KEMENTERIAN KESEHATAN
Republik Indonesia
Pedoman Penyusunan
Standar Pelayanan Kedokteran
Konsorsium Upaya Kesehatan
Direktorat Jendral Bina Upoaya Kesehatan
Sambutan
Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan
Kementerian Kesehatan
Puji syukur kita panjatkan pada Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya berkat rahmat NYA, buku Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) ini dapat tersusun.
Saya menyambut gembira dengan diterbitkannya buku Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) ini. Berbeda dengan buku pedoman pedoman lain, PIIJPK ini mempunyai kedudukan yang sangat khusus karena disusun oleh pehimpunan profesi, untuk memenuhi mandat Undang Undang RI no 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Saya harapkan dengan terbitnya PNPK ini, dapat memudahkan institusi upaya kesehatan, dalam memberikan pelayanan kedokteran yang bermutu kepada masyarakat. Para dokter pun akan memperoleh perlindungan hukum bila dalam menjalankan praktik kedokteran mengikuti arahan dari PNPK.
Namun demikian, rumah sakit rumah sakit serta institusi pelayanan kesehatan lainnya, mempunyai kewajiban untuk menjabarkan PNPK menjadi dokumen yang lebih operasional, yang disebut Standar Prosedur Operasional (SPO), sesuai dengan tingkat kompetensi fasilitas pelayanan kesehatan masing masing institusi.
Saya mengucapkan terima kasih yang mendalam dan penghargaan yang tinggi, kepada para penyusun PNPK, yang telah bekerja keras menyusun buku yang sangat berharga ini. Kepada direktur rumah sa kit, para dokter dan ahliahli lain saya ucapkan selamat mempelajari dan membaca PNPK ini. Semoga Allah meridhoi niat baik kita
IA, .
Daftar lsi
Kata Pengantar Daftar lsi Ringkasan
BAB I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang 2. Dasar Hukum 3. Tujuan 4. 5asaran
BAB II. 5TANDAR PELA YANAN KEDOKTERAN A. Pendahuluan
B. Peran stan dar pelayanan dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan
C. Jenis standar pelayanan kedokteran
BAB III. PEDOMAN NA510NAL PELAYANAN KEDOKTERAN A. Uraian umum
B. Penyusunan PNPK
C. Proses Pembuatan PNPK BAB IV. PANDUAN PRAKTIK KLlNI5
A. Panduan Praktik Klinis (PPK): Pengertian Umum B. Penyusunan PPK
C. lsi PPK
D. Perangkat untuk pelaksanaan PPK E. Penerapan PPK
F. Revisi PPK
BAB V. ALUR KLlNI5 DAN PENUNJANG PPK YANG LAIN A. Alur klinis (Clinical Pathway)
B. Algoritme
C. Protokol D. Prosedur
D. Standing orders
BAB VI. DISCLAIMER/PENYANGKALAN
BAB VII. PENUTUP LAMPI RAN
Ringkasan
Upaya peningkatan kualitas pelayanan kesehatan horus dilakukan secara berkesinambungan. Pemahaman dan penerapan evidence-based practice oleh dokter secara individual merupakan hal yang baik untuk peningkatan kualitas pelayo nan. Namun untuk penyakit atau kondisi klinis yang jumlahnya banyak, berisiko tinggi, moho I, serta bervariasi dalam praktik diperlukan standardisasi.
Satu upaya penting yang dilakukan oleh Kemenkes adalah pembuatan standar pelayanan. Di tingkat nasional diperlukan penyusunan Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) yang berisi pernyataan yang sistematis, mutakhir, evidence-based untuk membantu dokter / pemberi jasa pelayanan lain dalam menangani pasien dengan kondisi tertentu. PNPK disusun oleh panel pakar (dari organisasi profesi, akademisi, klinis, pakar lain) di bawah koordinasi Kemenkes dan hasilnya disahkan oleh Menteri Kesehatan.
Karena sifatnya yang canggih, mutakhir, maka PNPK horus diterjemahkan menjadi
Panduan Praktik Klinis (PPK) oleh masihmasing fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) sesuai dengan keadaan setempat. PPK disusun oleh Staf Medis fasyankes, dengan mengacu pada PNPK (bila ada), dan / atau sumber pustaka lain. Karena jumlah PNPK terbatas, maka sebagian besar PPK dibuat dengan merujuk pada sumber lain (artikel asli, metaanalisis, PNPK neg ora lain, buku ajar, panduan organisasi profesi, petunjuk pelaksanaan program, dst).
PPK dapat disertai perangkat pelaksanaan langkah demi langkah termasuk clinical pathway (CP untuk penyakit yang perjalanannya dapat diprediksi dan memerlukan penanganan multidisiplin), algoritme (diagram untuk pengambilan keputusan yang cepat), protokol (panduan pelaksanaan tugas yang cukup kompleks), prosedur (panduan langkahIangkah tugas teknis), dan standing orders (instruksi tetap kepada perawat). Perlu ditekankan CP tidak dibuat untuk semua penyakit namun terbatas pada penyakit atau kondisi klinis yang lebih kurang homogen, perjalanan klinisnya dapat diprediksi, serta memerlukan pendekatan multidisiplin.
Bab 1
Pendahuluan
Latar Belakang
Pelayanan medis adalah pelayanan kesehatan perorangan yang meliputi segala
tindakan atau perilaku yang diberikan kepada pasien dalam upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Secara substansi pelayanan medis harus
berdasarkan pada ilmu pengetahuan dan teknologi medis yang telah ditapis
efektivitas, keamanan, aspek sosioekonomibudayanya sehingga menuju pada
pemerataan, peningkatan mutu dan efisiensi pelayanan yang memenuhi
kebutuhan kesehatan masyarakat. Untuk penyelenggaraan pelayanan medis
yang baik dalam arti efektif, efisien, berkualitas serta merata dibutuhkan
masukan berupa sumber daya manusia, fasiJitas, perala tan, dan dana sesuai
dengan prosedur serta metode yang memadai.
Perkembangan sosial ekonomi dan politik akhirakhir ini telah melahirkan
masyarakat yang makin sadar h u kum, sadar hak konsumen, termasuk
konsumen pelayanan kesehatan (pasien). Salah satu dampak akibat
meningkatnya kesadaran hukum tersebut adalah meningkatnya tuntutan
hukum kepada pemberi pelayanan kesehatan, baik kepada institusi maupun
kepada tenaga kesehatan. Namun belum semua institusi pelayanan kesehatan
dan tenaga kesehatan siap dalam menghadapi masalah tersebut.
Pada saat ini sektor kesehatan melengkapi peraturan perundangundangannya dengan disahkannya Undangundang No. 29 tahun 2004 ten tang Praktik
Kedokteran pada bulan Oktober 2004 yang diberlakukan mulai bulan Oktober
2005. Pengaturan praktik kedokteran tersebut bertujuan untuk memberikan
perlindungan kepada pasien, mempertahankan dan meningkatkan kualitas
pelayanan medis yang diberikan oleh dokter/dokter gigi, serta memberikan
kepastian hukum kepada masyarakat dan dokter/dokter gigi .
Undangundang Praktik Kedokteran No. 29 tahun 2004 pasal 44 ayat (1)
menyatakan: Dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik kedokteran wajib mengikuti standar pelayanan kedokteran atau kedokteran
jenis dan strata fasilitas pelayanan kesehatan. Ayat (3) Standar pelayanan W1tuk dokter dan dokter gigi tersebut diatur dengan Peraturan Menteri.
Standar pelayanan kedokteran (SPK) sebagaimana yang dimaksud dalam
Undang Undang Praktik Kedokteran dalam implementasinya adalah Pedoman
Nasional Pelayanan Kedokteran dan Standar Prosedur Operasional yang
dimaksud sesuai dengan Pasal 50 ayat 1 dan pasal 51 UndangW1dang Nomor 29 TahW1 2004 Tentang Praktik Kedokteran.
Pedoman ini merupakan acuan bagi Kementerian Kesehatan dan organisasi
profesi dalam menyusun Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran, dan
fasilitas pelayanan kesehatan dalam menyusW1 standar prosedur operasional
sebagaimana diamanahkan oleh UU Praktik Kedokteran .
