• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menongkah Perubahan Lingkungan, Budaya, dan Penghidupan Suku Duano di Muara Indragiri, Riau

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Menongkah Perubahan Lingkungan, Budaya, dan Penghidupan Suku Duano di Muara Indragiri, Riau"

Copied!
214
0
0

Teks penuh

(1)

MENONGKAH

: PERUBAHAN LINGKUNGAN, BUDAYA, DAN

PENGHIDUPAN SUKU DUANO DI MUARA INDRAGIRI, RIAU

VIKTOR AMRIFO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Menongkah: Perubahan Lingkungan, Budaya, dan Penghidupan Suku Duano di Muara Indragiri, Riau adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, November 2014

(4)
(5)

VIKTOR AMRIFO. Menongkah: Perubahan Lingkungan, Budaya, dan Penghidupan Suku Duano di Muara Indragiri, Riau. Dibimbing oleh ARYA HADI DHARMAWAN, SATYAWAN SUNITO, dan ENDRIATMO SOETARTO.

Perubahan sistem penghidupan berkaitan dengan perubahan lingkungan dan struktur sosial. Perubahan yang terjadi pada sistem penghidupan masyarakat lokal dapat dilihat dengan menulusuri budaya bernafkah yang dijalankan dan berkembang pada berbagai rezim penguasaan/pengelolaan sumberdaya alam, serta kondisi lingkungan (biofisik dan sosial) pada masa berbagai rezim. Budaya bernafkah yang tumbuh dan berkembang atau sistem penghidupan yang dipertahankan oleh komunitas lokal dapat dilihat dengan menelusuri basis-basis nafkah, strategi nafkah pada aras komunitas dan rumah tangga, serta tindakan ekonomi aktor pada aras individu. Ekonomi menongkah yang dijalankan oleh Suku Duano di Riau merupakan salah satu cerminan perubahan sistem penghidupan pedesaan ditengah perubahan lingkungan, baik perubahan ekologikal maupun sosiokultural. Ketahanan nafkah dengan basis ekonomi menongkah dapat diukur melalui kemampuan komunitas dalam melindungi keberlanjutan penghidupan melalui pengaturan produksi, distribusi, dan konsumsi pada semua aras kehidupan (komunitas, rumah tangga dan individu), khususnya dalam pemanfaatan dan pendistribusian kerang darah yang tersedia di ekosistem Muara Indragiri.

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menjelaskan secara mendalam latar sosio-historis dan sosio-ekologis adaptasi Suku Duano pada lingkungan bio-fisik; (2) menganalisis perubahan lingkungan dan budaya bernafkah Suku Duano sebagai akibat dari perubahan struktur sosial; (3) menganalisis perubahan sistem penghidupan, peran ekonomi menongkah, dan keberlanjutan nafkah Suku Duano; (4) membuat suatu analogi teoritis tentang perubahan orientasi tindakan ekonomi dan pembentukan rasionalitas aktor dalam aktivitas menongkah.

Keyakinan mendasar atas realitas, hubungan antara peneliti dan tineliti, serta metodologi yang memandu penelitian ini adalah paradigma konstruktivisme. Strategi penelitian yang digunakan adalah studi kasus, fenomenologis, dan historical sociology (metoda biografis, metoda historis). Pengumpulan data primer dilakukan dengan teknik observasi berperan-serta (participant-observation) dan wawancara (interview), data sekunder dikumpulkan dengan teknik studi literatur/dokumen. Analisis dan interpretasi data didasarkan pada dua teori utama yaitu teori ekologi budaya dari Julian Steward dan teori tindakan dan rasionalitas ekonomi dari Max Weber.

(6)

Adaptasi Suku Duano terhadap perubahan lingkungan memiliki relasi dengan faktor eksternal (aktivitas negara dan aktivitas pasar), sehingga disebut sebagai adaptasi semi-natural. Budaya bernafkah Suku Duano yang tumbuh dan berkembang berhubungan timbal balik dengan sistem penghidupan yang berlangsung pada aras komunitas, rumah tangga dan individu.

Sistem penghidupan Suku Duano dibangun berdasarkan pilihan kombinasi sumberdaya nafkah yang paling mampu mencapai tujuan-tujuan pemenuhan kebutuhan komunitas, rumah tangga, dan individu. Sistem penghidupan yang dikembangkan oleh Suku Duano agar dapat bertahan dalam mengatasi kerentanan-kerentanan yang hadir di ekosistem muara, adalah berbasiskan ekonomi menongkah. Ekonomi menongkah adalah pengaturan sumberdaya rumah tangga dan komunitas dalam memanfaatkan sumberdaya kerang darah (Anadara granosa), melalui aktivitas produksi dan pemasarannya. Kombinasi sumberdaya yang dipilih oleh Suku Duano mengalami perubahan dari kombinasi yang sangat mengandalkan natural kapital ke kombinasi yang mengandalkan finansial kapital. Strategi nafkah komunitas Suku Duano pada masa pra kemerdekaan lebih diarahkan pada pegaturan teknologi dan organisasi sosial yang dapat menjamin keamanan produksi dan konsumsi bersama, sedangkan pada masa orde baru dan orde reformasi semakin mempertimbangkan pengamanan dan perlindungan kondisi natural kapital dan fisikal kapital sehingga tetap dapat diakses dan dimanfaatkan oleh seluruh anggota komunitas.

Strategi nafkah rumah tangga Suku Duano pada masa pra kemerdekaan sampai awal orde lama menyatu dengan strategi nafkah komunitas yang terfokus pada pengamanan produksi dan konsumsi bersama, sedangkan pada masa akhir orde lama dan seterusnya berbeda antar rumah tangga (tergantung strata). Rumah tangga Suku Duano starata bawah memposisikan menongkah sebagai aktivitas nafkah utama yang dikombinasikan dengan aktivitas nafkah lainnya yang berbasis perairan, sedangkan rumah tangga strata menengah dan atas melakukan aktivitas nafkah yang memasarkan kerang darah (hasil dari aktivitas menongkah). Rumah tangga strata atas mengembangkan strategi nafkah untuk tujuan akumulasi modal pada bidang-bidang usaha yang berbasiskan non perairan, sedangkan rumah tangga strata menengah mengembangkan strategi konsolidasi pada bidang usaha yang berbasiskan perairan.

Proses pelembagaan menongkah pada aras komunitas dan proses yang berlangsung dalam strategi nafkah rumah tangga, menjadi konteks bagi tindakan ekonomi aktor (individu duano) dalam melakukan aktivitas nafkah. Orientasi tindakan aktor (individu) dari rumah tangga strata bawah didominasi oleh orientasi subsistensi dengan basis rasionalitas nilai yang kuat, namun tidak mempertentangkannya dengan rasionalisme pasar. Orientasi tindakan aktor dari rumah tangga strata menengah dan strata atas didominasi oleh orientasi komersial dengan basis rasionalitas formal yang kuat, namun tidak menghilangkan pertimbangan-pertimbangan nilai, kebiasaan, dan tradisi ke-Melayu-an. Orientasi tindakan ekonomi Suku Duano merupakan tindakan yang ambigu (ambiguous rational action).

(7)

VIKTOR AMRIFO. Menongkah: Environmental Change, Culture, and Livelihood of Duano Tribe in Muara Indragiri, Riau. Supervised by ARYA HADI DHARMAWAN, SATYAWAN SUNITO, and ENDRIATMO SOETARTO.

Rural livelihood system change related to social structure and environmental change. Local community livelihood system can be look by livelihood culture and environment condition on different regime of natural resources control. Livelihood culture or livelihood system of the local community can be understood by 3 aspects, i.e., livelihood basis, livelihood strategy on the community level and household level, and economic action on individual level. Menongkah economy that has been doing by Duano Tribe in Riau Province reflected the relation among rural livelihood system change and environmental change (ecological change and sociocultural change). Menongkah based livelihood securities can be analyzed by the livelihood sustainability and vulnerability, especially in production, distribution, and consumption arrangement (community level, household level, individual level).

This research has four aims, i.e., (1) Giving a thick description for socio-hystorical and socio-ecological setting of Duano Tribes adaptation in bio-physical environment; (2) Giving an analysis about the change of environment and Duano livelihood culture that was caused by agrarian structure change; (3) Giving an analysis about livelihood system change, the role of menongkah economy, and livelihood sustainability of Duano Tribes; (4) Discover a teoritical analogy about the change of economic action and rationility actor when do menongkah activity.

This research used constructivism paradigm with three research strategy, i.e., case study, phenomenologist, and historical sociology. Data collecting used three technique, that are participant observation, interview, and litterature study. I used three main theory for analyzing and interpret the data that was collected, i.e., cultural ecology theory by Julian Steward, economics action and rationality theory by Max Weber, and embeddedness theory by Max Granovetter.

Duano Tribe has been experiencing some livelihood place changes, ecological change, and social change on different regime of natural resources control (pre-independency, old order, new order, and reformation order). The implications of those changes were adjusting on livelihood arrangement and the emergence of new livelihood culture. Livelihood culture of Duano Tribe that has been emerging untill now is basin estuarin livelihood activity with some characteristics, i.e., 1) it has been exploiting fishery resources (esp cockle), 2) a sedentary life, 3) adaptation of new technology and new arrangement of social organization, and demography. The process of adaptation was effected by state and market force, it can be called as oppresive adaptation. The emergence of Duano livelihood culture interrelated to livelihood system that has been going on community, household, and individual level.

