ANALISIS FAKTOR PENENTU KEBUTUHAN HIDUP LAYAK
(KHL) DAN UPAH MINIMUM PROVINSI (UMP) DI
PROVINSI SUMATERA UTARA
TESIS
Oleh
DELIZA SYAIFHAS
117018019/EP
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2013
SE K
O L
A
H
P A
S C
A S A R JA
N
ANALISIS FAKTOR PENENTU KEBUTUHAN HIDUP LAYAK
(KHL) DAN UPAH MINIMUM PROVINSI (UMP) DI
PROVINSI SUMATERA UTARA
TESIS
Diajukan Sebagai Salah satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Ekonomi Pembangunan pada Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
DELIZA SYAIFHAS
117018019
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : ANALISA FAKTOR PENENTU KEBUTUHAN HIDUP LAYAK (KHL) DAN UPAH MINIMUM PROVINSI (UMP) DI PROVINSI SUMATERA UTARA
Nama Mahasiswa :Deliza Syaifhas Nomor Pokok :117018019
Program Studi :Ekonomi Pembangunan
Menyetujui : Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Ramli, MS.) (Dr. Rahmanta, M.Si
Ketua Anggota
)
Ketua Program Studi Direktur
Tanggal lulus : 28 Agustus 2013
Telah diuji pada
Tanggal : 28 Agustus 2013
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Ramli, MS Anggota : 1. Dr. Rahmanta, M.Si
2. Prof. Dr. Sya’ad Afifuddin, SE., M.Ec 3. Dr. HB. Tarmizi, SU
SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Deliza Syahifas
NIM : 117018019
Program : Magister Ekonomi Pembangunan
Dengan ini Saya menyatakan Tesis yang berjudul “Analisis Faktor
Penentu Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dan Upah Minimum Provinsi (UMP) di
Provinsi Sumatera Utara”, adalah benar hasil kerja Saya sendiri dan belum
dipublikasikan oleh siapapun sebelumnya. Sumber-sumber data dan informasi
yang digunakan telah dinyatakan secara benar dan jelas.
Medan, Agustus 2013
Yang membuat pernyataan,
ANALISIS FAKTOR PENENTU KEBUTUHAN HIDUP LAYAK (KHL) DAN UPAH MINIMUM PROVINSI (UMP) DI SUMATERA UTARA
ABSTRAK
Tesis ini mengkaji mengenai faktor penentu Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dan Upah Minimum Provinsi (UMP) di Sumatera Utara dengan menggunakan model analisis jalur dan regresi, yang terdiri dari dua (2) struktur dengan menggunakan variabel perantara. Pengolahan data dilakukan dengan program IBM SPSS 19 yang merupakan analisis multivarit dengan banyak model.Data yang digunakan adalah data sekundar berupa data tahunan yang dimulai dari tahun 2010 sampai dengan 2012 yang diperoleh dari Departemen Tenaga Kerja Sumatera Utara di Medan. Variabel-variabel yang digunakan pada penelitian ini variabel dependen endogenous Upah Minimum Provinsi (UMP), variabel perantara Kebutuhan Hidup Layak (KHL), variabel independen exogenous makanan dan minuman, sandang, perumahan, perndidikan, kesehatan dan transportasi.Hasil penelitian menunjukan bahwa pada persamaan struktural pertama seluruh variabel exogenous terhadap variabel intervening berpengaruh signifikan dan persamaan struktural kedua seluruh variabel exogenous termasuk juga variabel perantara berpengaruh tidak signifikan terhadap Upah Minimum Provinsi (UMP) di Sumatera Utara. Melalui program SPSS dapat diketahui pengaruh secara langsung, tidak langsung dan pengaruh total. Pengaruh secara langsung, diperoleh variabel yang berpengaruh positif dan signifikan serta mempunyai bobot yang tertinggi diantara variabel lain terhadap Upah Minimum Provinsi (UMP) adalah kenaikan nilai Makanan dan Minuman dengan koefisien sebesar 0,499. Pengaruh secara tidak langsung, diperoleh variabel yang mempunyai pengaruh positif dan signifikan serta mempunyai bobot tertinggi diantara variabel lain terhadap Upah Minimum Provinsi (UMP) adalah kenaikan nilai Perumahan dengan koefisien 0,166. Pengaruh secara total, diperoleh variabel yang mempunyai pengaruh positif dan signifikan serta mempunyai bobot yang tertinggi diantara variabel lain terhadap Upah Minimum Provinsi (UMP) adalah pada jalur makanan dan minuman melalui jalur variabel Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dengan koefisien sebesar 0,817.
ANALYSIS ON DEMAND DETERMINANTS WORTH ( KHL ) AND MINIMUM WAGE PROVINCE ( UMP ) IN NORTH SUMATRA
ABSTRACT
This thesis examines the determinants of Living Needs ( KHL ) and the Provincial Minimum Wage ( UMP ) in North Sumatra by using path analysis and regression models , which consist of two ( 2 ) structure by using intermediate variables . Data processing is done with IBM SPSS 19 program which is a multivariate analysis with a lot of models.The data used is a form of data sekundar annual data starting from 2010 to 2012 were obtained from the Department of Labor of North Sumatera in Medan . The variables used in this study the dependent variable endogenous Provincial Minimum Wage ( UMP ) , intermediate variables Living Needs ( KHL ) , the independent variable exogenous food and drink , clothing , housing , perndidikan , health and transport.The results showed that in the first structural equation all exogenous variables have a significant effect on the intervening variables and the second structural equation all exogenous variables including intermediate variables do not influence significantly the Provincial Minimum Wage ( UMP ) in North Sumatra . SPSS can be known through direct effects , indirect and total effects . Direct influence , derived variables have positive and significant and has the highest weight among other variables to the provincial minimum wage ( UMP ) is the increase in the value of Food and Beverage with a coefficient of 0.499 . Indirect influence , derived variables that have a positive and significant impact as well as having the highest weight among other variables the Provincial Minimum Wage ( UMP ) is the increase in value of the coefficient 0.166 Housing . Influence in total , obtained a variable that has a positive and significant impact as well as having the highest weight among other variables to the provincial minimum wage ( UMP ) is on the path through the food and beverage variables Living Needs ( KHL ) with a coefficient of 0.817 .
RIWAYAT HIDUP
I. DATA PRIBADI
Nama : Deliza Syaifhas, S.Psi
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat / Tanggal Lahir : Medan / 30 Oktober 1987
Alamat : Jl. Kapten Muslim Gg.Jawa No.101 Medan 20123
Telepon / HP : 08126061974 / 061-8453385 E-mail : syaifhas@yahoo.com
Agama : Islam
Nama Orang Tua / Pekerjaan
Ayah / Pekerjaan : Dr. Syaiful Bahri Sp.M / Pegawai Negeri Sipil Ibu / Pekerjaan : Hasnizar, SH / Pegawai Negeri Sipil
Data Pekerjaan : Bank Danamon Indonesia
Tahun 2013 – Sekarang
II. PENDIDIKAN FORMAL
1993 – 1999 : SD Swasta IKAL Medan
1999 – 2002 : SMP Negeri 7 Medan
2002 – 2005 : SMU Negeri 1 Medan
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat dan
rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis bidang Magister Ekonomi
Pembangunan yang berjudul “Analisa Faktor Penentu Kebutuhan Hidup Layak
(KHL) dan Upah Minimum Provinsi (UMP) di Sumatera Utara” ini dengan baik.
Penulis sangat bersyukur atas petunjuk dan pertolongan Allah Swt dalam
penyelesaian tesis ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada
Nabi besar Muhammad SAW.
Tesis ini dapat penulis selesaikan karena bantuan dan bimbingan dari
berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih
kepada pihak-pihak yang telah membantu dan mendukung penulis dalam
menyelesaikan tugas skripsi ini, antara lain:
1. Bapak Prof. Dr. Sya’ad Afifuddin, SE.,M.Ec. selaku Ketua Program Studi
Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Ramli, SE.,MS. dan Dr. Ir. Rahmanta, M.Si. selaku dosen
pembimbing. Terima kasih penulis ucapkan atas bantuan, bimbingan dan
masukan yang begitu berarti yang telah Bapak berikan kepada penulis
dalam penyelesaian tugas tesis ini.
3. Kepada para dosen pembanding, Bapak Dr. Rujiman, MA., Prof. Dr.
Sya’ad Afifuddin, SE.,M.Ec., dan Bapak Dr.HB.Tarmizi, SE,SU., terima
kasih penulis ucapkan atas bimbingan dan masukan yang telah diberikan.
4. Kepada orang tua dan keluarga penulis, yang selama ini telah memberikan
dukungan dan doanya demi kelancaran dan kesuksesan penulis dalam
kasih yang sebesar-besarnya. Semoga hasil yang penulis kerjakan ini dapat
memberikan kebanggaan pada keluarga dan kedua orangtua penulis.
5. Teman-teman dan sahabat yang selalu mendukung, memotivasi dan
membantu penulis dalam penyelesaian tesis ini. Terima kasih penulis
ucapkan pada semuanya, semoga Allah membalas semua kebaikan yang
telah diberikan.
