• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tata Cara dan Adat Perkawinan Pada Masyarakat Etnis Angkola (di Luat Halongonan Kabupaten Padang Lawas Utara)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tata Cara dan Adat Perkawinan Pada Masyarakat Etnis Angkola (di Luat Halongonan Kabupaten Padang Lawas Utara)"

Copied!
137
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Agusyanto,Ruddy. Jaringa Sosial Dalam Organisasi.Jakarta.Raja Grafindo Parsada.

Bauni G.Siregar.Persiapan Horja Godang Tanda-Tanda Di Alaman.Padang Sidimpuan

Bauni.G.Siregar.Surat Tumbaga Holing.Padang Sidimpuan.

Berutu, Tandak dan Lister Berutu.Adat dan tata cara perkawinan masyarakat Pakpak.kerja sama yayasan Cimatama dengan Penerbit Monora

Elvian, Drs Achmad.Organisasi Sosial Suku Bangsa Melayu Bangka. Jakarta. Direktorat Tradisi, Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Film, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata

Fischer, Dr.TH.Pengantar Anthropologi kebudayaan indonesia. Pustaka sarjana.

J,Van Baal.Sejarah Pertumbuhan Teori Antrpologi Budaya (hingga dekade 1970). Koentjaraningrat.Sejarah teori antropologi I. jakarta . UI. Press. 1979 Jakarta. Gramedia.1987

Lubis.Z.Pangaduan dan Zulkifli B.Lubis.Sipirok Na Soli Bianglala Kebudayaan Masyarakat Sipirok.USU Press.Medan

Koentjaraningrat, 1980.Sejarah Teori Antropologi I.jakarta.UI-Press

P.Hasibuan,Ir L.Pangupa.BukuNenek Moyang Masyarakat Tapanuli Selatan Bersisi Falsafah Hidup.Mitraco.medan

Ritonga. Drs Parlaungan dan Drs Ridwan Azhar.SISTEM PARTUTURAN MASYARAKAT TAPANULI SELATAN. Yandira agung

(2)

Soemiyati.Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, (Yogyakarta : Liberty Yogyakarta, 1989)

Suwondo.Bambang.Adat dan upacara perkawinan daerah Sulawesi Tenggara.Proyek penelitian dan pencacatan daerah Sulawesi Tenggara.

Tinggi barani, Sutan.Seni budaya tradisional daerah tapanuli selatan. Medan.

Tongku Mukmin. Ketua Lembaga Adat dan Budaya Kecamatan Halongonan. Mitra.PerkasaAlam 2011

Sumber Internet

www.kemenag.go.id/file/dokumen/uuperkawinan.pdf margasiregar.wordpress.com/budaya/

http://www.uky.edu/classes/FAM/357/fam544/ethnicidentity.htm). Sri Mawarni28.blogspot.com

http://harsahacomp.blogspot.co.id/p/media.html?m=1 Digilib.unimed.ac.id>public

Repository.maranantha.edu>9130032_ch

http://harsahacomp.blogspot.co.id/p/media.html?m=1 Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Padang Lawas Utara

Mauss, Marcel.2001.A General Theory of Magic.Translated by Robert Brain.London and New York.Roudledge

Collins, Randall, 1994.Four Sociological Tradition.New York.Oxford Universiti Press

(3)

https://batakculture.wordpress.com/2012/04/05/marmoncak-ilmu-bela-diri-dari-tanah-batak/

(4)

BAB III

TAHAPAN ADAT PERKAWINAN

3.1 Tata Cara Perkawinan

Dalam adat Orang Angkola tata cara perkawinan ada tiga macam, yaitu

3.1.1 Dipabuat (Perjodohan)

Dipabuat (perjodohan) adalah ikatan pernikahan yang mendapat persetujuan dari orang tua dan keluarga kedua belah pihak, baik pihak calon pengantin perempuan maupun calon pengantin laki-laki. Prosesi perkawinan dengan cara ini bisanya didahului dengan manyapai boru, martahi, makkobar adat, kemudian akad nikah dan martulak barang. Umumnya cara perkawinan seperti ini biayanya relatif lebih mahal. Perjodohan berbeda dalam sifat dan lama waktu dalam tahap perkenalan pertama dan pertunangan. Dalam sebuah perjodohan yang hanya “sebatas perkenalan” atau juga disebut pernikahan semi-perjodohan atau

pernikahan yang dibantu. Saat itu, terserah kepada kedua individu yang terlibat untuk mengembangkan hubungan dan membuat pilihan akhir. Tidak ada jangka waktu yang ditetapkan.

(5)
(6)

belum dapat dilaksanakan. Yang perlu diketahui bahwa kedua calon pengantin tersebut belum tentu saling kenal atau mungkin belum pernah bertemu sama sekali.

3.1.2 Marlojong atau Kawin Lari

Marlojong (kawin lari) merupakan suatu perkawinan yang diterima dalam adat istiadat. Perkawinan marlojong (kawin lari) dilaksanakan tanpa sepengetahuan/persetujuan pihak keluarga perempuan. Kalau seorang anak gadis marlojong (kawin lari) dengan seorang pemuda, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu :

Memberi tanda abit partadiang atau abit partinggal (kain pertinggal).

Peralatan yang dipakai adalah kain sarung bermotif kotak-kotak, berwarna hitam dan dibawah tempat tidur. Tanda ini juga disebut dengan na balun di amak (yang bergulung di tikar).

Membuat tanda patobang roha (menuakan hati). Caranya si anak

gadis menuliskan surat kepada kedua orang tuanya yang menyatakan bahwa dia benar telah berangkat untuk berkeluarga dengan menyebutkan nama si laki-laki dan alamat yang ditujunya.

Meninggalkan tanda pandok-dok (pemberitahuan). Tanda ini berupa

uang, kain sarung dan surat yang bersatu secara utuh serta diletakkan di kamar tidur si gadis.

(7)

(kawin lari), harus bersiap-siap membawa teman. Fungsinya sebagai pengawal yang disebut dengan pandongani (penemani), orang yang menjadi teman si anak gadis ketika kawin lari (marlojong).

Alasan seseorang marlojong (kawin lari) adalah karena sebagian keluarga tidak setuju dengan dengan perkawinan tersebut. Perbuatan marlojong (kawin lari) dilakukan seorang bayo (pemuda) dengan membawa seorang anak gadis ke rumah orang tua/famili pihak laki-laki tanpa diketahui orang tua perempuan. Secara umum, orang tua perempuan kurang setuju dengan perkawinan tersebut karena adanya perbedaan status sosial. Marlojong (kawin lari) dapat juga terjadi karena melangkahi kakak yang belum kawin yang bertentangan dengan adat istiadat.

(8)

No Pekerjaan Boli

1 Tamatan SMA 10 juta

2 Sarjana 30 juta

3 PNS 50 juta

4 Dokter 80 juta

Tabel 2 daftar boli

Sumber masyarakat Kecamatan Halongonan

3.1.3 Takko Mata

Takko Mata maksudnya keluarga calon pengantin perempuan tidak melakukan acara paturunkon boru walaupun sebenarnya mereka setuju atas rencana dan pilihan jodoh anak perempuannya. Proses perkawinan sebenarnya serupa dengan adat marlojong. Cara ini dipilih hanya atas pertimbangan ekonomi. Karena biaya perkawinan secara adat marlojong relatif lebih ringan dibandingkan dengan acara dipabuat atau dipaturun.

3.2 Prosesi Adat di Rumah Calon Pengantin Perempuan

Dalam adat Angkola, prosesi adat perkawinan dimulai dari rumah calon pengantin perempuan. Status kedua pasangan tersebut masih sebatas calon suami isteri, belum ada ikatan yang sah baik secara agama dan adat.

3.2.1 Martahi

(9)

ibadah “anggi ni ibadat do adat. Upacara perkawinan Orang Angkola dimulai dari musyawarah adat (makkobar/makkatai) yakni berbicara dalam tutur sapa yang sangat khusus dan unik, antara barisan yang terdapat dalam Dalihan Na Tolu dan Hatobangon. Begitu juga halnya dalam adat martahi yang dilaksanakan dalam masyarakat Angkola, unsur-unsur tersebut juga ikut melaksanakan dan memberikan hobar (berkata) dalam adat martahi.

Martahi dalam adat Angkola terdiri dari beberapa jenis yaitu tahi ungut-ungut, tahi sabagas, tahi godang parsahutaon, tahi godang mardomu haruaya mardomu bulung (maralok-alok) dan martahi karejo. Ini merupakan bentuk martahi yang diadakan di horja haroan boru (pengantin laki-laki) sedangkan martahi karejo adalah bentuk martahi yang dilaksanakan di horja pabuat boru (pengantin boru).