Dasar Hukum
1. UndangUndang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pasal
44 ayat (I), pasal 50 dan 51 (Lembaran Negara Republik Indonesia TahW1 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4431);
2. UndangUndang Nomor 32 TahW1 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah
diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 12 Tahun 2008 ten tang
Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 32 TahW1 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
3. UndangUndang Nomor 36 TahW1 2009 tentang Kesehatan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
4. UndangUndang Nomor 44 TahW1 2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran
Negara Republik Indonesia TahW1 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5072);
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4737);
6. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1575/Menkes/Per/XI/2005 ten tang
Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
439/Menkes/PerNI/2009 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1575/Menkes/Per/XI/2005 ten tang Organisasi dan Tata
Kerja Departemen Kesehatan;
7. Peraturan Menteri Kesehatan no147/MENKES/PER/2010 tentang Perizinan
RS
8. PERMENKES no 1438/MENKES/PER/IX/2010 ten tang Standar Pelayanan
Kedokteran
Tuiuan
Memberikan pedoman bagi Kementerian Kesehatan dan organisasi profesi
dalam menyusun PNPK dan panduan bagi fasilitas pelayanan kesehatan dalam
menyusun SPO.
Sasaran
1. Kementerian Kesehatan
2. Organisasi profesi
Bab 2
Standar Pelayanan Kedokteran
Pendahuluan
Dalam pus taka, undangundang, peraturan, dan panduan pelayanan kesehatan
banyak sekali istilah yang menggunakan kata standar, yang mungkin di satu
sisi bersifat tum pang tindih, di lain sisi mungkin artinya berbeda untuk satu
orang dengan orang lain. Contohnya: standar pelayanan, standar pelayanan
minimal, standar prosedur operasional (SPO), standard operating procedure
(SOP), standar pemeriksaan, standar fasilitas, dsb. Istilah standar yang
digunakan dalam ranah yang melibatkan pasien, keluarga, dan pihak lain
sangat rentan karena kata standar dapat diartikan sebagai suatu hal yang harus dilakukan. Karenanya kata atau istilah standar dalam ranah pelayanan
sebaiknya dihindarkan.
Dalam ranah kedokteran klinis, bila terdapat masalah yang belum terpecahkan, maka terdapat alur pemecahan masalah sebagai berikut:
l. Kelompok yang diharapkan paling awal memberikan solusi adalah para peneliti. Mereka menawarkan cara apa yang dapat dilakukan untuk
memecahkan masalah, seringkali tanpa memperrutungkan apakah cara
tersebut murah atau mahal, memerlukan alat sederhana atau canggih, sumber daya manusia tertentu, dan dapat diterapkan atau tidak.
2. Proses yang berupaya untuk menyaring apakah opsi yang ditawarkan oleh
peneliti tersebut dapat diterapkan adalah health technology assessment
(HTA). HTA mengkaji hasil penelitian dengan menelaah efikasi,
efektivitas, efisiensi (dengan kajian ekonomi), serta aspekaspek lainnya
seperti masalah swnber daya d alam arti kata yang luas, sosial, budaya,
bahkan agama.
3. Hasil kajian HTA menjadi bahan penting dalam penyusunan Pedoman
4. Para dokter melakukan praktik dengan panduan PPK tersebut untuk
menegakkan diagnosis, memberikan pengobatan, dan memberi penjelasan
kepada pasien dan keluarganya tentang kemungkinan hasil pengobatan .
Dalam tataran pelaksanaan, PPK mungkin memerlukan satu atau lebih perangkat untuk merinci panduan agar dapat dilakukan secara spesifik dalam bentuk alur klinis (clinical pathway), algoritme, protokol,
prosedur, atau standing orders .
5. Dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan pihak fasilitas pelayanan
secara terusmenerus melaksanakan audit klinis untuk menjamin bahwa
apa yang dilakukan oleh para pemberi jasa memang benar sesuai dengan
apa yang harus dilakukan seperti yang tercantum pada PPK.
Uraian tersebut dapat diringkas sebagai berikut:
1 Para peneliti menawarkan apa yang dapat dilakukan (what we can do)
2 HTA mengkaji opsi yang ditawarkan mana yang layak diterapkan (which
we can do)
3 PPK menetapkan apa yang seharusnya dilakukan (what we should do)
4 Praktisi menerapkan apa yang harus dilakukan (doing what we should do)
5 Penjarnin mutu audit klinis (did we do what we should do)
Peran standar pelayanan
dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan
Upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan senantiasa dilakukan oleh para pemberi jasa pelayanan dari waktu ke waktu . Kemajuan ilmu dan teknologi
kedokteran berlangsung dengan amat cepat, sehingga pemanfaatan kemajuan
tersebut tidak sertamerta dapat dilakukan secara seragarn dan konsisten. Pemanfaatan kemajuan ilmu dan teknologi kesehatan yang dilakukan oleh
orang per orang dengan melakukan pendekatan evidence-based medicine (dengan langkahlangkah memformulasi pertanyaan penelitian, menelusur evidence
banyak, yang berisiko tinggi, atau cenderung menggunakan sumber daya yang
besar, apalagi apabila terdapat variasi yang luas dalam praktik seyogianya dilakukan "standardisasi". Standardisasi, bila dirancang dan dilaksanakan
dengan baik dipercaya banyak manfaatnya baik bagi pasien, keluarga, pemberi
jasa pelayanan, serta fasilitas pelayanan.
Jenis standar pelayanan kedokteran
Mengingat sangat bervariasinya keadaan di fasilitas pelayanan kesehatan di
tanah air kita, maka mustahil dapat dibuat panduan yang dapat berlaku untuk semua rumah sakit yang ada. Untuk itu diperlukan 2 jenis "standar"; yang satu
bersifat nasional yang menjadi ruju kan bagi semua fasyankes yang ada, dan
satunya bersifat lokal yang disesuaikan dengan kondisi lokal, sebagai berikut:
1. "Standar" yang bersifat nasional (hanya dibuat untuk penyakit atau kondisi klinis dengan syaratsyarat tertentu) disebut sebagai Pedoman
Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK)
2. "Standar" yang berlaku loka l untuk fasyankes disebut Panduan Praktik
Klinis (PPK) yang dapat disertai dengan
• Alur klinis (clinical pathway)
• Algoribne
• Protokol
• Prosedur
• Standing orders
Bab 3
Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) adalah penyataan yang
dibuat secara sistematis yang didasarkan pada bukti ilmiah (scientific evidence),
untuk membantu dokter dan dokter gigi dalam membuat keputusan klinis
tentang tata laksana penyakit atau kondisi klinis tertentu.
PNPK ini pada prinsipnya merupakan rekomendasi, dan dibuat berdasarkan
evidence mutakhir. Berbeda dengan format lain dalam standar pelayanan yang merupakan pendekatan langkah demi langkah dalam pelayanan terhad ap pasien, PNPK berisi informasi ten tang tata laksana pasien yang dianggap
paling efektif. Dokter menggunakan informasi pada PNPK ini bersama dengan
pengetahuan dan pengalamannya untuk menentukan rencana tata laksana
yang paling sesuai terhadap pasien dengan memperhitungkan keadaan lokal.
Dalam pus taka istilah Clinical Practice Guidelines (atau Clinical Guidelines)
digunakan baik untuk pedoman yang dibuat oleh kelompok pakar dan bersifat
nasional/global, maupun yang telah diadaptasi sesuai dengan kondisi fasilitas
setempat. Dalam dokumen ini, (1) untuk mengakomodasi pelbagai istilah yang
tum pang tindih, dan (2) menyadari perbedaan fasilitas yang amat luas di an tara
fasyankes yang ada, dibedakan 2 jenis dokumen:
1. Dokumen lengkap yang dibuat oleh kelompok pakar (profesi, akademisi, pakar lain) dengan koordinasi Kementerian Kesehatan disebut sebagai Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK). Dalam pus taka PNPK
setara dengan National Clinical Practice Guidelines.