6. Para Staf Pengajar dan Staf Administrasi yang telah membantu penulis
dalam penyelesaian tesis ini dan pendidikan di Program Studi Magister
Ekonomi Pembangunan Pascasarjana Universitas Sumatera Utara ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dalam
penelitian ini. Oleh karenanya penulis mengharapkan adanya masukan dan saran
yang sifatnya membangun dari semua pihak, guna menyempurnakan penelitian ini
agar menjadi lebih baik lagi. Akhirnya kepada Allah jua penulis berserah diri.
Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Amin.
Medan, Juli 2013
Penulis
3.6.1. Faktor Penentu Kebutuhan Hidup Layak (KHL) ... 47
3.6.2. Kebutuhan Hidup Layak (KHL) Menurut Permenakertrans Nomor 13 Tahun 2012 ... 47
3.6.3. Upah Minimum Provinsi (UMP) ... 48
BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN ... 50
4.1. Perkembangan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) Dan Upah Minimum Provinsi (UMP) ... 50
4.7.11. Pengaruh Faktor Transfortasi Terhadap Kebutuhan
Hidup Layak (KHL) ... 117
4.7.12. Pengaruh Faktor Trasportasi Terhadap Upah Minimum Provinsi (UMOP ... 118
4.7.13. Pengaruh Kebutuhan Hidup Layak Terhadap Upah Minimum Provinsi (UMP) ... 119
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 121
5.1. Kesimpulan ... 121
5.2. Saran ... 122
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
2.1. Hasil Survey Kebutuhan Hidup Layak. Versi FGD ... 27
4.1. Regulasi Upah Minimum dan Komponen Kebutuhan Hidup ... 50
4.2. Anova Uji Kelayakan Model Regresi Struktur I ... 63
4.3. Deskriptif Uji Ketepatan Predictor Struktur I ... 64
4.4. Uji Kelayakan Regresi/Bobot Beta Struktur I ... 65
4.5. Uji Autokorelasi Struktur I ... 65
4.6. Uji Multikolinieritas Struktur I ... 66
4.7. Pengaruh Faktor Independen Secara Gabungan Terhadap Faktor Dependen Struktur I ... 69
4.8. Pengaruh Faktor Independen Secara Parsial Terhadap Faktor Dependen Struktur I ... 70
4.9. Korelasi antara Variabel Independen Struktur I... 76
4.10 Uji Kelayakan Regresi Struktur II... 82
4.11. Uji Ketepatan Predictor Struktur II ... 83
4.12. Uji Kelayakan Koefisien Regresi/Bobot Beta Struktur II ... 84
4.13. Uji Autokorelasi Struktur II ... 84
4.14. Uji Multikolinieritas Struktur II ... 85
4.15. Pengaruh Variabel Independen Secara Gabungan Terhadap Variabel Independen Struktur II... 88
4.16. Pengaruh Variabel Independen Secara Parsial Terdap Variabel Dependen Struktur II ... 89
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
2.1. Mekanisme Penetapan Upah Minimum ... 19
2.2. Kerangka Konseptual ... 30
3.1. Diagram Analisis Faktor Penentu Kebutuhan Hidup Layak (KHL) . dan Upah Minimum Provinsi (UMP) Di Provinsi Sumatera Utara .... 40
4.1. Uji Linieritas Struktur I ... 67
4.2. Uji Normalitas ... 68
4.3. Uji Linearitas Struktur II ... 87
4.4. Uji Normalitas Struktur II ... 87
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Komponen Kebutuhan Hidup Layak Untuk Pekerja Lajang dalam Sebulan Dengan 3.000 K Kalori Per Hari ... 124 2. Hasil Survey Komponen-Komponen Kebutuhan Hidup Layak (KHL)
Kabupaten/Kota Se-Provinsi Sumatera Utara 2010--2012 ... 128 3. Hasil Survey Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dan Upah Minimum
ANALISIS FAKTOR PENENTU KEBUTUHAN HIDUP LAYAK (KHL) DAN UPAH MINIMUM PROVINSI (UMP) DI SUMATERA UTARA
ABSTRAK
Tesis ini mengkaji mengenai faktor penentu Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dan Upah Minimum Provinsi (UMP) di Sumatera Utara dengan menggunakan model analisis jalur dan regresi, yang terdiri dari dua (2) struktur dengan menggunakan variabel perantara. Pengolahan data dilakukan dengan program IBM SPSS 19 yang merupakan analisis multivarit dengan banyak model.Data yang digunakan adalah data sekundar berupa data tahunan yang dimulai dari tahun 2010 sampai dengan 2012 yang diperoleh dari Departemen Tenaga Kerja Sumatera Utara di Medan. Variabel-variabel yang digunakan pada penelitian ini variabel dependen endogenous Upah Minimum Provinsi (UMP), variabel perantara Kebutuhan Hidup Layak (KHL), variabel independen exogenous makanan dan minuman, sandang, perumahan, perndidikan, kesehatan dan transportasi.Hasil penelitian menunjukan bahwa pada persamaan struktural pertama seluruh variabel exogenous terhadap variabel intervening berpengaruh signifikan dan persamaan struktural kedua seluruh variabel exogenous termasuk juga variabel perantara berpengaruh tidak signifikan terhadap Upah Minimum Provinsi (UMP) di Sumatera Utara. Melalui program SPSS dapat diketahui pengaruh secara langsung, tidak langsung dan pengaruh total. Pengaruh secara langsung, diperoleh variabel yang berpengaruh positif dan signifikan serta mempunyai bobot yang tertinggi diantara variabel lain terhadap Upah Minimum Provinsi (UMP) adalah kenaikan nilai Makanan dan Minuman dengan koefisien sebesar 0,499. Pengaruh secara tidak langsung, diperoleh variabel yang mempunyai pengaruh positif dan signifikan serta mempunyai bobot tertinggi diantara variabel lain terhadap Upah Minimum Provinsi (UMP) adalah kenaikan nilai Perumahan dengan koefisien 0,166. Pengaruh secara total, diperoleh variabel yang mempunyai pengaruh positif dan signifikan serta mempunyai bobot yang tertinggi diantara variabel lain terhadap Upah Minimum Provinsi (UMP) adalah pada jalur makanan dan minuman melalui jalur variabel Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dengan koefisien sebesar 0,817.
ANALYSIS ON DEMAND DETERMINANTS WORTH ( KHL ) AND MINIMUM WAGE PROVINCE ( UMP ) IN NORTH SUMATRA
ABSTRACT
This thesis examines the determinants of Living Needs ( KHL ) and the Provincial Minimum Wage ( UMP ) in North Sumatra by using path analysis and regression models , which consist of two ( 2 ) structure by using intermediate variables . Data processing is done with IBM SPSS 19 program which is a multivariate analysis with a lot of models.The data used is a form of data sekundar annual data starting from 2010 to 2012 were obtained from the Department of Labor of North Sumatera in Medan . The variables used in this study the dependent variable endogenous Provincial Minimum Wage ( UMP ) , intermediate variables Living Needs ( KHL ) , the independent variable exogenous food and drink , clothing , housing , perndidikan , health and transport.The results showed that in the first structural equation all exogenous variables have a significant effect on the intervening variables and the second structural equation all exogenous variables including intermediate variables do not influence significantly the Provincial Minimum Wage ( UMP ) in North Sumatra . SPSS can be known through direct effects , indirect and total effects . Direct influence , derived variables have positive and significant and has the highest weight among other variables to the provincial minimum wage ( UMP ) is the increase in the value of Food and Beverage with a coefficient of 0.499 . Indirect influence , derived variables that have a positive and significant impact as well as having the highest weight among other variables the Provincial Minimum Wage ( UMP ) is the increase in value of the coefficient 0.166 Housing . Influence in total , obtained a variable that has a positive and significant impact as well as having the highest weight among other variables to the provincial minimum wage ( UMP ) is on the path through the food and beverage variables Living Needs ( KHL ) with a coefficient of 0.817 .
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pembangunan Nasional yang dilaksanakan oleh bangsa Indonesia bertujuan
untuk mewujudkan suatu masyarakat adil, makmur yang merata, material dan
spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (Amandemen)
dalam rangka wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dapat dilihat dengan
adanya pembangunan yang sangat pesat sekali pada akhir-akhir ini, contohnya
dengan adanya pembangunan Jembatan Nasional Suramadu, pembangunan
Pembangkit Listrik Swasta, pembangunan Bandara Kuala Namu di Medan, dan
sebagainya (Yuriandi, 2011).
Seluruh pekerjaan pembangunan tersebut dilakukan oleh begitu banyak
tenaga kerja, apalagi pada pembangunan Jembatan Nasional Suramadu yang
menyerap 20% dari total penduduk Madura untuk bekerja dalam pembangunan
jembatan tersebut (Yuriandi, 2011). Tenaga kerja adalah ujung tombak
perusahaan, dapat dikatakan sebagai pendukung dalam menjalankan roda
perusahaan. Ketenagakerjaan merupakan salah satu sektor yang dapat menunjang
keberhasilan pembangunan. Tenaga kerja merupakan salah satu subjek
pembangunan yang mempunyai peranan sangat penting dalam proses produksi
barang dan jasa, disamping itu juga merupakan pihak yang ikut menikmati hasil
Pekerja juga merupakan salah satu faktor produksi yang terpenting dalam
suatu perusahaan, pekerjalah yang menentukan kemajuan suatu perusahaan.
