• Tidak ada hasil yang ditemukan

“Kelayakan Hutan Kota Srengseng Sebagai Daerah Tujuan Wisata di Jakarta Barat (Studi Kasus di Kelurahan Srengseng Kecamatan Kembangan Kotamadya Jakarta Barat)”.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "“Kelayakan Hutan Kota Srengseng Sebagai Daerah Tujuan Wisata di Jakarta Barat (Studi Kasus di Kelurahan Srengseng Kecamatan Kembangan Kotamadya Jakarta Barat)”."

Copied!
164
0
0

Teks penuh

(1)

KELAYAKAN HUTAN KOTA SRENGSENG SEBAGAI

DAERAH TUJUAN WISATA DI JAKARTA BARAT

(Studi Kasus di Kelurahan Srengseng Kecamatan Kembangan Kotamadya Jakarta Barat)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana

Pendidikan

Oleh

Sayyidatullabibah

NIM 1110015000118

PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

i

ABSTRAK

Sayyidatullabibah, 1110015000118 “Kelayakan Hutan Kota Srengseng Sebagai Daerah Tujuan Wisata di Jakarta Barat (Studi Kasus di Kelurahan Srengseng

Kecamatan Kembangan Kotamadya Jakarta Barat)”. Skripsi Program Studi

Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015.

Penelitian mengenai kelayakan Hutan Kota Srengseng sebagai daerah tujuan wisata memiliki tujuan untuk mengetahui karakteristik fisik hutan kota Srengseng, dan mengenali kelayakan hutan kota Srengseng sebagai objek wisata di Jakarta Barat. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan pendekatan kuantitatif. Pengukuran persepsi dan kondisi sosial masyarakat diukur menggunakan skala Likert. Teknik pengambilam sample yaitu Random Sampling. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan angket, wawancara, observasi, dan dokumentasi.

Hasil yang ditemukan dalam penelitian ini adalah kondisi fisik Hutan Kota Srengseng adalah hutan konservasi dengan luas 15 ha yang merupakan tanah alluvium dan curah hujan 1.865,5 mm/tahun. Kelayakan fisik Hutan Kota Srengseng memiliki skor 11 yang berarti kurang mendukung, selanjutnya skor kelayakan sosial budaya adalah 40 yang berarti mendukung, kemudian skor kelayakan aksesibilitas adalah 14 yang berarti sangat mendukung, dan skor keberadaan fasilitas adalah 10 yang berarti mendukung. Jumlah seluruh skor dari kategori kelayakan adalah 75 yang berarti bahwa Hutan Kota Srengseng mendukung dan layak menjadi daerah tujuan wisata. Hutan Kota Srengseng memiliki potensi sebagai daerah tujuan ekowisata.

(7)

ii

ABSTRACT

Sayyidatullabibah, 1110015000118 “The Properness of The Srengseng Urban Forest as Tourism Destination in West Jakarta (A Case Study at Kelurahan Srengseng Kecamatan Kembangan Kotamadya Jakarta Barat)”. Skripsi The Department of Social Science Education, The Faculty of Tarbiyah and Teachers Training, The State Islamic University Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015.

This research is about the properness of the Srengseng urban forest as a tourism destination which has the aim to find out the characteristic of the Srengseng urban forest physically and to know the properness of the Srengseng urban forest as a tourism destination in West Jakarta. The methodology of this research is Descriptive Method with Quantitative approach. The measurement of perception and social condition uses Likert scale. The sampling technique in this research is Random

Sampling. The data of this research is gathered from questionnaire, interview,

observation, and documentation.

The findings that is this research are the condition of the Srengseng urban forest physically is a conservation forest by the width 15 ha that consists of alluvium soil and the rainfall 1,865.5 mm/year. The physical properness of the Srengseng urban forest has the score 11. It means that this condition is less support. Furthermore, the score of the properness of social and culture is 40 that means is support. And then, the score of accessibility is 14 that means is very support, and the score of facilities existence is 10 that means is support. The sum of the score of eligibility category is 75 which means that the Srengseng Town Forest is support and feasible to be a tourism destination. The Srengseng urban forest has the potential as the ecotourism destination.

(8)

iii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, dengan penuh rasa syukur kepada Allah SWT penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Tanpa akal, berkah dan rahmat-Nya yang diberikan penulis pasti tidak akan sampai pada fase akhir di perkuliahan ini.

Sholawat serta salam tak lupa pula penulis sanjungkan kepada pemimpin ulung setiap umat yaitu Baginda Rasulullah SAW, dengan bercermin dari perjuangan beliau maka semangat untuk terus menggali ilmu pengetahuan selalu ada, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan penuh semangat.

Penulis sadar bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan yang harus disempurnakan. Penulispun sadar dalam penulisan skripsi ini penuh dengan hambatan yang harus dilalui. Tanpa dukungan dari seluruh pihak yang telah membantu pastinya skripsi ini tidak dapat terselesaikan. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada: 1. Kedua orang tua penulis Ayahanda H. Huzail dan Ibunda Suplah yang telah membesarkan penulis dengan penuh kasih sayang serta memberikan motivasi, bimbingan dan arahan. Semoga Allah senantiasa membalas semua amal kebaikan yang teriring kasih sayang yang telah Ayah dan Mama curahakan kepada penulis.

2. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yakniDr. Prof. Ahmad Thib Raya, MA.

3. Bapak Iwan Purwanto, M.Pd selaku ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan.

4. Bapak Syarifullah, M.Si. selaku Sekertaris Jurusan Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan.

(9)

iv

6. Bapak Shodikin, M.Si selaku dosen pembimbing II yang selalu memberikan bimbingan, motivasi dan arahan kepada penulis.

7. Bapak Dr. Muhammad Arif, M.Pd. selaku Dosen Pembimbing Akademik. 8. Seluruh dosen khususnya Ibu Jakiatin Nisa, M.Pd, staf dan karyawan FITK

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan pelayanan selama penulis menuntut ilmu di kampus tercinta ini.

9. Bapak Ade Karlan selaku penanggung jawab Hutan Kota Srengseng beserta jajaran stafnya yang telah mengizinkan penulis mengadakan penelitian di Hutan Kota tercinta dan memberikan informasi dengan penuh keramahan. 10.Pihak Kelurahan Srengseng yang telah membantu penulis dalam memperoleh

data.

11.Adik-adikku tercinta dan tercantik Adinda Aufa Amelia dan Dian Mufidah, terimakasih atas semangat, keceriaan dan kehangatan yang telah diberikan. Semoga manisnya ilmu pengetahuan semakin kalian rasakan.

12.Sahabat-sahabat penulis, Dilla, Oni, Denara, Fitri, Elza, Wachid E, dan Ardi W, yang selalu memberika semangat, motivasi serta pengalaman hidup baru. 13.Untuk ‘Kamu’ yang selalu memberikan motivasi dan nasihat baik dengan

penuh rasa sayang. Semoga Allah mengabulkan segala mimpi-mimpi baik kita.

14.Teman-teman seperjuangan P.IPS khususnya kawan sekelas Geografi 2010. Terima kasih atas pengalaman baru di setiap hari penulis. Semoga kesuksesan selalu teriring untuk kita.

15.Rekan-rekan seluruh organisasi penulis dalam mengurus umat, terima kasih atas pengalaman, kerjasama, dan kemampuan hard skill serta soft skill yang telah diberikan, semoga kita tak pernah lelah mengurus umat.

(10)

v

Akhirnya tidak ada kata yang lebih berarti selain harapan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca sehingga dapat meningkatkan kecintaan terhadap alam dan ilmu pengetahuan.

Jakarta, 9 Februari 2015

(11)

vi

DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI

LEMBAR PEMBIMBING SKRIPSI LEMBAR KARYA ILMIAH

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GRAFIK ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 5

C. Pembatasan Masalah ... 6

D. Perumusan Masalah ... 6

E. Tujuan Penelitian ... 6

F. Manfaat Penelitian ... 6

BAB II KAJIAN TEORI A.Landasan Teori ... 8

1. Hutan Kota a. Pengertian Hutan Kota ... 11

b. Peran Hutan Kota ... 11

c. Tipe Hutan Kota... 12

d. Bentuk Hutan Kota ... 13

e. Struktur Hutan Kota ... 13

(12)

vii

b. Wisatawan ... 16

c. Daerah Tujuan Wisata ... 16

d. Potensi Pengembangan Kawasan Wisata ... 17

3. Hakikat Pariwisata ... 24

4. Peran Pemerintah dalam Pariwisata ... 25

5. Ekowisata ... 26

6. Geografi dalam Pariwsata ... 30

7. Pariwisata dalam al-Quran ... 32

B. Hasil Penelitian Relevan ... 33

C. Kerangka Berpikir ... 35

D. Hipotesis Penelitian ... 36

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 37

B. Metode Penelitian ... 38

C. Populasi ... 39

D. Sampel ... 39

E. Variabel Penelitian ... 41

F. Teknik Pengumpulan Data ... 42

G, Teknik Pengolahan dan Analisis Data ... 45

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Daerah Penelitian 1. Kondisi Fisik Daerah Penelitian ... 57

2. Kondisi Sosial Ekonomi Daerah Penelitian ... 61

B. Karakteristik Fisik Hutan Kota Srengseng ... 66

C. Kelayakan Kondisi Fisik Hutan Kota Srengseng Sebagai Daerah Tujuan Wisata di Jakarta Barat 1. Kelayakan Kondisi Fisik ... 72