Adapun jenis-jenis dari martahi adalah sebagai berikut :

1. Tahi ungut-ungut atau tahi ulu tot

(10)

2. Tahi unung-unung sibahue atau unung-unung bodat

Pada tahap berikutnya Tahi dilakukan di rumah pada waktu siang hari yang dihadiri oleh orang tua, kahanggi dan anak boru untuk menceritakan bahwasanya anak mereka ingin menikah. Orang tua si anak menceritakan bahwa anaknya ingin menikah dan meminta pendapat kepada kahanggi, anak boru dan kerabat lain apakah mereka kenal dengan calon menantu tersebut dan kesimpulannya adalah anak boru pergi untuk menyelidiki keluarga calon menantu tersebut. dalam hal ini, anak boru akan menyampaikan bahwa kedua anak ini sudah menjalin hubungan yang baik dan memiliki niat yang baik untuk menikah. Disini anak boru akan menceritakan keadaan keluarga mereka agar calon mertua atau pihak laki-laki ini mengetahuinya juga. Setelah anak boru mendapat kesimpulan dari pihak keluarga tersebut maka anak boru ini pulang dan menyampaikan kepada keluarganya bahwasanya pihak dari laki-laki telah menerimanya.

3. Tahi sabagas atau tahi dalihan na tolu

(11)

ini, semua anggota keluarga akan bermusyawarah untuk mengadakan suatu adat yaitu marpege-pege yaitu musyawarah antara keluarga dan tetangga yang diadakan pada malam hari untuk membantu keluarga yang ingin mengadakan pesta, disini akan dikumpul biaya dari keluarga, kaum kerabat dan tetangga yang ada di kampung tersebut. 4. Tahi sahuta pasahat karejo

Tahi ini dihadiri oleh Hatobangon, harajaon dan Dalihan Na Tolu, di dalam tahi ini disediakan sirih untuk dipersembahkan kepada harajaon agar bisa terlaksanakan tahi ini, dan pada tahi sahuta pasahat karejo ini disediakan makanan karena kaum kerabat akan berkumpul dirumah pihak yang ingin melaksanakan pesta ini. Dalam hal ini, makanan yang disediakan oleh keluarga tersebut adalah bubur kacang ijo atau makanan ringan lainnya dan minumannya teh manis dan kopi. Dan biasanya tahi ini dilaksanakan setelah sholat isya.

3.2.2 Manyapai Boru

Pada tahap ini, pihak calon pengantin laki-laki datang ke rumah calon pengantin perempuan. Yang datang biasanya adalah Kahanggi dan Anak boru. Langkah pertama kedatangan mereka adalah membawa makanan berupa nasi dengan lauk pauknya yang merupakan tongosan (kiriman) dari orang tua calon pengantin laki-laki sebagai tanda rindu kepada pihak mora.

(12)

3.2.3 Makkobar Boru

Makkobar boru adalah prosesi adat untuk sahnya sebuah perkawinan menurut adat. Makkobar boru didahului dengan mambuat ama yaitu pihak anak boru dari orang tua calon pengantin perempuan yang akan berperan untuk mendampingi pihak yang datang atau pihak calon pengantin laki-laki untuk menghadapi harajao/hatobangon dalam makkobar boru.

Setelah burangir disurduhon kepada harajaon/hatobangon acara makkobar boru dimulai. Yang pertama berbicara adalah pihak ama dari calon pengantin laki-laki, dia akan berbicara tentang prosesi adat manyapai, adat yang sudah dilaksanakan bahwa orang tua calon pengantin perempuan menyerahkan sepenuhnya kepada pihak harajaon/hatobangon.

(13)

Kemudian rombongan yang datang menerima semua persyaratan tersebut dan menyatakan meminta waktu untuk memenuhi seluruh persyaratan. Kemudian burangir disurduhon kembali dan makkobar boru dilanjutkan kembali.

Pada kesempatan ini pihak dari pengantin laki-laki meminta untuk meminjam senjata kepada harajaon. Setelah harajaon memberikan kemudian senjata itu diserahkan kepada harajaon dengan posisi gagangnya ke arah harajaon dan mata senjatanya menghadap yang datang, maksudnya sebagai tanda menyerah atau tunduk sambil menyerahkan persyaratan-persyaratan yang dapat dipenuhi misalnya parsili pamatang uang 20 juta dan parbajuon 50 buah dan pago-pago adat yang lain tidak ada yang cukup dan menyatakan bahwa sejumlah inilah yang dapat dipenuhi sementara ini dan kekurangannya dapat ditambah di kemudian hari. Biasanya seluruh peserta makkobar boru dari calon pengantin perempuan menyatakan tidak terima dengan sedikitnya jumlah yang diserahkan tetapi keputusannya diserahkan sepenuhnya kepada Panusunan Bulung. Apabila Panusunan Bulung menerima maka kami semua juga menerima.

Pada akhirnya harajaon/hatobangon melalui Panusunan Bulung menyatakan bahwa „unduk-unduk di toru bulu halak na tunduk inda tola dibunu

artinya orang yang sudah menyerah tidak boleh lagi dihukum dan persembahanpun diterima. Selesailah makkobar boru dan sahlah perkawinan menurut adat.

3.2.4 Akad Nikah

(14)

dalam proses atau upacara perkawinan menurut Islam. Akad nikah boleh dijalankan oleh wali atau diwakilkan kepada seorang juru nikah.

Setelah selesai acara adat makkobar boru acara dilanjutkan dengan Akad Nikah untuk meresmikan pernikahan mereka menurut Agama. Acara ini biasanya dilaksanakan pada pagi harinya, prosesi akad nikah mulai dipersiapkan, tikar hambi19 yang terdiri dari tiga lapis akan dikembangkan di depan tuan kali dan akan diduduki oleh calon pengantin laki-laki. Bahasa yang digunakan dalam akad nikah dilihat dari kondisi, apabila calon pengantin laki-laki fasih berbahasa Angkola maka akan dilaksanakan dengan bahasa Angkola tetapi bila calon pengantin laki-laki tidak bisa berbahasa Angkola maka dilaksanakan menggunakan bahasa Indonesia. Dibelakang calon pengantin laki-laki akan duduk calon pengantin perempuan, setelah akad nikah selesai dilaksanakan maka kedua pengantin akan didudukkan bersampingan, kemudian tetua adat kampung akan memberikan wajangan-wejangan atau nasehat-nasehat kepada kedua pengantin. Setelah selesai kedua pengantin akan menyelesaikan seluruh berkas-berkas.

(15)

Dengan selesainya Ijab Qabul maka kedua pengantin sah sebagai pasangan suami istri menurut Agama.

3.2.5 Paturunkon Boru

Dalam adat ini kedua pengantin akan di upa-upa oleh orang tua perempuan, seluruh sanak saudara diundang kemudian diadakan pesta. Semua yang diberikan Parbajuon, upa tulang, upa parorot dan lain-lain datang dengan membawa pemberian atau kado kepada kedua pengantin. Upa-upa yang digunakan biasanya seekor kambing

Foto 4 Pengantin Sedang Mencicipi Upa-upa Sumber : peneliti

Di depan kedua pengantin akan diletakkan talam dimana di atas talam tersebut ada nasi pulut yang beraneka warna cerah yang melambangkan keceriaan, kemudian kepala kambing yang sudah dimasak, dimana usus kambing tersebut dililitkan di kepala kambing tersebut, dan telur diletakkan di pinggir-pinggir, kemudian di tengah-tengahnya diletakkan telur, hati kambing dan garam, untuk garam diletakkan di atas daun pisang.

(16)

3.2.6 Martulak Barang

Dalam adat martulak barang seluruh pemberian sanak famili dan orang tua pengantin perempuan diserahkan secara resmi kepada rombongan pengantin laki-laki dari pihak orang tua perempuan bisanya adalah satu set tempat tidur dan lemari. Dalam acara penyerahan ini berturut-turut menyampaikan kata dari orang tua perempuan pengantin perempuan, kemudian kahanggi, anak boru, pisang raut dan mora kemudian ayah orang tua laki-laki dari pengantin perempuan kemudian kahanggi, anak boru, pisang raut dan mora kemudian sebagai penutup dari harajaon/hatobangon.

Kemudian sebagai pangalusi atau menjawab dari rombongan pengantin laki-laki, berturut-turut pengantin perempuan, pengantin laki-laki, kemudian rombongan pihak perempuan dan pihak laki-laki dan ditutup oleh harajaon/hatobangon. Selesailah prosesi adat di rumah pengantin perempuan dan sebagai proses akhir yaitu pamitan untuk berangkat ke rumah pengantin laki-laki. Biasanya pengantin perempuan akan mangandung meninggalkan rumah orang tuanya.

(17)

3.3 Prosesi Adat di Rumah Pengantin Laki-laki

Alasan penulis menulis sub bab diatas berbeda dengan bab ini karena pada sub bab di atas status kedua pengantin belum sah menjadi pasangan suami isteri menurut agama dan adat, tetapi setelah acara adat perkawinan selesai di rumah calon pengantin perempuan status mereka sudah berbeda, karena mereka sudah mengikat satu janji yaitu kawin yang sah menurut agama dan adat.

3.3.1 Haroan Boru

Ketika kedua pengantin sampai di rumah pengantin laki-laki, di depan rumah sudah menunggu orang tua perempuan pengantin laki-laki, dia memegang baskom yang berisi beras dan di depan pintu juga diletakkan pelepah pisang. Ketika kedua pengantin akan memasuki rumah, mereka akan menginjak pelepah pisang tersebut dengan menggunakan kaki kanan terlebih dahulu, dimana maksudnya adalah kedua pengantin membawa kedinginan bagi yang punya rumah, kemudian orang tua perempuan pengantin laki-laki akan menyappakkon beras ke atas dan terkena kedua pengantin sambil mengucapkan kata “horas”, kemudian kedua pengantin masuk rumah.