Penyusunan PNPK
Pemilihan topik
Topik PNPK dapat diajukan oleh siapa saja: JaJaran Kemenkes, organisasi
profesi, (perhimpunan) rumah sakit, dekan fakultas kedokteran / kedokteran gigi, dst. Kemenkes (d.h.i. Konsorsium Upaya Kesehatan) bila perlu menulis
surat kepada institusi yang potensial memberi usulan topik. Bila jumlah usulan terlalu banyak dilakukan pembahasan untuk menentukan prioritas.
Persyaratan PNPK
PNPK diperlukan bila suatu penyakit atau kondisi kesehatan tertentu memiliki
satu atau lebih karakteristik berikut:
• jumlah kasusnya banyak (high volume)
• mempunyai risiko tinggi (high risk)
• cenderung memerlukan biaya tinggi/banyak sumber daya (high cost)
terutama bila terdapat variasi yang luas (high variablitiy) di antara para praktisi untuk penanganan kasus yang sarna.
Siapa yang menyusun PNPK
PNPK disusun oleh panel pakar yang bersifat multidisiplin dari organisasi
profesi, akademisi, pakar lain, di bawah koordinasi Kementerian Kesehatan RI.
Karakteristik PNPK
Hasil akhir PNPK harus mempunyai karakteristik sebagai berikut:
• Sahih / valid
• Reproducible • Cost-effective
• Representatif, sering harus multidisiplin
• Dapat diterapkan dalam praktik
• Fleksibel
• Jelas
• Terjadwal untuk dilakukan revisi
Proses pembuatan PNPK
Pembentukan Panel Pakar
Panel pakar dibentuk oleh KUK sesuai dengan topik yang akan
dibuat PNPK-nya . Panel pakar bersifat multidisiplin mencakup semua aspek yang hendak dibahas; jwnlah anggota Panel bervariasi, pada umwnnya antara 610 orang.
Idealnya anggota Panel mencakup para pakar di pusat dan daerah.
Dalam rapat pertama dengan panel pakar dilakukan halhal berikut:
• Penjelasan maksud pembuatan PNPK
• Penjelasan format PNPK (liha t Lampiran)
• Kesepakatan cara kerja, termasuk time-table
• Penentuan Ketua, Wakil Ketua, serta 1 atau 2 Sekretaris. Panel dapat mengusulkan 1 atau 2 dokter (disebut sebagai PIC person in charge)
-(lihat bawah).
Menentukan person-in-charge (PIC)
Person-in-charge (PIC) adalah staf yang dipilih untuk membantu penyusunan PNPK dari awal sampai akhir. PIC dapat disediakan oleh KUK (dokter muda
yang dikontrak untuk tujuan tersebut), atau disediakan oleh satu atau lebih
anggota Panel (misalnya staf muda di departemen terkait). Persyaratan PIC
adalah sebagai berikut:
• dokter;
• memahami evidence-based medicine dan langkahIangkahnya; • mampu menulis / menyunting dokumen ilmiah dengan baik.
Bila pedu PIC akan diberikan pelatihan secukupnya. Tugas utama PIC adalah:
• Menyiapkan draft awal PNPK;
• Mengorganisasi komunikasi dengan semua anggota Panel untuk
membahas kemajuan penulisan PNPK melalui email;
• Merevisi draft PNPK dari awaktu ke waktu;
Pengembangan
dralt
PNPK dan rapat-rapat• Draft awal PNPK dibuat oleh PIC di bawah arahan Ketua, Sekretaris, serta anggota panel.
• Draft awal tersebut dikembangkan bersama oleh seluruh anggota Panel dengan mekanisme yang disepakati, terutama komunikasi melalui
email.
• Setiap bulan dilakukan rapat Panel yang dikordinasi oleh KUK untuk
membahas perkembangan pembuatan draft PNPK, menyunting,
melakukan revisi, dan lainlain yang relevan . Bila dipandang perlu
dapat diundang nara sumber yang tidak masuk dalam Panel untuk
memperoleh masukan dalam halhal yang khusus .
• Oalam 3 atau 4 kali pertemuan draft diharapkan sudah selesai dan diajukan dalam rapat pleno KUK.
• Draft akhir yang sudah disepakati oleh Panel dan KUK diajukan kepada Oirjen Pelayanan Medis untuk dibahas dan dimintakan
pengesahannya oleh Menteri Kesehatan.
Tampilan PNPK
• Tampilan PNPK dibakukan, dengan sampul yang menunjukkan
pengesahan dari Kementerian Kesehatan berupa logo Kemenkes dan
logo organisasi profesi yang beperan dalam pembuatan PNPK.
• Namanama pakar yang langsung berperan dalam pembuatan PNPK tercantum dicantumkan sebagai kontributor.
Format PNPK
• Format baku PNPK mencakup Judul, Pendahuluan, Metodologi, Hasil
dan Oiskusi, Simpulan dan Rekomendasi, Oaftar Pus taka, Serta
Bab 4
Panduan Praktik Klinis
Panduan praktik klinis (PPK) adalah istilah teknis sebagai pengganti standar
prosedur operasional (SPO) dalam UndangW1dang Praktik Kedokteran yang
merupakan istilah administratif. Penggantian ini perlu W1tuk menghindarkan
kesalahpahaman yang mW1gkin terjadi, bahwa "standar" merupakan hal yang harus dilakukan pada semua keadaan. Jadi secara teknis SPO dibuat berupa
PPK yang dapat berupa atau disertai dengan salah satu atau lebih: alur klinis
(clinical pathway), protokol, prosedur, algoritme, standing order.
PPK: Pengertian Umum
PNPK dibuat berdasarkan pada evidence mutakhir, sehingga bersifat "ideal" dan tidak selalu dapat diterapkan di semua fasyankes. Karena tidak ada panduan
pelayanan yang dapat dilakukan untuk semua tingkat fasilitas, maka PNPK harus diterjemahkan sesuai dengan fasilitas setempat menjadi PPK. Berikut
contohcontoh mengapa PPK dapat sarna atau tidak di fasyankes yang berbeda:
• PPK untuk demam berdarah dengue (OBO) tanpa syok, karena tidak memerlukan peralatan dan keahlian canggih sarna semua fasyankes.
• Oi suatu rumah sakit tipe A, PPK W1tuk penyakit jantung bawaan biru
mencakup pemberian prostaglandin, tindakan balloon atrial septosomy
(BAS), dilanjutkan dengan bedah korektii, karena semua sumber daya
tersedia. Oi rumah sakit tipe A yang lain fasilitas bedah jantung anak
tidak tersedia, sehingga PPKnya adalah setelah pasien didagnosis,
diberikan prostaglandin dan dilakukan BAS, pasien harus 、ゥョセオォN@
• Oi rumah sakit tipe A dan rumah sakit tipe B yang memiliki ahli bedah saraf, alur klinis (clinical pathway) stroke nonhemoragik memerlukan pendekatan multidisiplin yang antara lain melibatkan ahli bedah saraf.
NamW1 di rumah sakit tipe B yang lain ahli bedah saraf tidak tersedia harus dibuat alur klinis yang berbeda.