Sumber daya manusia merupakan unsur utama dalam pelaksanaaan kerja,
peralatan secanggih apapun tidak akan berarti tanpa peran sumber daya
manusianya. Dengan demikian, pekerja di perusahaan merupakan aset utama
perusahaan, mereka menjadi perencana, pelaksana, pengendali dalam
mewujudkan tujuan perusahaan. Perusahaan dengan pekerja memiliki hubungan
timbal balik yang saling menguntungkan, pekerja menjadi salah satu faktor
produksi perusahaan untuk mencapai tujuan dan perusahaan memberikan
sejumlah upah kepada pekerja yang berguna untuk memenuhi kebutuhan hidup
pekerja (Juliani, 2011).
Batasan istilah pekerja/buruh diatur secara jelas dalam Pasal 1 Ayat 2
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi:
”Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain”. Dalam hal ini, upah merupakan komponen penting
dalam ketenagakerjaan, yaitu sebagai salah satu unsur dalam pelaksanaan
hubungan kerja, yang mempunyai peranan strategis dalam pelaksanaan hubungan
industrial. Upah diterima pekerja atas imbalan jasa kerja yang dilakukannya bagi
pihak lain, sehingga upah pada dasarnya harus sebanding dengan kontribusi yang
diberikan pekerja untuk memproduksi barang atau jasa tertentu (UU RI No.13
Tahun 2003, 2004).
Dalam menentukan tingkat upah, pihak-pihak sebagai pelaku penerima
pekerjaan (buruh) dan pemberi pekerjaan memiliki persepsi yang berbeda. Bagi
berdampak pada keuntungan perusahaan. Oleh karena itu dalam penetapan tingkat
upah mereka sangat berhati-hati. Sedangkan bagi buruh, upah merupakan sumber
pendapatan, sehingga mereka sangat mengharapkan peningkatan tingkat upah
(Sofiana, 2010).
Salah satu bentuk keterlibatan pemerintah dalam hubungan industrial adalah
dalam penetapan tingkat upah. Kebijakan ini disebut dengan kebijakan upah
minimum. Upah minimum diartikan sebagai ketetapan yang dikeluarkan oleh
pemerintah mengenai keharusan perusahaan untuk membayar upah
sekurang-kurangnya sama dengan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) kepada pekerja yang
paling rendah tingkatannya. Dengan kata lain, bahwa upah minimum dapat
dikatakan sebagai salah satu instrumen kebijakan pemerintah untuk melindungi
kelompok pekerja lapisan paling bawah di setiap perusahaan agar memperoleh
upah serendah-rendahnya sesuai dengan nilai atau harga kebutuhan hidup layak
(Sofiana, 2010).
Penetapan kebijakan upah minimum adalah sebagai jaring pengaman (sosial
safety net) dimaksudkan agar upah tidak terus merosot sebagai akibat dari
ketidakseimbangan pasar kerja (disequilibrium labour market). Juga untuk
menjaga agar tingkat upah pekerja pada level bawah tidak jatuh ke tingkat yang
sangat rendah karena rendahnya posisi tawar tenaga kerja di pasar kerja. Agar
pekerja pada level bawah tersebut masih dapat hidup wajar dan terpenuhi
kebutuhan gizinya, maka dalam penetapan upah minimum mempertimbangkan
Kebijakan penetapan upah minimum sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 diarahkan untuk mencapai Kebutuhan Hidup
Layak (KHL) selain memberi jaminan pekerja/buruh penerima upah untuk
memenuhi kebutuhan hidup. Program pencapaian upah minimum terhadap
Kebutuhan Hidup Layak (KHL) menunjukan perbaikan nyata. Hal ini
dimaksudkan bahwa pemenuhan kebutuhan hidup akan dicapai secara bertahap
(Desri, 2011). Ada tujuh faktor yang harus dipertimbangkan untuk menetapkan
upah minimum, yaitu pendidikan dan ketrampilan pekerja/buruh, komponen
Kebutuhan Hidup Layak ( KHL ), Indeks Harga Konsumen ( IHK ), kondisi pasar
tenaga kerja, kemampuan perusahaan, kemampuan Serikat Pekerja/Serikat Buruh,
produktivitas kerja dan kebijakan pemerintah (Suwarto, 2003).
Di lain pihak upah minimum juga diharapkan harus dapat mendorong
kemajuan usaha dan daya saing sehingga menaikkan tingkat produktivitas. Di sisi
lain dalam penetapan upah minimum juga perlu mempertimbangkan kemampuan
membayar upah dari usaha-usaha mikro dan kecil yang paling tidak mampu
(marginal) untuk tetap hidup yang nantinya usaha-usaha tersebut diharapkan dapat
tumbuh dan berkembang dalam upaya mengurangi pengangguran dan penciptaan
lapangan kerja baru (Sofiana, 2010).
Hasil penelitian Safrida (1999) menunjukan bahwa respon laju inflasi
terhadap upah minimum dan penawaran uang relatif lemah, baik dalam jangka
pendek maupun jangka panjang. Lemahnya respon laju inflasi terhadap upah
minimum disebabkan jumlah tenaga kerja Indonesia yang berlebih dan tingkat
upah minimum sektoral di Indonesia masih rendah. Kondisi ini menyebabkan
Pertumbuhan ekonomi yang rendah dan inflasi yang tinggi berkaitan dengan
tingkat upah yang dibayarkan kepada pekerja, faktor-faktor ini juga akan
berpengaruh terhadap employment yang ada di Indonesia. Besarnya pendapatan
sebagian masyarakat dapat juga mendorong terjadinya indlasi. Upah yang
semakin meningkat membuat permintaan meningkat dan diiringi oleh
meningkatnya harga dan ini dapat memicu kenaikan inflasi karena peredaran
uang melimpah (Sadariawati, 2009).
Untuk lebih mencermati perkembangan dalam penetapan upah minimum,
Bank Indonesia juga telah melakukan liaison ke berbagai pelaku industri, asosiasi
usaha, serikat pekerja, dan Pemerintah Daerah. Dari hasil liaison tersebut,
beberapa permasalahan umum yang kerap mengikuti penetapan upah minimum
antara lain bersumber dari proses penentuan besaran Kebutuhan Hidup Layak
(KHL) dan proses penetapan UMP/UMK. Untuk meminimalkan potensi
permasalahan penetapan UMP/UMK, hal yang perlu menjadi perhatian terutama
perlunya penyempurnaan standar pelaksanaan survei dalam proses penetapan
Kebutuhan Hidup Layak (KHL), terutama pada aspek spesifikasi dan kualitas
komoditas (Tinjauan Ekonomi Regional Triwulan I, 2012).
Formulasi upah dilakukan secara tripartit antara pengusaha, pemerintah dan
serikat buruh untuk mencapai kesepakatan akan tingkat upah yang adil bagi semua
pihak, terutama adil buat buruh (Suwarto, 2003). Dalam menentukan tingkat upah
minimum terdapat 4 (empat) pihak yang saling terkait yaitu pemerintah dalam hal
ini Departemen Tenaga Kerja, Dewan Pengupahan Nasional yang merupakan
lembaga independen terdiri dari pakar, praktisi dan lain sebagainya yang bertugas
Indonesia (FSPSI) sebagai penyalur aspirasi pekerja dan wakil pengusaha melalui
APINDO (Asosiasi Pengusaha Indonesia). Mereka bertugas mengevaluasi tingkat
upah minimum yang berlaku pada saat tertentu dan memutuskan apakah tingkat
upah tersebut sudah saatnya untuk dinaikkan atau belum (Desri, 2010).
Dewasa ini paling tidak ada 5 (lima) faktor utama yang diperhitungkan
pemerintah dalam menetapkan tingkat upah minimum, yaitu Kebutuhan Hidup
Minimum (KHM), Indeks Harga Konsumen (IHK) atau tingkat inflasi, Perluasan
kesempatan kerja, Upah pada umumnya yang berlaku secara regional, dan Tingkat
perkembangan perekonomian daerah setempat. Dari sudut kebutuhan hidup
pekerja, terdapat 2 (dua) komponen yang menentukan tingkat upah minimum,
yaitu kebutuhan hidup minimum (KHM) dan laju inflasi. Berbagai bahan yang
ada dalam komponen KHM dinilai dengan harga yang berlaku, sehingga
menghasilkan tingkat upah (Desri, 2010). Tjiptoherijanto (dalam Desri, 2010),
harga sangat bervariasi antardaerah serta adanya situasi-situasi lokal yang tidak
mungkin berlaku secara nasional, maka tingkat upah minimum tersebut
disesuaikan dengan kondisi masing-masing daerah atau lebih sering dikenal
dengan upah minimum propinsi (UMP).