(8)

mudflats. Livelihood resources combination (natural capital, physical capital, human capital, social capital, finansial capital) of Duano has been changing from natural capital dominant to financial capital dominant. Duano livelihood strategy in community level before independency era was directed for technology and social organization arragement, so that share production and consumption was more secure and more protect. And then, Duano livelihood strategy among new and reformation order was directed for securing and protecting natural capital and physical capital, so that all community member could acces and used it.

Duano household strategy among pre indepedency and old order was like strategy in community level which focused on securing and protecting share production and consumption, and the strategy was different among household stratum after the end of old order. Low stratum Duano household placed menongkah as main livelihood activity that was combined with sideline livelihood activity based on aquatic resources, in the meantime middle stratum Duano household and upper placed cockle marketing based livelihood as their main livelihood activity. Upper stratum Duano household developed accumulation strategy with non aquatic resources based sideline livelihood activity, while middle stratum developed consolidation strategy with aquatic resources based sideline livelihood activity.

Institutionalization of menongkah on community level, subsitence livelihood activity (low stratum household), and commercially livelihood activity (middle stratum and upper stratum household) was a context of individual economic action. Economic action of low stratum household member was more subsistence oriented based on value rationallity dominant, but it was not contrasted with market rationalism. Economic action of middle stratum and upper stratum household member was more commercial oriented based on formal rationallity dominant, but it still used substantive judgement (value, folkways, and malay tradition). The orientation of economic action of Duano Tribes is ambiguous rational action.

(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(10)
(11)

PENGHIDUPAN SUKU DUANO DI MUARA INDRAGIRI, RIAU

VIKTOR AMRIFO

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

Pada

Program Studi Sosiologi Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)
(13)

Penghidupan Suku Duano di Muara Indragiri, Riau

Nama : Viktor Amrifo

NRP : I363100061

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Arya Hadi Dharmawan, MScAgr Ketua

Drs Satyawan Sunito, PhD Prof Dr Endriatmo Soetarto, MA

Anggota Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi/Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana Sosiologi Pedesaan

Dr Ir Arya Hadi Dharmawan, MScAgr Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(14)
(15)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Penelitian tentang “Menongkah: Perubahan Lingkungan, Budaya, dan Penghidupan Suku Duano di Muara Indragiri” ini dilakukan melalui studi kasus pada Suku Duano di Provinsi Riau. Tema tersebut dipilih untuk memperoleh gambaran secara mendalam tentang latar sosio-historis dan sosio-ekologis adaptasi Suku, perubahan lingkungan dan budaya bernafkah Suku Duano, perubahan sistem penghidupan, peran ekonomi menongkah, dan ketahanan nafkah Suku Duano, serta perubahan orientasi tindakan ekonomi individu Suku Duano dalam menjalankan aktivitas nafkah.

Penulis mengucapkan terima kasih yang setingi-tingginya kepada Bapak Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M. Sc.Agr, Bapak Drs. Satyawan Sunito, Ph.D, dan Bapak Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA selaku tim pembimbing yang telah banyak memberikan pencerahan, arahan, semangat, dan saran dalam penyusunan dan penyempurnaan disertasi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih pada seluruh jajaran pimpinan IPB dan seluruh dosen IPB, khususnya Dekan Pascasarjana, Dekan FEMA, serta dosen-dosen yang mengajar pada Mayor Sosiologi Pedesaan, yang telah memberikan kesempatan bagi Penulis untuk menimba ilmu selama proses perkuliahaan maupun ujian/seminar.

Ucapan terima kasih pada Dirjend DIKTI, Rektor Universitas Riau, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UNRI, dan Ketua Jurusan SEP/Agrobisnis Perikanan UNRI yang telah memberikan izin, bea siswa, dan kemudahan selama Penulis menjalankan tugas belajar. Terima kasih pula kepada rekan-rekan dosen Universitas Riau, khususnya di Jurusan SEP/Agrobisnis Perikanan atas dukungan moral maupun material (Firman Nugroho, Lamun Bathara, Suprianto, Hazmi Arief, Afrizal Kurnia). Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih pada rekan-rekan karyasiswa pascasarjana IPB, khususnya rekan-rekan-rekan-rekan S3/S2 Mayor SPD atas diskusi keilmuan dan berbagi pengalaman selama menimba ilmu di IPB (Iyep Saiful Rahman-SPD 2010, Mohd. Obie-SPD 2010, Yunindyawati-SPD 2010, Herlina Tarigan-SPD 2010, Mirajiani-SPD 2010, Zulkarnain Umar-KMP 2010, Mohd. Ahsan S Mandra-PSL 2009, dan Martua Sihaloho-SPD 2011).

Terima kasih yang tak terkira pada keluarga besarku, keluarga Raja Arif/Misraliati dan keluarga Abdul Murad/Aijah, khususnya kepada istri (Sakdiah S.Pi) dan ketiga putraku (RM. Farras Talbi, RM. Faridz Talbi, RM. Syafiq Talbi) yang telah banyak memberikan semangat, dukungan, dan pengorbanan baik material maupun spritual.

Demikianlah, semoga disertasi ini dapat menjadi bagian kecil dari upaya pengembangan ilmu pengetahuan yang begitu luas, dan menjadi pemicu bagi penulis untuk terus meneliti/menulis.

Bogor, November 2014

(16)

Halaman

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR BOX ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 3

1.3.Tujuan Penelitan ... 6

II. KERANGKA TEORI DAN KONSEPTUAL ... 9

2.1. Perubahan Lingkungan dan Perubahan Penghidupan ... 9

2.1.1. Sosiologi Perubahan Sosial ... 9

2.1.2. Pendekatan Evolusi Multilinier dan Sosiologi Sejarah ... 12

2.1.3. Sosiologi Nafkah ... 15

2.2. Adaptasi Perubahan Lingkungan dan Sistem Penghidupan ... 19

2.2.1. Adaptasi dalam Teori Ekologi Budaya ... 19

2.2.2. Penyesuaian Pengaturan Penghidupan pada Berbagai Aras ... 22

2.3. Kapasitas Adaptif dan Ketahanan Nafkah Rumah Tangga ... 25

2.3.1. Strategi Nafkah Bertahan Hidup, Konsolidasi, dan Akumulasi Modal ... 25

2.3.2. Rasionalisasi Tindakan Ekonomi Anggota Rumah Tangga ... 27

2.4. Definisi Konseptual ... 32

2.5. Kerangka Teori ... 33

2.6. Kebaruan ... 37

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 39

3.1. Ruang Lingkup Penelitian ... 39

3.2. Paradigma dan Strategi Penelitian ... 39

3.3. Lokasi Penelitian ... 41

3.4. Subyek Kasus dan Informan ... 41

3.5. Metode Pengumpulan Data ... 43

3.6. Interpretasi dan Penyajian Data ... 43

IV. SUKU DUANO: PENGEMBARA LAUT YANG BERADAPTASI PADA EKOSISTEM MUARA ... 45

4.1. Latar Sosio-historis Suku Duano di Riau ... 45

4.1.1. Suku Pengembara Laut di Dunia ... 45

4.1.2. Suku Laut di Perairan Selat Malaka ... 48

4.1.3. Suku Duano di Indragiri Hilir ... 48

4.2. Latar Sosio-ekologis Kehidupan di Muara Indragiri ... 49

(17)

Hasil Hutan, hingga Hasil Laut ... 51

4.2.3. Pola Penghidupan Masyarakat Desa: Berbasis Perairan dan Berbasis Daratan ... 54

4.2.4. Desa Panglima Raja dan Desa Concong Luar: Gambaran Masyarakat Desa yang Sedang Berubah ... 58

V. ANALISIS PERUBAHAN LINGKUNGAN DAN PERUBAHAN BUDAYA BERNAFKAH SUKU DUANO ... 61

5.1. Perubahan Lingkungan Suku Duano ... 61

5.1.1. Tonggak-tonggak Sejarah Perubahan Lingkungan ... 61

5.1.2. Perubahan Ekologikal ... 64

5.1.3. Perubahan Sosiokultural ... 67

5.2. Tumbuhnya Budaya Bernafkah Baru ... 76

5.2.1. Original Culture Core Suku Duano ... 76

5.2.2. Effective Environment (Sumber-sumber Agraria yang Terakses) ... 80

5.2.3. Adaptasi Teknologi Baru ... 82

5.2.4. Pengaturan-pengaturan Baru ... 85

5.3. Analisis Ekonomi-Politik: Pengaruh Perubahan Struktur Agraria Terhadap Budaya Bernafkah Suku Duano ... 89

5.3.1. Pengaruh Kekuatan Negara: Berada di Lingkar Kekuasaan atau Terpinggirkan ... 89

5.3.2. Pengaruh Kekuatan Pasar: Penghidupan Berbasis Orientasi Pasar atau Penghidupan yang Berbasis Tradisi . 93 5.4. Ikhtisar: Perubahan Lingkungan, Adaptasi Semi-natural, dan Tumbuhnya Budaya Bernafkah Baru ... 94

VI. KETAHANAN NAFKAH SUKU DUANO: ANALISIS KEBERLANJUTAN DAN KERENTANAN SISTEM PENGHIDUPAN BERBASIS EKONOMI MENONGKAH ... 99