Tujuan PPK mencakup:
• Meningatkan mutu pelayanan pada keadaan klinis dan lingkungan
tertentu
• Mengurangi jumlah intervensi yang tidak perlu atau berbahaya
• Memberikan opsi pengobatan terbaik dengan keuntungan maksimal
• Memberikan opsi pengobatan dengan risiko terkecil
• Memberikan tata laksana dengan biaya yang memadai
Penyusunan PPK
PPK seharusnya dibuat untuk semua jenis penyakit / kondisi klinis yang
ditemukan dalam fasyankes. Namun dalam pelaksanaannya dapat dibuat
secara bertahap, dengan mengedepankan misalnya 10 penyakit tersering yang
ada di tiap bagian . Bila tersedia PNPK, PPK dibuat dengan rujukan utama
PNPK. Namun karena PNPK hanya dibuat untuk sebagian kecil penyakit / kondisi klinis, maka sebagian besar PPK (dengan segala turunannya) dibuat
dengan memperhatikan fasilitas setempat dan merujuk pada:
• Pus taka mutakhir berupa artikel asli
• Systematic review atau metaanalisis
• PNPK dari negara lain
• Buku ajar
• Panduan dari organisasi profesi
• Petunjuk pelaksanaan program dari Kemenkes
• Kesepakatan para staf medis
Oi rumah sakit umum PPK dibuat untuk penyakitpenyakit terbanyak untuk setiap departemen, sedangkan untuk rumah sa kit tipe A dan tipe B yang
memiliki pelayanan subdisiplin harus dibuat PPK untuk penyakitpenyakit terbanyak sesuai dengan divisi / subdisiplin masingmasing. Pembuatan PPK
dikoordinasi oleh Komite Medis setempat dan berlaku setelah disahkan oleh
lsi PPK
Pada uumnya PPK berisi butirbutir berikut:
1. Pengertian
2. Anamnesis
3. Pemeriksaan fisis
4. Prosedur diagnostik
5. Diagnosis banding
6. Pemeriksaan penunjang
7. Terapi
8. Edukasi
9. Prognosis
10. Daftar pustaka
Perangkat untuk pelaksanaan PPK
Dalam PPK mungkin terdapat halhal yang memerlukan rincian langkah demi langkah. Untuk ini, sesuai dengan ka rakteristik permasalahan serta kebutuhan,
dapat dibuat clinical pathway (alur klinis), algoritme, protokol, prosedur, maupun standing order.
Contoh:
• Dalam PPK disebutkan bahwa tatalaksana stroke nonhemoragik harus dilakukan secara multidisiplin dan dengan pemeriksaan serta intervensi
dari hari ke hari dengan urutan tertentu. Karakteristik penyakit stroke
nonhemoragik sesuai untuk dibuat alur klinis (clinical pathway, CP);
sehingga perlu dibuat CP untuk stroke nonhemoragik.
• Dalam PPK disebutkan bahwa pad a pasien gagal ginjal kronik perlu dilakukan hemodialisis. Uraian rinei tentang hemodialisis dimuat
• Dalam PPK disebutkan bahwa pada anak dengan kejang demam
kompleks perlu dilakukan ptmgsi lumbal. Uraian pelaksanaan pungsi
lumbal tidak dimuat dalam PPK melainkan dalam prosedur pungsi lumbal dalam dokumen terpisah .
• Dalam tata laksana kejang demam diperlukan pemberian diazepam
rektal dengan dosis tertentu yang harus diberikan oleh perawat bila dokter tidak ada; ini diatur dalam "standing order".
Penerapan PPK
Panduan Praktik Klinis (termasuk "turunanturunannya": clinical pathway,
algoritme, protokol, prosedur, standing orders) merupakan panduan yang harus diterapkan sesuai dengan keadaan pasien. Oleh karenanya dikatakan bahwa semua PPK bersifat rekomendasi atau advis. Apa yang tertulis dalam PPK
tidak harus diterapkan pada semua pasien tanpa kecuali.
Berikut alasan mengapa PPK harus diterapkan dengan memperhatikan kondisi
pasien secara individual.
1 PPK dibuat untuk 'average patients'. Pasien dengan demam tifoid ada yang masih dapat bekerja seperti biasa, di sisi lain ada yang hampir
meninggal. PPK dibuat bukan untuk kedua ekstrem tersebut, melainkan
untuk pasien ratarata demam tifoid: demam 5 hari atau lebih, lidah
kotor, tidak mau makan minum, mengigau, dan seterusnya.
2 PPK dibuat untuk penyakit atau kondisi kesehatan tunggal. Kembali
pada pasien demam tifoid . Pada PPK demam tifoid seolaholah pasien tersebut hanya menderita demam tifoid; dia tidak menderita hipertensi,
tidak ada asma, tidak obes atau malnutrisi, tidak alergi kloramfenikol,
dan seterusnya. Padahal dalam praktik seorang pasien datang dengan
keluhan utama yang sesuai dengan demam tifoid, namun mungkin ia
juga menderita diabetes, alergi kloramfenikol, hipertensi dan sebagainya.
Contoh lain, seorang yang menderita kardiomiopati obstruktif m enurut PPK harus diberikan propranolol; namun bila temyata ia menderita asma berat, maka propranolol tidak boleh diberikan. Demikian pula pasien
gonore yang harusnya diberikan penisilin namun tidak boleh diberikan
berdarah; menumt PPK misalnya hams diberikan kotrimoksazol sebagai obat awal; namun bila ia menderita penyakit jantung bawaan bim dan
memperoleh warfarin maka kotrimoksasol tidak dapat diberikan.
3 Respons pasien terhadap prosedur diagnostik dan terapeutik sangat
bervariasi. Ada pasien yang disuntik penisilin jutaan unit tidak apaapa, namun ada pasien lain yang baru disuntik beberapa unit sudah kolaps
atau manifestasi anafilaksis lain. Hal yang sarna juga terjadi pada
prosedur diagnostik, misal penggunaan zat kontras untuk pemeriksaan
pencitraan.
4 PPK dianggap valid pada saat dicetak. Kemajuan teknologi kesehatan
berlangsung amat cepat. Bila suatu obat yang semula dianggap efektif dan aman, namun setahun kemudian terbukti memiliki efek samping
yang jarang namun fatal, misalnya disritmia berat, maka obat tersebut tidak boleh diberikan. Di lain sisi, bila ada obat lain yang lebih efektif,
tersedia, dapat dijangkau, lebih aman, lebih sedikit efek sampingnya,
maka obat tersebut hams diberikan sebagai pengganti obat yang ada
dalam PPK.
5 Praktik kedokteran modem menghamskan kita mengakomodasi apa
yang dikehendaki oleh keluarga dan pasien. Sesuai dengan paradigma
evidence-based practice, yakni dalam tata laksana pasien diperlukan kompetensi dokter, bukti ilmiah mutakhir, serta preferensi pasien (dan keluarga), maka clinical decision making process hams menyertakan persetujuan pasien. Bila menumt ilmu kedokteran ada obat atau
prosedur yang sebaiknya diberikan, namun pasien atau keluarganya
tidak setuju, maka dokter harus mematuhi kehendak pasien, tentunya
setelah pasien diberikan penjelasan yang lengkap.
Orang yang paling berwenang menilai secara kom prehensif keadaan pasien
adalah dokter yang bertugas merawat. Dialah yang akhimya menentukan
untuk memberikan atau tidak memberikan obat atau prosedur sesuai dengan yang tertulis dalam PPK. Dalam hal ia tidak melaksanakan apa yang ada dalam PPK, maka ia harus menuliskan alasannya dengan jelas dalam rekam
medis, dan ia hams siap untuk mempertanggungjawabkannya. Bila ini tidak
dilakukan maka dokter tersebut dianggap lalai melakukan kewajibannya
Revisi PPK
PPK merupakan panduan terkini untuk tata laksana pasien, karenanya harus
selalu mengikuti kemajuan ilmu dan teknologi kedokteran . Untuk itu PPK
secara periodik perlu dilakukan revisi, biasanya setiap 2 tahun. Idealnya
meskipun tidak ada perbaikan, peninjauan tetap dilakukan setiap 2 tahun .
Masukan untuk revisi diperoleh dari PNPK yang baru (bila ada), pustaka mutakhir, serta pemantauan rutin apakah PPK selama ini dapat dan sudah
dikerjakan dengan baik. Proses formal audit klinis dapat merupakan sumber
yang berharga untuk revisi PPK; namun bila audit klinis belum dilaksanakan,
pemantauan rutin merupakan sumber yang penting pula .
Untuk menghemat anggaran, di rumahrumah sakit yang sudah mempunyai
Bab
5
Alur klinis
&
penuniang PPK yang
lain
Perangkat yang diperlukan untuk pelaksanaan PPK tertentu perlu diuraikan
lebih lanjut dalam Bab terpisah ini, mengingat terdapatnya kecenderungan
untuk terdapatnya perbedaan persepsi, terutama yang menyangkut alur klinis
(clinical pathway).