Persoalan lain dalam formulasi UMK (Upah Minimum Kota) adalah
mengenai Survei KHL (Kebutuhan Hidup Layak). Persoalan penentuan harga
barang yang menjadi item atau komponen Kebutuhan Hidup Layak (KHL)
menjadi salah satunya, buruh menghendaki barang-barang dengan harga yang
relatif tinggi sebaliknya unsur pengusaha ingin mendapatkan data barang-barang
dengan harga yang relatif rendah. Selain itu survei Kebutuhan Hidup Layak
dalam menentukan besaran upah dan tidak ditetapkan sepenuhnya. Inilah yang
membuat survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL) masih sangat lemah (Desri,
2010).
Survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL) adalah survei yang dilakukan oleh
dewan pengupahan terhadap item-item KHL yang disepakati dan yang mewakili
kebutuhan buruh yang sebenarnya. Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor
13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, dalam pasal 88 ayat (4) diamanatkan
bahwa pemerintah menetapkan upah minimum berdasarkan Kebutuhan Hidup
Layak (KHL) dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.
Dalam pasal 89 juga dijelaskan bahwa Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dalam
penetapan upah minimum dicapai secara bertahap. Kebutuhan Hidup Layak yang
selanjutnya disingkat KHL adalah standar kebutuhan yang harus dipenuhi oleh
seorang pekerja/buruh lajang untuk dapat hidup layak baik secara fisik, non fisik
dan sosial untuk kebutuhan 1 (satu) bulan (Permenakertrans Nomor
PER-17/MEN/VIII/2005 Pasal 1) .
Kebutuhan Hidup Layak (KHL) sebagai dasar penetapan UMP sangatlah
krusial dalam perumusan pengupahan. Sehingga apabila kebijakan upah minimum
belum setara dengan hasil survei KHL maka upah yang layak sebagaimana yang
diamanatkan dalam UU Ketenagakerjaan pasal 88 ayat 4 dan 89 belum terlaksana
sebagaimana yang diharapkan yang menyatakan bahwasanya UMP haruslah
sesuai dengan standar Kebutuhan Hidup Layak (KHL), yang pencapaiannya
dilakukan secara bertahap. Tuntutan-tuntutan buruh akan upah yang layak
menjadi input dalam formulasi kebijakan pengupahan. Tuntutan yang lahir dari
pengupahan nantinya. Melalui Formulasi kebijakan pengupahan dirumuskan
tingkat upah yang menjadi dasar pengupahan setiap daerah. Oleh karena itu
besaran tingkat upah masing-masing daerah kabupaten/kota berbeda. Hal ini
disesuaikan berdasarkan kemampuan ekonomi makro setiap daerah (Suwarto,
2003).
Penelitian yang dilakukan SMERU (2003) menunjukan bahwa faktor
pembentuk Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang di tentukan oleh pemerintah
belum bisa mencukupi biaya hidup pekerja. Apalagi faktor penentunya seperti
pangan, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan dan transportasi sangat
berpengaruh dalam menentukan nilai akhir Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Tim
peneliti SMERU (2003) menganggap bahwa dalam menentukan nilai faktor-faktor
di atas harus melalui survei yang luas dengan mempertimbangkan kebutuhan
pekerja karena akan sangat mempengaruhi upah minimum pekerja.
Berdasarkan penjelasan dan fenomena di atas, peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul analisis faktor penentu Kebutuhan Hidup
Layak (KHL) dan Upah Minimum Provinsi (UMP).
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut , permasalahan yang akan diteliti
adalah :
1. Apakah faktor penentu Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yaitu makanan dan
minuman, sandang pangan, perumahan, pendidikan, kesehatan dan transportasi
2. Apakah faktor penentu Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yaitu makanan dan
minuman, sandang pangan, perumahan, pendidikan, kesehatan dan transportasi
berpengaruh terhadap Upah Minimum Provinsi (UMP)?
3. Apakah Kebutuhan Hidup Layak (KHL) memberikan pengaruh terhadap Upah
Minimum Provinsi (UMP) ?
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Menganalisis faktor penentu Kebutuhan Hidup Layak (KHL) terhadap nilai
Kebutuhan Hidup Layak (KHL).
2. Menganalisis faktor penentu Kebutuhan Hidup Layak (KHL) terhadap Upah
Minimum Provinsi (UMP).
3. Menganalisis sejauh mana Kebutuhan Hidup Layak (KHL) memberikan
pengaruh terhadap Upah Minimum Provinsi (UMP).
1.4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini antara lain :
1. Bagi peneliti untuk menambah wawasan dan pengetahuan mengenai pengaruh
faktor penentu Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dan Upah Minimum Provinsi
(UMP).
2. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi yang
menarik dan menjadi salah satu masukan dalam mempertimbangkan keputusan
penentuan besaran nilai Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dan Upah Minimum
3. Bagi perusahaan dan pekerja, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber
informasi mengenai upah agar keharmonisan antara pekerja dan pengusaha
dapat terus dijaga dan dikembangkan.
4. Bagi peneliti selanjutnya, penelitian ini diharapkan melengkapi temuan empiris
yang sudah ada di bidang pembangunan ekonomi dan ketenagakerjaan untuk
kemajuan dan pengembangan ilmiah di masa akan datang dan memperkaya
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Teori
2.1.1. Pekerja/Buruh
Pada dasarnya, buruh, Pekerja, Tenaga Kerja maupun karyawan adalah sama.
namun dalam kultur Indonesia, "Buruh" berkonotasi sebagai pekerja rendahan,
hina, kasaran dan sebagainya. sedangkan pekerja, Tenaga kerja dan Karyawan
adalah sebutan untuk buruh yang lebih tinggi, dan diberikan cenderung kepada
buruh yang tidak memakai otot tapi otak dalam melakukan kerja. akan tetapi pada
intinya sebenarnya keempat kata ini sama mempunyai arti satu yaitu Pekerja. hal
ini terutama merujuk pada Undang-undang Ketenagakerjaan, yang berlaku umum
untuk seluruh pekerja maupun pengusaha di Indonesia (Yuriandi,2011).
Buruh dibagi atas 2 klasifikasi besar :
1. Buruh profesional, biasa disebut buruh kerah putih, menggunakan tenaga otak
dalam bekerja.
2. Buruh kasar biasa disebut buruh kerah biru, menggunakan tenaga otot dalam
bekerja.
Batasan istilah pekerja/buruh diatur secara jelas dalam Pasal 1 Ayat 2
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yaitu
pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
2.1.2. Upah
2.1.2.1. Pengertian Upah
Upah pada dasarnya merupakan sumber utama penghasilan seseorang, oleh
karenanya upah harus cukup untuk memenuhi kebutuhan pekerja dan
keluarganya dengan wajar. Sebagai imbalan terhadap tenaga dan pikiran yang
diberikan pekerja kepada pengusaha, maka pengusaha akan memberikan kepada
pekerja dalam bentuk upah. Upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari
pengusaha kepada karyawan untuk suatu pekerjaan atau jasa yang telah atau
dilakukan dan dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan atas
dasar suatu persetujuan atau peraturan perundang-undangan serta dibayarkan atas
dasar suatu perjanjian kerja antara pengusaha dengan karyawan termasuk
tunjangan, baik untuk karyawan itu sendiri maupun untuk keluarganya. Jadi upah
berfungsi sebagai imbalan atas usaha kerja yang diberikan seseorang tersebut
kepada pengusaha. Upah dibayar oleh pengusaha sesuai atau sama dengan usaha
kerja (produktivitas) yang diberikan kepada pengusaha (Sonny Sumarsono 2003
dalam Prastyo, 2010).
Upah merupakan salah satu unsur untuk menentukan harga pokok dalam
perusahaan, karena ketidaktepatan dalam menentukan besarnya upah akan sangat
merugikan perusahaan. Oleh karenanya ada beberapa faktor penting yang
mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat upah yaitu sebagai berikut (Prastyo,
2010) :
Untuk pekerjaan yang membutuhkan keterampilan tinggi dan jumlah tenaga
kerjanya langka, maka upah cenderung tinggi, sedangkan untuk jabatanjabatan
yang mempunyai penawaran yang melimpah, upahnya cenderung turun.
2. Organisasi Buruh
Ada tidaknya organisasi buruh serta kuat lemahnya organisasi buruh akan
mempengaruhi tingkat upah. Adanya serikat buruh yang kuat akan meningkatkan
tingkat upah demikian pula sebaliknya.
3. Kemampuan untuk Membayar
Pemberian upah tergantung pada kemampuan membayar dari perusahaan.
Bagi perusahaan, upah merupakan salah satu komponen biaya produksi, tingginya
upah akan mengakibatkan tingginya biaya produksi, yang pada akhirnya akan
mengurangi keuntungan.
4. Produktivitas Kerja
Upah sebenarnya merupakan imbalan atas prestasi kerja karyawan. Semakin
tinggi prestasi kerja karyawan, maka semakin besar upah yang mereka terima.
Prestasi kerja ini dinyatakan sebagai produktivitas kerja.
5. Biaya Hidup
Dikota besar dimana biaya hidup tinggi, upah kerja cenderung tinggi. Biaya
hidup juga merupakan batas penerimaan upah dari karyawan.