(13)

viii

3. Kelayakan Kondisi Aksesibilitas ... 83

4. Kelayakan Kondisi Fasilitas ... 87

D. Pembahasan a. Karakteristik Fisik Hutan Kota Srengseng ... 91

b. Kelayakan Hutan Kota Srengseng Sebagai Daerah Tujuan Wisata di Jakarta Barat ... 93

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 103

B. Saran ... 103

DAFTAR PUSTAKA ... 105

(14)

ix

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Luasan Hutan Kota yang Telah dikukuhkan dengan

SK Gubernur Provinsi DKI Jakarta berdasarkan wilayah……… 3

Tabel 2.1 Standar Kelayakan Menjadi Daerah Tujuan Wisata ... 22

Tabel 3.1 Waktu Peneltian ... 38

Tabel 3.2 Jumlah Responden ... 40

Tabel 3.3 Penjabaran Variabel Penelitian ... 41

Tabel 3.4 Harkat Kelas dan Kriteria Kondisi Fisik ... 46

Tabel 3.5 Harkat Kelas dan Kriteria Kondisi Sosial dan Budaya ... 47

Tabel 3.6 Harkat Kelas dan Kriteria Aksesibilitas ... 50

Tabel 3.7 Harkat Kelas dan Kriteria Keberadaan Fasilitas ... 51

Tabel 3.8 Nilai dan Bobot Kesesuaian Pariwisata untuk Faktor Fisik ... 52

Tabel 3.9 Nilai dan Bobot Kesesuaian Pariwisata untuk Faktor Sosial dan Budaya ... 52

Tabel 3.10 Nilai dan Bobot Kesesuaian Pariwisata untuk Faktor Aksesibilitas ... 53

Tabel 3.11 Nilai dan Bobot Kesesuaian Pariwisata untuk Faktor Fasilitas ... 53

Tabel 3.12 Prosedur Penentuan Kelas Dukungan pada Faktor Fisik ... 53

Tabel 3.13 Prosedur Penentuan Kelas Dukungan pada Faktor Sosial dan Budaya ... 54

Tabel 3.14 Prosedur Penentuan Kelas Dukungan pada Faktor Aksesibilitas ... 54

Tabel 3.15 Prosedur Penentuan Kelas Dukungan pada Faktor Fasilitas ... 55

Tabel 3.16 Prosedur Penentuan Kelas Dukungan pada Objek Wisata ... 55

Tabel 4.1 Sungai di DKI Jakarta ... 60

(15)

x

Usia dan Jenis Kelamin Tahun 2012 ... 62

Tabel 4.4 Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian Tahun 2011 ... 64

Tabel 4.5 Komposisi Penduduk Berdasarkan Pendidikan Tahun 2012 ... 65

Tabel 4.6 Jenis Pohon yang Terdapat di Hutan Kota Srengseng ... 68

Tabel 4.7 Beberapa Jenis Vegetasi pada Plot Strata di Hutan Kota Srengseng ... 70

Tabel 4.8 Harkat Kelas dan Kriteria Kondisi Fisik ... 72

Tabel 4.9 Prosedur Penentuan Kelas Dukungan pada Faktor Fisik ... 76

Tabel 4.10 Harkat Kelas dan Kriteria Kondisi Sosial Dan Budaya ... 77

Tabel 4.11 Prosedur Penentuan Kelas Dukungan pada Faktor Sosial dan Budaya ... 82

Tabel 4.12 Harkat Kelas dan Kriteria Aksesibilitas ... 83

Tabel 4.13 Penggolongan Pengenaan Retribusi di Hutan Kota Srengseng ... 85

Tabel 4.14 Prosedur Penentuan Kelas Dukungan Aksesibilitas ... 86

Tabel 4.15 Harkat Kelas dan Kriteria Keberadaan Fasilitas ... 87

Tabel 4.16 Prosedur Penentuan Kelas Dukungan Keberadaan Fasilitas ... 89

Tabel 4.17 Jumlah Hasil Pengharkatan ... 90

Tabel 4.18 Prosedur Penentuan Kelas Dukungan Kesesuaian pada Objek Wisata ... 90

Tabel 4.19 Persepsi Masyarakat Tentang Tujuan Berkunjung ke Hutan Kota Srengseng untuk Berlibur ... 95

Tabel 4.20 Persepsi Masyarakat Tentang Tujuan Berkunjung ke Hutan Kota Srengseng untuk Belajar ... 96

Tabel 4.21 Persepsi Masyarakat Tentang Tujuan Berkunjung ke Hutan Kota Srengseng untuk Menikmati Pemandangan ... 97

(16)

xi

Tabel 4.23 Persepsi Masyarakat Tentang Waktu Tempuh

Menuju Hutan Kota Srengseng Kurang Dari 1 Jam ... 101

DAFTAR GRAFIK Grafik 4.1 Persepsi Masyarakat Tentang Tujuan

Berkunjung ke Hutan Kota Srengseng untuk Berlibur ... 95 Grafik 4.2 Persepsi Masyarakat Tentang Tujuan

Berkunjung ke Hutan Kota Srengseng untuk Belajar ... 96 Grafik 4.3 Persepsi Masyarakat Tentang Tujuan Berkunjung

ke Hutan Kota Srengseng untuk Menikmati Pemandangan ... 97 Grafik 4.4 Persepsi Masyarakat Tentang

Fasilitas Hutan Kota Srengseng yang Baik ... 99 Grafik 4.5 Persepsi Masyarakat Tentang Waktu Tempuh

Menuju Hutan Kota Srengseng Kurang Dari 1 Jam ... 102

DAFTAR GAMBAR

(17)

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Pedoman Observasi Kelayakan ... 107

Pedoman Wawancara ... 113

Pedoman Angket ... 115

Hasil Observasi Kelayakan ... 119

Hasil Wawancara ... 125

Hasil Angket ... 136

Dokumentasi ... 138

(18)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Setiap daerah memiliki perencanaan tata ruang untuk membuat daerah tersebut tertata rapi dan sesuai dengan daya dukung lingkungan. Pembangunan yang sesuai dengan daya dukung lahan sepertinya baru terasa ketika atmosfer diperkotaan sudah semakin tidak bersahabat lagi, dimulai dari pembangunan gedung-gedung yang hemat energi, memberikan porsi bagi tempat penyerapan air, dan sebagainya. Hal ini tidak wajar karena meskipun DKI Jakarta merupakan pusat aktivitas masyarakat dan pemerintahan tetap saja pembangunan yang sesuai dengan daya dukung lingkungan merupakan poin besar yang harus dikaji sebelum melaksanakan pembangunan agar tata ruang di ibu kota bernilai ekologis.

Pembangunan perkotaan yang sesuai dengan lingkungan tidak hanya berdampak positif bagi lingkungan, hal ini juga berdampak besar bagi karakter penduduk ibu kota yang tidak temperamental dan peduli terhadap sesama. Sikap peduli terhadap sesama ini akan memunculkan sikap mencintai lingkungan dengan taraf yang paling minim yaitu tidak membuang sampah sembarangan dan dengan sendirinya akan berlanjut pada taraf mencintai lingkungan yang lain.

(19)

tersebut dan membuat pembangunan di DKI Jakarta mayoritas lebih mementingkan nilai ekonomis ketimbang nilai ekologis.

Kualitas lingkungan diperkotaan sangat mempengaruhi produktivitas kegiatan di DKI Jakarta, untuk itu dibutuhkan ruang terbuka hijau untuk mengendalikan kualitas lingkungan yang semakin buruk sebagai akibat dari kepadatan penduduk, polusi udara dari berbagai macam kendaraan dan pabrik, serta pembangunan yang tidak terkendali. Ruang terbuka hijau (RTH) dapat didefinisikan sebagai suatu kawasan hamparana atau areal permukaan tanah yang didominasi oleh tumbuhan yang dibina untuk fungsi perlindungan habitat tertentu, dan atau sarana kota/lingkungan dan atau pengaman jaringan prasarana, dan atau budidaya pertanian. 1

Ruang terbuka hijau memiliki fungsi:

1. Ekologi kota, khususnya peningkatan kualitas udara dan resapan. 2. Sosial ekonomi, meningkatkan ruang publik berinteraksi.

3. Estetika, penataan elemen sarana pertamanan dan ornamen kota. 2

Menurut KTT Bumi di Johanesburg (2002), mensyaratkan idealnya sebuah kota memiliki 30% ruang terbuka hijau agar kualitas lingkungan hidup terjaga. Indonesia menyepakati keputusan tersebut melalui Instruksi Mendagri Nomor 7 Tahun 2007 tentang Ruang Terbuka Hijau Perkotaan sebanyak 30%.3 Salah satu hasil program Peningkatan Kualitas Ruang Terbuka Hijau di Jakarta adalah hutan kota, Menurut Fakuara, “hutan kota adalah tumbuhan vegetasi berkayu di wilayah perkotaan yang memberikan manfaat lingkungan yang sebesar-besarnya dalam kegunaan proteksi, rekreasi, estetika, dan kegunaan-kegunaan khusus lainnya”.4

1

Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta, Informasi Kehutanan Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta, (Jakarta: Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta, 2011), h.10..

2

Ibid,. h. 10.