(18)

Acara dilanjutkan dengan mangan itak gur-gur santan paborgo-borgo, dimana maksudnya semoga kedua pengantar semakin gur-gur atau semakin sukses dan santan paborgo-borgo maksudnya semoga kedua pengantin dalam menjalani rumah tangga selalu dingin-dingin. Kemudian pihak Pangatak Pangetong akan memberitahukan kepada Hatobangon atau Raja-Raja bahwasanya di dalam rumah ini sudah bertambah satu, kemudian pangatak pangetong akan bertanya kepada Hatobangon dan Raja-Raja kemana acara selanjutnya, kemudian Hatobangon atau Raja-Raja akan menyuruh Pangatak Pangetong untuk manyurduhon burangir baru kemudian dilanjutkan dengan mandokkon hata (mengatakan kata) yang dimulai dari pihak perempuan, yang dimulai dari orang tua perempuan pengantin laki-laki kemudian dilanjutkan pihak Kahanggi, Anak boru dan Mora dan dilanjutkan dengan pihak laki-laki yang urutannya sama, baru dilanjutkan pihak Hatobangon dan Raja-Raja. Dimana inti dari mandokkon hata (mengatakan kata) adalah memberikan ucapan selamat kepada kedua pengantin dan mendoakan mereka langgeng.

3.3.2 Martahi

1. Tahi godang

(19)

haronduk panyurduan dibalut abit godang, disini yang bertugas mengantar adalah naposo bulung biasanya dua orang untuk membawa burangir panyurduan atau yang disebut juga burangir pudun-pudun untuk menjemput Raja-Raja agar datang melaksanakan kerja yang sudah dimusyawarahkan.

2. Tahi haruaya mardomu bulung atau maralok-alok haruaya bulung Setelah selesai dilaksanakan kerja tersebut datanglah semua para Raja-Raja ke pesta tersebut, dalam hal ini semua sudah dipersiapkan yakni sudah menaikkan abit godang, disini hanya melaksanakan pesta di kedatangan Raja-Raja, tahi ini disebut tahi haruaya mardomu bulung atau maralok-alok haruaya bulung karena di tahi ini semua Raja-Raja hadir dari semua kampung.

Pada Tahi Godang biasanya orang-orang yang datang akan memberikan bantuan kepada yang ingin berpesta dan biasanya bantuannya berupa uang. Akan ada yang bertugas mencatat siapa-siapa saja yang memberikan bantuan uang dan berapa besarannya. Jika uang terkumpul banyak maka biasanya akan ditentukan Horja Godang (pesta besar) tetapi jika uang yang di dapat sedikit maka akan dibuat Pesta Siriaon (pesta satu hari)

3.3.3 Pesta adat

Pada Orang Angkola pelaksanaan adat perkawinan dilaksanakan tiga hari tiga malam. Tapi pada saat ini pesta perkawinan kembali berubah yaitu satu hari satu malam.

(20)

digunakan sebagai makanan untuk para tamu undangan. Bahkan apabila daging satu ekor lembu ini kurang, pihak laki-laki sebagai yang punya pesta akan membeli daging tambahan di pasar atau pajak.

Selain daging lembu, pada horja godang (pesta besar) juga menggunakan sayur-sayuran sebagai teman daging lembu tadi, biasanya yang digunakan adalah tunas kelapa sawit yang masih muda dan yang bertugas mencari dan mengambilnya adalah laki-laki dan buah nangka yang masih muda, dan yang biasa bertugas mengambil ini adalah perempuan.

Yang bertugas untuk semua itu adalah Anak boru dari pihak laki-laki, mulai dari memotong, mengiris dan memasak. Pembagian tugasnya juga jelas, dimana yang mengiris atau memotong-motong daging adalah bagian laki-laki dan sayur-sayuran bagian perempuan, tetapi untuk bagian memasak kadang-kadang mereka bersama-sama memasak. Kebiasaan lainnya, laki-laki yang memotong-motong daging akan mengambil hati dan daging lembu secukupnya kemudian mereka panggang, dan setelah matang kemudian daging tadi dicampur dengan kecap asin, cabai dan bawang merah, kemudian menjadi lauk mereka makan siang.

(21)

Selain untuk membungkus nasi, daun pisang juga digunakan untuk membungkus wajit, itak ratusan dan itak godang, para ibu-ibu akan berkumpul di suatu tempat, biasanya para ibu-ibu ini juga sekalian menggosip ketika membuatnya.

Foto 5 ibu-ibu Sedang Membuat Itak Ratusan Sumber : Peneliti

Sebelumnya juga para muda-mudi akan berkumpul di rumah pengantin laki-laki ini, para laki-laki-laki-laki akan bergotong royong mendirikan tenda atau taratak dan perempuan membuat minuman buat mereka selain itu para perempuan juga bertugas menghias tenda atau taratak tersebut, sehingga tenda atau taratak tersebut menjadi bagus.

(22)

setelah selesai ditanam kemudian mereka menyangkutkan tikar diatasnya dengan tulisan “Horas Tondi Madingin Pir Tondi Matogu”

Ketika waktu menunjukkan untuk makan, pihak tuan rumah akan menyediakan rumah-rumah tetangga pengantin laki-laki ini untuk tempat makan, rumah untuk perempuan dan laki-laki berbeda, pihak yang bertugas mangatak (menyusun) makanan mulai dari piring, cuci tangan, gelas, sambal, sayur adalah pihak anak boru dari pihak pengantin laki-laki, setelah semua selesai diatak (disusun) kemudian dihitung berapa piring yang tersedia, kemudian dipanggil masuk ke dalam, biasanya pihak mora dan kahanggi yang diduluankan sedangkan untuk anak boru akan menunggu, jika masih ada yang kosong baru mereka masuk ke dalam rumah.

Selain di dalam rumah, diluar rumah juga disediakan meja makan, yang berisi nasi dan lauk pauk, jadi siapa yang ingin makan dapat mengambil sendiri atau masyarakat biasa menyebutnya “makan prancis”. Dalam adat perkawinan Orang Angkola, perkawinan tidak akan sukses jika tidak didukung oleh Dalihan Na Tolu dan yang lainnya, adapun yang terlibat dalam adat pernikahan dan dapat dilihat sukses atau tidaknya. Adapun yang menjadi pelaksananya yaitu :

1. Raja panusunan bulung ( pemimpin sidang) 2. Suhut (pihak yang hajatan)

3. Anak boru ( kumpulan keluarga dari suhut yang merupakan putri dari suhut yang telah berkeluarga

(23)

6. Hatobangon (raja adat setempat/ yang dituakan) 7. Hombar balok (tetangga)

8. Raja torbing balok (raja adat kampung tetangga) 9. Paralok alok (peserta)

10.Raja Pamusuk

BAB IV

(24)

4.1 Unsur-unsur terkait

Di dalam pelaksanaan upacara adat Angkola, terdapat beberapa unsur-unsur yang terkait di dalamnya dan mempunyai fungsi yang penting yaitu Dalihan Na Tolu, yaitu: Kahanggi, Anak boru dan Mora kemudian Raja Huta (Bona Bulu), Raja Torbing Balok, Bayo-Bayo Luat, Panusunan Bulung, Pangatak Pangetong dan Naposo Nauli Bulung. Dimana unsur-unsur ini yang menjadi tolok ukur suksesnya suatu acara adat tersebut.

4.1.1 Kahanggi, Anak boru dan Mora

Sistem kekerabatan dalam Orang Angkola memiliki tiga unsur dasar atau Dalihan Na Tolu yaitu :

1. Kahanggi yaitu saudara laki-laki dari garis keturunan ayah 2. Anak boru yaitu saudara perempuan dari garis keturunan ayah 3. Mora yaitu saudara laki-laki dari pihak isteri kahanggi

Ketiga unsur ini saling memegang peran penting dalam lingkungan kekeluargaan masyarakat Orang Angkola. Tutur sapa menjadi lancar kalau ketika unsur ini jelas keberadaanya. Ketiga unsur ini saling memerlukan dan berfungsi sesuai dengan kedudukannya.

(25)

anak boru ini sudah semestinya membela kepentingan dan kemuliaan pihak mora atau dengan kata lain pihak anak boru harus sanggup marmora ( menghormati dan memuliakan mora).

Menurut Sutan Nalobi dalam manortor dapat kita lihat dengan jelas patuhnya anak boru terhadap moranya, apabila mora ini dalam manortor jongkok pihak anak boru yang mangayapi akan lebih rendah dari moranya, bahkan sampai tidur, itulah patuh dan hormatnya anak boru terhadap moranya

Disamping itu, anak boru juga diibaratkan sebagai si tastas nambur ( penghalau embun pagi pada semak belukar) yang artinya pihak anak boru berkewajiban sebagai perintis jalan (barisan terdepan) untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi mora. Pihak anak boru berkewajiban manjuljulkon morana (mengangkat harkat dan martabat pihak mora) sebaliknya pihak mora berkewajiban untuk elek maranak boru (menyayangi dan mengasihi anak boru)

Kahanggi sangat penting artinya bagi setiap individu karena berbagai persoalan hidup seperti perkawinan, kematian dan mencari nafkah, terlebih dahulu dimusyawarahkan dengan kahanggi. Untuk hal ini, para orang tua senantiasa memberikan nasihat untuk manta-manat markahanggi (bersikap hati-hati terhadap kahanggi) agar tidak timbul perselisihan di antara sesama mereka yang semarga.