Alur klinis
(Clinical Pathway)
Clinical pathway (CP, alur klinis) memiliki banyak sinonim, di antaranya care pathway, care map, integrated care pathways, multidisciplinary pathways of care, pathways of care, collaborative care pathways. CP dibuat untuk memberikan rincian apa yang harus dilakukan pada kondisi klinis tertentu. CP
memberikan rencana tata laksana hari demi hari dengan standar pelayanan
yang dianggap sesuai. Pelayanan dalam CP bersifat multidisiplin sehingga
semua pihak yang terlibat dalam pelayanan (dokter/dokter gigi, perawat,
fisioterapis, dll) dapat menggunakan format yang sarna. Kelebihan format ini adalah perkembangan pasien dapat dimonitor setiap hari, baik intervensi
maupun outcome-nya. Oleh karena itu maka CP paling layak dibuat untuk penyakit atau kondisi klinis yang memerlukan pendekatan multidisiplin, dan
perjalanan klinisnya dapat diprediksi (pada setidaknya 70% kasus). Bila dalam perjalanan klinis ditemukan halhal yang menyimpang, ini harus dicatat
sebagai varian yang harus dinilai lebih lanjut.
Perjalanan klinis dan outcome penyakit yang dibuat dalam CP dapat tidak
sesuai dengan harapan karena:
• memang sifat penyakit pada individu tertentu, • terapi tidak diberikan sesuai dengan ketentuan,
• pasien tidak mentoleransi obat, atau
Apa pun yang terjadi hams dilakukan evaluasi dan dokter memberikan
intervensi sesuai dengan keadaan pasien.
Pada umumnya di rumah sakit umum hanya 30% pasien dirawat dengan CP.
Selebihnya pasien dirawat dengan prosedur biasa (usual care). CP hanya efektif dan efisien apabila dilaksanakan untuk penyakit atau kondisi kesehatan yang
perjalanannya predictable, khususnya bila memerlukan perawatan multidisiplin. Beberapa pertanyaan yang dapat muncul:
a. Apakah CP perlu dibuat untuk semua penyakit?
Jawabnya telah dijelaskan di atas, tidak. CP hanya untuk penyakit yang
perjalanan klinisnya predictable dan memerlukan penanganan multidisiplin. b. Apakah CP dibuat untuk perincian biaya perawatan?
Tidak. PPK dan semua perangkatnya, termasuk CP, hams patient oriented,
bukan DGR (diagnosis-related group)-oriented, length of stay oriented,
atau BPJS-oriented. Bahwa setelah CP dibuat digunakan untuk keperluan penghitungan pembiayaan tentu hal tersebut sahsah saja.
c. Oapatkah penyakit lain dibuat CP sesuai dengan kondisi lokal?
Ide pembuatan CP adalah membuat standardisasi pemeriksaan dan tata
laksana pasien yang memililiki pola tertentu. Bila perjalanan klinis suatu
penyakit sangat bervariasi, misalnya diare atau sepsis, tentu sulit untuk
membuat 'standar' pemeriksaan dan tindakan yang diperlukan hari demi hari. CP juga tidak efektif bila terdapat komorbiditas.
Namun demikian tidak tertutup kemungkinan untuk membuat CP bagi penyakit apa pun, dengan catatan :
• ditetapkan kriteria inklusi dan eksklusi yang jelas,
• bila pasien sudah dirawat dengan CP namun temyata mengalami komplikasi atau terdapat komorbiditas, maka pasien tersebut hams
dikeluarkan dari CP dan dirawat dengan perawatan biasa .
Keputusan untuk membuat CP pada kasuskasus seperti ini dilakukan atas
kesepakatan staf medis dengan mempertimbangkan efektivitas, sumber
Berikut adalah contoh CP untuk diare pada bayi dan anak, yang secara
keseluruhan perjalanan penyakitnya sangat bervariasi sehingga biasanya
tidak dibuat CP, namun dengan kriteria tertentu yang ketat dapat dibuat CP.
Contoh: CP untuk diare akut pada bayi dan anak
Kriteria inklusi (pasien harus memenuhi semua yang tersebut di bawah ini)
• Usia lebih 1 bulan dan kurang dari 5 tahun
• Menderita diare akut tanpa komplikasi
• Perkiraan derajat dehidrasi <10%
• Tidak ada penyakit penyerta atau riwayat penyakit berbahaya
• Tidak ada indikasi akut abdomen
Kriteria eksklusi (pasien dengan satu atau lebih keadaan ini):
• Terdapat komorbiditas bermakna (neurologis, metabolik, penyakit
jantung bawaan, inflammatory bowel disease, etc) • Pasien dengan imunokompromais
• Muntah, atau nyeri perut tanpa diare
• Diare >5 hari
Pasien harus dikeluarkan dari CP (dan dirawat dengan perawatan biasa) bila selama perawatan salah satu dari halhal berikut terjadi:
• Tidak terdapat perbaikan klinis dalam waktu 48 jam
• Terdapat muntah empedu dengan nyeri perut
• Diagnosis awal diragukan
• Tinja berdarah
Format CP
CP adalah dokumen tertulis. Terdapat pelbagai jenis format CP yang
tergantung pada jenis penyakit atau masalah serta kesepakatan para
merupakan waktu (hari, jam), sedangkan barisnya merupakan observasi /
pemeriksaan / tindakan / intervensi yang diperlukan. Format CP dapat amat
rumit dan rinci (misaInya pemberian obat setiap 6 jam dengan dosis tertentu;
bila ini melibatkan banyak obat maka menjadi amat rumit). Sebagian apa yang
harus diisi dapat merupakan check-list, namun tetap harus diberikan ruang untuk menuliskan halhal yang perJu dicatat. Ruang yang tersedia untuk
mencatat halhal yang diperlukan juga dapat am at terbatas, lebihIebih fonnat
yang sarna diisi oleh semua profesi yang terlbat dalam perawatan, karena sifat
multidisiplin CPo
Algoritme
Algoritme merupakan format tertulis berupa flowchart dari pohon pengambilan keputusan. Dengan format ini dapat dilihat secara cepat apa yang harus
dilakukan pada situasi tertentu. Algoritme merupakan panduan yang efektif dalam beberapa keadaan klinis tertentu misaInya di ruang gawat darurat atau
instalasi gawat darurat. Bila staf dihadapkan pada situasi yang darurat, dengan
menggunakan algoritme ia dapat melakukan tindakan yang cepat untuk
memberikan pertolongan.
Protokol
Protokol merupakan panduan tata laksana untuk kondisi atau situasi tertentu yang cukup kompleks. MisaInya dalam PPK disebutkan bila pasien mengalami
atau terancam mengalami gagal napas dengan kriteria tertentu perlu dilakukan
pemasangan ventilasi mekanik. Untuk ini diperlukan panduan berupa
protokol, bagaimana melakukan pemasangan ventilasi mekanik, dari pemasangan endotracheal tube, mengatur konsentrasi oksigen, kecepatan pernapasan, bagaimana pemantauannya, apa yang harus diperhatikan,
pemeriksaan berkala apa yang harus dilakukan, dan seterusnya. Dalam
protokol harus termasuk siapa yang dapat melaksanakan, komplikasi yang mungkin timbul dan cara pencegahan atau mengatasinya, kapan suatu
Prosedur
Prosedur merupakan uraian langkahdemilangkah untuk melaksanakan tugas
teknis tertentu. Prosedur dapat dilakukan oleh perawat (misalnya cara memotong dan mengikat talipusat bayi baru lahir, merawat luka, suctioning,
pemasangan pipa nasogastrik), atau oleh dokter (misalnya pungsi lumbal atau
biopsi sumsum tulang).