6.1. Perubahan Sistem Penghidupan Suku Duano ... 99

6.1.1. Perubahan Kombinasi Sumberdaya Nafkah ... 100

6.1.2. Perubahan Strategi Nafkah pada Aras Komunitas ... 108

6.1.3. Perubahan Strategi Nafkah pada Aras Rumah Tangga ... 116

6.1.4. Perubahan Orientasi Tindakan Ekonomi Aktor (Individu) dalam Aktivitas Nafkah ... 122

6.2. Posisi dan Peran Ekonomi Menongkah ... 134

6.2.1. Posisi Menongkah dalam Struktur Nafkah, Organisasi Sosial Nafkah, dan Budaya Bernafkah Suku Duano ... 134

6.2.2. Peran Ekonomi Menongkah pada Keberlanjutan Nafkah Dan Integrasi Sosial Suku Duano ... 140

6.3. Keberlanjutan dan Kerentanan Nafkah Suku Duano ... 141

6.3.1. Konteks Kerentanan dan Keberlanjutan Nafkah ... 141

6.3.2. Analisis Keberlanjutan Penghidupan (Sustainable Livelihood Analysis) ... 143

(18)

6.4. Refleksi Teoritis dan Posisi Aksiologis ... 146

6.5. Ikhtisar: Menongkah sebagai Basis Sistem Penghidupan Suku Duano yang Sedang Tumbuh dan Melembaga ... 149

VII. ORIENTASI TINDAKAN EKONOMI AKTOR DAN PEMBENTUKAN RASIONALITAS DALAM AKTIVITAS MENONGKAH: KONSEPTUALISASI TEORITIK ... 151

7.1. Adaptasi semi-natural dan Rasionalitas ... 151

7.1.1. Penanaman Rasionalisme Negara dan Pengaruh Rasionalisme Pasar ... 151

7.1.2. Basis Rasionalitas Suku Duano ... 152

7.1.3. Analogi Pembentukan Rasionalitas dalam Aktivitas Menongkah ... 155

7.2. Penopang Rasionalitas Ekonomi Menongkah ... 159

7.3. Orientasi Tindakan Ekonomi dan Proses Pembentukan Rasionalitas ... 161

7.3.1. Pembentukan Rasionalitas Aktor dari Rumah Tangga Strata Bawah ... 161

7.3.2. Pembentukan Rasionalitas Aktor dari Rumah Tangga Strata Menengah ... 164

7.3.3. Pembentukan Rasionalitas Aktor dari Rumah Tangga Strata Atas ... 167

7.4. Ikhtisar ... 168

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI ... 169

8.1. Kesimpulan ... 169

8.2. Implikasi ... 171

8.2.1. Teoritis ... 171

8.2.2. Kebijakan ... 172

DAFTAR PUSTAKA ... 175

(19)

Tabel Halaman 2.1. Fokus dan Asumsi dalam Tradisi Intelektual Sosiologi Perubahan

Sosial ... 10

2.2. Teori dan Konsep Utama dalam Tradisi Intelektual Sosiologi Perubahan Sosial ... 11

2.3. Teori dan Konsep yang Digunakan dalam Neo Evolusionisme ... 2.4. Perbandingan Fokus dan Asumsi antara Mazhab Bogor dan Mazhab Sussex ... 16

2.5. Perkembangan Studi Penghidupan Pedesaan ... 2.6. Teori dan Konsep yang Dihasilkan dari Studi Penghidupan Pedesaan Berdasarkan Tradisi Intelektual ... 2.7. Item-item Penting dalam Studi Aktivitas Nafkah pada Berbagai Aras . 24 2.8. Kaitan Antara Tindakan, Tipe Rasionalitas, dan Proses Mental ... 31

4.1. Berbagai Suku Pengembara Laut di Asia Tenggara ... 46

4.2. Luasan Hutan di Indragiri Hilir Berdasarkan Fungsi ... 53

4.3. Potensi dan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan di Indragiri Hilir ... 54

4.4. Pola Penghidupan Masyarakat Desa Berdasarkan Aktivitas Nafkah dan Kebudayaan Material ... 55

5.1. Perubahan Ekologikal dari Livelihood Place Suku Duano ... 65

5.2. Penyesuaian Teknologi yang dilakukan Suku Duano ... 83

5.3. Penyesuaian Organisasi Sosial dan Aspek Demografi yang dilakukan Suku Duano ... 85

5.4. Matrik Perubahan Budaya Bernafkah Suku Duano, Perubahan Ekosistem, dan Perubahan Rezim Penguasaan SDA ... 96

6.1. Perubahan Stok dan Kombinasi Sumberdaya Nafkah pada Beberapa Rezim Penguasaan SDA ... 101

6.2. Sumber-sumber Utama Status Sosial dan Pelapisan Sosial Suku Duano 107 6.3. Perubahan Strategi Nafkah Suku Duano di Aras Komunitas pada Beberapa Rezim Penguasaan SDA ... 110

6.4. Jumlah Rumah Tangga Suku Duano yang Diwawacarai Berdasarkan Strata ... 116

6.5. Perubahan Strategi Nafkah Rumah Tangga Suku Duano pada Beberapa Rezim Penguasaan Sumberdaya ... 120

6.6. Bentuk-bentuk Tindakan Ekonomi, Proses Terbentuknya Tindakan, dan Tipe Rasionalitas Aktor dalam Aktivitas Nafkah Rumah Tangga .. 126

6.7. Sumber-sumber Kerentanan Penghidupan Suku Duano ... 142

6.8. Indikasi Keberlanjutan Nafkah Suku Duano ... 143

7.1. Basis Rasionalitas Aktivitas Nafkah Suku Duano ... 153

7.2. Penopang Rasionalitas Aktivitas Menongkah ... 160

7.3. Basis Rasionalitas Aktivitas Menongkah Anggota Rumah Tangga Suku Duano Strata Bawah ... 161

(20)

Gambar Halaman 2.1. Ilustrasi Teori Adaptasi Ekologi Budaya (Steward, 1955;

Richerson et al. 1996) ... 20

2.2. Nested Hierarchy Model of Vulnerability (Smith & Wandel, 2006) ... 25

2.3. Sustainable Lifelihood Framework (DFID, 1999; Twig, 2007) ... 27

2.4. 2.5. Pemetaan Tindakan dan Rasionalitas Ekonomi ... 30

2.6. Kerangka Teori ... 36

4.1. Jalur Alur Pelayaran Tradisional, dan Penyebaran Suku Pengembara Laut di Asia Tenggara ... 47

4.2. Peta Sebaran Pola Penghidupan Masyarakat Desa di Indragiri Hilir .... 57

5.1. Tonggak-tonggak Sejarah Perubahan Lingkungan Suku Duano ... 62

5.2. Effective Environment Suku Duano ... 81

6.1. Perubahan Kombinasi Sumberdaya Nafkah Suku Duano ... 104

6.2. Komposisi Nafkah Rumah Tangga Suku Duano ... 135

6.3. Distribusi Pendapatan Rumah Tangga Suku Duano Menurut Strata ... 136

6.4. Struktur Pendapatan Rumah Tangga Duano Berbasis Perairan ... 136

6.5. Rantai Pemasaran Kerang Darah dari Hasil Aktivitas Menongkah ... 138

7.1. Proses Mental Pembentukan Rasionalitas dalam Aktivitas Menongkah 156 7.2. Adaptasi Semi-natural dan Pembentukan Rasionalitas dalam Aktivitas Menongkah dari Subsisten ke Komersial ... 157

7.3. Adaptasi Semi-natural dan Pembentukan Rasionalitas dalam Aktivitas Menongkah dari Komersial ke Subsisten ... 158

7.4. Pembentukan Rasionalitas Aktivitas Menongkah Aktordari Rumah Tangga Strata Bawah ... 163

7.5. Pembentukan Rasionalitas Aktivitas Pemasaran Kerang DarahAktor dari Rumah Tangga Strata Menengah ... 166

(21)

Box Halaman

5.1. Perubahan pada Aspek Pelapisan Sosial Suku Duano ... 70

5.2. Perubahan Pola Bertahan Hidup Menetap dan Berkelana yang Berkonsekuensi pada Aspek Perkawinan ... 71

5.3. Perubahan pada Aspek Pembagian Kerja ... 73

5.4. Perubahan Sistem Ketahanan Sosial ... 74

5.5. Perubahan Rezim Pengelolaan SDA Pesisir ... 75

(22)

Lampiran Halaman 1. Perkembangan Studi Penghidupan Pedesaan... 181 2. Teri dan Konsep yang dihasilkan dari Studi Penghidupan Pedesaan

(23)

Viktor Amrifo (penulis) dilahirkan di Taluk Kuantan Provinsi Riau pada 9 Oktober 1974 (22 Ramadhan 1394 H) dari pasangan Bapak Drs. H. Raja Arif dan Ibu Hj. Misraliati. Penulis menempuh pendidikan dasar dan menengah di Kota Tanjungpinang (SDN 077 lulus tahun 1987, SMPN 4 lulus tahun 1990, SMAN 1 lulus tahun 1993), pendidikan tinggi strata-1 di Universitas Riau Pekanbaru (Sarjana Perikanan Jurusan Sosial Ekonomi Perikanan lulus tahun 1998), strata-2 di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (Magister Sains Program Studi Sosiologi lulus tahun 2005), dan strata-3 di Institut Pertanian Bogor Bogor (Mayor Sosiologi Pedesaan sejak tahun 2010).

Penulis bekerja sebagai dosen di Jurusan Sosial Ekonomi Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau sejak tahun 1999 sampai dengan saat ini. Beberapa mata kuliah yang pernah diampu oleh penulis adalah Pengantar Sosiologi, Sosiologi Pedesaan, Sosiologi Masyarakat Pesisir, Pengembangan Masyarakat Pesisir, Metode Penelitian Kualitatif, dan Statistika Dasar. Penulis tergabung dalam tim peneliti pada Pusat Penelitian Kawasan Pantai dan Pesisir (P2KP2) Universitas Riau.