3

Ibid ,.h.15. 4

(20)

Menurut Dahlan Endes Nurfilmarasa dalam bukunya yaitu Hutan Kota, mengatakan bahwa “hutan kota dalam suatu daerah adalah luas minimum 10% dan luas maksimal 60% dari wilayah perkotaan”.5

Penanganan hutan kota secara khusus dilakukan oleh Dinas Pertanian dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta. Setelah berjalan hampir 20 tahun dari tahun 1990/1991 hingga tahun 2011 tercatat 14 hutan kota seluas 149,18 ha yang telah dikukuhkan dengan SK Gubernur Provinsi DKI Jakarta. Untuk lebih jelasnya tentang hutan kota yang telah dikukuhkan oleh Gubernur dapat dilihat pada table 1.1 sebagai berikut. 6

Tabel 1.1

Luasan Hutan Kota yang Telah dikukuhkan dengan SK Gubernur Provinsi DKI Jakarta berdasarkan wilayah

No Wilayah Luas Persentase

1. Jakarta Pusat 5,68 ha 3,60 %

2. Jakarta Utara 12,28 ha 7,86 %

3. Jakarta Barat 17,89 ha 11,45%

4. Jakarta Timur 62,93 ha 40,28 %

5. Jakarta Selatan 57,42 ha 36,76 %

Total 149,18 ha 99,95%

Sumber: Dinas Kelautan dan Pertanian, 2010 dan Hasil Perhitungan

Berdasarkan tabel tersebut hutan kota yang berada pada 14 lokasi berada di Jakarta Pusat sebanyak 2 lokasi seluas 5,68 ha; Jakarta Utara 3 lokasi seluas 12,28 ha; Jakarta Barat 3 lokasi seluas 17,89 ha; Jakarta Timur 8 lokasi seluas 62,93 ha; dan Jakarta Selatan seluas 57,42 ha. Dari data tersebut terlihat bahwa hutan kota terluas adalah Jakarta Timur dan Selata, dengan demikian Jakarta Pusat, Jakarta Timur dan Jakarta Barat membutuhkan hutan

5

Dahlan, op.cit,. h. 67.

6

(21)

kota lebih banyak lagi karena kurang dari standar yang telah disepakati dalam KTT Bumi.

Berdasarkan kegunaan hutan kota yang telah dipaparkan oleh Fakuara, maka hutan kota memiliki kegunaan proteksi sebagai perlindungan terhadap tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan yang terdapat dalam hutan kota tersebut, sehingga tidak terjadi kelangkaan baik terhadap hewan atau tumbuhan yang dilindungi oleh pemerintah ataupun tidak. Selanjutnya hutan kota memiliki kegunaan rekreasi, yang dapat digunakan oleh masyarakat sebagai tempat rekreasi, sebagai tempat penghilang kepenatan setelah sibuk beraktifitas sehari-hari. Kemudian hutan kota memiliki kegunaan estetika, yang bermanfaat untuk menghadirkan keindahan bagi yang melihatnya, sehingga timbul suatu kedamaian dan penghilang kepenatan setelah melihat keindahan hutan kota tersebut.

Hutan kota memiliki banyak potensi, salah satu potensi yang dimiliki hutan kota adalah sebagai daerah tujuan wisata dalam bentuk wisata lokal

(local tourism), hutan kota yang menjadi objek pariwisata memiliki standar

kelayakan tersendiri. Sarana dan prasarana hutan kota harus terpenuhi dengan baik jika suatu hutan kota dijadikan sebagai objek wisata. Hal ini dikarenakan letak hutan kota yang berada dekat dengan masyarakat kota yang dapat dengan mudah mengunjungi hutan kota tersebut, sehingga dibutuhkan fasilitas menunjang dan sesuai dengan standar kelayakan untuk membuat para pengunjung nyaman berada dilokasi dan terlebih lagi dapat meningkatkan pengunjung hutan kota.

(22)

perilaku masyarakat yang terfokus pada pemenuhan kebutuhan sehari-hari sehingga kurang peduli dengan kelestarian hutan kota Srengseng, sebagai contoh penduduk terdekat Hutan Kota Srengseng sering membuang sampah sembarangan ke area hutan kota padahal hutan kota tersebut sudah diberi tembok, selain itu mereka juga sering menjebol pintu belakang hutan kota sehingga mereka bebas masuk tanpa membayar retribusi. Ilmu pengetahuan dari tingkat SD sampai SMA yang selama ini mereka dapatkan ternyata tidak berdampak pada kesadaran menjaga hutan kota, hal ini menyebabkan keadaan Hutan Kota Srengseng memprihatinkan. Pemerintah setempatpun juga kurang memberikan perhatian terhadap Hutan Kota Srengseng, mereka memberi perhatian hanya jika ada kepentingan tertentu, padahal banyak manfaat dan potensi yang dapat diperoleh dari hutan kota salah satunya menjadikan hutan kota sebagai daerah tujuan wisata. Oleh karena itu peneliti tertarik melakukan penelitian dengan judul “Kelayakan Hutan Kota Srengseng Sebagai Daerah Tujuan Wisata di Jakarta Barat” (Studi Kasus di Kelurahan Srengseng Kecamatan Kembangan Kotamadya Jakarta Barat).

B. Identifikasi Masalah

Dari hasil identifikasi ditemukan beberapa faktor penyebab kurangnya kelayakan Hutan Kota Srengseng sebagai objek wisata di Jakarta Barat. 1. Pembangunan di DKI Jakarta kurang sesuai dengan daya dukung lahan. 2. Luas hutan kota di Jakarta Barat belum memenuhi standar minimum. 3. Karakteristik fisik Hutan Kota Srengseng yang belum dikelola secara

optimal.

4. Kondisi sosial ekonomi penduduk sekitar Hutan Kota Srengseng yang kurang mendukung.

5. Potensi Hutan Kota Srengseng sebagai daerah tujuan wisata belum optimal.

(23)

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, muncul banyak permasalahan yang harus diidentifikasi. Agar penelitian ini lebih terfokus dan mendalam kajiannya, perlu ada pembatasan masalah penelitian. Dengan demikian masalah yang diteliti dalam penelitian ini dibatasi pada:

1. Karakteristik fisis Hutan Kota Srengseng.

2. Kelayakan Hutan Kota Srengseng sebagai daerah tujuan wisata. D. Perumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah karakteristik fisik hutan kota Srengseng?

2. Bagaimanakah kelayakan hutan kota Srengseng sebagai daerah tujuan wisata di Jakarta Barat?

E. Tujuan Penelitian

Penelitian studi kelayakan Hutan Kota Srengseng sebagai daerah tujuan wisata di Jakarta Barat ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui karakteristik fisik hutan kota Srengseng.

2. Mengenali kelayakan hutan kota Srengseng sebagai objek wisata di Jakarta Barat.

F. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1. Manfaat Teoritis

a. Untuk meningkatkan pemahaman terhadap geografi terutama dalam membahas bidang kajian geografi yang terkait dengan keruangan yaitu pariwisata.

b. Untuk UIN Syarif Hidayatullah Jakarta khususnya untuk Jurusan Pendidikan IPS sebagai referensi lain untuk perkuliahan.

(24)

d. Sebagai bahan rujukan bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian lanjutan.

2. Manfaat Praktis

(25)

8 BAB II KAJIAN TEORI A. Landasan Teori

1. Hutan Kota

a. Pengertian Hutan Kota

Hutan Kota merupakan salah satu perencanaan pada tata ruang perkotaan, karena pada dasarnya pembangunan di perkotaan lebih mementingkan nilai ekonomis dari pada nilai ekologis, untuk itu diperlukan hutan kota untuk kepentingan ekologis menciptakan lingkungan perkotaan yang selaras dengan alam. Kajian mengenai hutan kota menjadi penting saat ini melihat urgensi dari keberadaan hutan kota sudah semakin terasa, berikut akan dipaparkan mengenai defisini hutan kota.

Definisi hutan kota adalah komunitas vegetasi berupa pohon dan asosiasinya yang tumbuh di lahan kota atau sekitarnya.1 Selain itu Definisi hutan kota menurut Fakuara adalah tumbuhan atau vegetasi berkayu di wilayah perkotaan yang memberikan manfaat lingkungan yang sebesar-besarnya di wilayah perkotaan dalam kegunaan-kegunaan proteksi, estetika, rekreasi dan kegunaan khusus lainnya.2

Selanjutnya definisi hutan kota menurut beberapa ahli dapat dilihat sebagai berikut. Hutan kota menurut Grey dan Denehe, meliputi semua vegetasi berkayu di dalam lingkungan tempat penduduk, mulai dari kampung yang kecil sampai kota besar. Dalam hal ini tidak hanya pohon-pohon saja akan tetapi juga dalam setiap lahan seperti jalur hijau dan tempat rekreasi.

Ada dua istilah yaitu:

1) Hutan kota (urban forest) adalah kawasan vegetasi berkayu yang luas serta jarak tanamnya terbuka bagi umum, mudah dijangkau oleh

1

Eva Siti Sundari, “Studi untuk Menentukan Fungsi Hutan Kota dalam Masalah Lingkungan Perkotaan”, Jurnal PWK Unisba, t.t, h. 8.