Standing
orders
Standing orders adalah suatu set instruksi dokter kepada perawat atau profesional kesehatan lain untuk melaksanakan tugas pada saat dokter tidak
ada di tempat. Standing orders dapat diberikan oleh dokter pada pasien tertentu, atau secara umum dengan persetujuan Komite Medis. Contoh: perawatan
Bab 6
Disclaimer
(Penyangkalan, Wewanti)
Sejalan dengan uraian dalam bab terdahulu, dalam setiap dokumen tertulis
PPK serta perangkat implementasinya mutlak harus dituliskan disclaimer
(wewanti, penyangkalan). Hal ini amat diperlukan untuk: (1) menghilangkan
kesalahpahaman atau salah persepsi tentang arti kata "standar", yang bagi sebagian orang dimaknai sebagai "sesuatu yang harus dilakukan tanpa
kecuali"; (2) menjaga autonomi dok ter bahwa keputusan klinis merupakan
wewenangnya sebagai pihak yang dipercaya oleh pasien untuk memberikan
pertolongan medis.
Oalam disclaimer (yang harus dicantumkan pada setiap dokumen PPK) harus tercakup butirbutir yang telah dikemukakan di atas, sebagai berikut:
• PPK dibuat untuk average patients
• PPK dibuat untuk penyakit / kondisi patologis tunggal
• Reaksi individual terhadap p rosedur diagnosis dan terapi bervariasi
• PPK dianggap valid pada saat dicetak
• Praktik kedokteran modem harus lebih mengakomodasi preferensi
pasien dan keluarganya
Disclaimer harus dicantumkan di bagian depan setiap buku PPK. Oi luar negeri seringkali disclaimer mencakup banyak hal lain yang rinci, misalnya pemyataan: • PPK berisi panduan praktis, tidak berisi uraian lengkap tentang
penyakit / kondisi
• PPK bukan merupakan hal terbaik untuk semua pasien
• PPK bukan merupakan standard of medical care
• Penyusun tidak menjamin akurasi informasi yang ada dalam PPK
• Penyusun tidak bertanggung jawab terhadap hasil apa pun akibat penggunaan PPK
Bab 7
Penutup
Dokumen ini diharapkan dapat menjadi panduan bagi penyusun standar
pelayanan kedokteran yang sesuai dengan kebutuhan dan kemarnpuan masingmasing organisasi profesi, fasilitas maupun fasilitas pelayanan
kesehatan. Dengan demikian diharapkan dapat disusun standar pelayanan agar
terselenggara pelayanan medis yang efektif, efisien, bermutu dan merata sesuai
sumber daya, fasilitas, prafasilitas, dana dan prosedur serta metode yang
memadai menurut jenis dan strata pelayanan kesehatan masingmasing.
Dalam penerapannya PPK perlu terlebih dahulu dijabarkan oleh pihak rumah
Lampiran 1
Format Laporan PNPK
Laporan PNPK ratarata setebal50100 halaman, namun sangat bergantung pad a keluasan topik yang dibahas .
Format laporan PNPK secara umum adalah sebagai berikut:
Judul
Daftar isi
Daftar tabel, Gambar, Singkatan
Ringkasan Eksekutif (Bahasa Inggris)
Bab 1. Pendahuluan: Berisi pembenaran / alasan mengapa diperlukan PNPK, dengan selalu mencantumkan salah satu atau lebih high v olume, high risk, high cost, high variability
Bab 2. Metodologi
• Pertanyaan klinis utama
• Strategi pencarian bukti: databa se yang dikunjungi,
• Telaah kritis
• Peringkat bukti
• Derajat rekomendasi
Bab 3. Hasil dan Pembahasan
Bab 4. Simpulan dan rekornendasi
Daftar Pustaka
Lampiran
Lampiran 2
Contoh Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
Berikut adalah contoh beberapa judul PNPK (yang setara dengan National Clinical Practice Guidelines) dari Indonesia dan luar negeri. Perhatikan bahwa PNPK mencakup satu kondisi spesifik yang memenuhi salah satu atau lebih
kriteria high volume, high risk, high cost, high variability).
PNPK Indonesia:
1. PNPK Tata Laksana HIVAIDS
2. PNPK Penanganan Trauma
3. PNPK Tata Laksana Bayi Berat Lahir Rendah
4. PNPK Tata Laksana Eklamsia
5. PNPK Tata Laksana Tuberkulosis
6. PNPK Asfiksia Neonaturum
7. PNPK Epilepsi pada Anak
8. PNPK Tata laksana Talasemia
9. PNPK Tata Laksana Penyakit Gagal Ginial Terminal
10. PNPK Sepsis pada Dewasa
11. PNPK Diabetes Melitus
12. PNPK Karsinoma Payudara
13. PNPK Peritonitis Pascatukak lambung
14. PNPK Tata Laksana Penyakit Hirschsprung
15. PNPK Pertumbuhan Janin Terhambat
16. PNPK Ketuban Pecah Dini
Clinical Practice Guidelines Mancanegara
American Association of Clincal Endocrinologists. Medical Guideline for Clinical
Practice for the Management of Diabetes Mellitus.
htt:p:llwww.aace.comlpub/pdflguidelinesIDMGuidelines2007.pdf
American Academy of Pediatrics. Clinical Practice Guideline: Diagnosis and
Evaluation of the Child With AttentionDeficit!Hyperactivity Disorder.
h tt:p :llaappol icy.aappub!ica tions.org!c gi/reprin t/ped ia trics: 1 05/5/1158.pd f
Guideline for Alzheimer's Disease Management.
htt:p:llwww.caalz.orgIPDF files/GuidelineFullReportCA.pdf
ACC/AHA 2008 Guidelines for the Management of Adults With Congenital Heart
Disease. htt:p:Ucirc.ahajournals.org/cgilreprint/I18/23/2395
ACC/AHA 2008 Guidelines for the Management of Adults With Congenital Heart
Disease: Executive Summary. 49 halaman, 202 rujukan.
http://circ.aha;ou rna ャウNッイセO」ァゥャイ・ーイゥョ t/118/23/2395
Americal College of Cardiology / American Heart Association (2002): Guideline
update for the management of chronic stable angina. 136 halaman, 1053 rujukan
MOH Malaysia. Clinical Practice Guidelines Management of Dengue Fever in
Children, 2005. 22 halaman, 33 rujukan. hllp://www.acadmed.org.my
Malaysian Society of Neurosciences, Academy of Medicine Malaysia, Ministry of
Health Malaysia. Clinical practice guidline. Management of stroke. 37 halaman, 150
rujukan . ィャエーZャャキキキN。」。、ュ・、NッイセNュスG@
Indeks untuk pelbagai jenis CPG di Malaysia dapat diakses melalui
http://www.acadmed.org.my/index.cfmMOHMalaysia.Clinical Practice Guidelines
Management of Dengue Fever In Children, 2005. 22 halaman, 33 rujukan .
htt:p:llwww.acadmed.org.my
Malaysian Society of Neurosciences, Academy of Medicine Malaysia, Ministry of
Health Malaysia. Clinical practice guidline. Management of stroke. 37 halaman, 150
rujukan . htt:p:llwww .acadmed.org.my
Singapore MOH Clinical Prctice Guideline 2004. Management of atrial
Lampiran 3
Contoh Panduan Praktik Klinis
Panduan Praktik Klinis (PPK) dibuat untuk setiap rumah sa kit / fasilitas
pelayanan kesehatan, dengan mengacu pad a Pedoman Nasional Pelayanan
Medis (PNPK) dan / atau pustaka mutakhir dengan menyesuaikan dengan
kondisi setempat. PPK dibuat oleh Staf Medis setiap departemen / divisi di bawah koordinasi Komite Medis, dan baru dapat dilaksanakan setelah
diresmikan oleh Direksi.
Format PPK dapat sangat bervariasi. PPK dapat dibuat atas dasar penyakit
(stroke, demam tifoid), atau masalah (perdarahan, penurunan kesadaran), atau campuran keduanya. Urutan topik dapat berdasarkan departemen / divisi atau menurut abjad. Di rumah sakit besar PPK perlu dibuat per departemen. Berikut
dua contoh dari departemen medis dan 2 dari departemen bedah.