Beberapa publikasi yang dihasilkan selama penulis menjalankan pendidikan strata-3, antara lain: 1) The Motivation of Coastal Community in Mangrove Conservation, Prosiding Ekologi, Habitat Manusia, dan Perubahan Lingkungan, Seminar Antarabangsa ke 3, pp 97-105, September 2010; 2) Adaptasi Sistem Penghidupan Masyarakat Adat (Studi Kasus Suku Duano di Desa Concong Luar Kabupaten Indragiri Hilir Provinsi Riau), Berkala Perikanan Terubuk 40(2):1-12, Juli 2012; 3) Analisis Sosiologi Ekonomi Kelembagaan dalam Transformasi Sosiokultural Masyarakat Adat (Kasus Suku Duano Di Provinsi Riau), Berkala Perikanan Terubuk 41(1):62-74, Februari 2013; 4) Sejarah Sosiologis Budaya Bernafkah Komunitas Adat Suku Duano, Jurnal Paramita 24(2): 186-199, Juli 2014), 5) Socio-ecological Change and Livelihood Adjustment: a Case Study in Indonesian Rural Coastal Community, IJRSS, Accepted (Agustus 2014).

Penulis menikah dengan Sakdiah pada tahun 2002, dan sampai saat ini telah dikarunia 3 orang putra. Putra pertama bernama Raja Muhammad Farras Talbi (lahir tahun 2003), putra kedua bernama Raja Muhammad Faridz Talbi (lahir tahun 2006), dan putra ketiga bernama Raja Muhammad Syafiq Talbi (lahir tahun 2008).

(24)
(25)

1.1. Latar Belakang

Perubahan sosial dan budaya yang terjadi pada masyarakat adat di Indonesia berkaitan erat dengan hadirnya negara dan pasar dalam kehidupan mereka. Li (2002) menjelaskan hal tersebut dengan istilah keterlibatan politik, ekonomi, dan sosial dalam bentuk pasar, pemerintah, jenis tanaman baru, teknologi, imigran, dan berbagai agenda pembangunan. Perubahan sosial dan budaya masyarakat adat tersebut merupakan bagian dari dinamika pembentukan negara modern, yaitu bagian dari proses penciptaan dan penataan wilayah dan penduduknya. Li (2002) menggunakan istilah teritorialisasi untuk menujukkan proses penataan ini, Indonesia telah melakukan beberapa hal pada masa pasca kolonial (khususnya orde baru), yaitu: 1) penentuan status sebagian besar lahan sebagai hutan, 2) pembangunan perkebunan dan pemukiman transmigrasi, 3) pengaturan pemukiman para migran spontan, dan 4) pemukiman kembali masyarakat terasing.

Penataan yang ditujukan khusus pada masyarakat adat adalah pemukiman kembali masyarakat terasing (terpencil atau terbelakang). Program ini mulai dilaksanakan pada masa orde baru, dikenal dengan program Pemukiman Kembali Masyarakat Terasing (PKMT). Pemerintah orde baru mendefinisikan masyarakat adat sebagai “masyarakat terasing”, yaitu kelompok-kelompok penduduk yang tinggal atau mengembara di daerah-daerah yang jauh secara geografis dan terasing secara sosial dan budaya (Suparlan, 1995; Maunati, 2004). Pemerintah mengasumsikan bahwa kelompok-kelompok semacam ini relatif terbelakang jika dibandingkan dengan orang-orang Indonesia pada umumnya. Cara dan gaya hidup masyarakat adat dipandang sebagai terbelakang dan tak beradab.

Program relokasi ini menunjukkan bahwa negara berusaha untuk mendefinisikan/menentukan gaya dan cara hidup warga negaranya yang hidup lebih terpencil. Pandangan-pandangan tentang modern vs tradisional, maju vs terbelakang, dikedepankan oleh pemerintah untuk membenarkan program relokasi penduduk ini. Geertz (1984) berpendapat bahwa dengan mengedepankan indikator-indikator pertumbuhan ekonomi, pemerintah memandang bahwa the modernity of tradition adalah solusi, sehingga gaya dan cara hidup (budaya) yang dijalankan masyarakat adat dapat menjadi penghambat (culture as barrier) pembangunan.

Beberapa studi tentang masyarakat adat menemukan bahwa terdapat berbagai dampak yang dirasakan oleh masyarakat adat dalam program PKMT. Hasil studi pada masyarakat Suku Sakai (Suparlan, 1995), Suku Bajo (Zacot, 2008), Suku Dayak (Maunati, 2004; Dharmawan, 2001), dan Suku Kubu atau Anak Dalam (Syuroh, 2011) mengarah pada kesimpulan bahwa dampak dari program relokasi masyarakat adat adalah: 1) terkikisnya identitas budaya, 2) komodifikasi budaya, 3) konflik agraria, 4) marginalisasi masyarakat adat, 5) lompatan dan gegar budaya, dan 5) perubahan sistem penghidupan.

(26)

masyarakat adat ini, dapat merubah hubungan teknis maupun hubungan sosial dari struktur sosial. Perubahan tersebut menurut Li (2002) tidak jarang telah menyebabkan hilangnya sumber-sumber penghidupan masyarakat lokal.

Salah satu dampak perubahan sosial dan budaya masyarakat adat yang menjadi fokus perhatian adalah perubahan penghidupan (livelihood change). Pentingnya studi perubahan penghidupan sesungguhnya telah disadari lama oleh sosiolog yang menekuni masyarakat pedesaan pada saat PKMT dijalankan, namun dominannya pertimbangan modernisasi-pertumbuhan yang diambil pemerintah, menyebabkan hasil-hasil studi tersebut kurang mendapat tempat dalam pandangan pemerintah. Akhir-akhir ini semakin disadari bahwa terdapat banyak kelemahan jika transformasi sosiokultural masyarakat adat tidak berbasiskan nilai-nilai dan kelembagaan lokal, tidak berorientasi penghidupan lokal yang berkelanjutan, dan mengurangi akses dan hak-hak penghidupan masyarakat terhadap sumber-sumber alam (Suparlan, 1995; Dharmawan, 2007). Realitas ini menunjukkan pentingnya suatu studi mendalam tentang penghidupan-penghidupan lokal yang memiliki kelenturan tinggi dalam menghadapi perubahan kualitas lingkungan dan perubahan sosiokultural, maupun penghidupan yang sangat rentan terhadap perubahan-perubahan tersebut.

Studi yang mengkaitkan penghidupan lokal, lingkungan, dan perubahan sosiokultural banyak dilakukan dalam disiplin ilmu multi dan trans disiplin, dengan pendekatan-pendekatan tertentu. Sosiologi nafkah berkembang dalam sosiologi khususnya sosiologi pedesaan dan ekologi budaya berkembang dalam antropologi lingkungan. Kedua pendekatan ini dipandang dapat memberikan penjelasan sosiologis yang mendalam pada penelitian ini. Konsep yang menjadi penghubung diatara kedua pendekatan ini adalah penghidupan, adaptasi, sosialisasi, tindakan, struktur, dan budaya.

Aktivitas menongkah yang dilakukan oleh Suku Duano di Kabupaten Indragiri Hilir Provinsi Riau merupakan suatu realitas sosial, yang dapat digunakan untuk mempelajari praktek penghidupan lokal dalam konteks perubahan sosial. Pertautan antara human-system atau culture system dengan nature system atau ecological system pada aktivitas menongkah, sangat terkait erat dengan upaya pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat lokal dan pengelolaan sumberdaya nafkah yang tersedia, serta perubahan yang terjadi pada human system dan ecological system tersebut.

(27)

sumberdaya alam yang berlangsung selama ini, telah membentuk struktur sosial dengan akses yang besar dari Suku Duano terhadap Kerang Darah (Anadara granosa) di Kabupaten Indragiri Hilir. Salah satu ancaman dari keberlanjutan aktivitas menongkah adalah dimensi akses masyarakat lokal ini, misalnya jika akses yang besar terbuka atau diberikan pula kepada pengusaha atau negara mengambil alih dan membatasi akses masyarakat pada Kerang Darah (Anadara granosa). Ancaman lain tentunya berkaitan dengan pemanfaatan yang berlebihan (overuse) dari sumberdaya ini, baik karena faktor teknologi yang tidak ramah lingkungan maupun tekanan penduduk.

Mempelajari aktivitas menongkah merupakan jalan masuk untuk mempelajari penghidupan Suku Duano pada berbagai aras dan mengamati adaptasi ekologi budaya mereka, yang terdiri dari aspek-aspek populasi, organisasi sosial, environment, dan teknologi (POET). Mempelajari menongkah bertujuan pula untuk memahami ketahanan nafkah Suku Duano atas kerentanan ekologi dan kerentanan sosial yang hadir, serta mempelajari lapisan sosial mana yang paling mampu melakukan penyesuaian dan yang paling rentan. Hal-hal tersebut digunakan sebagai dasar dalam merumuskan permasalahan penelitian ini.

