sawah Irigasi 0.013
Sawah Tadah Hujan 0.013
Semak Belukar 0.0214
Tanah Kosong 1
Sumber: Hammer (1980) dalam Hardjowigeno (1995)
Faktor Pengelolaan Tanaman (C)
Faktor pengelolaan tanaman (C) menggambarkan nisbah besarnya erosi
dari tanah yang ditanami dengan pengelolaan tertentu dengan lahan standar
yang tidak ditanami. Faktor pengelolaan tanaman ditentukan berdasarkan
penggunaan lahan yang dominan pada setiap sel. Nilai masukan faktor
Tabel 7. Faktor pengelolaan tanaman (C) pada berbagai penutupan lahan di DTA Cihoe Hulu
Penutupan Lahan C
Hutan (Vegetasi Lebat) 0.001
Kebun Campuran 0.3
Pemukiman 0.01
Sawah Irigasi 0.01
Sawah Tadah Hujan 0.05
Semak Belukar 0.3
Tanah Kosong 1
Sumber: Hammer (1980) dalam Hardjowigeno (1995)
Koefisien Kekasaran Permukaan Manning (N)
Koefisien kekasaran permukaan Manning (N) atau nilai hambatan aliran
adalah koefisien kekasaran dari kondisi permukaan yang dominan dalam sel saat
terjadi hujan. Nilai N ditetapkan berdasarkan penutupan lahan pada setiap sel.
Nilai masukan koefisien kekasaran permukaan Manning disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Faktor koefisien kekasaran permukaan Manning (N) pada berbagai penutupan lahan di DTA Cihoe Hulu
Penutupan Lahan N
Hutan (Vegetasi Lebat) 0.1
Kebun Campuran 0.035
Pemukiman 0.02
Sawah Irigasi 0.035
Sawah Tadah Hujan 0.035
Semak Belukar 0.04
Tanah Kosong 0.03
Sumber: Chow (1959) dalam Seyhan (1990) , US Army corps of Engineers (1981) dalam Nugroho (2000), dan Young et al. (1990)
Bilangan Kurva Aliran Permukaan (CN)
Nilai bilangan kurva aliran permukaan ditentukan oleh tipe tanah hidrologi,
kandungan air tanah sebelumnya dan tipe penggunaaan lahan. Berdasarkan
identifikasi pada peta jenis tanah, DTA Cihoe Hulu memiliki 4 jenis tanah yang
semuanya tergolong kedalam kelompok tanah hidrologi C. Menurut Arsyad
(2000), kelompok tanah C terdiri atas kelas tekstur lempung berliat, lempung
berpasir dangkal, tanah berkadar bahan organik rendah dan tanah berkadar liat
terjadinya aliran permukaan dan erosi yang hebat. Nilai masukan model
bilangan kurva aliran permukaan dapat dilihat pada Tabel 9 dan penyebaran
bilangan kurva aliran permukaan secara spasial disajikan pada Gambar 12.
Tabel 9. Bilangan kurva aliran permukaan (CN) pada berbagai penutupan lahan di DTA Cihoe Hulu
Penutupan Lahan CN
Hutan (Vegetasi Lebat) 70
Kebun Campuran 82
Pemukiman 85
Sawah Irigasi 82
Sawah Tadah Hujan 82
Semak Belukar 79
Tanah Kosong 91
Sumber: Young et. al. (1990)
Gambar 12. Peta Penyebaran bilangan kurva aliran permukaan DTA Cihoe Hulu
Menurut Nugroho (2000), bilangan kurva aliran permukaan sangat
berpengaruh terhadap volume aliran permukaan, karena perhitungan volume
aliran permukaan menggunakan metode yang dikembangkan oleh Soil
Conservation Services (SCS), selanjutnya akan berpengaruh pada debit puncak
Konstanta Kondisi Permukaan (SCC) dan Faktor Kebutuhan Oksigen
Kimiawi (COD)
Konstanta kondisi permukaan (SCC) merupakan nilai yang menyebabkan
kondisi kekasaran permukaan lahan di lapangan yang mempengaruhi aliran
permukaan. Sedangkan faktor kebutuhan oksigen kimiawi (COD) menyatakan
konsentrasi COD dalam aliran permukaan. COD menyatakan banyaknya oksigen
dalam ppm atau miligram per liter yang dibutuhkan dalam kondisi khusus untuk
menguraikan benda organik secara kimiawi dan memegang peranan penting
dalam menentukan kualitas perairan (Sugiharto, 1987 dalam Nugroho, 2000).
Penetapan nilai parameter SCC dan COD didasarkan pada penutupan lahan
yang dominan dalam setiap sel, dan disesuaikan dengan tabel yang disusun oleh
Young et. al. (1990). Nilai masukan faktor konstanta kondisi permukaan dan
faktor kebutuhan oksigen kimiawi disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10. Faktor konstanta kondisi permukaan (SCC) dan faktor kebutuhan oksigen kimiawi (COD) di DTA Cihoe Hulu
Penutupan Lahan SCC COD
Tekstur dan Faktor Erodibilitas Tanah (K)
Tekstur tanah adalah perbandingan antara persen debu, liat, dan pasir.