Pada umumnya PPK mencakup halhal berikut:
1. Pengertian
2. Anamnesis
3. Pemeriksaan fisis
4. Prosedur diagnostik
5. Diagnosis banding
6. Pemeriksaan penunjang
7. Terapi
8. Edukasi
9. Prognosis
PPK: Demam tifoid pada anak
Batasan dan uraian umum
Demam tifoid merupakan penyakit endemis di Indonesia yang disebabkan oleh infeksi sistemik Salmonella; 96% kasus demam tifoid disebabkan S. typhi, sisanya disebabkan oleh S. poratyphi. Sembilan puluh persen kasus demam tifoid terjadi pada umur 3 19 tahun, kejadian meningkat setelah umur 5 tahun. Pada minggu pertama sakit, demam tifoid sang at sukar dibedakan dengan penyakit demam lainnya. Untuk memastikan diagnosis diperlukan pemeriksaan biakan kuman untuk konfirmasi.
Patogenesis
Kuman masuk melalui makanan/minuman, setelah melewati lambung kuman mencapai usus halus {ileum} dan setelah menembus dinding usus sehingga mencapai folikel limfoid usus halus {plaque Peyeri}. Kuman ikut aliran limfe mesenterial ke dalam sirkulasi darah {bakteremia primer} mencapai jaringan RES {hepar, lien, sumsum tulang untuk bermultiplikasi}. Setelah mengalami bakteriemi kedua, kuman mencapai sirkulasi darah untuk menyerang organ lain {intra dan ekstraintestinal}. Masa inkubasi adalah
1014 hari.
Anamnesis
Demam naik secara bertahap tiap hari, mencapai suhu tertinggi pada akhir minggu pertama, minggu kedua demam terus menerus tinggi . Anak sering mengigau (delirium), malaise, letargi, anoreksia, nyeri kepala, nyeri perut, diare atau konstipasi, muntah, perut kembung. Pada demam tifoid berat dapat dijumpai penurunan kesadaran, kejang, dan ikterus.
Pemeriksaan lisis
Gejala klinis bervariasi dari yang ringan sampai berat dengan komplikasi. Kesadaran menu run, delirium, sebagian besar anak mempunyai lidah tifoid, yaitu di bagian tengah kotor dan bagian pinggir hiperemis, meteorismus, hepatomegali lebih sering dijumpai daripada splenomegali. Kadang dapat terdengar ronki pada pemeriksaan paru.
Pemeriksaan laboratorium
Darah tep;
• Anemia, pada umumnya terjadi karena karena supresi sumsum tulang, defisiensi besi, atau perdarahan usus.
• Limfositosis relatif
• Trombositopenia, terutama pada demam tifoid berat
Pemeriksaan ser%gi
• Serologi Widal: kenaikan titer S. typhi titer 0 zl :200 atau kenaikan 4 kali titer fase akut ke fase konvalesens.
• Kadar IgM dan IgG (Typhi-dot)
Biakan Salmonela
• Biakan darah terutama pada minggu 12 dari perjalanan penyakit • Biakan sumsum tulang masih positif sampai minggu ke4.
Pemeriksaan radi%gis
• Foto toraks, apabila diduga terjadi komplikasi pneumonia
• Foto abdomen, digunakan apabila diduga terjadi komplikasi intraintestinal seperti perforosi usus atau perdarahan saluran cerna. Pada perforasi usus tampak distribusi udara tak merata, tampak air -fluid level, bayangan radiolusen di daerah hepar, dan udara bebas pada abdomen.
Penyulit
• Perforasi usus atau perdarahan sa luran cerna: suhu menurun, nyeri abdomen, muntah, nyeri tekan pada palpasi, bising usus menurun sampai menghilang,
defence museulaire positif, pekak hati hilang
• Ekstraintestinal: ensefalopati tifoid, hepatitis tifosa, meningitis, pneumonia, syok septik, pielonefritis, endokarditis, osteomielitis, dll.
Diagnosis banding
• Stadium dini: influenza, gastroenteritis, bronkitis, bronkopneu monia, • Tuberkulosis, infeksi jamur sistemik, malaria.
Tata laksana
Medikamentosa
• Antipiretik bila suhu tubuh > 38,5 °C. Kortikosteroid dianjurkan pada demam tifoid be rat .
• Antibiotik (berturutturut sesuai Iini pengobatan)
1. Kloramfenikol (drug of choice) 50 100 mg/kg/hari, oral atau IV, dibagi dalam 4 dosis selama 10 14 hari, tidak dianjurkan pada leukosit < 2000/111 , dosis maksimal 2g/hari atau
2. Amoksisilin 150200 mg/kg/hari, oral atau IV selama 14 hari 3. Seftriakson 2080 mg/kg/hari selama 5 10 hari
Tindakan bedah
Tindakan bedah perlu dilakukan segera bila terdapat perforasi usus. Konsultasi Bedah Anak bila dicurigai komplikasi perforasi usus.
Pencegahan dan pendidikan
• Higiene perorangan dan lingkungan
• Demam tifoid ditularkan melalui rute orofekal, maka pencegahan utama memutuskan rantai tersebut dengan meningkatkan higiene perorangan dan lingkungan, seperti mencuci tangan sebelum makan, penyediaan air bersih, dan pengamanan pembuangan Iimbah feses .
• Imunisasi
1. Imunisasi aktif terutama diberikan bila terjadi kontak dengan pasien demam tifoid, terjadi kejadian luar biasa, dan untuk turis yang bepergian ke daerah endemik.
2. Vaksin polis aka rid a (capsular Vi polysaccharide), pada usia 2 tahun atau lebih diberikan secara intramuskular dan diulang setiap 3 tahun. 3. Vaksin tifoid oral (Ty21a), diberikan pada usia > 6 tahun dengan
interval selang sehari (hari 1, 3, dan 5), ulangan setiap 35 tahun. Vaksin ini belum beredar di Indonesia, terutama direkomendasikan untuk turis yang bepergian ke daerah endemik.
Daftar pustaka
2. Long SS, Pickering LK, Prober CG. Principles and practice of pediatric infectious diseases. 2nd ed. Philadelphia: Churchill & Livingstone; 2003.
3. Gershon AA, Hotez P J, Katz SL. Krugman's infectious disease of children. 11 th ed.
Philadelphia: Mosby; 2004.
4. Pomerans AJ, Busey SL, Sabnis S. Pediatric decision making strategies. WB Saunders: Philadelphiai 2002.
PPK: Hipoglikemia
Batasan dan Uraian
Kadar glukosa darah < 60 mg/dL, atau kadar glukosa darah < 80 mg/dL dengan gejala klinis.
Hipoglikemia pada DM terjadi karena:
• Kelebihan obat / dosis obat: terutama insulin, atau abat hipoglikemik oral.
• Kebutuhan tubuh akan insulin yang relatif menu run: gaga I ginjal ォイセョゥォL@ pasco persalinan.
• Masukan makan tidak adekuat: jumlah kalori / waktu makan tidak tepat. • Kegiatan jasmani berlebihan.
Diagnosis
Gejala dan tanda klinis:
• Stadium parasimpatik : lapar, mual, t ekanan darah turun
• Stadium gangguan otak ring an: lemah, lesu, sulit bicara, kesulitan menghitung sementara.
• Stadium simpatik: keringat dingin pada muka, bibir atau tangan gemetar • Stadium gangguan otak berat: tidak sadar, dengan atau tanpa kejang
Anamnesis:
• Penggunaan preparat insulin atau obat hipoglikemik oral: dosis terakhir, waktu pemakaian terakhir, perubahan dosis.
• Riwayat jenis pengobatan dan dosis sebelumnya. • Lama menderita OM, komplikasi OM.
• Penyakit penyerta: ginjal, hati, dll.