1.2. Perumusan Masalah

Kerisauan sosiolog di IPB (Mazhab Bogor) tentang kerentanan-kerentanan penghidupan (livelihood vulnerability) masyarakat di pedesaan karena menurunnya daya dukung lingkungan (carryng capacity) maupun terbatasnya peluang pekerjaan di luar sektor pertanian, mengarahkan mereka pada keberpihakan atau pembelaan terhadap keberlanjutan penghidupan kelompok masyarakat lapisan bawah (miskin) di pedesaan (Dharmawan, 2007). Kerisauan yang sama sesungguhnya juga dirasakan oleh ilmuwan-ilmuwan transdisiplin seperti ekologi politik, sebagaimana terlihat dari berbagai studi yang mengkaitkan environmental vulnerability dengan livelihood masyarakat lokal (Forsyth, 2003).

Kerentanan penghidupan yang disebabkan oleh perubahan lingkungan, dapat ditelusuri dengan menggunakan konsep kerentanan lingkungan (environmental vulnerability) yang ditawarkan Forsyth (2003), yaitu kerentanan ekologi (ecological vulnerability) dan kerentanan sosial (social vulnerability). Forsyth (2003) menganjurkan untuk menggunakan non-linear model of environmental causality, dimana kerentanan lingkungan harus dipahami dalam konteks yang menyatu antara perubahan natural dan perubahan sosial. Kerentanan lingkungan tidak hanya menekankan pada kegentingan lingkungan pada aspek lingkungan bio-fisik (geosentris) atau kegentingan pada aspek lingkungan sosial (antroposentris), tetapi merupakan hybridasi dari dari keduanya. Kerentanan sosial dapat ditelusuri melalui dampak faktor sosial, ekonomi, dan politik, serta faktor alamiah pada keberlanjutan penghidupan masyarakat lokal. Kerentanan ekologi dapat ditelusuri melalui dampak perubahan lingkungan biofisik secara alamiah maupun oleh aktivitas manusia pada kestabilan ekosistem.

(28)

tentang penguatan jejaring sosial dalam penghidupan pedesaan (Eilenberg & Wadley, 2009), sumber nafkah di luar pertanian (Ozturk I, 2009; Shimelis & Bogale, 2007), biodiversitas dan penghidupan pedesaan (Sallu et al, 2009), perubahan dan keberlanjutan sistem penghidupan (Calkins, 2009), serta studi jangka panjang non farm rural employment (NFRE) mazhab Bogor (Dharmawan, 2007), mengarah pada suatu keyakinan akan pentingnya untuk mencari atau menemukan praktek-praktek baik (good practice) penghidupan pedesaan yang ramah lingkungan (eco friendly) sekaligus memiliki daya lentur yang tinggi dalam menghadapi terpaan sistem ekonomi kapitalisme global.

Studi Febrianis (2008) menunjukkan bahwa terdapat aktivitas nafkah masyarakat pedesaan di Kabupaten Indragiri Hilir yang tetap bertahan ditengah kerentanan-kerentanan penghidupan yang berlangsung. Masyarakat Suku Duano menjalankan aktivitas nafkah berupa mengumpulkan kerang di hamparan lumpur yang sangat luas. Mereka mengembangkan teknik sederhana untuk dapat beraktivitas di atas lumpur, yaitu menggunakan alat luncur yang mereka sebut tongkah. Aktivitas mengumpulkan kerang dengan tongkah inilah yang sekarang dikenal sebagai aktivitas menongkah. Tongkah merupakan sebilah papan datar dari kayu alam yang berukuran kurang lebih 40x100 cm. Kerang yang berhasil dikumpulkan selanjutnya digunakan untuk konsumsi rumah tangga dan juga untuk dijual kepada pedagang pengumpul.

Penjelasan sosiologis terhadap aktivitas menongkah jika dikaitkan dengan kerisauan-kerisauan tentang keberlanjutan dan kerentanan penghidupan masyarakat di pedesaan, menjadi menarik dan penting untuk dipelajari. Aktivitas menongkah dapat dimaknai sebagai suatu mekanisme adaptif, namun dapat pula dipandang sebagai terbatasnya akses Suku Duano pada sumber-sumber agraria. Sintesis dari dua pandangan ini adalah mekanisme adaptif masyarakat lokal terhadap lingkungan biofisik dipengaruhi pula oleh faktor-faktor dari luar komunitas (negara dan pasar).

Menurut Steward (1955) bahwa mekanisme adaptif yang dijalankan oleh suatu masyarakat terhadap lingkungannnya akan sangat terkait erat dengan budaya yang mereka kembangkan. Masyarakat yang belum jauh berkembang, seperti masyarakat berburu meramu, selalu membangun budaya yang terpusat pada aktivitas subsisten. Mempelajari menongkah tentunya merupakan bagian yang menyatu dengan studi budaya seputar aktivitas subsisten yang dijalankan Suku Duano, sebagaimana yang diutarakan Steward (1955) tersebut. Apakah menongkah yang dijalankan Suku Duano merupakan sistem penghidupan mereka atau hanya sekedar organisasi sosial produksi yang sifatnya temporer? Jika memang aktivitas menongkah merupakan sistem penghidupan, mengapa aktivitas ini yang dipilih dan bagaimana mekanisme adaptif yang dikembangkan. Jika aktivitas ini hanya merupakan organisasi sosial produksi temporer, bagaimana Suku Duano memposisikan aktivitas ini pada sistem penghidupan mereka.

(29)

Pertanyaan-dibangun, apakah budaya tersebut semakin menguat atau semakin tercerai berai karena hadirnya negara dan pasar? Penting pula mengungkap apakah hubungan teknis dan sosial antara pemerintah, swasta, dan Suku Duano yang terbangun semakin mengukuhkan keberlanjutan sistem penghidupan Suku Duano, atau justru membatasi akses Suku Duano terhadap sumber-sumber penghidupan. Kebijakan-kebijakan budaya yang diambil oleh pemerintah daerah yang berkaitan dengan masyarakat adat (khususnya Suku Duano) menjadi penting pula untuk ditelusuri.

Pendekatan yang bertujuan untuk mempelajari perubahan sosial yang spesifik lokal atau pada bidang kehidupan tertentu dari suatu kelompok kecil masyarakat, menurut Steward (Sztompka, 1994) harus dibedakan dengan pendekatan yang bertujuan mempelajari perubahan sosial masyarakat global sebagai suatu kesatuan. Kelemahan dari pendekatan evolusi multilinier jika diterapkan pada masyarakat seperti Suku Duano adalah faktor organisasi sosial politik dan faktor ideologi, yang dipandang sebagai faktor yang sangat kecil peluangnya dalam mendorong perubahan. Asumsi tersebut menunjukkan bahwa Steward memandang masyarakat berburu-meramu masih jauh dari kehadiran negara dan pasar, sehingga budaya terbentuk lebih dominan karena proses adaptasi pada lingkungan bio-fisik. Perubahan sosial Suku Duano dari tipe masyarakat berburu-meramu menuju masyarakat pra-kapitalis tidak semata merupakan mekanisme adaptif, kehadiran negara dan pasar memainkan peran yang penting pula.

Ekologi budaya dalam pandangan Steward (1955) adalah interaksi antara kultur-kultur spesifik dari suatu masyarakat dengan lingkungannya. Interaksi ini berkaitan dengan proses adaptasi dan sosialisasi. Adaptasi yang menjadi perhatian utama adalah yang berkaitan dengan aktivitas subsisten dan pengaturan ekonomi. Teori ekologi budaya memandang aktivitas subsisten seperti menongkah dapat menjadi jalan masuk untuk memahami budaya Suku Duano secara menyeluruh. Mempelajari menongkah bertujuan untuk mempelajari inti budaya Suku Duano secara utuh, dengan asumsi bahwa budaya Suku Duano berkembang dari aktivitas subsisten. Adaptasi Suku Duano terhadap lingkungan laut berkaitan erat dengan inti budaya (culture core) yang terdiri dari adaptasi teknologi, organisasi sosial, dan aspek-aspek demografi.

Penyesuaian-penyesuaian pada aspek-aspek inti budaya, selanjutnya akan diikuti oleh aspek-aspek non inti budaya (non culture core) yang terdiri dari religi, nilai-nilai bersama, ritual, seni, bahasa, dan adat istiadat. Bagaimana aspek-aspek ini disosialisasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya menjadi penting untuk ditelusuri. Penelusuran tentang non culture core dilakukan secara simultan dengan studi culture core, karena keduanya bersifat interrelasi.

(30)

Kajian yang mengkaitkan perubahan pada aras makro dan tindakan ekonomi juga telah dilakukan oleh beberapa peneliti di Indonesia. Geertz (1963; 1984) mengkaitkan perubahan ekologi, sosiokultural, dan tindakan ekonomi petani Jawa. Selanjutnya Dharmawan (2001) mengkaitkan perubahan sosial ekonomi, strategi nafkah, dan tindakan ekonomi petani di pedesaan Indonesia. Kedua peneliti ini menggunakan analisis multilevel dalam menjelaskan fenomena kehidupan ekonomi petani, tetapi mereka tidak menggunakan pendekatan dalam kerangka NIES, sehinga struktur insentif dan organisasi sosial tidak dilihat terlalu jauh di dalam proses perubahan.

Salah satu aspek terpenting di dalam mempelajari adaptasi yang berkaitan dengan aktivitas penghidupan (ekologi budaya) adalah perilaku/tindakan. Pemahaman terhadap tindakan sosial dalam aktivitas menongkah dapat dilakukan dengan mencari apa yang mendasari tindakan tersebut dan konteks yang melekat padanya. Tindakan dapat ditelusuri dengan melihat aspek kepentingan (interest), emosi (emotions), dan kebiasaan (habits).