Pada suatu upacara adat, tiga status kekeluargaan ini dapat dijelaskan dalam hubungannya dengan suhut (tuan rumah) penyelenggara acara adat, yaitu :

(26)

2. Anak boru yaitu saudara perempuan dari suhut, inklusif para suami mereka beserta seluruh keturunannya menurut garis laki-laki

3. Mora yaitu saudara laki-laki dari ibu atau mertua dari suhut serta seluruh keturunannya menurut garis laki-laki, inklusif istri-istri mereka2

Apabila jaringannya diperluas selain dari pada tiga kelompok kekerabatan inti tersebut maka dikenal juga kelompok kekerabatan tambahan yaitu mora ni mora dan pisang raut.

4.1.2 Raja Huta (Bona Bulu)

Raja huta (Bona bulu) adalah kelompok yang mendirikan huta (desa), disebut juga sebagai si suan bulua. Jika ada horja godang (pesta besar) mereka dari masing-masing huta (desa) dijemput (dialap) dengan burangir (daun Sirih) di dalam tepak27. Kalau raja huta (bona bulu) berasal dari marga Harahap dia berpeluang menjadi Panusunan Bulung horja dan jika dia berasal dari marga Siregar, dia berpeluang menjadi Bayo-Bayo Luat.

4.1.3 Raja Torbing Balok

(27)

disusul oleh Raja Torbing Balok kemudian Bayo-Bayo Luat dan terakhit disimpul oleh Panusunan Bulung

4.1.4 Bayo-Bayo Luat

Bayo-bayo luat adalah salah satu perangkat kerajaan adat luat (wilayah), mereka ini adalah anak boru dari Panusunan Bulung. Bayo-bayo luat inilah jadi ulubalang raja Panusunan Bulung yang bertugas membaca surat Tumbaga Holing dalam memulai acara manortor.

4.1.5 Panusunan Bulung

Panusunan bulung adalah pimpinan tertinggi suatu horja godang (pesta besar). Keputusannya lah yang menentukan horja godang (pesta besar) bisa dilaksanakan. Di Luat Halongonan setiap horja godang (pesta besar) biasanya dipimpin oleh tiga Panusunan Bulung. Merekalah yang membuat keputusan sesuatu itu boleh tidaknya dilaksanakan dalam horja godang (pesta besar) termasuk untuk menyelesaikan permasalahan apabila ada terjadi sesuatu hal. Keputusannya mutlak dan mengikat.

4.1.6 Pangatak Pangetong

(28)

pangetong tidak mengetahui urutan dari manortor atau mangupa, maka dapat dipastikan acara tersebut tidak akan sukses, selain itu pangatak pangetong juga harus hafal nama-nama rajanya sebab bagi masyarakat Luat Halongonan, seseorang yang sudah menikah dan sudah diberi nama Gelaran Raja, maka orang tidak wajib memanggil namanya melainkan mereka harus memanggil nama rajanya. Apabila satu orang saja yang lupa, sudah pasti akan menimbulkan kecemburuan dan permasalahan. Dan dipastikan acara tersebut akan menjadi perbincangan para masyarakat.

Adapun gelar-gelar raja yang terdapat di masyarakat Orang Angkola khususnya di Luat Halongonan adalah sebagai berikut :

 Untuk yang punya huta (desa) : Tongku, Sutan, Baginda  Untuk anak boru huta (desa) : Mangaraja, Rokkaya,  Untuk pisang raut huta (desa) : Satia, Wan,

 Untuk mora huta (desa) : Bondaharo, Malim  Untuk raja Luat : Patuan

Untuk anak boru Luat : Oppu

4.1.7 Naposo Nauli Bulung

(29)

adat perkawinan adalah Naposo Nauli Bulung. Sehari sebelum acara para Naposo Nauli Bulung ini akan bergotong royong membangun tenda atau taratak dan menghiasnya. Pada saat pesta perkawinan, Naposo Nauli Bulung bertugas yaitu untuk naposo bulung bertugas mengangkat piring kotor. Naposo Bulung bertugas mangoloi (pangatak) pihak ama-ama dan Nauli Bulung mangoloi (pangatak) ina-ina. Para Naposo Nauli Bulung juga ikut menyelesaikan upa-upa yang akan diberikan kepada kedua pengantin.

Ketika horja (pesta) paturun boru/martulak barang para Naposo Nauli Bulung ini akan meletakkan abit godang yang sudah dibuat beberapa simpul di atas barang yang akan dibawa pengantin ke rumah pengantin laki-laki. Ini bermaksud bahwa Naposo Nauli Bulung meminta uang sebagai pangambat barang yang besarnya sesuai dengan banyaknya barang yang diserahkan. Pangambat barang ini juga sebagai upah untuk Naposo Nauli Bulung untuk mengangkat barang-barang tersebut ke kendaraan yang akan membawanya.

4.2. Prosesi Adat Perkawinan

4.2.1 Prosesi Tor-Tor

Tortor adalah tarian seremoni yang disajikan dengan musik gondang. Secara fisik tortor merupakan tarian, namun makna yang lebih dari gerakan-gerakan menunjukkan tortor adalah sebuah media komunikasi, dimana melalui gerakan yang disajikan terjadi interaksi antara partisipan upacara. Tortor dan gondang ibarat koin yang tidak bisa dipisahkan

(30)

pindah ke mora, habis mora pindah ke harajaon manjojori bona bulu, habis Harajaon pindah ke Torbing Balok, habis Torbing Balok pindah ke tortor Bayo-Bayo Luat, habis tortor Bayo-Bayo-Bayo-Bayo Luat ditutup dengan tortor Panusunan Bulung, dengan berakhirnya tortor Panusunan Bulung maka berakhirlah tortor pihak laki-laki.

Foto 6 Tortor Amanta Sori Pada Sumber : Peneliti

(31)

Foto 7 Tortor Inanta Sori Pada Sumber : Peneliti

Dalam manortor baik dari pihak mora, kahanggi dan anak boru yang manortor mereka selalu diayapi oleh anak borunya, sebelum manortor si pangayapi atau anak borunya akan menaruh abit godang kepada yang manortor di pundaknya.

(32)

Foto 8 Tortor Naposo Nauli Bulung Sumber : Peneliti

4.2.2 Gondang Sebagai Pengiring Upacara Tor-Tor

Gondang juga merupakan instrumen penting dalam adat pernikahan masyarakat Orang Angkola, gondang terdiri dari gondang inang atau disebut gondang siayakon, gondang pangayak, ogung jantan, ogung betina, doal, suling, onang-onang. Selain musik, pemain gondang juga memiliki seorang penyanyi, dimana dia akan menyayikan lagu endeng-endeng.

Menurut Sutan Nalobi Alat yang digunakan dalam gondang adalah, tiga gong, dua gendang, 1 suling. Setelah berbunyi Uning-Uning, disitutui Ogung karena sudah cocok, maka akan berkumpul Tondi tu badan dari suhut habolonan, kenapa berkumpul tondi dari suhut habolonan, karena akan dipasang sihat-sihat seperti pisang yang bersusun.

(33)

Maksudnya pengertian dari uning-uningan agar meresap ke dalam diri tentang asal usul, setelah meresap ke dalam diri kemana pardangolan ni orang tua tai.

Gondang juga tidak bisa dipisahkan dari penyanyi. Nyanyian tradisional yang dinamakan Onang-onang. Pada hakikatnya merupakan suatu nyanyian adat, karena pada dasarnya Onang-onang hanya dinyanyikan dengan disertai oleh musik gondang dalam upacara adat, yaitu khusus untuk mengiringi tarian adat (tortor) yang dilakukan sebagai bahagian integral dari upacara adat tersebut.

(34)

Foto 9 paronang-onang Sumber : peneliti

(35)

Setiap paronang-onang terlebih dahulu harus mengetahui maksud dan tujuan pelaksanaan upacara tersebut, selain itu paronang-onang harus tahu kepada siapa nyanyian itu ditujukan agar paronang-onang dapat menyesuaikan isi dan syair lagu yang akan dinyanyikan. Misalnya gondang pertama adalah gondang Suhut Sihabolonan, maka paronang-onang harus menyesuaikan isi onang-onang tersebut sesuai dengan latar belakang Suhut Sihabolonan tersebut. oleh sebab itu syair onang-onang tidak mempunyai teks yang pasti, melainkan diciptakan oleh paronang-onang secara spontan. Semua syair-syairnya hampir semua diciptakan dalam bentuk pantun.

Dimana ketika waktu senggang para pargondang akan membawakan lagu-lagu senang, dimana manfaatnya membuat orang-orang yang berada di galanggang akan tersenyum dan membuat rasa capek berkurang.