6. Pemerintah
Pemerintah dengan peraturan-peraturannya mempengaruhi tinggi rendahnya
upah. Peraturan tentang upah umumnya merupakan batas bawah dari tingkat upah
2.1.2.2. Upah Minimum
Jaminan hukum atas upah yang layak tercantum dalam UUD 1945 pasal 28D
dan pasal 27 ayat 2 menegaskan bahwa setiap orang berhak mendapatkan upah
dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Juga UU No 13 Tahun 2003
tentang ketenagakerjaan, di mana dalam pasal 88 menyebutkan bahwa setiap
buruh berhak memperoleh penghasilan yang layak bagi kemanusiaan dan untuk
mewujudkannya pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi
buruh. Diantaranya yaitu upah minimum berdasarkan kebutuhan hidup layak
(KHL), upah lembur, struktur dan skala upah yang proporsional, dan upah untuk
pembayaran pesangon.
Dalam hubungan industrial, kedudukan upah minimum merupakan persoalan
prinsipil. Upah minimum harus dilihat sebagai bagian sistem pengupahan secara
menyeluruh. Menurut ILO (International Labour Organization) dalam Report of
the Meeting of Experts of 1967, Upah minimum didefinisikan sebagai upah yang
memperhitungkan kecukupan pemenuhan kebutuhan makan, pakaian, tempat
tinggal, pendidikan, dan hiburan bagi pekerja serta keluarganya sesuai dengan
perkembangan ekonomi dan budaya tiap negara. Pengertian upah minimum
menurut Permenaker Nomor Per-01/MEN/1992 tentang upah minimum pada
pasal 1 ayat 1 yang menyatakan: upah minimum adalah upah bulanan terendah
yang terdiri dari upah pokok termasuk tunjangan tetap.
Menurut Soedarjadi (dalam Sofiana, 2010), upah minimum adalah ketetapan
yang dikeluarkan oleh pemerintah mengenai keharusan perusahaan untuk
membayar upah sekurang-kurangnya sama dengan Kebutuhan Hidup Layak
Kebijakan upah minimum di Indonesia tertuang dalam Peraturan Menteri
Tenaga Kerja Nomor : Per-01/Men/1999 dan UU Ketenagakerjaan No. 13 tahun
2003. Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Tenaga
Kerja Nomor : Per-01/Men/1999 tentang Upah Minimum adalah upah bulanan
terendah yang terdiri dari upah pokok termasuk tunjangan tetap. Yang dimaksud
dengan tunjangan tetap adalah suatu jumlah imbalan yang diterima pekerja secara
tetap dan teratur pembayarannya, yang tidak dikaitkan dengan kehadiran ataupun
pencapaian prestasi tertentu. Tujuan dari penetapan upah minimum adalah untuk
mewujudkan penghasilan yang layak bagi pekerja. Beberapa hal yang menjadi
bahan pertimbangan termasuk meningkatkan kesejahteraan para pekerja tanpa
menafikkan produktifitas perusahaan dan kemajuannya, termasuk juga
pertimbangan mengenai kondisi ekonomi secara umum (UU RI No.13 Tahun
2003, 2004).
Pada prinsipnya, sistem penetapan upah minimum dilakukan untuk
mengurangi eksploitasi atas buruh. Ini sesungguhnya berisi kewajiban pemerintah
memproteksi buruh. Intervensi dan peran pemerintah dalam hubungan industrial
adalah bentuk penguatan terhadap posisi tawar yang memang tidak seimbang
antara buruh ketika berhadapan dengan pengusaha. Dengan kata lain, bahwa upah
minimum dapat dikatakan sebagai salah satu instrumen kebijakan pemerintah
untuk melindungi kelompok pekerja lapisan paling bawah di setiap perusahaan
agar memperoleh upah serendah-rendahnya sesuai dengan nilai atau harga
Upah minimum di Indonesia diperkenalkan tahun 1996, peran upah minimum
semakin penting. Hingga tahun 2000, tingkat upah minimum ditetapkan oleh
Menteri Tenaga Kerja untuk tiap propinsi di Indonesia. Dengan diberlakukannya
otonomi daerah, mulai tahun 2000 tanggung jawab menetapkan upah minimum
terletak di pundak pemerintah propinsi dan pemerintah Kabupaten/Kota.
2.1.2.3.
Tujuan Kebijakan Upah MinimumPenetapan kebijakan upah minimum adalah sebagai jaring pengaman (sosial
safety net) dimaksudkan agar upah tidak terus merosot sebagai akibat dari
ketidakseimbangan pasar kerja (disequilibrium labour market). Juga untuk
menjaga agar tingkat upah pekerja pada level bawah tidak jatuh ke tingkat yang
sangat rendah karena rendahnya posisi tawar tenaga kerja di pasar kerja. Agar
pekerja pada level bawah tersebut masih dapat hidup wajar dan terpenuhi
kebutuhan gizinya, maka dalam penetapan upah minimum mempertimbangkan
standar kehidupan pekerja (Suwarto, 2003).
Kebijakan penetapan upah minimum sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 diarahkan untuk mencapai Kebutuhan Hidup
Layak (KHL) selain memberi jaminan pekerja/buruh penerima upah untuk
memenuhi kebutuhan hidup. Program pencapaian upah minimum terhadap
Kebutuhan Hidup Layak (KHL) menunjukan perbaikan nyata. Hal ini
dimaksudkan bahwa pemenuhan kebutuhan hidup akan dicapai secara bertahap.
Menurut Hasanuddin Rachman (dalam Prastyo, 2010) tujuan penetapan upah
minimum dapat dibedakan secara mikro dan makro. Secara mikro tujuan
penetapan upah minimum yaitu (a) sebagai jaring pengaman agar upah tidak
perusahaan, dan (c) meningkatkan penghasilan pekerja pada tingkat paling bawah.
Sedangkan secara makro, penetapan upah minimum bertujuan untuk (a)
pemerataan pendapatan, (b) peningkatan daya beli pekerja dan perluasan
kesempatan kerja, (c) perubahan struktur biaya industri sektoral, (d) peningkatan
produktivitas kerja nasional, (d) peningkatan etos dan disiplin kerja, dan (e)
memperlancar komunikasi pekerja dan pengusaha dalam rangka hubungan
bipartit.
Di lain pihak upah minimum juga diharapkan harus dapat mendorong
kemajuan usaha dan daya saing sehingga menaikkan tingkat produktivitas. Di sisi
lain dalam penetapan upah minimum juga perlu mempertimbangkan kemampuan
membayar upah dari usaha-usaha mikro dan kecil yang paling tidak mampu
(marginal) untuk tetap hidup yang nantinya usaha-usaha tersebut diharapkan dapat
tumbuh dan berkembang dalam upaya mengurangi pengangguran dan penciptaan
lapangan kerja baru.
Menurut Suwarto (2003) penetapan upah minumum dipandang perlu sebagai
salah satu bentuk perlindungan upah, dengan tujuan :
1. Menghindari atau mengurangi persaingan yang tidak sehat sesama pekerja
dalam kondisi pasar kerja yang surplus, yang menyebabkan pekerja
menerima upah di bawah tingkat kelayakan.
2. Menghindari atau mengurangi kemungkinan eksploitasi pekerja yang
memanfaatkan kondisi pasar untuk akumulasi keuntungannya.
3. Sebagai jaring pengaman untuk menjaga tingkat upah
4. Menghindari terjadinya kemiskinan absolut pekerja melalui pemenuhan
2.1.2.4.
Jenis-Jenis Upah MinimumBerdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-01/MEN/1999 Jo.
Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor KEP-226/MEN/2000
jangkauan wilayah upah minimum meliputi:
a. Upah minimum provinsi (UMP) adalah upah minimum yang berlaku untuk
seluruh kabupaten/kota di satu provinsi.
b. Upah minimum kabupaten/kota (UMK) adalah upah minimum yang berlaku di
daerah kabupaten/kota.
c. Upah minimum sektoral provinsi (UMPProp) adalah upah minimumyang
berlaku secara sektoral di seluruh kabupaten/kota da satu provinsi
d. Upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSKab) adalah upah minimum
yang berlaku secara sektoral di daerah kabupaten/kota.