Rasionalitas menjadi kunci untuk memahami tindakan ekonomi, selain aspek-aspek emosi dan kebiasaan. Kepentingan apa yang ingin dipenuhi seseorang dalam menjalankan aktivitas nafkah (dapat berupa kepentingan materialistik dan kepentingan idealistik) akan menentukan bentuk rasionalitas yang bermain. Pemetaan tindakan sosial dan rasionalitas yang bermain pada aras individu ini menjadi penting, karena menurut Weber (Kalberg, 1980) bahwa bentuk-bentuk tindakan dan rasionalitas sebagaimana tipe ideal yang telah disusunnya, boleh jadi bervariasi diantara satu tipe masyarakat dengan tipe masyarakat yang lainnya.

Berdasarkan rangkaian pemikiran dan keterkaitan permasalahan yang telah diuraikan tersebut, disusun pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Sejauh apakah terjadi perubahan lingkungan dan budaya bernafkah (livelihood culture) masyarakat lokal (dalam hal ini Suku Duano), sebagai akibat dari perubahan struktur sosial?

2. Sejauh mana menongkah menjadi basis sistem penghidupan masyarakat lokal Suku Duano, sebagai akibat dari perubahan lingkungan dan budaya bernafkah? 3. Bagaimana aktivitas menongkah mempertahankan penghidupan dan bagaimana aktivitas ini diposisikan dalam inti budaya dan sistem penghidupan Suku Duano?

4. Bagaimana individu Suku Duano mengorientasikan tindakannya dalam menjalankan aktivitas nafkah?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah disusun, ditetapkan tujuan penelitian sebagai berikut:

(31)

sebagai akibat dari perubahan struktur sosial.

3. Menganalisis perubahan sistem penghidupan, peran ekonomi menongkah, dan keberlanjutan nafkah Suku Duano.

(32)
(33)

2.1. Perubahan Lingkungan dan Perubahan Penghidupan

2.1.1. Sosiologi Perubahan Sosial

Lingkungan yang dimaknai sebagai lingkungan bio-fisik dan lingkungan sosial telah menjadi topik kajian yang menarik berbagai bidang keilmuan sejak lama, termasuk sosiologi. Sejak kelahirannya pada abad ke 19, sosiologi pada awalnya lebih memberikan perhatian yang besar pada perubahan lingkungan sosial atau yang lebih dikenal dengan sistem sosial, dalam perjalannya perubahan lingkungan bio-fisik menjadi perhatian yang besar pula. Sosiologi perubahan sosial tersebut berkembang dari upaya memahami transformasi fundamental masyarakat tradisional ke masyarakat modern.

Perkembangan studi perubahan sosial sampai dengan saat ini, telah menghasilkan beragam konsep, model, dan teori yang berakar dari tiga tradisi intelektual, yaitu evolusionisme, cyclical theories, dan materialisme historis. Studi tersebut mencakup hampir semua aspek kehidupan, antara lain: seni, ilmu, agama, moral, pendidikan, politik, ekonomi, dan keluarga (Sztompka, 1994). Penelitian tentang “Menongkah: Perubahan Lingkungan, Budaya, dan Penghidupan Suku Duano di Muara Indragiri” ini menggunakan pendekatan yang berakar pada salah satu tradisi intelektual sosiologi perubahan sosial tersebut, yaitu tradisi evolusionisme.

Evolusionisme klasik dikembangkan oleh Comte, Spencer, Morgan, Durkheim, Tonnies, dan Ward. Cyclical theories dikembangkan oleh Ibn Khaldun, Pareto, dan Sorokin. Materialisme historis dikembangkan oleh Marx dan Engels (Sztompka, 1994; Sanderson, 1993). Ketiga tradisi intelektual ini memiliki perbedaan dalam memilih fokus studi dan asumsi dalam mengembangkan konsep-konsep dan proposisi. Perbandingan fokus dan asumsi dari ketiga tradisi intelektual dalam sosiologi perubahan sosial disajikan pada Tabel 2.1.

Sztompka (1994) selanjutnya memaparkan bahwa kelemahan asumsi dasar evolusionisme klasik disempurnakan oleh tokoh-tokoh antara lain White, Steward, Sahlins, Service, Lenski dan Lenski, serta Parson. Mereka ini dikenal dengan tokoh neoevolusionisme dengan bidang ilmu yang berbeda. Neoevolusionisme awalnya berkembang dalam antropologi kultural (White, Steward, Sahlins, Service) pada tahun 1950-an, selanjutnya diikuti dalam sosiologi (Lenski dan Lenski, Parson). Turunan lain dari evolusionisme yang berkembang pada tahun 1960-an adalah teori-teori modernisasi (Lerner, Hagen, Parsons, Levy, Apter, Eisenstadt) dan teori-teori konvergensi (Rostow, Kerr, Huntington).

(34)

Tabel 2.1. Fokus dan Asumsi dalam Tradisi Intelektual Sosiologi Perubahan Sosial Tradisi

Intelektual Fokus Asumsi

Evolusionisme

 Tiga tahap perkembangan pemikiran manusia (Comte)

 Evolusi naturalis masyarakat militer ke masyarakat

industri (Spencer)

 Evolusi materialis berdasarkan determinisme teknologi

(Morgan)

 Evolusi masyarakat berdasarkan perkembangan

pembagian kerja (Durkheim)

 Evolusi masyarakat berdasarkan ikatan sosial (Tonnies)

 Empat mekanisme evolusi (Ward)

 Keseluruhan sejarah manusia memiliki bentuk, pola, makna yang dapat diprediksi perkembangannya pada masa depan

 Objek yang mengalami perubahan adalah bersifat organik (menyeluruh pada sistem sosial), merupakan proses yang alamiah dan spontan

 Perubahan masyarakat mengarah dan bergerak dari bentuk primitif/sederhana/ tersebar/homogen/kacau ke bentuk berkembang/kompleks/terkumpul/ heterogen/teratur

 Perubahan berpola unilinier yang terbagi dalam fase-fase, bertahap, terus-menerus, meningkat, dan kumulatif .

Cyclical Theories

 Sirkulasi elit dalam sistem sosial dan unsur-unsur politik, ekonomi, dan ideologi yang membentuknya (Pareto)

 Aliran melingkar dari proses historis kultural suatu peradaban (Sorokin)

 Menggunakan analogi yang berasal dari common sense

 Pengalaman dalam kehidupan berjalan secara berulang dan naik-turun

 Keadaan sistem yang berubah akan menjadi sama dengan keadaan sistem itu di waktu sebelumnya (atau pada dasarnya sama)

 Variasi dari proses melingkar tergantung pada: cakupan kesamaan antara keadaan sistem yang berulang, jangka waktu yang memisahkan kejadian yang terulang, dan jumlah perulangan dalam seluruh lingkaran.

Materialisme Historis

 Mekanisme perubahan formasi sosial-ekonomi. Sejarah

dunia yang mengarah pada kemunculan komunisme, struktur sosial yang mengarah pada masyarakat tanpa kelas, dan tindakan individu yang mengarah pada tercapainya kebebasan penuh atau lenyapnya keterasingan/alienasi (Marx dan Engels)

 Merupakan teori multidimensional tentang sejarah yang diuraikan pada tiga tahapan berbeda (sejarah dunia, struktur sosial, tindakan individual) yang saling berkaitan logis (satu bangun teori bertingkat), serta berkaitan melalui hubungan interpretasi (dari makro ke mikro) dan hubungan agregat (dari mikro ke makro)  Sejarah manusia berawal dari aras individu karena adanya kreativitas untuk

mengatasi keterbatasan, menghadapi rintangan, memerangi musuh, dan melintasi batas.

 Masyarakat berkembang kearah yang lebih maju karena adanya kontradiksi kelas, antagonisme kelas, dan perjuangan kelas

 Sejarah dunia digerakkan oleh kekuatan dari dalam yang bersifat kontradiksi endemik, penindasan, dan ketegangan di dalam struktur. Bergerak dari masyarakat pra kelas (komunitas primitif), masyarakat berkelas (perbudakan, feodalisme, kapitalisme), dan masyarakat tanpa kelas (komunisme)

(35)

Tabel 2.2. Teori dan Konsep Utama dalam Tradisi Intelektual Sosiologi Perubahan Sosial

Tradisi

Intelektual Teori Konsep

Evolusionisme

 Comte: Evolusi idealis (teologis, metafisik, positif)

 Tonnies: Evolusi tanpa kemajuan (gemeinschaft, gesselschafti)  Ward: Evolution of evolution

(kosmogenesis, biogenesis,

 Pareto: Unsur sistem sosial (residu, kepentingan, derivasi);

Kecenderungan (kecenderungan kombinasi, kecenderungan konservatif); Sirkulasi elit (berkuasa, lemah, digantikan)  Sorokin: Tipe kultur ideal

(ideational culture, sensate culture)

Materialisme

 Marx dan Engels: Lima Formasi sosial ekonomi (primitif,

perbudakan, feodalisme,

kapitalisme, komunisme); Tiga epos sejarah manusia (masyarakat pra kelas, masyarakat berkelas, masyarakat tanpa kelas); alienasi Sumber: Sztompka (1994); Sanderson (1993); Turner et al. (1998)

(36)

sebagai basis sistem penghidupan, tradisi evolusi naturalis yang dikembangkan Herbert Spencer dan evolusi materialis yang dikembangkan Lewis Morgan dapat menjadi pemandu dalam mendeskripsikan secara mendalam perubahan yang terjadi. Perubahan dimensi teknologi dan pengaturan-pengaturan ekonomi dalam aktivitas nafkah masyarakat adat Suku Duano sejak mereka hidup sebagai pengembara laut sampai dengan menetap di darat, dapat diasumsikan sebagai perubahan yang bertahap mengikuti logika evolusi.