2

(26)

penduduk kota dan dapat memenuhi fungsi perlindungan dan regulatifnya, seperti kelestarian tanah, kebisingan, dan lain-lain. 2) Hutan perkotaan (urban forestry) adalah suatu hutan yang

keberadaannya di dalam kota, di pinggir kota atau dalam daerah-daerah pusat pemukiman. Hutan kota merupakan cabang khusus hutan, pengelolaan dilakukan secara terpadu, multi disiplin dan dikembangkan secara intensif di perkotaan untuk keuntungan dan kepentingan warga kota.3

Sedangkan menurut hasil rumusan rapat Teknis di Jakarta pada bulan Februari 1991 hutan kota didefinisikan sebagai suatu lahan yang bertumbuhan pohon-pohon di dalam wilayah perkotaan di dalam tanah negara maupun tanah milik yang berfungsi sebagai penyangga lingkungan dalam hal pengaturan tata air, udara, habitat flora dan fauna yang memiliki nilai estetika dan dengan luasan yang solid yang merupakan ruang terbuka hijau pohon-pohonan serta areal tersebut ditetapkan oleh pejabat berwenang sebagai hutan kota. Hutan kota merupakan bagian dari program Ruang Terbuka Hijau. Ruang terbuka hijau dinyatakan sebagai ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk membulat maupun dalam bentuk memanjang atau jalur dimana dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka yang pada dasarnya tanpa bangunan (Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1988). Pelaksanaan program pembangunan Ruang Terbuka Hijau dilakukan dengan pengisian hijau tumbuhan secara alamiah ataupun tanaman budidaya seperti pertanian, pertamanan, perkebunan, dan sebagainya.4

Jadi berdasarkan dua pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa hutan kota merupakan ruang terbuka hijau yang dipenuhi oleh vegetasi berkayu di lingkungan perkotaan yang memiliki kegunaan proteksi, estetika, rekreasi dan kegunaan khusus lainnya.

3 Zoer’aini, Djamal Irwan,

Prinsip-Prinsip Ekologi, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2012), h. 179.

4

(27)

Terdapat dua pendekatan yang dipakai dalam membangun hutan kota. Pendekatan pertama, hutan kota dibangun pada lokasi-lokasi tertentu saja. Pada pendekatan ini hutan kota merupakan bagian dari suatu kota. Penentuan luasannya pun dapat berdasarkan:

1. Prosentase, yaitu luasan hutan kota ditentukan dengan menghitungnya dari luasan kota.

2. Perhitungan perkapita, yaitu luasan hutan kota ditentukan berdasarkan jumlah penduduknya, dan

3. Berdasarkan isu utama yang muncul, misalnya untuk menghitung luasan hutan kota pada suatu kota dapat dihitung berdasarkan tujuan pemenuhan kebutuhan akan oksigen, air, dan kebutuhan lainnya.

Pendekatan kedua, semua areal yang ada di suatu kota pada dasarnya merupakan areal hutan kota. Pada pendekatan ini komponen yang ada di kota seperti pemukiman, perkantoran dan industry dipandang sebagai suatu enclave (bagian) yang ada dalam suatu hutan kota.5

Negara Malaysia dan Singapura membangun hutan kota dengan pendekatan yang kedua. Kedua kota tersebut memiliki prinsip bahwa kota harus dihijaukan di setiap titik agar lingkungan menjadi bersih dan terbebas dari pencemaran udara dan terlihat indah dan asri. Meskipun di dalam kota terdapat area kosong hanya 10 m² saja maka jika memungkinkan ditanami oleh pohonan maka harus ditanami. Sehingga akan diperoleh lingkungan yang lebih indah dari segi: tata letak, komposisi, aksentuasi, keseimbangan, keserasian dan kealamian, tanpa melupakan persyaratan silvikulturnya. Negara Indonesia menggunakan pendekatan yang pertama dalam membangun hutan kota.6 Hal ini berdampak pada tipe pembangunan beberapa kota di Jakarta yang kurang memperhatikan ekologi.

5

Ibid,.h. 29. 6

(28)

b. Peran Hutan Kota

Sebagai bagian dari suatu kota, hutan kota memiliki peran sebagai berikut:

1) Identitas kota

2) Pelestarian plasma nutfah

3) Penahan dan penyaring partikel padat dari udara 4) Penyerap partikel timbal

5) Penyerap dan penjerap debu semen 6) Peredam kebisingan

7) Mengurangi bahaya hujan asam

8) Penyerap karbondioksida dan penghasil oksigen 9) Penahan angin

10) Penyerap dan penapis bau 11) Mengatasi penggenangan 12) Mengatasi intrusi air laut 13) Ameliorasi iklim

14) Pelestarian air tanah 15) Meningatkan keindahan 16) Sebagai habitat burung 17) Mengurangi stress

18) Mengamankan pantai terhadap abrasi 19) Meningkatkan industri pariwisata 20) Sebagai hobi dan pengisi waktu luang.7

Berdasarkan pemaparan tentang manfaat hutan kota, seharusnya pembuatan hutan kota sudah menjadi salah satu prioritas bagi pemerintah agar terasa manfaatnya bagi masyarakat.

c. Tipe Hutan Kota

Hutan kota dibangun sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat dan kondisi lingkungan yang ada. Ada beberapa tipe hutan kota, yaitu:

7

(29)

1) Tipe Pemukiman

Hutan kota di daerah pemukiman dapat berupa tanaman dengan komposisi tanaman pepohonan yang tinggi dikombinasikan dengan semak dan rerumputan. Umumnya digunakan untuk olahraga, bersantai, bermain, dan sebagainya.

2) Tipe kawasan Industri

Suatu wilayah perkotaan pada umumnya memiliki beberapa kawasan industri yang dapat menghasilkan zat-zat beracun yang merusak lingkungan. Beberapa jenis tanaman telah diketahui kemampuannya dalam menyerap dan menjerap polutan. Dewasa ini juga telah diteliti beberapa jenis tanaman yang memiliki ketahanan terhadapn polutan yang dihasilkan oleh suatu pabrik. Dengan demikian informasi ini dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam memilih jenis tanaman yang akan dikembangkan di kawasan industri. 3) Tipe Rekreasi dan Keindahan

Pada saat ini terdapat kecenderungan terjadinya peningkatan minat penduduk perkotaan untuk rekreasi. Hal ini sangat erat kaitannya dengan peningkatan pendapatan, peningkatan sarana transportasi, peningkatan sistem informasi baik cetak maupun elektronika, semakin sibuk dan semakin besar kemungkinan untuk mendapatkan stres. Rekreasi pada kawasan hutan kota bertujuan untuk menyegarkan kembali kondisi badan yang sudah penat dan jenuh dengan kegiatan supaya siap menghadapi tugas yang baru.

4) Tipe Pelestarian Plasma Nutfah

Hutan konservasi mengandung tujuan untuk mencegah kerusakan perlindungan dan pelestarian terhadap sumber daya alam. 5) Tipe Perlindungan

(30)

pesisir dapat berguna untuk mengamankan daerah pantai dari gempuran ombak laut yang dapat menghancurkan pantai.

6) Tipe Pengaman

Tipe pengaman adalah jalur hijau di sepanjang tepi jalan bebas hambatan. Dengan menanam perdu yang liat dan dilengkapi dengan jalur pohon pisang dan tanaman yang meramba dari legume secara berlapis-lapis, akan dapat menahan kendaraan yang keluar dari jalur jalan. Sehingga bahaya kecelakaan karena pecah ban, patah setir ataupun karena pengendara mengantuk dapat dikurangi. Pada kawasan ini tanaman harus betul-betul cermat dipilih yang tidak mengundang masyarakat menggunakannya.

d. Bentuk Hutan Kota

Menurut Zoer’aini Djamal Irwan bentuk hutan kota dapat dikelompokkan menjadi 3 bentuk, yaitu :

1) Bergerombol atau menumpuk, yaitu hutan kota dengan komunitas vegetasinya terkonsentrasi pada suatu areal dengan jumlah vegetasinya minimal 100 pohon dengan jarak tanam rapat yang tidak beraturan.

2) Menyebar yaitu hutan kota yang tidak mempunyai pola tertentu dengan komunitas vegetasinya tumbuh menyebar terpencar-pencar dalam bentuk rumpun atau gerombol-gerombol kecil.

3) Berbentuk jalur, yaitu komunitas vegetasinya tumbuh pada lahan yang berbentuk jalur lurus atau melengkung, mengikuti bentukan sungai, jalan pantai, saluran dan sebagainya.8

e. Struktur Hutan Kota

Struktur hutan kota ditentukan oleh keanekaragaman vegetasi yang ditanam sehingga terbangun hutan kota yang berlapis-lapis dan berstrata baik secara vertikal maupun horizontal yang meniru hutan alam. Struktur hutan kota merupakan komunitas tumbuh-tumbuhan yang

8

(31)

menyusun hutan kota. Struktur Hutan Kota dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1) Berstrata dua, yaitu komunitas tumbuh-tumbuhan hutan kota hanya terdiri dari pepohonan dan rumput atau penutup tanah lainnya.

2) Berstrata banyak, yaitu komunitas tumbuh-tumbuhan hutan kota selain terdiri dari pepohonan dan rumput juga terdapat semak, terna, liana, epifit, ditumbuhi banyak anakan dan penutup tanah, jarak tanam rapat tidak beraturan dengan strata, serta komposisi mengarah meniru komunitas tumbuh-tumbuhan hutan alam.