Menurut Rusli (dalam Sofiana, 2010) upah minimum dapat terbagi atas:
a. Upah minimum berdasarkan wilayah propinsi atau kabupaten/kota. Besar upah
yang untuk tiap wilayah propisi dan kabupaten/kota tidaklah sama tergantung
dari nilai kebutuhan minimum di daerah yang bersangkutan. Setiap
kabupaten/kota tidak boleh menetapkan upah minimum di bawah upah
minimum propinsi yang bersangkutan.
b. Upah minimum berdasarkan sektor/subsektor pada wilayah provinsi atau
kabupaten/kota. Upah minimum sektoral ditetapkan berdasarkan kelompok
usaha tertentu misalnya kelompok usaha manufaktur dan non faktur. Upah
minimum sekotoral ini tidak boleh lebih rendah dari upah minimum di daerah
2.1.2.5. Upah Minimum Provinsi (UMP)
Upah Minimum Provinsi (UMP) adalah merupakan tingkat upah terendah
bagi Kabupaten/Kota yang berada di wilayah provinsi yang bersangkutan tanpa
mempertimbangkan sektor tertentu. Apabila Kabupaten/Kota bermaksud
mengatur besarnya upah minimum daerah yang bersangkutan (UMK), maka
UMK yang bersangkutan harus lebih tinggi dari UMP. Apabila UMK yang
dimaksud sama atau lebih rendah dari UMP, maka tidak perlu pemerintah
Kabupaten/Kota mengatur sendiri, tetapi menggunakan standar yang telah
ditetapkan oleh UMP (Suwarto, 2003). Di bawah ini adalah gambar 2.1.
mekanisme penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) :
Sumber : Suwarto (2003)
Dalam rangka menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP), maka perlu
dilihat dasar pertimbangan penetapannya yaitu:
a. Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Dalam usulan penetapan upah minimum,
nilai KHL merupakan salah satu pertimbangan utama. Setiap pengusulan
harus menggambarkan adanya penambahan pendapatan buruh secara riel
bukan kenaikan nominal. Penetapan KHL diatur dalam Permenakertrans No.
13 tahun 2012.
b. Indeks Harga Konsumen (IHK). Pada prinsipnya perkembangan IHK
mempengaruhi perkembangan KHL, sebab komponen-komponen yang
tercantum dalam KHL harus selalu dibandingkan dengan perkembangan IHK.
c. Perluasan kesempatan kerja. Kebijaksanaan penetapan upah minimum
diharapkan dapat memberikan tingkatan upah yang layak dan wajar, sehingga
hal ini dapat mendorong peningkatan produktivitas yang pada gilirannya
dapat meningkatkan perluasan/perkembangan usaha (multiplier effect) yang
berarti memperluas kesempatan kerja.
d. Upah pada umumnya yang berlaku secara regional. Patokan untuk
menentukan dalam pengusulan upah minimum regional adalah tingkat upah
yang berlaku secara regional bagi propinsi yang bersangkutan maupun
dengan daerah yang berdekatan. Untuk hal ini setiap daerah perlu
mengadakan komunikasi dengan daerah lain yang berdekatan atau perbatasan
untuk memperoleh informasi tingkat upah terendah yang berlaku didaerah
tersebut. Upah yang ditetapkan harus sepadan dengan upah yang berlaku
didaerah yang bersangkutan. Diferensiasi upah antar daerah tidak merangsang
e. Kemampuan, perkembangan dan kelangsungan perusahaan. Dalam upaya
penetapan usulan upah minimum, perlu mempertimbangkan kemampuan,
perkembangan dan kelangsungan perusahaan. Hal ini penting agar upah yang
ditetapkan dapat terlaksana dengan baik tanpa menimbulkan gejolak dalam
pelaksanaannya.
f. Tingkat perkembangan perekonomian. Untuk penetapan besarnya UMR yang
baru, nilai tambah yang dihasilkan oleh buruh dapat dilihat dari adanya
perkembangan PDRB dalam tahun yang bersangkutan.
2.1.3. Kebutuhan Hidup Layak (KHL) Berdasarkan Permenakertrans Nomor 13 Tahun 2012
Dalam tataran normatif, KHL merupakan standar kebutuhan yang harus
dipenuhi seorang buruh lajang untuk dapat hidup layak, baik secara fisik maupun
nonfisik dalam kurun waktu satu bulan. Setiap pekerja berhak atas jaminan sosial
yang memungkinkan pengembangan diri secara utuh sebagai manusia yang
bermartabat. Upah minimum dipandang sebagai sumber penghasilan bersih (take
home pay) dan sebagai jaring pengaman (safety net) KHL (SMERU, 2003).
Sebab itu, upah minimum diharapkan dapat memenuhi kebutuhan seorang
buruh terhadap pendidikan, kesehatan, transportasi, dan rekreasi. Bahkan, bila
dimungkinkan dapat disisihkan untuk menabung. Dengan disahkannya
Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, dalam pasal 88 ayat (4)
diamanatkan bahwa pemerintah menetapkan upah minimum berdasarkan
Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dengan memperhatikan produktivitas dan
pertumbuhan ekonomi. Dalam pasal 89 juga dijelaskan bahwa Kebutuhan Hidup
Layak (KHL) dalam penetapan upah minimum dicapai secara bertahap. Sebagai
diatas, maka diterbitkanlah Permenakertrans Nomor 13 Tahun 2012 tentang
Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak. Isi
Pasal Permenakertrans Nomor 13 Tahun 2012 :
a. Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Kebutuhan hidup layak yang selanjutnya disingkat KHL adalah standar
kebutuhan seorang pekerja/buruh lajang untuk dapat hidup layak secara fisik
untuk kebutuhan 1 (satu) bulan.
2. Dewan Pengupahan Provinsi adalah suatu lembaga non struktural yang
bersifat tripartit, dibentuk dan anggotanya diangkat oleh Gubernur dengan
tugas memberikan saran dan pertimbangan kepada Gubernur dalam rangka
penetapan upah minimum dan penerapan sistem pengupahan ditingkat
provinsi serta menyiapkan bahan perumusan pengembangan sistem
pengupahan nasional.
3. Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota adalah suatu lembaga non struktural
yang bersifat tripartit, dibentuk dan anggotanya diangkat oleh Bupati/Walikota
yang bertugas memberikan saran dan pertimbangan kepada Bupati/Walikota
dalam rangka pengusulan upah minimum dan penerapan sistem pengupahan di
tingkat Kabupaten/Kota serta menyiapkan bahan perumusan pengembangan
sistem pengupahan nasional.
b. Pasal 2
KHL terdiri dari komponen dan jenis kebutuhan sebagaimana tercantum dalam
Lampiran I Peraturan Menteri ini.
(1) Nilai masing-masing komponen dan jenis KHL diperoleh melalui survei harga
yang dilakukan secara berkala.
(2) Kualitas dan Spesifikasi teknis masing-masing komponen dan jenis KHL
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disepakati sebelum survei dilaksanakan
dan ditetapkan oleh Ketua Dewan Pengupahan Provinsi atau Ketua Dewan
Pengupahan Kabupaten/Kota.
(3) Survei dilakukan oleh Dewan Pengupahan Provinsi atau Dewan Pengupahan
Kabupaten/Kota dengan membentuk tim yang keanggotaannya terdiri dari
anggota Dewan Pengupahan dari unsur tripartit, unsur perguruan tinggi/pakar,
dan dengan mengikutsertakan Badan Pusat Statistik setempat.
(4) Hasil survei sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sebagai nilai
KHL oleh Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota.
(5) Survei komponen dan jenis KHL dilakukan dengan menggunakan pedoman
sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Peraturan Menteri ini.
d. Pasal 4
(1) Dalam hal di Kabupaten/Kota belum terbentuk Dewan Pengupahan, maka
survei dilakukan oleh Tim Survei yang dibentuk oleh Bupati/Walikota.
(2) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) keanggotaannya secara tripartit dan
dengan mengikutsertakan Badan Pusat Statistik setempat.
(3) Hasil survei yang diperoleh tim survei sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Bupati/Walikota sebagai nilai KHL.
Nilai KHL yang ditetapkan oleh Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota atau
Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 disampaikan
kepada Gubernur secara berkala.
f. Pasal 6
(1) Penetapan Upah Minimum oleh Gubernur berdasarkan KHL dan dengan
memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.
(2) Dalam penetapan upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Gubernur harus membahas secara simultan dan mempertimbangkan
faktor-faktor sebagai berikut:
a. Nilai KHL yang diperoleh dan ditetapkan dari hasil survei;
b. Produktivitas makro yang merupakan hasil perbandingan antara jumlah Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) dengan jumlah tenaga kerja pada periode
yang sama;
c. Kertumbuhan ekonomi merupakan pertumbuhan nilai PDRB;
d. kondisi pasar kerja merupakan perbandingan jumlah kesempatan kerja dengan
jumlah pencari kerja di daerah tertentu pada periode yang sama;
e. kondisi usaha yang paling tidak mampu (marginal) yang ditunjukkan oleh
perkembangan keberadaan jumlah usaha marginal di daerah tertentu pada
periode tertentu.
(3) Dalam penetapan Upah Minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Gubernur memperhatikan saran dan pertimbangan Dewan Pengupahan
g. Pasal 7
Upah Minimum Provinsi yang ditetapkan Gubernur didasarkan pada nilai KHL
Kabupaten/Kota terendah di Provinsi yang bersangkutan dengan
mempertimbangkan produktivitas, pertumbuhan ekonomi, kondisi pasar kerja dan
usaha yang paling tidak mampu (marginal).
h. Pasal 8
Upah minimum yang ditetapkan oleh Gubernur sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 berlaku bagi pekerja/buruh dengan masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun.
i. Pasal 9
(1) Pencapaian KHL dalam penetapan upah minimum merupakan perbandingan
besarnya Upah Minimum terhadap nilai KHL pada periode yang sama.
(2) Penetapan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diarahkan
kepada pencapaian KHL.