4.2.3 Prosesi Tapian Raya Bangunan

(36)

marpangir ia kembali bingung, bagaimana caranya tanpa menyentuh tanah dan air, akhirnya ia mempunyai ide, ia kemudian membuat suatu bangunan yang mempunyai tangga dan dihiasi mewah, akhirnya tempat ini dijadikan tempat marpangir, dalam acara horja ini juga dihadiri Sang Raja, Sang Raja yang melihat bangunan tersebut terpukau dan akhirnya ketika anak raja ini menikah, ia pun membuat bangunan yang sama, tetapi lebih banyak tangganya dan lebih mewah. Dan mulai saat itu, tapian raya bangunan tidak dilaksanakan di sungai, dan dilaksanakan di atas bangunan

Tapian Raya Bangunan sebuah bangunan yang terbuat dari kayu yang dibangun sedemikian rupa sehingga menyerupai pondok, terdiri dari 7 (tujuh) anak tangga, biasa anak tangga ini terbuat dari papan, kemudian atap bangunan tersebut terbuat dari kain dan dihiasi dengan pelepah pohon kelapa dan kasur sebagai tempat duduk pengantin.

(37)

Foto 10 pengantin diiringi ke tapian raya bangunan Sumber : Peneliti

Sebelum kedua pengantin menaiki tangga, terlebih dahulu menyelesaikan adat yaitu ulu balang pihak dari pengantin harus mengalahkan ulubalang atau penjaga tapian raya bangunan dengan berbalas pantun dan ditutup dengan marmoncak (silat), apabila ulu balang dari pihak pengantin berhasil menang, maka kedua mempelai akan dipersilahkan menaiki anak tangga tapian raya bangunan.

Adapun asal usul dari marmoncak menurut Sutan Nalobi adalah ketika zaman

dahulu pernikahan sangat sulit dilaksanankan, sebab pengantin dipilih dan harus

dari Boru Ni Namora, arti dari Boru Na Mora adalah perempuan yang

terpelihara, sebab orang dulu percaya, jika seseorang tidak Boru Na Mora, maka

ia tidak berhak untuk dinikahi. Sebab di acara pernikahan orang Angkola

terdapat dua cara pernikahan yaitu ditanya Boru Tulang setuju, tetapi tidak

disetujui oleh orang tua perempuan, yang kedua, sang perempuan setuju dan

kedua orang tuanya juga setuju tetapi sang perempuan dilarikan oleh pria lain. Di

zaman dahulu orang tersebut dapat dituntut, tidak ada rasa kasihan, makanya

(38)

ketika diketahui akan datang seorang pria yang akan membawa pergi sang

perempuan, ulubalang Raja dan ulubalang Suhut akan mempertahankan sang

perempuan agar tidak dibawa oleh lelaki tersebut, suhut ini rela berkorban nyawa

demi perempuan ini tidak dibawa pergi, dari kejadian tersebut, lambat laun setiap

ada acara tapian raya bangunan selalu dibawakan marmoncak, tetapi makna dan

artinya juga berbeda hiburan pada zaman sekarang.

Pihak harajaon telah menunggu kedatangan pengantin bersama rombongan di tapian raya bangunan, mereka telah siap menepungtawari kedua pengantin. Begitu pengantin tiba, harajaon berkata “ jadi semua anak raja, gadis namora yang datang ke tapian raya bangunan ini, menurut adat kita, kalian harus ditepungtawari (dipangir) baru nanti diupah-upah”.

(39)

Disini kalian harus dipispis sebelah kiri, berarti membuang yang tidak baik dan kalau dipispis sebelah kanan berarti meminta hal-hal yang baik. mudah-mudahan Tuhan kita memberkati kita semua serta diberikan kesehatan. Sekarang kalian saya pispis, hanyutlah yang tidak baik, kemudian kalian saya pispis dari sebelah kanan, mudah-mudahan menerimalah tondi kalian mulai dari sekarang sampai yang akan datang, Horas...Horas....Horas....

Foto 12 prosesi Marpangir (tepung tawar) Sumber : Peneliti

Sebelum acara marpangir (menepung tawari) terlebih dahulu raja-raja akan mengumumkan nama gelaran raja kedua pengantin tersebut dan diucapkan sebanyak tiga kali dan setiap akhir ucapan akan dipukul gong pertanda bahwa nama tersebut resmi dan ditutup dengan kata “horas” sebanyak tujuh kali.

(40)

Dimana pangir ini dibuat oleh Raja, setelah pangir ini selesai dan semua pulungannya sudah terkumpul semua, pangir ini kemudian akan dicampi-campi (diberi mantra-mantra) oleh raja. Dimana maksud dari campi-campi ini adalah untuk kedua pengantin akan meninggalkan masa remaja mereka dan akan ke masa berkeluarga dimana diharapkan setiap tindakan mereka nanti selalu dipikirkan dan sudah tidak berpikiran seperti anak-anak. Sebab jika pikiran mereka masih seperti anak-anak maka dapat dipastikan mereka akan melarat dan tidak bertahan lama dalam berumah tangga.

Adapun tujuan dari Tapian Raya Bangunan adalah untuk membuang atau menghanyutkan hal-hal yang tidak baik, setelah kalian dimandikan nanti, mudah-mudahan membawa keselamatanlah kalian ke rumah ini. Kemudian setelah kalian pulang dari Tapian Raya Bangunan nanti, akan diberi upah-upah lagi dengan maksud mangupah semangat dan badan, karena itu sehat-sehatlah sampai di rumah.

(41)

menyalami seluruh yang duduk. Setelah selesai, kemudian pengantin akan dibawa masuk ke rumah pengantin laki-laki.

4.2.4 Prosesi Upa-upa

Upa-upa atau pangupa adalah beberapa jenis bahan makanan tertentu dengan kelengkapannya yang masing-masing mengandung makna simbolik (dahulu dipandang mengandung kekuatan magis) dan khusus dipersembahkan kepada satu orang tertentu atau lebih melalui upacara adat (ritus) yang dinamakan pangupa. Pada waktu mempersembahkannya, upa-upa atau pengupa diletakkan diatas satu wadah khas dan penyampaiannya kepada orang yang bersangkutan diantar atau disertai dengan pidato adat yang diucapkan oleh para kerabat dan orang-orang tertentu. Dalam hal ini, upa-upa atau pangupa dipandang berfungsi sebagai parhitean ni sinta-sinta (titian bagi doa).

Di zaman dulu, ritual mangupa erat kaitannya dengan religi kuno sipelebegu yang dianut oleh nenek moyang orang Batak pada masa itu. Sejak agama masuk dan dianut oleh umumnya Orang Angkola, pelaksanaan acara tradisi mangupa mengacu kepada ajaran agama Islam di samping ajaran adat. Kata-kata nasihat dalam acara mangupa pun disampaikan sesuai dengan norma-norma agama Islam.

(42)

(pangupa ayam), pangupa yang besar adalah pangupa hambeng (pangupa kambing), dan pangupa yang terbesar adalah pangupa horbo (pangupa kerbau).

Foto 13 Horbo (kerbau) yang akan dijadikan upa-upa Sumber : Peneliti

Secara simbolik bahan yang terkandung dalam pangupa seperti telur bulat yang terdiri atas kuning telur dan putih telur mencerminkan “kebulatan

(keutuhan) tondi dan badan. Upacara mangupa dilaksanakan supaya “horas tondi madingin pir tondi matogu” yang bermakna “selamatlah tondi dalam keadaan dingin/sejuk/nyaman, keraslah tondi semakin teguh bersatu dengan badan” sehingga mampu menghadapi berbagai tantangan kehidupan yang dijalani.

Upacara mangupa juga melibatkan Dalihan Na Tolu, disamping Dalihan Na Tolu upacara mangupa yang sedang dan besar juga melibatkan unsur lain, yaitu Hatobangon (orang yang dituakan) dari tetangga sekampung dan raja panusunan bulung (pengayom suatu Dalihan Na Tolu tertentu) yang bertindak sebagai pemimpin upacara/penyimpul.

(43)

upacara mangupa. Prosesi ini saling berkaitan satu dengan yang lain sehingga sebelum dilaksanakan upacara mangupa, kedua pengantin terlebih dahulu mengikuti prosesi adat tapian raya bangunan/nacar

Dalam kenyataannya upa-upa ini ada beberapa macam yaitu, Pira Ni Manuk (telur ayam), garam, nasi, manuk (ayam), hambeng (kambing), dan Horbo (kerbau), tergantung kemampuan mereka, tetapi jika mereka memilih, telur ayam, ayam, kambing mereka tidak bisa mengundang raja-raja untuk menghadiri acara upa-upa, tetapi jika mereka sanggup memotong kerbau mereka berhak memanggil raja-raja untuk menghadiri acara upa-upa.

Kedua pengantin akan didudukkan di atas tikar nadihamdi, didepan mereka sudah tersedia balai nasi, itak godang dan kepala kerbau, dimana yang membuat balai nasi ini adalah Naposo Bulung dan Nauli Bulung (muda-mudi), alasan kenapa mereka yang membuatnya karena ini merupakan perpisahan terakhir terhadap temannya yang akan melanjutkan kehidupan berumah tangga.