Logika evolusi naturalis dan evolusi materialis sesungguhnya masih memiliki kelemahan untuk mengkaji perubahan masyarakat dalam skala yang lebih kecil, seperti perubahan pada komunitas Suku Duano. Fokus evolusi naturalis dan evolusi materialis yang lebih besar pada fase dan tahap perkembangan masyarakat, kurang memadai jika digunakan untuk mengungkap mekanisme dan penyebab perubahan.

Kelemahan lain dari teori evolusi Spencer dan evolusi Morgan adalah tumpul untuk menggali penyebab perubahan yang dimotori oleh agen-agen (individual atau kolektif). Perubahan yang terjadi pada masyarakat dengan kolektifitas yang masih tinggi sangat ditentukan oleh perilaku elit atau pemimpin kharismatik. Kelemahan-kelemahan tersebut dapat ditutup dengan menggunakan pendekatan evolusi multilinier dan sosiologi sejarah.

2.1.2. Pendekatan Evolusi Multilinier dan Sosiologi Sejarah

Evolusi multilinier dikembangkan oleh Julian H. Steward dalam mengkaji perubahan masyarakat berburu dan meramu ke masyarakat dengan faktor tekno-ekonomi yang lebih kompleks (Sztompka, 1994; Steward, 1955). Teori perubahan sosial Steward ditulis dalam buku Theory of Culture Change pada tahun 1955. Teori ini telah mengalami pergeseran yang cukup jauh dari tradisi awalnya evolusionisme klasik. Fokus dan asumsi dasar evolusi multilinier berbeda dengan evolusionisme klasik, serta memiliki kemiripan dengan beberapa penganut neo evolusionisme lain.

Pergeseran fokus dan asumsi dasar neo evolusionisme dari evolusionisme klasik (Sanderson, 1993; Sztompka, 1994; Steward 1955) adalah :

 Fokus bergeser dari evolusi masyarakat global sebagai suatu kesatuan ke proses yang muncul dalam kesatuan sosial yang lebih terbatas (peradaban, kultur) dan kesatuan masyarakat yang terpisah (suku, negara-bangsa).

 Fokus bergeser pada mekanisme penyebab evolusi, daripada rentetan tahap perkembangan yang harus dilalui.

 Mengasumsikan bahwa evolusi harus dianalis secara deskriptif, kategoris, menghindarkan penilaian, dan isyarat tentang kemajuan. Evolusi sosiokultural memiliki pemaknaan yang terbatas, tanpa bermaksud memberikan penghakiman secara moral.

 Mengasumsikan bahwa proposisi harus diungkap dalam bentuk probabilistik daripada dalam bentuk yang pasti.

(37)

Teori dan konsep yang dikembangkan dalam neo evolusionisme terbagi dalam 2 kelompok besar yaitu antropologi budaya dan sosiologi (Tabel 2.3). Neo evolusionisme dalam antropologi budaya berkembang lebih dahulu dibanding dalam sosiologi. Teori dan konsep neo evolusionisme dalam antropologi budaya lebih diarahkan untuk melihat adaptasi budaya suatu masyarakat terhadap perubahan lingkungan bio-fisik, sedangkan dalam sosiologi lebih diarahkan untuk melihat adaptasi yang terjadi karena peningkatan diferensiasi struktural dan fungsional. Teori evolusi determinisme teknologi White dan evolusi multilinier Steward menggunakan tradisi evolusi biologi Darwin dan evolusi materialis Morgan, sedangkan teori evolusi differensiasi Parson menggunakan tradisi evolusi sosial Comte dan evolusi sosiologis Durkheim (Sanderson, 1993; Sztompka, 1994; Steward 1955).

Tabel 2.3. Teori dan Konsep yang Digunakan dalam Neo Evolusionisme

 White: Evolusi penggunaan energi (energi

fisik/tenaga manusia, energi tenaga hewan, energi tanah, energi minyak bumi, energi nuklir); kultur ditentukan terutama oleh sistem teknologi

(technology determinism), adaptasi

 Steward: Tahapan multilinier; Faktor tekno-ekonomi (technoeconomics); Inti masyarakat (lembaga teknologi, lembaga ekonomi); faktor organisasi sosial-politik; faktor ideologis; Inti budaya, Non inti budaya, adaptasi

 Sahlin dan Service: Evolusi umum; Evolusi Khusus; Adaptasi

 Lenski dan Lenski: Sistem simbol; Sistem genetik; Urutan penentu evolusi (teknologi, ekonomi, pemerintahan, sistem distribusi); Fase evolusi (berburu-meramu, hortikultura, agraria, industri).

 Parson: Proses integratif; Proses kontrol;

Perubahan struktural; Kapasitas adaptasi; Evolusi multilinier; Mekanisme dasar evolusi

(differensiasi, peningkatan daya adaptasi, inklusi, generalisasi nilai); Tahapan evolusi (primitif, primitif lanjut, menengah, modern).

Sumber: Sztompka (1994); Sanderson (1993); Steward (1955)

Hal pokok yang membedakan teori evolusi multilinier (Steward, 1955) dengan teori-teori neo evolusionisme lain adalah :

(38)

 Evolusi meliputi semua kesatuan kultur konkret, tetapi setiap kultur dan aspek kultur berkembang secara berbeda dan mengikuti mekanisme sendiri (multilinier).

 Evolusi dipandang multilinier dalam 2 hal, yaitu evolusi pada berbagai tipe masyarakat (antar-masyarakat), dan evolusi berbagai bidang kehidupan (masyarakat tertentu).

 Penyebab perubahan evolusioner bermacam-macam. Faktor tekno-ekonomi sebagai penyebab utama (tapi bukan determinisme teknologi), sedangkan faktor organisasi sosial politik dan faktor ideologi lebih kecil peluangnya sebagai penyebab perubahan.

Pendekatan evolusi multiliner yang lebih menekankan pada aspek kultur akan semakin baik, jika diperkuat dengan pendekatan sosiologi sejarah (historical sociology). Kedua pendekatan ini tidak memiliki pertentangan yang mendasar, karena (1) sama-sama melihat masyarakat sebagai suatu realitas yang memiliki perkembangan atau sejarah yang khusus pada berbagai aras atau aspek kehidupan, (2) sama-sama memandang penting inter relasi antara perilaku/tindakan dengan struktur.

Sztompka (1994) menyatakan bahwa asumsi ontologis dalam sosiologi sejarah adalah:

 Realitas sosial bukanlah keadaan yang tetap tetapi merupakan proses yang dinamis. Waktu adalah faktor internal yang tetap ada dalam kehidupan sosial. Apa yang terjadi, bagaimana cara terjadinya, mengapa terjadi, apa akibat yang ditimbulkan, semuanya tergantung kepada waktu dan tempat terjadinya.

 Perubahan sosial merupakan pertemuan berbagai proses dengan berbagai vektor, yang sebagian tumpang-tindih, sebagian menguatkan, sebagian memisahkan, saling mendukung, dan saling merusak.

 Masyarakat itu sendiri tidak dilihat sebagai satu kesatuan, objek atau sistem, tetapi dilihat sebagai jaringan hubungan yang berubah-ubah, meliputi ketegangan maupun keselarasan, konflik, maupun kerjasama.

 Rentetan kejadian dalam setiap proses sosial dilihat secara kumulatif.

 Proses sosial dilihat sebagai ciptaan agen-agen (individual atau kolektif) melalui tindakan mereka. Selain fase proses sosial terdapat juga beberapa orang, kolektif, kelompok, gerakan sosial, asosiasi, dan sebagainya yang tindakannya menimbulkan proses itu.

 Manusia tidak dapat membangun masyarakat sepenuhnya seperti yang diinginkan, tetapi manusia membangun masyarakat berdasarkan kondisi struktural yang mereka warisi dari masa lalu. Artinya terdapat dialektika antara tindakan dan struktur, yaitu tindakan sebagian ditentukan oleh struktur sebelumnya dan struktur yang kemudian dihasilkan oleh tindakan sebelumnya.

(39)

kultural dan doktrin keagamaan temasuk dalam hal-hal yang menjadi perhatian sosiologi sejarah Weber. Weber juga memandang penting peran pemimpin kharismatik (charismatic leader) dalam proses perubahan.

2.1.3. Sosiologi Nafkah

Bidang sosiologi yang memberikan perhatian khusus pada pengaturan ekonomi dalam masyarakat adalah sosiologi ekonomi. Aspek ekonomi menjadi bagian yang penting dalam melihat perubahan sosiokultural dan perubahan ekologikal. Teori perubahan dan perkembangan masyarakat dunia dari Karl Marx, Emile Durkheim, dan Max Weber melihat aspek ekonomi adalah pusat dari perubahan masyarakat dunia. Sejak era klasik, mereka telah melakukan pendekatan sosiologi terhadap fenomena kehidupan ekonomi. Marx dengan lima formasi sosial ekonomi perkembangan masyarakat, Durkheim dengan evolusi masyarakat tradisional ke masyarakat industri, dan Weber dengan perkembangan kapitalisme.