Struktur hutan kota yang berstrata banyak dapat dilihat dalam penelitian penanggulangan masalah lingkungan kota yang berhubungan dengan suhu udara, kebisingan, debu dan kelembaban udara. Hasil analisis secara multidimensi dari lima jenis hutan kota, ternyata hutan kota yang berbentuk menyebar strata banyak paling efektif untuk menanggulangi masalah lingkungan kota sekitarnya. Fungsi dan manfaat hutan kota yang berbentuk menyebar ini akan menyebar pula, jika dibandingkan dengan fungsi dan peranan hutan kota yang berbentuk bergerombol.9

2. Pariwisata

a. Pengertian Pariwisata

Secara etimologi kata “pariwisata” berasal dari bahasa Sansekerta, sesungguhnya bukanlah berarti “tourisme” (bahasa Belanda) atau “tourism” (bahasa Inggris). Kata pariwisata menurut pengertian ini, merupakan sinonim dengan pengertian “tour”. Pendapat ini berdasarkan pengertian sebagai berikut: kata pariwisata berasal dari dua suku kata yaitu kata “pari” dan “wisata”. Pari, berarti banyak, berkali-kali, berputar-putar, lengkap (ingat kata paripurna) dan wisata,

9

(32)

berarti perjalanan, bepergian yang dalam hal ini sinonim dengan

kata”travel” dalam bahasa Inggris.10

Atas dasar tersebut, maka kata “pariwisata” diartikan sebagai perjalanan yang dilakukan berkali-kali atau berputar-putar dari suatu tempat ke tempat lain, yang dalam bahasa Inggris disebut dengan kata ”tour”, sedangkan untuk pengertian jamak, kata “kepariwisataan” dapat digunakan kata ”tousrisme” atau “tourism”.11

Definisi pariwisata menurut beberapa para ahli adalah: 1) Prof Salah Wahab

Suatu aktivitas manusia yang dilakukan secara sadar yang mendapat pelayanan secara bergantian di antara orang-orang dalam suatu negara itu sendiri (di luar negeri), meliputi pendiaman orang-orang dari daerah lain (daerah tertentu, suatu negara atau benua) untuk sementara waktu dalam mencari kepuasan yang beraneka ragam dan berbeda dengan apa yang dialaminya dimana ia memperoleh pekerjaan tetap. 2) Dr. Hubbert Gulden

Suatu seni dari lalu lintas orang dimana manusia berdiam diri di suatu tempat asing untuk maksud tertentu, tetapi dengan kediamannya itu tidak boleh dimaksudkan akan tinggal menetap untuk melakukan pekerjaan selama-lamanya atau meskipun sementara waktu, yaitu sifatnya berhubungan dengan pekerjaan.

3) Ketetapan MPRS No. I-II Tahun 1960

Kepariwisataan dalam dunia modern pada hakekatnya adalah suatu cara untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam memberi liburan rohani dan jasmani setelah beberapa waktu bekerja serta mempunyai modal untuk melihat-lihat daerah lain (pariwisata dalam negeri) atau negara-negara lain (pariwisata luar negeri)12

Jadi berdasarkan beberapa pengerian di atas dapat disimpulkan pariwisata adalah suatu kegiatan manusia mengunjungi daerah lain dari tempat tinggalnya dan tidak untuk tujuan menetap atau melakukan kegiatan bisnis, melainkan untuk bersenang-senang, rekreasi dan menghilangkan kepenatan setelah beraktivitas sehari-hari.

10

Oka A. Yoeti, Pengantar Ilmu Pariwisata, (Bandung: Aksara, 1996), h. 112. 11

Ibid,. h. 112-113. 12

(33)

b. Wisatawan

Berdasarkan tata bahasa Inggris pelaku perjalanan pariwisata adalah”tourism” dan ”excurtionist”. Menurut rumusan Internasional Union of Official Travel Organisation (IUOTO) pada tahun 1963 (dalam general uwantoro, 1997), yang dimaksud dengan tourist dan excurtionist sebagai berikut:

1) Wisatawan (tourist), yaitu pengunjung sementara paling sedikit tinggal selama 24 jam di negara yang dikunjunginya dengan tujuan perjalanan:

a) Pesiar (leisure), untuk keperluan rekreasi, liburan, kesehatan, studi, keagamaan, dan olah raga.

b) Hubungan dagang, sanak saudara, konferensi, misi dan sebagainya. 2) Pelancong (excurtionist) yaitu pengunjung sementara paling sedikit

tinggal selama 24 jam di negara yang dikunjunginya (termasuk pelancong dengan kapal pesiar). 13

Selanjutnya berdasarkan Undang-Undang No. 9 Tahun 1990 Tentang Kepariwisataan definisi wisatawan adalah orang yang

melakukan kegiatan wisata,14 sedangkan berdasarkan Undang-undang No. 10 tahun 2009 Tentang Kepariwisataan definisi dari wisata adalah ”kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk kajian rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara”.15

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa wisatawan adalah orang atau pelaku yang melakukan kegiatan berwisata. c. Daerah Tujuan Wisata

Dalam melakukan wisata terdapat kajian sosiologis mengenai alasan seseorang melakukan wisata, terdapat faktor penarik dan pendorong yang menyebabkan seseorang melakukan kegiatan wisata. Hal

13

Geografi Pariwisata, 2014, h. 21, (http://eprints.uny.ac.id/8536/3/BAB2 -08405241008.pdf).

14

Pendit Nyoman S, Ilmu Pariwisata (Sebuah Pengantar Perdana), (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2003), h. 14.

15

(34)

senada juga dikemukakan ketika seseorang mengkaji elemen daerah tujuan wisata dalam sistem pariwisata. Semua hal ini terkait dengan destinasi atau daerah tujuan wisata. Pada dasarnya destinasi merupakan interaksi antar berbagai elemen, sebagaimana dikatakan Laiper (1990) tiga komponen pokok yang harus dikelola dengan baik oleh suatu destinasi adalah wisatawan, wilayah (objek dan atraksi), dan informasi mengenai wilayah.

Menurut Jackson (1989) ada empat elemen utama untuk mencapai tujuan umum dan khusus dari wisatawan, yaitu facilities, accomodation,

transportation, dan attraction”. Kembali menurut Jakson, perkembangan

suatu daerah menjadi daerah tujuan wisata dipengaruhi oleh beberapa pernyataan penting, seperti:

1. Attractive to client,

2. Facilities and attractions,

3. Geographic location,

4. Transport link,

5. Politicalstability,

6. Healthy environment,

7. No goverment restriction.16

Faktor-faktor penunjang daerah tujuan wisata harus diperhatikan dengan baik karena berpengaruh pada tingkat kunjungan wisatawan. d. Potensi Pengembangan Kawasan Wisata

1) Potensi Wisata

Potensi wisata menurut Nyoman S Pendit adalah segala hal dan kejadian yang diatur dan disediakan sehingga dapat dimanfaatkan untuk pengembangan pariwisata baik berupa suasana, kejadian, benda, maupun jasa.

Sedangkan menurut Chafid Fandeli potensi wisata juga dapat berupa sumber daya alam yang beraneka ragam dari aspek fisik dan

16

(35)

hayati, serta kekayaan budaya manusia yang dapat dikembangkan untuk pariwisata. Sedangkan sumber daya dapat diartikan sebagai unsur-unsur lingkungan alam atau yang telah diubah oleh manusia yang dapat memenuhi keinginan wisatawan.17

2) Atraksi Wisata

Atraksi wisata adalah segala sesuatu yang menarik dan bernilai untuk dikunjungi atau lazim pula dinamakan “objek wisata”. Atraksi atau objek wisata, baik yang hadir natural maupun yang biasa berlansung setiap harinya serta yang khusus diadakan pada waktu tertentu. Yang termasuk atraksi antara lain: panorama keindahan alam seperti gunung, lembah, ngarai, air terjun, danau, pantai matahari terbit/terbenam, cuaca, dan lain-lain yang berkaitan dengan keadaan alam. Selain keadaan alam keanekaragaman budaya dan sejarah juga dapat menjadi atraksi wisata. 18

3) Aksesibilitas (Jarak dan Waktu)

Dalam bidang pariwisata jarak dan waktu tempuh untuk sampai pada daerah tujuan wisata merupakan hal yang dipertimbangkan secara matang oleh para wisatawan. Semakin singkat dan terjangkaunya jarak dan waktu keberangkatan, maka daerah tujuan wisata tersebut akan banyak dikunjungi oleh wisatawan.

Akomodasi berupa tranportasi yang tersedia menuju daerah tujuan wisata tersebut juga harus ditingkatkan guna menarik para wisatawan, dengan fasilitas transportasi yang mampu sampai pada daerah tujuan wisata tersebut menyebabkan wisatawan mudah untuk mengunjungi daerah tujuan wisata tersebut.

Namun lagi pada era sekarang jauhnya daerah tujuan wisata bukan lagi menjadi hambatan bagi wisatawan yang ingin berkunjung kesana, apabila tersedia transportasi yang berkualitas dan terjangkau

17

Geografi Pariwisata. 2014, h. 22, (http://eprints.uny.ac.id/8536/3/BAB 2 - 08405241008.pdf).

18

(36)

bagi semua kalangan. Hal ini menjadi perhatian khusus para pengelola objek wisata untuk menyediakan transportasi baik darat, udara, dan laut sehinga akses menuju objek wisata dapat terjangkau sekalipun di pelosok negeri atau di luar negeri sekalipun.