(44)

Naposo bulung dan Nauli bulung akan membuat kenang-kenangan mereka selama masih remaja, mereka akan membuat hiasan-hiasan yang mengingatkan pada masa-masa mereka bermain seperti gambar bunga dan burung yang diukir. Didalam balai nasi ini terdapat sebatang pohon pisang, dan akan dihiasi dengan pelepah kelapa, disampingnya telur, ayam, sipulut yang di pohul (digenggam) yang berwarna warni dan dilapisi dengan abit godang. Setelah masuk ke dalam rumah, semua yang hadir akan duduk melingkar, ditengah-tengah dari juluan duduklah kedua pengantin, sebelah kanan mereka duduk kaum ibu dari ahli bait dan sebelah kiri mereka duduk kaum ibu barisan anak boru, hatobangon dan bersama harajaon dengan maksud mangupah upah-upah berikutnya.

(45)

upa-diumpamakan sebagai hal-hal yang pahit dalam berumah tangga, hati ayam diumpamakan sebagai yang manis-manis dalam berumah tangga dan garam diumpamakan sebagai hal yang pahit dalam rumah tangga, sehingga nantinya kedua pengantin akan dapat membedakan mana yang pahit dan manis dan dapat memilihnya dengan bijak. Setelah kedua pengantin selesai mencicipinya kemudian kedua pengantin akan mambalos hata (membalas kata) biasanya kedua pengantin akan mengucapkan ucapan terima kasih atas doa dan nasehat-nasehatnya.

Anak boru yang bertugas membawakan acara, demi suksesnya acara upah-upah ini, semua yang memberikan kata-kata nasehat selalu diiringi umpama-umpama dan pantun-pantun yang enak didengar sehubungan dengan upah-upah itu. “terimalah tulang siri ini, terimalah tulang burangir sirara huduk sibontar adop-adop sataon sora malos” sirih kami suguhkan pada saat naiknya matahari di pagi ini, mudah-mudahan bertambah tuah kalian, mudah rezeki dan hendaknya selalu mendapat lindungan dari Yang Maha Kuasa. Pagi ini kalian di upah-upah melaksanakan apa yang terniat dalam hati kami, karena senangnya hati maka niat yang sudah begitu lama itu dilaksanakan pada hari ini, jadi sekarang yang menyampaikan kata upa-upa adalah Suhut Habolonan dalam hal ini Ibu Kandung pengantin laki-laki. Menurut Sutan Nalobi biasanya yang mereka ucapkan adalah “ baen madung mulak hamu amang sian tapian raya bangunan mudah-mudahan

(46)

kalian dari tapian raya bangunan, mudah-mudahan maroban dame hamu amang inang”.

Foto 15 Mandokkon hata (menyampaikan kata) kepada kedua pengantin Sumber : peneliti

Adapun isi dari balai nasi adalah sipulut yang pohul (digenggam) dan diberi warna, warna yang biasanya adalah merah, kuning, putih, telur, daging tabur-tabur, garam

(47)

Tolor (telur) disebut juga tolor nadihobolan dimana maksudnya supaya kebal dan kuat tondi rap kesehatan kedua pengantin (telur yang digunakan adalah telur yang sudah matang). Daging tabur-tabur maksudnya martabur do koum di jae rap dijulu (bertabur saudara-saudara di kiri dan kanan ).

Kepala kerbau diletakkan di diatas anduri dilapisi bulung ujung (daun ujung) yang terbuat dari daun pisang, maksud dari bulung ujung yaitu bulung ujung mamarujung si ulaihon i tunapade (diharapkan kedua pengantin mempunyai ujung kehidupan yang baik), anduri agar kedua pengantin yang diupah-upah aso malo mamisahkon napade rap nasopade (agar dapat memisahkan yang baik-baik dan yang tidak baik). Dalam upa-upa ini tidak diletakkan Abit Godang, sebab Abit Godang diparundung-undung di las ni ari, dipargobak-gobak di ngali ni ari, maksudnya adalah abit godang sudah dipakai dalam manortor sehingga ketika mangupa-upa tidak diikutkan.

Itak godang ini terdiri dari dua, yaitu itak godang daboru (perempuan) dan itak godang laklai (laki-laki), dimana jika itak godang laki-laki terdapat dua telur di dalamnya sedangkan itak godang perempuan terdapat satu telur didalamnya, dari bentuk juga berbeda, itak godang perempuan lebih kecil dibandingkan itak godang laki-laki.

(48)

Selain itu, disekitar upa-upa atau pangupa juga diletakkan yang lainnya, seperti itak ratusan (itak ratusan) dimana lebih kecil dibanding dengan itak godang, dimana maksud dari itak ratusan ini adalah, memberitahukan kepada pengantin perempuan bahwa saudara-saudara kita ratusan (banyak), kita banyak sekeluarga, selain itak ratusan juga terdapat simanis (wajit) dimana maksudnya diharapkan nantinya perkataan-perkataan yang keluar dari mulut kedua pengantin manis-manis, dan perilaku mereka juga manis, selain itu juga terdapat sasagun, dimana maksudnya tidak boleh ribut, ketika ada masalah mereka akan diam.

Juga terdapat peti-peti, dimana maksudnya momosan ni dong sippanan na soada artinya ketika ada masalah tidak boleh langsung diberitahukan kepada orang lain, harus disimpan dulu dalam hati, peti-peti ini diibaratkan hati, jadi ketika ada masalah, masalah tersebut akan disimpan di dalam peti-peti tersebut. kemudian pakean sasalin (pakaian satu stel) artinya salin sian halak nadua tolu, dalam berpakaian di dalam masyarakat tidak beda dengan orang lain, jangan beda sendiri berpakaiannya, anggiat mardakka mardupang (maranak marboru).

(49)

4.3 Peralatan dan Perlengkapan 4.3.1 Mas Kawin

Mas kawin adalah harta yang diberikan oleh pihak mempelai laki-laki (atau keluarganya) kepada mempelai perempuan (atau keluarga dari mempelai perempuan) pada saat pernikahan. istilah yang sama pula digunakan sebaliknya bila pemberi mahar adalah pihak keluarga atau mempelai perempuan. Secara antropologi, mahar seringkali dijelaskan sebagai bentuk lain dari transaksi jual beli sebagai kompensasi atas kerugian yang diderita pihak keluarga perempuan karena kehilangan beberapa faktor pendukung dalam keluarga seperti kehilangan tenaga kerja dan berkurangnya tingkat fertilas dalam kelompok.

Dalam masyarakat Angkola, mahar sudah termasuk di dalam boli, dimana dalam boli pengantin perempuan akan mendapatkan gelang dan kalung yang terbuat dari emas. Tetapi ketika akad nikah dilakukan, gelang dan kalung tersebut tidak menjadi mahar atau mas kawin. Mereka biasa menggantinya dengan seperangkat peralatan sholat sebagai mahar atau mas kawin

4.3.2 Pohon Pisang

Disetiap acara pernikahan adat Angkola, didepan rumah selalu ditanami pohon pisang sebanyak 2 (dua) buah disamping kiri dan kanan depan rumah. Dan digantungkan tikar diatasnya dengan tulisan “ Horas Tondi Madingin Pir Tondi Matogu” yang mempunyai makna “selamatlah tondi dalam keadaan

dingin/sejuk/nyaman, keraslah tondi semakin teguh bersatu dengan badan”,

(50)

yang akan mereka hadapi ke depannya, selain itu, pohon pisang juga pertanda bahwa yang didalam rumah sudah ada yang menikah.

Pohon pisang yang digunakan juga tidak sembarangan, biasanya pisang yang digunakan adalah pisang Sitabar. Pohon pisang yang digunakan juga masih muda. Alasan kenapa pisang sitabar yang dipilih untuk ditanam, sebab orang-orang dulu percaya bahwa pisang sitabar ini mampu menangkal begu-begu (makhluk halus), masuk kedalam rumah dan selalu membawa dingin bagi penghuni rumah, sebab orang-orang dulu masih menyembah begu.

Menurut Sutan Nalobi: Tujuan ditanamnya pohon pisang untuk menangkal makhluk halus masuk ke rumah, sehingga ketika pengantin masuk rumah, hal-hal yang baik yang mereka bawa dan meninggalkan hal-hal yang buruk diluar, kenapa pohon pisang ditanam dua karena itu di ibaratkan seperti pintu, jadi apa-apa saja yang ingin masuk ke dalam rumah, dia harus masuk dari pintu itu. Oh iya, pisang yang digunakan adalah pisang sitabar, tidak boleh pisang yang lain, sebab pisang sitabar yang bisa menangkal makhluk-makhluk halus, dan pohon pisang yang digunakan masih muda.

Disekitar pohon pisang yang ditanam juga terdapat dahan pohon haruaya baringin, mare-mare dan sanggar. Maksudnya diharapkan semua saudara-saudara tidak pergi diharapkan semua membawa kedamaian, daun beringin bermakna supaya yang dipestakan itu nantinya seperti pohon beringin hendaknya, melindungi atau rendah hati.

(51)

makhluk-makhluk halus, dan pohon pisang yang digunakan masih muda.