Ketiga ahli tersebut sepakat bahwa penjelasan tentang kehidupan ekonomi tidak cukup memadai jika hanya dilihat dari aspek-aspek ekonomi semata, kehidupan ekonomi harus dilihat lebih jauh melalui aspek-aspek sosiologis (sosial, politik, dan budaya). Sebagaimana terlihat dari definisi sosiologi ekonomi dari Durkheim dan Weber yang dikutip oleh Smelser dan Swedberg (2005), yaitu:

Economic sociology—to use a term that Weber and Durkheim introduced—can be defined simply as the sociological perspective applied to economic phenomena. A similar but more elaborate version is the application of the frames of reference, variables, and explanatory models of sociology to that complex of activities which is concerned with the production, distribution, exchange, and consumption of scarce goods and services.”

Meskipun definisi sosiologi ekonomi tersebut diterima oleh semua pihak, menurut Smelser dan Swedberg (2005) tokoh-tokoh sosiologi klasik yang membahas fenomena kehidupan ekonomi (Marx, Durkheim, Weber) memiliki fokus yang berbeda dalam melihat tindakan ekonomi. Hal tersebut menyebabkan sosiologi ekonomi kaya akan perspektif atau pendekatan, berbeda dengan ekonomi formal yang mengarusutamakan satu perspektif atau pendekatan.

Perbedaan cara pandang ketiga tokoh sosiologi ekonomi klasik tersebut, berpengaruh besar pula terhadap perkembangan salah satu cabang sosiologi ekonomi yaitu sosiologi nafkah (livelihood sociology). Sosiologi nafkah berkembang dalam upaya untuk membahas kekhasan fenomena kehidupan ekonomi negara dunia ketiga, khususnya masyarakat rural dan sub urban. Perubahan penghidupan pedesaan sangat terkait erat dengan perubahan lingkungan, baik lingkungan bio-fisik maupun lingkungan sosial. Dharmawan (2007) mengungkapkan bahwa terdapat perbedaan fokus dan asumsi dasar dari sosiologi nafkah yang berkembang di Timur (khususnya Asia Tenggara) dan di Barat (Afrika dan Latin-Amerika), dalam melihat perubahan penghidupan.

(40)

“Secara sederhana sosiologi nafkah dipandang sebagai studi tentang keseluruhan hubungan antara manusia, sistem sosial, dengan sistem penghidupannya. Lebih jauh sebagai sebuah disiplin, sosiologi nafkah merupakan suatu pendekatan yang memungkinkan seseorang untuk memahami cara-cara atau mekanisme yang dibangun oleh individu, rumah tangga, atau komunitas dalam mempertahankan eksistensi kehidupannya sesuai dengan latar sosial, ekonomi, ekologi, budaya, dan konstelasi politik khas suatu kawasan.”

Definisi sosiologi nafkah tersebut menunjukkan bahwa determinan utama penghidupan pedesaan dapat diasumsikan secara berbeda. Sosiologi nafkah yang berkembang di Asia Tenggara (termasuk Indonesia) berangkat dari permasalahan-permasalahan penghidupan dalam proses pembangunan pedesaan, sedangkan sosiologi nafkah yang dikembangkan di Barat berangkat dari permasalahan-permasalahan kemiskinan dan kerusakan sumberdaya alam. Faktor sosial-ekonomi menjadi perhatian yang lebih mendalam pada pembahasan sosiologi nafkah di Timur, sedangkan di Barat lebih mengutamakan faktor sosial-ekologi. Tabel 2.4. Perbandingan Fokus dan Asumsi antara Mazhab Bogor dan

 Pola nafkah ganda dan migrasi desa-kota

 Determinan utama dari penghidupan pedesaan adalah faktor sosial-ekonomi

 Fakta kemiskinan dan marjinalisasi ekonomi pedesaan sebagai akibat dari proses modernisasi-kapital.

 Determinan utama dari penghidupan pedesaan adalah faktor sosial-ekologi

 Fakta kemiskinan terjadi sebagai akibat bekerjanya kekuatan politik-kapital global yang menghancurkan sumberdaya alam (ecological fragilty).

 Akibat langsung dari perubahan tata ekosistem suatu kawasan menghasilkan keragaman strategi nafkah pedesaan.

Sumber: Dimodifikasi dari Dharmawan (2007)

(41)

dalam penelitian ini (Tabel 2.4). Konsep-konsep yang dihasilkan dari kedua mazhab (Bogor dan Sussex) memperkaya khazanah sosiologi nafkah. Meskipun memiliki perbedaan dalam fokus dan asumsi, namun aksiologi dari kedua mazhab tersebut jelas sangat berpihak pada keberlanjutan penghidupan masyarakat lokal (strata bawah) dan keberlanjutan ekosistem.

Mazhab Bogor menghasilkan teori dan konsep yang menunjukkan adanya ketidakpastian nafkah serta kelangkaan lapangan usaha dan kesempatan kerja bagi lapisan bawah dalam proses pembangunan dan modernisasi pertanian/pedesaan. Pembangunan dan modernisasi menyebabkan ketimpangan akses masyarakat pedesaan terhadap sumber-sumber nafkah. Pembangunan yang berorientasi pertumbuhan telah menggerogoti sendi-sendi kehidupan asli, tata-nilai asli, dan pranata-prana lokal di Pedesaan Indonesia.

Mazhab Sussex menghasilkan teori dan konsep yang menunjukkan terdapat berbagai strategi penghidupan masyarakat lokal yang dapat dijadikan dasar untuk mendesain strategi nafkah yang berkelanjutan, dalam upaya untuk meminimalkan tekanan (stress) dan goncangan (shock) dari perubahan sistem sosial dan sistem ekologi. Bekerjanya kekuatan politik-kapital global telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang mengancam keberlanjutan penghidupan masyarakat lokal. Kondisi tersebut mengharuskan masyarakat lokal untuk terus melakukan penyesuaian dalam memainkan kombinasi sumberdaya nafkah (livelihood assets) yang tersedia, sehingga diperolah pilihan yang paling rasional.

Perkembangan studi penghidupan (livelihood study) 10 (sepuluh) tahun terakhir menunjukkan adanya perkembangan yang cukup baik, khususnya dalam hal penerapan konsep penghidupan berkelanjutan (sustainable livelihood) di pedesaan. Pengaruh mazhab Sussex dalam studi-studi penghidupan pedesaan cukup kuat, terutama penggunaan tradisi utilitarian/rasional (lihat Lampiran 1).

Studi-studi penghidupan pedesaan (pada Lampiran 1) dikelompokkan berdasarkan tradisi sosiologi yang disusun oleh Collins (1994) dan perspektif sosiologi yang disusun oleh Turner (1998). Collins (1994) mengelompokkan teori sosiologi menjadi 4 tradisi besar, yaitu konflik (Marxian dan Weberian), utilitarian/rasional, Durkheimian, dan mikrointeraksionis. Selanjutnya Turner et al. (1998) mengelompokkan menjadi 7 perspektif, yaitu fungsional, bioekologi/evolusi, konflik, pertukaran, interaksionis, struktural, dan kritis.

Berdasarkan penelusuran kajian-kajian penghidupan pedesaan (Lampiran 1), terlihat bahwa studi penghidupan pedesaan dalam tradisi konflik-Weberian belum banyak dilakukan. Sebagian besar studi-studi tersebut bekerja dalam tradisi Durkheimian dan tradisi utilitarian/rasional. Teori-teori yang dikembangkan dalam tradisi Durkheimian terutama yang berkaitan dengan sosial kapital dan solidaritas sosial. Eilenberg & Wadley (2009) dan de Jong (2008) menemukan bahwa masyarakat di pedesaan membangun jejaring pada aras lokal, translokal, bahkan transnasional untuk mengamankan penghidupan mereka. Selanjutnya Dharmawan (2001) dan Getz (2008) menambahkan bahwa jejaring yang dibangun tersebut adalah untuk mengamankan penghidupan mereka dengan berlandaskan solidaritas diantara mereka (lebih rinci dapat ditelusuri pada Lampiran 2).

Gambar

Tabel 2.2. Teori dan Konsep Utama dalam Tradisi Intelektual Sosiologi
Gambar 2.1. Ilustrasi Teori Adaptasi Ekologi Budaya (Steward, 1955;
Gambar 2.2. Nested Hierarchy Model of Vulnerability (Smith & Wandel,
Gambar 2.3. Sustainable Lifelihood Framework (DFID, 1999; Twig, 2007)
+7

Referensi

Dokumen terkait

a) Memudahkan pengelola keuangan daerah dalam melakukan pencatatan-pencatatan akunting tanpa harus melakukan jurnal secara manual. b) Memudahkan pejabat pengguna

● Struktur organisasi pengelola TIK di bawah Dinas Kominfo telah memiliki fungsi koordinator Sistem Informasi (pengembangan) dan koordinator Infrastruktur. ●

Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa konsentrasi muatan padatan tersuspensi di Muara Sungai Banjir Kanal Barat Semarang tanggal 26 Mei 2014 saat

40 Shift 1 (Pukul 07.45) MUSTIKA CAHYA NIRMALA DEWINTA UGM | Fakultas Kedokteran Gizi Kesehatan 41 Shift 1 (Pukul 07.45) ARDHY KHARTIKA DEWI UGM | Fakultas Kedokteran Ilmu

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 43 dan Pasal 44 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 18

Berita Acara Pemeriksaan yang ditandatangani oleh petugas kehutanan yang berwenang untuk penerimaan bahan baku kayu bulat dari hutan negara, dilengkapi dengan dokumen

Salah satu upaya untuk meningkatkan soft skills mahasiswa pada praktik klinik kebidanan dengan adanya gerakan karakter ³6(+$7´ XQWXN PHQJJHUDNDQ FLYLWDV