(3) Pencapaian KHL sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diwujudkan secara
bertahap dalam penetapan Upah Minimum oleh Gubernur.
j. Pasal 10
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Nomor PER.17/MEN/VIII/2005 tentang Komponen dan
Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak, dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
k. Pasal 11
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Secara singkat, berdasarkan Permenakertrans Nomor 13 Tahun 2012, ada
tujuh (7) faktor pembentuk KHL yaitu :
1. Nilai faktor Makanan dan Minuman merupakan jumlah dari nilai jenis
kebutuhan sebanyak 11 komponen.
2. Nilai faktor Sandang merupakan penjumlahan dari nilai jenis kebutuhan
sebanyak 12 komponen.
3. Nilai faktor Perumahan merupakan penjumlahan dari nilai jenis kebutuhan
sebanyak 25 komponen.
4. Nilai faktor Pendidikan adalah nilai jenis kebutuhan sebanyak 2 komponen.
5. Nilai faktor Kesehatan merupakan penjumlahan nilai jenis kebutuhan
sebanyak 4 komponen.
6. Nilai faktor Transportasi adalah nilai jenis kebutuhan sebanyak 1
komponen.
7. Nilai faktor Rekreasi dan Tabungan merupakan penjumlahan nilai jenis
kebutuhan sebanyak 2 komponen.
2.2. Penelitian Terdahulu
Hasil penelitian Tjandranigshi dan Herawati (2009), seperti pada tabel di
bawah ini menunjukan bahwa komponen dari Permenakertrans Nomor 17 Tahun
2005 belum mencukupi untuk kebutuhan riil para pekerja di lapangan. Komponen
Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang menjadi dasar survei ini menggunakan
acuan dasar komponen KHL sebagaimana ditentukan oleh pemerintah melalui
Permenakertrans Per-17/MEN/VIII/2005 yang disesuaikan dengan perkembangan
mempertimbangkan kebutuhan keluarga, ketersediaan jenis barang, dan
peningkatan kualitas barang. Penyesuaian ini menghasilkan penambahan 1
komponen, yakni aneka kebutuhan yang tidak ada dalam komponen KHL versi
pemeritah, serta penambahan subkomponen.
Tabel 2.1. Hasil Survey Kebutuhan Hidup Layak Versi FGD
No. KHL versi Permenaker Nomor Per-17/Men/VIII/2005
Perumahan 48 komponen, 54 jenis
4. Pendidikan 1 komponen, 1
jenis
Pendidikan 7 komponen, 10 jenis
5. Kesehatan 8 komponen, 9
jenis
Kesehatan 21 komponen, 22 jenis 6. Transportasi 1 komponen, 1
jenis
Transportasi 5 komponen, 8 jenis
Sumber : Tjandraningsih dan Herawati (2009)
Kekurangan komponen pada survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL) juga
terjadi pada penelitian Budiyono (2007). Prosedur penetapan Upah Minimum
yang dilakukan melalui tahapan survey Kebutuhan Hidup Layak (KHL) oleh
Dewan Pengupahan Propinsi/Kabupaten/ Kota yang anggotanya terdiri dari unsur
Pekerja/Buruh, Pengusaha/ Pemerintah, Pakar dan Akademisi telah
mengakomodir kepentingan pihak-pihak yang berhubungan langsung dalam
hubungan kerja yaitu Pekerja/Buruh dan Pengusaha. Besarnya hasil Survey
bagi pekerja lajang, dimana seharusnya kebutuhan sehari-hari pekerja yang telah
menikah dan bekeluarga tidak diperhitungkan dalam komponen survei ini.
Penelitian yang dilakukan oleh Sugeng (2012) mengenai pertumbuhan
konsumsi pada triwulan I 2012 diperkirakan sebesar 5,6% (yoy), meningkat
dibandingkan triwulan sebelumnya 4,8% (yoy). Peningkatan aktivitas konsumsi
berasal dari konsumsi rumah tangga yang meningkat dari semula tumbuh 4,9%
(yoy) menjadi 5,5% (yoy). Peningkatan Upah Minimum Propinsi di semua daerah
di kawasan Sumatera diperkirakan turut memberikan andil dalam peningkatan
pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Selain itu, daya beli masyarakat relatif
masih terjaga mengingat inflasi Sumatera pada Triwulan I 2012 yang relatif
rendah. Inflasi Kawasan Sumatera triwulan I 2012 mulai menunjukkan
kecenderungan yang meningkat. Angka realisasi inflasi paling tinggi tercatat
terjadi di Sumatera Bagian Utara (Sumbagut) yakni mencapai 3,84% (yoy), diikuti
wilayah Sumatera Bagian Selatan (Sumbagsel) sebesar 3,74% dan wilayah
Sumatera Bagian Tengah (Sumbagteng) sebesar 3,68%. Dilihat berdasarkan
provinsinya, inflasi tertinggi terjadi di Provinsi Bangka Belitung (5,15%),
sedangkan yang terendah tercatat di Provinsi Kepulauan Riau (3,17%).
Mulai meningkatnya pergerakan inflasi terutama dipengaruhi oleh
perkembangan beberapa komoditas yang masuk dalam kelompok inti, terutama
emas dan komoditas pangan yang mulai cenderung kembali meningkat. Kenaikan
harga emas di Sumatera dipicu oleh perkembangan di pasar global. Pertengahan
triwulan I 2012, harga emas mencapai USD1.741,23/oz mengalami peningkatan
dibandingkan triwulan IV 2011 sebesar USD1.638,95/oz, walaupun harga emas
inflasi inti Sumatera dari 4,84% (yoy) menjadi 5,82% (yoy). Sementara itu,
kenaikan harga beberapa komoditas aneka bumbu, sayuran dan ikan-ikanan yang
cenderung meningkat turut mendorong pergerakan inflasi secara keseluruhan.
Prospek perkembangan inflasi Sumatera pada triwulan II 2012 diperkirakan
cenderung meningkat dibandingkan triwulan I 2012. Memperhatikan
perkembangan harga dan asesmen perekonomian terkini, inflasi Sumatera pada
triwulan II 2012 diperkirakan sebesar 5,5%±1%. Isu rencana kenaikan BBM yang
akan diikuti dengan kenaikan tarif angkutan, masih berpotensi mempengaruhi
level inflasi Sumatera. Pengumuman rencana kenaikan BBM jauh sebelumnya
juga menyebabkan kenaikan ekspektasi masyarakat akan terjadinya inflasi. Hal ini
terlihat pada hasil survei konsumen yang menunjukkan kenaikan indeks
ekspektasi harga 3 bulan dan 6 bulan ke depan (Sugeng, 2012).
2.3. Kerangka Konseptual
Kerangka konsep penelitian ini dapat dilihat pada gambar 2. Ada Tujuh
faktor penentu yang berpengaruh terhadap Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dan
pengaruh Kebutuhan Hidup Layak (KHL) terhadap Upah Minimum Provinsi
Gambar 2.2. Kerangka Konseptual
Berdasarkan Permenakertrans Nomor 13 Tahun 2012, ada tujuh (7) faktor
pembentuk KHL yaitu : Nilai faktor penentu Makanan dan Minuman merupakan
jumlah dari nilai jenis kebutuhan sebanyak 11 komponen, nilai faktor penentu
Sandang merupakan penjumlahan dari nilai jenis kebutuhan sebanyak 12
komponen, nilai faktor penentu Perumahan merupakan penjumlahan dari nilai
jenis kebutuhan sebanyak 25 komponen, nilai faktor penentu Pendidikan adalah
nilai jenis kebutuhan sebanyak 2 komponen, nilai faktor penentu Kesehatan
merupakan penjumlahan nilai jenis kebutuhan sebanyak 4 komponen, nilai faktor
penentu Transportasi adalah nilai jenis kebutuhan sebanyak 1 komponen dan nilai
faktor penentu Rekreasi dan Tabungan merupakan penjumlahan nilai jenis
kebutuhan sebanyak 2 komponen. Jumlah semua komponen tersebut adalah
sebanyak 60 komponen. Perumahan
Pendidikan
Sandang
Kesehatan Makanan &
Minuman
Transportasi
Dalam penelitian ini, peneliti hanya menggunakan enam (6) faktor penentu
utama Kebutuhan Hidup Layak (KHL) saja yaitu makanan dan minuman,
sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan dan transportasi. Jika dilihat dari
nominalnya, ke-enam faktor ini yang memberikan kontribusi paling besar dalam
menentukan nilai Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Untuk faktor tabungan dan
rekreasi hanya memberikan sumbangan sedikit sekali jika dilihat dari data yang di
dapat dari Depnakertrans Sumatera Utara.
Selain itu, ke-enam faktor di atas merupakan faktor yang harus diperhatikan
aspek spesifikasi dan kualitas komoditasnya ketika melakukan survei agar nilai
akhir Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dapat merepresentasikan kebutuhan hidup
pekerja. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Bank Indonesia
pada triwulan I tahun 2012, yaitu untuk meminimalkan potensi permasalahan
penetapan UMP/UMK, hal yang perlu menjadi perhatian terutama perlunya
penyempurnaan standar pelaksanaan survei dalam proses penetapan Kebutuhan
Hidup Layak (KHL), terutama pada aspek spesifikasi dan kualitas komoditas
(Tinjauan Ekonomi Regional Triwulan I, 2012).