Kenapa ada sanggar dan haruaya diikat di pohon pisang, itu diibaratkan seperti hubungan yang saling erat dan menyatu dan kalau sanggar dan haruaya itu sarsar (terpisah) maka ditakutkan hubungannya mereka juga akan renggang bahkan terpisah

Selain ditanam pelepah pisang juga diletakkan di depan pintu rumah, ketika kedua pengantin akan memasuki rumah, mereka akan disampak ( dibuang) beras ke atas sehingga mengenai kepala mereka dan menyebutkan kata “horas”, kemudian kedua pengantin akan menginjak pelepah pisang tersebut, dimana kaki sebelah kanan yang pertama pijak baru kemudian dilanjutkan kaki kiri. Dimana artinya adalah semoga kedua pengantin membawa berkah, rejeki dan kebahagian bagi yang punya rumah, sebab masyarakat percaya jika memijak pelepah pisang kedua pengantin akan membawa “hadinginon” (penyejuk) untuk yang punya rumah.

Foto 16 pohon pisang yang ditanam di depan rumah Sumber : Peneliti

4.3.3 Lampu Teplok

(52)

meninggalkan rumah, rombongan akan membawa lampu teplok yang berukuran kecil dan dalam keadaan menyala, masyarakat percaya apabila lampu ini mati maka pernikahan mereka tidak akan langgeng tetapi apabila lampu teplok ini terus hidup sampai di rumah pengantin laki-laki maka pernikahan mereka akan langgeng.

4.3.4 Lembu

Lembu dalam adat Angkola tidak termasuk dalam upa-upa, tetapi lembu tetap digunakan di semua adat Angkola. Dalam adat Angkola lembu disebut juga juhut pardagingan (daging perdagingan), dimana lembu digunakan sebagai perdagingan dalam adat Angkola, daging lembu akan dimasak dan dijadikan sebagai makanan bagi tamu yang datang.

Sehari sebelum acara adat perkawinan dilaksanakan, orang tua pihak laki-laki sudah membeli seekor lembu. Kemudian pada pagi hari, lembu tersebut akan disembeli atau dipotong. Setelah selesai, kemudian mereka akan memotong-motong lembu tersebut, sebelumnya mereka sudah mengembangkan ambal yang berguna sebagai tempat daging lembu.

(53)

Setelah selesai diiris-iris kecil, kemudian mereka akan memberikan kepada pihak perempuan untuk mencuci daging tersebut dan memasaknya. Sedangkan pihak laki-laki akan membantu mengambil kayu bakar.

Daging lembu ini juga dimasak khusus untuk makanan para raja-raja, masyarakat biasa menyebutnya dengan “anyang babiat”. Anyang babiat dibuat tanpa di masak, daging lembu tersebut dicuci bersih kemudian ditambah garam dan jeruk nipis, kemudian ditunggu sampai bumbu meresap. Cara pemasakan ini sama dengan masakan khas batak Toba yaitu makanan naniura yang terbuat dari ikan yang mentah, yang menjadi perbedaannya hanya bahan utamanya saja.

4.3.5 Bendera

Bendera adalah lambang yang mengandung falsafah kehidupan, jiwa, semangat, darah perjuangan, cita-cita dari seseorang, sekelompok, atau satu-satunya bangsa. Untuk ini para nenek moyang kita terdahulupun tidak lepas dari perlambang ini. Malah dari merekalah ini kita tiru dan warisi.

(54)

Foto 17 Bendera yang dipasang di rumah pesta Sumber : Peneliti

Karena pada masa dahulupun perang antar desa sering terjadi, jadi masing-masing desa atau huta mempunyai semangat juang dan pendirian. Semangat juang dan pendirianini, diperlambangkan dengan bendera sesuai dengan corak dan warna sesuatu benda atau kain. Perlambang-perlambang ada yang disebut tonggo, panji-panji, spanduk, vandel, simbol, lencana dan lain-lain.

Demikian juga dalam adat nenek moyang kita, para kelompok yang bertanggung jawab dalam tugas membuat sesuatu bendera tugas sebagai tanda pertanggung jawaban. Raja mempunyai bendera, sebagai pemimpin dan penguasa, demikian yang lain-lain.

Apabila ada bendera yang tidak berdiri dalam suatu horja godang berarti ada kelompok yang tidak setuju dalam melaksanakan upacara horja itu.

1. Bendera Si Ara Rabe

(55)

Panusunan Bulung, sama-sama mau melaksanakan tugas upacara horja godang baik siluluton maupun siriaon.

Bendera sia rabe ini dipasang atau didirikan dihalaman rumah suhut bolon atau dihalaman sopo godang, yaitu ditempat raja-raja bersidang atau berkumpul.

2. Bendera Gaja Manunggal

Bendera ini terdiri dari dua warna, yaitu putih dan hitam. Memperlambangkan keturunan raja atau anak mata. Walaupun ia orang pendatang pada suatu desa, namun menurut sejarahnya ia adalah keturunan raja atau anak mata yang boleh mendirikan adat. Dia adalah orang yang berhak dan mampu mendirikan adat, dalam istilah bahwa dia telah “manutung hudon”. Bendera ini didirikan di halaman Suhut. Pada zaman dahulu para raja-raja dan hatobangon sangat teliti mengikuti sejarah orang-orang pendatang kedalam desa. Karena tanpa keturunan raja atau anak mata, tidak dapat mendirikan horja. Mereka selalu meneliti keturunan orang-orang yang datang dan ingin tinggal di desa, sehingga masa lalu ada desa khusus yang didiami orang-orang yang tidak dapat mendirikan atau mengadakan horja godang.

3. Kuning, Naso Martihas So Marlandong

Bendera ini terdiri dari satu warna yaitu warna kuning emas (na gorsing). Memperlambangkan kebangsawanan dan kehartawanan serta keturunan raja-raja yang tidak pernah ketinggalan di adat yang disebut “naso martihas so marlandong”, artinya tidak pernah cacat dan tidak

(56)

Didirikan di depan rumah suhut dan juga memperlambangkan “partalaga na so hiang, parmual na so sude”. Kekayaan atau

hamoraon adalah suatu kebanggaan dalam adat karena orang yang cukup harta dan bangsawan yang dapat mendirikan adat secara sempurna, yang disebut sanggup “mambulungi”, karena ada juga keturunan raja yang miskin sehingga adatnya sering tertinggal tidak dapat ditutupi karena tidak ada harta yang banyak untuk membiayainya dan ada pula orang yang cukup kaya tetapi bukan keturunan raja atau anak mata untuk beradat harus lebih dahulu melalui beberapa tahap. 4. Ulok Tudung Api

Bendera ini terdiri dari tiga warna yaitu kuning, merah, hitam. Bendera ini didirikan dihalaman kahanggi sianggian (paling kecil) dari Suhut. Ini memperlambangkan bahwa satu keturunan darah dengan Suhut, satu tingkat sosial budaya serta satu pertanggung jawaban. Diperlambangkan dengan ular tudung api, bahwa ular ini tidak banyak bicara dan tingkah tetapi sangat cepat mematuk apabilan tersinggung. Dalam hal ini, apabila abangnya atau suhut mendapat cemoohan atau cacian, si adik lebih cepat bertindak untuk memberikan reaksi atau perlawanan, lebih mudah timbul emosinya untuk membela harga diri atau nama baik dari abangnya atau suhut.

(57)

tudung api diam-diam tetapi bila tersinggung segera mematuk dan sangat berbisa

5. Pedang

Bendera ini terdiri dari empat warna, yaitu merah, hijau, hitam, putih. Diperlambangkan kepada anak boru, dimana warna merah merupakan hubungan darah dari pihak perempuan yang timbul karena perkawinan dan warna hijau adalah merupakan kesegaran yang tetap, dimana anak boru selalu siap untuk melaksanakan tugas dari mora, warna hitam adalah simbol tanggung jawab dari anak boru untuk melaksanakan tugas yang diberikan mora, sedangkan warna putih pada mata pedang memperlambangkan ketajaman atau kecekatan anak boru untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab.

Diperlambangkan dengan pedang terhunus, adalah “anak boru sitas -tas nambur”, anak boru doldolan. Bendera ini didirikan dimuka rumah

anak boru dan ini merupakan pertanda bahwa anak boru didesa itu, itulah rumahnya, dirumah itulah anak boru berkumpul.

6. Ulok Naga Manolon

Bendera ini terdiri dari berbagai macam warna yang didasari dua warna pokok, yaitu kuning dan merah, sedangkan pada badan ular naga terdiri berbagai macam warna sisik.

(58)

dan warna kuning menunjukkan hubungan tingkat kebangsawanan yang sama, warna sisik yang terdiri dari berbagai macam warna, adalah merupakan perlambang bagi yang tertua atau siakkaan yang utama menerima berbagai corak permasalahan baik yang baik maupun yang buruk. Demikian juga berbagai tugas dan tanggung jawab, andai kata si adik yang salah namun si abang selalu lebih dahulu mendapat sasaran karena yang tertua adalah merupakan guru yang harus menuturi yang termuda atau sianggian.

7. Tombak

Bendera ini terdiri dari tiga warna, yaitu hitam, putih, hijau. Bendera ini didirikan dirumah pisang raut. Agar semua pisang raut mengetahui rumah tempat mereka berkumpul (onjolan). Warna hitam adalah perkaitan hubungan dari anak boru, dari anak boru inilah timbul tugas dan tanggung jawab kepada pisang raut. Dari anak boru inilah timbul ikatan keluarga kepada pisang raut, sedangkan warna putih memperlambangkan ketajaman tombak, ketangkasan pisang raut melaksanakan tugas, warna hijau memperlambangkan tetap segar atau tetap hijau dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab yang diberikan oleh mora. Mora dari pisang raut adalah anak boru dari suhut dan tanggung jawab atau tugas datang melalui anak boru kepada suhut atau mora ni mora dari pisang raut.