Sedangkan erodibilitas tanah adalah faktor yang menunjukan kepekaan tanah
untuk tererosi atau retensi partikel tanah terhadap pengelupasan dan transportasi
(perpindahan) partikel tanah akibat energi kinetik hujan. Testur dan erodibilitas
tanah didasarkan pada jenis tanah yang dominan dalam sel. Tekstur tanah
diperoleh dari hasil identifikasi peta tanah semi detail. Tanah pada DTA Cihoe
Hulu memiliki tekstur lempung berliat dan liat. Sedangkan nilai erodibilitas tanah
ditentukan mengacu pada hasil penelitian Puslitbang Pengairan (1996). Nilai
tekstur dan faktor erodibilitas tanah disajikan pada Tabel 11 dan penyebaran nilai
Tabel 11. Tekstur tanah dan faktor erodibilitas tanah (K) di DTA Cihoe Hulu Jenis Tanah Tekstur Nilai Tekstur K
Komplek Podsolik Merah Kekuningan,
Podsolik Kuning dan Regosol
Lempung
Berliat 3 0.175
Asosiasi Latosol Coklat Kemerahan dan
Latosol Coklat Liat 3 0.067
Komplek Grumosol, Regosol dan
Mediteran Liat 3 0.201
Asosiasi Latosol Merah, Latosol Coklat
Kemerahan dan Laterit air Tanah Liat 3 0.061
Sumber: Young et. al. (1990) dan Puslitbang Pengairan Bandung (1996) dalam Triandayani (2004)
Gambar 13. Peta penyebaran faktor erodibilitas tanah DTA Cihoe Hulu
Indikator Saluran
Indikator saluran adalah nilai yang mengindikasikan ada atau tidaknya
saluran dalam sebuah sel. Berdasarkan hasil identifikasi peta jaringan sungai
dan pengamatan lapangan DTA Cihoe Hulu memiliki saluran perenial pada
sungai utama dan saluran intermitten pada anak-anak sungainya. Sel dengan
saluran perenial dalam model memiliki nilai 7, saluran intermitten memiliki nilai 6,
Kemiringan Lereng Saluran, Kemiringan Sisi Saluran dan Panjang Saluran
Dalam model nilai parameter kemiringan lereng saluran diasumsikan
sebesar 10% dari kemiringan lereng sel, sedangkan kemiringan sisi saluran
diasumsikan sebesar 10% (Young et al., 1990). Penetapan nilai tersebut sesuai
dengan ketentuan model AGNPS. Nilai panjang saluran diperoleh dengan
pengukuran peta jaringan sungai. Berdasarkan hasil pengukuran, besarnya
panjang saluran sungai pada DTA Cihoe Hulu sebesar 6.8 - 1 962.38 meter.
Analisis Keluaran Model AGNPS
Berdasarkan hasil perhitungan model AGNPS diperoleh keluaran berupa
keluaran hidrologi dan keluaran sedimen. Keluaran hidrologi berupa volume
aliran permukaan dan debit puncak aliran permukaan, sedangkan keluaran
sedimen berupa: laju erosi, laju sedimentasi, dan total sedimen.
Keluaran Hidrologi
Berdasarkan keluaran model dengan masukan curah hujan sebesar
106.68 mm dan energi hujan intensitas 30 menit sebesar 183.91 m.ton.cm.ha -1.jam-1, diperoleh besarnya volume aliran permukaan pada outlet atau pelepasan
DTA sebesar 60.96 mm. Dari hasil keluaran model dapat diketahui bahwa pada
DTA Cihoe Hulu memiliki volume aliran permukaan yang tinggi. Volume curah
hujan yang menjadi aliran permukaan sebesar 42.86%, sedangkan sisanya
terinfiltrasi ke dalam tanah. Besarnya volume aliran permukaan disebabkan
tanah pada DTA Cihoe Hulu memiliki kadar liat yang tinggi, sehingga infiltrasi
tanah menjadi rendah.
Volume aliran permukaan setiap sel pada DTA Cihoe Hulu sebesar 37.08
– 81.53 mm. Penyebaran volume aliran permukaan pada setiap sel secara
spasial dapat dilihat pada Gambar 14. Berdasarkan Gambar 14 dapat diketahui
bahwa sebaran aliran permukaan sejalan dengan sebaran bilangan kurva aliran
permukaan. Sebaran volume aliran permukaan terbesar terdapat pada
penutupan lahan berupa tanah kosong dan pemukiman. Tanah kosong memiliki
volume aliran permukaan tinggi, hal tersebut disebabkan tidak adanya vegetasi,
sehingga infiltrasi tanah menjadi rendah, serta tidak terjadinya transpirasi dan
intersepsi oleh vegetasi. Sedangkan penutupan lahan berupa pemukiman
menghasilkan volume aliran permukaan tinggi, disebabkan sebagian besar tanah
kedap air, sehingga air hujan yang jatuh sebagian besar langsung menjadi aliran
permukaan.
Sebaran volume aliran terkecil terdapat pada sel dengan penutupan lahan
berupa vegetasi lebat dan semak belukar. Vegetasi dapat memperbesar
porositas tanah dan adanya transpirasi mengakibatkan kandungan air tanah
menjadi berkurang, sehingga laju infiltrasi tanah menjadi besar dan pada
akhirnya volume aliran permukaan menjadi lebih kecil.
Gambar 14. Peta penyebaran volume aliran permukaan DTA Cihoe Hulu
Debit puncak aliran permukaan dari hasil keluaran model pada outlet DTA
Cihoe Hulu sebesar 120.30 m3/detik, sedangkan besarnya nilai debit puncak
pada setiap sel sebesar 1 – 128 m3/detik. Besarnya keluaran debit puncak aliran
permukaan model dapat berimplikasi pada peningkatan potensi terjadinya banjir
di daerah hilir. Penyebaran debit puncak aliran permukaan secara spasial dapat