Pengolahan data untuk mendapatkan nilai Kebutuhan Hidup Layak (KHL)
dilakukan secara bertahap sebagai berikut :
1. Tahap pertama adalah mengisi kolom rata – rata dan kolom penyesuaian satuan
pada lembaran kuisioner. Kolom rata – rata merupakan rata – rata dari harga 3
(tiga) responden. Sedangkan kolom penyesuaian satuan adalah untuk beberapa
jenis barang kebutuhan yang satuannya tidak sama.
2. Tahap kedua adalah mengolah data dari lembar kuisioner untuk dimasukkan ke
yang terdapat pada kolom rata – rata di lembar kuisioner dimasukkan ke kolom
harga satuan pada lembar form isian KHL.
3. Tahap ketiga adalah pengolahan data untuk mendapatkan angka nilai sebulan
pada form isian KHL (kolom terakhir). Untuk mencari nilai sebulan komponen
makanan dan minuman relatif mudah, cukup dengan mengalikan angka yang
terdapat pada kolom “jumlah kebutuhan“ dengan angka yang terdapat pada
kolom harga per satuan.
4. Tahap keempat adalah menghitung jumlah nilai komponen Kelompok I s/d
Kelompok VII.
1. Nilai komponen Makanan dan Minuman merupakan jumlah dari nilai jenis
kebutuhan nomor 1 s/d 11.
2. Nilai komponen Sandang merupakan penjumlahan dari nilai jenis kebutuhan
nomor 12 s/d 24.
3. Nilai komponen Perumahan merupakan penjumlahan dari nilai jenis kebutuhan
nomor 25 s/d 50.
4. Nilai komponen Pendidikan adalah nilai jenis kebutuhan nomor 51 dan 52.
5. Nilai komponen Kesehatan merupakan penjumlahan nilai jenis kebutuhan
nomor 53 s/d 57.
6. Nilai komponen Transportasi adalah nilai jenis kebutuhan nomor 58.
7. Nilai komponen Rekreasi dan Tabungan merupakan penjumlahan nilai jenis
kebutuhan nomor 59 dan 60.
8. Tahap Kelima adalah menghitung total nilai KHL dengan cara menjumlahkan
nilai Komponen I + Komponen II + Komponen III + Komponen IV +
Survei atas harga komponen-komponen KHL diatas dilakukan dua kali setiap
bulannya dan dimulai pada minggu pertama. Hasil dari survei setiap bulan lalu
diadakan rekapitulasi dan lalu dilakukan penghitungan akhir nilai KHL. Nilai
KHL akhir akan ditetapkan oleh Dewan Pengupahan dan direkomendasikan
kepada Bupati/Walikota setempat (untuk UMK) ataupun kepada Gubernur (untuk
UMP).
Peningkatan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) tentunya akan memberikan
pengaruh terhadap Upah Minimum Provinsi (UMP), apakah akan naik atau turun.
Schenk (2001) menyatakan bahwa penetapan upah minimum merupakan salah
satu upaya dalam meningkatkan kesejahteraan hidup pekerja, diarahkan agar
penentuan besarnya mengacu kepada terpenuhinya Kebutuhan Hidup Layak
(KHL) pekerja. Hal ini sesuai dengan standar internasional bahwa upah minimum
yang ditetapkan harus mampu memenuhi sekurang-kurangnya Kebutuhan Hidup
Layak (KHL).
Pertumbuhan ekonomi yang rendah dan inflasi yang tinggi berkaitan dengan
tingkat upah yang dibayarkan kepada pekerja, faktor-faktor ini juga akan
berpengaruh terhadap employment yang ada di Indonesia. Besarnya pendapatan
sebagian masyarakat dapat juga mendorong terjadinya indlasi. Upah yang
semakin meningkat membuat permintaan meningkat dan diiringi oleh
meningkatnya harga dan ini dapat memicu kenaikan inflasi karena peredaran
2.4. Hipotesis Penelitian
2.4.1. Hipotesis Mayor
Menurut Husein (2007), hipotesis adalah suatu perumusan sementara
mengenai suatu hal yang dibuat untuk menjelaskan hal itu dan juga dapat
menuntun dan mengarahkan penyelidikan selanjutnya”. Berdasarkan landasan
teori dan hasil penelitian empiris sebelumnya, maka hipotesis mayor yang akan
dirumuskan dalam penelitian ini adalah, sebagai berikut:
1. Kenaikan harga enam (6) faktor penentu Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yaitu
makanan dan minuman, sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan dan
transportasi berpengaruh positif terhadap nilai Kebutuhan Hidup Layak (KHL).
2. Kenaikan harga enam (6) faktor penentu Kebutuhan Hidup Layak (KHL)
berpengaruh positif terhadap Upah Minimum Provinsi (UMP).
2.4.2. Hipotesis Minor
Untuk lebih jelas mengenai hipotesis penelitian ini, maka di jabarkan secara
terperinci hipotesis berdasarkan indikator-indikatornya, yaitu :
1. Kenaikan harga makanan dan minuman berpengaruh positif terhadap
Kebutuhan Hidup Layak (KHL).
2. Kenaikan harga sandang berpengaruh positif terhadap Kebutuhan Hidup
Layak (KHL).
3. Kenaikan harga perumahan berpengaruh positif terhadap Kebutuhan Hidup
Layak (KHL).
4. Kenaikan harga pendidikan berpengaruh positif terhadap Kebutuhan Hidup
5. Kenaikan harga kesehatan berpengaruh positif terhadap Kebutuhan Hidup
Layak (KHL).
6. Kenaikan harga transportasi berpengaruh positif terhadap Kebutuhan Hidup
Layak (KHL).
7. Kenaikan harga makanan dan minuman berpengaruh positif terhadap Upah
Minimum Propinsi (UMP).
8. Kenaikan harga sandang berpengaruh positif terhadap Upah Minimum
Propinsi (UMP).
9. Kenaikan harga perumahan berpengaruh positif terhadap Upah Minimum
Propinsi (UMP).
10. Kenaikan harga pendidikan berpengaruh positif terhadap Upah Minimum
Propinsi (UMP).
11. Kenaikan harga kesehatan berpengaruh positif terhadap Upah Minimum
Propinsi (UMP).
12. Kenaikan harga transportasi berpengaruh positif terhadap Upah Minimum
Propinsi (UMP).
13. Kenaikan harga Kebutuhan Hidup Layak (KHL) berpengaruh positif terhadap
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah enam (6) faktor penentu Kebutuhan
Hidup Layak (KHL) dan Upah Minimum Provinsi (UMP) yang terjadi di Provinsi
Sumatera Utara. Periode pengamatan untuk KHL adalah tahun 2010, 2011 dan
2012. Untuk periode pengamatan UMP adalah tahun 2010, 2011 dan 2012.
3.2. Jenis Dan Sumber Data
Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder tahunan,
yang merupakan data time series dan cross section (data panel) dengan rentang
waktu dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2012 untuk Kebutuhan Hidup Layak
(KHL), rentang waktu dari tahun 2010 sampai dengan 2012 untuk Upah
Minimum Provinsi (UMP). Kedua data ini diolah menggunakan software SPSS
versi 19.0.
Data panel merupakan data kombinasi antara data deret / runtut waktu, yang
memiliki observasi-observasi pada suatu unit analisis pada suatu titik waktu
tertentu. Ciri khusus data deret waktu adalah berupa urutan numerik dimana
interval antar observasi atas sejumlah variabel bersifat konstan dan tetap.
Sedangkan data silang tempat adalah suatu unit analisis pada suatu titik waktu
Sumber data diperoleh dari Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Provinsi Sumatera Utara. Data Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dan Upah
Minimum Provinsi (UMP) yang dikeluarkan oleh Departemen Tenaga Kerja
Transmigrasi ini telah melalui proses penyeleksian dan disetujui oleh Gubernur
sesuai dengan Undang-Undang Ketenagakerajaan yang berlaku.
3.3. Teknik Pengumpulan Data
Sesuai dengan jenis data yang diperlukan yaitu data sekunder dan sampel
yang digunakan, maka metode pemgumpulan data dalam penelitian ini digunakan
dengan teknik dokumentasi yang didasarkan pada hasil Survei Kebutuhan Hidup
Layak (KHL) dan hasil keputusan Upah Minimum Provinsi (UMP) yang di
keluarkan oleh Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk Provinsi
Sumatera Utara yang setiap tahun selalu dilakukan penyesuaian.
3.4. Model Dan Teknik Analisis Data
Berdasarkan pada pokok permasalahan dan hipotesis yang telah dirumuskan,
variabel-variabel penelitian dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1. Variabel Independen X (variabel endogen) : Makanan dan minuman,
sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan dan transportasi.
2. Variabel Independen Y (variabel eksogen) sebagai variabel perantara :
Kebutuhan Hidup Layak (KHL).
3. Variabel Dependen Z (variabel eksogen) : Upah Minimum Provinsi (UMP)
Pengujian hipotesis penelitian dilakukan dengan menggunakan model analisis