4) Fasilitas

Sebelum seseorang wisatawan melakukan perjalanan wisata terlebih dahulu ia ingin mengetahui tentang:

a) Fasilitas transportasi yang akan membawanya dari dan ke daerah tujuan wisata yang ingin dikunjunginya.

b) Fasilitas akomodasi, yang merupakan tempat tinggal sementara di tempat atau di daerah tujuan yang akan dikunjunginya.

c) Fasilitas catering service, yang dapat memberikan pelayanan mengenai makanan dan minuman sesuai dengan selera masing-masing.

d) Objek dan atraksi wisata yang ada di daerah tujuan yang akan dikunjunginya.

e) Aktivitas rekreasi yang dapat dilakukan di tempat yang akan dikunjungi tersebut.

f) Fasilitas perbelanjaan, dimana ia dapat membeli barang-barang pada umumnya dan suvenir pada khususnya

g) Tempat atau toko ia dapat membeli atau reparasi kamera dan mencuci serta mencetak film hasil pemotretannya.

Semua hal tersebut menyangkut sarana prasarana pariwisata yang harus disediakan sebelum mempromosikan daerah tujuan wisata.19 a) Prasarana

Prasarana kepariwisataan adalah semua fasilitas yang mendukung agar sarana pariwisata dapat hidup dan berkembang serta

19

(37)

dapat memberikan pelayanan pada wisatawan guna memenuhi kebutuhan mereka yang beraneka ragam, antara lain:20

Lothar A. Krek dalam bukunya International Tourism dalam Oka A Yoeti membagi prasarana atas dua bagian yaitu:

a. Prasarana Perekonomian (Economy Infrastruktures), yang dapat dibagi atas:

1) Pengangkutan (Transportasi)

Pengangkutan di sini adalah pengangkutan yang dapat membawa para wisatawan dari tempat mereka tinggal ke tempat atau negara yang merupakan daerah tujuan wisata.

2) Komunikasi (Communication Infrastructures)

Tersedianya prasarana komunikasi akan dapat mendorong para wisatawan utuk mengadakan perjalanan jarak jauh. Dengan demikian wisatawa tidak akan ragu-ragu meninggalkan rumah dan anak-anaknya. Termasuk dalam kelompok ini diantaranya telepon, telegraph, radio, TV, surat kabar, internet, dan kantor pos.

b. Kelompok yang termasuk ”UTILITIES”

Sarana ”UTILITIES” adalah penerangan listrik, persediaan air minum, sistem irigasi dan sumber energi.

c. Sistem Perbankan

Adanya pelayanan bank bagi para wisatawan berarti bahwa wisatawan mendapat jaminan mutu dengan mudah menerima atau mengirimkan uangnya dari negara asalnya tanpa melayani birokrasi pelayanan. Sedangkan untuk pembayaran lokal, wisatawan dapat menukarkan uangnya pada money changer setempat.

20

(38)

d. Prasarana Sosial (Sosial Infrastructure)

Prasarana sosial adalah semua faktor yang menunjang kemajuan atau menjamin kelangsungan prasarana perekonomian yang ada. Termasuk dalam kelompok ini adalah:

1) Sistem pendidikan (School System)

Adanya lembaga-lembaga pendidikan yang mengkhususkan diri dalam pendidikan kepariwisataan merupakan suatu usaha untuk meningkatkan tidak hanya pelayanan bagi para wisatawan, tetapi juga untuk memelihara dan mengawasi suatu badan usaha yang bergerak dalam bidang kepariwisataan.

2) Pelayanan Kesehatan (Health Service Facilities)

Pelayanan kesehatan harus terdapat dalam daerah tujuan wisata sebaga jaminan pelayanan kesehatan bila ada wisatawan yang jatuh sakit dalam perjalanan wisata.

3) Faktor Keamanan (Safety Factor)

Perasaan tidak aman dapat terjadi di suatu tempat yang baru saja dikunjungi, untuk itu dibutuhkan keamanan dari tempat wisata sehingga para wisatawan merasa aman berada disana.

4) Petugas yang Langsung Melayani Wisatawan (Goverment

Apparatur)

Termasuk ke dalam kelompok ini antara lain petugas imigrasi, petugas bea cukai, petugas kesehatan, polisi, dan pejabat-pejabat lain yang berkaitan dengan pelayanan para wisatawan. 21

b)Sarana

Sarana kepariwisataan adalah sarana wisata merupakan perusahaan-perusahaan yang memberikan pelayanan kepada

21

(39)

wisatawan, baik secara langsung maupun tidak langsung serta kehidupannya banyak tergantung pada kedatangan wisatawan. 22 Jenis-jenis sarana pokok kepariwisataan adalah:

a. Sarana Pokok Wisata (Main Tourism Superstructures)

Sarana pokok wisata adalah perusahaan yang hidup dan kehidupannya tergantung pada arus kedatangan orang yang melakukan perjalanan pariwsata. Misalnya: travel agent, tour

operator, perusahaan angkutan wisata, hotel, retoran, objek

wisata/atraksi.

b. Sarana pelengkap pariwisata (SuplemetingTourism

Superstructures)

Sarana pelengkap pariwisata adalah perusahaan atau tempat-tempat yang menyediakan fasilitas untuk rekreasi yang fungsinya tidak hanya melengkapi sarana pokok pariwisata, tetapi juga adalah membuat agar wisatawan dapat lebih lama tinggal pada suatu daerah tujuan wisata (DTW)

c. Sarana Penunjang Pariwisata (Supporting Tourism

Superstructures)

Sarana penunjang pariwisata memiliki fungsi agar wisatawan lebih banyak membelanjakan uangnya di tempat yang dikunjunginya, misalnya kios-kios, night club, steambaths, dan casino.23

Tabel 2. 1

Standar Kelayakan menjadi Daerah Tujuan Wisata No Kriteria Standar Minimal

1. Objek Terdapat salah satu dari unsur alam, sosial ataupun budaya

2. Akses Adanya jalan, adanya kemudahan, rute, tempat parkir dan harga parkir yang terjangkau

3 Akomodasi Adanya pelayanan penginapan (hotel, wisma, losmen, dan lain-lain)

22

Ibid,. h. 197. 23

(40)

4. Fasilitas Agen perjalanan, pusat informasi, salon, fasilitas kesehatan, pemadam kebakaran,

hydrant, TIC (Tourism Information Centre),

guiding (pemandu wisata), plang informasi,

petugas yang memeriksa masuk dan keluarnya wisatawan (petugas entry dan exit)

5. Transportasi Adanya transportasi lokal yang nyaman, variatif yang menghubungkan akses masuk.

6. Cetering

Service

adanya pelayanan makanan dan minuman (restaurant, rumah makan, warung nasi dan lain-lain)

7. Aktivitas rekreasi

Terdapat sesuatu yang dilakukan di lokasi wisata, seperti berenang, terjun payung, berjemur, berselancar, jalan-jalan dan lain-lain.

8. Pembelanjaan Adanya tempat pembelian barang-barang umum, seperti kamera beserta film, serta souvenir yang khusus dan sesuatu yang khas dari daerah yang bersangkutan

9. Komunikasi Adanya televisi, telepon umum/warung telkom, radio, sinyal telephone seluler, penjual voucher (isi ulang pulsa seluler) dan internet akses

10. Sistem perbankkan

Adanya bank (beberapa jumlah dan jenis bank dan ATM beserta sebarannya)

11. Kesehatan Poliklinik poli umum/Jaminan ketersediaan pelayanan yang baik untuk penyakit yang mungkin diderita wisatawan

12. Keamanan Adanya jaminan keamanan (petugas khusus keamanan, polisi wisata, pengawas pantai, rambu-rambu perhatian, pengarah kepada wisatawan)

13. Kebersihan Tempat sampah dan rambu-rambu peringatan tentang kebersihan

14 Sarana Ibadah Terdapat salah satu sarana ibadah bagi wisatawan

15 Sarana Pendidikan

Terdapat salah satu sarana pendidikan formal

16 Sarana Olahraga

Terdapat alat dan perlengkapan untuk berolahraga

(41)

3. Hakikat Pariwisata

Kegiatan pariwisata merupakan perwujudan dari hak asasi manusia (HAM). Di dalam the Universal Declaration of Human Right tercantum pernyataan sebagai berikut:

a. Setiap orang memiliki hak untuk secara bebas melakukan pergerakan dan tinggal di dalam batas wilayah setiap negara atau everyone has right to freedom of movement and residence within the borders of each

state. (pasal 13 ayat 1)

b. Setiap orang memiliki hak untuk beristirahat dan berpesiar termasuk di dalamnya pembahasan waktu bekerja yang memadai dan waktu liburan dengan tetap digaji (everyone has the right to rest and leisure, including

reasonable limitation of working hours and periodic holiday with pay).