• Penggunaan obat sistemik lainnya: penghambat adrenergik
p,
dll.Pemeriksaan fisis
• Pucat, diaforesis, • Tekanan darah
• Frekuensi denyut jantung • Penurunan kesadaran
• Oefisit neurologik fokal transien
Trias Whipple untuk hipoglikemia secara umum: 1. Gejala yang konsisten dengan hipoglikemia 2. Kadar glukosa plasma rendah
3. Gejala mereda setelah kadar glukosa plasma meningkat
Diagnosis banding
Hipoglikemia karena o Obat:
o (sering): insulin, sulfonilurea, alkohol, o (kadang): kinin, pentamidine o (jarang): salisilat, sulfonamid o Hiperinsulinisme endogen:
o Insulinoma
o Kelainan sel
p
jenis lain o Sekretagogue: sulfonilurea o Autoimun0 Penyakit kritis:
0 Gagal hati
0 Gagal ginjal
0 Gagal jantung
0 Sepsis
0 Starvasi dan ina nisi
0 Defisiensi endokrin:
o Kortisol, growth hormone
o Glukagon, epinefrin
o Tumor nonsel
B:
o Sorkomao Tumor adrenokortikal, hepatoma
o leukemia, limfoma, melanoma
o Pascoprandial:
o Reaktif (setelah operasi gaster)
o Diinduksi alkohol
Pemeriksaan penunjang
• T es fungsi 9 inja I
• Tes fungsi hati
• C-peptide
Tata laksana
Stadium permulaan (sadar )
• Berikan gula murni 30 gram (2 sendok makan) atau sirop/permen gula murni (bukan pemanis pengganti gula atau gula diet/gula diabetes) dan makanan yang mengandung karbohidrat
• Stop obat hipoglikemik sementara,
• Pantau glukosa darah sewaktu tiap 12 jam
• Pertahankan GD sekitor 200 mg/dl ( bila sebelumnya tidak sador)
Stadium lanjut (koma hipoglikemia atau tidak sadar + curiga hipoglikemia):
• Diberikan larutan Dekstrosa 40 % sebanyak 2 flakon (= 50 mL) bolus intra vena, • Diberikan cairan Dekstrosa 10 % per infus, 6 jam per kolf,
• Periksa GD sewaktu (GDs), kalau memungkinkan dengan glukometer:
o Bila GDs < 50 mg/dL セ
+
bolus Dekstrosa 40 % 50 mL IVo Bila GDs < 100 mg/dL セ
+
bolus Dekstrosa 40 % 25 mL IV 4. Periksa GDs setiap 1 jam setelah pemberian Dekstrosa 40 %:o Bila GDs < 50 mg/dL セ
+
bolus Dekstrosa 40 % 50 mL IVo Bila GDs < 100 mg / dL セ + bolus Dekstrosa 40 % 25 mL IV
o Bila GDs 100 200 mg / dL セ tanpa bolus Dekstrosa 40 %
o Bila GDs > 200 mg / dL セ@ pertimbangkan menurunkan kecepatan drip Dekstrosa 1 0 %
5. Bila GDs > 100 mg / dL sebanyak 3 kali berturutturut, pemantauan GDs setiap 2 jam, dengan protokol sesuai di atas. Bila GDs > 200 mg/dL セ@ pertimbangkan mengganti infus dengan Dekstrosa 5 % atou NoCI 0,9 %.
6. Bilo GDs > 100 mg / dL sebonyok 3 koli berturutturut, pemontouon GDs setiop 4 jom, dengon protokol sesuoi di otas. Bilo GDs > 200 mg/dL セ@ pertimbongkon menggonti infus dengon Dekstroso 5 % otou NoCI 0,9 %.
7. Bilo GDs > 100 mg/dL sebonyok 3 koli berturutturut, sliding scale tiop 6 jom:
gdセ@ RI
(mg!dLl (Unit. subkutonl
< 200
o
200 250 5
250 300 10
300 350 15
> 350 20
• Bila pasien belum sador, GDs sekitor 200 mg/dL: Hidrokortison 100 mg per 4 jam selama 1 2 jam atau Deksametason 10 mg IV bolus dilanjutkan 2 mg tiap 6 jam dan Manitol 1,5 2 g/kgBB IV setiap 68 jam. Dicari penyebab lain kesadoran menurun
Daftar Pustaka
1. PERKENI. Petunjuk Praktis Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2002.
2. Waspadji S. Kegawatan pad a Diabetes Melitus. Dalam Prosiding Simposium Penatalaksanaan Kedaruratan di Bidang IImu Penyakit Dalam. Jakarta, 1516 April 2000:838.
3. Cryer PE. Hypoglycemia. In Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson Jl. Harrison's Principles of Internal Medicine.15'h ed. New York: McGraw-Hill, 2001 :213843.
PPK: Luka Bakar
Kriteria diagnosis
• Kerusakan kulit akibat trauma, panas, listrik, kimia, radiasi. 1. Derajat kedalaman
: kerusakan hanya mengenai epidermis. II : kerusakan sampai sebagian dermis. IV : kerusakan seluruh dermis atau lebih dalam. 2. Luas luka bakar dalam % dari luas permukaan tubuh 3. Lokasi luka bakar.
Konsultasi
• Disiplin ilmu lain sesuai dengan penyakit yang menyertai atau komplikasi yang timbul.
Perawatan RS
• Rawat inap diberlakukan untuk luka derajat II atau IV:
Luka bakar disertai trauma be rat lain, trauma inhalasi.
Luka bakar listrik.
Luka bakar mengenai wajah, tangan, kaki, kemaluan, perineum.
Terapi
• Didahulukan penanggulangan terhadap gangguan jalan napas dan sirkulasi.
Perkiraan jumlah cairan dengan menggunakan rumus Baxter: Hari I diperkirakan memerlukan:
(berat badan dalam kg x % luas luka bakar x 4) cc ringer laktat.
Terapi pada luka:
Derajat II, obat topikal untuk luka.
Derajat IV, obat topikal yang dapat menembus skar (silversulfadiazin).
Antibiotik bila luka kotor.
Toksoid tetanus 1 cc setiap 2 minggu, 3 x berturutturut. ATS diberikan pada semua yang belum pernah mendapat toksoid.
Sukralfat sebagai protektor mukosa lambung pad a luka bakar luas.
Dipuasakan sementara bila ada gangguan saluran cerna.
Diberikan nutrisi enteral dini (sedapatnya dalam 8 jam pertama pasca cedera); diperlukan asupan kalori dan protein tinggi.
Fisioterapi.
Untuk trauma karena bahan kimia, perlu dibilas secara tuntas dengan air.
Tindakan pembedahan dilakukan untuk membuang kulit yang mati (skar). Jika mung kin dilanjutkan dengan skin graft (SISG). Pembedahan ini dapat dilakukan setelah diyakini sirkulasi stabil.
Penyulit
• Gangguan saluran napas.
Gangguan sirkulasi bila berlanjut dapat menyebabkan kegagalan organ multipel.
Kelebihan atau kekurangan cairan maupun elektrolit.
Infeksi pada kulit, saluran napas, sa luran kemih.
U I kus stres.
Deformitas penampilan yang hebat.
SIRS (systemic inflammatory response syndrome) .
In'ormed consent
• Perlu tertulis (derajat luka nakar, persentase luka bakar dari total luas permukaan tubuh, area tubuh yang terkena, penyebab).
Bila dilakukan tindakan debridemen/pembersihan luka bakar atau penutupan luka kulit untuk penyelamatan atau perbaikan kondisi dengan risiko kegagalan umum atau kegagalan penutupan / penambalan skin graft
Standar tenaga
• Dokter Umum untuk luka bakar ring an.
Dokter Spesialis Bedah yang berkedmpung pada luka bakar be rat. Paramedis yang berkedmpung pada perawatan luka bakar. Dokter spesilais bedah plastik.
Lama perawatan
• Sangat dipengaruhi oleh kedalaman dan luas luka. Dirawat sampai luka lebih kedl dari indikasi perawatan.
Masa pemulihan
• Sangat bervariasi, mungkin 2 tahun atau lebih bergantung pada parut yang terjadi.
Luaran
• Sembuh dengan kecacatan warna kulit saja sampai kecacatan berat, tidak dapat menggerakkan sendi.
Kematian.
Autopsi/risalah rapat
PPK: Mola hidatidosa
Definisi
Suatu kelainan berupa proliferasi sel tropoblas kehamilan yang abnormal.
Patologi
Dapat berupa mola hidatidosa komplit atau parsial. Mola Hidatidosa komplet mempunyai kariotipe 46,XX yang semua berasal dari paternal. Secara klinik tidak dij