8. Gunting

(59)

atau dihalaman orang kaya bayo-bayo Luat, karena didalam satu Luat atau desa atau huta hanya ada satu orang kaya dan orang kaya adalah anak boru dari Raja Panusunan Bulung atau Raja Pamusuk. Warna merah pada bendera ini memperlambangkan hubungan darah sembarang suhut, warna kuning memperlambangkan kebangsawanan atau tingkat sosial. Orang kaya pada umumnya adalah berasal dari keturunan bangsawanan yang diangkat oleh seorang raja menjadi orang kaya di Luat atau di desa atau huta.

Gunting memperlambangkan kebijakan dalam segala hal yang terhubung dengan adat. Dengan istilah “Na Malo Mangalipat Dohot Na Malo Manggunting”. Na malo patama sanggam dohot suring.

Dengan berdirinya bendera ini dihalaman orang kaya semua orang tahu kepada siapa tempat bertanya terlebih dahulu mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan adat.

9. Lipan-lipan

(60)

yang beruas-ruas dengan kaki yang banyak mempermudah gerakan-gerakan badan. Ini diperlambangkan kepada kekuasaan kepala kampung pada zaman jajahan Belanda.

Dimana kepala kampung pada dasarnya mempunyai kekuasaan diktator, semua rakyat harus patuh kepadanya. Bila rakyat ada yang tidak patuh, dia akan marah, marahnya akan membawa akibat kebelakang hari.

Bendera ini didirikan dihalaman rumah kepala kampung. Jadi, perlambang banyak kaki berarti banyak yang dapat disuruh dan harus rajin tidak boleh mengelak, tetapi pada belakangan ini, orang ada juga yang memperlambangkan lipan yang banyak kaki ini adalah bendera untuk anak boru yang rajin disuruh melaksanakan tugas, padahal anak boru sudah jelas sitas-sitas nambur yang diperlambang dengan gambar pedang.

Lipan-lipan yang warnanya mirip dengan warna lipan merah, kuning, hitam, dan sedikit putih adalah merupakan perlambang kekuasaan kebangsawanan yang bertanggung jawab.

10.Dalihan Na Tolu (Hatobangon)

(61)

merupakan marga anggota DPR dalam lembaga negara tetapi kepemimpinannya tetap pada raja, walaupun dasar warnanya sama dengan bendera sia ra rabe, namun bendera Dalihan Na Tolu tidak pakai rambu-rambu karena tingkat masyarakatnya adalah desa bukan haruaya mardomu bulung. Bendera ini dipasang atau didirikan dihalaman salah satu halaman hatobangon atau halaman suhut sihabolonan.

11.Anduri

Bendera ini adalah tampi yang digantung, bentuknya berempat segi. Tampi ini dapat membersihkan beras atau padi dan dapat pula mengkipas serta melambangkan untuk memanggil yang jauh. Bahannya terdiri dari bambu yang dianyam dan rotan. Ini adalah merupakan perlambang untuk memanggil (mangontang) halayak ramai bersama-sama melaksanakan horja godang “manghiap dengan na di jae dohot na di julu”.

(62)

Hasil dari pada yang ditampi umumnya sudah bersih dan dapat dimanfaatkan dengan baik. demikian sebagai perbandingan bahwa hasil dari upacara horja adalah bersih dan bermanfaat terutama kepada suhut bolon bersaudara/famili.

12.Gaja Manusun

Bendera ini terdiri dari dua warna, yaitu putih dan hitam. Kedua warna adalah perlambang kekuasaan bagi seorang raja yang menentukan “hitam atau putih”. Dimana gambar gajah sebagai perlambang raja

dan hitam sebagai landasan kekuasaan raja yang berkuasa.

Gambaran gajah putih ini banyaknya sampai sembilan karena angka yang paling tinggi adalah angka sembilan, tidak ada lagi angka satuan diatasnya. Perlambang kekuasaan raja yang paling tinggi, tidak ada raja yang lebih kuasa lagi dari dia, jadi perlambang bagi kekuasaan Raja Panusunan Bulung yaitu raja yang paling tinggi kekuasaannya. Jadi bendera ini didirikan atau dipasang dihalaman Raja Panusunan Bulung.

Selain dari pada Raja Panusunan Bulung yang berhak memakainya juga adalah kahanggi sedarahnya yang mereka sama-sama satu keturunan nenek yang memegang tampuk kekuasaan adat di Luat atau daerah itu. Karena mereka adalah sama-sama punya hak menjadi Raja Panusunan Bulung.

13.Sende Jantan

(63)

putih serta mempunyai rambu-rambu. Dekorasi pengaturan warna pada kain membuat lebih bersemangat dan lebih ramai. Yang satu sama lain saling berkait dan membentuk ruang yang berkotak-kotak yang seimbang, sejajar baik arah kekiri maupun kekanan demikian juga keatas dan kebawah kemudian bahagian pinggir sepanjang kain mempunyai bis.

Menggambarkan atau memperlambangkan dalam ragam-ragam kehidupan yang terdiri dari berbagai kelompok manusia yang sama bentuk dan pembawaan adatnya masing-masing dengan penuh semangat sebagai seorang jantan, akan mempertahankan dan menjunjung tinggi adat budayanya. Dua warna pokok merah dan putih yang kedua-duanya ini menggambarkan semangat yang berdasarkan keadilan dan kebenaran yang tak pernah kendor. Kedua ujung kain mempunyai rambu-rambu yang teratur dan tersusun berkat kepemimpinan raja yang dapat mengatur dan menyusun.

Bendera ini dipasang atau didirikan dihalaman suhut bolon, perlambang keturunan raja yang selalu teguh dalam tata krama adat budaya.

14.Naga Manusun atau Naga Nabontar

(64)

longsor dan sebagainya. Dia dapat merubah situasi alam, akibat tingkahnya atau seperti akibat longsor atau banjir. Maka diperlambangkan dia sebagai sumber panutur dan mempunyai kekuatan magic kepada sasarannya. Sehingga bendera ini diperlambangkan untuk bendera mora dongan satahi dalam desa. Dimana mora ini sebagai sumber suci yang putih bersih memberikan tuntunan atau nasihat kepada anak boru yang selalu patuh dan siap siang dan malam menerima perintah maupun tuntunan dari moranya. Bendera ular naga, ada yang membuat gambar ular naga yang bersusun lebih dari satu dan ada yang membuat gambar ular naganya hanya satu. Naga manusun hanya sebagai perlambang pengatur atau sumber tuntunan atau manuturi. Sedang gambar dengan hanya satu seekor ular naga besar memperlambangkan pertanggung jawaban sebagai yang tertua atau yang dituakan yang pantas memberikan tuntunan. Bendera ini dipasang atau didirikan di halaman rumah mora dongan satahi. 15.Bendera Naposo Bulung

(65)

Mereka pemuda yang menjadi tumpuan harapan sebagai generasi penerus yang mempunyai tenaga yang kuat yang dapat melaksanakan tugas-tugas yang berat walaukapan dan dimana saja.

Demikian memang didalam masyarakat sampai sekarang apabila musyawarah sudah selesai maka para orang tua memberikan atau menyerahkan beberapa tugas terhadap mereka, seperti mangundang (marontang, mendirikan taratak, mempersiapkan tungku tempat bermasak, meladeni makanan tamu-tamu dan lain-lain). Demikian juga dengan pemudinya, mencari daun pisang, mencuci beras, mempersiapkan segala macam bumbu, mencuci piring dan lain-lain. Bendera ini dipasang atau didirikan dihalaman suhut bolon atau dihalaman sopo godang.

16.Bendera Nauli Bulung

Bendera ini disebut juga bendera Abang-abang Nauli, terdiri dari dua warna yaitu putih dan hijau. Sebenarnya Naposo dan Nauli Bulung itu adalah satu kesatuan yang lazim disebut dengan Naposo Bulung. Mereka selalu dalam satu kerja sama dalam upacara adat seperti untuk Nauli Bulung mencuci beras, mempersiapkan bumbu masakan, mencuci piring dan lain-lain. Dan warna hijau adalah perlambang bahwa mereka masih hijau dalam segalanya dan putih sifat hati mereka yang dapat menerima segala bimbingan dari para orang tua.

Gambar

Tabel 2 daftar boli  Sumber masyarakat Kecamatan Halongonan
Tabel 1 Jumlah Penduduk Kecamatan HalongonanSumber : kantor camat halongonan

Referensi

Dokumen terkait

Beberapa hari (2 atau 3 hari) sebelum pesta pakaddei dilaksanakan, kedua pengantin (suami istri) harus sudah berada di rumah orangtua pihak wanita/istri yang diantar oleh 2 atau

sejumlah uang yang diberikan oleh pihak mempelai laki-laki ke pada pihak perempuan pada saat anak daro pergi manjalang atau mengunjungi rumah mertua untuk pertama