(Pasal 24)

Kedua pasal tersebut di atas menunjukkan bahwa secara jelas dapat diketahui adanya hak yang sangat mendasar atas kebebasan untuk bergerak, beristirahat dan berlibur. Sedangkan pariwisata merupakan alat pelaksana HAM. Pariwisata merupakan penghubung antara wisatawan dengan tempat-tempat yang dikunjunginya tanpa membedakan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik, kewarganegaraan, kebangsaan, tempat kelahiran dan statusnya. Prinsip ini secara tegas telah dicantumkan dalam Global Code of Ethics for Tourism yang telah ditetapkan oleh World Tourism Organisation (WTO).24

Dalam mewujudkan perkembangan pariwisata harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a. Kemampuan untuk mendorong dan meningkatkan perkembangan kehidupan ekonomi dan sosial budaya.

b. Nilai-nilai agama, adat istiadat, serta pandangan dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

c. Kelestarian budaya dan mutu lingkungan hidup.

24

(42)

d. Kelanjutan dari usaha periwisata itu sendiri.

Hal ini dikarenakan bahwa pariwisata merupakan cerminan budaya bangsa yang menuju kearah peradaban, mempertinggi derajat kemanusiaan, kesusilaan, dan ketertiban umum sebagai jati diri bangsa.25

4. Peran Pemerintah dalam Industri Pariwisata

Selo Soemardjan menyatakan bahwa pengembangan pariwisata harus merupakan pengembangan yang berencana secara menyeluruh, sehingga dapat diperoleh manfaat yang optimal bagi masyarakat, baik secara ekonomi, sosial, maupun kultural. Perencanaan tersebut harus mengintegrasikan pengembangan pariwisata ke dalam suatu program pembangunan ekonomi, fisik, dan sosial disuatu negara. Disamping itu, rencana tersebut harus mampu memberikan kerangka kerja kebijaksanaan pemerintah, untuk mendorong dan mengendalikan pengembangan pariwisata.

Peran pemerintah dalam mengembangkan pariwisata adalah menyediakan infrastruktur (tidak hanya dalam bentuk fisik), memperluas bentuk fasilitas, kegiatan kordinasi antar aparatur pemerintah dengan pihak swasta, pengaturan promosi umum ke luar negeri. Tidak dapat disangkal bahwa hampir seluruh wilayah Indonesia memiliki potensi pariwisata, maka yang perlu diperhatikan adalah sarana angkutan, keadaan infrastruktur, sarana dan prasarana yang menuju ke dan terdapat di daerah tersebut. Mengembangkan kesemuanya secara simultan merupakan hal yang sulit karena biaya yang dibutuhkan besar sedangkan dana yang tersedia terbatas, oleh karena itu pembangunan pariwisata haruslah berdasarkan skala prioritas.

Pada saat World Tourism Conference di Manila pada tahun 1980 mengungkapkan bahwa pemerintah harus meninjau dan mempelajari

turism secara menyeluruh, berhati-hati dan secara objektif. Dalam

pengembangannya pemerintah harus menitikberatkan pada peran

25

(43)

pariwisata terhadap kesejahteraan sosial, penggunaan tanah, perlindungan terhadap lingukungan sosial dan alam, serta pada pelestarian tradisi dan kebudayaan. Segala hal tersebut telah tertuang dalam MPR dalam GBHN, tinggal bagaimana mengaplikaasikan dalam keadaan yang sebenarnya. 26 5. Ekowisata

a. Pengertian Ekowisata

Pengertian ekowisata mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Namun pada hakekatnya pengertian ekowisata adalah suatu bentuk wisata yang bertanggung jawab terhadap kelestarian area yang masih alami, memberi manfaat secara ekonomi dan mempertahankan keutuhan budaya bagi masyarakat setempat. Berdasarkan pengertian ini, bentuk ekowisata pada dasarnya merupakan bentuk gerakan konservasi yang dilakukan oleh penduduk dunia. Eco-traveler ini pada hakekatnya konservasionis.

Definisi ekowisata pertama kali diperkenalkan oleh organisasi

The Ecotourism Society pada tahun 1990, menurut The Ecotourism

Societ,“Ekowisata adalah suatu bentuk perjalanan wisata ke area alami

yang dilakukan dengan tujuan mengkonservasi lingkungan dan melestarikan kehidupan dan kesejahteraan penduduk setempat”.

Semula ekowisata dilakukan oleh wisatawan pecinta alam, namun dalam perkembangannya bentuk ekowisata semakin berkembang karena banyak digemari oleh wisatawan, sehingga muncullah kegiatan bisnis berbasisi ekowisata. Ekowisata kemudian didefinisikan sebagai berikut: “Ekowisata adalah bentuk baru dari perjalanan bertanggung jawab ke area alami dan berpetualang yang dapat menciptakan industri pariwisata”.

Selanjutnya Australian Department of Tourism mendefinisikan ekowisata merupakan wisata berbasis pada alam dengan mengikutkan aspek pendidikan dan interpretasi terhadap lingkungan alami dan budaya masyarakat dengan pengelolaan kelestarian ekologis. Definisi ini memberi penegasan bahwa

26

(44)

aspek yang terkait tidak hanya bisnis seperti halnya bentuk pariwisata lainnya, tetapi lebih dekat dengan pariwisata minat khusus, alternative tourism atau special interest tourism dengan obyek dan daya tarik wisata alam.27

Dari ketiga definisi dapat dipahami bahwa ekowisata telah berkembang sangat pesat. Taman Nasional merupakan salah satu tempat yang berhasil mengembangkan ekowisata dan merupakan salah satu destinasi untuk ekowisata. Selain itu dibutuhkan pendidikan untuk dapat menunjang ekowisata.

Berdasarkan pengertian ekowisata di atas dapat disimpulkan bahwa ekowisata adalah suatu perjalanan wisata yang bertanggung jawab dengan melakukan kegiatan inti yaitu konservasi untuk kelestarian lingkungan, yang dapat memberikan manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat setempat.

b. Pendekatan Ekowisata

Pendekatan konservasi merupakan bentuk pendekatan yang digunakan dalam ekowisata. Hal ini sesuai dengan definisi yang dibuat oleh The International Union for Conservntion of Nature and Natural

Resources, “Konservasi adalah usaha manusia untuk memanfaatkan

biosphere dengan berusaha memberikan hasil yang besar dan lestari

untuk generasi kini dan mendatang”.

Daerah alam merupakan tempat yang tepat bagi pengembangan ekowisata. Kawasan konservasi sebagai obyek daya tarik wisata dapat berupa Taman Nasional, Taman Hutan Raya, Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Wisata dan Taman Buru. Tetapi kawasan hutan yang lain seperti hutan lindung dan hutan produksi jika memiliki obyek alam sebagai daya tarik ekowisata dapat dipergunakan juga untuk pengembangan ekowisata. Area alami suatu ekosistem sungai, danau, rawa, gambut, di daerah hulu atau muara sungai dapat pula

27

(45)

dipergunakan untuk ekowisata. Pendekatan yang harus dilaksanakan adalah tetap menjaga area tersebut tetap lestari sebagai areal alam.28

Pendekatan lain bahwa ekowisata harus dapat menjamin kelestarian lingkungan. Kelestarian lingkungan tersebut seperti tujuan konservasi sebagai berikut:

1) Menjaga tetap berlangsungnya proses ekologis yang tetap mendukung sistem kehidupan.

2) Melindungi keanekaragaman hayati.

3) Menjamin kelestarian dan pemanfaatan spesies dan ekosistemnya. Di dalam pemanfaatan areal alam untuk ekowisata mempergunakan pendekatan pelestarian dan pemanfaatan. Kedua pendekatan ini menitikberatkan pelestarian dibanding pemanfaatan.

Kemudian pendekatan lainnya adalah pendekatan pada keberpihakan kepada masyarakat setempat agar mampu mempertahankan budaya lokal dan sekaligus meningkatkan kesejah-teraannya. Bahkan Eplerwood memberikan konsep dalam hal ini:

Urgent need to generate funding and human resonrces for the

management of protected areas in ways that meet the needs of local

rural populations”, yang memiliki arti salah satu yang dapat dilakukan

adalah dengan mengatur conservation tax untuk membiayai secara langsung kebutuhan kawasan dan masyarakat lokal.29

c. Konsep Pengembangan Ekowisata

Pengembangan ekowisata dilaksanakan dengan cara pengembangan pariwisata pada umumnya. Terdapat dua aspek yang perlu diperhatikan, Pertama, aspek destinasi, kemudian kedua adalah aspek market. Untuk pengembangan ekowisata dilaksanakan dengan konsep product driven. Meskipun aspek market perlu dipertimbangkan namun, sifat dan perilaku obyek dan daya tarik wisata alam dan budaya diusahakan untuk menjaga kelestarian dan keberadaannya.

28

Ibid,. h. 3-4. 29

(46)

Pada hakekatnya ekowisata yang melestarikan dan memanfaatkan alam dan budaya masyarakat, jauh lebih ketat dibanding dengan hanya keberlanjutan. Pembangunan eko wisata berwawasan lingkungan jauh lebih terjamin hasilnya dalam melestarikan alam dibanding dengan keberlanjutan pembangunan. Sebab ekowisata tidak melakukan eksploitasi alam, tetapi hanya menggunakan jasa alam dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pengetahuan, fisik dan psikologis wisatawan. Bahkan dalam berbagai aspek ekowisata merupakan bentuk wisata yang mengarah ke metatourism. Ekowisata bukan menjual destinasi tetapi menjual filosofi. Dari aspek inilah ekowisata tidak akan mengenal kejenuhan pasar.

d. Prinsip Ekowisata

The Ecotourism Society menyebutkan ada delapan prinsip, yaitu:

1. Mencegah dan menanggulangi dampak dari aktivitas wisatawan terhadap alam dan budaya, pencegahan dan penanggulangan disesuaikan dengan sifat dan karakter alam dan budaya setempat. 2. Pendidikan konservasi lingkungan. Mendidik wisatawan dan

masyarakat setempat akan pentingnya arti konservasi. Proses pendidikan ini dapat dilakukan langsung di alam.

3. Pendapatan langsung untuk kawasan. Mengatur agar kawasan yang digunakan untuk ekowisata dan manajemen pengelola kawasan pelestarian dapat menerima langsung penghasilan atau pendapatan. Retribusi dan conservation tax dapat dipergunakan secara langsung untuk membina, melestarikan dan meningkatkan kualitas kawasan pelestarian alam.

4. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan. Masyarakat diajak dalam merencanakan pengembangan ekowisata. Demikian pula di dalam pengawasan, peran masyarakat diharapkan ikut secara aktif.

(47)

6. Menjaga keharmonisan dengan alam. Semua upaya pengembangan termasuk pengembangan fasilitas dan utilitas harus tetap menjaga keharmonisan dengan alam. Apabila ada upaya disharmonize dengan alam akan merusak produk wisata ekologis ini. Hindarkan sejauh mungkin penggunaan minyak, mengeksploitasi flora dan fauna serta menghilangkan keaslian budaya masyarakat.

7. Daya dukung lingkungan. Pada umumnya lingkungan alam mempunyai daya dukung yang lebih rendah dengan daya dukung kawasan buatan Meskipun mungkin permintaan sangat banyak, tetapi daya dukunglah yang membatasi.

8. Peluang penghasilan pada porsi yang besar terhadap negara. Apabila suatu kawasan pelestarian dikembangkan untuk ekowisata, maka devisa dan belanja wisatawan didorong sebesar-besarnya dinikmati oleh negara atau negara bagian atau pemerintah daerah setempat.30 6. Geografi dalam Pariwisata

Setiap ilmu pengetahuan yang dikaji tidak dapat berdiri sendiri, ilmu tersebut memerlukan ilmu pengetahuan lain sebagai ilmu bantu bagi sempurnanya ilmu pengetahuan tersebut. Sama halnya dengan geografi dan pariwisata, keduanya memiliki keterkaitan yang tidak dapat dipisahkan. Geografi membahas pariwisata sebagai salah satu fenomena yang dikaji, dan pariwisata membutuhkan geografi untuk bisa menentukan kebijakan-kebijakan dalam pariwisata.

Terdapat 6 alasan yang melatarbelakangi geografi mengkaji pariwisata:

1. Kegiatan pariwisata menggunakan aspek ruang didalamnya dan geografi sangat memperhatikan ruang, khususnya persamaan dan perbedaan ruang di permukaan bumi.

2. Di dalam aktivitas pariwisata terdapat penggunaan lahan dan geografi dapat melihat bagaimana suatu lahan dapat didayagunakan dan disesuaikan dengan bentuk penggunaan lahan dan daya dukung lahan.

30

(48)

3. Dalam kegiatan pariwisata terdapat aktiviitas manusia dan geografi selalu memperhatikan aktivirtas manusia yang bersifat komersial dalam memanfaatkan ruang yang dapat dilihat secara lokal, regional, nasional, bahkan internasional.

4. Dalam kegiatan pariwisata mencerminkan interaksi dua tempat yang berbeda, yaitu daerah asal wisatawan dengan daerah tujuan wisata. 5. Geografi selalu melihat gerakan, aliran barang dan orang sebagai wujud

dari adanya dan perbedaan potensi wilayah, baik alami maupun hasil dari aktivitas manusia. Aktivitas pariwisata selalu berkaitan dengan wisatawan, barang, dan jasa yang dibutuhkan oleh wisatawan selama mengadakan perjalanan.

6. Aktivitas pariwata dapat berdampak positif maupun negatif yang ditimbulkan dari interaksi antar kehidupan manusia sebagai wisatawan dengan lingkungan alam sekitar dan geografi selalu tertarik dengan dampak suatu gejala terhadap gejala lain di dalam maupun di tempat yang berbeda.31

Merujuk pada 6 alasan di atas maka antara geografi dan pariwisata tidak dapat dipisahkan dan saling membantu, untuk itu terdapat kajian lain dalam geografi berupa geografi pariwisata.

Geografi pariwisata adalah ilmu yang mempelajari persamaan dan perbedaan potensi wisata di permukaan bumi, dengan selalu melihat keterkaitan antara alam, antar aspek manusia dan manusia dengan alam. Persamaan dan perbedaan ini menimbulkan interaksi antar wilayah, dan gerakan orang dari satu tempat ke tempat lain. Geografi pariwisata pun selalu melihat dampaknya terhadap lingkungan alam, sosial ekonomi, dan budaya penduduk. Konsep-konsep geografi seperti lokasi, jarak, keterjangkauan, interaksi, keterkaitan, dan nilai guna selalu menjadi dasar dalam menjelaskan fenomena pariwisata.32

31

HO_GEOPAR_2 pdf. 2014. h.8.

(49)

Dari aspek geografi, pariwisata merupakan suatu usaha pemanfaatan sumber daya (baik manusia, alam, teknologi, dan lain-lain), dimana pemanfaatan sumber daya itu sendiri adalah sebagai sesuatu yang memiliki nilai apabila sesuai dikelola dengan baik.33

Berdasarkan pemaparan diatas maka dapat disimpulkan bahwa antara geografi dan pariwisata tidak dapat dipisahkan, keduanya saling terkait dan saling membantu karena memiliki aspek kajian yang sama yaitu lingkungan dan manusia. Dengan adanya geografi di dalam kajian pariwisata maka pengelolaan pariwisata akan sesuai dengan daya dukung lahan dan menjadi efektif serta efisien.

7. Pariwisata dalam al-Quran

(50)

190. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,

191. (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, tiadaklah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. (QS al-Imron 3:190-191)

Berdasarkan ayat tersebut perjalanan yang dianjurkan al-Quran di atas adalah perjalanan yang bersifat umum, yang dikaitkan dengan ilmu pengetahuan, studi sejarah bangsa-bangsa terdahulu sebagai dikenal sekarang degan suatu kegiatan “wisata budaya” dan agar manusia memperhatikan alam lingkungan ciptaan Allah yang dikenal dengan “wiata alam”.

2. Hasil Penelitian Relevan

1. Studi Kelayakan Perkebunan Teh Gunung Mas Bogor Sebagai Daerah Tujuan Wisata di Jawa Barat. Skripsi. Jakiatin Nisa. Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia Fakultas Ilmu Pengetahuan Sosial 2007.

Hasil penelitian: Perkebunan teh mendukung dan layak untuk dijadikan daerah tujuan wistaa dan tentunya layak pula untuk dikembangkan sebagai objek wisata. Berdasarkan hasil penelitian faktor sosial dan budaya masih perlu dikembangkan lagi dan perlu mendapat penanganan yang lebih serius dari pihak terkait.

2. Potensi Pengembangan Wisata Pada Kawasan Objek Wisata Situ Gintung di Ciputat Tanggerang Selatan. Septiyani Aziz Mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Jurusan Pendidikan IPS 2014.

(51)

3. Analisis Kepuasan Wisatawan Terhadap Kualitas Pelayanan Wisata Hutan Kota Tanah Tinggal. Riko Saputra Mahasiswa Fakultas Saint dan Teknologi Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian 2006.

Hasil penelitian: Secara umum wisata Hutan Kota Tanah Tinggal telah memberikan pelayanan yang baik terhadap wisatawannya, yang dapat dilihat dari semakin banyaknya pengunjung pada objek wisata tersebut. 4. Jurnal “GEA” Jurusan Pendidikan Geografi Vol. 1, April 2008. Pariwisata

dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, Nandi.

Hasil penelitian: pengelolaan, pengembangan, dan pembiayaan kawasan wisata memerlukan daya dukung dari banyak stakes holder (public, privat,

and society) sehingga prosesnya bisa berjalan dengan lancar. Keberhasilan

Gambar

Tabel 2. 1
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir
Gambar  3.1Peta Lokasi Penelitian Hutan Kota Srengseng
Tabel 3.1 Waktu Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Jika tidak, cedera yang parah akan ter- jadi pada anak dan penum- pang lainnya di dalam ken- daraan dalam hal tabrakan jika kursi anak tidak sesuai dengan ukuran

Minat siswa kelas X SMA Negeri 8 Yogyakarta dalam menggunakan lembar kegiatan siswa (LKS) berbasis pendekatan penemuan terbimbing berbantuan GeoGebra pada topik

[r]

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah apakah Model Pembelajaran Kooperatif tipe

Lokasi hutan kota yang akan dibangun terletak di Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan , dengan luas 5400 m

Berdasarkan hal tersebut maka, dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bahwa LSI yang berbasis semi discrete decomposition (SDD) dapat digunakan untuk menilai

Skripsi yang berjudul Kemampuan Siswa dalam Menghafal Juz ‘Amma pada Pengembangan Diri di MIM 3 Al-Furqan Banjarmasin, ditulis oleh Noor Ulinna Sari, telah

DKI Jakarta Kota Jakarta Selatan 337 Kota Jakarta Timur 127 Kota Jakarta Pusat 1298 Kota Jakarta Barat 364 Kota Jakarta Utara 672. Jawa Barat Kota